Lapsus Kejang Demam
Lapsus Kejang Demam
PENDAHULUAN
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
sisi, atau kejang umum yang didahului kejang parsial. Kejang juga dapat
terjadi berulang lebih dari satu kali dalam 24 jam (pusponegoro 2006).
2.1.6.1. Demam
Demam merupakan faktor resiko bangkitan kejang demam yang
utama (Fuadi,2010).
Bangkitan kejang demam terbanyak terjadi pada kenaikan suhu
sebesar 38,9oC-39,9oC. Kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal ion,
metabolism seluler, dan produksi ATP. Peningkatan suhu sebesar 1oC akan
meningkatkan metabolisme karbohidrat sebesar 10%-15%. Rasio sirkulasi
otak terhadap sirkulasi tubuh pada anak jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan orang dewasa. Sirkulasi otak pada anak yang berusia tiga tahun
6
mencapai 65% dari seluruh tubuh, dibandingkan pada orang dewasa yang
hanya 18%. Peningkatan suhu tubuh akan meningkatkan kebutuhan
glukosa dan oksigen. Demam yang tinggi dapat menyebabkan hipoksia
jaringan otak. Dalam kondisi aerob, satu molekul glukosa yang melalui
proses glikolisis, siklus asam sitrat, dan transpor elektron menghasilkan 38
molekul ATP, sedangkan dalam keadaan hipoksia metabolisme glukosa
berjalan anaerob, satu molekul glukosa hanya menghasilkan 2 ATP,
sehingga pada keadaan hipoksia terjadi kekurangan energi, hal ini akan
mengganggu fungsi pompa Na+ dan reuptake glutamat oleh sel glia. Hal ini
mengakibatkan masuknya Na+ ke dalam sel meningkat dan timbunan
glutamat ekstrasel. Timbunan glutamat ekstrasel akan meningkatkan
permeabilitas membran sel terhadap Na+ sehingga semakin meningkatkan
masuknya Na+ ke dalam sel. Demam sendiri akan meningkatkan mobilitas
dan benturan ion terhadap membran sel sehingga akan mempermudah
masuknya Na+ ke dalam sel. Masuknya Na+ menyebabkan depolarisasi sel
(Fuadi, 2010; Volpe, 2008). Selain itu, demam dapat merusak neuron
GABA-ergik sehingga fungsi inhibisi terganggu (Chen, 1999).
7
pada korteks otak dan peningkatan konsentrasi glutamat ini berhubungan
dengan penurunan ambang kejang (Morimoto, 1993).
8
neuron sehingga menyebabkan modifikasi proses regresif (Volpe, 2008;
Stiles, 2010).
Developmental window merupakan masa perkembangan otak fase
organisasi yaitu pada waktu anak berusia kurang dari dua tahun. Sehingga
anak yang berusia kurang dari dua tahun lebih rentan terhadap bangkitan
kejang karena otak yang imatur. Otak yang imatur memiliki reseptor
glutamat yang padat dan aktif, sebaliknya reseptor GABA kurang aktif,
sehingga otak imatur lebih mudah tereksitasi dibandingkan otak matur
(Fuadi, 2010; Johnston, 2007).
Otak yang imatur memiliki kadar Corticotropin-Releasing Hormone
(CRH) yang tinggi pada hipokampus. CRH merupakan neuropeptid
endogen prokonvulsan. Kadar CRH yang tinggi ini berpotensi untuk
menimbulkan kejang yang dipicu oleh demam (Hollrigel, 1998).
9
demam yang lebih rendah dibandingkan dengan anak dengan kejang
demam bilateral dan berlangsung singkat (18% berbanding 35%). Anak
dengan riwayat kejang demam unilateral ternyata memiliki kejadian
abnormalitas antenatal dan perinatal yang lebih tinggi (Lumbantobing,
2004).
Kanal ion berperan penting dalam eksitabilitas neuron.
