Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH TEKNIK KEDOKTERAN NUKLIR

TEKNIK SIDIK TULANG

Disusun oleh :
Kelompok 4

1. RIZMA PUTRI RAMADHANI P1337430117004


2. BACHTIAR DAUH ROCHMAWAN P1337430117008
3. ADINDA FITROTUNNISA AYU NURHANA P1337430117021
4. STEFANUS A.I NDAPAROKA P1337430117024
5. FITA RAMAWATI P1337430117039
6. MUHAMMAD RIDWAN EKO BUDIDARMAWAN P1337430117047
7. MOHAMMAD AFFAN HAQQI P1337430117018

Mata Kuliah : Teknik Kedokteran Nuklir


Dosen Pengajar : dr. Gani Gunawan, Sp.KN

DIPLOMA III TEKNIK RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI SEMARANG


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN SEMARANG
TAHUN 2018 / 2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, nikmat
dan karunia-Nya, sehingga tugas makalah Kedokteran Nuklir dengan judul “Teknik Sidik
Tulang” penulis dapat menyelesaikannya tepat pada waktunya.

Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak sekali kekurangan
dan kesalahan dan tidak dapat terselesaikan tanpa bantuan dari orang lain. Oleh karena itu, dalam
kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Gani Gunawan, Sp.KN selaku
Dosen Pengajar mata kuliah Kedokteran Nuklir.

Penulis berharap semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada
umumnya dan bagi penulis pada khususnya. Penulis menyadari bahwa makalah yang ditulis
masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca agar susunan laporan studi kasus ini menjadi baik. Terimakasih.

Semarang, 13 Maret 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ......................................................................................................... ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ............................................................................................ 1


B. Rumusan Masalah ....................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ......................................................................................... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Kedokteran Nuklir.......................................................................... 3


B. Sejarah Kedokteran Nuklir .......................................................................... 5
C. Pengertian Radiofarmaka ............................................................................ 6
D. Pengertian Radionuklida ............................................................................. 7
E. Pengertian Zat Pembawa.............................................................................. 8
F. Konfigurasi Alat........................................................................................... 10
G. Teknik Scanning Tulang .............................................................................. 14

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................................. 21
B. Saran ............................................................................................................ 21

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................... 22

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pemanfaatan radiasi di bidang kedokteran telah memberikan kontribusi yang
cukup besar dalam mengatasi masalah kesehatan. Aplikasi radiasi di bidang kedokteran
meliputi radiodiagnostik, radioterapi dan kedokteran nuklir. Radiodiagnostik
menggunakan sumber radiasi tertutup sebagai penunjang diagnostik, radioterapi
menggunakan sumber radiasi tertutup yang digunakan khusus untuk terapi, sedangkan
kedokteran nuklir menggunakan sumber radiasi terbuka sebagai penunjang diagnostik
secara in-vivo (radiofarmaka dimasukkan ke dalam tubuh) dan in-vitro menggunakan
cairan tubuh seperti darah dan urin yang direaksikan dengan sumber radiasi terbuka, serta
terapi radionuklida atau radiasi internal (Mansjhur, 2000).
Salah satu jenis pemeriksaan pada bidang kedokteran nuklir adalah pemeriksaan
sidik tulang (Bone Scan). Sidik tulang merupakan metode pemeriksaan yang umum dan
diagnosis pencitraan yang paling efektif digunakan untuk mendeteksi kelainan pada
tulang (Peller dkk., 1993). Kanker apabila telah memasuki stadium IV, akan
bermetastatis ke tulang. Metastasis (penyebaran) kanker ke tulang umumnya terjadi pada
semua kanker seperti kanker prostat, kanker paru, kanker payudara dan lainnya. Penderita
kanker paru 90% memiliki metastasis tulang, 70% penderita kanker payudara memiliki
metastasis tulang dan hampir 85% pasien kanker prostat dilaporkan memiliki metastasis
tulang (Anand dkk., 2016). Kanker prostat diklaim sebagai kanker terganas kedua
penyebab kematian setelah kanker paru (Purnomo, 2009).
Untuk mengetahui metastasis kanker ke tulang, maka perlu diketahui nilai
akumulasi, biodistribusi dan uptake radiofarmaka. Akumulasi merupakan penumpukan
aktivitas suatu zat radiofarmaka pada organ tubuh tertentu. Biodistribusi merupakan
sebaran radiofarmaka di dalam tubuh pada waktu tetentu, sedangkan uptake merupakan
kemampuan suatu organ untuk menangkap radiofarmaka. Radiofarmaka Tc99m MDP
(Methylene Diphosphonate) merupakan salah satu radiofarmaka yang dapat digunakan

1
untuk diagnosis metastasis ke tulang dan terbukti telah memberikan manfaat yang cukup
besar dalam menilai fungsi tulang.
Berdasarkan nilai akumulasi, biodistribusi dan uptake Tc99m MDP dapat diketahui
kondisi fungsional tulang masing-masing pasien kanker prostat. Tulang yang terkena
kanker akan lebih banyak menangkap, menyerap dan menahan zat radiofarmaka di dalam
tubuh dibandingkan dengan tulang normal (Gentili dkk, 1990).

