Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Balakang

Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi telah melahirkan

masyarakat informasi yang makin besar tuntutannya akan hak untuk mengetahui dan

hak untuk mendapatkan informasi. Sehingga informasi itu sendiri telah menjadi

kebutuhan pokok bagi masyarakat dan telah menjadi komoditas penting dalam

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Oleh karenanya kebutuhan akan

informasi dengan menggunakan teknologi komunikasi harus dapat terjaga dengan

baik, dengan kata lain diperlukan sistem pengamanan (security) karena secara tekhnis

kebutuhan informasi dan sistem ini sendiri sangatlah rentan untuk tidak bekerja

sebagaimana mestinya (malfunction), dapat diubah-ubah ataupun diterobos oleh

pihak lain baik oleh orang maupun lembaga yang tidak bermaksud jahat
1
(unintentional threats) maupun yang bermaksud jahat (intentional threats).

Prinsip dasar penyelenggaraan penyiaran akibat perkembangan teknologi dan

informasi berkaitan erat dengan prinsip-prinsip penjaminan dari negara agar aktivitas

penyiaran yang dilakukan oleh lembaga penyiaran berdampak positif bagi publik.

Dalam hal ini, publik harus memiliki akses yang memadai untuk dapat terlibat,

memanfaatkan, mendapatkan perlindungan, serta mendapatkan keuntungan dari

1
Edmon Makarim, Sekilas Perkembangan Teknologi Sistem Informasi Dan Komunikasi dalam
Kompilasi Hukum Telematika, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 92

Universitas Sumatera Utara


kegiatan penyiaran. Guna mencapai keberhasilan dari prinsip ini sangat dibutuhkan

prinsip lain yang secara melekat (embedded) menyokong lembaga penyiaran, yakni

prinsip diversity of ownership (keberagaman kepemilikan) dan diversity of content

(keberagaman isi) dari lembaga penyiaran. Dengan kedua prinsip diversity ini

diharapkan, negara dapat melakukan penjaminan terhadap publik melalui penciptaan

iklim kompetitif antar lembaga penyiaran agar bersaing secara sehat dalam

menyediakan pelayanan informasi yang terbaik kepada publik. Untuk itu sangat

diperlukan penekanan pada prinsip keterbukaan akses, partisipasi, serta perlindungan

dan kontrol publik. Prinsip ini membuka peluang akses bagi setiap warga negara

untuk menggunakan dan mengembangkan penyelenggaraan penyiaran nasional.

Undang-undang memberi hak, kewajiban dan tanggungjawab serta partisipasi

masyarakat untuk mengembangkan penyiaran, seperti mengembangkan pribadi dan

lingkungan sosialnya, mencari, memperoleh, memiliki dan menyimpan, mengolah

dan menyampaikan informasi di lembaga penyiaran serta mengembangkan kegiatan

literasi dan/atau pemantauan untuk mengawasi dan melindungi publik dari isi siaran
2
yang merugikan masyarakat.

Di samping perkembangan teknologi komunikasi dan informasi telah membawa


3
implikasi terhadap dunia penyiaran , termasuk penyiaran di Indonesia sehingga

menjadikan penyiaran selain sebagai salah satu sarana berkomunikasi bagi

2
Ibid
3
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002: Penyiaran adalah kegiatan
pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di
antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya
untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.

Universitas Sumatera Utara


masyarakat, dunia bisnis dan pemerintah, penyiaran juga telah menjadi suatu lembaga

bisnis yang juga berperan dalam kegiatan ekonomi nasional, oleh karenanya

diperlukan perlindungan terhadap dunia penyiaran di dalam perangkat peraturan

perundang-undangan terhadap tindak pidana yang berkaitan dengan penyiaran. Usaha

untuk mengendalikan dan menanggulangi tindak pidana di bidang penyiaran adalah


4
menentukan suatu perbuatan sebagai suatu tindak pidana (kriminalisasi).
5
Kriminalisasi terhadap penyiaran di Indonesia baru dimulai pada tahun 1997

yaitu dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran.

Undang-undang ini mengatur secara jelas tentang segala aspek yang terkait dengan

penyiaran, termasuk pengaturan mengenai kepemilikan lembaga penyiaran.

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 bahwa lembaga


4
Lihat, Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 1996), hal.26. bahwa usaha untuk membuat peraturan pidana yang baik pada
hakekatnya tidak dapat dipisahkan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau politik
hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal. Dengan kata lain jika dilihat dari sudut
pandang politik kriminal, akan terlihat bahwa politik hukum pidana identik dengan pengertian
“kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana.” Selanjutnya Sudarto menyatakan,
bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil
perundang-undangan pidana yang paling baik, dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.
Selain itu juga, usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga
merupakan bagian dari usaha penegakan hukum pidana. Oleh karena itu sering juga dikatakan bahwa
politik atau kebijakan hukum pidana merupakan juga bagian dari kebijakan penegakan hukum (Law
Enforcement Policy).
5
Muladi, Pembaharuan Hukum Pidana Yang Berkualitas Indonesia, Makalah dalam rangka
HUT FH UNDIP, Semarang, tanggal 11 Januari 1988, hal. 22-23 bahwa syarat kriminalisasi pada
umumnya meliputi adanya korban, kriminalisasi bukan semata-mata ditujukan untuk pembalasan,
harus berdasarkan asas ratio principle; dan adanya kesepakatan social (public support). Kriminalisasi
termasuk salah satu masalah pokok dalam hukum pidana. Menganalisis syarat kriminal tidak mungkin
lepas dari konsepsi integral antara kebijakan kriminal dan kebijakan sosial. Berkaitan dengan itu
terdapat syarat kriminalisasi yang harus didahului oleh pertimbangan-pertimbangan : Pertama,
penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional. Kedua, penggunaan
hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap
tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat. Ketiga,
perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi harus merupakan perbuatan yang tidak
dikehendaki karena perbuatan mendatangkan kerugian bagi masyarakat. Keempat, penggunaan hukum
pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principle).

Universitas Sumatera Utara


penyiaran di dalam negeri harus berorientasi pada kepentingan nasional Indonesia,

sehingga modal pendirian lembaga penyiaran swasta harus modal nasional sehingga

6
tidak dipengaruhi kepentingan lain dari luar (pihak asing).

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 mengklasifikasi bahwa lembaga

penyiaran swasta tidak diperbolehkan untuk menggunakan dana yang bersumber dari

dana yang berasal dari luar negeri, misalnya pinjaman komersial, atau melalui cara

lain yang dananya berasal dari luar negeri. Prinsip Undang-undang ini menekankan

pada kepentingan nasional Indonesia guna pembangunan manusia di Indonesia

seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia tentunya didasarkan pada

penentuan prioritas-prioritas, pemilihan bidang-bidang mana harus digarap lebih

dahulu dalam setiap tahap, harus dilakukan dengan cermat dan tepat sehingga dapat

menumbuhkan kemampuan yang bertambah besar untuk mempercepat proses

pembangunan selanjutnya. Demikian juga perlu diusahakan dan kemudian dapat

dirasakan bahwa setiap tahap pembangunan itu mengarah pada semakin bertambah
7
baiknya kehidupan lapisan terbesar masyarakat.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran ini selanjutnya

digantikan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

Undang-undang ini lebih menitiberatkan bahwa lembaga penyiaran yang sebelumnya

semata-mata ditujukan untuk kepentingan nasional sehingga tertutup bagi investor

asing menjadi lebih terbuka dengan memperbolehkan pihak asing untuk memiliki

6
Lihat, Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997
7
Ibid

Universitas Sumatera Utara


8
saham pada lembaga penyiaran swasta namun dibatasi hanya sebesar 20 % (dua

puluh persen) sehingga kepemilikan saham ini berkaitan dengan perizinan lembaga

penyiaran dan isi siaran yang dikriminalisasi di dalam Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2002. Sebagaimana bunyi Pasal 17 ayat (2) UU Nomor 32 Tahun 2002, yang

menyatakan:

Lembaga Penyiaran Swasta dapat melakukan penambahan dan pengembangan

dalam rangka pemenuhan modal yang berasal dari modal asing yang jumlahnya

tidak lebih dari 20 % (dua puluh perseratus) dari seluruh modal dan minimum

dimiliki oleh 2 (dua) pemegang saham.

Kriminalisasi terhadap dunia penyiaran di atur di dalam Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran telah menegaskan bahwa penyiaran

merupakan suatu kegiatan komunikasi massa yang selain mempunyai fungsi sebagai

media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial yang

ditujukan untuk memperkukuh integrasi nasional, membina watak dan jati diri

bangsa, penyiaran juga mempunyai fungsi ekomomi yaitu diarahkan untuk

mendorong peningkatan kemampuan perekonomian rakyat, mewujudkan pemerataan,

dan memperkuat daya saing bangsa dalam era globalisasi serta untuk menumbuhkan

industri penyiaran. Adapun kriminalisasi yang berisikan sanksi pidana di dalam

undang-undang penyiaran yakni pasal 57, 58 dan 59 sebagai berikut:

8
Pasal 16 UU No. 32 Tahun 2002: Lembaga Penyiaran Swasta sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (2) huruf b adalah lembaga penyiaran yang bersifat komersial berbentuk badan hukum
Indonesia, yang bidang usahanya hanya menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau televisi.

Universitas Sumatera Utara


Pasal 57 menyatakan bahwa “Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau denda paling banyakRp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) untuk penyiaran radio dan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah) untuk penyiaran televisi, setiap orang yang
9
a. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3);
10
b. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2);
11
c. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1);
12
d. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (5);
13
e. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (6).