Channelopathy merupakan defek dari kanal ion yang bersifat herediter,
dimana terjadi kelainan pembentukan protein kanal ion pada waktu
penggabungan asam amino, sehingga menyebabkan membran sel menjadi
hipereksitabel. Kanal K+ berperan dalam mempertahankan potensial
membran dan repolarisasi setelah potensial aksi. Mutasi pada gen KCNQ2
atau KCNQ3 dapat menurunkan fungsi dari kanal K +. Kanal Na+berperan
untuk depolarisasi membran. Mutasi gen pada kanal Na seperti SCN1A
menyebabkan peningkatan fungsi kanal Na+, sehingga terjadi
hipereksitabilitas neuron. Reseptor GABAA merupakan kanal kanal Cl- yang
memediasi aktivitas inhibisi neuron, dimana aktivasi reseptor ini
menyebabkan influks Cl-. Mutasi pada GABRG2 yang mengode subunit γ2
dari reseptor GABAA menyebabkan penurunan inhibisi pada sinaps
sehingga terjadi hipereksitabilitas neuron (George Jr., 2004).
10
dari 20 tahun dan 29% bayi dilahirkan pada saat ibunya berusia 35 tahun
atau lebih.
11
mendapatkan bahwa anak dengan kejang demam lebih sering memiliki
berat lahir rendah.
12
neuron inhibitor dan hipereksitabilitas neuron eksitator. Hipotesis yang lain
menyatakan bahwa jalur eksitator abnormal yang terbentuk akibat
reorganisasi setelah trauma. Kejang lebih umum terjadi pada bayi dan
hewan coba immature. Kejang tertentu pada anak bersifat spesifik
terhadap usia, hal ini disebabkan karena otak yang belum berkembang
sempurna. Otak yang belum berkembang sempurna, lebih rentan terhadap
kejang dibandingkan dengan otak pada anak yang lebih tua atau dewasa.
Selain itu, otak immature lebih eksitabel dibandingkan otak matur. Hal
tersebut dapat dilihat dari peran glutamate yang dominan. Sedangkan
GABA yang merupakan neurotransmitter inhibitor utama, sering secara
berlawanan menyebabkan eksitasi pada otak immature. Substansia nigra
memiliki peran terhadap timbulnya kejang umum. Aktifitas kejang
elektrografik menyebar dalam substansia nigra, menyebabkan peningkatan
uptake 2-deoksiglukosa pada hewan dewasa, tetapi tidak ada atau sedikit
aktivitas metabolic dalam substansia nigra ketika hewan immature
mengalami kejang. Selain itu, substansia nigra yang immature mungkin
berperan dalam peningkatan kerentanan terhadap kejang. Substansia nigra
pars retikulata yang sensitive GABA berperan dalam pencegahan demam.
Nampaknya jalur aliran keluar substansia nigra memodulasi dan mengatur
penyebaran kejang tetapi tidak menyebabkan timbulnya bangkitan kejang
(Johnston, 2007).
13
Dikatakan kejang demam kompleks bila salah satu sisi tubuh
berkedut dengan sangat hebat,kejang yang terjadi lebih lama dari
15 menit.
14
menyebabkan rekurensi kejang demam antara lain usia kurang dari 18
bulan, durasi demam kurang dari satu jam sebelum onset kejang, riwayat
keluarga dengan kejang demam (first-degree relative), suhu kurang dari
40°C (Graves, 2012).
15
DAFTAR PUSTAKA
16
Herrgard, EA, Karvonen, M, Luoma, L, Saavalainen, P, Maatta, S,
Laukkanen, E, et al. 2006, ‘Increased number of febrile seizures in
children born very preterm: relation of neonatal, febrile and epileptic
seizures and neurological dysfunction to seizure outcome at 16 years
of age’, Seizure, vol. 15, no. 8, pp. 590-7.
Hirtz, DG 1997, ‘Pediatrics in Review’, Pediatrics, vol. 18, no.1, pp. 5-9.
Hollrigel, GS, Chen, K, Baram, TZ, Soltesz,I 1998, ‘The pro-convulsant
actions of corticotropin-releasing hormone in the hippocampus of
infant rats’, Neuroscience, vol.84, no. 1, pp. 71-9.
Johnston, MV 2007, Seizures inChildhood, in Kliegman, RM, Behrman, RE,
Jenson, HB, Stanton, BF, Nelson Textbok of Pediatrics, 18th edn,
Saunders Elsevier, Philadelphia.
