Anda di halaman 1dari 23

SMF & Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak

Tutorial Klinik
RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman

HIPERTIROID

Disusun sebagai Salah Satu Tugas Kepaniteraan Klinik


di Bagian Ilmu Kesehatan Anak

Siti Aminah
1810029034

Pembimbing:
dr. Anrih Roi Manthurio, Sp.A

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA, MARET 2019
LEMBAR PENGESAHAN

TUTORIAL KLINIK

HIPERTIROID

Diajukan dalam Rangka Tugas Ilmiah Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu


Kesehatan Anak

Oleh:

Siti Aminah
1810029034

Pembimbing:

dr. Anrih Roi Manthurio, Sp.A

SMF/LABORATORIUM ILMU KESEHATAN ANAK


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat-Nya
penulis dapat menyelesaikan Tutorial tentang “Bronkopneumonia”. Refleksi kasus ini
disusun dalam rangka tugas kepaniteraan klinik di Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak
Rumah Sakit Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima
kasih kepada :
1. dr. Ika Fikriah, M. Kes., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman.
2. dr. Soehartono, Sp. THT-KL, selaku Ketua Program Studi Profesi Dokter Fakultas
Kedokteran Universitas Mulawarman.
3. dr. Hendra, Sp. A, selaku Kepala Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Mulawarman.
4. dr. Anrih Roi Manthurio, Sp. A, selaku dosen pembimbing yang telah memberikan
bimbingan dan saran selama penulis menjalani co-assistance di Laboratorium Ilmu
Kesehatan Anak, terutama di divisi Endokrin..
5. Rekan-rekan dokter muda di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD AWS/FK
Universitas Mulawarman.
Penulis menyadari terdapat ketidaksempurnaan dalam penulisan, sehingga
penyusun mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnan tutorial klinik ini. Akhir
kata, semoga tutorial klinik ini berguna bagi penyusun sendiri dan para pembaca.

Samarinda, Maret 2019

Penyusun
BAB 1
PENDAHULUAN

Hipertiroid adalah hipersekresi produksi hormon tiroid oleh kelenjar tiroid.


Sebagian besar kasus hipertiroid pada anak kurang dari 18 tahun adalah penyakit
Graves. Penyakit Graves (PG) merupakan penyakit autoimun dengan insidens 0,1-3
per 100.000 anak. Insidensnya meningkat sesuai umur, jarang ditemukan pada usia
sebelum 5 tahun dengan puncak insidens pada usia 10-15 tahun. Perempuan lebih
sering dibandingkan lelaki dan riwayat keluarga dengan penyakit autoimun
meningkatkan risiko PG sebesar 60%. Penyakit ini dapat bersamaan dengan penyakit
autoimun lainnya, misal dengan diabetes melitus tipe-1. Remisi dan kekambuhan yang
tinggi merupakan masalah PG bergantung dari usia pasien, derajat tirotoksikosis saat
diagnosis, respons terapi awal, dan kadar TRAb (Thyrotropin receptor antibodies).
Hipertiroid neonatal terjadi saat prenatal dan muncul pada beberapa hari atau
beberapa minggu setelah lahir dari ibu penderita penyakit graves selama hamil,
biasanya bersifat transien. Insidensnya 1-2% dari ibu penderita penyakit graves atau 1
dari 4.000-50.000 kelahiran. Lebih sering ditemukan pada lelaki dari pada perempuan.
Angka kematiannya 25% yang biasanya disebabkan oleh gagal jantung. Hipertiroid
neonatal terjadi karena transfer TRSAb (TSH receptor-stimulating antibodies) dari ibu
ke bayi melalui plasenta.
Krisis tiroid, suatu keadaan hipermetabolik yang mengancam nyawa, dipicu
oleh pelepasan hormon tiroid yang berlebihan pada penderita hipertiroid. Krisis tiroid
hampir selalu fatal jika tidak ditangani segera, diagnosis cepat dan terapi yang agresif
sangat diperlukan untuk mengatasi kegawatannya (Angka kematiannya 10-20%).
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Hipertiroid adalah suatu keadaan dimana didapatkan kelebihan hormon tiroid
bebas dalam sirkulasi darah.1 Penyebab tersering hipertiroid adalah penyakit Grave’s.
Ini adalah suatu penyakit autoimun di mana tubuh tidak tepat dalam menghasilkan
long-lasting thyroid stimulator (LATS), suatu antibody yang sasarannya adalah
reseptor TSH di sel tiroid.2
Perlu dibedakan antara pengertian tirotoksikosis dengan hipertiroidisme.
Tirotoksikosis adalah manifestasi klinis kelebihan hormone tiroid yang beredar dalam
sirkulasi. Hipertiroidisme adalah tirotoksikosis yang disebabkan oleh kelenjar tiroid
yang hiperaktif. Namun manifestasinya sama, hal ini disebabkan oleh ikatan T3 dengan
reseptor T3-inti semakin penuh.3
Selain itu, penting juga untuk mengetahui definisi krisis hipertiroid. Krisis
hipertiroid adalah tirotoksikosis yang amat membahayakan. Pada keadaan ini dijumpai
dekompensasi satu atau lebih system organ.3

