Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Leptospirosis merupakan penyakit yang dapat menginfeksi manusia dan
binatang yang disebabkan oleh pathogen spirosit dari genus Leptospira.
Leptospirosis merupakan penyakit “zoonosis” yang paling umum terjadi di
seluruh dunia. Penyakit ini tersebar di seluruh dunia terutama di negara tropis
dengan kelembaban yang tinggi. Penyakit ini dapat ditemukan di daerah
pedesaan maupun perkotaan. Walapun demikian, penyakit ini sangat jarang
dilaporkan. Hal ini mungkin disebabkan penyakit leptospirosis sulit dideteksi,
karena mempunyai gejala klinis mirip dengan penyakit lain seperti influenza,
hepatitis, demam dengue, tuberkulosis, malaria, dll.
Leptospirosis terus menjadi masalah yang signifikan di daerah dengan
populasi tinggi seperti di negara-negara SEA. Jumlah total penduduk dari
sebelas negara Asia Tenggara lebih dari 1,7 milyar dan 774 juta diantaranya
dalam usia produktif dengan 447 juta orang terlibat dalam bidang pertanian
sebagai salah satu faktor resiko. Di India, kejadian luar biasa leptospirosis
banyak dilaporkan di berbagai wilayah. Penyakit ini juga umum dijumpai di
Thailand, kebanyakan kasus terjadi di daerah timur laut, umumnya sebagai
akibat dari banjir.
Di Indonesia wabah atau Kejadian luar biasa (KLB) leptospirosis pernah
beberapa kali muncul setelah terjadinya bencana, seperti di Jakarta pada tahun
2007 pasca terjadinya banjir besar dan Yogyakarta pada tahun 2011 pasca
terjadinya letusan gunung Merapi, dan di Sampang Madura pada April 2013.
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan RI
mencatat bahwa sejak tahun 2004 hingga 2013 terjadi peningkatan kasus
leptospirosis di Indonesia dengan case fatality rate (CFR) antara 5-15%, dan
makin bertambahnya jumlah provinsi yang melaporkan kejadian leptospirosis,
sehingga penyakit tersebut mulai menjadi perhatian dari Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia (Depkes, 2013; DepKes, 2014).

1
1.2 Rumusan Masalah
2. Apakah yang menjadi penyebab terjadinya penyakit Leptospirosis?
3. Bagaimana cara penularan penyakit Leptospirosis?
4. Bagaimana cara penanggulangan penyakit Leptospirosis?

1.3 Tujuan
Tujuan Umum
Mahasiswa diharapkan dapat mengetahui dan memahami bagaimana cara
penanggulangan peyakit Leptospirosis.
Tujuan Khusus
1. Mahasiswa dapat mengetahui apa yang menjadi penyebab terjadinya
Leptospirosis.
2. Mahasiswa dapat mengetahui cara penularan penyakit Leptospirosis.
3. Mahasiswa dapat memahami dampak yang ditimbulkan oleh kejadian
Leptospirosis.
4. Mahasiswa diharapkan dapat membuat program – program sebagai
upaya pemberantasan penyakit Leptospirosis.

2
BAB II
ANALISIS DAN PEMBAHASAN

2.1 Skenario dan Inventarisasi Masalah


Skenario
Leptospirosis adalah salah satu emerging infection disease di Indonesia, di
beberapa daerah belum mendapat prioritas dalam penanganannya. Penyakit ini
termasuk zoonosis dan sering terjadi di daerah yang mengalami banjir dengan
permukiman yang kurang sehat. Angka kematian di Indonesia cukup tinggu,
antara 2,5%-16,45%. Pada usia lebih dari 50 tahun kematian mencapai 56%
(Anies et al, 2009). Di Rumah Sakit Umum Kabupaten A tercatat penderita
leptospirosis sebanyak 62 pasien termasuk rujukan dari puskesmas. Penyakit
tersebut terdistribusi di 9 kecamatan. Wilayah Puskesmas B merupakan
wilayah dengan kejadian tertinggi di kabupaten tersebut, yaitu 12 kasus.
Kecamatan B termasuk daerah yang sering dilanda luapan air sungai yang
mengalir membelah wilayah tersebut sehingga menggenangi permukiman.
Pembuangan air limbah masih sebatas mengalirkannya ke selokan. Area yang
tidak terkena luapan banjir sungai juga terkena luapan air selokan pada waktu
musim hujan karena penataan pembuangan air kotor yang belum baik. Masih
banya dijumpai tempat penyimpanan sampah yang tidak bertutup dan tidak
terawatt, bahkan masih banyak dijumpai keluarga yang belum memiliki bak
sampah. Tikuspun dijumpai berkeliaran terutama di malah hari. Lebih dari
separuh penduduk masih berpendidikan SMP ke bawah, sementara yang
mengenyam pendidikan tinggi hanya sekitar 4-5%. Kebiasaan mandi dan cuci
di sungai merupakan hal yang sering dijumai sehari-hari. Sebagian besar
penduduk (61%) bekerja sebagai petani atau buruh tani, yang bekerja biasa
tanpa alat pelindung diri terutama dalam kontak dengan air
Puskesmas sebagai ujung tombak upaya kesehatan masyarakat berupaya
menanggulangi penyakit tersebut. Bagaimana penyelenggaraannya?