Pasal 58 “Dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk penyiaran
radio dan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) untuk penyiaran
televisi, setiap orang yang:
14
a. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1);
15
b. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1);

9
Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menyatakan
bahwa ”Lembaga Penyiaran Swasta wajib memberikan kesempatan kepada karyawan untuk memiliki
saham perusahaan dan memberikan bagian laba perusahaan”.
10
Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menyatakan
bahwa “Kepemilikan silang antara Lembaga Penyiaran Swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran
radio dan Lembaga Penyiaran Swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran televisi, antara Lembaga
Penyiaran Swasta dan perusahaan media cetak, serta antara Lembaga Penyiaran Swasta dan lembaga
penyiaran swasta jasa penyiaran lainnya, baik langsung maupun tidak langsung, dibatasi”.
11
Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menyatakan
bahwa “Lembaga penyiaran asing dilarang didirikan di Indonesia”.
12
Pasal 36 ayat (5) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menyatakan
bahwa “ Isi siaran dilarang:
a. bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong;
b. menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang;
atau
c. mempertentangkan suku, agama, ras, dan antar golongan”.
13
Pasal 36 ayat (6) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menyatakan
bahwa “ Isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-
nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional”.
14
Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menyatakan
bahwa “ Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang atau satu
badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun dibeberapa wilayah siaran, dibatasi”.
15
Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menyatakan
bahwa “Sebelum menyelenggarakan kegiatannya lembaga penyiaran wajib memperoleh izin
penyelenggaraan penyiaran”.

Universitas Sumatera Utara


16
c. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (4);
17
d. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (3).

Pasal 59 “Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 46 ayat (10) dipidana dengan pidana denda paling banyak
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) untuk penyiaran radio dan paling
banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) untuk penyiaran televisi.”

Kaitan dengan pelaksanaan siaran yang diselenggarakan oleh lembaga

penyiaran sebagaimana dikriminalisasi di dalam UU penyiaran telah melakukan

pengaturan antara lain mencakup pengaturan mengenai isi siaran, bahasa siaran,

kegiatan jurnalistik, siaran iklan, dan sensor isi siaran. Pengaturan secara rinci tentang

pedoman perilaku penyiaran diatur dalam suatu ketentuan yang ditetapkan oleh

Komisi Penyiaran Indonesia, yaitu lembaga negara yang bersifat independen dan

bertugas untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan penyiaran. Namun demikian

berbicara mengenai media masa (termasuk televisi), tidak terlepas dari apa yang

dikenal sebagai media agenda. Media agenda adalah masalah atau hal-hal yang akan

dikomunikasikan atau diberitakan oleh suatu media massa sesuai dengan hirarki
18
kepentingannya dalam suatu waktu tertentu . Di samping itu undang-undang

penyiaran telah juga mengatur tentang siaran berlanggan yakni berbentuk badan

hukum Indonesia, bidang kegiatan usaha berupa jasa penyiara berlangganan setelah

memperoleh izin, baik melalui radio, televisi, multimedia atau media informasi

16
Pasal 34 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menyatakan
bahwa “Izin penyelenggaraan penyiaran dilarang dipindahtangankan kepada pihak lain”.
17
Pasal 46 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menyatakan bahwa
“Siaran iklan niaga dilarang melakukan promosi yang bertentangan dengan UU dan kesusilaan.
18
Dearing, James W and Rogers, Everett M., Agenda-Setting. Sage Publications Inc, 1996,
hal. 89

Universitas Sumatera Utara


lainnya. Pelaksanaannya dapat melalui satelit, kabel atau terestial. Sumber

pembiayaan berasal dari iuran berlangganan dan usaha lainnya yang sah.

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi media khususnya terhadap siaran

berlanggan salah satunya adalah struktur kepemilikan dan izin dari perusahaan media

19
massa itu sendiri. Menurut Andrew Ó Baoill, perbedaan struktur kepemilikan suatu

media massa dapat menimbulkan perbedaan tujuan, maksud dan hal lainnya sehingga

20
dapat menyebabkan perbedaan dalam konstruksi dan isi dari media agenda tersebut,

karena pemilik media massa dapat saja mempengaruhi batasan-batasan informasi

yang akan disampaikan oleh media miliknya tersebut.

Salah satu contoh kasus menyangkut tentang lembaga penyiaran berlangganan

yang diduga tidak memperoleh izin dan melebihi batasan kepemilikan asing terhadap

lembaga penyiaran swasta. Lembaga penyiaran berlangganan dimaksud adalah Astro

All Asia Network Plc (Astro) yang membeli saham PT Broadband Multimedia Tbk

(BM) di luar batas ketentuan. Adapun pelanggaran Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2002 yang dilakukan oleh Astro All Asia Network Plc (Astro) yakni pasal perizinan,

pasal kepemilikan asing dengan menguasai 51 persen saham Direct Vision dan tidak

19
Mengenai Perizinan yang termuat dalam Bagian Kesebelas, Bab III, dipaparkan bahwa izin
dan penyelenggaraan diberikan oleh Negara melalui KPI dan lembaga penyiaran bersangkutan wajib
membayar izin penyelenggaraan penyiaran melalui kas negara. Jangka waktu pemberian izin
penyiaran untuk radio adalah selama 5 tahun, masa percobaan selama 6 bulan, sementara untuk televisi
selama 10 tahun, masa percobaan selama 1 tahun. Izin tersebut dapat diperpanjang dan dicabut dalam
hal tidak lulus masa uji coba siaran; melanggar penggunaan spektrum radio atau wilayah jangkauan
siaran yang ditetapkan; tidak melakukan kegiatan siaran selama 3 bulan tanpa konfirmasi kepada KPI;
dipindahtangankan kepada pihak lain; melanggar ketentuan rencana dasar teknik penyiaran dan
persyaratan teknis perangkat penyiaran atau melanggar ketentuan standar program siaran.
20
Andrew Ó Baoill, The Effect of Ownership Structure on the Media Agenda,
www.funferal.org, diakses tanggal 29 Juli 2009

Universitas Sumatera Utara


mengakui berlakunya UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Kasus ini dapat

21
digambarkan sebagai berikut:

“Kasusnya sendiri bermula saat BM mengumumkan hasil RUPS dan RUPSLB


di media massa. Dalam pengumuman itu disebutkan bahwa ada usaha untuk
mempunyai anak perusahaan jasa baru dari BM yakni PT Karta Nusa Jaya
(KNJ). Rencananya, KNJ akan menjalankan bisnis jasa telekomunikasi khusus,
yakni jasa penyiaran televisi berlangganan melalui satelit yang langsung
disalurkan ke rumah para pelanggan. Bisnisnya sejenis dengan Indovision yang
berjalan sekarang ini. Pembentukan KNJ dilakukan BM melalui anak
perusahaannya PT Ayunda Prima Mitra (APM). Mereka menggandeng Astro
melalui anak perusahaannya pula, Silver Concord Kolding Ltd (Silver).
Komposisi pemilikan saham KNJ, APM 49 persen dan Silver 51 persen.
Komposisi kepemilikan saham tersebutlah yang awalnya jadi perhatian KPI.
Pasalnya, menurut Amelia, dalam UU Penyiaran tegas disebutkan bahwa
kepemilikan asing pada lembaga penyiaran dibatasi hingga maksimal 20 persen.
Lebih dari itu, dinilai melanggar undang-undang. Menyangkut perizinan KPI
menyurati Astro untuk meminta klarifikasi, Astro menjawab dengan tiga inti
jawaban. Pertama, Astro sudah mendapat izin penanaman modal asing dari
BKPM dan kedua, Astro sudah mengantongi izin frekuensi dari Dirjen Postel.
Sedang jawaban ketiga, Astro tidak mengakui berlakunya UU Penyiaran
mengingat Peraturan Pemerintah (PP)-nya belum keluar. Dengan demikian,
Astro hanya mengakui UU No 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi”.

Selanjutnya perusahaan televisi swasta adalah lembaga penyiaran swasta yang

bidang usahanya menyelenggarakan jasa penyiaran televisi, berbentuk badan hukum


22
Indonesia dan bersifat komersial. Pertelevisian sebagai suatu industri informasi

memerlukan suatu infrastruktur informasi yang identik dengan teknologi tinggi serta

investasi yang cukup mahal. Sehingga industri televisi memiliki karakteristik

tersendiri, yaitu padat modal (capital intensive), memerlukan skala ekonomis yang

besar supaya optimal, serta perputaran uangnya relatif lambat sehingga relatif lama

21
http://www.google.com, diakses tanggal 28 Juli 2009
22
Yang dimaksud dalam pertelevisian disini adalah perusahaan penyelenggara jasa penyiaran
televisi.

Universitas Sumatera Utara


23
untuk balik modal. Menurut Nenny Soemawinata (direktur keuangan RCTI)

kebutuhan modal industri televisi sangat besar, sehingga mau tak mau larangan

24
investasi langsung dari asing ke media elektronik itu harus dibuka.

Sifat industri broadcast (termasuk televisi) khususnya siaran berlangganan

adalah padat modal, dipengaruhi oleh perkembangan teknologi yang sangat cepat dan

25
menjadi ajang pemasaran produk. Secara ekonomis, kehadiran media massa

menggerakkan usaha dalam berbagai sektor seperti produksi, distribusi dan konsumsi

26
jasa media massa. Dari segi permodalan, trilyunan rupiah telah dikucurkan dalam

industri ini. Namun, jumlah tersebut diikuti pula oleh perputaran uang yang tergolong

menggiurkan. Dari penerimaan iklan, misalnya, pada tahun 1999 lalu sedikitnya Rp
27
3,4 trilyun yang berhasil diraih. Saat krisis melanda Indonesia menariknya belanja

iklan justru meningkat pesat. Pada 1998 jumlahnya mencapai Rp. 3,75 trilyun dan
28
terus melonjak sampai Rp. 9,7 trilyun pada 2001, sementara hasil riset Nielsen

mengungkapkan total belanja iklan di televisi pada tahun 2003 sebesar Rp 11, 658
29
triliun. .