Kang, J, Shen, W, Macdonald, RL 2006, ‘Why Does Fever Trigger Febrile
Seizures? GABAA Receptor γ2 Subunit Mutations Associated with
Idiopathic Generalized Epilepsies Have Temperature-Dependent
Trafficking Deficiencies’, Jneurosci, vol. 26, no. 9, pp. 2590-97.
Kipp, KH, Opitz, B, Becker, M, Hofmann, J, Krick, C, Gortner, L, et al. 2012,
‘Neural Correlates of Recognition Memory in Children with Febrile
Seizures: Evidence from Functional Magnetic Resonance Imaging’,
Frontier in Human Neuroscience, vol. 6, no. 17, pp. 1-11.
Knudsen, FU 2000, ‘Febrile Seizures: Treatment and Prognosis’, Epilepsia,
vol. 1, no. 1, pp. 2-9.
Lieberman, E, Eichenwald, Mathur, G, Richardson, D, Heffner, L, Cohen, A
2000, ‘Intrapartum Fever and Unexplained Seizures in Term Infants’,
Pediatrics, vol. 106, no. 5, pp. 983-8.
Lumbantobing, SM, 2004, Kejang Demam (Febrile Convulsions), Balai
Penerbit FKUI, Jakarta.
Mahyar, A, Ayazi, P, Fallahi, M, Javadi, A 2010, ‘Risk Factors of the First
Febrile Seizures in Iranian Children’, International Journal of
Pediatrics, vol. 2010, ID 862897.
17
Malkiel, A, Pnina, M, Aloni, H, Gdansky, E, Grisaru-Granovsky, S 2008,
‘Primiparity: a traditional intrapartum obstetric risk reconfirmed’, Isr
Med Assoc J, vol. 10, no. 7, pp. 508-11.
Mikati, MA, Rahi, AC 2003, ‘Febrile seizures in children’, Practical
Neurology, vol. 3, no. 2, pp. 78-85.
Morimoto, T, Nagao, H, Yoshi,atsu, M, Yoshida, K, Matsuda, H 1993,
‘Pathogenic role of glutamate in hyperthermia-induced seizures’,
Epilepsia, vol. 34, no. 3, pp. 447-52.
Notoadmodjo, S 2003, ‘Pendidikan dan Perilaku Kesehatan’, Rineka
Cipta,Jakarta.
Pusponegoro, HD (ed.), 2006, Konsensus Penatalaksanaan Kejang
Demam, Badan Penerbit IDAI, Jakarta.
Schwenk, TL 2008, ‘Febrile Seizures and Mortality Risk in Children’, Journal
Watch, vol. 7, no. 8.
Shinnar, S, 2012, Febrile Seizures, in Swaiman, KF, Pediatric Neurology
Principles and Practice, 5th edn, Saunders Elsevier, Philadelphia,
pp. 790-9.
Soetomenggolo, TS 1999, Buku Ajar Neurologi Anak, Ikatan Dokter Anak
Indonesia, Jakarta.
Steering Committee on Quality Improvement and Management
2008,‘Febrile Seizures: Clinical Practice Guideline for the Long-term
Management of the Child With Simple Febrile Seizures’, Pediatrics,
vol. 121, no. 6, pp. 1281-6.
Stiles, J, Jernigan, TL 2010, ‘The Basics of Brain Development’,
Neuropsychol Rev., vol. 20, no. 4, pp. 327-48.
Stoll, BJ, Adams-Chapman, I 2007, The High-Risk Infant, in Kliegman, RM,
Behrman, RE, Jenson, HB, Stanton, BF, Nelson Textbok of
Pediatrics, 18th edn, Saunders Elsevier, Philadelphia.
18
Taylor, CP, Geer, JJ, Burke, SP 1992, ‘Endogenous extracellular glutamate
accumulation in rat neocortical cultures by reversal of the
transmembrane sodium gradient’, Neurosci Lett., vol. 145, no. 2, pp.
197-200.
19
Volpe, JJ 2008, Neurology of the Newborn, ed. 5, Saunders Elsevier,
Philadelphia.
20