Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Prof Dr Aloe Saboe merupakan salah
satu rumah sakit umum yang dimiliki oleh pemerintah Kota Gorontalo. Saat ini
RSUD Prof Dr Aloei Saboe menjadi rumah sakit terbesar di Provinsi Gorontalo
2011. Ruangan ini dilengkapi dengan 4 unit mesin hemodialisa dengan jumlah
pasien rutin saat ini sebanyak 46 orang dan tidak rutin 2 orang. Untuk tenaga
perawat hemodialisa sebanyak 5 orang dan tenaga dokter 2 orang dimana yang
telah memiliki sertifikat pelatihan hemodialisa 2 orang perawat dan 2 orang dokter
telah berserfikat.
Dengan kondisi tingkat pelayanan saat ini dan dibarengi pula oleh berbagai
perubahan yang terjadi, RSUD Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo memiliki
optimal (Prima) yang diformulasikan dalam Visi dan Misi, sebagai berikut :
a. Visi
b. Misi
35
3) Meningkatkan Kesejahteraan Karyawan Sesuai Kinerja
Informasi.
2. Jenis kelamin
Tabel 3 Distribusi Jenis Kelamin Responden di Unit Hemodialisa RSUD Prof. Dr.
H. ALoei Saboe Kota Gorontalo
36
3. Pendidikan
4. Status pernikahan
Tabel 5 Distribusi status pernikahan responden di Unit Hemodialisa RSUD Prof.
Dr. H. ALoei Saboe Kota Gorontalo
Status pernikahan Jumlah Persentase
Nikah 27 90
Belum nikah/duda/janda 3 10
Jumlah 30 100
(Sumber: Olah Data Primer 2017)
Tabel 5 diketahui responden yang berstatus menikah sebanyak 27 orang (90%)
dan belum menikah/janda/duda sebanyak 3 orang (10%). Hasil ini menunjukan
sebagian besar responden di Unit Hemodialisa RSUD Prof. Dr. H. ALoei Saboe
Kota Gorontalo berstatus menikah.
37
5. Status pekerjaan
Tabel 6 Distribusi status pekerjaan responden di Unit Hemodialisa RSUD Prof.
Dr. H. ALoei Saboe Kota Gorontalo
38
7. Komplikasi pada pasien gagal ginjal kronik
Tabel 8 Distribusi komplikasi pada pasien gagal ginjal kronik di ruang
Hemodialisa RSUD Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo
Tabel 8 diketahui pasien gagal ginjal kronik yang tanpa komplikasi sebanyak 21
orang (70%) dan yang ada komplikasi sebanyak 9 orang (30%). Hal ini
menunjukkan bahwa sebagian besar pasien di unit hemodialisa RSUD Prof. Dr. H.
ALoei Saboe Kota Gorontalo tidak mengalami komplikasi.
4.1.3 Analisis Bivariat
39
yang artinya terdapat hubungan yang signifikan antara kepatuhan menjalani
program hemodialisa dengan komplikasi pasien gagal ginjal kronik.
4.2 Pembahasan
4.2.1 Kepatuhan menjalani program hemodialisa pada pasien gagal ginjal
kronik di ruang hemodialisa RSUD Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota
Gorontalo
Hasil penelitian diketahui pasien yang tidak patuh menjalani hemodialisa
sebanyak 8 orang (26,7%) dan yang patuh menjalani program hemodialisa
sebanyak 22 orang (73,3%). Hal ini menunjukkan bahwa pasien di Unit
Hemodialisa RSUD Prof. Dr. H. ALoei Saboe Kota Gorontalo sebagian besar
patuh dalam menajalani program hemodialisa.
Kepatuhan merupakan faktor penting bagi pasien yang menajalni
hemodialisa. Hal ini dikarenakan hemodialisa merupakan salah satu terapi
pengganti ginjal dimana melalui tindakan secara langsung mesin akan mengganti
fungsi ginjal untuk sementara waktu. Kepatuhan pasien ini dapat dijelaskan
karena berbagai faktor diantaranya adanya dukungan keluarga. Dukungan
keluarga merupakan salah satu sumber penting dalam memotivasi pasien untuk
terus menajalani hemodialisa. Disamping itu pengetahuan pasien tentang
hemodialisa cukup baik. Hal ini terlihat pada saat wawancara dengan peneliti
dimana sebagian besar mereka mengetahui tujuan dan manfaat hemodialisa
sehingga mereka takut bila tidak menjalani hemodialisa sesuai program.
Green (1980, dalam Notoatmodjo, 2010) menjabarkan bahwa perilaku
seseorang dipengaruhi oleh tiga faktor salah satunya adalah faktor predisposisi
yaitu melingkupi sikap, keyakinan, nilai-nilai, dan persepsi yang berhubungan
dengan motivasi individu atau kelompok untuk melakukan tindakan serta faktor
penguat dapat berasal dari tenaga kesehatan, kawan, keluarga, atau pimpinan.
Faktor penguat bisa positif dan negatif tergantung pada sikap dan perilaku orang
lain yang berkaitan.
Kepatuhan pasien terhadap rekomendasi dan perawatan dari pemberi
pelayanan kesehatan adalah penting untuk kesuksesan suatu intervensi namun
40
ketidakpatuhan menjadi masalah yang besar terutama pada pasien yang menjalani
hemodialysis dan dapat berdampak pada berbagai aspek perawatan pasien,
termasuk konsistensi kunjungan, regimen pengobatan serta pembatasan makanan
dan cairan. Secara keseluruhan, telah diperkirakan bahwa sekitar 50 % pasien HD
tidak mematuhi setidaknya sebagian dari regimen hemodialisis mereka (Kamerrer,
2007).
Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Kurniawati (2014) yang
menemukan 78,9% pasien gagal kronik patuh dalam menjalani hemodialisa. Hasil
penelitian Hartati (2016) juga menunjukkan 68% pasien hemodialisa patuh
terhadap pembatasan cairan.
41
tidak dapat berfungsi lama. Terjadi osmotik diuretik, menyebabkan seseorang
menjadi dehidrasi. Jika jumlah nefron yang tidak berfungsi meningkat maka ginjal
tidak mampu menyaring urine (isothenuria). Pada tahap ini glomerulus menjadi
kaku dan plasma tidak dapat difilter dengan mudah melalui tubulus. Maka akan
terjadi kelebihan cairan dengan retensi air dan natrium.
Suwitra (2006) juga menjelaskan bahwa setelah terjadi penurunan LFG
dibawah 30% terjadi gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia,
peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus,
mual, muntah dan juga mudah terjadi infeksi pada saluran perkemihan,
pencernaan dan pernafasan, terjadi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
yaitu hipovolemia, hipervolemia, natrium dan kalium. Pada LFG kurang dari 15%
merupakan stadium gagal ginjal yang sudah terjadi gejala dan komplikasi yang
lebih berat dan memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy)
antara lain dialisis atau transplantasi ginjal.
Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian Kurniawati (2014) yang
menunjukkan bahwa 86% pasien tidak mengalami komplikasi menjalani
hemodialisa. Penelitian Khaidir (2014) juga menunjukkan 78% pasien tidak
mengalami komplikasi hipotensi menjalani hemodialisa.
42
Adanya hubungan yang signifikan antara kepatuhan menjalani program
hemodialisa dengan komplikasi pasien gagal ginjal kronik karena komplikasi
yang terjadi dikarenakan melalui kepatuhan, pasien akan berupaya termotivasi
untuk menghindari faktor apa saja yang tidak boleh dilakukan pasien gagal ginjal
kronik seperti mengurangi frekuensi minum kurang lebih 5 gelas sehari sehingga
tidak terjadi peningkatan berat badan akibat asupan cairan yang dapat
menyebabkan terjadi edema paru dan hipertensi, pasien juga menghindari
makanan yang bayak mengandung kaliun seperti buah-buahan yang dapat
menyebabkan hiperkalemi serta pasien akan patuh mengatur diet makan tinggi
protein dan kalsium untuk mencegah hipokalsemia yang dapat menyebabkna
tulang kerpos dan gatal-gatal.
Pendapat ini sesuai dengan penjelasan Siswadi Y, et,al (2009) yang
menjelaskan bahwa pengaturan diet merupakan faktor yang perlu
dipertimbangkan pada saat penderita membutuhkan inisiasi dialisis karena
merupakan prediktor untuk hasil akhir yang bisa dicapai dan adanya malnutrisi
protein-energi merupakan faktor risiko mortalitas. Pangaturan diet sesuai dengan
rekomendasi kebutuhan nutrien penderita hemodialisis berkesinambungan
menurut NKF-K/DOQI. Lebih lanjut Siswandi, et al (2009) juga mengatakan
bahwa Mengontrol asupan cairan merupakan salah satu masalah utama bagi
pasein dialisis. Karena dalam kondisi normal manusia tidak dapat bertahan lebih
lama tanpa asupan cairan dibandingkan dengan makanan. Namun bagi penderita
penyakit gagal ginjal kronik harus melakukan pembatasan asupan cairan untuk
meningkatkan kualitas hidupnya. Peningkatan berat badan mengidentifikasi
kelebihan cairan. Kenaikan yang diterima adalah 0,5 kg per tiap 24 jam diantara
waktu dialysis. Kelebihan cairan yang terjadi dapat dilihat dari terjadinya
penambahan berat badan secara cepat, penambahan berat badan 2% dari berat
badan normal merupakan kelebihan cairan ringan, penambahan berat badan 5%
merupakan kelebihan cairan sedang, penambahan 8% merupakan kelebihan cairan
berat.
Penjelasan lain juga dikemukakan oleh Kim (2010) bahwa kepatuhan
memainkan peranan penting dalam kelangsungan hidup pasien. Untuk mengelola
43
keberhasilan penyakit kronis, individu harus bertanggung jawab dalam banyak
aspek pengobatan mereka sendiri secara teratur dan jangka panjang, sehingga
untuk mewujudkan kepatuhan, pasien perlu menggabungkan perubahan gaya
hidup dan perubahan perilaku lainnya menjadi rutinitas mereka sehari-hari. Pada
pasien CKD dengan hemodialisis, secara umum ketidakpatuhan meliputi 4
(empat) aspek yaitu ketidakpatuhan mengikuti program hemodialisis (0 % - 32,3
%), ketidakpatuhan dalam program pengobatan (1,2 % - 81 %), ketidakpatuhan
terhadap restriksi cairan (3,4 % - 74%) dan ketidakpatuhan mengikuti program
diet (1,2 – 82,4 %).
Hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Isroin (2013) tentang Manajemen Cairan pada Pasien Hemodialisis
Untuk Meningkatkan Kualitas Hidup di RSUD Dr. Harjono Ponorogo. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pengaturan cairan pada kelompok perlakuan
secara signifikan (0,039) menurunkan komplikasi edema disbanding dengan
kelompok tang tidak melakukan pengaturan cairan. Hasil penelitian Kuniawati
(2014) juga menemukan adanya pengaruh yang signifikan kepatuhan intake cairan
pasien terhadap penurunan tekanan darah sistolik dan kenaikan bera badan pasien.
Namun dalam penelitian ini terdapat pasien yang patuh menjalani program
hemodialisa tetapi mengalami komplikasi. Hal ini dapat disebabkan oleh penyakit
penyerta sebelumnya sehingga walaupun pengaturan program dialysis sudah
dilakukan namun hal ini belum tentu bias mengurangi komplikasi karena
komplikasi terjadi akibat penyakit lain seperti diabetes militus dimana penyakit ini
secara langsung berdampak pada kerusakan pada sistim tubuh termasuk sistim
pada organ ginjal dan jantung yang merupakan faktor yang memperberat penyakit
gagal ginjal kronik.
4.4 Keterbatasan Penelitian
Dalam penelitian ini juga terdapat keterbatasan yang alami peneliti
diantaranya adalah pasien yang menjalani hemodialisa saat akan mengisi
kuisioner cenderung menjawab semua yang ditanyakan secara subyektif sehingga
hasilnya sesuai dengan apa yang dijawab walaupun kenyataannya tidak demikian.
Keterbatasan lain adalah pasien saat akan dilakukan wawancara sebagai data
44
penunjang kadang-kadang masih dalam kondisi istirahat sehingga tidak
memungkinkan dilakukan wawancara.
45