FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT BANJARBARU 2019 BAB I
ARTIKEL
Jual Obat Tanpa Resep Dokter dan Izin Edar BPOM, 7 Orang Ditangkap Polisi
JAKARTA, KOMPAS.com - Polisi menangkap tujuh tersangka penjual obat-
obatan yang masuk dalam daftar G (wajib dijual berdasarkan resep dokter) seperti Tramadok, Hexymer, Trihexyphenidyl, Alprazolam, dan Double LL. Masing-masing tersangka berinisial MY (19), MA (28), HS (29), MS (29), SF (29), ML (29) dan MD (18). Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono mengungkapkan, ketujuh tersangka itu menjual obat-obatan tersebut kepada konsumen tanpa resep dokter dan izin edar resmi dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Indonesia. Obat- obat itu dijual dengan harga senilai Rp 10.000 sampai Rp 25.000. Pengungkapan kasus penjualan obat-obatan itu berawal dari pengungkapan kasus serupa oleh Polsek Kembangan, Jakarta Barat pada Desember 2018. "Penjualan obat-obatan seperti ini ditemukan oleh Polsek Kembangan. Kemudian dilakukan evaluasi selama bulan Januari 2019 oleh Polda Metro Jaya dan ternyata ditemukan fakta kalau kegiatan seperti itu juga ditemukan di tujuh Tempat Kejadian Perkara (TKP) di lima wilayah DKI Jakarta," kata Argo di Polda Metro Jaya, Kamis (7/2/2019). Argo mengatakan, tujuh TKP yang diungkap Polda Metro Jaya terdiri dari lima toko kosmetik dan dua toko obat. Toko-toko tersebut telah menjual obat-obatan tanpa resep dokter selama setahun. Polisi pun mengamankan barang bukti dengan total 13.003 butir obat termasuk dalam daftar G dan uang hasil penjualan senilai Rp 5.672.000. "Pemilik toko kosmetik itu menjual obat-obatan seperti ini karena modus ya. Kalau yang toko obat menjual obat-obatan seperti ini karena ada sales yang menawarkan. Tapi ketika ditanya sales siapa, mereka jawab tidak kenal," ujar Argo. Nantinya, lanjut Argo, polisi akan mencari informasi indentitas sales yang menawarkan obat-obatan tersebut. "Jualan sudah setahun tapi enggak kenal sales-nya. Ini sedang kita dalami siapa (sales-nya)," katanya. Atas perbuatannya tersebut, ketujuh tersangka dijerat dengan Pasal 197 Jo Pasal 106 Ayat (1) Undang-undang RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan dengan ancaman hukuman penjara selama 15 tahun dan denda maksimal Rp 1,5 miliar serta Pasal 62 Ayat (1) Jo Pasal 8 Ayat (1) huruf a dan i Undang-undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dengan ancaman hukuman penjara selama 5 tahun dan denda maksimal Rp 2 Miliar. BAB II
ANALISIS KASUS
Sebagaimana diketahui bahwa obat merupakan produk kesehatan yang dalam
penggunaannya harus mengikuti tata cara dan persyaratan. Dalam penggunaannya harus berdasarkan resep dokter dan pihak yang memberikan obat harus memiliki izin sebagai apoteker dan tempat penjualan obat harus berizin baik berupa apotek maupun toko obat. Untuk memberikan jaminan keselamatan kepada masyarakat dan menghindari penyalahgunaan obat yang dijual melalui media online, Pemerintah seharusnya membuat regulasi terkait penjualan obat melalui media online (Ariyulinda, 2018). Salah satu sarana pendistribusian obat yang harus dijaga dalam rangka menjamin mutu obat adalah pedagang besar farmasi (PBF) yang merupakan perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin untuk pengadaan, penyimpanan, penyaluran obat dan/atau bahan obat dalam jumlah besar sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan. Setiap PBF harus memiliki apoteker penanggung jawab yang memiliki izin sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan ketentuan pengadaan, penyimpanan dan penyaluran obat dan/atau bahan obat. Dalam kasus diatas tidak ada memenuhi standar dari PBF dan menjual obat dengan harga murah dengan tidak ada resep dari dokter sangatlah merugikan bagi konsumen yang hanya tergiur dengan harga murah namun tidak menjami keselamatan nyawa mereka (Agustyani dkk, 2017). Dalam menjalankan usahanya, perusahaan farmasi menghasilkan produk yang disebut obat. Menurut Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, yang dimaksud dengan obat