23
Riri Satria, Sistem Multimedia dan Keberaksaraan, Sinar Harapan, 8 Oktober 2001,
www.sinarharapan.co.id, diakses tanggal 28 Juli 2009
24
Max Wangkar, Medan Penyiaran Siapa Mau Kuasa, Majalah Pantau, Tahun II Nomor 11,
Maret 2001, www.pantau.or.id, diakses tanggal 28 Juli 2009
25
Ishadi, Kompetensi Dalam Rangka Meningkatkan Keterjangkauan Layanan Telematika Bagi
Pembangunan Masyarakat Indonesia, Makalah dalam Raker Mastel, di Jakarta, 1 Maret 2004
26
Steven H Chaffee, “The Interpersonal Context of Mass Communication” in Current
Perspective in Mass Communication Reseach, ed by F Gerald Kline and Phillips J Tickenor, Sage
Publication, 1972, hal.114
27
Tim Litbang Kompas, Saatnya Publik Berkuasa atas Televisi, Kompas Cyber Media, 25
Agustus 2000, www.kompas.com, diakses tanggal 30 Juli 2009
28
Arif Rusli dkk, Mengendalikan Televisi Dari Negara ke Yang Satu ini, Media Kerjabudaya
Online, http://mkb.kerjabudaya.org
29
Cakram Komunikasi, http://www.google.co.id, diakses tanggal 30 Juli 2009

Universitas Sumatera Utara


30
Sebagai salah satu media komunikasi, peran penyiaran televisi memang begitu

dominan, hal tersebut terlihat dari keadaan dimana lebih dari 20 jam sehari, jutaan

pasang mata duduk di depan pesawat televisi menyaksikan apa pun yang disuguhkan

31
oleh televisi. Televisi mampu menyatukan perhatian penduduk Indonesia dalam
32
waktu bersamaan. Sehingga industri pertelevisian merupakan sarana efektif untuk

mencerdaskan kehidupan bangsa; memperkukuh persatuan dan kesatuan dan

membentuk kepribadian bangsa. Televisi sebagai budaya merupakan bagian yang

krusial dari dinamika sosial yang memelihara struktur sosial dalam suatu proses

produksi dan reproduksi yang konstan melalui makna, berupa populer pleasures, dan

oleh karena itu sirkulasinya adalah bagian dan merupakan parcel struktur sosial.

Televisi didisain sebagai institusi media yang, antara lain, memiliki fungsi informatif-

edukatif, membentuk kepribadian bangsa, bertujuan menangkal pengaruh budaya

asing, menjadi tuan rumah di negeri sendiri, atau memelihara dan melestarikan
33
kebudayaan nasional.

Di tengah krisis multidimensional, termasuk ancaman disintegrasi bangsa,

televisi mempunyai peran penting dalam eksplorasi gagasan identitas budaya dan
34
realitas politik. Industri televisi khususnya lembaga penyiaran berlangganan

30
Pasal 1 ayat (4) UU No.32 Tahun 2002: Penyiaran televisi adalah media komunikasi massa
dengar pandang yang menyalurkan gagasan dan informasi dalam bentuk suara dan gambar secara
umum, baik terbuka maupun tertutup, berupa program yang teratur dan berkesinambungan.
31
Victor Manayang, Sangat Besar, Pengaruh TV bagi Karakter, Bali Post, 29 April 2002
32
Ibid
33
BM Mursito, Budaya Televisi dan Determinisme Simbolik, Pusat Studi Unversitas Terbuka,
www.infosia.ut.ac.id, diakses tanggal 30 Juli 2009
34
Agunghima, Televisi dan Refleksi Masa Depan, Suara Merdeka, 24 Agustus 2001,
www.suaramerdeka.com, diakses tanggal 30 Juli 2009

Universitas Sumatera Utara


dikatakan sangat strategis lantaran televisi tidak hanya berfungsi sebagai sumber

35
keuntungan ekonomis, namun kekuatannya mampu membentuk citra. . Oleh karena

itu, meskipun berbalut unsur komersial, televisi tetap menjadi alat dari sebuah

kepentingan. Tidak heran, meskipun tahun-tahun terakhir krisis ekonomi turut

berpengaruh terhadap industri ini, keinginan pemilik modal berinvestasi di bidang ini

36
tidak menyurut. Begitu strategisnya peranan televisi khususnya penyiaran

berlangganan serta besarnya perputaran uang dalam industri pertelevisian ini

sepertinya telah menyebabkan baik pihak asing maupun pemegang saham dalam

negeri perusahaan televisi swasta berlangganan itu sendiri, dalam kaitan kepemilikan

pihak asing dan perizinan, hampir tidak memperdulikan batasan yang ditentukan oleh

undang-undang penyiaran. Hal ini dapat dilihat dalam penanganan tindak pidana

penyiaran yang dilakukan oleh Satuan Reserse Kriminal Poltabes MS terhadap

lembaga penyiaran berlangganan Astro yang melakukan tindak pidana memasang

perangkat penerima siaran televisi yang dapat menerima siaran tekevisi yang

dipancarkan oleh lembaga penyiaran berlangganan asing tanpa izin dan/atau

menyelenggarakan kegiatan penyiaran televisi tanpa izin sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 30 dan atau Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002

37
tentang penyiaran. Adapun deskripsi kasus dimaksud sebagai berikut:

”Pemancaran siaran televisi yang dilakukan oleh lembaga penyiaran


berlangganan asing dilakukan dengan pemasangan antena parabola yang
dilakukan oleh para tekhnisi atau tukang pemasangan parabola dari Toko

35
Tim Litbang Kompas, Loc.cit
36
Ibid
37
Berita Acara Pemeriksaan Saksi di Satuan Reserse Kriminal Poltabes MS

Universitas Sumatera Utara


Bintang Parabola yang dimiliki oleh Susanto Alias A Seng beralamat di Jl.
Logam No. 20 Medan kepada konsumen guna menerima siaran televisi yang
dipancarkan oleh lembaga penyiaran berlangganan Astro yang berlamat di
Negara Malaysia. Pemasangan antena parabola dimaksud termasuk penerima
sinyal LNB, Reciver atau Decoder yang didalamnya sudah terpasang Kartu
Tayang Astro. Kegunaan pemasangan yakni menerima siaran yang dipancarkan
oleh Lembaga Penyiaran Berlangganan Astro melalui televisi. Harga pembelian
antena parabola dan penerima sinyal LNB, Reciver atau Decoder yang di
dalamnya sudah terpasang Kartu Tayang Astro adalah Rp. 800.000,00 (delapan
ratus ribu rupiah) sedangkan ongkos pasangnya adalah Rp. 200.000,00 (dua
ratus ribu rupiah). Disamping itu konsumen juga dikenakan biaya iuran
berlangganan yang besarnya biaya iuran tergantung dari paket siaran Astro yang
sudah ditentukan oleh Toko Bintang Terang dan paket siaran yang diminati
konsumen. Ada 4 (empat) paket Astro yang siarannya dapat diaktifkan
siarannya oleh Toko Bintang Televisi Terang yakni Paket Famili, Paket Movies,
Paket Dynasty dan Paket Dynasty ditambah Movies serta paket tambahan
lainnya yakni New Emperor, Gold, Maharaja, Metro, Astro Demand dan Box
Office, harga tiap paket berbeda yaitu Paket Family Rp. 4.600.000.00 (empat
juta enam ratus ribu rupiah). Paket Movies Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah),
Paket Dinasty Rp. 6.200.000.00 (enam juta dua ratus ribu rupiah), Paket
Dinasty ditambah Movies Rp. 6.200.000.00 (enam juta dua ratus ribu rupiah),
besarnya biaya paket tersebut ditentukan oleh Toko Bintang Terang sesuai
dengan daftar harga yang ditentukan oleh Toko Bintang Terang”.

Tindak pemberantasan yang dilakukan oleh Polri terhadap tindak pidana

penyiaran yang dilakukan oleh lembaga penyiaran swasta khususnya siaran

berlangganan merupakan bahagian dari politik kriminal yang dimulai dari

kriminalisasi terhadap perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana. Kasus

lain dapat digambarkan dari upaya represif yang dilakukan oleh Polda Metro Jaya

dengan melakukan penggerebekan agen-agen Astro Malaysia yang menjual produk

siaran Malaysia langsung kepada pemirsa di Indonesia. Polda Metro Jaya berhasil

menemukan bukti transfer biaya berlangganan Astro Malaysia di sebuah rumah di

kawasan ruko Pasar Modern Sarua, Perumahan Vila Dago, Ciputat, Tanggerang.