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan kedokteran nuklir ?
2. Apakah yang dimaksud dengan radiofarmaka ?
3. Bagaimana teknik scanning tulang dalam kedokteran nuklir ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian mengenai kedokteran nuklir.
2. Untuk mengetahui mengenai radiofarmaka.
3. Untuk mengetahui teknik scanning tulang dalam kedokteran nuklir.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Kedokteran Nuklir


Ilmu Kedokteran Nuklir adalah cabang ilmu kedokteran yang menggunakan
sumber radiasi terbuka berasal dari disintegrasi inti radionuklida buatan, untuk
mempelajari perubahan fisiologi, anatomi dan biokimia, sehingga dapat digunakan untuk
tujuan diagnostik, terapi dan penelitian kedokteran. Pada kedokteran Nuklir, radioisotop
dapat dimasukkan ke dalam tubuh pasien (studi invivo) maupun hanya direaksikan saja
dengan bahan biologis antara lain darah, cairan lambung, urine dan sebagainya, yang
diambil dari tubuh pasien yang lebih dikenal sebagai studi in-vitro (dalam gelas
percobaan).

Pada studi in-vivo, setelah radioisotop dapat dimasukkan ke dalam tubuh pasien
melalui mulut atau suntikan atau dihirup lewat hidung dan sebagainya maka informasi
yang dapat diperoleh dari pasien dapat berupa:

a. Citra atau gambar dari organ atau bagian tubuh pasien yang dapat diperoleh dengan
bantuan peralatan yang disebut kamera gamma ataupun kamera positron (teknik
imaging)
b. Kurva-kurva kinetika radioisotop dalam organ atau bagian tubuh tertentu dan
angka-angka yang menggambarkan akumulasi radioisotop dalam organ atau bagian
tubuh tertentu disamping citra atau gambar yang diperoleh dengan kamera gamma
atau kamera positron.
c. Radioaktivitas yang terdapat dalam contoh bahan biologis (darah, urine dsb) yang
diambil dari tubuh pasien, dicacah dengan instrumen yang dirangkaikan pada
detektor radiasi (teknik non-imaging).

Data yang diperoleh baik dengan teknik imaging maupun non-imaging


memberikan informasi mengenai fungsi organ yang diperiksa. Pencitraan (imaging) pada
kedokteran nuklir dalam beberapa hal berbeda dengan pencitraan dalam radiologi. Pada
studi in-vitro, dari tubuh pasien diambil sejumlah tertentu bahan biologis misalnya 1 ml

3
darah. Cuplikan bahan biologis tersebut kemudian direaksikan dengan suatu zat yang
telah ditandai dengan radioisotop. Pemeriksaannya dilakukan dengan bantuan detektor
radiasi gamma yang dirangkai dengan suatu sistem instrumentasi. Studi semacam ini
biasanya dilakukan untuk mengetahui kandungan hormon-hormon tertentu dalam darah
pasien seperti insulin, tiroksin dll.

Pemeriksaan kedokteran nuklir banyak membantu dalam menunjang diagnosis


berbagai penyakitseperti penyakit jantung koroner, penyakit kelenjar gondok, gangguan
fungsi ginjal, menentukan tahapan penyakit kanker dengan mendeteksi penyebarannya
pada tulang, mendeteksi pendarahan pada saluran pencernaan makanan dan menentukan
lokasinya, serta masih banyak lagi yang dapat diperoleh dari diagnosis dengan penerapan
teknologi nuklir yang pada saat ini berkembang pesat.

Disamping membantu penetapan diagnosis, kedokteran nuklir juga berperanan


dalam terapi-terapi penyakit tertentu, misalnya kanker kelenjar gondok, hiperfungsi
kelenjar gondok yang membandel terhadap pemberian obat-obatan non radiasi,
keganasan sel darah merah, inflamasi (peradangan)sendi yang sulit dikendalikan dengan
menggunakan terapi obat-obatan biasa. Bila untuk keperluan diagnosis, radioisotop
diberikan dalam dosis yang sangat kecil, maka dalam terapi radioisotop sengaja diberikan
dalam dosis yang besar terutama dalam pengobatan terhadap jaringan kanker dengan
tujuan untuk melenyapkan sel-sel yang menyusun jaringan kanker itu.

Di Indonesia, kedokteran nuklir diperkenalkan pada akhir tahun 1960-an, yaitu


setelah reaktor atom Indonesia yang pertama mulai dioperasikan di Bandung. Beberapa
tenaga ahli Indonesia dibantu oleh tenaga ahli dari luar negeri merintis pendirian suatu
unit kedokteran nuklir di Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknik Nuklir di Bandung.
Unit ini merupakan cikal bakal Unit Kedokteran Nuklir RSU Hasan Sadikin, Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran. Menyusul kemudian unit-unit berikutnya di Jakarta
(RSCM, RSPP, RS Gatot Subroto) dan di Surabaya (RS Sutomo). Pada tahun 1980-an
didirikan unit-unit kedokteran nuklir berikutnya di RS sardjito (Yogyakarta) RS Kariadi
(Semarang), RS Jantung harapan Kita (Jakarta) dan RS Fatmawati (Jakarta). Dewasa ini
di Indonesia terdapat 15 rumah sakit yang melakukan pelayanan kedokteran nuklir
dengan menggunakan kamera gamma, di samping masih terdapat 2 buah rumah sakit lagi

4
yang hanya mengoperasikan alat penatah ginjal yang lebih dikenal dengan nama
Renogram.

