PENDAHULUAN
1
psikotropik sekarang sudah berkembang seperti obat psikotropik baru yang
digolongkan dalam bentuk, atipikal. Untuk golongan obat chlorpromazine dan
haloperidol, disebut golongan tipikal.2
ECT melibatkan induksi kejang oleh rangsang listrik singkat pada otak.
Indikasi utamanya adalah:3
Gangguan/ episode depresif mayor
Penyakit depresif masa nifas (episode depresi mayor onset
pascapartum)
Mania
Skizofrenia katatonik
Gangguan skizoafektif.
2
BAB II
ELECTROCONVULSIVE THERAPY (ECT)
2.1. Definisi
Electroconvulsive Therapy (ECT) merupakan salah satu jenis terapi fisik
yang merupakan pilihan untuk indikasi terapi pada beberapa kasus gangguan
psikiatri. Indikasi utama adalah depresi berat.4 ECT ( Electroconvulsive Therapy)
merupakan perawatan untuk gangguan psikiatri dengan menggunakan aliran
listrik singkat melewati otak pasien yang berada dalam pengaruh anestesi dengan
menggunakan alat khusus. Terapi Elektroconvulsive (ECT) adalah terapi yang
aman dan efektif untuk pasien dengan gangguan depresi berat, episode manik, dan
gangguan mental serius lainnya.1
Electroconvulsive Therapy (ECT) merupakan prosedur medis yang
dilakukan oleh dokter dimana pasien diberikan anestesi umum dan relaksasi otot.
Ketika efeknya telah bekerja, otak pasien distimulasi dengan suatu rangkaian dan
dikontrol dengan electrode yang dipasang di kepala pasien. Stimulus ini
menyebabkan bangkitan kejang di otak sampai 2 menit. Karena penggunaan
anestesi dan relaksasi otot sehingga badan pasien tidak ikut terangsang dan tidak
merasa nyeri.5
3
oleh Muller seorang psikiater, kemudian diterbitkan cara kerjanya di American
Journal of Psychiatry. Selama 3 tahun, cardiazol sebagai terapi kejang yang sudah
dipakai secara luas dan mendunia. Ugo Cerletti, seorang profesor neuropsikiatri,
yang berkebangsaan Itali, juga mengembangkan terapi kejang yang menggunakan
listrik dengan uji coba pada binatang. Lucio Bini teman Ugo Cerletti mempunyai
ide, bahwa untuk menimbulkan kejang dipakai listrik untuk menggantikan
metrazol. Tahun 1937 percobaan pertama pada manusia yaitu, Sherwin B. Nuland
dan kemudian baru pada tahun 1970, ia ditetapkan sebagai orang pertama yang
menjalani terapi kejang listrik, serta dibuat uraian gambaran deskripsi dari hasil
pada orang yang pertama yang menjalani terapi kejang listrik tersebut.2 Terapi
kejang listrik adalah bentuk pengobatan shok yang terjadi pada pengobatan medis
modern pada saat itu. ECT segera menggantikan metrazol dan berkembang
seluruh dunia karena beberapa faktor yaitu:
(1) lebih murah
(2) kurang menakutkan
(3) lebih cepat kerjanya.
Cerletti dan Bini dinominasikan hadiah Nobel tetapi hal ini dibatalkan, sebab pada
tahun 1940 cara itu diperkenalkan juga oleh Inggris dan Amerika serikat. Selama
tahun 1940 sampai tahun 1950, penggunaan terapi kejang listrik meluas.
Pada permulaan tahun 1940, untuk mengurangi gangguan ingatan dan
kebingungan setelah terapi kejang dilakukan diperkenalkan 2 cara modifikasi dari
ECT tersebut, yaitu:
1. Mempergunakan elektrode yang unilateral satu pada sisi
pelipis/temporal yang dominan/kiri dan satu elektrode di atas kepala
(verteks); untuk yang kidal temporal kanan dan verteks.
2. Arus kejut listrik yang searah arus sinusoidal, sedangkan listrik yang
dipakai pada pertama kali adalah arus bolak balik yang disebut arus
transfersal. Aliran arus dibuat searah yang sinusoidal.
Friedman dan Wilcox, tahun 1942 melakukan modifikasi secara unilateral
dengan arus searah, Lancaster et.al di Inggris tahun 1958, melakukan unilateral
dengan menempatkan pada hemisfer non dominan untuk mengurangi efek
4
samping kebinggungan dan gangguan daya ingat sesudah ECT dan hasilnya sama
efektif dengan bilateral. Setelah beberapa tahun alat yang memakai arus kejut
listrik yang searah berkembang secara luas dan dipakai seluruh dunia. ECT yang
unilateral tidak begitu populer bagi para psikiater, karena efek terapeutis kurang
memuaskan.
Pada tahun 1940 sampai tahun 1950 ECT masih tidak diperbarui, tidak
pernah dipakai obat untuk relaksasi otot, sehingga menghasilkan kejang yang
maksimal, yang mengakibatkan patah tulang dan dislokasi tulang panjang. Pada
tahun 1940 para psikiater mulai mengadakan penelitihan eksprimental dengan
menggunakan curare, disebut racun dari Amerika Selatan yang dapat membuat
otot jadi paralise untuk mengurangi akibat kejang yang dihasilkan dari alat ECT
tersebut. Kemudian diperkenalkan “suxamethonium” (succinylcholine) zat yang
sinthetis penggunaannya lebih aman dari curare. Pada tahun 1951 digunakan
secara luas untuk memodifikasi penggunaan dari ECT dengan bantuan anaesthesia
ringan biasanya berguna untuk menghindari rasa takut pada pasien dan
menghindari tercekik/tersumbatnya pernafasan. Setelah ditemukan obat
antidepresi yang dapat menangkal efek negatif ECT dimedia masa, ditandai
dengan menurunnya pemakaian ECT selama periode tahun 1950 sampai 1970.
Surat kabar, New York Times memberitakan pandangan negatif terhadap ECT
dari film yang berjudul “For Big Nurse in One Flew Over the Cuckoo’s nest ”. Ini
adalah alat untuk menteror pikiran masyarakat tentang ECT dan hal ini didukung
citranya oleh novel Ken Kesey, yang mengatakan bahwa berbahaya pada manusia
bila penggunaan yang berlebihan.
Pada tahun 1970 dilaporkan oleh American Psychiatric Association (APA)
bahwa pengobatan depresi dipakai ECT dan selanjutnya diikuti laporan dalam
tahun 1990 sampai tahun 2001. Abrams tahun 1972 dan Taylor tahun 1973
membuktikan bahwa metode unilateral tidak se-efektif dengan cara bilateral
dalam hasil terapeutiknya, maka dengan ini sampai sekarang dilakukan secara
bilateral. Pada tahun 1976, Dr Blatchley mendemontrasikan keberhasilannya
dengan menggunakan ECT dengan arus listik yang searah yang dapat mengurangi
efek samping kognitif yang ditimbulkan, tetapi beberapa klinik di AS masih
5
menggunakan arus listrik yang bolak balik. Sebetulnya mulai tahun 1980
penggunaan ECT berkurang, tetapi penggunaan untuk depresi berat meningkat,
karena pemakai obat antidepresi harganya lebih mahal dari pada menggunakan
ECT. Pada 1985, National Institute of Mental Health dan National Institutes of
Health menetapkan bahwa ECT adalah masih kontroversi pada pengobatan
psikiatri karena ada efek samping yang signifikan dan dapat dibuktikan bahwa
masih efektif pada kasus gangguan psikiatri yang berat. National Institute of
Mental Health menetapkan aturan dari pengobatan yang menggunakan ECT.
Namun baru pada tahun 1990 American Psychiatric Association , mengeluarkan
pernyataan yang kedua, yang lebih spesifik dan mendetail pada persalinan,
pendidikan dan pelatihan ECT yang didokumentasikan. Akhirnya pada tahun
2001, APA, mengeluarkan pernyataan bahwa ECT masuk pada pengobatan
modern yang prosedurnya mengharuskan menanda tangani informed consent.
