Anda di halaman 1dari 12

PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

BAB I TINJAUAN TEORITIS

A. KONSEP DASAR
1. Pengertian Kolelitiasis
Kolelitiasis atau dikenal sebagai penyakit batu empedu merupakan
penyakit yang di dalamnya terdapat batu empedu yang dapat ditemukan di
dalam kandung empedu atau di dalam saluran empedu atau pada kedua-
duanya. Mowat (1987) dalam Gustawan (2007) mengatakan kolelitiasis adalah
material atau kristal tidak berbentuk yang terbentuk dalam kandung empedu.
2. Tanda dan Gejala
Gejala yang mungkin timbul pada pasien kolelitiasis adalah nyeri dan kolik
bilier, ikterus, perubahan warna urin dan feses dan defisiensi vitamin. Pada
pasien yang mengalami nyeri dan kolik bilier disebabkan karena adanya
obstruksi pada duktus sistikus yang tersumbat oleh batu empedu sehingga
terjadi distensi dan menimbulkan infeksi. Kolik bilier tersebut disertai nyeri hebat
pada abdomen kuadran kanan atas, pasien akan mengalami mual dan muntah
dalam beberapa jam sesudah mengkonsumsi makanan dalam porsi besar.
Gejala kedua yang dijumpai pada pasien kolelitiasis ialah ikterus yang biasanya
terjadi pada obstruksi duktus koledokus. Salah satu gejala khas dari obstruksi
pengaliran getah empedu ke dalam duodenum yaitu penyerapan empedu oleh
darah yang membuat kulit dan membran mukosa berwarna kuning sehingga
terasa gatal-gatal di kulit. Gejala selanjutnya terlihat dari warna urin yang
berwarna sangat gelap dan feses yang tampak kelabu dan pekat. Kemudian
gejala terakhir terjadinya defisiensi vitamin atau terganggunya proses
penyerapan vitamin A, D, E dan K karena obstruksi aliran empedu, contohnya
defisiensi vitamin K dapat menghambat proses pembekuan darah yang normal.
(Smeltzer dan Bare, 2002)
3. Etiologi Kolelitiasis
Penyebab dan faktor resiko terjadinya batu empedu masih belum
diketahui secara pasti. Kumar et al (2000) dalam Gustawan (2007) mendapatkan
penyebab batu kandung empedu adalah idiopatik, penyakit hemolitik, dan
penyakit spesifik non-hemolitik. Schweizer et al (2000) dalam Gustawan (2007)
mengatakan anak yang mendapat nutrisi parenteral total yang lama, setelah
menjalani operasi by pass kardiopulmonal, reseksi usus, kegemukan dan anak
perempuan yang mengkonsumsi kontrasepsi hormonal mempunyai resiko untuk
menderita kolelitiasis.
Pada wanita yang menggunakan kontrasepsi hormonal, pembentukan
batu empedu terjadi karena adanya peningkatan saturasi kolesterol bilier
(Smeltzer dan Bare, 2002). Kegemukan merupakan faktor yang signifikan untuk
terjadinya batu kandung empedu. Pada keadaan ini hepar memproduksi
kolesterol yang berlebih, kemudian dialirkan ke kandung empedu sehingga
konsentrasinya dalam kandung empedu menjadi sangat jenuh. Keadaan ini
merupakan faktor predisposisi terbentuknya batu (Gustawan, 2007). Orang
dengan usia lebih dari 40 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan orang yang usia lebih muda. Hal ini terjadi akibat
bertambahnya sekresi kolesterol oleh hati dan menurunnya sintesis asam
empedu (Smeltzer dan Bare, 2002).
Selain itu adanya proses aging, yaitu suatu proses menghilangnya secara
perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri dan
mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan
terhadap jejas dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Darmojo dan Martono,
1994). Angka prevalensi orang dewasa lebih tinggi di negara Amerika latin (20-
40%) dan rendah di negara Asia (3-4%) (Robbin, 2007). Di Amerika Serikat,
terhitung lebih dari 20 juta orang Amerika dengan batu empedu dan dari hasil
otopsi menunjukkan angka kejadian batu empedu paling sedikit 20% pada
wanita dan 8% pada laki-laki di atas umur empat puluhan. (Beckingham, 2001).