3
Inventarisasi Masalah
Pemasalahan yang di dapat oleh kelompok kami antara lain adalah :
- Leptospirosis merupakan emerging infection disease di Indonesia.
- Pada beberapa daerah penyakit ini belum mendapat prioritas dalam
penanganannya.
- Angka kematian di Indonesia cukup tinggi.
- Penataan pembuangan air kotor pada yang belum baik.
- Banyaknya tempat penyimpanan sampah yang tidak bertutup dan tidak
terawat.
- Pendidikan penduduk yang masih rendah.
- Kurangnya perhatian masyarakat terhadap keselamatan kerja

2.2 Analisis
Definisi
Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh infeksi
bakteri Leptospira. Leptospirosis juga dikenal dengan nama flood fever atau
demam banjir karena sering menyebabkan terjadinya wabah pada saat banjir.
Leptospirosis disebabkan oleh bakteri dari genus Leptospira dari famili
Leptospiraceae, ordo Spirochaetales.
Leptospira tumbuh baik pada kondisi aerobik di suhu 28°C-30°C. Genus
Leptospira terdiri dari dua spesies yaitu L. interrogans (bersifat patogen) dan L.
biflexa (bersifat saprofit/non-patogen). Leptospira patogen terpelihara dalam
tubulus ginjal hewan tertentu. Leptospira saprofit ditemukan di lingkungan
basah atau lembab mulai dari air permukaan, tanah lembab, serta air keran.
Spesies L. interrogans dibagi dalam beberapa serogrup yang terbagi lagi
menjadi lebih 250 serovar berdasarkan komposisi antigennya. Beberapa
serovar L. interrogans yang patogen pada manusia antara lain L.
icterohaemorrhagiae, L. canicola, L. pomona, L. grippothyphosa, L. javanica,
L. celledoni, L. ballum, L. pyrogenes, L. bataviae, dan L. hardjo.
Berbagai spesies hewan, terutama mamalia, dapat bertindak sebagai sumber
infeksi manusia, diantaranya ialah:
1. Spesies mamalia kecil, seperti tikus liar (termasuk mencit).

4
2. Hewan domestik (sapi, babi, anjing, domba, kambing, kuda, kerbau)
3. Hewan penghasil bulu (rubah perak) di penangkaran
4. Reptil dan amfibi mungkin juga membawa leptospira
Leptospira berkembang biak terutama di ginjal (tubulus konvoluta), serta
akan bertahan dan diekskresi melalui urin. Leptospira dapat berada di urin
sekitar 8 hari setelah infeksi hingga bertahun- tahun. Setelah fase leptospiremia
(4-7 hari), leptospira hanya dijumpai pada jaringan ginjal dan mata. Pada fase
ini, leptospira melepaskan toksin yang menyebabkan gangguan pada beberapa
organ.