6
Penelitian neurokimiawi tentang mekanisme kerja ECT telah memusatkan
perhatian pada perubahan reseptor neurotransmitter dan, sekarang ini, perubahan
sistem pembawa pesan kedua (second-messenger). Hampir setiap sistem
neurotransmitter dipengaruhi oleh ECT. Tetapi, urutan sesion ECT menyebabkan
regulasi turun reseptor adrenergik-β pascasinaptik, reseptor yang sama dan terlihat
pada hampir semua terapi antidepressan. Efek ECT pada neuron serotonergic
masih merupakan daerah penelitian yang kontroversial. Berbagai penelitian telah
menemukan suatu peningkatan reseptor serotonin pascasinaptik, tidak ada
perubahan pada neuron serotonin, dan perubahan pada regulasi prasinaptik
pelepasan serotonin. ECT telah dilaporkan mempengaruhi sistem neuronal
muskarinik, kolinergik, dan dopaminergik. Pada sistem pembawa kedua, ECT
telah dilaporkan mempengaruhi pengkopelan protein G dengan reseptor, aktivitas
adenylyl cyclase dan phospholipase C, dan regulasi masuknya kalsium ke dalam
neuron.1
7
responsif terhadap ECT, tetapi penelitian terakhir telah menyatakan
bahwa episode depresi berat dengan ciri psikotik tidak lebih responsif
terhadap ECT dibandingkan gangguan depresi nonpsikotik. Namun,
karena episode depresi berat dengan gejala psikotik adalah berespon
buruk terhadap farmakologi anti depressan saja, ECT harus sering
dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama untuk pasien dengan
gangguan-gangguan depresi berat dengan ciri melankolik (seperti gejala
parah yang jelas, retardasi psikomotor, terbangun dini hari, variasi
diurnal, penurunan nafsu makan dan berat badan, dan agitasi,
diperkirakan lebih mungkin berespon terhadap ECT.1
b. Mania
ECT sekurangnya sama dan kemungkinan lebih unggul
dibandingkan lithium dalam terapi episode manik akut. Beberapa data
menyatakan bahwa pemasangan elektrode bilateral selama ECT lebih
efektif, dengan pemasangan unilateral pada terapi episode manik.
Tetapi, terapi farmakologis untuk episodemanik adalah sangat efektif
dalam jangka pendek dan untuk profilaksis sehingga pemakaian ECT
untuk terapi episode manik biasa nya terbatas pada situasi dengan
kontraindikasi spesifik untuk semua pendekatan farmakologis.1
Pengobatan pilihan bagi mania adalah obat menstabilkan mood
ditambah obat antipsikotik. ECT dapat dipertimbangkan untuk mania
parah terkait dengan:
Kelelahan fisik yang mengancam jiwa
Resistensi pengobatan (yaitu mania yang tidak
menanggapi pengobatan pilihan).
Pilihan pasien dan pengalaman perawatan medis sebelumnya
tidak efektif atau tak tertahankan, atau pemulihan sebelumnya dengan
ECT, yang relevan.6
8
c. Skizofrenia
ECT merupakan terapi yang efektif untuk gejala skizofrenia
akut dan tidak untuk gejala skizofrenia kronis. Pasien skizofrenia
dengan gejala afektif dianggap paling besar kemungkinannya berespons
terhadap ECT.1 Pemberian ECT pada pasien skizofrenia diberikan bila
terdapat:
1. Gejala-gejala positif dengan onset yang akut.
2. Katatonia
3. Riwayat ECT dengan hasil yang baik.
2. Keparahan gejala dan derajat gangguan fungsional yang dialami pasien
- Berat atau agitasi eksternal dan berkelanjutan
- Sedang dengan gejala telah ada bertahun-tahun, pasien berada
pada situasi yang mengancam kehidupan berupa kelemahan
akibat kurang asupan makanan
- Risiko bunuh diri dan atau membunuh
3. Kurangnya respon terhadap pengobatan
Kegagalan untuk merespon pengobatan setidaknya terjadi pada
dua uji coba psikofarmakologi yang adekuat. eCT dapat dipertimbangkan
seera bila pasien tidak mampu mentolerir pengobatan psikofarmakologi
atau tidak dapat menunggu respon pengobatan pasikofarmakologi karena
mengancam kehidupan. ECT dapat diindikasikan kembali jika ada riwayat
respon positif terhadap ECT.
