Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kejang Demam


2.1.1. Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan
suhu tubuh (suhu rectal diatas 38°C) yang disebabkan oleh suatu proses
ekstrakranium. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa disertai demam,
kemudian kejang demam kembali tidak termasuk kejang demam. Kejang
yang disertai demam pada bayi dengan usia dibawah satu bulan juga tidak
termasuk kejang demam (Pusponegoro, 2006).
2.1.2. Etiologi Kejang Demam
Penyakit apapun yang menyebabkan demam (temperature tinggi),
dapat menyebabkan kejang demam. Penyebab paling banyak yaitu infeksi
telinga, batuk, menggigil, flu dan infeksi virus lainnya sedangkan penyakit
paling sedikit yaitu pneumonia, infeksi ginjal, meningitis. (ref 5)

2.1.3. Kriteria usia kejang demam


Umumnya terjadi pada usia antara 18 bulan dan 3 tahun dan jarang
pada umur dibawah 6 bulan dan diatas 6 tahun (ref 5).

2.1.4. Klasifikasi Kejang Demam


Kejang demam dapat dibagi menjadi kejang demam sederhana dan
kejang demam kompleks.
Kejang demam sederhana adalah kejang demam yang berlangsung
singkat, kurang dari 15 menit, dan umumnya akan berhenti sendiri.Kejang
bersifat umum tonik klinik dan tidak disertai gerakan fokal. Selain itu, kejang
ini tidak berulang dalam waktu 24 jam.
Kejang demam kompleks adalah kejang demam yang berlangsung
lama, yaitu lebih dari 15 menit. Kejang bersifat fokal, atau parsial atau satu

5
sisi, atau kejang umum yang didahului kejang parsial. Kejang juga dapat
terjadi berulang lebih dari satu kali dalam 24 jam (pusponegoro 2006).

2.1.5. Epidemiologi Kejang Demam


Kejang demam merupakan tipe kejang yang paling umum pada
anak, terjadi pada 2-5% anak-anak dengan usia di antara 6 sampai 60 bulan
dengan insiden tertinggi terjadi pada usia 18 bulan. 90% bangkitan kejang
demam terjadi pada usia dibawah 5 tahun. Di Jepang, 9-10% anak pernah
mengalamu kejang demam, dan 14% telah dilaporkan di kepulauan
Mariana, Guam (Shinar 2012 ; Fuadi, 2010). Prevalensi kejang demam
pada laki-laki tidak berbeda secara signifikan dibandingkan wanita. Sekitar
80% kasus kejang demam merupakan kejang demam sederhanana (verity,
1985).
Kejang demam umumnya didahului oleh onset demam. Hanya 21%
anak mengalamu bangkitan kejang dalam satu jam onset demam, 57%
setelah 1-24 jam onset demam, dan 22% setelah lebih dari 24 jam onset
demam (shinar, 2012).

2.1.6. Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam


Faktor Risiko bangkitan kejang demam antara lain demam, usia,
riwayat kejang demam dalam keluarga, riwayat prenatal (usia ibu saat
hamil), riwayat periinatal (usia kehamilan ibu). (Fuadi, 2010).

2.1.6.1. Demam
Demam merupakan faktor resiko bangkitan kejang demam yang
utama (Fuadi,2010).
Bangkitan kejang demam terbanyak terjadi pada kenaikan suhu
sebesar 38,9oC-39,9oC. Kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal ion,
metabolism seluler, dan produksi ATP. Peningkatan suhu sebesar 1oC akan
meningkatkan metabolisme karbohidrat sebesar 10%-15%. Rasio sirkulasi
otak terhadap sirkulasi tubuh pada anak jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan orang dewasa. Sirkulasi otak pada anak yang berusia tiga tahun