Penularan
Penularan leptospirosis berkaitan dengan faktor lingkungan, baik
lingkungan abiotik maupun biotik. Faktor lingkungan abiotik meliputi indeks
curah hujan, suhu udara, suhu air, kelembaban udara, intensitas cahaya, pH air,
dan pH tanah. Faktor lingkungan biotik meliputi vegetasi, keberhasilan
penangkapan tikus (trap success), dan prevalensi Leptospira pada tikus.
Leptospira ditularkan baik secara langsung maupun tidak langsung dari
binatang ke manusia. Penuliran dari manusia ke manusia dapat terjadi, tapi
masih jarang. Transmisi leptospira ke manusia terjadi karena kontak dengan
urin, darah, atau organ dari binatang terinfeksi; serta kontak dengan lingkungan
(tanah, air) yang terkontaminasi leptospira.
Leptospira dapat masuk melalui luka di kulit atau menembus jaringan
mukosa seperti konjungtiva, nasofaring, dan vagina kemudian masuk ke dalam
darah, berkembang biak, dan menyebar ke jaringan tubuh. Leptospira juga
dapat menembus jaringan seperti ruang depan mata dan ruang subarakhnoid
tanpa menimbulkan reaksi peradangan yang berarti.

Faktor Resiko
Orang yang berisiko ialah orang yang sering menyentuh binatang atau air,
lumpur, tanah, dan tanaman yang telah dicemari air kencing binatang yang
terkontaminasi leptospirosis. Beberapa pekerjaan yang berisiko seperti petani
sawah, pekerja pejagalan, peternak, pekerja tambang, industri perikanan, serta

5
petani tebu dan pisang. Dokter hewan maupun staf laboratorium yang kontak
dengan kultur leptospirosis juga memiliki risiko terpapar leptospirosis.
Beberapa kegemaran yang bersentuhan dengan air atau tanah yang tercemar
juga bisa menularkan lepto- spirosis, seperti berkemah, berkebun, berkelana di
hutan, berakit di air berjeram, dan olahraga air lainnya.

Manifestasi Klinis
Leptospirosis mempunyai dua fase penyakit yang khas yaitu:
1. Fase leptospiremia: leptospira dapat dijumpai dalam darah. Gejala
ditandai dengan nyeri kepala daerah frontal, nyeri otot betis, paha,
pinggang terutama saat ditekan. Gejala ini diikuti hiperestesi kulit,
demam tinggi, menggigil, mual, diare, bahkan penurunan kesadaran.
Pada sebagian penderita dapat ditemui fotofobia, rash, urtikaria kulit,
splenomegali, hepatomegali, dan limf- adenopati. Gejala ini terjadi saat
hari ke 4-7.
2. Fase imun: berlangsung 4-30 hari, ditandai dengan peningkatan titer
antibodi, demam hingga 40°C disertai mengigil dan kelemahan umum.
Pada leher, perut, dan otot kaki dijumpai rasa nyeri. Perdarahan paling
jelas saat fase ikterik dimana dapat ditemukan purpura, petekie,
epistaksis, dan perdarahan gusi. Conjuntival injection dan conjungtival
suffusion dengan ikterus merupakan tanda patognomonik untuk
leptospirosis. Meningitis, gangguan hati dan ginjal akan mencapai
puncaknya pada fase ini.

Pencegahan
Beberapa upaya yang bisa dilakukan untuk mencegah terjangkit penyakit
leptospirosis, di antaranya:
a. Hindari air yang sudah terkontaminasi dan pastikan kebersihan air
sebelum mengonsumsinya.
b. Jauhi binatang yang rentan terinfeksi bakteri, terutama tikus liar yang
paling banyak membawa bakteri leptospira.
c. Bersikap cermat terhadap lingkungan, terutama saat bepergian.

6
d. Gunakan disinfektan jika perlu.
e. Gunakan pakaian yang melindungi tubuh dari kontak langsung dengan
hewan pembawa bakteri leptospira, serta bersihkan dan tutup luka
dengan penutup tahan air agar tidak terpapar air yang terkontaminasi
bakteri.
f. Mandi secepatnya setelah berolahraga dalam air.
g. Jaga kebersihan dan cuci tangan setelah melakukan kontak dengan
hewan atau sebelum makan.
h. Vaksinasi hewan piaraan atau ternak supaya terhindar dari
leptospirosis.

