Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Electroconvulsive Therapy (ECT) atau Terapi Kejang Listrik merupakan
terapi yang termasuk penatalaksanaan dalam gangguan psikiatri.
Electroconvulsive Therapy (ECT) sudah lama dikenal sebagai terapi dalam bidang
psikiatri. Electroconvulsive Therapy (ECT) atau terapi kejang listrik adalah suatu
intervensi non farmakologi penting yang efektif dalam pengobatan pasien dengan
gangguan neuro psikiatrik tertentu yang berat. ECT menggunakan arus listrik
singkat melalui otak yang menginduksi kejang umum sistem saraf pusat. Respons
ECT dapat terjadi secara cepat dan perlu diberikan dalam suatu periode dalam
beberapa minggu. Bila melihat sejarah penggunaan terapi ini, maka terapi ini
sudah dimulai pada tahun 1934, dimana saat itu Ladislas J. Von Meduna
melaporkan terapi yang berhasil dari katatonia dan gejala skizofrenia lain dengan
kejang yang ditimbulkan secara farmakologis.1
Dalam sejarah pengobatan pada penderita gangguan jiwa yang paling awal
adalah: ”Terapi Kejang Listrik” (Electroconvulsive Therapy), terapi yang lebih
awal dari pada psikofarmaka. Sebelum itu penderita gangguan jiwa, diisolir oleh
masyarakat, dipasung, dirantai diceburkan ke dalam kolam. Phillipe Pinel (1745-
1826) mengumpulkan penderita gangguan jiwa di suatu tempat (Rumah Sakit
Salpetriere untuk laki-laki dan Bicetre untuk wanita) dan membebaskan mere dari
belenggu/rantai yang mengikat mereka. Pada saat itu masih baru taraf
membebaskan dari belenggu dan mengumpulkan penderita gangguan jiwa, belum
mengobati. Dengan kemajuan zaman dan berkembangannya penelitian-penilitian
yang canggih, khususnya dalam ilmu kedokteran jiwa, maka ditemukan obat
untuk penderita gangguan jiwa. Walaupun sekarang sudah ditemukan berbagai
macam obat psikofarmaka/obat untuk penderita gangguan jiwa, tetapi tidak semua
obat psikofarmaka dapat mengobati semua penderita gangguan jiwa. Terapi
Kejang Listrik masih diperlukan dalam kasus- kasus tertentu yang resisten
terhadap obat psikotropik/psikofarmaka yang ada. Walaupun obat-obat

1
psikotropik sekarang sudah berkembang seperti obat psikotropik baru yang
digolongkan dalam bentuk, atipikal. Untuk golongan obat chlorpromazine dan
haloperidol, disebut golongan tipikal.2
ECT melibatkan induksi kejang oleh rangsang listrik singkat pada otak.
Indikasi utamanya adalah:3
 Gangguan/ episode depresif mayor
 Penyakit depresif masa nifas (episode depresi mayor onset
pascapartum)
 Mania
 Skizofrenia katatonik
 Gangguan skizoafektif.

2
BAB II
ELECTROCONVULSIVE THERAPY (ECT)

2.1. Definisi
Electroconvulsive Therapy (ECT) merupakan salah satu jenis terapi fisik
yang merupakan pilihan untuk indikasi terapi pada beberapa kasus gangguan
psikiatri. Indikasi utama adalah depresi berat.4 ECT ( Electroconvulsive Therapy)
merupakan perawatan untuk gangguan psikiatri dengan menggunakan aliran
listrik singkat melewati otak pasien yang berada dalam pengaruh anestesi dengan
menggunakan alat khusus. Terapi Elektroconvulsive (ECT) adalah terapi yang
aman dan efektif untuk pasien dengan gangguan depresi berat, episode manik, dan
gangguan mental serius lainnya.1
Electroconvulsive Therapy (ECT) merupakan prosedur medis yang
dilakukan oleh dokter dimana pasien diberikan anestesi umum dan relaksasi otot.
Ketika efeknya telah bekerja, otak pasien distimulasi dengan suatu rangkaian dan
dikontrol dengan electrode yang dipasang di kepala pasien. Stimulus ini
menyebabkan bangkitan kejang di otak sampai 2 menit. Karena penggunaan
anestesi dan relaksasi otot sehingga badan pasien tidak ikut terangsang dan tidak
merasa nyeri.5

2.2. Sejarah Perkembangan ECT2


Pada 1934 pengobatan yang menggunakan bangkitan kejang,
diperkenalkan dan ditulis di London Medical pengidap skizofrenia dan penderita
epilepsi yang disertai gangguan jiwa. Bila serangan epilepsi datang maka
gangguan jiwanya membaik. Berdasarkan pengamatannya ini maka ia mendapat
inspirasi pada penderita skizofenia dibuat kejang untuk menghilang gejala-gejala
gangguan jiwanya. Pada mulanya Lasdislas J. Meduna menggunakan kamper dan
kemudian digunakan metrazol (cardiazol). Selama 3 tahun metrazol digunakan
untuk membangkitkan kejang dan dipergunakan secara luas keseluruh dunia pada
saat itu. Pada tahun 1937 diadakan pertemuan internasional terapi kejang di Swiss

3
oleh Muller seorang psikiater, kemudian diterbitkan cara kerjanya di American
Journal of Psychiatry. Selama 3 tahun, cardiazol sebagai terapi kejang yang sudah
dipakai secara luas dan mendunia. Ugo Cerletti, seorang profesor neuropsikiatri,
yang berkebangsaan Itali, juga mengembangkan terapi kejang yang menggunakan
listrik dengan uji coba pada binatang. Lucio Bini teman Ugo Cerletti mempunyai
ide, bahwa untuk menimbulkan kejang dipakai listrik untuk menggantikan
metrazol. Tahun 1937 percobaan pertama pada manusia yaitu, Sherwin B. Nuland
dan kemudian baru pada tahun 1970, ia ditetapkan sebagai orang pertama yang
menjalani terapi kejang listrik, serta dibuat uraian gambaran deskripsi dari hasil
pada orang yang pertama yang menjalani terapi kejang listrik tersebut.2 Terapi
kejang listrik adalah bentuk pengobatan shok yang terjadi pada pengobatan medis
modern pada saat itu. ECT segera menggantikan metrazol dan berkembang
seluruh dunia karena beberapa faktor yaitu:
(1) lebih murah
(2) kurang menakutkan
(3) lebih cepat kerjanya.
Cerletti dan Bini dinominasikan hadiah Nobel tetapi hal ini dibatalkan, sebab pada
tahun 1940 cara itu diperkenalkan juga oleh Inggris dan Amerika serikat. Selama
tahun 1940 sampai tahun 1950, penggunaan terapi kejang listrik meluas.
Pada permulaan tahun 1940, untuk mengurangi gangguan ingatan dan
kebingungan setelah terapi kejang dilakukan diperkenalkan 2 cara modifikasi dari
ECT tersebut, yaitu:
1. Mempergunakan elektrode yang unilateral satu pada sisi
pelipis/temporal yang dominan/kiri dan satu elektrode di atas kepala
(verteks); untuk yang kidal temporal kanan dan verteks.
2. Arus kejut listrik yang searah arus sinusoidal, sedangkan listrik yang
dipakai pada pertama kali adalah arus bolak balik yang disebut arus
transfersal. Aliran arus dibuat searah yang sinusoidal.
Friedman dan Wilcox, tahun 1942 melakukan modifikasi secara unilateral
dengan arus searah, Lancaster et.al di Inggris tahun 1958, melakukan unilateral
dengan menempatkan pada hemisfer non dominan untuk mengurangi efek

4
samping kebinggungan dan gangguan daya ingat sesudah ECT dan hasilnya sama
efektif dengan bilateral. Setelah beberapa tahun alat yang memakai arus kejut
listrik yang searah berkembang secara luas dan dipakai seluruh dunia. ECT yang
unilateral tidak begitu populer bagi para psikiater, karena efek terapeutis kurang
memuaskan.
Pada tahun 1940 sampai tahun 1950 ECT masih tidak diperbarui, tidak
pernah dipakai obat untuk relaksasi otot, sehingga menghasilkan kejang yang
maksimal, yang mengakibatkan patah tulang dan dislokasi tulang panjang. Pada
tahun 1940 para psikiater mulai mengadakan penelitihan eksprimental dengan
menggunakan curare, disebut racun dari Amerika Selatan yang dapat membuat
otot jadi paralise untuk mengurangi akibat kejang yang dihasilkan dari alat ECT
tersebut. Kemudian diperkenalkan “suxamethonium” (succinylcholine) zat yang
sinthetis penggunaannya lebih aman dari curare. Pada tahun 1951 digunakan
secara luas untuk memodifikasi penggunaan dari ECT dengan bantuan anaesthesia
ringan biasanya berguna untuk menghindari rasa takut pada pasien dan
menghindari tercekik/tersumbatnya pernafasan. Setelah ditemukan obat
antidepresi yang dapat menangkal efek negatif ECT dimedia masa, ditandai
dengan menurunnya pemakaian ECT selama periode tahun 1950 sampai 1970.
Surat kabar, New York Times memberitakan pandangan negatif terhadap ECT
dari film yang berjudul “For Big Nurse in One Flew Over the Cuckoo’s nest ”. Ini
adalah alat untuk menteror pikiran masyarakat tentang ECT dan hal ini didukung
citranya oleh novel Ken Kesey, yang mengatakan bahwa berbahaya pada manusia
bila penggunaan yang berlebihan.
Pada tahun 1970 dilaporkan oleh American Psychiatric Association (APA)
bahwa pengobatan depresi dipakai ECT dan selanjutnya diikuti laporan dalam
tahun 1990 sampai tahun 2001. Abrams tahun 1972 dan Taylor tahun 1973
membuktikan bahwa metode unilateral tidak se-efektif dengan cara bilateral
dalam hasil terapeutiknya, maka dengan ini sampai sekarang dilakukan secara
bilateral. Pada tahun 1976, Dr Blatchley mendemontrasikan keberhasilannya
dengan menggunakan ECT dengan arus listik yang searah yang dapat mengurangi
efek samping kognitif yang ditimbulkan, tetapi beberapa klinik di AS masih

5
menggunakan arus listrik yang bolak balik. Sebetulnya mulai tahun 1980
penggunaan ECT berkurang, tetapi penggunaan untuk depresi berat meningkat,
karena pemakai obat antidepresi harganya lebih mahal dari pada menggunakan
ECT. Pada 1985, National Institute of Mental Health dan National Institutes of
Health menetapkan bahwa ECT adalah masih kontroversi pada pengobatan
psikiatri karena ada efek samping yang signifikan dan dapat dibuktikan bahwa
masih efektif pada kasus gangguan psikiatri yang berat. National Institute of
Mental Health menetapkan aturan dari pengobatan yang menggunakan ECT.
Namun baru pada tahun 1990 American Psychiatric Association , mengeluarkan
pernyataan yang kedua, yang lebih spesifik dan mendetail pada persalinan,
pendidikan dan pelatihan ECT yang didokumentasikan. Akhirnya pada tahun
2001, APA, mengeluarkan pernyataan bahwa ECT masuk pada pengobatan
modern yang prosedurnya mengharuskan menanda tangani informed consent.

2.3. Mekanisme Kerja ECT


Mekanisme kerja ECT tidak diketahui. Berbagai perubahan selama
perjalanan ECT yang mungkin berperan mencakup perubahan reseptor dan
neurotransmitter pusat, pelepasan hormon seperti arginine, vasopresin dan
oxytocin, dan perubahan ambang kejang.3 Suatu penelitian untuk mendekati
mekanisme kerja ECT adalah dengan mempelajari efek neuropsikologi dari terapi.
Tomografi emisi positron (PET; Positron Emission Tomography) mempelajari
aliran darah serebral maupun pemakaian glukosa telah dilaporkan. Penelitian
tersebut telah menunjukkan bahwa selama kejang aliran darah serebral,
pemakaian glukosa dan oksigen, dan permeabilitas sawar darah otak adalah
meningkat. Setelah kejang, aliran darah dan metabolisme glukosa menurun,
kemungkinan paling jelas pada lobus frontalis. Beberapa penelitian menyatakan
bahwa derajat penurunan metabolisme serebral adalah berhubungan dengan
respons terapeutik. Fokus kejang pada epilepsi idiopatik adalah hipometabolik
selama periode interiktal, ECT sendiri bertindak sebagai antikonvulsan, karena
pemberiannya disertai dengan peningkatan ambang kejang saat terapi berlanjut.1

6
Penelitian neurokimiawi tentang mekanisme kerja ECT telah memusatkan
perhatian pada perubahan reseptor neurotransmitter dan, sekarang ini, perubahan
sistem pembawa pesan kedua (second-messenger). Hampir setiap sistem
neurotransmitter dipengaruhi oleh ECT. Tetapi, urutan sesion ECT menyebabkan
regulasi turun reseptor adrenergik-β pascasinaptik, reseptor yang sama dan terlihat
pada hampir semua terapi antidepressan. Efek ECT pada neuron serotonergic
masih merupakan daerah penelitian yang kontroversial. Berbagai penelitian telah
menemukan suatu peningkatan reseptor serotonin pascasinaptik, tidak ada
perubahan pada neuron serotonin, dan perubahan pada regulasi prasinaptik
pelepasan serotonin. ECT telah dilaporkan mempengaruhi sistem neuronal
muskarinik, kolinergik, dan dopaminergik. Pada sistem pembawa kedua, ECT
telah dilaporkan mempengaruhi pengkopelan protein G dengan reseptor, aktivitas
adenylyl cyclase dan phospholipase C, dan regulasi masuknya kalsium ke dalam
neuron.1

2.4. Indikasi ECT


Berdasarkan pedoman American Psychotic Association (APA) dan
kumpulan data serta konsensus, indikasi ECT dapat dikelompokkan berdasarkan 3
kriteria, yaitu:
1. Diagnosis1,6
a. Gangguan Depresi Mayor
Indikasi yang paling sering untuk penggunaan ECT adalah
gangguan depresif berat atau ganggaun depresi mayor.1,3,4,5 ECT harus
dipertimbangkan sebagai terapi pada pasien yang gagal dalam uji coba
medikasi, mengalami gejala yang parah atau psikotik, mencoba bunuh
diri atau membunuh dengan mendadak, atau memiliki gejala agitasi
atau stupor yang jelas. Sebagian klinisi yakin bahwa ECT menyebabkan
sekurangnya derajat perbaikan klinis yang sama dengan terapi standar
dengan obat antidepressan.1,6
ECT efektif untuk gangguan depresi berat dengan gangguan
bipolar. Depresi delusional atau psikotik telah lama dianggap cukup