adalah Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia. Kemudian patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia. Obat dapat dibagi menjadi 4 (empat) golongan, yaitu (Syamsuni, 2007) : 1. Obat Bebas 2. Obat Bebas Terbatas 3. Obat Keras 4. Obat Psikotropika dan Narkotika. Dalam golongan obat bebas, unsur zat aktif yang terkandung dalam obat ini relatif aman sehingga pemakaiannya tidak memerlukan pengawasan tenaga kesehatan selama dminum sesuain petunjuk yang tertera pada kemasan obat. Obat bebas ditandai dengan dengan lingkaran berwarna hijau dengan garis tepi berwarna hitam. Sedangkan obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras tetapi masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter dan disertai dengan tanda peringatan. Golongan obat keras sering juga disebut dengan obat daftar G (dari kata gevaarlijk yang berarti berbahaya) hanya dapat diserahkan oleh apotek atas dasar resep dokter. Ketentuan tersebut bertujuan untuk mencegah penggunaan yang salah ataupun penyalahgunaan obat dari golongan ini (Syamsuni, 2007). Adapun peraturan yang tidak di jalankan oleh pihak toko obat yaitu Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1331/MENKES/SK/X/2002 yang berbunyi : “toko obat atau yang juga disebut pedagang eceran obat adalah orang atau badan hukum yang memiliki izin untuk menyimpan obat-obat bebas dan obat-obat bebas terbatas (daftar W) untuk dijual secara eceran ditempat tertentu sebagaimana yang tercantum dalam surat izin”. Dan "Pedagang eceran obat harus menjaga agar obat-obat yang dijual bermutu baik dan berasal dari pabrik-pabrik farmasi atau pedagang besar farmasi yang mendapat ijin dari Menteri Kesehatan". kemudian pada Undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan yang berbunyi : “pekerjaan kefarmasian dalam pengadaan produksi, distribusi dan pelayanan penyediaan farmasi harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu” Dari kasus diatas, disebutkan bahwa ketujuh tersangka dijerat dengan Pasal 197 dan Pasal 106 Ayat (1) Undang-undang RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan. Isi dari pasal 106 adalah Ayat (1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar (2) Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi persyaratan objektivitas dan kelengkapan serta tidak menyesatkan (3) Pemerintah berwenang mencabut izin edar dan memerintahkan penarikan dari peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan yang telah memperoleh izin edar, yang kemudian terbukti tidak memenuhi persyaratan mutu dan/atau keamanan dan/atau kemanfaatan, dapat disita dan dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Lalu isi pasal 197 adalah Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) (UU RI No.36 Tahun 2009). Dari isi pasal diatas, dapat dikatakan bahwa tersangka dikenakan hukuman akibat dari mengedarkan sediaan farmasi atau obat tanpa memiliki izin edar. Tersangka juga dikenakan Pasal 62 Ayat (1) dan Pasal 8 Ayat (1) huruf a dan i Undang-undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Isi dari Pasal 8 Ayat (1) huruf a dan i adalah Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan dan Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat. Lalu isi dari Pasal 62 Ayat (1) adalah Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) (UU RI No 8 Tahun 1999). Berdasarkan kasus, tersangka memperdagangkan obat-obatan tanpa resep dokter sehingga tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan. Tersangka juga dikenakan hukuman penjara selama 5 tahun dan denda maksimal sebanyak 2 miliar rupiah. DAFTAR PUSTAKA
Ariyulinda N. 2018. Urgensi Pembentukan Regulasi Penjualan Obat Melalui Media
Online. Jurnal Legislasi Indonesia. 15(1) : 37-48. Agustyani V, dkk. 2017. Evaluasi Penerapan CDOB sebagai Sistem Penjaminan Mutu pada Sejumlah PBF di Surabaya. Jurnal Farmasi Indonesia. 15(1) : 70-76. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1331/MENKES/SK/X/2002. Syamsuni, 2007, Ilmu Resep, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Undang-Undang Kesehatan No.23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan