Tindak Pidana Penyiaran
Tindak Pidana Penyiaran
PENDAHULUAN
A. Latar Balakang
masyarakat informasi yang makin besar tuntutannya akan hak untuk mengetahui dan
hak untuk mendapatkan informasi. Sehingga informasi itu sendiri telah menjadi
kebutuhan pokok bagi masyarakat dan telah menjadi komoditas penting dalam
baik, dengan kata lain diperlukan sistem pengamanan (security) karena secara tekhnis
kebutuhan informasi dan sistem ini sendiri sangatlah rentan untuk tidak bekerja
pihak lain baik oleh orang maupun lembaga yang tidak bermaksud jahat
1
(unintentional threats) maupun yang bermaksud jahat (intentional threats).
informasi berkaitan erat dengan prinsip-prinsip penjaminan dari negara agar aktivitas
penyiaran yang dilakukan oleh lembaga penyiaran berdampak positif bagi publik.
Dalam hal ini, publik harus memiliki akses yang memadai untuk dapat terlibat,
1
Edmon Makarim, Sekilas Perkembangan Teknologi Sistem Informasi Dan Komunikasi dalam
Kompilasi Hukum Telematika, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 92
prinsip lain yang secara melekat (embedded) menyokong lembaga penyiaran, yakni
(keberagaman isi) dari lembaga penyiaran. Dengan kedua prinsip diversity ini
iklim kompetitif antar lembaga penyiaran agar bersaing secara sehat dalam
menyediakan pelayanan informasi yang terbaik kepada publik. Untuk itu sangat
dan kontrol publik. Prinsip ini membuka peluang akses bagi setiap warga negara
literasi dan/atau pemantauan untuk mengawasi dan melindungi publik dari isi siaran
2
yang merugikan masyarakat.
2
Ibid
3
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002: Penyiaran adalah kegiatan
pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di
antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya
untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.
bisnis yang juga berperan dalam kegiatan ekonomi nasional, oleh karenanya
Undang-undang ini mengatur secara jelas tentang segala aspek yang terkait dengan
sehingga modal pendirian lembaga penyiaran swasta harus modal nasional sehingga
6
tidak dipengaruhi kepentingan lain dari luar (pihak asing).
penyiaran swasta tidak diperbolehkan untuk menggunakan dana yang bersumber dari
dana yang berasal dari luar negeri, misalnya pinjaman komersial, atau melalui cara
lain yang dananya berasal dari luar negeri. Prinsip Undang-undang ini menekankan
dahulu dalam setiap tahap, harus dilakukan dengan cermat dan tepat sehingga dapat
dirasakan bahwa setiap tahap pembangunan itu mengarah pada semakin bertambah
7
baiknya kehidupan lapisan terbesar masyarakat.
asing menjadi lebih terbuka dengan memperbolehkan pihak asing untuk memiliki
6
Lihat, Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997
7
Ibid
puluh persen) sehingga kepemilikan saham ini berkaitan dengan perizinan lembaga
Tahun 2002. Sebagaimana bunyi Pasal 17 ayat (2) UU Nomor 32 Tahun 2002, yang
menyatakan:
dalam rangka pemenuhan modal yang berasal dari modal asing yang jumlahnya
tidak lebih dari 20 % (dua puluh perseratus) dari seluruh modal dan minimum
merupakan suatu kegiatan komunikasi massa yang selain mempunyai fungsi sebagai
media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial yang
ditujukan untuk memperkukuh integrasi nasional, membina watak dan jati diri
dan memperkuat daya saing bangsa dalam era globalisasi serta untuk menumbuhkan
8
Pasal 16 UU No. 32 Tahun 2002: Lembaga Penyiaran Swasta sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (2) huruf b adalah lembaga penyiaran yang bersifat komersial berbentuk badan hukum
Indonesia, yang bidang usahanya hanya menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau televisi.
Pasal 58 “Dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk penyiaran
radio dan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) untuk penyiaran
televisi, setiap orang yang:
14
a. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1);
15
b. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1);
9
Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menyatakan
bahwa ”Lembaga Penyiaran Swasta wajib memberikan kesempatan kepada karyawan untuk memiliki
saham perusahaan dan memberikan bagian laba perusahaan”.
10
Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menyatakan
bahwa “Kepemilikan silang antara Lembaga Penyiaran Swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran
radio dan Lembaga Penyiaran Swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran televisi, antara Lembaga
Penyiaran Swasta dan perusahaan media cetak, serta antara Lembaga Penyiaran Swasta dan lembaga
penyiaran swasta jasa penyiaran lainnya, baik langsung maupun tidak langsung, dibatasi”.
11
Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menyatakan
bahwa “Lembaga penyiaran asing dilarang didirikan di Indonesia”.
12
Pasal 36 ayat (5) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menyatakan
bahwa “ Isi siaran dilarang:
a. bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong;
b. menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang;
atau
c. mempertentangkan suku, agama, ras, dan antar golongan”.
13
Pasal 36 ayat (6) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menyatakan
bahwa “ Isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-
nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional”.
14
Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menyatakan
bahwa “ Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang atau satu
badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun dibeberapa wilayah siaran, dibatasi”.