7
responsif terhadap ECT, tetapi penelitian terakhir telah menyatakan
bahwa episode depresi berat dengan ciri psikotik tidak lebih responsif
terhadap ECT dibandingkan gangguan depresi nonpsikotik. Namun,
karena episode depresi berat dengan gejala psikotik adalah berespon
buruk terhadap farmakologi anti depressan saja, ECT harus sering
dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama untuk pasien dengan
gangguan-gangguan depresi berat dengan ciri melankolik (seperti gejala
parah yang jelas, retardasi psikomotor, terbangun dini hari, variasi
diurnal, penurunan nafsu makan dan berat badan, dan agitasi,
diperkirakan lebih mungkin berespon terhadap ECT.1

b. Mania
ECT sekurangnya sama dan kemungkinan lebih unggul
dibandingkan lithium dalam terapi episode manik akut. Beberapa data
menyatakan bahwa pemasangan elektrode bilateral selama ECT lebih
efektif, dengan pemasangan unilateral pada terapi episode manik.
Tetapi, terapi farmakologis untuk episodemanik adalah sangat efektif
dalam jangka pendek dan untuk profilaksis sehingga pemakaian ECT
untuk terapi episode manik biasa nya terbatas pada situasi dengan
kontraindikasi spesifik untuk semua pendekatan farmakologis.1
Pengobatan pilihan bagi mania adalah obat menstabilkan mood
ditambah obat antipsikotik. ECT dapat dipertimbangkan untuk mania
parah terkait dengan:
 Kelelahan fisik yang mengancam jiwa
 Resistensi pengobatan (yaitu mania yang tidak
menanggapi pengobatan pilihan).
Pilihan pasien dan pengalaman perawatan medis sebelumnya
tidak efektif atau tak tertahankan, atau pemulihan sebelumnya dengan
ECT, yang relevan.6

8
c. Skizofrenia
ECT merupakan terapi yang efektif untuk gejala skizofrenia
akut dan tidak untuk gejala skizofrenia kronis. Pasien skizofrenia
dengan gejala afektif dianggap paling besar kemungkinannya berespons
terhadap ECT.1 Pemberian ECT pada pasien skizofrenia diberikan bila
terdapat:
1. Gejala-gejala positif dengan onset yang akut.
2. Katatonia
3. Riwayat ECT dengan hasil yang baik.
2. Keparahan gejala dan derajat gangguan fungsional yang dialami pasien
- Berat atau agitasi eksternal dan berkelanjutan
- Sedang dengan gejala telah ada bertahun-tahun, pasien berada
pada situasi yang mengancam kehidupan berupa kelemahan
akibat kurang asupan makanan
- Risiko bunuh diri dan atau membunuh
3. Kurangnya respon terhadap pengobatan
Kegagalan untuk merespon pengobatan setidaknya terjadi pada
dua uji coba psikofarmakologi yang adekuat. eCT dapat dipertimbangkan
seera bila pasien tidak mampu mentolerir pengobatan psikofarmakologi
atau tidak dapat menunggu respon pengobatan pasikofarmakologi karena
mengancam kehidupan. ECT dapat diindikasikan kembali jika ada riwayat
respon positif terhadap ECT.

2.5. Kontraindikasi ECT


ECT tidak memiliki kontraindikasi absolut, hanya situasi di mana seorang
pasien pada peningkatan risiko dan memiliki peningkatan kebutuhan pemantauan
ketat. Kehamilan bukan merupakan kontraindikasi untuk ECT, dan pemantauan
janin umumnya dianggap tidak perlu kecuali kehamilan risiko tinggi atau rumit.
Pasien dengan lesi sistem saraf pusat berada pada peningkatan risiko untuk edema
dan herniasi otak setelah ECT. Jika lesi kecil, pengobatan pra dengan

9
dexamethasone (Decadron) diberikan, dan hipertensi dikendalikan selama kejang
dan risiko komplikasi serius diminimalkan untuk pasien ini. Pasien yang
mengalami peningkatan tekanan intraserebral atau berisiko untuk perdarahan otak
(misalnya, orang-orang dengan penyakit serebrovaskular dan aneurisma) berada
pada risiko selama ECT karena peningkatan sawar darah otak selama kejang.
Risiko ini dapat dikurangi, meskipun tidak dihilangkan, oleh kontrol tekanan
darah pasien selama perawatan. Pasien dengan infark miokard adalah kelompok
berisiko tinggi lain, meskipun risikonya sangat berkurang 2 minggu setelah infark
miokard dan lebih jauh berkurang 3 bulan setelah infark itu. Pasien dengan
hipertensi harus distabilkan pada obat antihipertensi mereka sebelum ECT
diberikan. Propranolol (Inderal) dan sublingual nitrogliserin juga dapat digunakan
untuk melindungi pasien tersebut selama pengobatan.1

2.6. Jenis-jenis ECT1,5


Dikenal 2 jenis ECT, yaitu:
1. ECT konvensional
ECT konvensional dikenal juga sebagai ECT non-premedikasi, yaitu
ECT yang dalam pelaksanaannya tanpa menggunakan obat anastesi.
ECT konvensional ini menyebabkan timbulnya kejang pada pasien
yang sadar sehingga cenderung menimbulkan riwayat trauma psikis
post terapi.

