Anda di halaman 1dari 2

3 Pendidikan Tinggi Berkontribusi Terhadap Tingginya Angka Pengangguran di

Indonesia

Pendidikan Tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang


mencakup program diploma, program sarjana, program magister, program doktor, dan program
profesi, serta program spesialis, yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi berdasarkan
kebudayaan bangsa Indonesia.
Pro:
 Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi mencatat sekitar 8,8% dari total 7
juta pengangguran di Indonesia adalah sarjana. Kondisi tersebut sangat mengkhawatirkan
mengingat persaingan untuk mendapatkan pekerjaan akan semakin ketat dengan datangnya
Revolusi Industri 4.0.
 Selain bersaingan dengan mesin berbasis teknologi canggih, sekitar 630.000 sarjana
pengangguran tersebut juga harus beradu kompetensi dan keahlian tertentu dengan pekerja
asing yang datang dari terbukanya pasar bebas.
 Kesulitannya sarjana menembus dunia kerja karena relevansi antara mutu perguruan tinggi
dan kebutuhan dunia industri masih rendah. Kemenristekdikti mendata, 2017, jumlah
tenaga kerja lulusan perguruan tinggi hanya sebesar 17,5%. Persentase tersebut jauh lebih
kecil ketimbang tenaga kerja lulusan SMK/SMA yang mencapai 82%, sedangkan lulusan
SD mencapai 60%.
 Nilai IPK mungkin menjadi salah satu kriteria saja, tapi bukan menjadi tolak ukur utama
 Ibu Susi Pudjiastuti, lulusan SMP yang mampu menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan
 Orientasi fresh graduate umumnya menjadi pegawai daripada berinovasi/berwirausaha
 Mutu pendidikan di Indonesia masih rendah, hal ini dibuktikan dengan survey universitas
Internasional seperti webometrics yang menyebutkan Indonesia masih belum mampu
menembus 100 Top Universitas di dunia dan Top 20 Universtas Asia.

Kontra:
 Masyarakat luas, ataupun pemerintah tidak dapat begitu saja menuduh ataupun menganggap
lulusan perguruan tinggi berpotensi menjadi beban pengangguran. Dan tudingan tersebut sering
kali dialamatkan kepada perguruan tinggi yang mencetak sarjana.

 Jika orientasi meningkatkan pendidikan menuju jenjang S1 adalah mendapatkan pekerjaan yang
layak dengan penghasilan yang lebih baik, tentu orientasi tersebut salah alamat. Apalagi jika
keinginan mendapatkan gelar sarjana adalah karena ingin bekerja di dalam sektor pemerintahan
menjadi Aparatur Sipil Negara, sebuah lapangan kerja yang jumlahnya terbatas untuk dapat
menampung para lulusan perguruan tinggi.
 Memang karakter masyarakat Indonesia dan Malaysia menurut hasil kajian Hofsteed (2010) dalam
bukunya berjudul “Culture And Organization” pada dimensi “Uncertainty Avoidance” atau
dimensi menghindari sesuatu yang tidak pasti, menunjukkan bahwa harapan memperoleh pekerjaan
di lingkungan pemerintahan adalah salah satu karakteristik masyarakat melayu yang menghindari
sesuatu yang tidak pasti. Menjadi ASN dianggap memiliki jaminan penghasilan dan kepastian masa
depan.
 Melihat pada Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 8 Tahun 2012 tentang Kerangka
Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) yang kemudian dijabarkan didalam beberapa peraturan di
lingkungan pendidikan tinggi telahpundisusun desain KKNI untuk jenjang pendidikan S1 adalah
pada level 6 yang secara ringkas menuntut para lulusan sarjana mampu mengaplikasikan bidang
keahliannya dan memanfaatkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni pada bidangnya dalam
penyelesaian masalah serta mampu beradaptasi terhadap situasi yang dihadapi. Kemudian
menguasai konsep teoritis bidang pengetahuan tertentu secara umum dan konsep teoritis bagian
khusus dalam bidang pengetahuan tersebut secara mendalam, serta mampu memformulasikan
penyelesaian masalah prosedural. Dan yang terakhir tuntutan pada level 6 adalah mampu
mengambil keputusan yang tepat berdasarkan analisis informasi dan data, dan mampu memberikan
petunjuk dalam memilih berbagai alternatif solusi secara mandiri dan kelompok.Bertanggung
jawab pada pekerjaan sendiri dan dapat diberi tanggung jawab atas pencapaian hasil kerja
organisasi. Dengan demikian dapat kita lihat bahwa tuntutan dari seorang Sarjana itu bukanlah
harus menjadi pekerja, melainkan kemandirian dari seorang Sarjana untuk dapat mengaplikasikan
pengetahuandidalam memecahkan persoalan yang ada di sekitar secara bertanggungjawab dengan
keilmuannya. Oleh karena itu seorang sarjana harus dapat membuka lapangan pekerjaan dengan
pengetahuan yang dimiliki sesuai dengan bidang-bidang pengetahuan.
Dengan kemampuan membuka lapangan pekerjaan tersebut lulusan sarjana bukan lagi menjadi
beban bertambahnya jumlah pengangguran tapi dapat membuka lapangan pekerjaan, dengan
asumsibahwa setiap mereka membutuhkan tenaga kerja untuk membantunya dalam berusaha maka
setiap tahunnya akan terbuka lapangan pekerjaan baru. Saat ini tidak ada perguruan tinggi,
khususnya penyelenggara pendidikan tinggi tingkat sarjana di Indonesia yang mendesain
kurikulumnya untuk menghasilkan lulusan yang siap dipakai bekerja. Melainkan setiap perguruan
tinggi yang menghasilkan lulusan S1, sudah sejak dari awal dalam merancang kurikulumnya
menjadikan lulusan sarjana yang siap untuk membuka lapangan pekerjaan. Mulai dari merancang
mata kuliah kewirausahaan, kemampuan komputer terapan, penguasaan bahasa inggris,
kemampuan “public speaking”, dan mewajibkan mengikuti Unit Kegiatan Kemahasiswaan, bahkan
Kuliah Kerja Nyata dan Kuliah Kerja Luar Negeri adalah antara lain upaya perguruan tinggi untuk
memandirikan para lulusannya.

 Founder Zenius, Sabda PS merupakan alumni ITB, achmad zaky founder bukalapak, cania
citta alumni UI founder GeoLife

 Saat ini beberapa kementerian seperti Kementerian Pemuda dan Olahraga telah membuka peluang
bagi munculnya para pengusaha-pengusaha muda melalui bantuan permodalan. Hanya saja
mentalitas entrepreneur masih harus terus didorong dan menjadi tanggungjawab perguruan tinggi
sejak masih dibangku kuliah sudah mulai menanamkan semangat entrepreneur tapi tidak
materialistis.

Anda mungkin juga menyukai