6
mencapai 65% dari seluruh tubuh, dibandingkan pada orang dewasa yang
hanya 18%. Peningkatan suhu tubuh akan meningkatkan kebutuhan
glukosa dan oksigen. Demam yang tinggi dapat menyebabkan hipoksia
jaringan otak. Dalam kondisi aerob, satu molekul glukosa yang melalui
proses glikolisis, siklus asam sitrat, dan transpor elektron menghasilkan 38
molekul ATP, sedangkan dalam keadaan hipoksia metabolisme glukosa
berjalan anaerob, satu molekul glukosa hanya menghasilkan 2 ATP,
sehingga pada keadaan hipoksia terjadi kekurangan energi, hal ini akan
mengganggu fungsi pompa Na+ dan reuptake glutamat oleh sel glia. Hal ini
mengakibatkan masuknya Na+ ke dalam sel meningkat dan timbunan
glutamat ekstrasel. Timbunan glutamat ekstrasel akan meningkatkan
permeabilitas membran sel terhadap Na+ sehingga semakin meningkatkan
masuknya Na+ ke dalam sel. Demam sendiri akan meningkatkan mobilitas
dan benturan ion terhadap membran sel sehingga akan mempermudah
masuknya Na+ ke dalam sel. Masuknya Na+ menyebabkan depolarisasi sel
(Fuadi, 2010; Volpe, 2008). Selain itu, demam dapat merusak neuron
GABA-ergik sehingga fungsi inhibisi terganggu (Chen, 1999).

2.1.6.2. Faktor Lama Demam


Pada kebanyakan kasus, kejang demam timbul dalam kurun waktu
kurang dari 24 jam pertama sejak dimulainya demam. Cepat naiknya suhu
berperan dalam timbulnya kejang demam (Lumbantobing, 2004). Wegman
(1939) mendapatkan bahwa bangkitan kejang sering terjadi pada anak
kucing yang diberikan kenaikan suhu yang cepat, sedangkan pada
kenaikan suhu yang perlahan (lebih dari 100 menit) bangkitan kejang jarang
terjadi. Glutamat, neurotransmiter eksitator utama, dilepaskan oleh neuron
selama aktifitas sinaptik. Glutamat yang dilepaskan ini secara normal di-
uptake oleh sel glia dan diubah menjadi glutamin melalui enzim glutamin
sintetase. Glutamin kemudian ditransport kembali ke neuron yang dapat
mengubah glutamin menjadi glutamat kembali (van Gassen, 2009).
Peningkatan suhu tubuh secara cepat meningkatkan pelepasan glutamat

7
pada korteks otak dan peningkatan konsentrasi glutamat ini berhubungan
dengan penurunan ambang kejang (Morimoto, 1993).

2.1.6.3 Faktor Usia


Perkembangan otak dibagi dalam enam fase, yaitu: 1) neurulasi (3-
7 minggu kehamilan), 2) perkembangan prosensefalik (1-2 bulan
kehamilan), 3) proliferasi neuron (2-4 bulan kehamilan), 4) migrasi neuron
(3-5 bulan kehamilan), 5) organisasi (5 bulan kehamilan – postnatal), dan
6) mielinasi (terutama terjadi postnatal). Fase neurulasi sampai migrasi
neuron berlangsung intrauteri sedangkan fase organisasi dan mielinasi
masih berlangsung beberapa tahun postnatal. Kejang demam terjadi pada
fase organisasi sampai mielinasi. Fase organisasi merupakan fase yang
rawan apabila mengalami bangkitan kejang. Fase organisasi terdiri dari: 1)
pembentukan dan diferensiasi neuron pada subplate, 2) laminasi, 3)
pertumbuhan neurit (pembentukan cabang dendrit dan akson), 4)
sinaptogenesis, 5) kematian sel dan eliminasi prosesus neuron dan sinaps,
6) proliferasi dan diferensiasi sel glia. Pada fase pembentukan dan
diferensiasi neuron pada subplate terjadi diferensiasi morfologis dan
menghasilkan variasi reseptor neurotransmiter eksitator dan inhibitor.
Pembentukan reseptor eksitator terjadi lebih awal dibandingkan reseptor
inhibitor. Laminasi merupakan merupakan proses penjajaran, orientasi, dan
pelapisan neuron pada korteks. Selanjutnya, pertumbuhan neurit menjadi
aktivitas dominan pada korteks. Perkembangan sinaptik terjadi berbeda-
beda pada tiap regio otak. Kematian sel dan eliminasi prosesus neuron dan
sinaps, atau disebut juga proses regresif, terjadi setelah pembentukan
neuron. Fase ini merupakan fase yang sangat kritis. Sekitar 50% neuron
akan mati sebelum menjadi matur. Proses kematian sel ini disebabkan oleh
ekspresi gen spesifik dan transkripsi produk yang dapat membunuh neuron.
Proses ini berperan dalam pengaturan jumlah interkoneksi neuron dan
eliminasi hubungan sinaptik yang menyimpang atau salah. Istilah
programmed cell death atau apoptosis juga sering dipakai pada fase ini.
Bangkitan kejang pada proses regresif dapat mengakibatkan trauma pada