2. ECT premedikasi
ECT premedikasi adalah ECT yang dalam pelaksanaannya
menggunakan obat anastesi. Pada terapi ini, pasien dalam kondisi tidak
sadar karena diberikan obat-obatan anastesi yang bisa menekan
timbulnya kejang, sehingga tidak menimbulkan trauma psikis pada
pasien post terapi.

10
2.7. Prosedur Pelaksanaan ECT
a. Persiapan
1. Informed Consent
Pasien dan keluarga mereka sering khawatir tentang ECT. Oleh karena itu,
dokter harus menjelaskan efek menguntungkan dan merugikan dan pendekatan
pengobatan alternatif. Proses informed consent harus didokumentasikan dalam
catatan medis pasien dan harus mencakup diskusi tentang gangguan dan pilihan
untuk tidak menerima pengobatan. Literatur cetak dan rekaman video tentang
ECT mungkin berguna untuk mendapatkan persetujuan. Penggunaan paksa ECT
harus disediakan untuk pasien yang sangat membutuhkan pengobatan dan yang
memiliki wali hukum yang ditunjuk yang telah setuju untuk penggunaannya.
Dokter harus tahu undang-undang federal tentang penggunaan ECT.1

2. Persiapan Pasien
Sebelum ECT dilakukan pasien perlu dipersiapkan dengan cermat
meliputi:1,4
a. Pemeriksaan fisik dan kondisi pasien (jantung, paru-paru, tulang dan
otak)
b. Pasien harus puasa minimal 6 jam sebelum ECT dilakukan
c. Persiapkan pasien agar tidak takut dengan pengalihan perhatian, atau
dengan pemberian premedikasi
d. Perhiasan, jepit rambut atau gigi palsu perlu dilepas terlebih dahulu
e. Bantuan perawat untuk mencegah terjadinya luksasi/fraktur saat terjadi
kejang.
3. Persiapan Alat:4
- Mesin ECT lengkap
- Kasa basah untuk pelapis electrode
- Tabung dan masker oksigen
- Penghisap lendir
- Obat-obat : coramine, adrenalin
- Karet pengganjal gigi agar lidah tidak tergigit

11
- Tempat tidur datar dengan alas papan

b. Pelaksanaan ECT4
- Pasien tidur terlentang tanpa bantal dengan pakaian longgar
- Bantalan gigi dipasangPerawat memegang rahang bawah/kepala, bahu,
pinggul dan lutut
- Dokter memeberikan aliran listrik melalui 2 elektrode yang ditempelkan
dipelipis. Akan terjadi kejang tonik terlebih dahulu diikuti kejang klonik
dan kemudian akan terjadi fase apneu beberapa saat sebelum akhirnya
bernafas kembali seperti biasa. Fase apneu ini sangat penting diperhatikan
tidak boleh terlalu lama.

Gambar 1. Electroconvulsive Therapy (ECT)

c. Pengawasan pasca ECT :4


- Penting dilakukan pengawasan karena pasien biasanya masih belum sadar
penuh.
- Kondisi vital kembali seperti semula, biasanya pasien tertidur. Kadang-
kadang dapat juga pasien menjadi gelisah dan bergerak tidak menentu
seperti delirium. Pada fase ini sangat perlu diawasi sampai kesadaran pulih
kembali.

12
- Setelah sadar, pasien biasanya bingung dan mengalami disorientasi bahkan
amnesia. Perlu distimulasi dengan cara mengajak berkomunikasi,
membantu memulihkan orientasi dan ingatan secara bertahap. Berikan
suasana tenang dan nyaman.

2.8. Penempatan Elektrode7


a. ECT Bilateral
Posisi untuk elektroda pada ECT bilateral diilustrasikan pada Gambar 2.
(A). Pusat elektroda harus 4 cm di atas, dan tegak lurus, titik tengah dari garis
antara sudut lateral mata dan meatus auditori eksternal. Satu elektroda diletakkan
untuk setiap sisi kepala, dan posisi ini disebut sebagai ECT temporal. (Beberapa
penulis menyebut ECT frontotemporal.) Ini merupakan posisi yang
direkomendasikan untuk elektroda ECT bilateral karena ini telah menjadi posisi
standar dan tidak dapat diasumsikan bahwa temuan penelitian terbaru dapat
diekstrapolasi untuk posisi lainnya di ECT bilateral . Ada eksperimen lain untuk
posisi elektroda di ECT bilateral yaitu ECT frontal, di mana jarak elektroda hanya
sekitar 5 cm (2 inci) dan masing-masing sekitar 5 cm di atas jembatan hidung.
Sebuah modifikasi lebih baru di mana elektroda diterapkan lebih lanjut
selain telah diteliti karena para peneliti menyarankan bahwa berkhasiat sebagai
ECT bilateral tradisional, tetapi dengan risiko yang lebih rendah dari efek
samping kognitif. Inggris ECT Review Group (2003) tidak menemukan perbedaan
yang signifikan antara ECT tradisional dan ECT bilateral baik dalam kemanjuran
klinis atau efek samping kognitif.