Universitas Sumatera Utara


Penggerebekan yang dilakukan oleh Polda Metro Jaya mengindikasikan bahwa

Indonesia merupakan pangsa pasar yang besar bagi Astro Malaysia yang tidak

mengantongi izin siaran di Indonesia. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Arya

Mahendra Sinulingga bahwa “ Ini tanda Indonesia memang menjadi pangsa pasar

yang besar bagi Astro Malaysia yang sudah tidak mengantongi izin siaran di

Indonesia, ini jelas pelanggaran yang harus ditangani Polisi maupun Departemen
38
Kominfo”. Adapun deskripsi hasil tindakan yang dilakukan oleh Polda Metro Jaya
39
sebagai berikut:

“sejumlah barang bukti yang menunjukkan adanya penjualan siaran gelap itu
antara lain bukti transfer pembayaran berlangganan, dekoder dan parabola.
Dekoder milik Astro Indonesia berwarna hitam tetapi yang dijumpai petugas
berwarna silver. Padahal Astro Malaysia sudah menghentikan pasokan
dekoder untu PT. Direct Vision (DV) selaku pemegang hak siaran Astro di
Indonesia yang sah. Dari keterangan sejumlah saksi polisi mengindikasi
adanya pengiriman dekoder gelap untuk menangkap siaran langsung dari
Malaysia. Siara tanpa izin langsung dari Astro Malaysia yang bisa ditangkap
satelit Indonesia menggunakan satelit Measat. Saat ini, satelit tersebut tidak
mempunyai izin labuh di Indonesia. Perangkat dekoder dan parabolanya tidak
disertifikasi oleh Ditjen Postel. Siarannya belum mendapat rekomendasi dari
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Modus siaran illegal dengan
menggunakan dealer-dealer di Indonesia untuk mencari pelanggan. Saat
penggerebekan polisi meminta keterangan petuga dealer dan pelanggan.
Siaran itu bertentangan dengan UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
yang menyatakan bahwa segala penyiaran yang dilakukan di negera RI harus
dilakukan oleh perusahaan di Indonesia yang mempunyai izin dari
pemerintah, semua alat-alat penyiaran yang digunakan harus disertifikasi oleh
Ditjen Postel dan sistem konfigurasi penyiaran harus lulus uji coba yang
diselenggarakan pemerintah. Perangkat fasilitas up link bagi penyiaran harus
berlokasi di Negara RI”.

38
Arya Mahendra Sinulingga, Sekretaris Perusahaan PT. MNC Skyvision,
www.kabarindonesia.com, diakses tanggal 29 Juli 2009
39
Ibid

Universitas Sumatera Utara


Di Indonesia perangkat hukum yang mengatur tentang lembaga penyiaran di

dalam undang-undang penyiaran tentunya sangat berkaitan dengan kepastian hukum

40
untuk meminta pertanggungjawaban pelaku khususnya lembaga penyiaran.

Pemberantasan pelaku yang telah dikriminalisasi di dalam undang-undang penyiaran

untuk dapat dipidananya perbuatan (de strafbaarheid van het feit atau het verboden

zijr van het feit) menggunakan perangkat hukum yang diatur di dalam undang-undang

yang berkaitan dengan teknologi informasi maupun KUH Pidana, artinya bahwa

penggunaan kriminalisasi merupaka penjabaran dari asas legalitas yang dianut dalam
41
hukum pidana yakni “nullum delictum, nulla poena, sine pravia lege poenali”.

40
Lihat, Ridwan Khairandy, Pembaharuan Hukum Kontrak Sebagai Antisipasi Transaksi
Electronic Commerce, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 16, November 2001, hal. 62 bahwa di Amerika
Serikat pengaturan cyberlaw tidak dituangkan dalam satu undang-undang tertentu. Amerika Serikat
antara lain memiliki The Digital Signature Act of 1999 yang ditujukan untuk mengatur standar tanda
tangan elektronik, ketentuan dimaksud untuk memberikan perlindungan konsumen dari perusahaan
yang mencoba untuk berbuat confuse dengan electronic disclosure atau memaksa mereka untuk
melepaskan hak mereka terhadap paper record. Berkaitan dengan pengaturan domain names, Amerika
Serikat telah menambahkan Pasal 43 (d) Trademark Act of 1946, Lanham Act yang diamandemen.
Pasal 43 (d) mengatur mengenai cyberpiracy prevention.
41
Mulyanto dalam Faisal Salam, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: Pustaka,
Bandung, 2004), hal. 87, bahwa KUH Pidana adalah merupakan suatu kodifikasi hukum pidana yang
tidak semua tindak pidana dimasukkan dalam kodifikasi tersebut. Tetapi hal ini tidak mungkin karena
selalu timbul perbuatan-perbuatan yang karena perkembangan masyarakat yang tadinya bukan
merupakan tindak pidana lalu menjadi tindak pidana. Sebagaimana diketahui dalam KUH Pidana
terdapat suatu bagian yang memuat aturan umum yaitu buku kesatu, yang memuat asas-asas hukum
pidana pada umumnya dan defenisi-defenisinya yang berlaku bagi seluruh bidang hukum pidana
positif, baik yang dimuat dalam KUH Pidana maupun yang dimuat dalam peraturan perundang-
undangan lainnya. Aturan penutup dari buku kesatu KUH Pidana (Pasal 103) menyatakan bahwa
ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII dari buku kesatu juga berlaku bagi
perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan-ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan
pidana, kecuali jika oleh undang-undang yang bersangkutan ditentukan lain. Jadi semua tindak pidana
di luar KUH Pidana harus tunduk pada aturan-aturan umum yang dimuat dalam buku kesatu KUH
Pidana itu, kecuali apabila secara khusus diatur oleh peraturan perundang-undangan itu sendiri.
Peraturan perundang-undangan yang memuat tindak pidana di luar KUH Pidana itu, berbeda dengan
KUH Pidana. Sebab pada umumnya selain mengatur tentang segi-segi hukum pidana materiil
(perumusan tindak pidana, macam-macam pidana dan lain-lain), juga mengatur secara khusus tentang
segi-segi hukum pidana formal, yaitu bagaimana cara melaksanakan hukum pidana materiil itu,
misalnya pengusutan, penuntutan, mengadili perkara dan lain-lain.

Universitas Sumatera Utara


Sifat represif dalam menanggulangi tindak pidana yang dilakukan oleh

lembaga penyiaran dengan menggunakan undang-undang penyiaran dan undang-

undang yang berkaitan dengan penyiaran merupakan tindakan pemberatasan dan

sekaligus penumpasan terhadap kejahatan oleh pihak kepolisian yang menempatkan

Polri sebagai penyidik adalah merupakan salah satu suatu proses dari penegakan

hukum pidana dalam sistem peradilan pidana, hal tersebut telah dirumuskan dalam

pasal 1 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa

penyidikan yang dilakukan oleh pihak penyidik kepolisian adalah merupakan

“serangkaian tindakan penyidikan dalam hal dan menurut tata cara yang telah diatur

dalam undang-undang untuk itu perbuatan berupa mencari dan mengumpulkan bukti

yang dengan bukti tersebut dapat membuat terang tindak pidana yang terjadi guna

menemukan tersangkanya”. Di bidang lembaga penyiaran Kepolisian Negara

Republik Indonesia telah membuat Nota Kesepahaman dengan KPI menyangkut

dugaan terjadinya tindak pidana di bidang penyiaran. Adapun isi dari nota

kesepahaman dimaksud sebagai berikut:

“KPI sesuai tugas dan kewenangannya wajib membantu Polri secara teknis

dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap dugaan terjadinya

tindak pidana di bidang Penyiaran. Bantuan teknis yang diberikan oleh KPI

meliputi:

a. Pemberian barang bukti berupa bahan siaran, rekaman audio, rekaman

video, foto, dan/atau dokumen.

Universitas Sumatera Utara


b. Membantu menghadirkan saksi dan ahli.

Undang-undang penyiaran yang mengatur tentang lembaga penyiaran,

perizinan dan isi siaran dapat diartikan sebagai ”Ultimum Remedium” terhadap pelaku

tindak pidana penyiaran yang menempatkan fungsi undang-undang sebagai sarana

untuk mempertahankan ketertiban dalam masyarakat dan merupakan politik kriminal


42
dari pemerintah. Oleh karenanya perkembangan produk perundang-undangan harus

mengikuti perkembangan masyarakat, dimana dengan perkembangan masyarakat ini


43
jenis kejahatan juga semakin meningkat, salah satunya adalah meningkatnya

kejahatan di bidang penyiaran misalnya penyiaran tanpa izin yang telah ditentukan

oleh undang-undang penyiaran dipidana dengan pidana penjara paling lama 8

(delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta
44
rupiah). Di samping itu undang-undang penyiaran telah menentukan bahwa

dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak

Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) barangsiapa dengan sengaja tanpa izin

menyelenggarakan siaran berlangganan melalui satelit dan barangsiapa denga sengaja


45
tanpa izin menyelenggarakan siaran berlangganan melalui kabel. Berdasarkan

perkembangan tindak pidana penyiaran ini maka sistem pertanggungjawaban pelaku

42
Lihat, Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 31, bahwa sifat
hukum pidana sebagai ultimum remedium menghendaki apabila tidak perlu sekali hendaknya jangan
menggunakan hukum pidana sebagai sarana.
43
Lihat, Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung:
Alumni, 1984), hal. 89, bahwa keharusan untuk memperbaharui hukum pidana disebabkan oleh
perkembangan kriminalitas yang berkaitan erat dengan perubahan dan perkembangan masyarakat
Indonesia secara keseluruhan yang sedang mengalami proses modernisasi.
44
Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
45
Pasal 68 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran

Universitas Sumatera Utara


kejahatan harus disesuaikan dengan perkembangan kejahatan yang semula

menempatkan manusia sebagai subjek hukum pidana yang didasarkan atas adanya

kesalahan, sebagaimana terlihat dari kata-kata dalam setiap pasal KUH Pidana, yakni

”Barang Siapa” merupakan penunjukan bahwa manusialah yang dianggap sebagai

subjek hukum pidana. Kemudian pada perkembangannya korporasi dapat diminta

46
pertanggungjawaban.

Ketentuan pidana yang terdapat di dalam undang-undang penyiaran tidak

secara tegas mengklasifikasi bahwa perbuatan pidana yang dilakukan oleh korporasi

47
sebagai perbuatan yang dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana.