2.2 Anatomi Tiroid


Kelenjar tiroid terdiri dari dua lobus jaringan endokrin yang dihubungkan di
tengah oleh suatu bagian sempit kelenjar sehingga organ ini tampak seperti dasi kupu-
kupu.1 kedua lobus tiroid dihubungkan oleh isthmus. Tiroid terletak pada anterior
trakea, diantara kartilago cricoid dan notch suprasternal. Volume normal tiroid adalah
sekitar 12-20 gram, vaskularisasi yang sangat tinggi, dan konsistensi yang lunak. Pada
bagian posterior kelenjar tiroid terdapat empat buah kelenjar paratiroid yang
memproduksi hormone paratiroid. Pada bagian lateral tiroid terdapat nervus laringeus
rekurens. Cedera pada nervus laringeus rekurens dapat menyebabkan paralisis pada
vocal cords.4
Gambar 2.1 Anatomi Tiroid2
Kelenjar tiroid berkembang dari dasar faring primitif pada minggu ketiga
gestasi. Kelenjar yang berkembang bermigrasi sepanjang duktus tiroglossus hingga
mencapai tempat akhir di leher. Gangguan perkembangan kelenjar tiroid dapat
menyebabkan terbentuknya kelenjar tiroid ektopik, seperti lokasi tiroid pada dasar
lidah (lingual thyroid) atau terbentuknya kista duktus tiroglossus pada sepanjang
traktus perkembangannya. Pada umumnya, kelenjar tiroid mulai mensekresikan
hormone tiroid pada usia sebelas minggu masa gestasi.4

2.3 Fisiologi Pembentukan Hormon Tiroid


Sel-sel sekretorik utama tiroid, yang dikenal sebagai sel folikel, tersusun
membentuk bola-bola berongga yang masing-masing membentuk satu unit fungsional
yang dinamakan folikel. Di dalam folikel terdapat koloid, yaitu bahan yang berfungsi
sebagai tempat penyimpanan ekstrasel untuk hormone tiroid. Konstituen utama koloid
adalah suatu molekul protein besar yang dikenal sebagai tiroglobulin. Tiroglobulin
berikatan dengan hormone tiroid dalam berbagai stadium sintesis.2
Sel folikel menghasilkan dua hormone yang mengandung iodium yang berasal
dari asam amino tirosin, yaitu tetraiodotironin (T4 atau tiroksin) dan triiodotironin
(T3). Kedua hormone, yang secara kolektif disebut hormone tiroid, adalah regulator
penting laju metabolic basal (BMR) keseluruhan. Di ruang interstisium di antara
folikel-folikel terselip sel C, tipe sel sekretorik lain yang mensekresi hormone peptide
kalsitonin. Kalsitonin berperan dalam metabolisme kalsium serta sama sekali tidak
berkaitan dengan dua hormone tiroid utama lainnya.2

Gambar 2.2 Fisiologi Pembentukan Hormon Tiroid2


Bahan dasar untuk sintesis hormone tiroid adalah tirosin dan iodium. Tirosin,
suatu asam amino, dibentuk dalam jumlah memadai oleh tubuh sehingga bukan zat
essensial dalam makanan. Sebaliknya, iodium yang dibutuhkan untuk sintesis hormone
tiroid harus diperoleh dari makanan. Pembentukan, penyempitan, dan sekresi hormone
tiroid melibatkan langkah-langkah tersebut :2
 Semua tahap pembentukan hormone tiroid berlangsung di molekul tiroglobulin
di dalam koloid. Tiroglobulin diproduksi oleh kompleks golgi / reticulum
endoplasma sel folikel tiroid. Asam amino tirosin masuk ke dalam molekul
tiroglobulin. Setelah terbentuk, tiroglobulin yang sudah mengandung tirosin di
ekspor dari sel folikel ke dalam koloid melalui proses eksositosis.
 Tiroid smenangkap iodium dari darah dan memindahkannya ke dalam koloid
melalui pompa iodium. Hampir semua iodium di tubuh dipindahkan melawan
gradien konsentrasi untuk disimpan di tiroid untuk membentuk hormone tiroid.
Iodium tidak memiliki fungsi lain di tubuh.
 Di dalam koloid, iodium cepat dilekatkan ke tirosin di dalam molekul
tiroglobulin. Perlekatan satu iodium ke tirosin menghasilkan monoiodotirosin
(MIT). Perlekatan dua iodium ke tirosin menghasilkan diiodotirosin (DIT).
 Kemudian, terjadi proses penggabungan antara molekul-molekul tirosin yang
telah beriodium untuk membentuk hormone tiroid. Penggabungan MIT dengan
satu DIT akan menghasilkan triiodotironin (T3). Penggabungan dua DIT
menghasilkan tetraiodotironin (T4 atau tiroksin). Antara dua molekul MIT
tidak terjadi penggabungan.