15
Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menyatakan
bahwa “Sebelum menyelenggarakan kegiatannya lembaga penyiaran wajib memperoleh izin
penyelenggaraan penyiaran”.
pengaturan antara lain mencakup pengaturan mengenai isi siaran, bahasa siaran,
kegiatan jurnalistik, siaran iklan, dan sensor isi siaran. Pengaturan secara rinci tentang
pedoman perilaku penyiaran diatur dalam suatu ketentuan yang ditetapkan oleh
Komisi Penyiaran Indonesia, yaitu lembaga negara yang bersifat independen dan
bertugas untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan penyiaran. Namun demikian
berbicara mengenai media masa (termasuk televisi), tidak terlepas dari apa yang
dikenal sebagai media agenda. Media agenda adalah masalah atau hal-hal yang akan
dikomunikasikan atau diberitakan oleh suatu media massa sesuai dengan hirarki
18
kepentingannya dalam suatu waktu tertentu . Di samping itu undang-undang
penyiaran telah juga mengatur tentang siaran berlanggan yakni berbentuk badan
hukum Indonesia, bidang kegiatan usaha berupa jasa penyiara berlangganan setelah
memperoleh izin, baik melalui radio, televisi, multimedia atau media informasi
16
Pasal 34 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menyatakan
bahwa “Izin penyelenggaraan penyiaran dilarang dipindahtangankan kepada pihak lain”.
17
Pasal 46 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menyatakan bahwa
“Siaran iklan niaga dilarang melakukan promosi yang bertentangan dengan UU dan kesusilaan.
18
Dearing, James W and Rogers, Everett M., Agenda-Setting. Sage Publications Inc, 1996,
hal. 89
pembiayaan berasal dari iuran berlangganan dan usaha lainnya yang sah.
berlanggan salah satunya adalah struktur kepemilikan dan izin dari perusahaan media
19
massa itu sendiri. Menurut Andrew Ó Baoill, perbedaan struktur kepemilikan suatu
media massa dapat menimbulkan perbedaan tujuan, maksud dan hal lainnya sehingga
20
dapat menyebabkan perbedaan dalam konstruksi dan isi dari media agenda tersebut,
yang diduga tidak memperoleh izin dan melebihi batasan kepemilikan asing terhadap
All Asia Network Plc (Astro) yang membeli saham PT Broadband Multimedia Tbk
2002 yang dilakukan oleh Astro All Asia Network Plc (Astro) yakni pasal perizinan,
pasal kepemilikan asing dengan menguasai 51 persen saham Direct Vision dan tidak
19
Mengenai Perizinan yang termuat dalam Bagian Kesebelas, Bab III, dipaparkan bahwa izin
dan penyelenggaraan diberikan oleh Negara melalui KPI dan lembaga penyiaran bersangkutan wajib
membayar izin penyelenggaraan penyiaran melalui kas negara. Jangka waktu pemberian izin
penyiaran untuk radio adalah selama 5 tahun, masa percobaan selama 6 bulan, sementara untuk televisi
selama 10 tahun, masa percobaan selama 1 tahun. Izin tersebut dapat diperpanjang dan dicabut dalam
hal tidak lulus masa uji coba siaran; melanggar penggunaan spektrum radio atau wilayah jangkauan
siaran yang ditetapkan; tidak melakukan kegiatan siaran selama 3 bulan tanpa konfirmasi kepada KPI;
dipindahtangankan kepada pihak lain; melanggar ketentuan rencana dasar teknik penyiaran dan
persyaratan teknis perangkat penyiaran atau melanggar ketentuan standar program siaran.
20
Andrew Ó Baoill, The Effect of Ownership Structure on the Media Agenda,
www.funferal.org, diakses tanggal 29 Juli 2009
21
digambarkan sebagai berikut:
memerlukan suatu infrastruktur informasi yang identik dengan teknologi tinggi serta
tersendiri, yaitu padat modal (capital intensive), memerlukan skala ekonomis yang
besar supaya optimal, serta perputaran uangnya relatif lambat sehingga relatif lama
21
http://www.google.com, diakses tanggal 28 Juli 2009
22
Yang dimaksud dalam pertelevisian disini adalah perusahaan penyelenggara jasa penyiaran
televisi.
kebutuhan modal industri televisi sangat besar, sehingga mau tak mau larangan
24
investasi langsung dari asing ke media elektronik itu harus dibuka.
adalah padat modal, dipengaruhi oleh perkembangan teknologi yang sangat cepat dan
25
menjadi ajang pemasaran produk. Secara ekonomis, kehadiran media massa
menggerakkan usaha dalam berbagai sektor seperti produksi, distribusi dan konsumsi
26
jasa media massa. Dari segi permodalan, trilyunan rupiah telah dikucurkan dalam
industri ini. Namun, jumlah tersebut diikuti pula oleh perputaran uang yang tergolong
menggiurkan. Dari penerimaan iklan, misalnya, pada tahun 1999 lalu sedikitnya Rp
27
3,4 trilyun yang berhasil diraih. Saat krisis melanda Indonesia menariknya belanja
iklan justru meningkat pesat. Pada 1998 jumlahnya mencapai Rp. 3,75 trilyun dan
28
terus melonjak sampai Rp. 9,7 trilyun pada 2001, sementara hasil riset Nielsen
mengungkapkan total belanja iklan di televisi pada tahun 2003 sebesar Rp 11, 658
29
triliun. .
23
Riri Satria, Sistem Multimedia dan Keberaksaraan, Sinar Harapan, 8 Oktober 2001,
www.sinarharapan.co.id, diakses tanggal 28 Juli 2009
24
Max Wangkar, Medan Penyiaran Siapa Mau Kuasa, Majalah Pantau, Tahun II Nomor 11,
Maret 2001, www.pantau.or.id, diakses tanggal 28 Juli 2009
25
Ishadi, Kompetensi Dalam Rangka Meningkatkan Keterjangkauan Layanan Telematika Bagi
Pembangunan Masyarakat Indonesia, Makalah dalam Raker Mastel, di Jakarta, 1 Maret 2004
26
Steven H Chaffee, “The Interpersonal Context of Mass Communication” in Current
Perspective in Mass Communication Reseach, ed by F Gerald Kline and Phillips J Tickenor, Sage
Publication, 1972, hal.114
27
Tim Litbang Kompas, Saatnya Publik Berkuasa atas Televisi, Kompas Cyber Media, 25
Agustus 2000, www.kompas.com, diakses tanggal 30 Juli 2009
28
Arif Rusli dkk, Mengendalikan Televisi Dari Negara ke Yang Satu ini, Media Kerjabudaya
Online, http://mkb.kerjabudaya.org
29
Cakram Komunikasi, http://www.google.co.id, diakses tanggal 30 Juli 2009
dominan, hal tersebut terlihat dari keadaan dimana lebih dari 20 jam sehari, jutaan
pasang mata duduk di depan pesawat televisi menyaksikan apa pun yang disuguhkan
31
oleh televisi. Televisi mampu menyatukan perhatian penduduk Indonesia dalam
32
waktu bersamaan. Sehingga industri pertelevisian merupakan sarana efektif untuk
krusial dari dinamika sosial yang memelihara struktur sosial dalam suatu proses
produksi dan reproduksi yang konstan melalui makna, berupa populer pleasures, dan
oleh karena itu sirkulasinya adalah bagian dan merupakan parcel struktur sosial.
Televisi didisain sebagai institusi media yang, antara lain, memiliki fungsi informatif-
asing, menjadi tuan rumah di negeri sendiri, atau memelihara dan melestarikan
33
kebudayaan nasional.
televisi mempunyai peran penting dalam eksplorasi gagasan identitas budaya dan
34
realitas politik. Industri televisi khususnya lembaga penyiaran berlangganan
30
Pasal 1 ayat (4) UU No.32 Tahun 2002: Penyiaran televisi adalah media komunikasi massa
dengar pandang yang menyalurkan gagasan dan informasi dalam bentuk suara dan gambar secara
umum, baik terbuka maupun tertutup, berupa program yang teratur dan berkesinambungan.
31
Victor Manayang, Sangat Besar, Pengaruh TV bagi Karakter, Bali Post, 29 April 2002
32
Ibid
33
BM Mursito, Budaya Televisi dan Determinisme Simbolik, Pusat Studi Unversitas Terbuka,
www.infosia.ut.ac.id, diakses tanggal 30 Juli 2009
34
Agunghima, Televisi dan Refleksi Masa Depan, Suara Merdeka, 24 Agustus 2001,
www.suaramerdeka.com, diakses tanggal 30 Juli 2009
35
keuntungan ekonomis, namun kekuatannya mampu membentuk citra. . Oleh karena
itu, meskipun berbalut unsur komersial, televisi tetap menjadi alat dari sebuah
berpengaruh terhadap industri ini, keinginan pemilik modal berinvestasi di bidang ini
36
tidak menyurut. Begitu strategisnya peranan televisi khususnya penyiaran
sepertinya telah menyebabkan baik pihak asing maupun pemegang saham dalam
negeri perusahaan televisi swasta berlangganan itu sendiri, dalam kaitan kepemilikan
pihak asing dan perizinan, hampir tidak memperdulikan batasan yang ditentukan oleh
undang-undang penyiaran. Hal ini dapat dilihat dalam penanganan tindak pidana
perangkat penerima siaran televisi yang dapat menerima siaran tekevisi yang
dalam Pasal 30 dan atau Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002
37
tentang penyiaran. Adapun deskripsi kasus dimaksud sebagai berikut:
35
Tim Litbang Kompas, Loc.cit
36
Ibid
37
Berita Acara Pemeriksaan Saksi di Satuan Reserse Kriminal Poltabes MS
lain dapat digambarkan dari upaya represif yang dilakukan oleh Polda Metro Jaya
siaran Malaysia langsung kepada pemirsa di Indonesia. Polda Metro Jaya berhasil
kawasan ruko Pasar Modern Sarua, Perumahan Vila Dago, Ciputat, Tanggerang.
Indonesia merupakan pangsa pasar yang besar bagi Astro Malaysia yang tidak
mengantongi izin siaran di Indonesia. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Arya
Mahendra Sinulingga bahwa “ Ini tanda Indonesia memang menjadi pangsa pasar
yang besar bagi Astro Malaysia yang sudah tidak mengantongi izin siaran di
Indonesia, ini jelas pelanggaran yang harus ditangani Polisi maupun Departemen
38
Kominfo”. Adapun deskripsi hasil tindakan yang dilakukan oleh Polda Metro Jaya
39
sebagai berikut:
“sejumlah barang bukti yang menunjukkan adanya penjualan siaran gelap itu
antara lain bukti transfer pembayaran berlangganan, dekoder dan parabola.
Dekoder milik Astro Indonesia berwarna hitam tetapi yang dijumpai petugas
berwarna silver. Padahal Astro Malaysia sudah menghentikan pasokan
dekoder untu PT. Direct Vision (DV) selaku pemegang hak siaran Astro di
Indonesia yang sah. Dari keterangan sejumlah saksi polisi mengindikasi
adanya pengiriman dekoder gelap untuk menangkap siaran langsung dari
Malaysia. Siara tanpa izin langsung dari Astro Malaysia yang bisa ditangkap
satelit Indonesia menggunakan satelit Measat. Saat ini, satelit tersebut tidak
mempunyai izin labuh di Indonesia. Perangkat dekoder dan parabolanya tidak
disertifikasi oleh Ditjen Postel. Siarannya belum mendapat rekomendasi dari
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Modus siaran illegal dengan
menggunakan dealer-dealer di Indonesia untuk mencari pelanggan. Saat
penggerebekan polisi meminta keterangan petuga dealer dan pelanggan.
Siaran itu bertentangan dengan UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
yang menyatakan bahwa segala penyiaran yang dilakukan di negera RI harus
dilakukan oleh perusahaan di Indonesia yang mempunyai izin dari
pemerintah, semua alat-alat penyiaran yang digunakan harus disertifikasi oleh
Ditjen Postel dan sistem konfigurasi penyiaran harus lulus uji coba yang
diselenggarakan pemerintah. Perangkat fasilitas up link bagi penyiaran harus
berlokasi di Negara RI”.
38
Arya Mahendra Sinulingga, Sekretaris Perusahaan PT. MNC Skyvision,
www.kabarindonesia.com, diakses tanggal 29 Juli 2009
39
Ibid
40
untuk meminta pertanggungjawaban pelaku khususnya lembaga penyiaran.
untuk dapat dipidananya perbuatan (de strafbaarheid van het feit atau het verboden
zijr van het feit) menggunakan perangkat hukum yang diatur di dalam undang-undang
yang berkaitan dengan teknologi informasi maupun KUH Pidana, artinya bahwa
penggunaan kriminalisasi merupaka penjabaran dari asas legalitas yang dianut dalam
41
hukum pidana yakni “nullum delictum, nulla poena, sine pravia lege poenali”.
40
Lihat, Ridwan Khairandy, Pembaharuan Hukum Kontrak Sebagai Antisipasi Transaksi
Electronic Commerce, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 16, November 2001, hal. 62 bahwa di Amerika
Serikat pengaturan cyberlaw tidak dituangkan dalam satu undang-undang tertentu. Amerika Serikat
antara lain memiliki The Digital Signature Act of 1999 yang ditujukan untuk mengatur standar tanda
tangan elektronik, ketentuan dimaksud untuk memberikan perlindungan konsumen dari perusahaan
yang mencoba untuk berbuat confuse dengan electronic disclosure atau memaksa mereka untuk
melepaskan hak mereka terhadap paper record. Berkaitan dengan pengaturan domain names, Amerika
Serikat telah menambahkan Pasal 43 (d) Trademark Act of 1946, Lanham Act yang diamandemen.
Pasal 43 (d) mengatur mengenai cyberpiracy prevention.
41
Mulyanto dalam Faisal Salam, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: Pustaka,
Bandung, 2004), hal. 87, bahwa KUH Pidana adalah merupakan suatu kodifikasi hukum pidana yang
tidak semua tindak pidana dimasukkan dalam kodifikasi tersebut. Tetapi hal ini tidak mungkin karena
selalu timbul perbuatan-perbuatan yang karena perkembangan masyarakat yang tadinya bukan
merupakan tindak pidana lalu menjadi tindak pidana. Sebagaimana diketahui dalam KUH Pidana
terdapat suatu bagian yang memuat aturan umum yaitu buku kesatu, yang memuat asas-asas hukum
pidana pada umumnya dan defenisi-defenisinya yang berlaku bagi seluruh bidang hukum pidana
positif, baik yang dimuat dalam KUH Pidana maupun yang dimuat dalam peraturan perundang-
undangan lainnya. Aturan penutup dari buku kesatu KUH Pidana (Pasal 103) menyatakan bahwa
ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII dari buku kesatu juga berlaku bagi
perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan-ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan
pidana, kecuali jika oleh undang-undang yang bersangkutan ditentukan lain. Jadi semua tindak pidana
di luar KUH Pidana harus tunduk pada aturan-aturan umum yang dimuat dalam buku kesatu KUH
Pidana itu, kecuali apabila secara khusus diatur oleh peraturan perundang-undangan itu sendiri.
Peraturan perundang-undangan yang memuat tindak pidana di luar KUH Pidana itu, berbeda dengan
KUH Pidana. Sebab pada umumnya selain mengatur tentang segi-segi hukum pidana materiil
(perumusan tindak pidana, macam-macam pidana dan lain-lain), juga mengatur secara khusus tentang
segi-segi hukum pidana formal, yaitu bagaimana cara melaksanakan hukum pidana materiil itu,
misalnya pengusutan, penuntutan, mengadili perkara dan lain-lain.
Polri sebagai penyidik adalah merupakan salah satu suatu proses dari penegakan
hukum pidana dalam sistem peradilan pidana, hal tersebut telah dirumuskan dalam
pasal 1 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa
“serangkaian tindakan penyidikan dalam hal dan menurut tata cara yang telah diatur
dalam undang-undang untuk itu perbuatan berupa mencari dan mengumpulkan bukti
yang dengan bukti tersebut dapat membuat terang tindak pidana yang terjadi guna
dugaan terjadinya tindak pidana di bidang penyiaran. Adapun isi dari nota
“KPI sesuai tugas dan kewenangannya wajib membantu Polri secara teknis
tindak pidana di bidang Penyiaran. Bantuan teknis yang diberikan oleh KPI
meliputi:
perizinan dan isi siaran dapat diartikan sebagai ”Ultimum Remedium” terhadap pelaku
kejahatan di bidang penyiaran misalnya penyiaran tanpa izin yang telah ditentukan
(delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta
44
rupiah). Di samping itu undang-undang penyiaran telah menentukan bahwa
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak
Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) barangsiapa dengan sengaja tanpa izin
42
Lihat, Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 31, bahwa sifat
hukum pidana sebagai ultimum remedium menghendaki apabila tidak perlu sekali hendaknya jangan
menggunakan hukum pidana sebagai sarana.
43
Lihat, Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung:
Alumni, 1984), hal. 89, bahwa keharusan untuk memperbaharui hukum pidana disebabkan oleh
perkembangan kriminalitas yang berkaitan erat dengan perubahan dan perkembangan masyarakat
Indonesia secara keseluruhan yang sedang mengalami proses modernisasi.
44
Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
45
Pasal 68 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
menempatkan manusia sebagai subjek hukum pidana yang didasarkan atas adanya
kesalahan, sebagaimana terlihat dari kata-kata dalam setiap pasal KUH Pidana, yakni
46
pertanggungjawaban.
secara tegas mengklasifikasi bahwa perbuatan pidana yang dilakukan oleh korporasi
47
sebagai perbuatan yang dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana.
pertanggungjawaban pidana yakni setiap orang. Hal ini mengadung arti bahwa
penyiaran tidak termasuk dalam subyek yang dapat dipidana. Hal ini dapat
telah diterima sebagai sujek hukum dalam tindak pidana tertentu dan seharusnya
nasional.
46
Dwidja Priyatno, Kebijakan Legalisasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi di Indonesia, cet.I (Bandung: Utomo, 2004), hal. 42
47
Lihat, Pasal 57 sampai dengan Pasal 59 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran
pidana, hal ini karena korporasi tidak mempunyai perasaan seperti manusia sehingga
Sekarang ini korporasi atau badan-badan usaha dalam dunia bisnis dapat diminta
lembaga penyiaran. Asas tiada pidana tanpa kesalahan (asas kesalahan) yang berlaku
dalam hukum pidana selama ini dapat menghambat penegakan hukum terhadap
48
Sue Titus Reid, Criminal Law, (Prentice Hall, New Jersey, 1995), hal 53.
50
pengenaan pidana, sehingga untuk pertanggungjawaban suatu perbuatan pidana
diperlukan beberapa syarat yakni adanya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh
B. Permasalahan
49
Clarke dalam Edi Setiadi, Hukum Pidana Ekonomi, (Bandung: Fakultas Hukum Universitas
Islam, 2004), hal. 25, mempergunakan istilah Business Crime, kedalam istilah ini termasuk tindak
pidana yang berkaitan dengan dan terjadi didalam kegiatan perdagangan, keuangan, perbankan dan
kegiatan perpajakan. Clarke telah memperluas pengertian business crime yaitu suatu kegiatan yang
(selalu) memiliki konotasi legitimate business dan tidak identik dengan kegiatan suatu sindikat
kriminil. Dengan demikian Clarke membedakan secara tegas kegiatan yang termasuk business crime
disatu pihak dengan kegiatan yang dilakukan oleh suatu sindikat kriminal yang juga bergerak didalam
kegiatan perdagangan. Clarke telah mengungkapkan dan menyebutkan dua wajah khas dari suatu
business crime, yaitu pertama, suatu keadaan legitimatif untuk melaksanakan kegiatannya yang
bersifat eksploitasi, dan kedua, suatu akibat khas ialah sifat kontestabiliti dari kegiatannta dalam arti
kegiatan yang dipandang illegal menurut undang-undang masih dapat diperdebatkan oleh para
pelakunya.
50
Bandingkan, Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Badan Penyediaan Bahan-bahan Kuliah
FH Undip, 1987/1988), hal. 85, bahwa dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun
perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan (an objective
breach of a penal provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana.
Untuk pemindanaan masih perlu adanya syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemindanaan masih
perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah
(subjektive guilt). Dengan perkataan lain orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas
perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut.
berlangganan?
C. Tujuan Penelitian
penyiaran.
D. Kegunaan Penelitian
1. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pihak-
2. Secara teoritis penelitian ini diharapkan akan menjadi bahan untuk penelitian
lebih lanjut terhadap kriminalisasi tindak pidana di bidang penyiaran agar dapat
penyiaran.