B. Sejarah Kedokteran Nuklir


Kedokteran Nuklir merupakan salah satu cabang ilmu kedokteran yang
mengalami perkembangan pesat seiring dengan kemajuan penelitian dibidang pemnfaatan
tenaga nuklir untuk kepentingan damai. Dalam proses perkembangannya, kedokteran
nuklir merupakan hasil dari kontribusi dari para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu yang
berbeda, mulai dari ilmu fisika, kimia, teknik, dan kedokteran.
Momentum paling penting dalam perkembangan kedokteran nuklir adalah
penemuan radionuklida buatan Frederic Joliot-Curie dan Irene Joliot-Curie pada tahun
1934. Pada bulan Februari 1934, Joliot-Currie mempubllikasikan bahan radioaktiv buatan
yang pertama dalam jurnal Nature. Penemuan mereka diilhami hasil penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Wilhelm Konrad Roentgen tentang X-ray, Henri
Becquerel tentang garam radioaktif uranium, dan Marie Curie (ibu Irene Curie) tentang
thorium radioaktif, polonium serta pengaruh penggunaan koin dalam radioaktivitas.
Pada tahun 1930, Taro Takemi mempelajari penerapan fisika nuklir dalam bidang
pengobatan. Pada tanggal 7 Desember 1946, Kedokteran Nuklir mendapat pengakuan
lebih luas ketika sebuah artikel yang ditulis oleh Sam Seidin diterbitkan dalam Journal of
American Medical Association. Dalam artikel tersebut diuraikan kesuksesan penggunaan
radioiod (I-131) terhadap pasien dengan metastasis kanker tiroid. Hal ini dianggap oleh
banyak sejarahwan sebagai artikel yang paling penting yang pernah diterbitkan dalam
Kedokteran Nuklir. Walaupun, pada awal penggunaan I-131 dikhususkan untuk terapi
kanker tiroid, dalam perkembangannya penggunaan I-131 kemudian berkembang untuk
pencitraan kelenjar tiroid,kuantifikasi fungsi tiroid, dan terapi untuk hipertiroidisme.
Semakin meluasnya penggunaan secara klinis, Kedokteran Nuklir dimulai pada
awal 1950-an, sehingga pengetahuan tentang radionuklida , deteksi radioaktivitas, dan
penggunaan radionuklida tertentu untuk melacak proses-proses biokimia semakin
diperluas dan diperdalam oleh para ahli. Benediktus Cassen adalah perintis dalam
mengembangkan scanner pertama dan Hal O Anger' mengembangkan kamera scintilasi
dan memperluas applikasi Kedokteran Nuklir dengan spesialisasi pencitraan medis.

5
Pada tahun-tahun awal pertumbuhan kedokteran nuklir sangat fenomenal. Pada
tahun 1954, Perhimpunan Kedokteran Nuklir dibentuk di Spokane, Washington, USA.
Pada tahun 1960, Perhimpunan tersebut mulai mempublikasikan Jurnal Kedokteran
Nuklir yang merupkan salah satu jurnal ilmiah terkemuka Amerika.
Di antara banyak radionuklida yang ditemukan, dalam aplikasi medis, penemuan
dan pengembangan Technetium-99m merupakan hal yang sangat penting. Penemuan
Technitium pertama kali ditemukan pada tahun 1937 oleh C. Perrier dan E. Segre sebagai
unsur buatan. Saat ini, Technetium-99m adalah unsur yang paling dimanfaatkan dalam
Kedokteran Nuklir dan berperan dalam berbagai studi pencitraan Kedokteran Nuklir.
Pada tahun 1970-an sebagian besar organ tubuh dapat divisualisasikan
menggunakan metode Kedokteran Nuklir. Pada tahun 1971, American Medical
Association resmi mengakui kedokteran nuklir sebagai spesialisasi medis, dan pada
1980-an, radiofarmasi dirancang untuk digunakan dalam diagnosis penyakit
jantung. Teknik pencitraan tomografi telah dikembangkan lebih lanjut di Washington
University School of Medicine.

C. Radiofarmaka
Radiofarmaka adalah senyawa aktif yang diberikan ke pasien peroral maupun
parental untuk tujuan diagnostik maupun terapi, merupakan sumber terbuka dan ikut
metabolisme dalam tubuh. Suatu radiofarmaka berupa isotop radioaktif misalnya Tl-201
atau berupa senyawa yang dilabel dengan pembawa materi contoh I-131 Hipuran, Tc-
99m DTPA. Sifat-sifat radiofarmaka diagnostik yang ideal:

1. Pemancar gamma murni


2. 100 keV < energi gamma < 250 keV
3. Waktu paruh efektif = 1.5 x lamanya pemeriksaan.
4. Target to non-target ratio tinggi.
5. Dosis radiasi yang diterima pasien dan petugas kedokteran nuklir minimal.
6. Keselamatan pasien
7. Reaktivitas kimia
8. Tidak mahal dan tersedia dengan mudah.
9. Penyiapan serta kendali kualitasnya sederhana jika dibuat ditempat (rumah sakit).

6
Sifat-sifat radiofarmaka terapi yang ideal :

1. Pemancar partikel bermuatan yang murni (b- atau a).


2. Memiliki energi cukup tinggi atau sedang (>1 meV).
3. Waktu paruh effektif cukup panjang, misalnya dalam hari.
4. Perbandingan uptake di dalam target terhadap organ bukan target tinggi
5. Dosis radiasi yang diterima pasien harus minimal dan juga yang diterima petugas
kedokteran nuklir.
6. Keselamatan pasien diutamakan.
7. Radiofarmaka tersedia dengan mudah dan harganya murah.
8. Preparasi dan QC radiofarmaka mudah dan sederhana bila radiofarmaka disiapkan
ditempat.

D. Radionuklida
Radionuklida yang digunakan di kedokteran nuklir adalah hasil produksi dari
reaktor nuklir seperti I-131, Cr-51 dan cyclotron seperti Tl-201, In-123 namun harganya
jauh lebih mahal dibanding dengan reaktor nuklir atau melalui generator dengan
mengilusi isotop induk. Contoh yang paling dikenal dari radionuklida yang berasal dari
generator adalah Tc-99m yang diilusi dari isotop induk Mo-99 yang pemakainnya paling
banyak di kedokteran nuklir.
Penggunaan radionuklida di kedokteran nuklir harus dibedakan antara pemakaian
untuk keperluan terapi dan diagnostik. Untuk penggunaan terapi diperlukan radionuklida
yang massa paruhnya panjang dan memancarkan radiasi sinar beta yang mempunyai efek
biologis tinggi. Radionuklida yang mempunyai beban radiasi kecil terhadap pasien dan
memiliki energi yang ideal untuk pemeriksaan dengan gamma kamera. Kriteria yang
ideal dimiliki oleh suatu radionuklida untuk keperluan diagnostik adalah :
1. Waktu paruh : pendek tetapi tidak lebih pendek dari waktu pemeriksaan
2. Radiasi : memancarkan gamma
3. Energi : 50 – 400 keV
4. Sifat kimia : tidak toxis dan tidak merubah sifat biologis dari farmaka yang
dilabel
5. Ekonomis : murah dan dapat diproduksi dalam jumlah banyak

7
Dari kriteria di atas Tc-99 merupakan radionuklida yang paling memenuhi syarat
karena Tc-99 mempunyai waktu paruh 6 jam, radiasi gamma, energi 146 keV, sifat kimia
tidak toxis dan tidak merubah sifat biologis farmaka yang dilabel dan ekonomis.

E. Zat Pembawa
Untuk membawa aktifitas ke organ yang akan diperiksa diperlukan senyawa yang
mempunyai spesitas terhadap organ tersebut yang biasanya disebut zat pembawa. Zat
pembawa adalah unsur / zat yang dapat mengikat radionuklida dan membawa ke organ
yang akan diperiksa dan dimetabolisir oleh organ tersebut.
Kemajuan dalam bidang bioteknologi sangat membantu dalam perkembangan
kedokteran nuklir baik dalam jumlah dan produksi dan jenis zat pembawa tetapi juga
teknik-teknik labeling senyawa tersebut berkembang pesat. Sebagaimana radionuklida zat
pembawa ini juga harus mempunyai kriteria sebagai unsur dari radiofarmaka, yaitu :
1. Mudah dilabel dengan radionuklida serta mudah preparasinya tanpa merubah sifat
biologisnya terutama biodistribusi dalam tubuh.
2. Harus terakumulasi atau teralokasi sebagian besar di organ yang akan diperiksa.
3. Harus bisa dieliminasi dari tubuh dengan waktu paruh yang sesuai dengan lamanya
pemeriksaan.

Zat pembawa yang umum digunakan pada pemeriksaan Kedokteran Nuklir adalah
sebagai berikut :

ORGAN YANG
NO ZAT PEMBAWA RADIONUKLIDA
DIPERIKSA

1. MDP Tc-99m Tulang

2. DTPA Tc-99m Ginjal (glomurolus)

3. DMSA Tc-99m Ginjal (parenkin)

4. MAA Tc-99m Paru

5. MIBI Tc-99m Jantung

8
6. HMPAO Tc-99m Otak

7. Hipuran I-131 Ginjal (tubular)

8. N I-131 Tiroid

Ada berbagai cara dalam menempatkan radiofarmaka ke dalam organ


tubuh. Beberapa penempatan yang sudah diketahui mekanismenya adalah:

a. Proses Fagositosis
Bila pembawa materi adalah mikro koloid yang dapat ditandai dengan Tc-99m, In-
113m, atau Au-198, maka radiofarmaka akan difagositosit oleh system
Retikuloendotelia (RES) tubuh setelah disuntikkan intravena. Radiofarmaka ini
dimanfaatkan untuk membuat skaninghati, limpa, sumsum tulang dan juga
membuat skening kelenjar getah bening regional bila diberikan secara subkutan.
b. Transportasi aktif
secara aktif sel-sel organ tubuh memindahkan radiofarmaka ini dari plasma darah
ke dalam organ untuk selanjutnya ikut metabolisme tubuh/dikeluarkan dari tubuh.
Contoh I-131 Hippuran diekskresi o/ sel tubulus sehingga dapat dipakai untuk
memeriksa fungsi ginal pada Renogram, Tc-99m IDA dan I-131 Rose Bengal oleh
sel poligonal hati ditransfer dari darah untuk diekskresi ke usus halus lewat saluran
empedu.
c. Penghalang kapiler
Apabila pembawa materi adalah makrokoloid yg disuntikkan IV akan menjadi
penghalang kapiler di Paru, misal Tc-99m-makrokoloid dimanfaatkan membuat
scanning perfusi paru untuk mendeteksi emboli paru.
d. Pertukaran Difus
Pembawa materi yang telah ditandai radioaktif akan saling bertukar tempat dgn
senyawa yang sama dari organ tubuh. Contoh Polifosfat bertanda Tc-99m akan
bertukar tempat dengan senyawa polifosfat tulang.

9
e. Kompartemental
Bila radiofarmaka berada pada organ tubuh yang diperiksa dalam waktu
lama. Misal pada Scanning jantung dgn Tc-99m Sn eritrosit.
f. Pengasingan Sel
Sel darah merah yg ditandai oleh Cr-51 dan dipanaskan 50 derajad Celcius selama
1 menit bila dimasukkan kembali ke tubuh pasien scr IV akan segera diasingkan ke
limpa dan merupakan radiofarmaka untuk scanning limpa.

F. Konfigurasi Alat
Pada prinsipnya alat / pesawat kedokteran nuklir hanya sebagai detector, yaitu
menangkap radiasi yang dipancarkan oleh bahan radioaktif dalam tubuh dan merubahnya
menjadi data yang dapat dilihat sebagai angka-angka, warna ataupun grafik. Pemeriksaan
imaging kedokteran nuklir memerlukan gamma kamera yang mempunyai detector dalam
jumlah banyak. Satu gamma kamera biasanya terdiri dari kolimator, detector, Photo
Multiplier Tube (PMT), Catode Ray Tube (CRT), Pulse Height Analizer (PHA).

1. Gamma Kamera
Gamma kamera pada hakekatnya merupakan kamera skintilasi (scintillation
cameras). Pencitraan menggunakan kamera gamma merupakan teknologi imeging
emisi. Kamera gamma akan merubah photon gamma yang berhasil diterima oleh
detektor menjadi pulsa cahaya dan selanjutnya dirubah menjadi pulsa elektronik
(voltage signal). Signal tersebut yang akhirnya akan membentuk citra (image) sesuai
dengan ditribusi radionuklida yang dimasukkan kedalam tubuh. Setiap unit kamera
gamma memiliki komponen dasar yang terdiri dari :
a) Kolimator
b) Detektor/ Kristal skintilasi
c) Photo Multiplier Tube (PMT)
d) Cathode Ray Tube (CRT)
e) Pulse Height Analyzer (PHA)
f) Konsole/Panel Kontrol

10
Kamera gamma jenis digital memiliki beberapa kelebihan dibanding jenis analog,
antara lain dapat melakukan pemrosesan data lebih cepat, karena selalu dilengkapi
dengan unit komputasi yang lebih canggih, dan secara umum relatif lebih mudah
perawatanya.

1) Kolimator
Sebagaimana pada sistem optic yang memerlukan lensa untuk
memfokuskan cahaya, dalam kedokteran nuklir juga diperlukan sarana untuk
memfokuskan sinar gamma detector. Untuk itu diperlukan kolimator yang
terbuat dari timbal yang berisikan pipa-pipa kecil, dimana arah dari pipa-pipa ini
tergantung dari jenis kolimator. Dengan kolimator, hanya sinar gamma yang
searah dengan pipa-pipa dapat melalui kolimator dan menumbuk detector.
Sedangkan sinar gamma yang arahnya miring akan menumbuk pipa-pipa
dan akan diabsorbsi sehingga tidak sampai detektor (kristal skintilasi), hanya
menerima signal dari radionuklida terbatas pada sebagian tertentu didalam tubuh
pasien). Karenanya kolimator dalam menjalankan fungsinya adalah dengan
mengabsorbsi dan menghalangi radiasi photon yang datang diluar bidang
tertentu yang berhadapan dengan permukaan detektor. Sehingga radiasi yang
diterima oleh kolimator dengan posisi oblique tidak dapat mempengaruhi
pembentukan citra.
Efektivitas kolimator dalam memproduksi gambar pada detektor
tergantung dari faktor-faktor, antara lain :
 Dimensi dari kolimator : besar pipa/ukuran hole, jumlah hole, panjang hole
dan tebal septa.
 Jarak dari obyek : makin dekat obyek dengan kamera makin baik
resolusinya, karena itu sangat penting untuk menempatkan pasien sedekat
mungkin dengan kamera.
 Resolusi dan sensitivitas juga sangat dipengaruhi oleh energi sinar gamma
yang diterima, makin tinggi energi yang diterima makin buruk cahaya yang
dihasilkan detektor.

11
2) Detektor
Detector terdiri dari scintilasi kristal yang diletakkan di belakang
kolimator, terbuat dari Natrium Iodida (NaI) kristal plus Thalium. NaI (Tl) ini
akan mengeluarkan cahaya/scintilisai apabila tertumbuk sinar gamma. Interaksi
photon gamma dengan kristal detektor akan menyebabkan terjadinya efek
penyerapan photoelektrik, sehingga menghasilkan cahaya fluorosensi yang
intensitasnya proposional dengan kandungan energi dari photon gamma yang
bersangkutan.
Pada umumnya diameter kristal detektor bervariasi sekitar 10 s/d 21 inch,
dan ketebalan ¼ s.d ½ inch. Semakin luas ukuran bidang kristal semakin luas
pula bidang pencitraan yang dimiliki kamera gamma, sehingga harganya
semakin mahal. Semakin tebal ukuran suatu kristal detektor, derajat resolusi
spatial akan semakin rendah tetapi semakin efektif dalam menangkap radiasi
photon gamma. Dibagian kedokteran nuklir RSCM detektor mempunyai luas
25,4 cm2.
3) Photo Multiplier Tube (PMT)
PMT berfungsi untuk merubah signal cahaya menjadi signal elektrik
secara terukur. PMT ditempatkan dibagian belakang kristal NaI(Tl) dan
berjumlah banyak serta tersusun dalam suatu konfigurasi. PMT dihubungkan
dengan kristal secara optis dengan bahan silicon-like materials. Signal skintilasi
yang dihasilkan dari kristal akan diterima/dicatat oleh satu atau lebih PMT.
Signal keluaran PMT memiliki 3 komponen,yaitu : Semua data-data ini akan
terkumpul dalam kolektor dan disimpan dalam memori ini akan diproses
menjadi data visual berupa gambar, grafik maupun angka.
4) Cathode Ray Tube (CRT)
Signal-signal yang dapat dari PMT akan diproses menjadi 3 (tiga) signal
X, Y, Z. spatial coordinates X dan Y sebagai sumbu , dan komponen Z sebagai
parameter besarnya energi yang masuk dalam kristal detektor dan diproses oleh
PHA. Koordinat X dan Y dapat langsung diamati pada layar display (CRT) atau

12
didalam komputer. Sedang signal Z (intensitas) akan diproses lebih lanjut oleh
komponen berikutnya, yaitu PHA.
5) Pulse Height Analyzer (PHA)
PHA pada prinsipnya memiliki fungsi membuang (to discard) signal-
signal radiasi yang beraasal dari cacah latar (background) dan sinar hamburan
atau radiasi lain dari hasil interferensi isotop, sehingga hanya foton yang berasal
dari photopeak yang dikehendaki yang dicatat. PHA akan melakukan pemilahan
terhadap signal-signal tersebut, selanjutnya meneruskan signal yang sesuai untuk
diteruskan ke sistem komputer, sedang yang tidak sesuai ditolak. PHA mampu
melakukan fungsi tersebut karena energi yang diterima oleh detektor akan
diubah menjadi signal skintilasi yang memiliki korelasi linier dengan voltage
signal yang dikeluarkan oleh PMT.
6) Kontrol Panel
Image exposure time ditentukan melalui panel kontrol, dengan pilihan :
 Preset count
 Preset time atau
 Preset ID (information density) untuk citra kompresi.

2. Generator
Pada prinsipnya generator radioisotop terdiri dari radionuklida yang
mempunyai waktu paroh panjang (disebut radionuklida induk) yang spontan meluruh
dan menghasilkan radionuklida yang waktu parohnya jauh lebih pendek (disebut
radionuklida anak). Keduanya membentuk pasangan keseimbangan transien dan pada
suatu saat radioaktivitas generator akan berkurang menurut waktu paro nuklida
induk. Sistem generator radioisotop harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
 Radionuklida induk harus mempunyai sifat-sifat fisika dan kimia yang cocok
agar mudah diolah dalam bentuk generator.
 Radionuklida induk dapat menghasilkan nuklida anak dengan kemurnian kimia,
radiokimia yang tinggi.
 Sistem generator harus aman dan sederhana dalam penggunaanya
 Radioaktivitas anak harus cukup tinggi.

13
 Nuklida anak harus mudah dipisahkan dari induknya.
 Struktur generator harus tetap baik setelah berkali-kali dielusi (dalam pemisahan
nuklida anak dari induknya).

Hingga saat ini dari sistem generator telah dapat dihasilkan beberapa
radioisotop, misalnya :

T1/2 Anak Eγ Anak Luruh


Generator T1/2 Induk
luruh (%)

99Mo 99mTc 2,78 hari 6 jam 140 keV (90)

68Ge 68Ga 275 hari 68 menit 511 keV (176)

81Rb 81mKr 4,7 jam 12 detik 190 keV (65)

82Sr 82Rb 25 hari 1,3 menit 511 keV (192)

87Y 87mSr 3,3 hari 2,8 jam 388 keV (80)

113Sn 113mIn 115 hari 1,7 jam 393 keV (64)

132Te 132I 3,2 hari 2,3 jam (banyak)

137Cs 137mBa 30 tahun 2,6 menit 622 keV (89)

191Os 191mIr 15 hari 4,7 detik 129 keV (25)

G. Teknik Scanning Tulang


1. Teknik Scanning Tulang dengan Tc-99m MDP
a. Indikasi
1) Untuk mendiagnosa metase pada tulang.
2) Untuk mendiagnosa tumor tulang primer.
3) Untuk mendiagnosa Osteomielitis.
4) Untuk mendiagnosa Nekrosis aseptic.
5) Untuk mendeteksi trauma pada tulang.
6) Untuk mendeteksi Kelainan sendi.

14
7) Untuk mendeteksi Penyakit metabolic pada tulang.
b. Persiapan Alat dan Bahan
1) Peralatan kamera gamma : kolimator Low Energy High Resolution
(LEHR).
2) Radiofarmaka : Tc-99m – MDP 15-20 mCi diberikan
secara intravena.
c. Persiapan pasien
1) Pasien tidak dalam pengaruh media kontras iodine
2) Pasien membawa hasil imejing kedokteran nuklir sebelumnya bisa sudah
pernah dilakukan pemeriksaan yang sama.
3) Pasien dianjurkan BAK (buang air kecil) terlebih dahulu sebelum masuk
ruang pemeriksaan.
d. Pengaturan Posisi Pasien
Pasien diposisikan tidur telentang pada meja pemeriksaan, kedua kaki dekat
dengan kamera gamma ( feet first supine ).
e. Pengaturan Posisi Objek
Kedua krista illiaka diposisikan pada pertengahan kamera gamma, atau batas
atas sekitar 5 cm superior processus Xypodeus dan batas bawah pada setinggi
simpisis pubis, lengan yang tidak diinjeksi lurus di samping tubuh, sedang
lengan yang diinjeksi luruh / menjauhi tubuh
f. Teknik Pemeriksaan
1) Prosedur Tindakan : Pencitraan Dengan Metoda Tiga Fase
a) Fase pertama (vaskuler)
Penderita tidur terlentang dengan detektor ditempatkan sedemikian rupa
sehingga tubuh yang akan diperiksa berada di atas lapang pandang
detektor.
Pemeriksaan vase pertama merupakan pemeriksaan dinamik dalam frame
berukuran matrix 128 x 128 dengan waktu pencacahan 2 detik/frame
selama 2 menit.
Posisi pencitraan: anterior dan atau posterior.

15
Pencitraan dimulai bersamaan dengan saat penyuntikan radiofarmaka
secara bolus.
b) Fase kedua (blood pool)
Pemeriksaan fase kedua dilaksanakan segera setelah fase pertama selesai
berupa pencitraan statik dalam frame berukuran matrix 256 x 256
sebanyak 300 Kcounts.
Posisi pencitraan: anterior dan atau posterior.
c) Fase ketiga (delayed/bone)
Fase ketiga merupakan pemeriksaan statik yang dilakukan 3 jam pasca
penyuntikan radiofarmaka.
Sebelum memasuki ruang pemeriksaan penderita dianjurkan untuk buang
air kecil dengan hati-hati untuk menghindari kontaminasi. Pada fase
ketiga ini dilakukan pemeriksaan seluruh tubuh (whole body scan) dari
posisi anterior dan posterior dilanjutkan dengan pemeriksaan SPECT-CT
pada bagian-bagian yang mencurigakan. Pemeriksaan dalam frame
berukuran matrix 256 x 256 sebanyak 700 Kcounts.
Posisi pencitraan: anterior dan posterior. Apabila diperlukan pemeriksaan
dapat dari posisi miring (oblique) untuk memperjelas lokasi kelainan.
2) Scanning dilakukan pada 3 jam pasca injeksi radiofarmaka Tc-99m MDP.
a) Entry data pasien : Data identitas pasien diketik pada computer yang
meliputi nama pasien, nomor catatan medic, umur, tanggal lahir.
b) Pemilihan Protokol Pemeriksaan Bone Scan, terdapat 4 pilihan menu
akuisisi yaitu Dinamik, Blood Pool, Whole Body, Spot Chest AP/PA,
Spot Chest Oblik, dan Spot Pelvis AP/PA. Protokol dinamik dan blood
pool dilakukan untuk pasien dengan klinis radang atau membedakan
antara radang dan metastase tumor pada tulang dan scanning tulang
dilakukan bersamaan dengan waktu injeksi radiofarmaka secara intra
vena.
c) Pengaturan parameter : Kolimator Low Energy High Resolution (LEHR),
sacanning dilakukan 4 tahap, pertama seluruh tubuh wholebody AP/PA,
kedua proyeksi Spot Chest AP/PA, ketiga proyeksi Spot Chest Oblik

16
lebih kurang 35 derajat ke kanan atau ke kiri, ke empat proyeksi Pot
Pelvis AP/PA dengan protocol feet first supine, dinamik scan, matrix :
128 x 128; ‘peak’ energy disesuaikan oleh radionuklida, yaitu 140 KeV
dengan ‘window’: 20 %; jumlah count : 700 kilocounts.
d) Proses Transfer data ke Work Station : setelah selesai akuisisi data,
selanjutnya data dikirim ke workstation bisa diatur otomatis maupun
secara manual.
e) Proses rekontruksi gambar : gambar yang sudah dikirim ke work station
selanjutnya diolah dengan aplikasi whole body bone pada work station
sehingga diperoleh gambar yang baik, dapat dilakukan pengaturan gelap
terang, dan ketajaman gambar, serta detailnya.
f) Proses mencetak Gambar : gambar yang sudah diolah selanjutnya dicetak
pada printer kertas dan disajikan pada dokter SpKN untuk dilakukan
ekpertisi.
3) Evaluasi Hasil :
a) Daerah tulang yang menyerap sedikit perunut atau bahkan tidak
menyerap sama sekali disebut “Cold Spot”, yang menggambarkan bahwa
suplai darah ke tulang tersebut kurang (infarksi tulang) atau
memperlihatkan adanya kanker.
b) Daerah yang menyerap perunut banyak atau terlihat terang disebut “Hot
Spot”, yang menggambarkan terjadinya tumor, fraktur, atau infeksi.