Undang-undang penyiaran menyatakan bahwa subjek hukum yang dapat diminta

pertanggungjawaban pidana yakni setiap orang. Hal ini mengadung arti bahwa

lembaga penyiaran sebagai korporasi berdasarkan ketentuan perundang-undangan

penyiaran tidak termasuk dalam subyek yang dapat dipidana. Hal ini dapat

menimbulkan ketidakadilan dalam masyarakat dengan mengingat lembaga penyiaran

merupakan subjek yang juga mempunyai sejumlah kewajiban, walaupun korporasi

telah diterima sebagai sujek hukum dalam tindak pidana tertentu dan seharusnya

dapat diikuti oleh undang-undang di bidang penyiaran. Salah satu pertimbangannya

adalah bahwa tindak pidana di bidang penyiaran termasuk dalam kepentingan

nasional.

46
Dwidja Priyatno, Kebijakan Legalisasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi di Indonesia, cet.I (Bandung: Utomo, 2004), hal. 42
47
Lihat, Pasal 57 sampai dengan Pasal 59 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran

Universitas Sumatera Utara


Pada mulanya korporasi tidak diterima untuk melakukan pertanggungjawaban

pidana, hal ini karena korporasi tidak mempunyai perasaan seperti manusia sehingga

tidak mungkin melakukan kesalahan. Kemudian, pidana penjara tidak mungkin

diterapkan terhadap korporasi. Namun karena adanya dampak negatif yang

ditimbulkan oleh kegiatan korporasi terhadap kesejahteraan umum, timbul juga

pemikiran untuk mempertanggung jawabkan korporasi dalam perkara pidana.

Sekarang ini korporasi atau badan-badan usaha dalam dunia bisnis dapat diminta

pertanggungjawaban pidananya secara luas atas tindakan kriminal yang dilakukan


48
oleh agen-agen korporasi yang bertindak atas nama korporasi tersebut.

Selanjutnya, timbul berbagai persoalan denganditerimanya lembaga

penyiaran sebagai subjek pelaku tindak pidana dalam

arti dapat dipertanggungjawabkan, khususnya yang

menyangkut masalah tindakan dan pertanggungjawaban

lembaga penyiaran. Asas tiada pidana tanpa kesalahan (asas kesalahan) yang berlaku

dalam hukum pidana selama ini dapat menghambat penegakan hukum terhadap

lembaga penyiaran yang melakukan tindak pidana di bidang penyiaran. Tindakan

yang dilakukan oleh lembaga penyiaran dengan maksud melakukan pelanggaran

terhadap undang-undang penyiaran, maka lembaga penyiaran

adalah pelaku kejahatan di bidang penyiaran yang dapat dikategorikan

48
Sue Titus Reid, Criminal Law, (Prentice Hall, New Jersey, 1995), hal 53.

Universitas Sumatera Utara


49
sebagai pelaku jenis kejahatan kerah putih (white collar crime) yang sulit untuk

dideteksi, penyebabnya adalah perangkat hukum perundang-undang khususnya

hukum pidana materil masih mengandung prinsip pertanggungjawaban karena adanya

kesalahan (schuld) dan melawan hukum (wederechtelijk) sebagai syarat untuk

50
pengenaan pidana, sehingga untuk pertanggungjawaban suatu perbuatan pidana

diperlukan beberapa syarat yakni adanya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh

pembuat, adanya unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan, Adanya

pembuat yang mampu bertanggungjawab; dan tidak ada alasan pemaaf.

B. Permasalahan

Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, maka pokok permasalahan dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut :

49
Clarke dalam Edi Setiadi, Hukum Pidana Ekonomi, (Bandung: Fakultas Hukum Universitas
Islam, 2004), hal. 25, mempergunakan istilah Business Crime, kedalam istilah ini termasuk tindak
pidana yang berkaitan dengan dan terjadi didalam kegiatan perdagangan, keuangan, perbankan dan
kegiatan perpajakan. Clarke telah memperluas pengertian business crime yaitu suatu kegiatan yang
(selalu) memiliki konotasi legitimate business dan tidak identik dengan kegiatan suatu sindikat
kriminil. Dengan demikian Clarke membedakan secara tegas kegiatan yang termasuk business crime
disatu pihak dengan kegiatan yang dilakukan oleh suatu sindikat kriminal yang juga bergerak didalam
kegiatan perdagangan. Clarke telah mengungkapkan dan menyebutkan dua wajah khas dari suatu
business crime, yaitu pertama, suatu keadaan legitimatif untuk melaksanakan kegiatannya yang
bersifat eksploitasi, dan kedua, suatu akibat khas ialah sifat kontestabiliti dari kegiatannta dalam arti
kegiatan yang dipandang illegal menurut undang-undang masih dapat diperdebatkan oleh para
pelakunya.
50
Bandingkan, Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Badan Penyediaan Bahan-bahan Kuliah
FH Undip, 1987/1988), hal. 85, bahwa dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun
perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan (an objective
breach of a penal provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana.
Untuk pemindanaan masih perlu adanya syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemindanaan masih
perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah
(subjektive guilt). Dengan perkataan lain orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas
perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut.

Universitas Sumatera Utara


1. Bagaimana penentuan kriminalisasi terhadap lembaga penyiaran di dalam

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran?

2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap lembaga penyiaran

berlangganan khususnya terhadap isi siaran?

3. Bagaimana upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana lembaga penyiaran

berlangganan?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui penentuan kriminalisasi terhadap lembaga penyiaran di dalam

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

2. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap lembaga penyiaran

berlangganan khususnya terhadap isi siaran.

3. Untuk mengetahui upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana lembaga

penyiaran.

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat mempunyai kegunaan baik secara praktis

maupun teoritis yaitu:

1. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pihak-

pihak yang terkait di bidang penyiaran terutama menyangkut kriminalisasi tindak

pidana penyiaran oleh lembaga penyiaran sehingga dijadikan kerangka oleh

aparat penegak hukum dalam mencari pertanggungjawaban pelaku tindak pidana

Universitas Sumatera Utara


di bidang penyiaran oleh lembaga penyiaran. Selain itu, penelitian ini dapat

digunakan sebagai referensi dalam mengatasi tindak pidana kejahatan korporasi.

2. Secara teoritis penelitian ini diharapkan akan menjadi bahan untuk penelitian

lebih lanjut terhadap kriminalisasi tindak pidana di bidang penyiaran agar dapat

menjerat pertanggungjawaban pelaku tindak pidana khususnya lembaga

penyiaran.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan informasi

yang ada penelusuran kepustakaan di lingkungan universitas sumatera utara,

penelitian dengan judul Tinjauan Yuridis Terhadap Pertanggungjawaban Pidana

Lembaga Penyiaran Berlangganan Melalui Kriminalisasi di dalam Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran belum pernah dilakukan oleh peneliti lain

sebelumnya. Sehingga dapat dikatakan penelitian ini asli dan keaslian secara

akademis keilmuan dapat dipertanggung jawabkan.

F. Landasan Teori dan Konsepsional Penelitian

1. Landasan Teori Penelitian

Keberadaan UU Penyiaran sebagai suatu aturan (rule of law) adalah berbanding

lurus dengan melihat sejauh mana pemahaman hukum dan kesadaran hukum

Universitas Sumatera Utara


51
masyarakat itu sendiri terhadap informasi hukum yang tengah berlaku, artinya

bahwa dapat ditarik titik temunya dengan melihat sejauh mana efektivitas suatu

sistem hukum dapat berlaku dengan baik di tengah-tengah masyarakat baik sebagai

subjek maupun objek informasi (social behaviour). Efektivitas UU Penyiaran sebagai

suatu norma sangat erat kaitannya dengan pengaruh hukum terhadap masyarakat, inti

dari pengaruh hukum terhadap masyarakat adalah perilaku masyarakat yang sesuai

dengan hukum yang berlaku atau yang telah diputuskan walaupun efektivitas ini pada

52
hakekatnya memiliki muatan politis yang diinginkan oleh pembuat undang-undang.

Selanjutnya, hukum menjadi berarti apabila perilaku manusia dipengaruhi

oleh hukum dan apabila masyarakat menggunakan hukum menuruti perilakunya,

sedangkan dilain pihak efektivitas hukum berkaitan erat dengan masalah kepatuhan

hukum sebagai norma. Hal ini berbeda dengan kebijakan dasar yang relatif netral dan

bergantung pada nilai universal dari tujuan dan alasan pembentukan undang-
53
undang. Untuk memprediksi efektivitas suatu kaedah hukum yang terdapat didalam

undang-undang tidak terlepas dari sistem hukum yang rasional, karena pada sistem

hukum rasional yang memberikan panduan adalah hukum itu sendiri bukan sistem

51
Hikmahanto Juwana, Politik Hukum UU Bidang Ekonomi di Indonesia, Disampaikan Pada
Seminar Nasional Reformasi Hukum dan Ekonomi, Sub Tema: Reformasi Agraria Mendukung
Ekonomi Indonesia diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis USU ke-52 Medan, Sabtu 14 Agustus
2004, bahwa hukum menjadi berarti secara rasional apabila perilaku manusia dipengaruhi oleh hukum
dan apabila masyarakat menggunakan hukum untuk menuruti perilakunya, sedangkan dilain pihak
efektivitas hukum berkaitan erat dengan masalah kepatuhan hukum sebagai norma. Hal ini berbeda
dengan kebijakan dasar yang relatif netral dan bergantung ada nilai universal dari tujuan dan alasan
pembentukan undang-undang tersebut.
52
Wayne La Farve dalam Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang mempengaruhi Penegakan
Hukum, (Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2004), hal. 7
53
Lihat, Hikmahanto Juwana, Loc.cit.