E. Keaslian Penelitian
Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran belum pernah dilakukan oleh peneliti lain
sebelumnya. Sehingga dapat dikatakan penelitian ini asli dan keaslian secara
lurus dengan melihat sejauh mana pemahaman hukum dan kesadaran hukum
bahwa dapat ditarik titik temunya dengan melihat sejauh mana efektivitas suatu
sistem hukum dapat berlaku dengan baik di tengah-tengah masyarakat baik sebagai
suatu norma sangat erat kaitannya dengan pengaruh hukum terhadap masyarakat, inti
dari pengaruh hukum terhadap masyarakat adalah perilaku masyarakat yang sesuai
dengan hukum yang berlaku atau yang telah diputuskan walaupun efektivitas ini pada
52
hakekatnya memiliki muatan politis yang diinginkan oleh pembuat undang-undang.
sedangkan dilain pihak efektivitas hukum berkaitan erat dengan masalah kepatuhan
hukum sebagai norma. Hal ini berbeda dengan kebijakan dasar yang relatif netral dan
bergantung pada nilai universal dari tujuan dan alasan pembentukan undang-
53
undang. Untuk memprediksi efektivitas suatu kaedah hukum yang terdapat didalam
undang-undang tidak terlepas dari sistem hukum yang rasional, karena pada sistem
hukum rasional yang memberikan panduan adalah hukum itu sendiri bukan sistem
51
Hikmahanto Juwana, Politik Hukum UU Bidang Ekonomi di Indonesia, Disampaikan Pada
Seminar Nasional Reformasi Hukum dan Ekonomi, Sub Tema: Reformasi Agraria Mendukung
Ekonomi Indonesia diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis USU ke-52 Medan, Sabtu 14 Agustus
2004, bahwa hukum menjadi berarti secara rasional apabila perilaku manusia dipengaruhi oleh hukum
dan apabila masyarakat menggunakan hukum untuk menuruti perilakunya, sedangkan dilain pihak
efektivitas hukum berkaitan erat dengan masalah kepatuhan hukum sebagai norma. Hal ini berbeda
dengan kebijakan dasar yang relatif netral dan bergantung ada nilai universal dari tujuan dan alasan
pembentukan undang-undang tersebut.
52
Wayne La Farve dalam Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang mempengaruhi Penegakan
Hukum, (Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2004), hal. 7
53
Lihat, Hikmahanto Juwana, Loc.cit.
dielaborasi melalui sistem keadilan yang secara profesional disusun oleh individu-
54
terhindar dari penafsiran hukum secara black letter rules atau penafsiran legalistik.
55
kemasyarakatan.
pidana.
dinyatakan sebagai tindak pidana berdasarkan hukum pidana yang berlaku, dan secara
subjektif kepada pembuat tindak pidana yang memenuhi persyaratan untuk dapat
dikenai pidana karena perbuatannya. Untuk itu sistem pemidanaan yang dianut dalam
56
korporasi di antaranya:
56
I.S. Susanto, Kejahatan Korporasi, (Semarang: Makalah Penataran Dosen Hukum Pidana
dan Kriminologi, Undip, 1993), hal. 5
57
berikut:
1. Korporasi mencakup baik badan hukum (legal entity) maupun non badan hukum
seperti organisasi dan sebagainya;
2. Korporasi dapat bersifat privat (private juridical entity) dan dapat pula bersifat
publik (public entity);
3. Apabila diidentifikasikan bahwa tindak pidana lingkungan dilakukan dalam
bentuk organisasional, maka orang alamiah (managers, agents, employess) dan
korporasi dapat dipidana baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama (bi-
punishmentprovision);
4. Terdapat kesalahan manajemen korporasi dan terjadi apa yang dinamakan breach
-
of a statutory or regulatory provision;
5. Pertanggungjawaban badan hukum dilakukan terlepas dari apakah orang-orang
yang bertanggungjawab di dalam badan hukum tersebut berhasil diidentifikasikan,
dituntut dan dipidana;
6. Segala sanksi pidana dan tindakan pada dasarnya dapat dikenakan pada korporasi,
kecuali pidana mati dan pidana penjara. Dalam hal ini perlu dicatat bahwa
Amerika Serikat mulai dikenal apa yang dinamakan corporate death penalty dan
corporate imprisonment yang mengandung pengartian larangan suatu
korporasi untuk
berusaha di bidang-bidang usaha tertentu dan pembatasan-pembatasan lain terhadap
langkah-langkah korporasi dalam berusaha;
7. Penerapan sanksi pidana terhadap korporasi tidak menghapuskan kesalahan
perorangan;
57
Muladi, Prinsip-prinsip dasar Hukum Pidana Lingkungan Dalam kaitannya Dengan UU
No. 23 Tahun 1997, Makalah, Seminar Kajian dan Sosialisasi W No. 23 Tahun 1997, FH UNDIP,
Semarang, 1998, hal. 17 - 18.
kompleks yang dapat dipahami dari berbagai sisi yang berbeda. Itu sebabnya dalam
yang berbeda satu dengan yang lain. Dalam pengalaman ternyata tidak mudah untuk
memahami kejahatan itu sendiri. Tindak pidana berasal dari istilah Belanda
58
straafbaar feit.yang berarti: “perbuatan yang dapat dihukum” Sedangkan menurut
Mulyatno, istilah tindak pidana disebut sebagai perbuatan pidana yang diartikan
sebagai: “Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi siapa yang melanggar larangan
59
tersebut”.
problem sosial yang dinamakan kejahatan dapat dilakukan dengan berbagai cara.