8
neuron sehingga menyebabkan modifikasi proses regresif (Volpe, 2008;
Stiles, 2010).
Developmental window merupakan masa perkembangan otak fase
organisasi yaitu pada waktu anak berusia kurang dari dua tahun. Sehingga
anak yang berusia kurang dari dua tahun lebih rentan terhadap bangkitan
kejang karena otak yang imatur. Otak yang imatur memiliki reseptor
glutamat yang padat dan aktif, sebaliknya reseptor GABA kurang aktif,
sehingga otak imatur lebih mudah tereksitasi dibandingkan otak matur
(Fuadi, 2010; Johnston, 2007).
Otak yang imatur memiliki kadar Corticotropin-Releasing Hormone
(CRH) yang tinggi pada hipokampus. CRH merupakan neuropeptid
endogen prokonvulsan. Kadar CRH yang tinggi ini berpotensi untuk
menimbulkan kejang yang dipicu oleh demam (Hollrigel, 1998).

2.1.6.4 Faktor Riwayat Kejang dalam Keluarga


Kebanyakan peneliti mendapatkan bahwa kejang demam diturunkan
secara dominan dengan penetrasi yang mengurang dan ekspresi yang
bervariasi, atau melalui modus poligenik. 20-25% pasien kejang demam
memiliki first-degree relative (orang tua atau saudara kandung) yang juga
pernah mengalami kejang demam. Saudara kandung dari pasien kejang
demam memiliki risiko 10% untuk mengalami kejang demam. Akan tetapi
bila salah satu orang tua dan saudara kandung lain juga pernah mengalami
kejang demam, risiko akan meningkat menjadi 50% (Lumbantobing, 2004).
Verity (1985) mengungkapkan bahwa 29% anak dengan kejang
demam memiliki riwayat keluarga positif kejang demam. Tsuboi (1977)
mendapatkan bahwa kejadian kejang demam pada orang tua pasien kejang
demam adalah 18% dan pada saudara kandungnya adalah 22%. Annegers
(1979) mendapatkan bahwa risiko saudara kandung penderita kejang
demam untuk mengalami bangkitan kejang demam adalah dua sampai tiga
kali lebih besar daripada populasi umum.
Anak dengan kejang demam unilateral (dan yang sebagian besar
juga berlangsung lama) mempunyai riwayat keluarga dengan kejang

9
demam yang lebih rendah dibandingkan dengan anak dengan kejang
demam bilateral dan berlangsung singkat (18% berbanding 35%). Anak
dengan riwayat kejang demam unilateral ternyata memiliki kejadian
abnormalitas antenatal dan perinatal yang lebih tinggi (Lumbantobing,
2004).
Kanal ion berperan penting dalam eksitabilitas neuron.
Channelopathy merupakan defek dari kanal ion yang bersifat herediter,
dimana terjadi kelainan pembentukan protein kanal ion pada waktu
penggabungan asam amino, sehingga menyebabkan membran sel menjadi
hipereksitabel. Kanal K+ berperan dalam mempertahankan potensial
membran dan repolarisasi setelah potensial aksi. Mutasi pada gen KCNQ2
atau KCNQ3 dapat menurunkan fungsi dari kanal K +. Kanal Na+berperan
untuk depolarisasi membran. Mutasi gen pada kanal Na seperti SCN1A
menyebabkan peningkatan fungsi kanal Na+, sehingga terjadi
hipereksitabilitas neuron. Reseptor GABAA merupakan kanal kanal Cl- yang
memediasi aktivitas inhibisi neuron, dimana aktivasi reseptor ini
menyebabkan influks Cl-. Mutasi pada GABRG2 yang mengode subunit γ2
dari reseptor GABAA menyebabkan penurunan inhibisi pada sinaps
sehingga terjadi hipereksitabilitas neuron (George Jr., 2004).