Berdasarkan jenis batu yang terbentuk, faktor yang mempengaruhi
terbentuknya batu berbeda-beda. Kondisi-kondisi yang menjadi faktor
predisposisi terbentuknya batu pigmen adalah penyakit hemolitik yang kronik,
pemberian nutrisi parenteral total, kolestasis kronik dan sirosis dan pemberian
obat (cefriaxone). Sedangkan factor predisposisi terbentuknya batu pigmen
coklat adalah adanya infestasi parasit seperti Ascharis lumbricoides. Untuk batu
kolesterol, faktor resiko terjadinya batu kolesterol adalah kegemukan, reseksi
ileum, penyakit Chorn’s ileal dan fibrosis kistik (Heubi (2001) dalam Gustawan
(2007)).
Jadi dari beberapa sumber di atas penyebab dan faktor resiko terjadinya
batu pada kandung empedu (kolelitiasis) adalah penyakit hemolitik dan penyakit
spesifik nonhemolitik, anak yang mendapat nutrisi parenteral total dalam waktu
yang lama, wanita dengan usia lebih dari 40 tahun dan menggunakan
kontrasepsi hormonal, kegemukan, dan makanan berlemak.
4. Patofisiologi
Patofisiologi Pembentukan batu empedu dibagi menjadi tiga tahap: (1)
pembentukan empedu yang supersaturasi, (2) nukleasi atau pembentukan inti
batu, dan (3) berkembang karena bertambahnya pengendapan. Kelarutan
kolesterol merupakan masalah yang terpenting dalam pembentukan semua batu,
kecuali batu pigmen. Supersaturasi empedu dengan kolesterol terjadi bila
perbandingan asam empedu dan fosfolipid (terutama lesitin) dengan kolesterol
turun di bawah harga tertentu. Secara normal kolesterol tidak larut dalam media
yang mengandung air. Empedu dipertahankan dalam bentuk cair oleh
pembentukan koloid yang mempunyai inti sentral kolesterol, dikelilingi oleh
mantel yang hidrofilik dari garam empedu dan lesitin. Jadi sekresi kolesterol yang
berlebihan, atau kadar asam empedu rendah, atau terjadi sekresi lesitin,
merupakan keadaan yang litogenik(Schwartz, 2000).Pembentukan batu dimulai
hanya bila terdapat suatu nidus atau inti pengendapan kolesterol. Pada tingkat
supersaturasi kolesterol, kristal kolesterol keluar dari larutan membentuk suatu
nidus, dan membentuk suatu pengendapan. Pada tingkat saturasi yang lebih
rendah, mungkin bakteri, fragmen parasit, epitel sel yang lepas, atau partikel
debris yang lain diperlukan untuk dipakai sebagai benih pengkristalan(Lesmana,
2006).
Tipe Batu Empedu
Ada dua tipe utama batu empedu yaitu batu yang terutama tersusun dari
pigmen dan batu terutama yang tersusun dari kolesterol (Smeltzer dan Bare,
2002). Komposisi dari batu empedu merupakan campuran dari kolesterol,
pigmen empedu, kalsium dan matriks inorganik (Gustawan, 2007).
a) Batu kolesterol
Batu kolesterol mengandung lebih dari 50% kolesterol dari seluruh
beratnya, sisanya terdiri dari protein dan garam kalsium. Batu kolesterol sering
mengandung Kristal kolesterol dan musin glikoprotein. Kristal kolesterol yang
murni biasanya agak lunak dan adanya protein menyebabkan konsistensi batu
empedu menjadi lebih keras (Gustawan, 2007). Batu kolesterol terjadi karena
konsentrasi kolesterol di dalam cairan empedu tinggi. Ini akibat dari kolesterol di
dalam darah cukup tinggi. Jika kolesterol dalam kandung empedu tinggi,
pengendapan akan terjadi dan lama kelamaan menjadi batu. Kolesterol yang
merupakan unsur normal pembentuk empedu bersifat tidak larut dalam air.
Kelarutannya bergantung pada asam-asam empedu dan lesitin (fosfolipid) dalam
empedu. Pada pasien yang cenderung menderita batu empedu akan terjadi
penurunan sintesis asam empedu dan peningkatan sintesis kolesterol dalam
hati; keadaan ini mengakibatkan supersaturasi getah empedu oleh kolesterol
yang kemudian keluar dari getah empedu, mengendap dan membentuk batu.