Penatalaksanaan
Infeksi leptospirosis dapat diobati dengan antibiotik untuk
membasmi bakteri dan mengembalikan fungsi tubuh yang terganggu akibat
kondisi ini. Obat antibiotik yang umumnya digunakan untuk leptospirosis
adalah penisilin dan doksisiklin. Untuk kasus yang ringan, pasien dapat
diberikan obat antibiotik tablet. Antibiotik biasanya diberikan selama 1
minggu dan harus dikonsumsi hingga obat habis untuk memastikan infeksi
sudah bersih. Dalam waktu beberapa hari setelah pengobatan, kondisi
penderita biasanya sudah pulih.
Selain antibiotik, obat pereda nyeri, seperti paracetamol juga
dapat diberikan untuk mengatasi gejala awal leptospirosis, seperti demam,
sakit kepala, atau nyeri otot.
Jika penyakit leptirospirosis berkembang lebih parah atau sering
disebut maka pasien perlu mendapatkan perawatan di rumah sakit. Pada
kondisi ini, antibiotik akan disuntikkan ke dalam pembuluh darah vena
dalam tubuh. Saat infeksi telah menyerang organ tubuh, maka beberapa
penanganan tambahan diperlukan untuk menjaga sekaligus mengembalikan
fungsi tubuh, seperti:
a. Infus cairan, untuk mencegah terjadinya dehidrasi pada penderita
yang tidak bisa minum banyak air.
b. Pemantauan terhadap kerja jantung.

7
c. Pemakaian alat bantu pernapasan jika terjadi gangguan pernapasan
pada penderita.
d. Dialisis atau cuci darah, untuk membantu fungsi ginjal.
Kemungkinan sembuh penyakit tersebut tergantung dari organ mana yang
ikut terserang infeksi dan tingkat keparahannya. Kematian pada pasien
leptospirosis parah yang terjadi biasanya disebabkan oleh komplikasi
gangguan paru, ganguan ginjal, atau perdarahan dalam tubuh.

2.3 Pembahasan
Fish Bone
2. Proses 1. Masukan
Pendidikan masyarakat
yang masih kurang

a. Tenaga

c. Fasilias
b. Manajemen a. Metoda
b. Dana
Pembuangan
limbah dan
Penanganan tempat sampah
Leptospirosis belum Ekonomi masyarakat
yang belum baik
menjadi prioritas menengah ke bawah
Leptospirosis
a. Kebijakan
Bekerja tanpa alat
pelindung diri Kurang diterapkannya
kebijakan desa
maupun pemerintah
b. peran
masyarakat
c. organisasi
masyarakat
Kebiasaan mandi
dan cuci di sungai Kurangnya kader
kesehatan

3. Lingkungan

8
1. Masukan
a. Tenaga
1. Pendidikan Masyarakat yang Masih Kurang
Dilihat dari data yang terdapat pada skenario, rata-rata
masyarakat pada kecamatan B hanya menempuh pendidikan sampai
jenjang SMP saja. Masyarakat yang mengenyam pendidikan tinggi
hanya 4-5%. Kurangnya pendidikan menyebabkan proses
komunikasi dan sosialisasi kurang baik sehingga mempengaruhi
kegiatan KIE yang dapat meningkatkan prevalensi kejadian
leptospirosis. Hal terseut dapat terjadi akibat dari kurangnya
pengetahuan masyarakat mengenai dampak penyakit tersebut
terhadap kehidupan sehari-hari
b. Dana
1. Ekonomi Masyarakat Menengah ke Bawah
Dalam skenario disebutkan bahwa kebanyakan masyarakat
(61%) adalah petani atau buruh tani. Dari pernyataan tersebut dapat
disimpulkan bahwa masyarakat Kecamatan B merupakan
masyarakat dengan ekonomi menengan ke bawah. Hal tersebut
membuat masyarakat tidak bisa membangan pemukiman yang layak
tinggal.
c. Fasilitas
1. Pembuangan Limbah dan Tempat Sampah yang Belum Baik
Pembuangan limbah dengan hanya mengalirkan ke selokan
dapat mencemari air pada selokan tersebut dan akan menggenangi
pemukiman warga pada musim hujan. Banyaknya masyarakat yang
belum memiliki tempat pembuangan sampah yang tertutup
membuat tikus senang berkeliaran di sana. Hal itu sangat
mempengaruhi kejadian Leptospirosis karena pada saat hujan
tempat pembuangan sampah tersebut akan tergenang air dan tinggi

9
kemungkinan adanya urin tikus yang tercampur dengan luapan air
tersebut. Penyakit leptospirosis penularannya adalah lewat urin
binatang yang terinfeksi dan bisa masuk ke air ataupun tanah

2. Proses
a. Metoda
b. Manajemen
1. Penanganan Leptospirosis Belum Menjadi Prioritas
Penanganan untuk penyakit ini belum menjadi prioritas
sehingga banyak masyarakat yang menderita penyakit ini dan tidak
mendapatkan penanganan yang baik. Dengan demikian angka
prevalensi kematian karena leptospirosis cukup tinggi di Indonesia.

3. Lingkungan
a. Kebijakan
1. Kurang Diterapkannya Kebijakan Desa maupun Pemerintah
Kebijakan pemerintah dan kebijakan desa seperti larangan untuk
membuang sampah pada tempatnya masih sering diabaikan oleh
masyarakat pada umumnya. Padahal dalam kenyataannya hasil dari
pembuangan sampah yang sembarangan tersebut menimbulkan
banjir yang dapat memicu berbagai macam penyakit. Rata-rata
masyarakat mengabaikan kebijakan tersebut karena sanksi yang
kurang nyata baik itu dari desa tersebut ataupun dari pemerintah.
b. Peran Serta Masyarakat
1. Kebiasaan Mandi dan Cuci di Sungai
Dilihat dari skenario, permukiman penduduk yang kurang sehat
dan sering terjadinya banjir, maka dapat disimpulkan bahwa air
sungai yang digunakan untuk mandi dan mencuci juga kurang
bersih. Sehingga dengan melakukan aktivitas mandi dan mencuci di
sungai dapat meningkatkan resiko terkena penyakit leptospirosis.
2. Bekerja Tanpa Pelindung Diri

10
Sebagai penati atau buruh tani, sebagian besar ekerjaannya
mengharuskan untuk kontak langsung dengan air. Di dalam air
banyak terdapat bakteri atau kuman yang tidak kita ketahui. Tanpa
pelindung, kulit akan langsung kontak dengan bakteri tersebut,
sehingga meningkatkan resiko untuk terkena berbagai macam
penyakit terutama dalam kasus ini adalah leptospirosis.
c. Organisasi Masyarakat
1. Kurangnya Kader Kesehatan
Kader tenaga kesehatan penting dibentuk di suatu daerah,
karena dengan adanya kader kesehatan ini, diharapkan masyarakat
lebih mengerti mengenai masalah – masakah kesehatan yang sedang
terjadi, sehingga masyarakat dapat lebih berhati-hati atau mawas
diri mengenai enyakit tersebut. Selain itu juga, melalui kader tenaga
kesehatan ini, masyarakat yang memiliki pendidikan kurang,
mendapatkan informasi yang lengkap mengenai kesehatan.

11
BAB III

PENYUSUNAN KEGIATAN PRIORITAS

A. Tabel Scoring untuk Menentukan Prioritas Kegiatan

NO KEGIATAN EFEKTIVITAS EFISIEN HASIL


SI
M I V C P= M x I x
V
C
1 Penyuluhan 2 3 2 3 4

2 Kerjasama antar 3 2 3 5 3,6


lintas sector
3 Kerja bakti / 5 4 4 2 40
gotong royong

M : Megnitude yaitu besarnya masalah yang bisa diatasi


apabilasolusi/kegiatan ini dilaksanakan (turunnya
I : prevalensi dan besarnya masalah lain)
V : Implementasi yaitu sensitifitasnya dalam mengatasi
masalah
C : Viabillity yaitu kelanggengan selesainya masalah apabila
P : kegiatan ini dilaksanakan.
Costbiaya yang diperlukan untuk mengatasi masalah.
Hitunglah P (prioritas kegiatan/pemecahan masalah)
dengan rumus paa kolom Hasil.

12
Daftar Pustaka

Kusmiyati dkk. 2010. Leeptospirosis pada Hewan dan Manusia di


Indonesia. Vol. 1 no. 213.
Teguh Prihantoro, Arum Siwiendrayanti. 2017. Karaktreistik dan Kondisi
Lingkungan Rumah Penderita Leptospirosis di Wilayah Kerja
Puskesmas Pegandan. Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat. Vol. 2
no. 2. Hal. 185.
Novie H. Rampengan. 2016. Leptospirosis. Jurnal Biomedik (JBM), Volume
8, Nomor 3, November 2016, hlm. 143-15

13

Anda mungkin juga menyukai