2.1.6.5. Faktor Usia Ibu Saat Hamil


Ibu yang berusia di bawah 20 tahun atau lebih dari 35 tahun saat
hamil dapat menyebabkan berbagai komplikasi kehamilan dan persalinan.
Komplikasinya antara lain kelahiran prematur, bayi berat lahir rendah,
penyulit persalinan, dan partus lama. Keadaan tersebut dapat
menyebabkan asfiksia pada janin. Asfiksia ditandai dengan hipoksia dan
iskemia. Hipoksia dapat menyebabkan rusaknya faktor inhibisi dan
meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah menimbulkan
kejang bila ada rangsangan yang memadai (Fuadi, 2010).Lieberman (2000)
melakukan penelitian terhadap 38 bayi dengan kejang demam dan
mendapatkan bahwa 7,9% bayi dilahirkan pada saat ibunya berusia kurang

10
dari 20 tahun dan 29% bayi dilahirkan pada saat ibunya berusia 35 tahun
atau lebih.

2.1.6.6. Faktor Usia Kehamilan Ibu


Kelahiran prematur diduga berhubungan dengan peningkatan risiko
kejang demam (Visser et al., 2010). Kelahiran prematur merupakan proses
persalinan sebelum usia 37 minggu kehamilan (Cunningham,
2005).Penelitian yang dilakukan Vestergaard (2002) menunjukkan
hubungan yang sangat kuat antara kelahiran prematur dan kejang demam.
Kejang demam pada bayi yang lahir prematur disebabkan karena fungsi
otak yang belum optimal (Waruiru, 2004). Herrgard et al. (2006) melalui
penelitian prospektif terhadap 60 anak usia lima tahun yang lahir prematur
mendapatkan bahwa 27% anak mengalami kejang yang dipicu oleh
demam.

2.1.6.7. Riwayat Ibu Merokok Selama Kehamilan


Riwayat ibu yang merokok selama kehamilan telah dilaporkan
berhubungan dengan kejang demam, meskipun hasilnya tidak konsisten.
Hal ini dikarenakan merokok dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan
fetus dan perubahan kecil struktur otak (Visser et al., 2010). Rokok
mengurangi oksigenasi janin dan mengganggu aliran darah
janin(Vestergaard, 2005). Riwayat merokok pada ibu meningkatkan risiko
kejang demam sederhana dua kali lipat. Risiko kejang demam juga
dipengaruhi oleh besarnya dosis rokok. (Cassano, 1990).
2.1.6.8. Bayi Berat Lahir Rendah
Bayi berat lahir rendah (BBLR) didefinisikan sebagai bayi dengan
berat lahir kurang dari atau sama dengan 2.500 gram (Stoll, 2007).
Hubungan antara berat lahir dan kejang demam masih belum jelas.
Beberapa penelitian menemukan hubungan, sedangkan penelitian lain
tidak. Risiko kejang demam meningkat seiring dengan penurunan berat
badan (Vestergaard, 2002). Penelitian yang dilakukan Visser et al. (2010)

11
mendapatkan bahwa anak dengan kejang demam lebih sering memiliki
berat lahir rendah.

2.1.7. Patofisiologi Kejang Demam


Kejang demam terjadi pada usia yang spesifik, dimana terdapat
faktor-faktor yang mempengaruhi tahap perkembangan otak tertentu. Peran
faktor genetik dan lingkungan diduga terlibat dalam timbulnya kejang.
Faktor genetic mempengaruhi ambang kejang sehingga dapat menentukan
kerentanan terhadap timbulnya kejang yang dipucu oleh demam.
Peningkatan suhu otak mengubah banyak fungsi neuron, termasuk
beberapa kanal ion yang sensitif terhadap temperature. Hal ini dapat
mempengaruhi discharge neuron dan pembentukan aktivitas neuron yang
besar seperti kejang (Dube, 2009). Penelitian lain menunjukkan bahwa
interleukin-1β, sebuah sitokin proinflamatori pirogenik, terlibat dalam
bangkitan kejang demam pada hewan coba, sedangkan neuropeptid γ
dapat mencegah kejang demam dengan meningkatkan ambang kejang
(Kang, 2006).
Ada sumber lain yang menyatakan bahwa patofisiologi kejang
secara pasti belum diketahui. Ada beberapa faktor fisiologis yang berperan
dalam timbulnya kejang. Untuk memulai kejang, harus ada kelompok
neuron yang dapat menimbulkan suatu discharge dan kerusakan pada γ-
aminobutyric acid (GABA)-ergic inhibitory system. Transmisi discharge
sangat bergantung pada eksitasi sinaps glutamate-ergik. Neurotransmitter
asam amino eksitatir (glutamate dan aspartat) berperan dalam timbulnya
eksitasi neuronal melalui aksi terhadap reseptor spesifik. Kejang dapat
disebabkan oleh kerusakan neuron pada otak, dan daerah yang mengalami
kerusakan ini dapat menyebabkan hipereksitabiilitas sinaps yang dapat
menyebabkan kejang. Lesi pada lobus temporalis menyebabkan kejang,
dan bila jaringan normal ini diambil melalui pembedahan, kejang mungkin
berhenti. Ada dua hipotesis yang menyatakan bahwa kejang diakibatkan
oleh trauma otak. Hipotesis yang pertama adalah kerusakan sebagian

12
neuron inhibitor dan hipereksitabilitas neuron eksitator. Hipotesis yang lain
menyatakan bahwa jalur eksitator abnormal yang terbentuk akibat
reorganisasi setelah trauma. Kejang lebih umum terjadi pada bayi dan
hewan coba immature. Kejang tertentu pada anak bersifat spesifik
terhadap usia, hal ini disebabkan karena otak yang belum berkembang
sempurna. Otak yang belum berkembang sempurna, lebih rentan terhadap
kejang dibandingkan dengan otak pada anak yang lebih tua atau dewasa.
Selain itu, otak immature lebih eksitabel dibandingkan otak matur. Hal
tersebut dapat dilihat dari peran glutamate yang dominan. Sedangkan
GABA yang merupakan neurotransmitter inhibitor utama, sering secara
berlawanan menyebabkan eksitasi pada otak immature. Substansia nigra
memiliki peran terhadap timbulnya kejang umum. Aktifitas kejang
elektrografik menyebar dalam substansia nigra, menyebabkan peningkatan
uptake 2-deoksiglukosa pada hewan dewasa, tetapi tidak ada atau sedikit
aktivitas metabolic dalam substansia nigra ketika hewan immature
mengalami kejang. Selain itu, substansia nigra yang immature mungkin
berperan dalam peningkatan kerentanan terhadap kejang. Substansia nigra
pars retikulata yang sensitive GABA berperan dalam pencegahan demam.
Nampaknya jalur aliran keluar substansia nigra memodulasi dan mengatur
penyebaran kejang tetapi tidak menyebabkan timbulnya bangkitan kejang
(Johnston, 2007).

2.1.8 Tanda dan Gejala Kejang demam


Gejala utama dari kejang demam yaitu demam dan tubuh berkedut
atau gemetar. Gejala lainnya yaitu pasien kehilangan
kesadaran,mulut berbusa, muntah.