Getah empedu yang jenuh oleh kolesterol merupakan predisposisi untuk
timbulnya batu empedu dan berperan sebagai iritan yang menyebabkan
peradangan dalam kandung empedu (Smeltzer dan Bare, 2002).
b) Batu Pigmen
Batu pigmen merupakan campuran dari garam kalsium yang tidak larut,
terdiri dari kalsium bilirubinat, kalsium fosfat, dan kalsium karbonat. Kolesterol
terdapat dalam batu pigmen dalam jumlah yang kecil yaitu 10% dalam batu
pigmen hitam dan 10-30% dalam batu pigmen coklat. Batu pigmen dibedakan
menjadi dua yaitu batu pigmen hitam dan batu pigmen coklat, keduanya
mengandung garam kalsium dari bilirubin. Batu pigmen hitam mengandung
polimer dari bilirubin dengan musin glikoprotein dalam jumlah besar, sedangkan
batu pigmen coklat mengandung garam kalsium dengan sejumlah protein dan
kolesterol yang bervariasi. Batu pigmen hitam umumnya dijumpai pada pasien
sirosis atau penyakit hemolitik kronik seperti thalasemia dan anemia sel sikle.
Batu pigmen coklat sering dihubungkan dengan kejadian infeksi (Gustawan,
2007). Batu pigmen akan terbentuk bila pigmen takterkonyugasi dalam empedu
mengadakan presipitasi (pengendapan) sehingga terjadi batu (Smeltzer dan
Bare, 2002).

5. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik pada pasien kolelitiasis sangat bervariasi, ada yang
mengalami gejala asimptomatik dan gejala simptomatik. Pasien kolelitiasis dapat
mengalami dua jenis gejala: gejala yang disebabkan oleh penyakit kandung
empedu itu sendiri dan gejala yang terjadi akibat obstruksi pada jalan perlintasan
empedu oleh batu empedu. Gejalanya bisa bersifat akut atau kronis. Gangguan
epigastrium, seperti rasa penuh, distensi abdomen dan nyeri yang samar pada
kuadran kanan atas abdomen dapat terjadi. Gangguan ini dapat terjadi bila
individu mengkonsumsi makanan yang berlemak atau yang digoreng (Smeltzer
dan Bare, 2002)
6. Pemeriksaan Diognostik
Pemeriksaan diagnostic yang dilakukan pada pasien kolelitiasis adalah
a. Pemeriksaan sinar-X abdomen, dapat dilakukan jikaterdapat kecurigaan akan
penyakit kandung empedu dan untuk menyingkirkan penyebab gejala yang
lain. Namun, hanya 15-20% batu empedu yang mengalami cukup kalsifikasi
untuk dapat tampak melalui pemeriksaan sinar-x.
b. Ultrasonografi, pemeriksaan USG telah menggantikan pemeriksaan
kolesistografi oral karena dapat dilakukan secara cepat dan akurat, dan
dapat dilakukan pada penderita disfungsi hati dan ikterus. Pemeriksaan USG
dapat mendeteksi kalkuli dalam kandung empedu atau duktus koledokus
yang mengalami dilatasi.
c. Pemeriksaan pencitraan Radionuklida atau koleskintografi. Koleskintografi
menggunakan preparat radioaktif yang disuntikkan secara intravena. Preparat
ini kemudian diambil oleh hepatosit dan dengan cepat diekskresikan ke
dalam system bilier. Selanjutnya dilakukan pemindaian saluran empedu untuk
mendapatkan gambar kandung empedu dan percabangan bilier.
d. ERCP (Endoscopic Retrograde CholangioPancreatography), pemeriksaan ini
meliputi insersi endoskop serat-optik yang fleksibel ke dalam esofagus hingga
mencapai duodenum pars desendens. Sebuah kanul dimasukkan ke dalam
duktus koledokus serta duktus pankreatikus, kemudian bahan kontras
disuntikkan ke dalam duktus tersebut untuk memungkinkan visualisasi serta
evaluasi percabangan bilier. ERCP juga memungkinkan visualisasi langsung
struktur bilier dan memudahkan akses ke dalam duktus koledokus bagian
distal untuk mengambil empedu.
e. Kolangiografi Transhepatik Perkutan, pemeriksaan dengan cara
menyuntikkan bahan kontras langsung ke dalam percabangan bilier. Karena
konsentrasi bahan kontras yang disuntikkan itu relatif besar, maka semua
komponen pada sistem bilier (duktus hepatikus, duktus koledokus, duktus
sistikus dan kandung empedu) dapat dilihat garis bentuknya dengan jelas.
f. MRCP (Magnetic Resonance Cholangiopancreatography), merupakan teknik
pencitraan dengan gema magnet tanpa menggunakan zat kontras, instrumen,
dan radiasi ion. Pada MRCP saluran empedu akan terlihat sebagai struktur
yang terang karena mempunyai intensitas sinyal tinggi, sedangkan batu
saluran empedu akan terlihat sebagai intensitas sinyal rendah yang
dikrelilingi empedu dengan intensitas sinyal tinngi, sehingga metode ini cocok
untuk mendiagnosis batu saluran empedu.(Lesmana, 2006).