Gambar 2. Posisi elektroda temporal (A) atau posisi temporopariental/Elia’s


positioning (B)

13
b. ECT Unilateral
Posisi Elia, di mana salah satu elektroda dalam posisi yang sama
sepertidalam ECT bilateral tradisional dan lainnya diaplikasikan di atas
permukaan parietal dari kulit kepala. Posisi yang tepat pada busur parietal tidak
penting, tujuan adalah untuk memaksimalkan jarak antara elektroda untuk
mengurangi arus listrik dan untuk memilih situs di mana busur elektroda dapat
diterapkan dengan tegas dan datar terhadap kulit kepala. ECT unilateral biasanya
diaplikasikan di atas belahan non-dominan, yang merupakan sisi kanan kepala di
kebanyakan orang. Ini adalah posisi yang dianjurkan dalam ECT unilateral karena
ini telah menjadi standar, dan tidak dapat diasumsikan bahwa temuan penelitian
terbaru dapat diekstrapolasi untuk posisi lainnya.
Telah ditulis bahwa ECT unilateral adalah pengobatan yang lebih sulit
untuk dilakukan. Hal ini terjadi jika dokter yang menangani dibiarkan sendirian.
Posisi tradisional elektroda di ECT unilateral diilustrasikan pada gambar 2 (B).
Posisi ini biasanya disebut sebagai kepala temporoparietal atau d'ient's head. ECT
unilateral dapat lebih efektif bila dilihat sebagai tanggung jawab bersama dari tim
klinik ECT. Beberapa dokter anestesi secara rutin meminta pasien untuk
mengaktifkan ke sisi kiri sebelum induksi anestesi. Bantuan perawat atau anggota
staf anestesi sangat penting untuk melakukan tugas memutar kepala pasien.

2.9. Stimulus Listrik dan Kejang1


Stimulus listrik harus cukup kuat untuk mencapai ambang kejang (tingkat
intensitas yang dibutuhkan untuk menghasilkan kejang). Stimulus listrik diberikan
dalam siklus, dan setiap siklus berisi gelombang positif dan gelombang negatif.
Ambang kejang dan lamanya sangat bervariasi diantara pasien dan kemungkinan
sukar untuk ditentukan. Tujuannya ialah untuk mencapai kejang anatar 25-60
detik dengan menggunakan jumlah energi listrik terkecil. Sejumlah peralatan ECT
memungkinkan penentuan energi stimulus sebenarnya, dan nilai ini harus
dipertahankan serendah mungkin. Kejang yang lebih besar dari 60 detik sering
menunjukkan bahwa stimulus adalah ambang supra dan harus dikurangi pada saat
pengobatan berikutnya. Jika tidak terjadi kejang, stimulasi harus segera diikuti

14
dengan stimulasi berulang pada intensitas stimulus yang lebih tinggi. Pada kejang
yang berlangsung kurang dari 25 detik, stimulus harus diulang sekali lagi. Jika hal
ini menghasilkan suatu kejang yang pendek, maka intensitas stimulus harus
ditingkatkan, dan harus diberikan stimulus ketiga. Jika stimulasi gagal untuk
menimbulkan kejang yang adekuat, maka saat pengobatan harus diakhiri. Karena
keadaan refrakter terhadap kejang berikut yang terjadi setelah kejang, maka harus
dibiarkan berlalu interval 60 hingga 90 detik sebelum mengulangi stimulasi,
selama waktu ini pasien harus diventilasi dengan oksigen.

2.10. Obat-obatan dalam Proses ECT1


a. Antikolinergik Muskarinik
Obat antikolinergik muskarinik diberikan sebelum ECT untuk
meminimalkan sekresi oral dan pernapasan dan untuk memblokir bradycardi dan
asistole,kecuali denyut jantung istirahat di atas 90 per menit.Tujuan antikolinergik
adalah untuk melindungi terhadap bradikardi atau asistol karena parasimpatis.
Prinsipnya adalah menurunkan efek dari stimulasi vagal karena ECT. Vagal
refleks terjadi segera setelah stimulus ECT tanpa bergantung besar alira listrik,
dan dapat mengakibatkan bradikardi atau asistol transien. Jika aliran listrik
mendekati atau melebihi ambang kejang, kejang tonik-klonik dapat terjadi dengan
disertai stimulasi simpatis. Peningkatan aktivitas simpatis ini mengimbangi efek
stimulasi vagal. Namun jika aliran listrik gagal mencapai kejang (stimulasi
subkonvulsi), ketakutan akan terjadinya bradikardi mengikuti stimulus menjadi
besar karena proteksi yang diberikan takikardi postiktal tidak ada. Indikasi
pemberian obat:
1. Pasien yang menjalani estimasi ambang kejang dengan metode
titrasi dosis, terutama pada sesi pertama ECT.
2. Pasien yang menerima agen simpastis blocker
3. Situasi dengan terjadinya bradikardi vagal harus dihindarkan
misalnya adanya penyakit jantung, fungsi jantung hipodinamik.
Obat antikolinergik yang biasa digunakan adalah atropin (0,4-0,8 mg iv
atau 0,3-0,6 mg im) dan glycopyrrolate (0,2-0,4 mg iv atau im). Atropine

15
memiliki potensi lebih pada detak jantung. Glycopyrrolate tidak melintasi blood
brain barrier (sawar darah otak) dan memiliki efe k antisialagogue.

b. Anasthesia
Tujuan: agen anestesi yang diberikan bertujuan membuat pasien tidak menyadari
adanya sensasi yang mungkin menakutkan, terutama kelumpuhan otot dan
perasaan tercekik dan gambaran kilatan sinar yang mungkin mengiringi
permulaan stimulus, tanpa menghambat kejang. Prinsipnya adalah mendukung
anestesi umum yang ringan dan sangat singkat. Dosis anestesi yang berlebih dapat
menyebabkan ketidaksadaran pasien dan apneu bertambah lama, memberikan efek
antikonvulsan, meningkatkan resiko komplikasi kardiovaskular,dan meningkatkan
amnesia. Agen induksi yang ideal untuk ECT bertujuan untuk ketidaksadaran
yang cepat, injeksi tanpa nyeri, tanpa efek hemodinamik, tanpa properti
antikonvulsan, memberikan pemulihan yang cepat, dan tidak mahal. Belum ada
obat yang memenuhi semua karakter tersebut. Namun, methohexital memenuhi
banyak kriteria yang telah disebutkan di atas, thiopental, ketamin, propofol, dan
etomidate juga telah berhasil digunakan pada terapi ECT.

c. Muscle relaxant
Pemberian muscle relaxant bertujuan untuk mencegah cedera pada sistem
muskuloskeletal dan meningkatkan manajemen jalan nafas. Prinsipnya adalah
menyediakan relaksasi otot . Secara umum, paralisis penuh tidak dibutuhkan
ataupun diinginkan karena dapat dikaitkan dengan apneu yang memanjang.
Sebagai tambahan, intensitas dan durasi gerakan motor kejang harus diobservasi
dan dimonitor. Paralisis otot bukan hanya memfasilitasi oksigenasi, namun juga
menurunkan penggunaan oksigen oleh otot selama kejang. Pertimbangan harus
diberikan pada penggunaan muscle relaxant dosis tinggi pada pasien dengan
resiko fraktur tulang patologis. Kecukupan pemberian muscle relaxant harus
ditentukan sebelum pemberian stimulus ECT. Proses ini dilakukan dengan tes
reduksi refleks tendon dalam dan tonus otot. Pada pasien yang diberikan
succinylcholine dosis tinggi, stimulator saraf perifer harus digunakan.

16
Efek samping yang biasa muncul pada succinylcholine termasuk aritmia.
Peningkatan tekanan intraocular dan intraabdominal. Karena suksinilkolin telah
dikaitkan dengan hipertermi malignan dan hiperkalemia, telah dikembangkan
muscle relaxant non-depolarisasi. Dosis untuk agen ini harus ditentukan
berdasarkan klinis dan individual. Umumnya, dosis succinylcholine adalah 0,5-1
mg/kg. atracurirum 0,3-0,5 mg/kg, miyacurim 0,1-0,2 mg/kg, rocuronium 0,4-0,6
mg/kg, dan rapacuronium 1-2 mg/kg, merupakan obat-obat alternative untuk
succynilcholine. Obat-obat muscle relaxant non-depolarisasi ini menghasilkan
paralisis yang lebih lama, dan baik onset maupun durasi kerja obat harus
dimonitor oleh stimulator saraf.

2.11. Efek Samping ECT1


a. Efek terhadap Sistem Saraf Pusat
Efek samping umum yang terkait dengan ECT adalah sakit kepala,
kebingungan, dan delirium setelah kejang . Kebingungan ditandai dapat terjadi
hingga 10 persen dari pasien dalam waktu 30 menit dari kejang dan dapat diobati
dengan barbiturat dan benzodiazepin. Delirium biasanya paling menonjol setelah
beberapa perawatan pertama pada pasien yang menerima ECT bilateral atau yang
mengidap gangguan neurologis. Delirium yang khas terjadi dalam beberapa hari
atau paling beberapa minggu.

b. Memori
Perhatian terbesar tentang ECT adalah hubungan antara ECT dan
kehilangan memori. Sekitar 75 persen dari semua pasien yang diberikan ECT
mengatakan bahwa gangguan memori adalah efek samping yang terburuk.
Meskipun gangguan memori selama pengobatan, tindak lanjut data menunjukkan
bahwa hampir semua pasien yang kembali ke baseline kognitif mereka setelah 6
bulan. Beberapa pasien, bagaimanapun, mengeluh kesulitan memori. Contohnya,
pasien mungkin tidak ingat peristiwa yang mengarah ke rumah sakit dan ECT,
dan kenangan otobiografi tersebut mungkin tidak akan pernah ingat. Tingkat
kerusakan kognitif selama perawatan dan waktu yang dibutuhkan untuk kembali