2.1.8.1 Kejang Demam Sederhana


Dikatakan kejang demam sederhana bila kedua sisi tubuh
berkedut dan terjadi kurang dari 15 menit

2.1.8.2 Kejang Demam Kompleks

13
Dikatakan kejang demam kompleks bila salah satu sisi tubuh
berkedut dengan sangat hebat,kejang yang terjadi lebih lama dari
15 menit.

2.1.10 Prognosis Kejang Demam


Prognosis kejang demam baik, sebagian besar sembuh sempurna.
Kejang demam pada anak tanpa masalah perkembangan yang
mendasari tidak memiliki efek neurologis jangka panjang. Kejang demam
tidak menyebabkan gangguan akademis, intelektual, atau tingkah laku anak
yang diukur pada usia sepuluh tahun (Graves, 2012). Akan tetapi, anak
dengan kejang demam berulang beresiko mengalami keterlambatan
perkembangan bahasa (Visser et al, 2012). Kejang demam juga
berhubungan demgam kerusakan hipokampus yang dapat menyebabkan
gangguan ingatan episodic (Kipp et al, 2012).
Hanya 2-7% anak dengan kejang demam mengalami epilepsy
(Mikati, 2003). Terdapat tiga faktor prediktif terhadap epilepsy: epilepsy
genetic pada keluarga, status perkembangan dan neurologis abnormal
sebelum kejang demam, dan kejang demam kompleks. Pada usia tujuh
tahun, epilepsy terjadi pada 0,5% anak tanpa kejang demam; 1,5% setelah
kejang demam sederhana; 4% setelah kejang demam kompleks (Knudsen,
2000).
Mortalitas akibat kejang demam sangat jarang (Graves, 2012).
Resiko kematian meningkat selama dua tahun pertama setelah kejang
demam pertama. Akan tetapi, resiko yang meningkat lebih tinggi ini
terdapat pada anak dengan abnormalitas neurologis, kejang demam
kompleks, kejang demam yang dipicu oleh suhu dibawah 39°C atau kejang
demam sebelum usia satu tahun (Schwenk, 2008).
Rekurensi terjadi pada 30% anak yang mengalami kejang demam
episode pertama, 50% setelah dua tahun atau lebih, dan 50% pada bayi
dengan usia dibawah satu tahun (Steering committee on quality
improvement and management, 2008). Faktor-faktor yang dapat

14
menyebabkan rekurensi kejang demam antara lain usia kurang dari 18
bulan, durasi demam kurang dari satu jam sebelum onset kejang, riwayat
keluarga dengan kejang demam (first-degree relative), suhu kurang dari
40°C (Graves, 2012).

2.1.11 Prevensi Kejang Demam


Cara mencegah terjadinya kejang demam yaitu menurunkan
temperature selama memiliki penyakit dengan demam, member anak
pakaian yang tipis atau membuka semua pakaian ketika di tempat yang
hangat, memberikan paracetamol atau ibuprofen.(ref 5)

15
DAFTAR PUSTAKA

Annegers, JF, Hauser, WA, Shirts, SB, Kurland, LT 1987, ‘Factors


Prognostic of Unprovoked Seizures after Febrile Convulsions’, N
Engl J Med, vol. 316, no. 9, pp. 493-8.
Annegers, JF, Hauser, WA, Elveback, LR, Kurland, LT 1979, ‘The Risk of
Epilepsy Following Febrile Convulsions’, Neurology, vol. 29, no. 3,
pp. 297-303.
Baram, TZ, Shinnar, S 2002, Febrile Seizures, Academic Press, San Diego.
Cassano, PA, Koepsell, TD, Farwell, JR 1990, ‘Risk of febrile seizures in
childhood in relation to prenatal maternal cigarette smoking and
alcohol intake’, Am J Epidemiol, vol. 132, no. 3, pp. 462-73.
Cunningham, FG, Leveno, KJ, Bloom, SL, Hauth, JC, Gilstrap, L,
Wenstrom, KD 2005, Williams Obstetrics, 22rd edn, McGraw-Hill,
New York.
Dube, CM, Brewster, AL, Baram, TZ 2009, ‘Febrile Seizures: Mechanisms
and Relationship to Epilepsy’, Brain Dev, vol. 31, no. 5, pp. 366-371.
Fuadi, Bahtera, T, Wijayahadi, N 2010, ‘Faktor Risiko Bangkitan Kejang
Demam pada Anak’, Sari Pediatri, vol. 12, no. 3, pp. 142-9.
Graves, RC, Oehler, K, Tingle, LE 2012, ‘Febrile Seizures: Risks,
Evaluation, and Prognosis’, American Family Physician, vol. 85, no.
2, pp. 149-53.
Hashim, N, Naqvi, S, Khanam, M, Jafry, HF 2012, ‘Primiparity as an
intrapartum obstetric risk factor’, J Pak Med Assoc, vol. 62, no. 7, pp.
694-8.