7. Pencegahan dan Penatalaksanaan
Pencegahan kolelitiasis dapat di mulai dari masyarakat yang sehat yang
memiliki factor risiko untuk terkena kolelitiasis sebagai upaya untuk mencegah
peningkatan kasus kolelitiasis pada masyarakat dengan cara tindakan promotif
dan preventif. Tindakan promotif yang dapat dilakukan adalah dengan cara
mengajak masyarakat untuk hidup sehat, menjaga pola makan, dan perilaku
atau gaya hidup yang sehat. Sedangkan tindakan preventif yang dapat dilakukan
adalah dengan meminimalisir faktor risiko penyebab kolelitiasis, seperti
menurunkan makanan yang berlemak dan berkolesterol, meningkatkan makan
sayur dan buah, olahraga teratur dan perbanyak minum air putih.
Pada pasien yang sudah didiagnosa mengalami kolelitiasis dapat
dilakukan tindakan dengan cara bedah maupun non-bedah. Penanganan secara
bedah adalah dengan cara kolesistektomi. Sedangkan penanganan secara non-
bedah adalah dengan cara melarutkan batu empedu menggunakan MTBE,
ERCP, dan ESWL.
Kolesistektomi merupakan prosedur pembedahan yang dilakukan pada
sebagian besar kasus kolesistitis akut dan kronis. Jenis kolesistektomi
laparoskopik adalah teknik pembedahan invasif minimal di dalam rongga
abdomen dengan menggunakan pneumoperitoneum sistim endokamera dan
instrumen khusus melalui layar monitor tanpa melihat dan menyentuh langsung
kandung empedunya. Keuntungan dari kolesistektomi laparoskopik adalah
meminimalkan rasa nyeri, mempercepat proses pemulihan, masa rawat yang
pendek dan meminimalkan luka parut (Lesmana, 2006).
Penanganan kolelitiasis non-bedah dengan cara melarutkan batu empedu
yaitu suatu metode melarutkan batu empedu dengan menginfuskan suatu bahan
pelarut (monooktanion atau metil tertier butil eter [MTBE] ) ke dalam kandung
empedu. Pelarut tersebut dapat diinfuskan melalui jalur berikut ini: melalui selang
atau kateter yang dipasang perkutan langsung ke dalam kandung empedu;
melalui selang atau drain yang dimasukkan melalui saluran T-Tube untuk
melarutkan batu yang belum dikeluarkan pada saat pembedahan; melalui
endoskop ERCP; atau kateter bilier transnasal. Pengangkatan non-bedah
digunakan untuk mengeluarkan batu yang belum terangkat pada saat
kolesistektomi atau yang terjepit dalam duktus koledokus (Smeltzer dan Bare,
2002). ERCP (Endoscopi Retrograde Cholangi Pancreatography) terapeutik
dengan melakukan sfingterektomi endoskopik untuk mengeluarkan batu saluran
empedu tanpa operasi, pertama kali dilakukan tahun 1974. Batu di dalam saluran
empedu dikeluarkan dengan basket kawat atau balon-ekstraksi melalui muara
yang sudah besar tersebut menuju lumen duodenum sehingga batu dapat keluar
bersama tinja atau dikeluarkan melalui mulut bersama skopnya (Lesmana,
2006). ESWL (Extracorporeal Shock-Wave Lithoripsy) merupakan prosedur non-
invasif yang menggunakan gelombang kejut berulang (repeated shock waves)
yang diarahkan kepada batu empedu di dalam kandung empedu atau duktus
koledokus dengan maksud untuk memecah batu tersebut menjadi sebuah
fragmen. Gelombang kejut dihasilkan dalam media cairan oleh percikan listrik,
yaitu piezoelektrik, atau oleh muatan elektromagnetik (Smeltzer dan Bare, 2002).
Setelah penanganan bedah maupun non-bedah dilakukan, maka
selanjutnya dilakukan perawatan paliatif yang fungsinya untuk mencegah
komplikasi penyakit yang lain, mencegah atau mengurangi rasa nyeri dan
keluhan lain, serta meningkatkan kualitas hidup pasien. Perawatan tersebuit bisa
dilakukan dengan salah satu cara yaitu memerhatikan asupan makanan dengan
intake rendah lemak dan kolesterol.