17
ke dasar terkait, sebagian, dengan jumlah stimulasi listrik digunakan selama
pengobatan. Gangguan memori yang paling sering dilaporkan oleh pasien yang
telah mengalami sedikit perbaikan dengan ECT. Meskipun gangguan memori,
yang biasanya sembuh, tidak ada bukti menunjukkan kerusakan otak yang
disebabkan oleh ECT. Mata kuliah ini telah menjadi fokus dari beberapa studi
pencitraan otak, menggunakan berbagai modalitas. hampir semua menyimpulkan
bahwa kerusakan otak permanen tidak efek buruk dari ECT. Ahli saraf dan
epileptologists umumnya sepakat bahwa kejang yang berlangsung kurang dari 30
menit tidak menyebabkan kerusakan saraf permanen.

c. Kematian
Angka kematian dengan ECT adalah sekitar 0,002% per pengobatan dan
0,01 % untuk setiap pasien. Angka-angka ini menguntungkan dibandingkan
dengan risiko yang terkait dengan anestesi umum dan persalinan. Kematian akibat
ECT biasanya karena komplikasi kardiovaskular.

d. Efek samping lain dari Electroconvulsive Terapi


Fraktur sering disertai perawatan di hari-hari awal ECT. Dengan
penggunaan rutin relaksan otot, patah tulang dari tulang panjang atau vertebra
seharusnya tidak terjadi. Beberapa pasien, bisa terjadi pecah gigi atau mengalami
sakit punggung karena kontraksi selama prosedur. Nyeri otot dapat terjadi pada
beberapa individu, tetapi sering terjadi karena efek depolarisasi otot dengan
suksinilkolin . Nyeri ini dapat diobati dengan analgesik ringan, termasuk obat anti
inflamasi nonsteroid (NSAID). Sebuah minoritas yang signifikan dari pasien
mengalami mual, muntah, dan sakit kepala setelah pengobatan ECT.

18
BAB III
KESIMPULAN

Electroconvulsive Therapy (ECT) atau Terapi Kejang Listrik merupakan


terapi yang termasuk penatalaksanaan dalam gangguan psikiatri.
Electroconvulsive Therapy (ECT) atau terapi kejang listrik adalah suatu intervensi
non farmakologi penting yang efektif dalam pengobatan pasien dengan gangguan
neuropsikiatrik tertentu yang berat. ECT menggunakan arus listrik singkat melalui
otak yang menginduksi kejang umum sistem saraf pusat.
ECT melibatkan induksi kejang oleh rangsang listrik singkat pada otak.
Indikasi utamanya adalah berdasarkan 3 kriteria, yaitu berdasarkan diagnosis,
tingkat keparahan gejala dan dan derajat gangguan fungsional serta kurangnya
respon terhadap pengobatan.
Psikiater akan memberitahu pasien tentang manfaat yang diharapkan dari
ECT. Ini bervariasi tergantung pada sifat dan keseriusan penyakit pasien, tetapi
ECT umumnya akan meningkatkan kemampuan pasien untuk berpikir dan
mengembalikan emosi pasien ke keadaan sehat. Semua perawatan memiliki efek
dan bahkan memiliki risiko. Risiko dan efek samping ECT di antaranya, pengaruh
terhadap sistem saraf pusat, memori dan pengaruh lainnya seperti fraktur tulang.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P. Elektroconvulsive Therapy. Philadelphia:


Wolters Kluwer, 2015: 982 – 8
2. Yongki. Pro dan Kontra Terhadap Terapi Kejang Listrik (TKL) Sebagai
Terapi Alternatif Medis Pada Pasien Psikotik(2012).317:22-7
3. Puri BK, Laking PJ, Treasaden IH. Buku Ajar Psikiatri (Textbook of
Psychiatry) Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2012;43 – 4
4. Elvira SD, Hadisukanto G. Terapi Fisik dan Psikofarmaka di Bidang
Psikiatri. Buku AjaPsikiatri Edisi 2. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Indonesia, 2013;387 – 8.
5. Mental Health, Drugs And Division Regions. Electroconvulsive Therapy
About You Rights. Victoria: Department of Health, 2012. Diakses dari
https://www2.health.vic.gov.au/.pdf, pada tanggal 28 Juni 2018.
6. Anderson I, Barnes R, Benbow S, Duffet R, Easton A, et all . The Place of
ECT in Contemporary Psychiatric Practice. London: The Royal Collage of
Pschyatrists , 2004:3-8
7. Scott A. Practical administration of ECT. London: The Royal Collage of
Pschyatrists, 2004:144-158.

20

Anda mungkin juga menyukai