Semua produk ini tetap melekat ke tiroglobulin. Hormone tiroid tetap tersimpan
dalam bentuk ini di koloid sampai terurai dan disekresikan. Jumlah hormone tiroid
yang tersimpan umumnya dapat memenuhi kebutuhan tubuh untuk beberapa bulan.
Pada perangsangan yang sesuai, sel folikel tiroid menelan sebagian dari koloid
yang mengandung tiroglobulin melalui proses fagositosis. Lisosom menyerang
vesikel yang ditelah tersebut dan memisahkan produk-produk beriodium
tiroglobulin. Hormone tiroid karena sangat lipofilik , mudah melewati membrane
luar sel folikel dan masuk ke dalam sirkulasi. MIT dan DIT mengalami deiodinasi,
dan iodium yang bebas didaur ulang untuk membentuk hormone baru. Setelah
hormone tiroid dikeluarkan ke dalam sirkulasi, molekul-molekul hormone tiroid
yang sangat lipofilik berikatan dengan protein plasma. Sebagian besar T3 dan T4
diangkut oleh thyroxine-binding globulin, yang secara selektif berikatan hanya
dengan hormone tiroid. Kurang dari 0.1% T4 dan kurang dari 1% T3 tetap berada
dalam bentuk bebas (tak terikat). Hanya bentuk bebas dari keseluruhan hormone
tiroid yang memiliki akses ke reseptor sel sasaran dan menimbulkan efek.2
2.4 Efek Hormon Tiroid dalam Tubuh
o Efek hormone tiroid pada laju metabolisme dan produksi panas
Hormone tiroid meningkatkan laju metabolisme basal keseluruhan
tubuh. Hormone ini adalah regulator mayor dalam laju konsumsi O2 dan
pengeluaran energy tubuh dalam keadaan istirahat. Efek metabolic
hormone tiroid berkaitan erat dengan efek kalorigenik sehingga
menyebabkan peningkatan panas.2
o Efek pada metabolisme antara
Hormone tiroid tidak hanya dapat memengaruhi pembentukan dan
penguraian karbohidrat, lemak, dan protein. Dalam jumlah yang
berbeda, hormone tiroid dapat menimbulkan efek metabolic yang
berbeda. Contohnya, pada jumlah minimal, hormone tiroid dapat
membentuk glukosa menjadi glikogen, namun dalam jumlah besar
hormone ini dapat memecah glikogen menjadi glukosa. 2
o Efek simpatomimetik
Hormon tiroid meningkatkan responsivitas sel target terhadap
katekolamin (epinefrin dan norepinefrin), mediator kimia yang
digunakan oleh system saraf simpatis dan medulla adrenal. Hormon
tiroid menyebabkan proliferasi reseptor sel target spesifik katekolamin.
Sehingga jika terjadi peningkatan kadar hormone tiroid, maka akan
serupa dengan aktivasi system saraf simpatis.2
o Efek pada sistem kardiovaskular
Hormone tiroid meningkatkan sensitivitas jantung terhadap kadar
katekolamin dalam darah, sehingga kontraktilitas dan curah jantung
meningkat. Selain itu, sebagai respon terhadap panas yang dihasilkan
oleh efek kalorigenik, akan terjadi vasodilatasi sistemik.2
o Efek pada pertumbuhan dan sistem saraf
Hormon tiroid penting bagi pertumbuhan karena memiliki efek terhadap
growth hormone dan IGF-1. Hormone tiroid berperan dalam
merangsang sekresi GH dan meningkatkan produksi IGF-1 oleh hepar.
Selain itu, hormone tiroid juga meningkatkan efek GH dan IGF-I dalam
pembentukan protein structural dan pertumbuhan tulang. Namun, tidak
seperti kelebihan hormone GH, hormone tiroid yang berlebih tidak
menyebabkan pertumbuhan yang berlebih.2
Hormon tiroid berperan penting dalam perkembangan normal sistem
saraf, khususnya SSP. Hormone tiroid juga memiliki fungsi yang
essensial dalam aktivitas normal SSP pada dewasa.2

2.5 Epidemiologi
Sampai saat ini belum didapatkan angka yang pasti insiden dan prevalensi
hipertiroid pada anak-anak di Indonesia. Beberapa pustaka di luar negeri
menyebutkan insidennya pada masa anak secara keseluruhan diperkirakan
1/100.000 anak per tahun.(9) Mulai 0,1/100.000 anak per tahun untuk anak 0-4
tahun, meningkat sampai dengan 3/100.000 anak pertahun pada usia remaja.(9,12.13)
Secara keseluruhan insiden hipertiroid pada anak jumlahnya kecil sekali atau
diperkirakan hanya 5-6 % dari keseluruhan jumlah penderita penyakit Graves
segala umur.(6,13,14)
Prevalensinya pada remaja wanita lebih besar 6-8 kali dibanding pada remaja pria. (2,11)
Kebanyakan dari anak-anak yang menderita penyakit Graves mempunyai riwayat
keluarga dengan penyakit tiroid atau penyakit autoimun yang lain, misalnya:
diabetes mellitus tipe 1, penyakit Addison, lupus sistemik, ITP, myasthenia gravis,
artritis rematoid, dan vitiligo. (7,8,12,15)
Penyakit Graves juga lebih sering terjadi pada pasien dengan trisomi 21. (7) Sedangkan
penyakit Graves pada neonatus (Neonatal Graves) hanya terjadi pada bayi yang
dilahirkan oleh ibu-ibu berpenyakit Graves dengan prevalensi 1 dibanding 70
kelahiran.(15)
2.6 Patofisiologi
NEONATAL GRAVES
Terdapat perbedaan yang mendasar patofisiologi penyakit Graves yang
terjadi pada bayi dengan yang terjadi pada anak dan dewasa. Penyakit Graves
pada bayi atau neonates selalu transient atau bersifat sementara, sedangkan pada
anak dan dewasa biasanya bersifat menahun.7,8,15
Neonatal Graves hanya terjadi pada bayi yang dilahirkan dari ibu yang
menderita penyakit Graves dengan aktifitas antibodi stimulasi terhadap reseptor
TSH (TSH receptor-stimulating antibodies, di sini kita gunakan sebagai TRAb-
stimulasi) yang kuat. Hal ini dikarenakan adanya TRAb-stimulasi dari ibu yang
mencapai bayi melalui plasenta. TRAb-stimulasi bisa terdapat dalam sirkulasi ibu
hamil yang tidak dalam keadaan hipertiroid, oleh karena itu adanya riwayat
penyakit Graves pada ibu harus menjadi pertimbangan risiko terjadinya penyakit
Graves pada bayinya.7,15,17
Ibu dengan penyakit Graves dapat mempunyai campuran antibodi stimulasi
dan inhibisi/blocking terhadap reseptor TSH (TRAb-stimulasi dan TSH receptor-
blocking antibodies atau kita sebut TRAb-inhibisi) sekaligus. Jenis antibodi yang
sampai kepada bayi melalui plasenta akan mempengaruhi kelenjar tiroid bayi, bayi
yang dilahirkan dapat hipertiroid, eutiroid, atau hipotiroid, tergantung antibodi
yang lebih dominan.8,15 Potensi masing-masing dari kedua jenis antibodi, beratnya
penyakit ibu, lama paparan terhadap kondisi hipertiroid di dalam kandungan, serta
obat-obatan anti-tiroid dari ibu merupakan faktor-faktor yang dapat berpengaruh
pada status tiroid bayi.7,15

GRAVES PADA ANAK DAN REMAJA


Penyakit Graves merupakan penyakit autoimun dengan adanya defek pada
toleransi imun dengan penyebab yang belum jelas.1,8,14,15 Adanya autoantibodi yang
bekerja pada reseptor TSH pada kelenjar tiroid (TSH receptor–stimulating
antibodies atau di sini disebut TRAb-stimulasi) menyebabkan peningkatan sintesis
dan sekresi hormon tiroid secara otonom di luar jaras hipotalamus-hipofisis- tiroid
(gambar 1).7,15 Antibodi tersebut merupakan IgG subklas IgG1,(15) dengan target
utama auto-antigen dari reseptor TSH, selain dari auto-antigen yang mirip di jaringan
subkutan dan otot-otot ekstraokuler.7,15
Gambar 1 TSH dan auto-antibodi keduanya dapat merangsang reseptor TSH
pada kelenjar tiroid yang akan meningkatkan sintesis dan sekresi hormon tiroid.

Disamping itu penderita penyakit Graves juga memproduksi imunoglobulin yang


mempunyai aktifitas menghambat reseptor TSH secara langsung (TSH receptor–
blocking antibodies atau di sini disebut TRAb-inhibisi). Antibodi ini juga
mempunyai target antigen yang lain di kelenjar tiroid yakni tiroid peroksidase
sebagi anti-TPO, dan juga tiroglobulin sebagai anti-Tg.7,8,12,15
Perbedaan aktifitas biologis kedua jenis auto-antibodi stimulasi dan inhibisi, hanya
dapat dilihat pada pemeriksaan in vitro dengan kultur menggunakan antibodi
penderita pada sel-sel yang mengekspresikan reseptor TSH. Antibodi stimulasi akan
meningkatkan produksi cAMP pada kultur, sedangkan antibodi inhibisi akan
menghambat peningkatan cAMP.7,15