9
dexamethasone (Decadron) diberikan, dan hipertensi dikendalikan selama kejang
dan risiko komplikasi serius diminimalkan untuk pasien ini. Pasien yang
mengalami peningkatan tekanan intraserebral atau berisiko untuk perdarahan otak
(misalnya, orang-orang dengan penyakit serebrovaskular dan aneurisma) berada
pada risiko selama ECT karena peningkatan sawar darah otak selama kejang.
Risiko ini dapat dikurangi, meskipun tidak dihilangkan, oleh kontrol tekanan
darah pasien selama perawatan. Pasien dengan infark miokard adalah kelompok
berisiko tinggi lain, meskipun risikonya sangat berkurang 2 minggu setelah infark
miokard dan lebih jauh berkurang 3 bulan setelah infark itu. Pasien dengan
hipertensi harus distabilkan pada obat antihipertensi mereka sebelum ECT
diberikan. Propranolol (Inderal) dan sublingual nitrogliserin juga dapat digunakan
untuk melindungi pasien tersebut selama pengobatan.1
2. ECT premedikasi
ECT premedikasi adalah ECT yang dalam pelaksanaannya
menggunakan obat anastesi. Pada terapi ini, pasien dalam kondisi tidak
sadar karena diberikan obat-obatan anastesi yang bisa menekan
timbulnya kejang, sehingga tidak menimbulkan trauma psikis pada
pasien post terapi.
10
2.7. Prosedur Pelaksanaan ECT
a. Persiapan
1. Informed Consent
Pasien dan keluarga mereka sering khawatir tentang ECT. Oleh karena itu,
dokter harus menjelaskan efek menguntungkan dan merugikan dan pendekatan
pengobatan alternatif. Proses informed consent harus didokumentasikan dalam
catatan medis pasien dan harus mencakup diskusi tentang gangguan dan pilihan
untuk tidak menerima pengobatan. Literatur cetak dan rekaman video tentang
ECT mungkin berguna untuk mendapatkan persetujuan. Penggunaan paksa ECT
harus disediakan untuk pasien yang sangat membutuhkan pengobatan dan yang
memiliki wali hukum yang ditunjuk yang telah setuju untuk penggunaannya.
Dokter harus tahu undang-undang federal tentang penggunaan ECT.1
2. Persiapan Pasien
Sebelum ECT dilakukan pasien perlu dipersiapkan dengan cermat
meliputi:1,4
a. Pemeriksaan fisik dan kondisi pasien (jantung, paru-paru, tulang dan
otak)
b. Pasien harus puasa minimal 6 jam sebelum ECT dilakukan
c. Persiapkan pasien agar tidak takut dengan pengalihan perhatian, atau
dengan pemberian premedikasi
d. Perhiasan, jepit rambut atau gigi palsu perlu dilepas terlebih dahulu
e. Bantuan perawat untuk mencegah terjadinya luksasi/fraktur saat terjadi
kejang.
3. Persiapan Alat:4
- Mesin ECT lengkap
- Kasa basah untuk pelapis electrode
- Tabung dan masker oksigen
- Penghisap lendir
- Obat-obat : coramine, adrenalin
- Karet pengganjal gigi agar lidah tidak tergigit
11
- Tempat tidur datar dengan alas papan
b. Pelaksanaan ECT4
- Pasien tidur terlentang tanpa bantal dengan pakaian longgar
- Bantalan gigi dipasangPerawat memegang rahang bawah/kepala, bahu,
pinggul dan lutut
- Dokter memeberikan aliran listrik melalui 2 elektrode yang ditempelkan
dipelipis. Akan terjadi kejang tonik terlebih dahulu diikuti kejang klonik
dan kemudian akan terjadi fase apneu beberapa saat sebelum akhirnya
bernafas kembali seperti biasa. Fase apneu ini sangat penting diperhatikan
tidak boleh terlalu lama.
12
- Setelah sadar, pasien biasanya bingung dan mengalami disorientasi bahkan
amnesia. Perlu distimulasi dengan cara mengajak berkomunikasi,
membantu memulihkan orientasi dan ingatan secara bertahap. Berikan
suasana tenang dan nyaman.
13
b. ECT Unilateral
Posisi Elia, di mana salah satu elektroda dalam posisi yang sama
sepertidalam ECT bilateral tradisional dan lainnya diaplikasikan di atas
permukaan parietal dari kulit kepala. Posisi yang tepat pada busur parietal tidak
penting, tujuan adalah untuk memaksimalkan jarak antara elektroda untuk
mengurangi arus listrik dan untuk memilih situs di mana busur elektroda dapat
diterapkan dengan tegas dan datar terhadap kulit kepala. ECT unilateral biasanya
diaplikasikan di atas belahan non-dominan, yang merupakan sisi kanan kepala di
kebanyakan orang. Ini adalah posisi yang dianjurkan dalam ECT unilateral karena
ini telah menjadi standar, dan tidak dapat diasumsikan bahwa temuan penelitian
terbaru dapat diekstrapolasi untuk posisi lainnya.
Telah ditulis bahwa ECT unilateral adalah pengobatan yang lebih sulit
untuk dilakukan. Hal ini terjadi jika dokter yang menangani dibiarkan sendirian.
Posisi tradisional elektroda di ECT unilateral diilustrasikan pada gambar 2 (B).
Posisi ini biasanya disebut sebagai kepala temporoparietal atau d'ient's head. ECT
unilateral dapat lebih efektif bila dilihat sebagai tanggung jawab bersama dari tim
klinik ECT. Beberapa dokter anestesi secara rutin meminta pasien untuk
mengaktifkan ke sisi kiri sebelum induksi anestesi. Bantuan perawat atau anggota
staf anestesi sangat penting untuk melakukan tugas memutar kepala pasien.
14
dengan stimulasi berulang pada intensitas stimulus yang lebih tinggi. Pada kejang
yang berlangsung kurang dari 25 detik, stimulus harus diulang sekali lagi. Jika hal
ini menghasilkan suatu kejang yang pendek, maka intensitas stimulus harus
ditingkatkan, dan harus diberikan stimulus ketiga. Jika stimulasi gagal untuk
menimbulkan kejang yang adekuat, maka saat pengobatan harus diakhiri. Karena
keadaan refrakter terhadap kejang berikut yang terjadi setelah kejang, maka harus
dibiarkan berlalu interval 60 hingga 90 detik sebelum mengulangi stimulasi,
selama waktu ini pasien harus diventilasi dengan oksigen.
15
memiliki potensi lebih pada detak jantung. Glycopyrrolate tidak melintasi blood
brain barrier (sawar darah otak) dan memiliki efe k antisialagogue.
b. Anasthesia
Tujuan: agen anestesi yang diberikan bertujuan membuat pasien tidak menyadari
adanya sensasi yang mungkin menakutkan, terutama kelumpuhan otot dan
perasaan tercekik dan gambaran kilatan sinar yang mungkin mengiringi
permulaan stimulus, tanpa menghambat kejang. Prinsipnya adalah mendukung
anestesi umum yang ringan dan sangat singkat. Dosis anestesi yang berlebih dapat
menyebabkan ketidaksadaran pasien dan apneu bertambah lama, memberikan efek
antikonvulsan, meningkatkan resiko komplikasi kardiovaskular,dan meningkatkan
amnesia. Agen induksi yang ideal untuk ECT bertujuan untuk ketidaksadaran
yang cepat, injeksi tanpa nyeri, tanpa efek hemodinamik, tanpa properti
antikonvulsan, memberikan pemulihan yang cepat, dan tidak mahal. Belum ada
obat yang memenuhi semua karakter tersebut. Namun, methohexital memenuhi
banyak kriteria yang telah disebutkan di atas, thiopental, ketamin, propofol, dan
etomidate juga telah berhasil digunakan pada terapi ECT.
c. Muscle relaxant
Pemberian muscle relaxant bertujuan untuk mencegah cedera pada sistem
muskuloskeletal dan meningkatkan manajemen jalan nafas. Prinsipnya adalah
menyediakan relaksasi otot . Secara umum, paralisis penuh tidak dibutuhkan
ataupun diinginkan karena dapat dikaitkan dengan apneu yang memanjang.