16
Herrgard, EA, Karvonen, M, Luoma, L, Saavalainen, P, Maatta, S,
Laukkanen, E, et al. 2006, ‘Increased number of febrile seizures in
children born very preterm: relation of neonatal, febrile and epileptic
seizures and neurological dysfunction to seizure outcome at 16 years
of age’, Seizure, vol. 15, no. 8, pp. 590-7.
Hirtz, DG 1997, ‘Pediatrics in Review’, Pediatrics, vol. 18, no.1, pp. 5-9.
Hollrigel, GS, Chen, K, Baram, TZ, Soltesz,I 1998, ‘The pro-convulsant
actions of corticotropin-releasing hormone in the hippocampus of
infant rats’, Neuroscience, vol.84, no. 1, pp. 71-9.
Johnston, MV 2007, Seizures inChildhood, in Kliegman, RM, Behrman, RE,
Jenson, HB, Stanton, BF, Nelson Textbok of Pediatrics, 18th edn,
Saunders Elsevier, Philadelphia.
Kang, J, Shen, W, Macdonald, RL 2006, ‘Why Does Fever Trigger Febrile
Seizures? GABAA Receptor γ2 Subunit Mutations Associated with
Idiopathic Generalized Epilepsies Have Temperature-Dependent
Trafficking Deficiencies’, Jneurosci, vol. 26, no. 9, pp. 2590-97.
Kipp, KH, Opitz, B, Becker, M, Hofmann, J, Krick, C, Gortner, L, et al. 2012,
‘Neural Correlates of Recognition Memory in Children with Febrile
Seizures: Evidence from Functional Magnetic Resonance Imaging’,
Frontier in Human Neuroscience, vol. 6, no. 17, pp. 1-11.
Knudsen, FU 2000, ‘Febrile Seizures: Treatment and Prognosis’, Epilepsia,
vol. 1, no. 1, pp. 2-9.
Lieberman, E, Eichenwald, Mathur, G, Richardson, D, Heffner, L, Cohen, A
2000, ‘Intrapartum Fever and Unexplained Seizures in Term Infants’,
Pediatrics, vol. 106, no. 5, pp. 983-8.
Lumbantobing, SM, 2004, Kejang Demam (Febrile Convulsions), Balai
Penerbit FKUI, Jakarta.
Mahyar, A, Ayazi, P, Fallahi, M, Javadi, A 2010, ‘Risk Factors of the First
Febrile Seizures in Iranian Children’, International Journal of
Pediatrics, vol. 2010, ID 862897.

17
Malkiel, A, Pnina, M, Aloni, H, Gdansky, E, Grisaru-Granovsky, S 2008,
‘Primiparity: a traditional intrapartum obstetric risk reconfirmed’, Isr
Med Assoc J, vol. 10, no. 7, pp. 508-11.
Mikati, MA, Rahi, AC 2003, ‘Febrile seizures in children’, Practical
Neurology, vol. 3, no. 2, pp. 78-85.
Morimoto, T, Nagao, H, Yoshi,atsu, M, Yoshida, K, Matsuda, H 1993,
‘Pathogenic role of glutamate in hyperthermia-induced seizures’,
Epilepsia, vol. 34, no. 3, pp. 447-52.
Notoadmodjo, S 2003, ‘Pendidikan dan Perilaku Kesehatan’, Rineka
Cipta,Jakarta.
Pusponegoro, HD (ed.), 2006, Konsensus Penatalaksanaan Kejang
Demam, Badan Penerbit IDAI, Jakarta.
Schwenk, TL 2008, ‘Febrile Seizures and Mortality Risk in Children’, Journal
Watch, vol. 7, no. 8.
Shinnar, S, 2012, Febrile Seizures, in Swaiman, KF, Pediatric Neurology
Principles and Practice, 5th edn, Saunders Elsevier, Philadelphia,
pp. 790-9.
Soetomenggolo, TS 1999, Buku Ajar Neurologi Anak, Ikatan Dokter Anak
Indonesia, Jakarta.
Steering Committee on Quality Improvement and Management
2008,‘Febrile Seizures: Clinical Practice Guideline for the Long-term
Management of the Child With Simple Febrile Seizures’, Pediatrics,
vol. 121, no. 6, pp. 1281-6.
Stiles, J, Jernigan, TL 2010, ‘The Basics of Brain Development’,
Neuropsychol Rev., vol. 20, no. 4, pp. 327-48.
Stoll, BJ, Adams-Chapman, I 2007, The High-Risk Infant, in Kliegman, RM,
Behrman, RE, Jenson, HB, Stanton, BF, Nelson Textbok of
Pediatrics, 18th edn, Saunders Elsevier, Philadelphia.

18
Taylor, CP, Geer, JJ, Burke, SP 1992, ‘Endogenous extracellular glutamate
accumulation in rat neocortical cultures by reversal of the
transmembrane sodium gradient’, Neurosci Lett., vol. 145, no. 2, pp.
197-200.

Tsuboi, T 1977, ‘Genetic aspects of febrile convulsions’, Hum Genet, vol.


38, no. 2, pp. 169-73.
van Gassen, KLI, van der Hel, WS, Hakvoort, TBM, Lamers, WH, de Graan,
PNE 2009, ‘Haploinsufficiency of glutamine synthetase increases
susceptibility to experimental febrile seizures’, Genes, Brain and
Behavior, vol. 8, pp. 290-5.
Verity, CM, Butler, NR, Golding, J 1985, ‘Febrile convulsions in a national
cohort followed up frombirth. I-Prevalence and recurrence in the first
five years of life’, British Medical Journal, vol. 290, no. 6478, pp.
1307-10.
Vestergaard, M, Basso, O, Henriksen, TB, Ostergaard, J, Secher, NJ,
Olsen, J 2002, ‘Risk Factors for Febrile Convulsions’, Epidemiology,
vol. 13, no. 3, pp. 282-7.
Vestergaard, M, Basso, O, Henriksen, TB, Ostergaard, J, Secher, NJ,
Olsen, J 2003, ‘Pre-eclampsia and febrile convulsions’, Arch Dis
Child, vol. 88, no. 8, pp. 726-7.
Vestergaard, M, Wisborg, K, Henriksen, TB, Secher, NJ, Ostergaard, JR,
Olsen, J 2005, ’Prenatal Exposure to Cigarettes, Alcohol, and Coffee
and Risk for Febrile Seizures’, Pediatrics, vol. 116, no. 5, pp. 1089-
94.
Visser, AM, Jaddoe, VW, Ghassabian, A, Schenk, JJ, Verhulst, FC,
Hofman, A, et al. 2012, ‘Febrile seizures and behavioural and
cognitive outcomes in preschool children: the Generation R study’,
Dev Med Child Neurol, vol. 54, no. 11, pp. 1006-11.
Visser, AM, Jaddoe, VWV, Hofman, A, Moll, HA, Steegers, AP, Tiemeier,
H, et al. 2010. ‘Fetal Growth Retardation and Risk of Febrile
Seizures’, Pediatrics, vol. 126, no. 4, pp. e919-e25.

19
Volpe, JJ 2008, Neurology of the Newborn, ed. 5, Saunders Elsevier,
Philadelphia.

20

Anda mungkin juga menyukai