2.7 Kriteria Diagnosis


NEONATAL GRAVES
Walaupun paparan terhadap TRAb terjadi sejak di dalam kandungan, tidak semua bayi
yang lahir segera menunjukkan gejala klinis sebagai hipertiroid. Apabila terdapat
TRAb-inhibisi di dalam sirkulasi bayi, bayi dapat mengalami hipotiroid yang bersifat
transient atau eutiroid. Gejala klinis akan muncul dalam minggu pertama setelah
kerja TRAb-inhibisi menurun. Demikian juga bila ibu mengkonsumsi obat-obatan
anti-tiroid.7,8,15 Gejala klinis neonatal Graves adalah seperti pada tabel 1.
Tabel 1-Gejala klinis neonatal Graves
Rewel Takikardia
Malas minum Hepatosplenomegali
Berat badan tidak naik Ikterus
Diare Craniosynostosis
Sulit tidur Gagal jantung
Goiter Trombositopenia
Proptosis Kematian

Half life dari TRAb adalah sekitar 1-2 minggu. Lama gejala klinis neonatal
Graves tergantung dari potensi dan kecepatan klirens antibodi, biasanya
berlangsung 2-3 bulan, dan bahkan bisa lebih.7,15 Komplikasi yang dapat terjadi
adalah gagal jantung, gagal tumbuh, penutupan sutura tulang tengkorak yang
terlalu dini dengan konsekwensi adanya gangguan perkembangan motorik maupun
mental.7,8
Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis hipertiroid pada neonatal Graves ditunjukkan dengan adanya
peningkatan kadar T4, FT4, T3, dan FT3 yang disertai supresi kadar TSH. Adanya
titer TRAb yang tinggi pada ibu atau bayi (biasanya diukur sebagai TSH receptor-
binding inhibiting immunoglobulin = TBII, mengukur kedua antibodi stimulasi atau
inhbisi) merupakan konfirmasi penyebabnya. 8,15
Mengingat pentingnya diagnosis dan terapi yang segera, beberapa keadaan seperti
pada tabel 1 patut dipertimbangkan sebagai neonatal Graves untuk dilakukan
pemeriksaan uji fungsi tiroid yang diperlukan.
Beberapa kondisi yang harus dipertimbangkan sebagai neonatal Graves
1. Takikardia yang tidak jelas sebabnya, adanya goiter atau ’stare’.
2. Petechie yang tidak jelas sebabnya, hiperbilirubinema, atau
hepatosplenomegali.
3. Riwayat atau adanya titer TRAb yang tinggi selama kehamilan ibu.
4. Riwayat atau adanya kebutuhan obat anti tiroid yang meningkat selama
kehamilan ibu.
5. Riwayat terapi ablasi tiroid dari ibu.
6. Riwayat penyakit Graves pada keluarga.

GRAVES PADA ANAK DAN REMAJA


Gejala Klinis
Onset gejala klinis sering kali tidak disadari oleh penderita, keluarga
penderita, dan bahkan tidak dikenali oleh tenaga kesehatan pada masa pertamakali
dikunjungi.7,9 Sehingga diagnosis hipertiroid atau penyakit Graves sering
ditegakkan beberapa bulan setelah onset.9 Penelitian Shulman dkk, mendapatkan
bahwa pada anak-anak prepubertas sering didiagnosis 8 bulan setelah onset,
sedangkan pada anak pubertas didiagnosis terlambat sekitar 5 bulan setelah onset.9
Demikian juga Bhadada dkk pada penelitiannya terhadap anak-anak penderita
penyakit Graves yang berumur 3-18 tahun, mendapatkan bahwa rata-rata diagnosis
Gravesbaru ditegakkan 7 bulan setelah onset.10 Pada penelitian di Inggris, seringkali
anak-anak dengan penyakit Graves dirujuk karena bising jantungnya, gagal tumbuh,
diare yang bekepanjangan, atau gangguan pelajaran sekolahnya, sebelum mereka
mendapatkan diagnosis dan terapi yang sesuai untuk hipertiroidnya.9
Yang paling sering dikeluhkan terutama pada anak-anak prepubertas adalah
penurunan berat badan yang nyata dan diare. Sedangkan tanda klinis klasik hipertiroid
seperti pada dewasa yang meliputi palpitasi, iritabilitas, tremor halus, dan intoleransi
terhadap panas lebih menonjol terjadi pada anak-anak remaja.11
Pembesaran kelenjar tiroid (goiter), walau hampir selalu ada, tetapi bukanlah
hal yang utama menjadi keluhan, bahkan sering menjadi hal yang diluar perhatian
keluarga penderita, bahkan oleh tenaga kesehatan sekalipun; dikarenakan
pembesarannya sering kali ringan.10,11
Kelenjar tiroid yang membesar teraba lembut dan berbatas tidak tegas
(diffuse), tidak berdungkul, dan fleshy; sering juga terdengar bruit pada auskultasi.7,10
Gangguan pemusatan perhatian dan emosi yang labil sering menyebabkan anak-
anak mengalami gangguan dalam pelajaran sekolahnya. Beberapa penderita juga
sering mengeluhkan adanya poliuria dan mengompol di malam hari, sebagai akibat
peningkatan laju filtrasi glomerulus.7,8,14 Peningkatan laju pertumbuhan linier
disertai meningkatnya umur tulang, sehingga anak terlihat lebih tinggi dan kurus dari
teman sebaya terutama terjadi pada anak-anak prepubertas.7sedangkan pada anak-anak
remaja, hal ini tidak terjadi.7,11
Pada anak-anak remaja sering terjadi gangguan pubertas (pubertas terlambat).
Pada remaja wanita yang telah menarche, seringkali terjadi amenorrhea sekunder.
Gangguan tidur yang menyertai seringkali menyebabkan anak cepat lelah.7,10,11
Di samping sering terjadi pada orang dewasa, opthalmopathy merupakan
salah satu tanda klinis yang khas yang bisa terjadi pada anak-anak, namun terjadi lebih
ringan dan lebih mudah terjadi remisi spontan.9 Secara keseluruhan gejala dan
tanda klinis penyakit Graves dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2: Tanda dan Gejala klinis penyakit Graves pada anak.(IDAI,2017)


Tanda Gejala
 Goiter  Hiperaktif
 Eksoftalmus  Palpitasi
 Takikardi  Gangguan tidur
 Penurunan berat badan  Lelah
 Heat intolerance  Prestasi sekolah menurun
 Tremor halus  Emosi labil
 Hipertensi sistolik  Neck fullness atau benjolan
 Tekanan nadi melebar  Irritability and nervousness
 Rambut rontok  Buang air besar sering
 Enuresis sekunder (nokturia)  Nafsu makan meningkat
 Usia tulang maju
 Ophtalmopathy-pain, keratitis,
lidlag, proptosis

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan adalah kadar T4, FT4, T3, FT3, dan TSH.
Pemeriksaan T3 merupakan hal yang penting, sekitar 5% anak-anak dengan
penyakit Graves mempunyai kadar T3 yang meningkat nyata, namun dengan kadar T4
yang normal atau sedikit di atas normal. Keadaan ini dikenal sebagai T3
toxicosis.(7,8,15) TSH biasanya sangat rendah atau tidak terdeteksi. Peningkatan T4
atau T3 tanpa disertai kadar TSH yang rendah tidak menyokong keadaan
hipertiroid. Hal ini kemungkinan dapat diakibatkan karena kelebihan thyroxine-
binding globulin (bisa familial atau dapatan, misal: obat-obat kontrasepsi) atau
karena gangguan binding protein (misal: pada familial dysalbuminemic
hyperthyroxinemia).(7) Pada keadaan terakhir, kadar TBG di dalam serum harus
diperiksa juga. Kadar TSH yang rendah juga dapat menyingkirkan kemungkinan
hipertiroid karena induksi TSH dan hipofisis yang resisten terhadap hormon tiroid.(7,15)
Antibodi terhadap tiroid (anti-TG dan anti-TPO) kadang juga positif pada anak dengan
penyakit Graves, yang sulit dibedakan dengan fase tirotoksik pada tiroiditis Hashimoto.
Pada keadaan demikian, untuk membedakannya perlu pemeriksaan TRAb-
stimulasi.(7,14,15) Namun demikian, pada keadaan yang sudah jelas terdapat tanda
klinis penyakit Graves, semisal hipertiroid, goiter, proptosis, maka pemeriksaan
TRAb-stimulasi tidak diperlukan lagi mengingat mahalnya pemeriksaan ini.(11)
Berbeda pada orang dewasa, pemeriksaan uptake radioaktif jarang sekali
diperlukan pada kasus-kasus penyakit Graves yang sudah jelas. Pemeriksaan ini
hanya diperlukan pada kasus-kasus yang meragukan, misalnya pada kasus dengan
TRAb yang negative, tiroiditis Hashimoto fase tirotoksik, dan atau tiroid nodul
fungsional.(7)
KRISIS TIROID
Krisis tiroid merupakan komplikasi yang berat, namun jarang terjadi pada anak-
anak hipertiroid. Biasanya didahului faktor pencetus yakni: pembedahan, infeksi, dan
KAD (ketoasidosis diabetes). Hal ini juga dapat terjadi pada saat pembedahan
tiroidektomi maupun terapi ablasi menggunakan radioaktif.(6,9,12)
 Manifestasi klinis5
o Riwayat tirotoksikosis sebelumnya
o Gejala umum: hiperpireksia, banyak keringat, penurunan berat, distres napas,
mudah lelah, lemah.
o Gejala saluran cerna: mual, muntah,diare, nyeri perut, ikterus.
o Gejala kardiovaskuler: aritmia, takikardi, hipertensi bisa berakhir dengan
hipotensi, syok, dan gagal jantung.
o Gejala neurologis: agitasi, hiper-refleksi, tremor, kejang sampai koma
o Tanda tirotoksikosis: exophthalmus dan goiter
o Faktor pencetus: sepsis, pembedahan, anestesi, terapi iodium radioaktif, obat
(pseudoefedrin, salisilat, kemoterapi), pemberian hormon tiroid berlebihan,
penghentian terapi antitiroid, ketoasidosis diabetik, trauma langsung terhadap
kelenjar tiroid.
 Pemeriksaan laboratorium:
o Peningkatan T3, T4, FT4, kadar TSH menurun.
o Lekositosis dengan shift to the left.
o Tes fungsi hati menunjukkan kelainan yang tidak khas: peningkatan alanine
aminotransferase (ALT), aspartate aminotransferase (AST), alkaline
phosphatase, dan serum bilirubin.
 Pemeriksaan penunjang lain (sesuai indikasi):
o Radiografi toraks : untuk mendeteksi edema paru dan pembesaran jantung
(gagal jantung) dan juga adanya infeksi paru.
o EKG : untuk memonitor aritmia fibrilasi atrial dan takikardi ventrikular
Skoring untuk mendiagnosis krisis tiroid

2.8 Penatalaksanaan
NEONATAL GRAVES5
Terapi harus segera dimulai untuk mencegah gagal jantung (jangka pendek) dan
kraniosinostosis serta gangguan kognitif di kemudian hari (jangka panjang).
 Pilihan terapi adalah methimazole (MMI) dengan dosis 0.2-0.5 mg/ kgBB/hari
dibagi 1 sampai 3 dosis.
 Durasi terapi 2-4 minggu tapi bisa sampai 3 bulan.
 Jika MMI tidak tersedia atau terdapat efek samping terhadap MMI, maka bisa
diberikan Prophylthyouracil (PTU) hanya untuk jangka pendek.
 Lugol iodine 1-3 tetes /hari bisa ditambahkan dalam kasus yang berat untuk
menghambat sekresi hormone tiroid.
 Jika terdapat gejala hiperaktivitas simpatetis seperti takikardi, hipertensi,
kesulitan minum, maka ditambahkan propranolol 2mg/kgBB/hari.
 Perawatan NICU diperlukan jika terdapat ketidakstabilan hemodinamik, gagal
jantung atau gagal nafas. Dalam kondisi ini bisa ditambahkan prednisolone 2
mg/kgBB dibagi 1-2 dosis terbagi.
 Pemberian terapi harus dititrasi sampai tercapai kondisi eutiroid.
 Pemberian Air susu ibu (ASI) tetap disarankan.
Pemantauan
 Fungsi tiroid harus diukur setiap minggu sampai stabil dan sesudahnya
diperiksa setiap 2 minggu.
 Perlu dievaluasi terhadap gangguan perkembangan, kraniosinostosis, dan
mikrosefali.
 TRAb Setiap tahun.

GRAVES PADA ANAK DAN REMAJA5


Terapi medikamentosa
 Obat antitiroid diberikan sebagai terapi pilihan utama pada anak dengan PG.
o Methimazole (MMI): dosis 0,2 – 0,5 mg/kg hari dalam jangka waktu 1-
2 tahun
o Titrasi dosis dengan pedoman fungsi tiroid.
o Sebelum pemberian obat anti-tiroid, periksa darah tepi lengkap, fungsi
hepar (bilirubin, transaminase dan alkali fosfatase).
o Hentikan obat jika anak mengalami demam, atralgia, luka-luka di
mulut, faringitis atau malaise, dan dilakukan pengukuran hitung lekosit.
 Apabila tidak mengalami remisi dalam 2 tahun lakukan dievaluasi terhadap
kepatuhan pengobatan, efek samping obat, dan dievaluasi kembali pengobatan
yang diberikan. Dapat dipertimbangkan untuk dilakukan tiroidektomi.
 Jika dalam keadaan tidak tersedia MMI, maka bisa diberikan PTU dengan dosis
awal 5-7mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis dengan pengawasan ketat terutama terkait
dengan fungsi hati.
 PTU harus dihentikan jika kadar transaminase meningkat 2-3 kali lipat di atas
kadar normal dan gagal membaik dalam 1 minggu setelah diulang tes tersebut.
Terapi simtomatik
 Beta adrenergic blocker (misal propranolol, atenolol, metoprolol)
direkomendasikan untuk anak dengan hipertiroid yang denyut jantungnya >
100x/menit.
 Beta adrenergic blocker bisa dihentikan ketika kadar hormon tiroid sudah
mencapai normal.
 Dosis propanolol: 0.5 – 2 mg/kg/hari.
Terapi pembedahan
 Jika pembedahan dipilih sebagai terapi untuk anak dengan PG, maka dilakukan
near-total tiroidektomi
 Pembedahan harus dilakukan oleh ahli bedah tiroid yang berpengalaman.
 Setelah terapi pembedahan anak memerlukan terapi sulih atau pengganti
hormon tiroid seumur hidup.
Radioterapi
 Radioterapi dilakukan dengan 131I, belum termasuk first line therapy di
Indonesia. Tujuan radioterapi adalah menjadikan penderita hipotiroid. Dosis
radioterapi sesuai dengan protokol yang berlaku pada masing-masing pemberi
pelayanan radioterapi.
Pemantauan
 Pemeriksaan laboratorium dilakukan 4-6 minggu sesudah terapi awal dan setiap
pergantian dosis. Ulang tiap 2-3 bulan jika dosis sudah sesuai.
 TSH seringkali masih tersupresi sampai waktu yang cukup lama sehingga
penyesuaian dosis berdasarkan (fT4 atau fT3).
 Sesudah terapi obat antitiroid selama 2 tahun dan anak masih melanjutkan
terapi, maka pemantauan laboratorium dilakukan tiap 6-12 bulan.
 Pemantauan jangka panjang hingga dewasa diperlukan meskipun telah terjadi
remisi atau telah menjalani pembedahan dan terapi iodine radioaktif.
 Prognosis :
o 30% anak yang diobati obat antitiroid mencapai remisi dalam 2 tahun.
o 75% pasien relaps dalam 6 bulan setelah henti obat, sedangkan hanya
10% relaps setelah 18 bulan.