Sudah barang tentu tidak hanya dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana)
58
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Stelsel Pidana, Teori-teori
Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 69
59
Ibid, hal. 71
pencapaian hasil perundangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat
60
keadilan dan daya guna.
hukum termasuk hukum pidana merupakan bidang kebijakan penegakan hukum yang
masyarakat (social wefare). Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa tujuan utama dari
60
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, Makalah disampaikan pada Seminar
Krimonologi VI, Semarang, Tanggal 16-18 September 1991, hal. 6
61
Lihat, Barda Nawawi Arief, Kebijakan Kriminal, Makalah disampaikan pada Seminar
Krimonologi VI, Semarang, Tanggal 16-18 September 1991, hal. 2
62
Lihat, Barda Nawawi Arief, Upaya Non Penal Dalam Kebijakan Penaggulangan
Kejahatan, Makalah disampaikan pada Seminar Krimonologi VI, Semarang, Tanggal 16-18 September
1991, hal. 2
63
Ibid
penanggulangan kejahatan lewat jalur non penal lebih bersifat tindakan pencegahan
berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau
demikian secara makro dan global maka upaya-upaya non penal menduduki posisi
Menurut Barda Nawawi Arief, usaha untuk membuat peraturan pidana yang
baik pada hakekatnya tidak dapat dipisahkan dari tujuan penanggulangan kejahatan.
Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik
kriminal. Dengan kata lain jika dilihat dari sudut pandang politik kriminal, akan
pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik, dalam
arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Selain itu juga, usaha penanggulangan
kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha
penegakan hukum pidana. Oleh karena itu sering juga dikatakan bahwa politik atau
64
Lihat, Barda Nawawi Arief, op-cit, hal. 3
65
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 1996), hal. 29
Friedman yang mengkaji dari sistem hukum (legal system) menyatakan bahwa ada
tiga komponen yang ikut menentukan berfungsinya suatu hukum (dalam hal ini
hukum pidana), yaitu struktur hukum, subtansi hukum, dan budaya hukumya. Dari
ketiga komponen inilah menurut Friedman kita dapat melakukan analisis terhadap
67
berkerjanya hukum sebagai suatu sistem.
Kebijakan kriminal atau politik kriminal adalah suatu kebijakan atau usaha
yang rasional dari masyarakat dan negara untuk menanggulangi masalah kejahatan,
pidana juga merupakan bagian dari kejahatan kriminal yang dapat diterjemahkan
pidana.
a. Penyiaran diselenggarakan dalam satu sistem penyiaran nasional (Pasal 6 ayat 1);
66
Ibid, hal., 27-28
67
Lawrence Friedmen, America Law An Introduction , sebagaimana diterjamahkan oleh
Wisnu Basuki (Jakarta: PT Tatanusa, 1984), hal. 6-7.
c. Dalam sistem penyiaran nasional terdapat lembaga penyiaran dan pola jaringan
yang adil dan terpadu yang dikembangkan dengan membentuk stasiun jaringan
dan stasiun lokal. Adil dan terpadu yang dimaksud di sini dengan demikian
nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa,
massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat,
kontrol dan perekat sosial. Dalam menjalankan fungsi tersebut, penyiaran juga
penggunaan seluruh upaya baik setelah kejahatan terjadi maupun sebelum kejahatan.
kepada orang yang bersalah (azas “culpabilitas” tidak ada pidana tanpa kesalahan)
dan selalu didasarkan pada unsur subjektif atau mens rea dan unsur obejektifnya atau
actus reus. Di dalam mens rea yang harus dibuktikan yaitu mengenai atau patut
perkembangan masyarakat telah diterima sebagai subjek hukum pidana. Penerima ini
dapat berakibat hukum yaitu dapat melakukan hubungan hukum dan dapat
kejahatan organisasi disebut juga dengan “corporate crime” dan harus dibedakan
mempunyai sindikat kejahatan (organized crime), seperti yang dilakukan oleh para
mafia. Sedangkan kejahatan korporasi adalah suatu bentuk kejahatan (crime) dalam
bentuk “white collar crime”, merupakan tindakan yang melanggar hukum pidana,
yang dilakukan oleh suatu perusahaan atau badan hukum yang bergerak di bidang
bisnis, melalui pengurus atau yang diotorisasi olehnya, di mana meskipun perusahaan
tidak pernah mempunyai niat jahat (mens rea). Akan tetapi, dengan pertimbangan
tertentu, perusahaan tersebut yang harus bertanggung jawab secara hukum dan
karenanya perusahaan tersebutlah yang harus dihukum pidana meskipun terbatas pada
68
izin dan sebagainya.