8. Komplikasi
Komplikasi yang umum dijumpai adalah kolesistisis, kolangitis, hidrops
dan emfiema. Kolesistisis merupakan peradangan pada kandung empedu,
dimana terdapat obstruksi atau sumbatan pada leher kandung empedu atau
saluran kandung empedu, yang menyebakan infeksi dan peradangan pada
kandung empedu. Kolangitis adalah peradangan pada saluran empedu yang
terjadi karena adanya infeksi yang menyebar akibat obstruksi pada saluran
empedu. Hidrops merupakan obstruksi kronik dari kandung empedu yang biasa
terjadi di duktus sistikus sehingga kandung empedu tidak dapat diisi lagi oleh
empedu. Emfiema adalah kandung empedu yang berisi nanah. Komplikasi pada
pasien yang mengalami emfiema membutuhkan penanganan segera karena
dapat mengancam jiwa (Sjamsuhidajat (2005) dan Schwartz (2000)).

B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
1.Aktivitas dan istirahat:
-Subyektif : kelemahan
-Obyektif: kelelahan
2.Sirkulasi :
-Obyektif : Takikardia, Diaphoresis
3.Eliminasi :
-Subektif : Perubahan pada warna urine dan feces
-Obyektif : Distensi abdomen, teraba massa di abdomen atas/quadran
kanan atas, urine pekat .
4. Makan / minum (cairan)
- Subyektif : Anoreksia, Nausea/vomit.
Tidak ada toleransi makanan lunak dan mengandu
Regurgitasi ulang, eruption, flatunasi.
Rasa seperti terbakar pada epigastrik (heart burn).
Ada peristaltik, kembung dan dyspepsia.
5. Kegemukan.
- Kehilangan berat badan (kurus).
6. Nyeri/ Kenyamanan :
- Subyektif :
Nyeri abdomen menjalar ke punggung sampai ke bahu.
Nyeri apigastrium setelah makan.
Nyeri tiba-tiba dan mencapai puncak setelah 30 menit.
- Obyektif :
Cenderung teraba lembut pada klelitiasis, teraba otot meregang /kaku
hal ini dilakukan pada pemeriksaan RUQ dan menunjukan tanda marfin
(+).
7. Respirasi :
- Obyektif : Pernafasan panjang, pernafasan pendek, nafas dangkal, rasa tak
nyaman.
8. Keamanan :
- Obyektif : demam menggigil, Jundice, kulit kering dan pruritus , cenderung
perdarahan ( defisiensi Vit K ).
9. Belajar mengajar :
- Obyektif : Pada keluarga juga pada kehamilan cenderung mengalami batu
kandung empedu. Juga pada riwayat DM dan gangguan / peradangan pada
saluran cerna bagian bawah.

2. Diagnosa keperawatan
1. Ansietas berhubungan dengan krisis emosional
2. Risiko perdarahan berhubungan dengan proses invasif
3. Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif

3. Intervensi keperawatan
1. Pre operasi
Dx: ansietas berhubungan dengan krisis emosional
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan rasa cemas klien dapat
berkurang
Kriteria hasil:
a. Klien mengatakan sudah tidak cemas.
b. Klien terlihat lebih rileks.
c. Klien tidak gelisah
Intervensi:
a. Ucapkan salam pada pasien
b. Perkenalkan nama dan identitas diri
c. Informasi tentang operasi dan prosedurnya
d. Dampingi klien dan berikan support mental pada pasien
e. Anjurkan pasien untuk berdoa
2. Intra operasi
Dx: risiko perdarahan berhubungan dengan proses invasif
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan risiko gangguan
keseimbangan cairan tidak terjadi
Kriteria hasil: tidak mengalami perdarahan
Intervensi:
a. Melakukan scrubing, gowning, gloving
b. Mengkaji tanda-tanda perdarahan
c. Mengkaji keseimbangan cairan
d. Kolaborasi: menghentikan perdarahan jika terjadi perdarahan
e. Kolaborasi: terapi sesuai advice
3. Post operasi
Dx: risiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan diharapkan risiko
infeksi dapat diminimalisir
Kriteria hasil:
a. Tidak terdapat tanda-tanda infeksi
b. Luka operasi bersih
Intervensi:
a. Mendesinfeksi area op’ dg povidon iodine 10%
b. Memasang drap sterile area operasi
c. Memonitor keadaan umum dan mengukur TTV
d. Mengkaji tanda-tanda infeksi
e. Kolaborasi: terapi sesuai advice
4. evaluasi
a. Nyeri berkurang.
b. Asupan cairan adekuat.
c. Asupan nutrisi adekuat.
d. Mengerti tentang proses penyakit, prosedur pembedahan, prognosis dan
pengobatan.

Anda mungkin juga menyukai