Universitas Sumatera Utara


hukum yang kharismatik yang disebut sebagai “law prophet”. Sistem hukum rasional

dielaborasi melalui sistem keadilan yang secara profesional disusun oleh individu-

individu yang mendapatkan pendidikan hukum, cara demikian membuat orang

54
terhindar dari penafsiran hukum secara black letter rules atau penafsiran legalistik.

Kaedah hukum tersebut ada yang berwujud sebagai peraturan-peraturan tertulis,

keputusan-keputusan pengadilan maupun keputusan-keputusan lembaga-lembaga

55
kemasyarakatan.

Penerapan suatu sistem hukum rasional dalam sistem pertanggungjawaban

lembaga penyiaran tentunya memberikan dampak pada proses penegakan hukum di

Indonesia terutama dalam hal kebijakan pemberlakuan hukum. Guna pencapaian

tujuan tersebut maka diperlukan Kriminalisasi kejahatan korporasi di bidang

penyiaran yang mensyaratkan bahwa korporasi melakukan tindak pidana dengan

memperhatikan fungsionalisasi pidana penyiaran. Sebelum membahas kriminalisasi

lembaga penyiaran terlebih dahulu dikemukakan tentang pengertian tindak pidana

dan kebijakan kriminalisasi sebagai upaya untuk mengfungsionalisasikan hukum

pidana.

Sistem pertanggungjawaban korporasi di bidang penyiaran yang diawali

dengan kriminalisasi di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang

penyiaran di dalam konsep pertanggungjawaban pidana tidak dapat dipisahkan dari


54
Lihat, Bismar Nasution, Hukum Rasional Untuk Landasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia Disampaikan Pada Seminar Nasional Reformasi Hukum dan Eonomi, sub tema: Reformasi
Agraria Mendukung Ekonomi Indonesia diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis USU ke-52,
Medan, Sabtu 14 Agustus 2004, hal. 8
55
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Edisi Baru, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2001), hal. 3

Universitas Sumatera Utara


sistem pemidanaan yang dianut oleh konsepsi pemidanaan di Indonesia yakni KUH

Pidana. Prinsip pertanggungjawabkan Pidana di Indonesia yang dianut oleh

Perundang-undangan terutama KUH Pidana didasarkan karena adanya

kesalahan (shuld) dan melawan hukum (wederechterlijk) sebagai syarat untuk

pengenaan pidana, sehingga menyulitkan untuk meminta pertangggungjawaban

korporasi apabila diletakkan dalam praktek penegakan hukum pidana terhadap

korporasi di bidang penyiaran. Pertanggungjawaban pidana lahir dengan

diteruskannya celaan (vewijtbaarheid) yang objektif terhadap perbuatan yang telah

dinyatakan sebagai tindak pidana berdasarkan hukum pidana yang berlaku, dan secara

subjektif kepada pembuat tindak pidana yang memenuhi persyaratan untuk dapat

dikenai pidana karena perbuatannya. Untuk itu sistem pemidanaan yang dianut dalam

konsepsi penegakan hukum yang mengabaikan pemidanaan bagi pelaku korporasi

menyebabkan berbagai kasus penanganan terhadap tindak pidana korporasi tidak

sampai pada proses peradilan pidana.

Di dalam sistem pertanggungjawaban korporasi pada perkembangannya

menyangkut pertanggungjawaban terdapat beberapa teori pertanggungjawaban

56
korporasi di antaranya:

1. Doktrin pertanggungjawaban pidana langsung (Direct Liability Doctrine) atau


teori Indentifikasi (Identification Theory) atau disebut juga teori/doktrin "alter
ego" atau "teori organ". Perbuatan/kesalahan "pejabat senior" ("senior officer")
diidentifikasikan sebagai perbuatan kesalahan korporasi.

56
I.S. Susanto, Kejahatan Korporasi, (Semarang: Makalah Penataran Dosen Hukum Pidana
dan Kriminologi, Undip, 1993), hal. 5

Universitas Sumatera Utara


2. Doktrin Pertanggungjawaban Pidana Pengganti (Vicarious Liability). Bertolak
dari doktrin "respondeat superior". Didasarkan pada "employment principle"
bahwa majikan adalah penanggungjawab utama dari perbuatan buruh/karyawan.
3. Doktrin pertanggungjawaban Pidana yang ketat menurut undang-undang ("Strict
Liability”. Pertanggungjawaban kotporasi semata-mata berdasarkan undang-
undang, yaitu dalam hal korporasi melanggar atau tidak memenuhi
kewajiban/kondisi/situasi tertentu yang ditentukan undang-undang.

Menurut Muladi, berkaitan dengan pertanggungjawaban korporasi dan

memperhatikan dasar pengalaman pengaturan hukum positif serta pemikiran yang

berkembang maupun kecendrungan internasional, maka pertanggungjawaban

korporasi yang melakukan tindak pidana hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai

57
berikut:

1. Korporasi mencakup baik badan hukum (legal entity) maupun non badan hukum
seperti organisasi dan sebagainya;
2. Korporasi dapat bersifat privat (private juridical entity) dan dapat pula bersifat
publik (public entity);
3. Apabila diidentifikasikan bahwa tindak pidana lingkungan dilakukan dalam
bentuk organisasional, maka orang alamiah (managers, agents, employess) dan
korporasi dapat dipidana baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama (bi-
punishmentprovision);
4. Terdapat kesalahan manajemen korporasi dan terjadi apa yang dinamakan breach
-
of a statutory or regulatory provision;
5. Pertanggungjawaban badan hukum dilakukan terlepas dari apakah orang-orang
yang bertanggungjawab di dalam badan hukum tersebut berhasil diidentifikasikan,
dituntut dan dipidana;
6. Segala sanksi pidana dan tindakan pada dasarnya dapat dikenakan pada korporasi,
kecuali pidana mati dan pidana penjara. Dalam hal ini perlu dicatat bahwa
Amerika Serikat mulai dikenal apa yang dinamakan corporate death penalty dan
corporate imprisonment yang mengandung pengartian larangan suatu
korporasi untuk
berusaha di bidang-bidang usaha tertentu dan pembatasan-pembatasan lain terhadap
langkah-langkah korporasi dalam berusaha;
7. Penerapan sanksi pidana terhadap korporasi tidak menghapuskan kesalahan
perorangan;

57
Muladi, Prinsip-prinsip dasar Hukum Pidana Lingkungan Dalam kaitannya Dengan UU
No. 23 Tahun 1997, Makalah, Seminar Kajian dan Sosialisasi W No. 23 Tahun 1997, FH UNDIP,
Semarang, 1998, hal. 17 - 18.

Universitas Sumatera Utara


8. Pemidanaan terhadap korporasi hendaknya memperhatikan kedudukan korporasi
untuk mengendalikan perusalaaan, melalui kebijakan pengurus atau para pengurus
(corporate executive officers) yang memiliki kekuasaan untuk memutuskan
(power of decision) dan keputusan tersebut telah diterima (accepred) oleh
korporasi tersebut.

Selanjutnya tindak pidana berupa kejahatan merupakan suatu fenomena yang

kompleks yang dapat dipahami dari berbagai sisi yang berbeda. Itu sebabnya dalam

keseharian dapat ditangkap berbagai komentar tentang suatu peristiwa kejahatan

yang berbeda satu dengan yang lain. Dalam pengalaman ternyata tidak mudah untuk

memahami kejahatan itu sendiri. Tindak pidana berasal dari istilah Belanda

58
straafbaar feit.yang berarti: “perbuatan yang dapat dihukum” Sedangkan menurut

Mulyatno, istilah tindak pidana disebut sebagai perbuatan pidana yang diartikan

sebagai: “Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai

ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi siapa yang melanggar larangan

59
tersebut”.

Upaya dilakukan untuk menanggulangi tindak pidana secara optimal,

pendekatan yang perlu dilakukan adalah dengan melakukan pendekatan sistem

pertanggungjawaban pidana sebagai salah satu kebijakan kriminalisasi. Kebijakan

kriminalisasi sebagai usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan kejahatan

problem sosial yang dinamakan kejahatan dapat dilakukan dengan berbagai cara.

Sudah barang tentu tidak hanya dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana)

tetapi dapat juga dengan menggunakan sarana-sarana non penal. Penanggulangan

58
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Stelsel Pidana, Teori-teori
Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 69
59
Ibid, hal. 71

Universitas Sumatera Utara


kejahatan dengan sarana hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk

pencapaian hasil perundangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat

60
keadilan dan daya guna.

Salah satu upaya menanggulangi kejahatan dengan menggunakan sarana

hukum termasuk hukum pidana merupakan bidang kebijakan penegakan hukum yang

bertujuan untuk pencapaian kesejahteraan masyarakat. Upaya penanggulangan

kejahatan pada hekekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan

masyarakat (social wefare). Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa tujuan utama dari

politik kriminal ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan


61
masyarakat.

Menurut Barda Nawawi Arief, bahwa upaya penanggulangan kejahatan lewat

jalur penal lebih menitiberatkan pada sifat represive (penindakan/ pemberantasan/

penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur non penal lebih

menitiberatkan sifat preventif (pencegahan/ penangkalan/ pengendalian) sebelum


62
kejahatan terjadi. Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan
63
menggunakan sarana penal adalah masalah penentuan:

1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana.

2. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.