2. Teknik Scanning Tulang dengan Tc-99m EDTMP


Untuk memperlihatkan dan mengidentifikasi abnormalitas atau gangguan pada
tulang karena metastasis suatu keganasan dan mengevaluasi tindakan terapi Bone
Pain Palliatif.
a. Indikasi
1) Untuk mendiagnosa metase pada tulang
2) Untuk mendiagnosa tumor tulang primer.
3) Untuk mendiagnosa Osteomilitis.
4) Untuk mendianogsa Nekrosis aseptic.

17
5) Untuk mendeteksi Trauma pada tulang.
6) Untuk mendeteksi Kelainan sendi.
7) Untuk mendeteksi Penyakit metabolik pada tulang.
8) Untuk mengevaluasi keberhasilan tindakan terapi bone pain palliatif.
9) Sebagai pedoman bagi petugas dalam mengerjakan Pemeriksaan Sidik
Tulang Pasca Tindakan Terapi Bone Pain Palliatif ( Bone Scintigraphy ).
b. Persiapan Alat dan Bahan
Peralatan kamera gamma : kolimator Low Energy High Resolution ( LEHR ).
Radiofarmaka : Tc-99m – EDTMP 15-20 mCi diberikan secara
intra vena
c. Persiapan Pasien
1) Tidak ada persiapan khusus
2) Beritahu dokter atau petugas, jika :
 Pasien sedang hamil atau menyusui
 Pasien beberapa hari sebelumnya telah melakukan pemeriksaan yang
mengandung barium ( misalnya barium enema / colon in loop ) atau
sedang mengkonsumsi obat yang mengandung bismuth (misalnya
pepto-bismuth) karena kedua zat tersebut dapat berpengaruh terhadap
hasil pemeriksaan.
3) Sebelum pemeriksaan dilakukan, pasien dipersilakan melepas perhiasan atau
aksessoris atau benda logam lainnya yang dikenakan, karena dapat
mengganggu pencitraan. Pasien membawa hasil imejing kedokteran nuklir
sebelumnya bila sudah pernah melakukan pemeriksaan yang sama. Pasien
dianjurkan BAK ( buang air kecil ) terlebih dahulu sebelum masuk ruang
pemeriksaan,
d. Pengaturan Posisi Pasien
Pasien diposisikan tidur terlentang pada meja pemeriksaan, kedua kaki dekat
dengan kamera gamma ( feet first supine ).
e. Pengaturan Posisi Obyek
Kedua crista illiaka diposisikan pada pertengahan kamera gamma, atau batas
atas sekitar 5 cm superior processus Xypoideus dan batas bawah pada setinggi

18
simpisis pubis, lengan yang tidak diinjeksi lurus disamping tubuh, sedangkan
lengan yang diinjeksi adduksi lurus / menjauhi tubuh.
f. Teknik Pemeriksaan
 Scaning dilakukan pada 3 jam pasca injeksi radiofarmaka Tc-99m EDTMP
 Entry data Pasien : Data identitas pasien diketik pada komputer yang
meliputi nama pasien, nomor catatan medik, umur, tanggal lahir.
 Pemilihan Protokol Pemeriksaan : Bone scan, terdapat 4 pilihan menu
akusisi yaitu Dinamik, Blood Pool, Whole Body, Spot Chest AP/PA, Spot
Chest Oblik, dan Spot Pelvis AP/PA. Protokol dinamika dan blood pool
dilakukan untuk pasien dengan klinis radang atau membedakan antara
radang dengan metastase tumor pada tulang dan scaning dilakukan
bersamaan dengan waktu injeksi radiofarmaka secara intra vena.
 Pengaturan Parameter : Kolimator Low Energy High Resolution ( LEHR ),
scaning dilakukan 4 tahap, pertama seluruh tubuh wholebody AP/PA, kedua
proyeksi Spot Chest AP/PA, ketiga proyeksi Spot Chest Obliklebih kurang
35 derajat ke kanan atau kiri, ke empat proyeksi spot pelvis AP/PA dengan
protokol feet first supine, dinamik scan, matrix : 128

3. Hasil Pemeriksaan Teknik Scanning Tulang

BA

19
4. Indikasi Pemeriksaan Sidik Tulang
 Membedakan keganasan dengan infeksi
 Identifikasi cancer
 Follow up pasca terapi
 Staging
 Restaging

20
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat di ambil dari tinjauan pustaka pada Bab II yaitu sebagai
berikut :
1. Kedokteran Nuklir merupakan cabang ilmu kedokteran yang masih diperlukan untuk
pemeriksaan baik diagnosa maupun terapi dan untuk tujuan penelitian, menggunakan
sumber radiasi terbuka dari proses disintregasi/peluruhan inti radionuklida.
2. Radioisotop pada pemeriksaan Kedokteran Nuklir dimasukkan ke dalam tubuh
pasien (studi in vivo) maupun hanya direaksikan dengan bahan biologis.
3. Radiofarmaka yang digunkanan dalam pemeriksaan Scanning Tulang pada
Kedokteran Nuklir menggunakan Tc-99m MDP ataupun menggunakan Tc-99m
EDTMP.

B. Saran
Makalah ini masih sangat jauh dari kata sempurna mengingat kami yang masih
dalam proses belajar, tentulah masih sangat memerlukan bimbingan serta ilmu yang
lebih. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca akan sangat membantu untuk
kedepannya.

21
DAFTAR PUSTAKA

Buku Protokol Kedokteran Nuklir

https://id.scribd.com/document/336841073/KN-Scanning-Tulang diakses hari Minggu 15:34

22

Anda mungkin juga menyukai