perhatian ditujukan pada perilaku perusahaan yang melawan hukum. Beliau juga
mengatakan bahwa :
umumnya, karena perilaku kejahatan ini termasuk apa yang dikenal sebagai “white
memberikannya perhatian khusus, baik dari kalangan akademisi ahli kriminologi dan
70
ahli hukum pidana, maupun dari kalangan praktisi penegak hukum. Di samping itu,
68
Munir Fuady, Bisnis Kotor, Anatomi Kejahatan Kerah Putih, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2004), hal. 26
69
Yusuf Shofie, Pelaku Usaha, Konsumen, Dan Tindak Pidana Korporasi, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2002), hal. 47
70
Marjono Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, (Jakarta:
Kumpulan Karangan Buku Kesatu, Pusat Layanan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia,
1994), hal. 65
merupakan suatu kejahatan terorganisir (organization crime) yang terjadi dalam suatu
kompleks, dan sangat bervariasi antara para direksi, pejabat eksekutif perusahaan, dan
menajer di satu pihak, dengan perusahaan induk, divisi, atau anak perusahaan di lain
71
pihak. Hal ini terjadi karena ada kemungkinan perusahaanlah yang melakukan
serupa bahwa kejahatan korporasi merupakan bagian dari “white collar crime”.
71
J.E Sahetapy, Kejahatan Korporasi, (Bandung: Penerbit Eresco, 1994), hal. 28
72
Yusuf Shofie, op.cit, hal. 44
kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan
73
Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia,
Strict Liability dan Vicarius Liability, (Jakarta: Raja Grafindo, 1996), hal. 41
74
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), hal. 44-47
75
pelaksanaannya.
76
ondememing, crimes of business, syndicate crime.
terdiri atas Radio Republik Indonesia dan Televisi Republik Indonesia yang
stasiun pusat penyiarannya berada di ibu kota negara RI dan didaerah provinsi,
kabupaten, atau kota dengan mendirikan lembaga penyiaran publik lokal. Adapun
77
masyarakat, siaran iklan dan usaha lainnya.
komersial, kepengurusan tidak boleh dilaksanakan oleh warga asing kecuali untuk
kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran sewasta oleh satu orang atau satu
75
Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
76
Munir Fuady, Bisnis Kotor: Anatomi Kejahatan Kerah Putih, Op.Cit, hal. 27
77
Ketentuan mengenai hal ini khusus termuat pada Bab III Bagian Keempat Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
Siaran iklan dan atau usaha lain yang sah. Lembaga penyiaran swasta jasa
siaran dengan saluran siaran pada satu saluran siaran pada satu cakupan wilayah
78
siaran.
bersifat komersial, didirikan oleh Komunitas tertentu, memiliki daya pancar yang
Lembaga ini dilarang menerima bantuan dana awal mendirikan dan dana
79
operasional dari pihak asing, serta dilarang melakukan siaran iklan.
izin, baik melalui radio, televisi, multimedia atau media informasi lainnya.
78
Point ini termuat pada Bab III Bagian Kelima, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002
tentang Penyiaran
79
Lihat, bagian keenam Lembaga Penyiaran Komunitas ayat (1) dan Pasal 23 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
80
Lihat, Pasal 25 ayat (2) dan Pasal 26 ayat (1), ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2002 tentang Penyiaran
1. Jenis Penelitian
asas-asas yang termuat di dalam hukum positif. Pendekatan penelitian ini adalah
dengan melihat dari segi peraturan-peraturan yang berlaku oleh karena itu dilakukan
penelitian kepustakaan.
Pada penelitian hukum, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam
ruang lingkup yang sangat luas, sehingga meliputi surat-surat pribadi, buku-buku
atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahuluan yang
81
Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Perpustakaan Di dalam
Penelitian Hukum, (Jakarta: Pusat Dokumentasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
1979), hal. 3
Adapun data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer,
primer dan bahan hukum sekunder yang berupa kamus umum, kamus hukum,
data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema
82
dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.
Berdasarkan pendapat Maria S.W. Sumardjono, bahwa analisis kualitatif dan analisis
kuantitatif tidak harus dipisahkan sama sekali apabila digunakan dengan tepat,
83
sepanjang hal itu mungkin keduanya dapat saling menunjang. Dengan analisis
84
kualitatif itu juga dilakukan metode interprestasi Berdasarkan metode interprestasi
ini, diharapkan dapat menjawab segala permasalahan hukum yang ada dalam tesis ini.
Setelah diperoleh data sekunder yakni berupa bahan hukum primer, sekunder dan
tertier, kemudian diolah dan dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif, yakni
pemaparan kembali dengan kalimat yang sistematis secara induktif dan atau deduktif
untuk dapat memberikan gambaran secara jelas jawaban atas permasalahan yang ada,
82
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002),
hal.103
83
Oloan Sitorus dan Darwinsyah Minin, Cara Penyelesaian Karya Ilmiah Di Bidang Hukum
(Panduan Dasar Menuntaskan Skripsi, Tesis dan Disertasi), (Yogyakarta: Mitra Kebijakan Tanah
Indonesia, 2003), hal. 47
84
Sudikno Mertokusumo dan A.Pitlo, mengatakan interprestasi merupakan metode
penemuan hukum dalam hal peraturannya ada tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada
peristiwanya, interprestasi itu, baik dilakukan dengan metode garmatikal, teleologis atau sosilogis,
sistematis atau logis, historis, komparatif, futuristis atau antisipatif, argumentum per analogiam
(analogi), penyempitan hukum, argumentum a contrario, Sudikno Mertokusumo dan A.Pitlo, Bab-Bab
Tentang Penemuan Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993), hal, 14-26. Lihat juga
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1999),
hal. 155-167