60
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, Makalah disampaikan pada Seminar
Krimonologi VI, Semarang, Tanggal 16-18 September 1991, hal. 6
61
Lihat, Barda Nawawi Arief, Kebijakan Kriminal, Makalah disampaikan pada Seminar
Krimonologi VI, Semarang, Tanggal 16-18 September 1991, hal. 2
62
Lihat, Barda Nawawi Arief, Upaya Non Penal Dalam Kebijakan Penaggulangan
Kejahatan, Makalah disampaikan pada Seminar Krimonologi VI, Semarang, Tanggal 16-18 September
1991, hal. 2
63
Ibid

Universitas Sumatera Utara


Selanjutnya Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa mengingat upaya

penanggulangan kejahatan lewat jalur non penal lebih bersifat tindakan pencegahan

untuk terjadinya kejahatan maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor

kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif ini antara lain

berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau

tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhkan suburkan kejahatan. Dengan

demikian secara makro dan global maka upaya-upaya non penal menduduki posisi

kunci dan startegis dalam menanggulangi sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang


64
menimbulkan kejahatan.

Menurut Barda Nawawi Arief, usaha untuk membuat peraturan pidana yang

baik pada hakekatnya tidak dapat dipisahkan dari tujuan penanggulangan kejahatan.

Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik

kriminal. Dengan kata lain jika dilihat dari sudut pandang politik kriminal, akan

terlihat bahwa politik hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan


65
penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana.” Selanjutnya Sudarto

menyatakan, bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan

pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik, dalam

arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Selain itu juga, usaha penanggulangan

kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha

penegakan hukum pidana. Oleh karena itu sering juga dikatakan bahwa politik atau

64
Lihat, Barda Nawawi Arief, op-cit, hal. 3
65
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 1996), hal. 29

Universitas Sumatera Utara


kebijakan hukum pidana merupakan juga bagian dari kebijakan penegakan hukum
66
(Law Enforcement Policy).

Sehubungan dengan penegakan hukum pidana ini, maka Lawrence M.

Friedman yang mengkaji dari sistem hukum (legal system) menyatakan bahwa ada

tiga komponen yang ikut menentukan berfungsinya suatu hukum (dalam hal ini

hukum pidana), yaitu struktur hukum, subtansi hukum, dan budaya hukumya. Dari

ketiga komponen inilah menurut Friedman kita dapat melakukan analisis terhadap
67
berkerjanya hukum sebagai suatu sistem.

Kebijakan kriminal atau politik kriminal adalah suatu kebijakan atau usaha

yang rasional dari masyarakat dan negara untuk menanggulangi masalah kejahatan,

khususnya penanggulangan tindak pidana dibidang perpajakan. Kebijakan hukum

pidana juga merupakan bagian dari kejahatan kriminal yang dapat diterjemahkan

sebagai suatu kebijakan penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum

pidana.

Politik kriminal sebagai upaya penanggulangan pelaku tindak pidana

korporasi dibidang penyiaran telah diintrodusir oleh undang-undang penyiaran,

dengan menyatakan bahwa guna mencapai keberhasilan penyelenggaraan penyiaran

yang sesuai dengan haluan dasar penyiaran, UU Penyiaran telah menetapkan 4

(empat) karakteristik dalam penyiaran yang diberlakukan di Indonesia, yakni:

a. Penyiaran diselenggarakan dalam satu sistem penyiaran nasional (Pasal 6 ayat 1);

66
Ibid, hal., 27-28
67
Lawrence Friedmen, America Law An Introduction , sebagaimana diterjamahkan oleh
Wisnu Basuki (Jakarta: PT Tatanusa, 1984), hal. 6-7.

Universitas Sumatera Utara


b. Dalam sistem penyiaran nasional tersebut, negara menguasai spektrum frekuensi

radio yang digunakan untuk penyelenggaraan penyiaran guna sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat (Pasal 6 ayat 2);

c. Dalam sistem penyiaran nasional terdapat lembaga penyiaran dan pola jaringan

yang adil dan terpadu yang dikembangkan dengan membentuk stasiun jaringan

dan stasiun lokal. Adil dan terpadu yang dimaksud di sini dengan demikian

adalah pencerminan adanya keseimbangan informasi antardaerah serta antara

daerah dan pusat (Pasal 6 ayat 3)

d. Untuk penyelenggaraan penyiaran, dibentuk sebuah komisi penyiaran. Komisi ini

kemudian disebut dengan Komisi Penyiaran Indonesia (Pasal 7 ayat 1)

Penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi

nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa,

mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka

membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, serta

menumbuhkan industri penyiaran Indonesia. Penyiaran sebagai kegiatan komunikasi

massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat,

kontrol dan perekat sosial. Dalam menjalankan fungsi tersebut, penyiaran juga

mempunyai fungsi ekonomi dan kebudayaan.

Selanjutnya kriminalisasi lembaga penyiaran diartikan sebagai upaya

penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana penyiaran dengan maksud

penggunaan seluruh upaya baik setelah kejahatan terjadi maupun sebelum kejahatan.

Pemberantasan rindak pidana penyiaran adalah meminta pertanggungjawaban pelaku

Universitas Sumatera Utara


tindak pidana dengan menerapkan sanksi hukum atas perbuatan yang telah

dikriminalisasi, pertanggungjawaban pada sistem hukum pidana hanya diberikan

kepada orang yang bersalah (azas “culpabilitas” tidak ada pidana tanpa kesalahan)

dan selalu didasarkan pada unsur subjektif atau mens rea dan unsur obejektifnya atau

actus reus. Di dalam mens rea yang harus dibuktikan yaitu mengenai atau patut

diduga (knowladge) dan berkaitan erat bermaksud (intends). Korporasi dalam

perkembangan masyarakat telah diterima sebagai subjek hukum pidana. Penerima ini

dapat berakibat hukum yaitu dapat melakukan hubungan hukum dan dapat

menanggung akibatnya berupa pertanggungjawaban pidana. Kejahatan korporasi atau

kejahatan organisasi disebut juga dengan “corporate crime” dan harus dibedakan

dengan kejatatan terorganisir atau “organized crime”. Perbedaannya dapat dilihat

pada definisi dari keduanya. Kejahatan terorganisir adalah kejahatan yang

mempunyai sindikat kejahatan (organized crime), seperti yang dilakukan oleh para

mafia. Sedangkan kejahatan korporasi adalah suatu bentuk kejahatan (crime) dalam

bentuk “white collar crime”, merupakan tindakan yang melanggar hukum pidana,

yang dilakukan oleh suatu perusahaan atau badan hukum yang bergerak di bidang

bisnis, melalui pengurus atau yang diotorisasi olehnya, di mana meskipun perusahaan

tidak pernah mempunyai niat jahat (mens rea). Akan tetapi, dengan pertimbangan

tertentu, perusahaan tersebut yang harus bertanggung jawab secara hukum dan

karenanya perusahaan tersebutlah yang harus dihukum pidana meskipun terbatas pada

Universitas Sumatera Utara


hukuman denda, hukuman percobaan, atau hukuman tambahan seperti pencabutan

68
izin dan sebagainya.

Paradigma Reksodiputro juga memberikan perbedaan antara kejahatan

korporasi dengan kejahatan terorganisasi. Paradigma tersebut membantu memberikan

alternatif penyelesaian dilemma perumusan tindak pidana korporasi serta membantu

meluruskan kekeliruan pemahaman kejahatan oleh organisasi (kejahatan korporasi)

yang dirancukan dengan kejahatan terorganisasi. Pada kejahatan oleh organisasi,

perhatian ditujukan pada perilaku perusahaan yang melawan hukum. Beliau juga

mengatakan bahwa :

“……dalam kejahatan korporasi kita berbicara tentang organisasi yang sah


(legal / bodies; upperworld crimes) yang dapat dibedakan antara yang
dilakukan korporasi perdata (kejahatan oleh perusahaan) dan yang dilakukan
oleh korporasi publik, termasuk di sini adalah kejahatan oleh pemerintah dan
69
lebih luas lagi oleh negara”

Kejahatan korporasi harus juga dibedakan dengan kejahatan lain pada

umumnya, karena perilaku kejahatan ini termasuk apa yang dikenal sebagai “white

collar crime”. Kedudukannya sebagai “white collar crime” inilah yang

memberikannya perhatian khusus, baik dari kalangan akademisi ahli kriminologi dan
70
ahli hukum pidana, maupun dari kalangan praktisi penegak hukum. Di samping itu,

Marshall B. Clinard memberikan pengertian tentang kejahatan korporasi sebagai

68
Munir Fuady, Bisnis Kotor, Anatomi Kejahatan Kerah Putih, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2004), hal. 26
69
Yusuf Shofie, Pelaku Usaha, Konsumen, Dan Tindak Pidana Korporasi, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2002), hal. 47
70
Marjono Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, (Jakarta:
Kumpulan Karangan Buku Kesatu, Pusat Layanan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia,
1994), hal. 65

Universitas Sumatera Utara


“white collar crime”, tetapi “white collar crime” dengan bentuk khusus yang

merupakan suatu kejahatan terorganisir (organization crime) yang terjadi dalam suatu

hubungan (relationship) atau antar hubungan (interrelationship) yang tersturtur,

kompleks, dan sangat bervariasi antara para direksi, pejabat eksekutif perusahaan, dan

menajer di satu pihak, dengan perusahaan induk, divisi, atau anak perusahaan di lain
71
pihak. Hal ini terjadi karena ada kemungkinan perusahaanlah yang melakukan

kejahatan, baik perusahaan sendiri maupun bersama-sama dengan pengurus,

komisaris, atau pemilik perusahaan.

Para pakar hukum pada umumnya berpendapat sama tentang kejahatan

korporasi sebagai bagian dari “white collar crime”. Reksodiputro berpendapat

serupa bahwa kejahatan korporasi merupakan bagian dari “white collar crime”.