KRISIS TIROID5
 Terapi awal terdiri dari:
o Mencari penyebab dan mengobati pencetus.
o Menurunkan secara cepat konsentrasi serum hormon tiroid dan
mengganggu aksi perifer hormon tiroid.
 Terapi pilihan pertama adalah PTU karena memblok konversi T4 ke T3.
o PTU 100-200 mg tiap 4-6 jam oral atau melalui NGT.
 Iodides (SKKI) 8-10 tetes tiap 8 jam untuk menghambat pelepasan hormon
yang belum terbentuk dari kelenjar, harus diberikan paling tidak 1 jam sesudah
pemberian PTU.
 Propanolol 2mg/kgBB/hari per oral akan memblok efek adrenergik dari hormon
tiroid dan menghambat konversi T4 menjadi T3.
 Glukokortikoid :
o Hidrokortison 2 mg/kgBB IV bolus, dilanjutkan dengan 36-45mg/
m2/hari, dibagi dalam 6 dosis. Atau
o Hidrokortison 5mg/kgBB (hingga 100mg) IV setiap 6-8 jam. Atau
o Dexametason 0,1-0,2 mg/kgBB/hari dibagi dalam setiap 6-8 jam
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian kesehatan Indonesia. 2015. Situasi dan Analisis Penyakit Tiroid.


Pusat data dan informasi kementerian kesehatan Indonesia.
2. Sherwood, lauralee. 2009. Human physiology from cells to system 6th Ed. Jakarta :
EGC
3. R. Djoko Moejianto. 2009. Kelenjar Tiroid, Hipotiroidisme, dan
Hipertiroidisme. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V Jilid III h.1993-2009.
Jakarta : Interna Publishing
4. Harrisons. 2012. Disorder of the Thyroid Gland. Harrison’s Principles of Internal
Medicine 18th Ed p.5767- 5806. Mc Graw Hill

5. IDAI. (2017). Diagnosis dan Tatalaksana Hipertiroid. Indonesia: IDAI.

6. Jonathan G Gold, Sadeghi-Nejad Ab. Hyperthyroidism. Available at


http://www.emedicine.com/PED/topic1099.htm.
7. Brown RS, Huang S. The Thyroid and Its Disorders. In: Brook CGD, Clayton
PE, Brown RS, eds. Brook’s Clinical Pediatric Endocrinology.
Massachusetts: Blackwell Publishing Ltd, 2005: 218-51.
8. Rossi WC, Caplin N, Alter CA. Thyroid Disorders in Children. In: Moshang T,
ed. Pediatric Endocrinology – The Requisites in Pediatrics. St Louis, Missouri:
Elsevier Mosby, 2005: 171-90.
9. Birrel G, Cheetam T. Juvenile Thyrotoxicosis; Can We Do Better?. Arch Dis
Child 2004; 89: 745-50.
10. Bhadada S, Bhansali A, Velayutham P, Masoodi SR. Juvenile
Hyperthyroidism: An Experience. Indian Pediatrics 2006; 43: 301-7.
11. Lazar I, et al. Thyrotoxicosis in Prepubertal Children Compared with
Pubertal and Postpubertal Patients. J Clin Endocrinol Metab 2000; 85: 3678-82.
12. Levitsky LL. Graves Disease. Available at
http://www.emedicine.com/PED/topic899.htm.
13. Lavard L, et.al. Incidence of Juvenile Thyrotoxicosis in Denmark, 1982-
1988. A Nationwide Study. Eur J Endocrinol 1994; 130(6): 565-8.
14. Dallas JS, Foley TP. Hyperthyroidism. In: Lifshitz F, ed. Pediatric
Endocrinology. New York: Marcel Dekker, 1996: 401-14.
15. Fisher DA. Thyroid Disorders in Childhood and Adolescence. In: Sperling MA,
ed. Pediatric Endocrinology. Philadelphia: Saunders, 2002: 161-207.

Anda mungkin juga menyukai