Sebagai tambahan, intensitas dan durasi gerakan motor kejang harus diobservasi
dan dimonitor. Paralisis otot bukan hanya memfasilitasi oksigenasi, namun juga
menurunkan penggunaan oksigen oleh otot selama kejang. Pertimbangan harus
diberikan pada penggunaan muscle relaxant dosis tinggi pada pasien dengan
resiko fraktur tulang patologis. Kecukupan pemberian muscle relaxant harus
ditentukan sebelum pemberian stimulus ECT. Proses ini dilakukan dengan tes
reduksi refleks tendon dalam dan tonus otot. Pada pasien yang diberikan
succinylcholine dosis tinggi, stimulator saraf perifer harus digunakan.
16
Efek samping yang biasa muncul pada succinylcholine termasuk aritmia.
Peningkatan tekanan intraocular dan intraabdominal. Karena suksinilkolin telah
dikaitkan dengan hipertermi malignan dan hiperkalemia, telah dikembangkan
muscle relaxant non-depolarisasi. Dosis untuk agen ini harus ditentukan
berdasarkan klinis dan individual. Umumnya, dosis succinylcholine adalah 0,5-1
mg/kg. atracurirum 0,3-0,5 mg/kg, miyacurim 0,1-0,2 mg/kg, rocuronium 0,4-0,6
mg/kg, dan rapacuronium 1-2 mg/kg, merupakan obat-obat alternative untuk
succynilcholine. Obat-obat muscle relaxant non-depolarisasi ini menghasilkan
paralisis yang lebih lama, dan baik onset maupun durasi kerja obat harus
dimonitor oleh stimulator saraf.
b. Memori
Perhatian terbesar tentang ECT adalah hubungan antara ECT dan
kehilangan memori. Sekitar 75 persen dari semua pasien yang diberikan ECT
mengatakan bahwa gangguan memori adalah efek samping yang terburuk.
Meskipun gangguan memori selama pengobatan, tindak lanjut data menunjukkan
bahwa hampir semua pasien yang kembali ke baseline kognitif mereka setelah 6
bulan. Beberapa pasien, bagaimanapun, mengeluh kesulitan memori. Contohnya,
pasien mungkin tidak ingat peristiwa yang mengarah ke rumah sakit dan ECT,
dan kenangan otobiografi tersebut mungkin tidak akan pernah ingat. Tingkat
kerusakan kognitif selama perawatan dan waktu yang dibutuhkan untuk kembali
17
ke dasar terkait, sebagian, dengan jumlah stimulasi listrik digunakan selama
pengobatan. Gangguan memori yang paling sering dilaporkan oleh pasien yang
telah mengalami sedikit perbaikan dengan ECT. Meskipun gangguan memori,
yang biasanya sembuh, tidak ada bukti menunjukkan kerusakan otak yang
disebabkan oleh ECT. Mata kuliah ini telah menjadi fokus dari beberapa studi
pencitraan otak, menggunakan berbagai modalitas. hampir semua menyimpulkan
bahwa kerusakan otak permanen tidak efek buruk dari ECT. Ahli saraf dan
epileptologists umumnya sepakat bahwa kejang yang berlangsung kurang dari 30
menit tidak menyebabkan kerusakan saraf permanen.
c. Kematian
Angka kematian dengan ECT adalah sekitar 0,002% per pengobatan dan
0,01 % untuk setiap pasien. Angka-angka ini menguntungkan dibandingkan
dengan risiko yang terkait dengan anestesi umum dan persalinan. Kematian akibat
ECT biasanya karena komplikasi kardiovaskular.
18
BAB III
KESIMPULAN
19
DAFTAR PUSTAKA
20