Lebih lanjut beliau menegaskan bahwa :

“Kejahatan korporasi selalu berhubungan dengan kegiatan ekonomi atau


kegiatan yang berkaitan dengan dunia bisnis (business related activities).
Walaupun demikian, perlu ditegaskan perbedaan antara “corporate crimed”
dengan “small business offenses” (kejahatan yang dilakukan oleh perusahaan
kecil atau terbatas. Konsepsi kejahatan hanya ditujukan kepada kejahatan yang
dilakukan oleh “big business” dan jangan dikaitkan dengan kejatahan oleh
“small scalle business” (seperti penipuan yang dilakukan oleh warung atau toko
di lingkungan pemukiman kita atau oleh bengkel reparasi kendaraan bermotor
72
dan sebagainya)”.

Mengutip dari tulisan Stevens Box, Susanto menjelaskan ruang lingkup

kejahatan korporasi sebagai berikut :

71
J.E Sahetapy, Kejahatan Korporasi, (Bandung: Penerbit Eresco, 1994), hal. 28
72
Yusuf Shofie, op.cit, hal. 44

Universitas Sumatera Utara


1. Crimes for corporation, adalah pelanggaran hukum dilakukan oleh
korporasi dalam usaha mencapai tujuan korporasi untuk memperoleh
profit ;
2. Criminal corporation, yaitu korporasi yang bertujuan semata-mata untuk
melakukan kejahatan ;
3. Crime against corporation, yaitu kejahatan-kejahatan terhadap korporasi
seperti pencurian atau penggelapan milik korporasi , yang dalam hal in
73
yang menjadi korban adalah korporasi.

2. Landasan Konsepsional Penelitian

a. Kriminalisasi diartikan penentuan suatu perbuatan sebagai suatu tindak pidana di

dalam undang-undang. Adapun syarat kriminalisasi yang harus didahului oleh

pertimbangan-pertimbangan: Pertama, penggunaan hukum pidana

harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional. Kedua, penggunaan

hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan

pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan

dan pengayoman masyarakat. Ketiga, perbuatan yang diusahakan untuk dicegah

atau ditanggulangi harus merupakan perbuatan yang tidak

dikehendaki karena perbuatan mendatangkan kerugian bagi

masyarakat. Keempat, penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan


74
prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principle).

b. Korporasi diartikan sebagai perseroan terbatas merupakan badan hukum yang

merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan

kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan

73
Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia,
Strict Liability dan Vicarius Liability, (Jakarta: Raja Grafindo, 1996), hal. 41
74
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), hal. 44-47

Universitas Sumatera Utara


memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan

75
pelaksanaannya.

c. Kejahatan korporasi (corporate crime) adalah white collar crime, organizational

crime, organized crime, georganiseerde misdaad, groepscriminaliteit, misdaad

76
ondememing, crimes of business, syndicate crime.

d. Lembaga Penyiaran Publik adalah berbentuk badan hukum, didirikan oleh


negara

terdiri atas Radio Republik Indonesia dan Televisi Republik Indonesia yang

stasiun pusat penyiarannya berada di ibu kota negara RI dan didaerah provinsi,

kabupaten, atau kota dengan mendirikan lembaga penyiaran publik lokal. Adapun

sumber pembiayaannya berasal dari iuran penyiaran, APBN, sumbangan

77
masyarakat, siaran iklan dan usaha lainnya.

e. Lembaga Penyiaran Swasta adalah berbentuk badan hukum Indonesia, bersifat

komersial, kepengurusan tidak boleh dilaksanakan oleh warga asing kecuali untuk

bidang keuangan dan teknik. Dalam rangka penambahan dan pengembangan

modal usaha, lembaga penyiaran swasta hanya diperbolehkan menerima sebanyak

20% bagi masuknya modal asing. Undang-undang membatasi pemusatan

kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran sewasta oleh satu orang atau satu

badan hukum, Undang-undang ini membatasi pula kepemilikan silang lembaga

penyiaran swasta. Untuk jasa penyiaran radio/televisi pengaturan jumlah dan

75
Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
76
Munir Fuady, Bisnis Kotor: Anatomi Kejahatan Kerah Putih, Op.Cit, hal. 27
77
Ketentuan mengenai hal ini khusus termuat pada Bab III Bagian Keempat Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran

Universitas Sumatera Utara


cakupan wilayah siaran lokal, regional dan nasional, disusun oleh KPI dan

Pemerintah. Lembaga penyiaran Swasta sumber pembiayaannya berasal dari

Siaran iklan dan atau usaha lain yang sah. Lembaga penyiaran swasta jasa

penyiaran radio/televisi, masing-masing hanya dapat menyelenggarakan satu

siaran dengan saluran siaran pada satu saluran siaran pada satu cakupan wilayah
78
siaran.

f. Lembaga Penyiaran Komunitas yakni berbentuk badan hukum Indonesia, tidak

bersifat komersial, didirikan oleh Komunitas tertentu, memiliki daya pancar yang

rendah, jangkauannya terbatas dan hanya untuk melayani komunitasnya.

Lembaga ini dilarang menerima bantuan dana awal mendirikan dan dana

79
operasional dari pihak asing, serta dilarang melakukan siaran iklan.

g. Lembaga Penyiaran Berlangganan yakni berbentuk badan hukum Indonesia,

bidang kegiatan usaha berupa jasa penyiara berlangganan setelah memperoleh

izin, baik melalui radio, televisi, multimedia atau media informasi lainnya.

Pelaksanaannya dapat melalui satelit, kabel atau terestial. Sumber pembiayaan


80
berasal dari iuran berlangganan dan usaha lainnya yang sah.

78
Point ini termuat pada Bab III Bagian Kelima, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002
tentang Penyiaran
79
Lihat, bagian keenam Lembaga Penyiaran Komunitas ayat (1) dan Pasal 23 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
80
Lihat, Pasal 25 ayat (2) dan Pasal 26 ayat (1), ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2002 tentang Penyiaran

Universitas Sumatera Utara


G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, artinya bahwa penelitian ini,

menggambarkan, menelaah dan menjelaskan secara analitis kriminaliasi korporasi

lembaga penyiaran sebagai pelaku tindak pidana di bidang penyiaran berdasarkan

asas-asas yang termuat di dalam hukum positif. Pendekatan penelitian ini adalah

penelitian hukum normatif, yaitu dimaksudkan sebagai pendekatan terhadap masalah

dengan melihat dari segi peraturan-peraturan yang berlaku oleh karena itu dilakukan

penelitian kepustakaan.

2. Metode Pengumpulan Data

Pada penelitian hukum, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam

penelitian digolongkan sebagai data sekunder. Data sekunder tersebut mempunyai

ruang lingkup yang sangat luas, sehingga meliputi surat-surat pribadi, buku-buku

harian, buku-buku, sampai pada dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh


81
pemerintah. Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

meliputi penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori

atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahuluan yang

81
Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Perpustakaan Di dalam
Penelitian Hukum, (Jakarta: Pusat Dokumentasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
1979), hal. 3

Universitas Sumatera Utara


berhubungan dengan objek yang diteliti dapat berupa peraturan perundang-undangan

dan karya ilmiah.

Adapun data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer,

sekunder dan tertier.

a. Bahan Hukum Primer.

Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1999, kemudian pemerintah pada akhir

tahun 2000 memperbaharui Undang-Undang Nomor 24 tahun 1997 tentang

Penyiaran dan menggantinya dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002

tentang Penyiaran. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan

Terbatas, KUH Pidana, KUHAP.

b. Bahan Hukum Sekunder.

Bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti

misalnya Rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian serta penelitian

yang relevan dengan penelitian ini.

c. Bahan Hukum Tertier.

Bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum

primer dan bahan hukum sekunder yang berupa kamus umum, kamus hukum,

majalah, surat kabar dan jurnal-jurnal hukum, laporan ilmiah.

Universitas Sumatera Utara


3. Analisa Data

Analisis data merupakan proses mengorganisasikan dan mengurutkan

data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema

82
dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.

Berdasarkan pendapat Maria S.W. Sumardjono, bahwa analisis kualitatif dan analisis

kuantitatif tidak harus dipisahkan sama sekali apabila digunakan dengan tepat,
83
sepanjang hal itu mungkin keduanya dapat saling menunjang. Dengan analisis
84
kualitatif itu juga dilakukan metode interprestasi Berdasarkan metode interprestasi

ini, diharapkan dapat menjawab segala permasalahan hukum yang ada dalam tesis ini.

Setelah diperoleh data sekunder yakni berupa bahan hukum primer, sekunder dan

tertier, kemudian diolah dan dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif, yakni

pemaparan kembali dengan kalimat yang sistematis secara induktif dan atau deduktif

untuk dapat memberikan gambaran secara jelas jawaban atas permasalahan yang ada,

pada akhirnya dinyatakan dalam bentuk deskriptif.

82
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002),
hal.103
83
Oloan Sitorus dan Darwinsyah Minin, Cara Penyelesaian Karya Ilmiah Di Bidang Hukum
(Panduan Dasar Menuntaskan Skripsi, Tesis dan Disertasi), (Yogyakarta: Mitra Kebijakan Tanah
Indonesia, 2003), hal. 47
84
Sudikno Mertokusumo dan A.Pitlo, mengatakan interprestasi merupakan metode
penemuan hukum dalam hal peraturannya ada tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada
peristiwanya, interprestasi itu, baik dilakukan dengan metode garmatikal, teleologis atau sosilogis,
sistematis atau logis, historis, komparatif, futuristis atau antisipatif, argumentum per analogiam
(analogi), penyempitan hukum, argumentum a contrario, Sudikno Mertokusumo dan A.Pitlo, Bab-Bab
Tentang Penemuan Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993), hal, 14-26. Lihat juga
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1999),
hal. 155-167

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai