Anda di halaman 1dari 33

1.

Pengertian Korupsi
Korupsi adalah tindakan seseorang yang menyalahgunakan kepercayaan dalam suatu masalah
atau organisasi untuk mendapatkan keuntungan. Tindakan korupsi ini terjadi karena beberapa
faktor faktor yang terjadi di dalam kalangan masyarakat.

Pengertian Korupsi Secara Umum, Menurut Para Ahli & Undang Undang
Pengertian Korupsi Secara Umum, Menurut Para Ahli dan Undang Undang – Korupsi atau
rasuh adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang
terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan
kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.

Kata korupsi berasal dari bahasa latin “corruptio” atau corruptus yang bermakna busuk, rusak,
menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Menurut para ahli bahasa, corruptio berasal dari kata
kerja corrumpere, suatu kata dari Bahasa Latin yang lebih tua. Kata tersebut kemudian
menurunkan istilah corruption, corrups (Inggris), corruption (Perancis), corruptie/korruptie
(Belanda) dan korupsi (Indonesia).

Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk
keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintahan di seluruh dunia ini rentan korupsi dalam
praktiknya. Beratnya korupsi tentu berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk
penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan
korupsi berat yang diresmikan. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya
pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.

Dalam ilmu politik, korupsi didefinisikan sebagai penyalahgunaan jabatan dan administrasi,
ekonomi atau politik, baik yang disebabkan oleh diri sendiri maupun orang lain, yang ditujukan
untuk memperoleh keuntungan pribadi, sehingga meninmbulkan kerugian bagi masyarakat
umum, perusahaan, atau pribadi lainnya.

Dari sudut pandang ekonomi, para ahli ekonomi menggunakan definisi yang lebih konkret.
Korupsi didefinisikan sebagai pertukaran yang menguntungkan (antara prestasi dan
kontraprestasi, imbalan materi atau nonmateri), yang terjadi secara diam-diam dan sukarela, yang
melanggar norma-norma yang berlaku, dan setidaknya merupakan penyalahgunaan jabatan atau
wewenang yang dimiliki salah satu pihak yang terlibat dalam bidang umum dan swasta.

Dari pengertian korupsi yang dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Korupsi adalah
perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan lain sebagainya
untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, yang mengakibatkan kerugian
keuangan pada negara. Atau tindakan penyelewengan atau penggelapan uang baik itu uang
Negara atau uang lainnya yang dilakukan untuk keuntungan pribai atau orang lain.

Bisa juga diartikan sebagai tindakan seseorang yang menyalahgunakan kepercayaan dalam suatu
masalah atau organisasi untuk mendapatkan keuntungan. Atau suatu kegiatan yang merugikan
kepentingan publik dan masyarakat luas untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Pengertian Korupsi Menurut Undang Undang

UU No 31 Tahun 1999

Pengertian korupsi menurut UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana


Korupsi mengartikan bahwa Korupsi adalah Setiap orang yang dikategorikan melawan hukum,
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara.

UU No 20 Tahun 2001

Pengertian Korupsi Menurut UU No. 20 Tahun 2001 adalah tindakan melawan hukum dengan
maksud memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korupsi yang berakibat merugikan negara atau
perekonomian negara

UU No 24 Tahun 1960

Pengertian Korupsi Menurut UU No.24 Tahun 1960 adalah perbuatan seseorang, yang dengan
atau karena melakukan suatu kejahatan atau dilakukan dengan menyalah gunakan jabatan atau
kedudukan.

Pengertian Korupsi Menurut KBBI

Pengertian korupsi menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah penyelewengan atau
penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang
lain.

2. Sejarah Korupsi

3. Bentuk – Bentuk Korupsi

1. Suap Menyuap

Suap merupakan suatu hadiah, penghargaan, pemberian, atau keistimewaan yang dijanjikan
dengan tujuan merusak pertimbangan atau tingkah laku, terutama dari seorang yang dianggap
pejabat publik.[1] Pemberian uang pelicin merupakan salah satu tindakan yang dapat
dikategorikan sebagai suap. Sama seperti hadiah, uang pelicin ini dapat berbentuk barang, jasa,
potongan harga, dan sebagainya. Tindakan suap ini termasuk jenis tindak pidana korupsi sesuai
dengan Pasal 5 ayat (I) huruf a UU No. 31 Tahun 1999 juncto UU No. 20 Tahun 2001.[2]
Sebagai contoh, seseorang yang menjadi pedagang ponsel impor. Ketika barang dari luar negeri
telah dikirim dan sampai ke pelabuhan, ternyata terdapat beberapa dokumen yang tidak dapat ia
lengkapi. Kemudian, ia menghadap kepada petugas atau pegawai Bea Cukai yang berwenang dan
menawarkan beberapa buah ponsel dengan balasan dokumen yang belum lengkap dianggap sudah
memenuhi syarat. Pelaku tindakan suap menyuap ini akan diganjar penjara maksimal 5 (lima)
tahun dan atau denda maksimal Rp250.000.000.

2. Kerugian Keuangan Negara

Merupakan setiap tindakan melawan hukum dengan melakukan perbuatan penyalahgunaan


wewenang atau sarana untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi dan dapat
merugikan keuangan negara. Seperti yang tercantum pada pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 juncto
UU No. 20 Tahun 2001, pelaku tindakan ini akan dipidana dengan pidana penjara paling singkat
4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000
(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah).[3]

Pada proyek-proyek pemerintahan, banyak terjadi kasus yang termasuk kategori merugikan
keuangan negara. Misalnya pada proyek pembangunan jalan. Pada Rencana Anggaran Biaya
(RAB), terdapat biaya penggunaan jasa konsultan konstruksi jalan sebesar Rp200.000.000 (dua
ratus juta rupiah). Namun pada kenyataannya, hanya digunakan sebesar Rp100.000.000 (seratus
juta rupiah) saja.

3. Penggelapan Dalam Jabatan

Penggelapan merupakan suatu tindakan tidak jujur dengan menyembunyikan barang atau harta
orang lain oleh satu orang atau lebih tanpa sepengetahuan pemilik barang dengan tujuan untuk
mengalih-milik, menguasai, atau digunakan untuk tujuan lain.[4] Penggelapan juga dapat berupa
penipuan dalam hal keuangan. Misalnya, seorang pegawai pemerintah diberikan dana agar
digunakan untuk perawatan mobil dinas sebesar Rp2.000.000 (dua juta rupiah). Dana tersebut
melebihi nilai kebutuhan perawatan, sehingga terdapat sisa dari dana tersebut. Sesuai dengan
aturan, maka seharusnya dana tersebut dikembalikan kepada negara melalui kantor pemerintahan.
Namun, jika dana tersebut digunakan untuk kepentingan pribadi, makapegawai tersebut sudah
melakukan penggelapan dana.

Melihat pasal 8 UU No. 31 Tahun 1999 juncto UU No. 20 Tahun 2001, tindak penggelapan ini
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun
serta pidana denda paling sedikit Rp150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp750.000.000 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah).

4. Pemerasan

Berasal dari kata “chantage” dalam bahasa Perancis, atau “extortion” dalam bahasa Inggris, yang
berarti pemerasan dengan memfitnah.[5] Pemerasan dapat dikatakan bentuk korupsi yang paling
mendasar, karena pelaku memiliki kekuasaan dan menggunakannya untuk memaksa orang lain
untuk memberikan atau melakukan sesuatu yang dapat menguntungkan dirinya.[6]

Contoh yang sering kita temui adalah saat kita ingin mengurus pembuatan KTP (Kartu Tanda
Penduduk). Ketika kita datang menghadap kepada pegawai kelurahan, seringkali kita jumpai
pegawai tersebut meminta sejumlah uang dengan alasan sebagai uang administrasi pembuatan
KTP. Saat kita tidak memberikan, maka pegawai pun tidak akan membuatkan KTP tersebut hingga
kita memenuhi permintaannya.

Menilik dari kasus pemerasan tersebut, menurut Pasal 12 huruf e UU No. 31 Tahun 1999 juncto
UU No. 20 Tahun 2001, pelaku akan dikenai sanksi pidana paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dengan denda paling sedikit Rp200.000.000 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah).

5. Perbuatan Curang

Merupakan ketidakjujuran dan ketidakadilan terhadap suatu hal. Dalam konteks bentuk korupsi
ini, perbuatan curang dapat diartikan sebagai tindakan tidak jujur seseorang terhadap apa yang
seharusnya dilakukan. Contohnya, pada proyek pembangunan gedung perkantoran pemerintahan.
Dalam akta perjanjian, tertulis bahwa gedung tersebut akan menggunakan pondasi cakar ayam
yang paling baik untuk konstruksi gedung 4 lantai. Namun, pada praktiknya justru menggunakan
pondasi yang biasa digunakan untuk gedung 2 lantai. Jika hal ini terjadi, maka kontraktor telah
melakukan perbuatan curang yang akan dikenai sanksi pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun
dan paling lama 7 (tujuh) tahun dengan denda paling sedikit Rp100.000.000 (seratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp350.000.000 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) sesuai dengan Pasal 7 ayat
(1) huruf a UU No. 31 Tahun 1999 juncto UU No. 20 Tahun 2001. [7]

6. Benturan Kepentingan Dalam Pengadaan

Pengadaan merupaka proses, cara, atau tindakan untuk menyediakan dan mengadakan. Pada
konteks ini, pengadaan yang dimaksud adalah pengadaan barang dan jasa yang dibutuhkan untuk
operasional sebuah instansi. Dan proses pengadaan ini dapat juga melibatkan pihak ketiga sebagai
pemasok, melalui mekanisme tender. Tender merupakan tawaran untuk mengjaukan harga,
memborong pekerjaan, ataupun menyediakan barang.[8]

Hakikatnya, pada proses tender ini dilakukan seleksi terhadap vendor, dimana vendor tersebut
harus memenuhi kriteria yang telah ditentukan atau sesuai peraturan yang berlaku. Sebagai contoh,
tender pembuatan kertas suara untuk Pilgub (Pemilihan Gubernur) oleh KPU Daerah. Ketika
proses tender digelar, secara diam-diam, perusahan percetakan milik salah satu anggota KPU
Daerah mengikuti proses tender. Dan karena memiliki “orang dalam”, akhirnya pemenang tender
pun jatuh ke tangan anggota KPU Daerah tersebut.

Sesuai dengan contoh kasus di atas, maka anggota KPU Daerah tersebut sudah melakukan tindak
pidana korupsi, yang akan dikenai sanksi pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dengan denda paling seikit Rp200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah), sesuai dengan isi pasal 12 huruf i UU No. 31
Tahun 1999 juncto UU No. 20 Tahun 2001.

7. Gratifikasi

Gratifikasi merupakan sebuah hadiah, imbalan, atau balasan atas jasa atau manfaat yang diberikan
secara sukarela, tanpa ajakan atau janji.[9] Pada dasarnya, gratifikasi ini tidak mengandung unsur
korupsi, selama tindakan ini tidak menimbulkan kecurangan. Maka dari itu, gratifikasi, dalam
konteks bentuk korupsi, harus dilihat pada perspektif kepentingan gratifikasi.

Sebagai contoh, pada saat menjelang Hari Raya Natal, seorang pegawai instansi menerima paket
yang diantarkan langsung ke rumah oleh kurir. Paket tersebut berasal dari orang atau nasabah yang
pernah bekerjasama sebelumnya sebagai ucapan terimakasih. Pada tahap ini, gratifikasi yang
terjadi akan tergolong gratifikasi yang positif jika pegawai penerima paket ini melaporkan paket
tersebut kepada KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja
terhitung sejak tanggal gratifikasi diterima. Namun, gratifikasi tersebut akan tergolong sebagai
gratifikasi yang negatif (suap), jika penerima paket tak kunjung melaporkan paket tersebut kepada
KPK.

Setelah ditetapkan bahwa gratifikasi tersebut adalah gratifikasi negatif, maka penerima gratifikasi
tersebut akan dikenai sanksi pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20
(dua puluh) tahun dengan denda paling sedikit Rp200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) sesuai dengan Pasal 12 B UU No. 31 Tahun 1999
juncto UU No. 20 Tahun 2001.

Setelah memahami penjelasan tersebut di atas, kita dapat memahami bentuk tindakan korupsi yang
ada di sekitar kita. Dengan memahami bentuk-bentuk korupsi di atas, semakin mudah pula kita
menentukan sikap ketika suatu saat nanti kita berada dalam kondisi yang sama. Tunggu, suatu
saat? Ya, karena korupsi bukan hanya terjadi sekarang. Namun, sudah sejak zaman sebelum
Indonesia ini merdeka. Bagaimana ternyata sejarah mampu mempengaruhi perilaku koruptif kita

FAKTOR PENDORONG TERJADINYA KORUPSI

Seseorang melakukan suatu tindakan pasti ada faktor yg mendorongnya.Begitu juga dengan
korupsi.Seingat saya faktor penyebab korupsi itu ada dua,yaitu faktor internal dan eksternal.

A.Faktor Internal

Faktor internal yaitu faktor pendorong korupsi dari dalam diri kita sendiri.Diantaranya adalah:

a.Aspek perilaku individu

sifat manusia yang tamak atau rakus

moral/iman yang lemah


gaya hidup yang boros

males kerja

Ajaran agama yang kurang.

b.Aspek sosial

Korupsi bisa terjadi karena dorongan keluarga.Kenapa?,karena kaum behavioris mengatakan


bahwa llingungan keluargalah yang secara kuat memberikan dorongan bagi orang untuk korupsi
dan menngalahkan sifat baik seseorang yang sudah menjadi traits pribadinya.Lingkungan dalam
hal ini malah memberikan dorongan dan bukan memberikan hukuman pada orang ketika ia
menyalahgunakan kekuasannya.

B.Faktor Eksternal

Faktor eksternal yaitu faktor pendorong korupsi dari luar diri kita.

a.Aspek sikap masyarakat terhadap korupsi

Nilai-nilai di masyarakat yang kondusif untuk terjadinya korupsi.

Masyarakat kurang menyadari sebagai korban utama korupsi.

Masyarakat kurang enyadari jika dirinya terllibat korupsi.

Masyarakat kurang menyadari jika korupsi akan bisa dicegah dan dibasmi jika masyarakat ikut
aktif.

b.Aspek ekonomi

pendapatan yang kecil bisa saja mendorong kita untuk melakukan hal tersebut jika iman/moral
kita kurang kuat.

c.Aspek politis

Menurut Raharjo control sosial adalah proses yang dilakukan untuk mempengaruhi orang-orang
agar bertingkah laku sesuai dengan harapan masyarakat.Kontrol sosial tersebut dijalankan
dengan menggerakkan berbagai aktifitas yang melibatkan penggunaan kekuasaan egara sebagai
suatu lembaga yang melibatkan penggunaan kekuasaan Negara sebagai suatu lembaga yang
diorganisasikan secara politik,melalui lembaga-lembaga yang dibentuknya.Dengan demikian
instabilitas politik,kepentingan politis, meraih dan mempertahankan kekuasaan sangat potensi
menyebabkan perilaku korupsi.
d.Aspek organisasi

Kurangnya sikap teladan kepemimpinan

Tidak ada kultur organisasi yang benar

Kurang memadainya sistem akuntabilitas

Kelemahan sistem pengendalian manajemen

Semakin lemah pengendallian manajemen sebuah organisasi akan demakin terbuka perbuatan
korupsi anggota atau pegawainya di dalamnya.

Lemahnya pengawasan

e.Aspek hukum

Perundang-undangan yang lemah

Lemahnya penegakan hukum

UPAYA MENUMBUHKAN SIKAP ANTI KORUPSI


1. Penanaman kejujuran sejak dini

Kejujuran adalah suatu hal yang sangat penting dari pembentukan karakter seseorang, bila
kejujuran ditanamkan secara dini, bukan tidak mungkin kita akan mendapatkan pejabat-pejabat
pemerintahan yang jujur.

2. Kedisiplinan dan taat pada hukum yang berlaku


Tidak dimungkiri, kedisiplinan merupakan suatu karakter dari seseorang yang sangat diperlukan
dalam hidupnya. Bila seseorang disiplin dan taat pada hukum yang berlaku, maka perilaku
korupsi bisa musnah dengan sendirinya.

3. Kesadaran mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi


Bila seseorang lebih mementingkan kepentingan umum, maka dia tidak akan egois tentang
kepentingan pribadinya. Jika perilaku korupsi bisa terpinggirkan, maka bukan tidak mungkin
kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat pun terjamin.

4. Penerapan Pajak kekayaan yang tinggi


Perilaku korupsi bisa disebabkan oleh keegoisan seseorang dalam meraih kekayaan. Guna
mencegah kekayaan yang berlimpah, maka pajak kekayaan yang tinggi akan menjadi solusi yang
baik. Dengan begtiu. seseorang enggan untuk menambah kekayaannya. Langkah ini bisa juga
dimaksudkan untuk penurunan tingkat korupsi berdasarkan keinginan untuk kaya.

5. Hidup sederhana, dan bersyukur


Tekanan ekonomi yang tinggi bisa memunculkan suatu ide dan gagasan seseorang mencari jalan
pintas guna meraih kekayaan. Untuk mencegah hal tersebut, perlu ditananmkan kesederhanaan
kepada seseorang sejak dini dan tak lupa rasa syukur kepada illahi atas apa yang kita miliki.

Akibat Perilaku Korupsi yang dilakukan pemerintah

1. menghabiskan atau memakan uang dan harta negara untuk kepentingan pribadi;
2. menjadikan negara miskin;
3. menjadikan negara memiliki banyak utang di luar negeri;
4. menimbulkan ketidakadilan dalam hal pendapatan dan kekayaan;

5. menimbulkan kecemburuan sosial;


6. hanya memperkaya seseorang yang dekat dengan penguasa;
7. menciptakan sikap frustasi, kekesalan, dan kemarahan pada kalangan rakyat yang tidak
memperoleh pendapatan yang adil;
8. menimbulkan kepercayaan rakyat pada pemimpin hilang;

9. menghancurkan kebersaan bangsa;


10. menciptakan aksi pertentangan, permusuhan, dan pengerusakkan fasilitas-fasilitas negara
akibat dari hilangnya kepercayaan rakyat pada penguasa.

DAMPAK KORUPSI

Korupsi memiliki pengaruh yang negatif bagi suau negara. Akibat dari tindak korupsi tersebut
memiliki dampak yang sangat berpengaruh bagi negara. Berikut dampak dari korupsi.

1. Dampak Terhadap Ekonomi

Ekonomi berfunsi sebagai faktor terpenting bagi masyarakat. apabila korupsi sudah
masuk pada perekonomian negara mana mungkin bisa makmur masyaraktnya jikalau semua
proses ekonomi dijalankan oleh oknum yang korup. Hasil dari dampak korupsi terhadp ekonomi
yakni,

 Lambatnya Pertumbuhan ekonomi dan Investasi


 Turunya Produktifitas
 Rendahnya Kualitas Barang dan Jasa
 Menurunnya Pendapatan Negara dari Sektor Pajak
 Meningkatnya Hutang Negara

2. Dampak Sosial dan Kemiskinan Rakyat

Dari dampak sosial dan Kmiskinan Rakyat akan menybabkan

 Mahalnya harga jasa dan pelayanan publik


 Lambatnya pengentasan kemiskinan rakyat
 Akses bagi masyarakat sangat terbatas
 bertambahnya anka kriminalitas

3. Runtuhnya Otoritas Pemerintahan

Penyebab dari runtuhnya otoritas pemerintahan yakni,

 Matinya Etika Sosial Politik

para wakil rakyat sudah tidak dapat dipercaya sebagai pelindung rakyat, karna mereka
hanya memikirkan anak buah mereka jika salah satu dari mereka melakukan tindak
korupsi dengan kekuatan politiknya mereka akan melakukan berbagai cara untuk
menyelamatkannya.

 Tidak Berlakunya Peraturan dan Perundng Undangan

peraturan perundang undangan tidak lagi berlaku karna, kebanyakan para pejabat tinggi,
pemegang kekuasaan atau hakim sering kali dijumpai bahwa mereka mudah sekali
terbawa oleh hawa nafsu mereka. dan juga sering kali semua permasalahan selalu
diselesaikan dengan korupsi.

4. Dampak Terhadap Polittik dan Demokrasi

Dari dampak terhadap politik dan demokrasi tersebut menghasilkan

 Munculnya kepemimpinan yang korup


 Hilangnya kepercayaam publik pada demokrasi
 Menguatnya system politik yang dikuasai oleh pemilik modal
 Hancurnya kedaulatan rakyat.

5. Dampak Terhadap Penegak Hukum

korupsii terhadap penegak hukum dapat melemahkan suatu pemerintahan. bahwasanya setiap
pejabat atau pemegang kekusaan memiliki peran penting dalam membangun suatu negara,
apabila pejabat sudah melalaikan kewajibannya maka yang akan terjadi yakni,

 Fungsi pemerintahan tidak berjalan dengan baik


 Masyarakat akan kehilangan kepercayaan kepada pemerintah

6. Dampak terhadap Pertahanan dan keamanan

Dampak terhadap pertahanan dan keamanan mengakibatkan

 Lemahnya alusistra (senjata) dan SDM


 Lemahnya garis batas negara
 Menguatnya kekerasan dalam masyarakat
7. Dampak Terhadap Lingkungan

Dampak korupsi terhadap lingkungan dapat menyebabkan

 Menurunya kualitas lingkungan


 Menurunnya kualitas hidup

Nilai dan Prinsip Anti Korupsi


Dalam berbagai buku dan pembahasan disebutkan bahwa nilai-nilai anti korupsi berjumlah 9
buah, yaitu :

1. Kejujuran
Kejujuran berasal dari kata jujur yang dapat di definisikan sebagai sebuah tindakan maupun
ucapan yang lurus, tidak berbohong dan tidak curang. Dalam berbagai buku juga disebutkan
bahwa jujur memiliki makna satunya kata dan perbuatan. Jujur ilah merupakan salah satu nilai
yang paling utama dalam anti korupsi, karena tanpa kejujuran seseorang tidak akan mendapat
kepercayaan dalam berbagai hal, termasuk dalam kehidupan sosial. Bagi seorang mahasiswa
kejujuran sangat penting dan dapat diwujudkan dalam bentuk tidak melakukan kecurangan
akademik, misalnya tidak mencontek, tidak melakukan plagiarisme dan tidak memalsukan nilai.
Lebih luas, contoh kejujuran secara umum dimasyarakat ialah dengan selalu berkata jujur, jujur
dalam menunaikan tugas dan kewajiban, misalnya sebagai seorang aparat penegak hukum
ataupun sebagai masyarakat umum dengan membaya pajak.

2. Kepedulian
Arti kata peduli adalah mengindahkan, memperhatikan dan menghiraukan. Rasa kepedulian
dapat dilakukan terhadap lingkungan sekitar dan berbagai hal yang berkembang
didalamnya.Nilai kepedulian sebagai mahasiswa dapat diwujudkan dengan berusaha memantau
jalannya proses pembelajaran, memantau sistem pengelolaan sumber daya dikampus serta
memantau kondisi infrastruktur di kampus. Selain itu, secara umum sebagai masyarakat dapat
diwujudkan dengan peduli terhadap sesama seperti dengan turut membantu jika terjadi bencana
alam, serta turut membantu meningkatkan lingkungan sekitar tempat tinggal maupun di
lingkungan tempat bekerja baik dari sisi lingkungan alam maupun sosial terhadap individu dan
kelompok lain.

3. Kemandirian
Di dalam beberapa buku pembelajaran, dikatakan bahwa mandiri berarti dapat berdiri diatas kaki
sendiri, artinya tidak banyak bergantung kepada orang lain dalam berbagai hal. Kemandirian
dianggap sebagai suatu hal yang penting harus dimiliki oleh seorang pemimpin, karena tampa
kemandirian seseorang tidak akan mampu memimpin orang lain.

4. Kedisiplinan
Definisi dari kata disiplin ialah ketaatan atau kepatuhan kepada peraturan. Sebaliknya untuk
mengatur kehidupan manusia memerlukan hidup yang disiplin. Manfaat dari disiplin ialah
seseorang dapat mencpai tujuan dengan waktu yang lebih efisien. Kedisiplinan memiliki dampak
yang sama dngan nilai-nilai antikorupsi lainnya yaitu dapat menumbuhkan kepercayaan dari
orang lain dalam berbagai hal. Kedisiplinan dapat diwujudkan antara lain dalam bentuk
kemampuan mengatur waktu dengan baik, kepatuhan kepada seluruh peraturan dan ketentuan
yang berlaku, mengerjakan segala sesuatu dengan tepat waktu, dan fokus pada pekerjaan.

5. Tanggung Jawab
Kata tanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-
apa boleh dituntut, dipersalahkan dan diperkarakan). Seseorang yang memiliki tanggung jawab
akan memiliki kecenderungan menyelesaikan tugas dengan lebih baik. Seseorang yang dapat
menunaikan tanggung jawabnya sekecil apa-pun itu dengan baik akan mendapatkan kepercayaan
dari orang lain. Penerapan nilai tanggung jawab antara lain dapat diwujudkan dalam bentuk
belajar dengan sungguh-sungguh, lulus tepat waktu dengan nilai baik, mengerjakan tugas
akademik dengan baik, menjaga amanah dan kepercayaan yang diberikan.

6. Kerja Keras
Kerja keras didasari dengan adanya kemauan. Di dalam kemauan terkandung ketekadan,
ketekunan, daya tahan, daya kerja, pendirian keberanian, ketabahan, keteguhan dan pantang
mundur. Bekerja keras merupakan hal yang penting guna tercapainya hasil yang sesuai dengan
target. Akan tetapi bekerja keras akan menjadi tidak berguna jika tanpa adanya pengetahuan.

7. Kesederhanaan
Gaya hidup merupakan suatu hal yang sangat penting bagi interaksi dengan masyarakat disekitar.
Dengan gaya hidup yang sederhana manusia dibiasakan untuk tidak hidup boros, tidak sesuai
dengan kemampuannya. Dengan gaya hidup yang sederhana, seseorang juga dibina untuk
memprioritaskan kebutuhan diatas keinginannya.

8. Keberanian
Keberanian dapat diwujudkan dalam bentuk berani mengatakan dan membela kebenaran, berani
mengakui kesalahan, berani bertanggung jawab, dan sebagainya. Keberanian sangat diperlukan
untuk mencapai kesuksesan dan keberanian akan semakin matang jika diiringi dengan
keyakinan, serta keyakinan akan semakin kuat jika pengetahuannya juga kuat.

9. Keadilan
Berdasarkan arti katanya, adil adalah sama berat, tidak berat sebelah dan tidak memihak.
Keadilan dari sudut pandang bangsa Indonesia disebut juga keadilan sosial, secara jelas
dicantumkan dalam pancasila sila ke-2 dan ke-5, serta UUD 1945. Keadilan adalah penilaian
dengan memberikan kepada siapapun sesuai dengan apa yang menjadi haknya, yakni dengan
bertindak proposional dan tidak melanggar hukum. Keadilan berkaitan erat dengan hak, dalam
konsepsi bangsa Indonesia hak tidak dapat dipisahkan dengan kewajiban. Dalam konteks
pembangunan bangsa Indonesia keadilan tidak bersifat sektoral tetapi meliputi ideologi. Untuk
menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Adil dalam kemakmuran dan makmur dalam
keadilan.
Sedangkan prinsip-pronsip anti korupsi, yaitu :
1. Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah kesesuaian antara aturan dan pelaksanaan kerja. Semua lembaga
mempertanggung jawabkan kinerjanya sesuai aturan main baik dalam bentuk konvensi (de facto)
maupun konstitusi (de jure), baik pada level budaya (individu dengan individu) maupun pada
level lembaga. Akuntabilitas publik secara tradisional dipahami sebagai alat yang digunakan
untuk mengawasi dan mengarahkan perilaku administrasi dengan cara memberikan kewajiban
untuk dapat memberikan jawaban (answerability) kepada sejumlah otoritas eksternal (Dubnik :
2005). Selain itu akuntabilitas publik dalam arti yang lebih fundamental merujuk kepada
kemampuan seseorang terkait dengan kinerja yang diharapkan. (Pierre : 2007). Seseorang yang
diberikan jawaban ini haruslah seseorang yang memiliki legitimasi untuk melakukan
pengawasan dan mengharapkan kinerja (Prasojo : 2005). Akuntabilitas publik memiliki pola-
pola tertentu dalam mekanismenya, antara lain adalah akuntabilitas program, akuntablitas proses,
akuntailitas keuangan, akuntabilitas outcome, akuntabilitas hukum, dan akuntabilitas politik
(Puslitbang, 2001). Dalam pelaksanaannya, akuntabilitas harus dapat diukur dan
dipertanggungjawabkan melalui mekanisme pelaporan dan pertanggungjawaban atas semua
kegiatan yang dilakukan. Evaluasi atas kinerja administrasi, proses pelaksanaan, dampak dan
manfaat yang diperoleh masyarakat baik secara langsung maupun manfaat jangka panjang dari
sebuah kegiatan.

2. Transparansi
Prinsip transparansi penting karena pemberantasan korupsi dimulai dari transparansi dan
mengharuskan semua proseskebijakan dilakukan secara terbuka, sehingga segala bentuk
penyimpangan dapat diketahui oleh publik. Transparansi menjadi pintu masuk sekaligus kontrol
bagi seluruh proses dinamika struktural kelembagaan. Dlam bentuk yang paling sederhana,
transparansi mengacu pada keterbukaan dan kejujuran untuk saling menjunjung tinggi
kepercayaan (trust) karena kepercayaan, keterbukaan, dan kejujuran ini merupakan modal awal
yang sangat berharga bagi semua orang untuk melanjutkan hidupnya di masa mendatang. Dalam
prosesnya transparansi dibagi menjadi lima, yaitu :
– Proses penganggaran,
– Proses penyusunan kegiatan,
– Proses pembahasan,
– Proses pengawasan, dan
– Proses evaluasi.
Proses penganggaran bersifat bottom up, mulai dari perencanaan, implementasi, laporan
pertanggungjawaban dan penilaian (evaluasi) terhadap kinerja anggaran.
Di dalam proses penyusunan kegiatan atau proyek pembangunan terkait dengan proses
pembahasan tentang sumber-sumber pendanaan (anggaran pendapatan) dan alokasi anggaran
(anggaran belanja).
Proses pembahasan membahas tentang pembutan rancangan peraturan yang berkaitan dengan
strategi penggalangan (pemungutan dana), mekanisme pengelolaan proyek mulai dari
pelaksanaan tender, pengerjaan teknis, pelaporan finansial dan pertanggungjawaban secara
teknis.
Proses pengawasan dalam pelksnaaan program dan proyek pembangunan berkaitan dengan
kepentingan publik dan lebih khusus lagi adalah proyek-proyek yang diusulkan oleh masyarakat
sendiri.
Proses evaluasi ini berlaku terhadap penyelenggaraan proyek dijalankan secara terbuka dan
bukan hanya pertanggungjawaban secara administratif, tapi juga secara teknis dan fisik dari
setiap output kerja-kerja pembangunan.

3. Kewajaran
Prinsip fairness atau kewajaran ini ditunjukkan untuk mencegah terjadinya manipulasi
(ketidakwajaran) dalam penganggaran, baik dalam bentuk mark up maupun ketidakwajaran
dalam bentuk lainnya. Sifat-sifat prinsip ketidakwajaran ini terdiri dari lima hal penting
komperehensif dan disiplin, fleksibilitas, terprediksi, kejujuran dan informatif. Komperehensif
dan disiplin berarti mempertimbangkan keseluruhan aspek, berkesinambungan, taat asas, prinsip
pembebanan, pengeluaran dan tidak melampaui batas (off budget). Fleksibilitas artinya adalah
adanya kebijakan tertentu untuk mencapai efisiensi dan efektifitas. Terprediksi berarti adanya
ketetapan dlam perencanaan atas dasar asas value for money untuk menghindari defisit dalam
tahun anggaran berjalan. Anggaran yang terprediksi merupakan cerminan dari adanya prinsip
fairness di dalam proses perencanaan pembangunan. Kejujuran mengandung arti tidak adanya
bias perkiraan penerimaan maupun pengeluaran yang disengaja yang berasal dari pertimbangan
teknis maupun politis. Kejujuran merupakan bagian pokok dari prinsip fairness. Penerapan sifat
informatif agar dapat tercapainya sistem informasi pelaporan yang teratur dan informatif. Sistem
informatif ini dijadikan sebagai dasar penilaian kinerja, kejujuran dan proses pengambilan
keputusan selain itu sifat ini merupakan ciri khas dari kejujuran.

4. Kebijakan
Kebijakan ini berperan untuk mengatur tata interaksi agar tidak terjadi penyimpangan yang dapat
merugikan negara dan masyarakat. Kebijakan anti korupsi ini tidak selalu identik dengan
undang-undang anti korupsi, namun bisa berupa undang-undang kebebasan mengakses
informasi, undang-undang desentralisasi, undang-undang anti-monopoli, maupun lainnya yang
dapat memudahkan masyarakat mengetahui sekaligus mengontrol terhadap kinerja dan
penggunaan anggaran negara oleh para pejabat negara. Aspek-aspek kebijakan terdiri dari isi
kebijakan, pembuat kebijakan, pelaksana kebijakan, kultur kebijakan. Kebijakan anti korupsi
akan efektif apabila didalamnya terkandung unsur-unsur yang terkait dengan persoalan korupsi
dan kualitas dari isi kebijakan tergantung pada kualitas dan integritas pembuatnya. Kebijakan
yang telah dibuat dapat berfungsi apabila didukung oleh aktor-aktor penegak kebijakan yaitu
kepolisian, kejaksaan, pengadilan, pengacara, dan lembaga pemasyarakatan. Eksistensi sebuah
kebijakan tersebut terkait dengan nilai-nilai, pemahaman, sikap, persepsi dan kesadaran
masyarakat terhadap hukum atau undang-undang anti korupsi. Lebih jauh lagi kultur kebijakan
ini akan menentukan tingkat partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi.

5. Kontrol Kebijakan
Kontrol kebijakan merupakan upaya agar kebijakan yang dibuat betul-betul efektif dan
mengeliminasi semua bentuk korupsi. Bentuk kontrol kebijakan berupa partisipasi, evolusi dan
reformasi. Kontrol kebijakan partisipasi yaitu melakukan kontrol terhadap kebijakan dengan ikut
serta dalam penyusunan dan pelaksanaannya. Kontrol kebijakan evolusi yaitu dengan
menawarkan alternatif kebijakan baru yang dianggap lebih layak. Kontrol kebijakan reformasi
yaitu mengontrol dengan mengganti kebijakan yang dianggap tidak sesuai.
Korupsi yang terjadi di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan dan berdampak buruk luar
biasa pada hampir seluruh sendi kehidupan. Korupsi telah menghancurkan sistem perekonomian,
sistem demokrasi, sistem politik, sistem hukum, sistem pemerintahan, dan tatanan sosial
kemasyarakatan di negeri ini. Dilain pihak upaya pemberantasan korupsi yang telah dilakukan
selama ini belum menunjukkan hasil yang optimal. Korupsi dalam berbagai tingkatan tetap saja
banyak terjadi seolah-olah telah menjadi bagian dari kehidupan kita yang bahkan sudah dianggap
sebagai hal yang biasa. Jika kondisi ini tetap kita biarkan berlangsung maka cepat atau lambat
korupsi akan menghancurkan negeri ini. Ini dapat menjadi indikator bahwa nilai-nilai dan prinsip
anti korupsi seperti yang telah diterangkan diatas penerapannya masih sangat jauh dari harapan.
Banyak nilai-nilai yang terabaikan dan tidak dengan sungguh-sungguh dijalani sehingga
penyimpangannya menjadi hal yang biasa.
Tak dapat dipungkiri untuk menanamkan nilai dan prinsip-prinsip anti korupsi perlu diajarkan
sejak dini kepada seluruh masyarakat secara umum. Saat ini sebagain besar baru terpusat pada
golongan tertentu di tempat tertentu. Untuk langkah yang lebih serius, seharusnya penanaman
nilai dan prinsip anti korupsi ini harus di terapkan bukan hanya di bangku kuliah saja sebagai
contohnya, tetapi juga dilakukan secara merata di berbagai kalangan masyarakat agar hasil yang
didapatkan juga bisa maksimal secara merata.
Yang ironisnya lagi dalam berbagai sistem pemerintahan termasuk di berbagai lembaga negara
praktik korupsi seakan dibiarkan dengan sistem yang menuntun, bahkan memaksa yang
berkepentingan untuk melakukan korupsi. Contoh nyata sistem perkorupsian itu ialah sistem
pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat, yang bernama Korupsi. Sehingga penulis
dapat menyebutkan bahwa “Pemilu merupakan sistem perkorupsian baru yang terselubung
menjadi penyakit di Indonesia”.

Berikut beberapa macam cara upaya pemerintah dalam melanjutkan tingkat


jumlah pemberantasan korupsi di Indonesia:

1. Upaya Pencegahan

Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam melakukan pemberantasan korupsi
adalah melalui tindakan pencegahan. Tindakan pencegahan ini dimaksudkan agar masyarakat
memiliki benteng diri yang kuat guna terhindar dari perbuatan yang mencerminkan tindakan
korupsi di dalam kehidupan sehari-hari mereka. Upaya pencegahan tindakan korupsi dilakukan
oleh permerintah berdasarkan nilai-nilai dasar Pancasila agar dalam tindakan pencegahannya
tidak bertentangan dengan nilai-nilai dari Pancasila itu sendiri. Adapun tindakan pencegahan
yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka melakukan upaya pemberantasan korupsi di
wilayah negara Indonesia diantaranya:

a. Penanaman Semangat Nasional

Penanaman semangat nasional yang positif dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam bentuk
penyuluhan atau diksusi umum terhadap nilai-nilai Pancasila sebagai kepribadian bangsa
Indonesia. Kepribadian yang berdasarkan Pancasila merupakan kepribadian yang menjunjung
tinggi semangat nasional dalam penerapan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Dengan
adanya penanaman semangat nasional Pancasila dalam diri masyarakat, kesadaran masyarakat
akan dampak korupsi bagi negara dan masyarakat akan bertambah. Hal ini akan mendorong
masyarakat Indonesia untuk menghindari berbagai macam bentuk perbuatan korupsi dalam
kehidupan sehari-hari demi kelangsungan hidup bangsa dan negaranya.

b. Melakukan Penerimaan Pegawai Secara Jujur dan Rerbuka

Upaya pencegahan sebagai bentuk upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh
pemerintah dapat dilakukan melalui penerimaan aparatur negara secara jujur dan terbuka.
Kejujuran dan keterbukaan dalam penerimaan pegawai yang dilakukan oleh pemerintah
menunjukkan usaha pemerintah yang serius untuk memberantas tindak pidana korupsi yang
berkaitan dengan suap menyuap dalam penerimaan pegawai. Pemerintah yang sudah berupaya
melakukan tindakan pencegahan dalam penerimaan pegawai perlu disambut baik oleh
masyarakat terutama dalam mendukung upaya pemerintah tersebut.

Jika pemerintah telah berupaya sedemikian rupa melakukan tindakan pencegahan korupsi dalam
penemerimaan aparatur negara tapi masyarakat masih memberikan peluang terjadinya korupsi,
usaha pencegahan yang dilakukan oleh pemerintah dapat menjadi sia-sia. Selain itu, jika perilaku
masyarakat yang memberikan peluang terjadinya tindakan korupsi dalam penerimaan pegawai
diteruskan, maka tidak dapat dipungkiri praktik tindakan korupsi akan berlangsung hingga dapat
menimbulkan konflik diantara masyarakat maupun oknum pemerintah.

c. Himbauan Kepada Masyarakat

Himbauan kepada masyarakat juga dilakukan oleh pemerintah dalam upaya melakukan
pencegahan sebagai bentuk upaya pemberantasan korupsi di kalangan masyarakat. Himbauan
biasanya dilakukan oleh pemerintah melalui kegiatan-kegiatan penyuluhan di lingkup
masyarakat kecil dan menekankan bahaya laten adanya korupsi di negara Indonesia. Selain itu,
himbauan yang dilakukan oleh pemerintah kepada masyarakat menekankan pada apa saja yang
dapat memicu terjadinya korupsi di kalangan masyarakat hingga pada elite pemerintahan.

d. Pengusahaan Kesejahteraan Masyarakat

Upaya pemerintah dalam memberantas korupsi juga dilakukan melalui upaya pencegahan berupa
pengusahaan kesejahteraan masyarakat yang dilakukan pemerintah. Pemerintah berupa
mensejahterakan masyarakat melalui pemberian fasilitas umum dan penetapan kebijakan yang
mengatur tentang kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan rakyat yang diupayakan oleh pemerintah
tidak hanya kesejahteraan secara fisik saja melain juga secara lahir batin. Harapannya, melalui
pengupayaan kesejahteraan masyarakat yang dapat meningkatkan kesejahteraan hidup dapat
memberikan penguatan kepada masyarakat untuk meminimalisir terjadinya perbuatan korupsi di
lingkungan masyarakat sehingga dapat mewujudkan masyakarat yang madani yang bersih dari
tindakan korupsi dalam kehidupan sehari-hari.

e. Pencatatan Ulang Aset

Pencatan ulang aset dilakukan oleh pemerintah dalam rangka memantau sirkulasi aset yang
dimiliki oleh masyarakat. Pada tahun 2017 ini, pemerintah menetapkan suatu kebijakan kepada
masyarakatnya untuk melaporkan aset yang dimilikinya sebagai bentuk upaya pencegahan
tindakan korupsi yang dapat terjadi di masyarakat. Pencatatan aset yang dimiliki oleh masyarakat
tidak hanya berupa aset tunai yang disimpan di bank, tetapi juga terhadap aset kepemilikan lain
berupa barang atau tanah. Selain itu, pemerintah juga melakukan penelurusan asal aset yang
dimiliki oleh masyarakat untuk mengetahui apakah aset yang dimiliki oleh masyarakat tersebut
mengindikasikan tindak pidana korupsi atau tidak.

2. Upaya Penindakan

Upaya penindakan dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap pelaku tindak pidana korupsi.
Dalam pelaksanaan upaya penindakan korupsi, pemerintah dibantu oleh sebuah lembaga
independen pemberantasan korupsi yaitu KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) Penindakan
yang dilakukan oleh KPK semenjak KPK berdiri pada tahun 2002 telah membuahkan hasil yang
dapat disebut sebagai hasil yang memaksimalkan. Upaya penindakan yang dilakukan oleh KPK
terhadap tindak pidana korupsi merupakan upaya yang tidak main-main dan tidak pandang bulu.

3. Upaya Edukasi

Upaya edukasi yang dilakukan pemerintah dalam usahanya untuk memberantas korupsi adalah
upaya yang dilakukan melalui proses pendidikan. Proses pendidikan di Indonesia dilakukan
dalam tiga jenis yaitu pendidikan formal, informal, dan non formal. Melalui proses edukasi,
masyarakat diberikan pendidikan anti korupsi sejak dini agar masyarakat sadar betul akan bahaya
korupsi bagi negara-negara khususnya negara Indonesia.

Selain itu, melalui edukasi yang diberikan oleh pemerintah, peranan mahasiswa dalam
pemberantasan korupsi juga dapat dimaksimalkan sehingga para mahasiswa ini dapat
memberikan contoh yang baik bagi adik-adiknya maupun bagi masyarakat umum terhadap cara
pemberantasan korupsi dari dalam diri masing-masing. Upaya edukasi yang dilakukan oleh
pemerintah juga termasuk sebagai upaya membangun karakter bangsa di era globalisasi untuk
memberantas pertumbuhan budaya korupsi yang dapat merugikan kehidupan bermasyarakat dan
bernegara.

Itulah beberapa upaya pemerintah dalam melakukan upaya pencengahan pemberantasan korupsi.
Sebagai masyarakat yang mencintai Indonesia, sudah sepantasnya kita menanamkan budaya anti
korupsi sedini mungkin di dalam kehidupan sehari-hari kita agar kita terhindar dari bentuk-
bentuk tindakan korupsi yang semakin hari semakin merajelela. Kiranya artikel ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca sekalian.

STRATEGI PEMBERANTASAN KORUPSI


Strategi untuk mengontrol korupsi harus berfokus pada 2 unsur yakni peluang dan
keinginan. Peluang dapat dikurangi dengan cara mengadakan berubahan secara sistematis,
sedangkan keinginan dapat dikurangi dengan cara membalikkan situasi kalkulasi resiko “untung
rugi, resiko rendah” dengan cara menegakkan hukum, memberikan hukuman dengan efek jera
secara efektif, dan menegakkan mekanisme akuntabilitas.
Memberantas korupsi bukanlah tujuan akhir, melainkan perjuangan melawan perilaku jahat
dalam pemerintah yang merupakan bagian dari tujuan yang lebih luas, yakni menciptakan
pemerintahan yang efektif, adil, dan efisien melalui berbagai strategi sebagai berikut.
1. Reformasi Birokrasi
Wewenang pejabat publik untuk mengambil keputusan dan kecenderungan
menyalahgunakannya dapat diperkecil dengan cara memodivikasi struktur organisasi dan
pengelolaan program-program publik. Perubahan ini akan memperkecil insentif untuk memberi
suap dan dapat memperkecil jumlah transaksi dan memperbesar peluang bagi masyarakat unuk
mendapat pelayanan publik yang baik.
2. Budaya
Senjata yang paling ampuh dalam pertempuran melawan korupsi adalah menumbuhkan
kultur demokratis dan egaliter. Ciri kultur demokrasi adalah keterbukaan dan pengabdian kepada
keterbukaan. Pengawal keterbukaan yang paling efektif adalah warga negara yang terhimpun
dalam organisasi-organisasi yang dibentuk untuk tujuan yang diharapkan. Dalam konteks ini pers
yang bebas sangat dibutuhkan. Tanpa kebebasan untuk mengajukan pertanyaan atau untuk
mengadakan perubahan, rakyat tetap tidak berdaya karena terperangkat dalam system demkrasi
yang dangkal.
3. Kelembagaan
Secara kelembagaaan ada fungsi-fungsi kunci yang harus dilakukan oleh tulang
punggung pemberantasan korupsi, baik pada tingkat prefentif, detektif, maupun represif.
Harmonisasi kinerja antara lembaga kejaksaan agung, POLRI, badan pemeriksaan keuangan
(BPK), dan KPK memegang peran penting dalam mensukseskan pemberantasan. Hanya
disayangkan, saat ini tumpang tindih wewenang dan persaingan tidak sehat membayangi kinerja
beberapa lembaga tersebut. Perseteruan antara KPK dan POLRI, atau POLRI dan kejaksaan
agung merupakan salah satu contoh ketidak harmonisan tersebut.
4. Integrasi Sistem Pemberantasan Korupsi
Tujuan pokok pembangunan sistem integritas nasional adalah membuat tindak pidana
korupsi menjadi tindakan yang mempunyai “risiko tinggi” dan memberi “hasil sedikit”. Sistem
itu dirancang untuk memastikan jangan sampai korupsi dapat terjadi, bukan mengandalkan
sanksi hukum setelah korupsi terjadi. Integrasi sistem pemberantasan korupsi mencakup pilar-
pilar; eksekutif, parlemen, peradilan, pelayanan publik, lembaga pengawas (BPK, KPK),
masyarakat sipil dan media massa. Integrasi sistem pemberantasan korupsi membutuhkan
identifikasi sistematis mengenai kelemahan dan peluang untuk memperkuat dan memperkokoh
setiap pilar sehingga bersamasama menjadi kerangka yang kokoh. Untuk mewujudkan
pelaksanaan proses kerja penanganan tindak pidana korupsi yang lancar, perlu dibuat: Pertama,
sistem dan prosedur kerja antar instansi yang terkait dengan Core Unit. Kedua, standar pelaporan
yang akan di pakai sebagai dokumen antar instansi. Ketiga, penjadwalan pertemuan regular
untuk pembahasan masalah-masalah yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, agar dapat
diwujudkan persamaan persepsi atas suatu masalah.
5. Sumber Daya Manusia
Upaya untuk memberantas kemiskinan etika dan meningkatkan kesadaran adalah mutlak
diperlukan, karenanya sumber daya manusia yang unggul harus terus di bangun terutama melalui
pendidikan. Sumber daya masyarakat yang seperti itu merupakan landasan yang sangat penting
bagi sistem integritas nasional dalam pemberantasan korupsi. Masyarakat yang kurang terdidik
dan apatis tidak tahu hak-haknya dan bersikap menyerah pada penyalahgunaan wewenang oleh
pejabat, sementara pejabat pemerintahan yang tidak berprinsip hanya akan mengikuti arus
dominan yang ada di lingkungan kerjanya tanpa bisa berpikir kritis dalam memahami dan
melaksanakan hak-hak dan kewajibannya.
6. Infrastruktur
Infrastruktur yang di maksud disini adalah lembaga trias politika yang meliputi eksekutif,
legislatif, dan yudikatif. Berjalannya fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif pada koridor hak
dan kewajibannya masing-masing akan memberikan kontribusi yang diharapkan dalam
pemberantasan korupsi. Sebaliknya jika tidak, maka berarti infrastruktur politik nasional ini
perlu dibenahi sehingga lembaga tersebut berfungsi sebagaimana mestinya dan pada akhirnya
mendukung upaya pemberantasan korupsi nasional.1[2]

Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi, saat ini
sudah lebih baik dibandingkan sebelumnya dengan dikeluarkannya UU No. 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari KKN, UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta terakhir dengan diratifikasinya United Nations Convention
Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) dengan UU No. 7
Tahun 2006. Menurut UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, yang termasuk dalam Tindak Pidana Korupsi adalah sebagai berikut : |accounting-
media.blogspot.com|

1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 2 UU
No. 31 tahun 1999).

2. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 3 UU No. 31 tahun
1999).

3. Setiap orang atau pegawai negeri sipil/penyelenggara negara yang memberi atau menjanjikan sesuatu
kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau
penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan
dengan kewajibannya; atau memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena
atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan
dalam jabatannya (Pasal 5 UU No. 20 Tahun 2001).

4. Setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau. memberi atau
menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi
nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada
pengadilan untuk diadili. (Pasal 6 UU No. 20 Tahun 2001).

5. Pasal 7 UU No. 20 Tahun 2001:

a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang
pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan
keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang;

b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja
membiarkan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau
keselamatan Negara dalam keadaan perang

c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau
Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan
keselamatan negara dalam keadaan perang; atau

d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan
atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang yang dapat
membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang.

e. Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang
keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan
perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara
dalam keadaan perang atau yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang.

6. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum
secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat
berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil
atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut (Pasal 8 UU No.
20 tahun 2001).

7. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum
secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-
daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi (Pasal 9 UU No. 20 tahun 2001).

8. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum
secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja (Pasal 10 UU No. 20 Tahun 2001):

a. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat,
atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang
dikuasai karena jabatannya; atau

b. membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat
dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut; atau

c. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai
barang, akta, surat, atau daftar tersebut.

9. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau
patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang
berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji
tersebut ada hubungan dengan jabatannya (Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001).

10. Pasal 12 UU No. 20 Tahun 2001 :

a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau
patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;

b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga
bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;

c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji
tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;
d. seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk
menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa
hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan

diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;

e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau
orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang
memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk
mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;

f. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima,
atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada
kas umum, seolaholah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut
mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;

g. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau
menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolaholah merupakan utang kepada dirinya, padahal
diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;

h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan
tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan
perundangundangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan
tersebut bertentangan dengan peraturan perundangundangan; atau

i. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut
serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk
seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.

11. Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap,
apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. (Pasal
12B UU No. 20 Tahun 2001).

12. Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan
atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji
dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan (Pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999).
13. Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa
pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku
ketentuan yang diatur dalam Undangundang ini (Pasal 14 UU No. 31 Tahun 1999).

PEMBAHARUAN UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA


KORUPSI BERDASARKAN NILAI-NILAI PANCASILA DISELARASKAN DENGAN
UNITED NATION CONVENTION AGAINST CORRUPTION TAHUN 2003

OLEH : PRIYAMBUDI, SH., MH.*

I. PENDAHULUAN

Korupsi sudah dianggap sebagai kejahatan yang sangat luar biasa atau ”extra ordinary crime”,
sehingga kejahatan ini sering dianggap sebagai ”beyond the law” karena melibatkan para pelaku
kejahatan ekonomi kelas atas (high level economic) dan birokrasi kalangan atas (high level
beurocratic), baik birokrat ekonomi maupun pemerintahan. Bayangkan saja, kejahatan korupsi
yang melibatkan kekuasaan ini sangat sulit pembuktiannya, selain itu kehendak adanya
pemberantasan perbuatan ini nyata-nyata terbentur dengan kepentingan kekuasaan yang sangat
mungkin melibatkan para birokrasi tersebut, akibatnya sudah dapat diperkirakan bahwa korupsi
ini seolah-olah menjadi ”beyond the law” dan sebagai bentuk perbuatan yang ”untouchable by
the law” [1].

Bangsa Indonesia kini tengah memasuki era millennium dan globalisasi dengan segala tantangan
dan kompleksitasnya yang harus dijawab dengan cara menselaraskan jati diri sebagai bangsa
dengan perubahan dan perkembangan dunia. Berbagai perubahan yang terjadi dalam
perkembangan dunia global juga berpengaruh pada ketatanegaraan Republik Indonesia, sistem
hukum dan arah politik hukum Indonesia. Dalam pergaulan global, pemerintah Indonesia
menyambut baik kerjasama internasional dalam upaya pemberantasan korupsi dalam kerangka
Konvensi PBB Menentang Korupsi Tahun 2003 (UN Convention Against Corruption), dengan
konsekuensi pembentukan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi yang baru harus
mengacu pada prinsip-prinsip yang terdapat dalam UNCAC. Namun demikian, pembenahan
terhadap sistem hukum yang ditujukan bagi upaya perbaikan haruslah tetap berlandaskan kepada
nilai-nilai Pancasila yang hidup dalam masyarakat Indonesia yang selanjutnya mengkristal dan
mewujud menjadi hukum yang tercipta dan berlaku di tengah-tengah masyarakat hukum
Indonesia.

Berbagai perubahan yang terjadi dalam ketatanegaraan Republik Indonesia dan perkembangan
dunia global juga berpengaruh pada sistem hukum dan arah politik hukum Indonesia, perlu upaya
pembenahan yang harus dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Pembenahan terhadap sistem di
berbagai sektor yang ada ditujukan bagi upaya perbaikan dengan tetap berlandaskan kepada
prinsip-prinsip hukum dan ketatanegaraan yang berlaku serta tetap tanggap terhadap kebutuhan
yang diperlukan.

II. PERMASALAHAN

Walaupun sudah berkali-kali dirubah dan diganti, akan tetapi peraturan perundang-undangan yang
mengatur pemberantasan tindak pidana korupsi dianggap belum memadai dan belum maksimal
mendukung pencegahan dan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi. Salah satunya
peraturan perundang-undangan yang ada tersebut belum mengatur mengenai kerja sama
internasional, utamanya dalam hal pengembalian hasil tindak pidana korupsi[2]. Oleh
karena itu dengan memperhatikan bahwa karakteristik korupsi adalah merupakan kejahatan
transnasional (transnational crime), maka upaya pemberantasan korupsi di Indonesia juga harus
memperhatikan ketentuan-ketentuan internasional.

Pemerintah Indonesia yang pada tanggal 18 Desember 2003 telah ikut menandatangani UNCAC,
dan kemudian meratifikasinya dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan
United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
Anti Korupsi, 2003). Ratifikasi adalah merupakan pernyataan suatu negara untuk tunduk dan
terikat kepada ketentuan yang sudah disepakati oleh masyarakat internasional baik dengan
reservasi maupun tidak dengan reservasi. Oleh karena itu dengan disahkannya Undang-Undang
No. 7 tahun 2006 tersebut, maka Indonesia terikat dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat
dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi.

Adanya ratifikasi tersebut yang mengatur hal-hal baru dalam rangka pencegahan dan
pemberantasan korupsi membawa konsekuensi berupa upaya harmonisasi dan revisi peraturan
perundang-undangan Indonesia sesuai dengan isi Konvensi PBB Anti-Korupsi tersebut.
Penyempurnaan dan pembaharuan peraturan perundang-undangan yang progresif diharapkan
dapat membantu percepatan pemberantasan korupsi yang sudah merupakan extraordinary crime,
sehingga diperlukan kajian hukum, sosial, politik dan budaya tersendiri untuk menjawab tantangan
upaya pemberantasan korupsi secara global dan nasional.

Dari uraian-uraian diatas dapat dikemukakan permasalahan berikut :

1) Apakah yang seharusnya menjadi pedoman dalam pembaharuan UU No. 31 tahun 1999 jo.
UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?

2) Bagaimanakah langkah yang seharusnya diutamakan dalam pembaharuan UU No. 31 tahun


1999 jo. UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?

III. PEMBAHASAN

Pembentukan hukum dalam arti undang-undang, merupakan aktivitas penting dalam negara
hukum. undang-undang menjadi dasar legalitas bagi seluruh elemen negara, khususnya bagi
penyelenggara negara, dalam menyelenggarakan dan mengelola negara [3]. Untuk itu, idealnya
undang-undang merupakanformalisasi atau kristalisasi norma dan kaidah yang dikehendaki atau
sesuaidengan aspirasi masyarakat. Lebih lanjut Jimly Asshiddiqie mengungkapkan setiap norma
hukum itu haruslah menghasilkan antara nilai kepastian (certainty, zekerheid), keadilan (equity,
billijkheid), dan kebergunaan (utility)[4].

Gustave Radbruch menyatakan bahwa di dalam hukum terdapat 3 nilai dasar yang saling
bertentangan satu dengan yang lainnya yakni kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan bagi
masyarakat. Apabila dalam pembuatan hukum lebih mengutamakan kepastian hukum yang
tercermin dalam pasal-pasalnya yang bersifat rigid, maka nilai keadilan yang menjadi dambaan
masyarakat dalam berhukum akan tergeser bahkan sulit untuk dilacak jejak keberadaannya.
Bersamaan dengan hilangnya nilai keadilan karena lebih mengutamakan kepastian hukum
sebagaimana tertulis dalam undang-undang maka akan hilang pula rasa kemanfaatan hukum bagi
masyarakat.

Hukum merupakan gambaran/refleksi dari masyarakat dimana hukum itu berlaku. Hukum yang
berlaku di Indonesia akan menjadi efektif apabila hukum itu berasal dari nilai-nilai yang hidup
dalam masyarakat Indonesia yang selanjutnya mengkristal dan mewujud menjadi hukum yang
tercipta dan berlaku di tengah-tengah masyarakat hukum Indonesia. Kongkritnya, Pancasila
hendaknya menjadi pedoman dasar pembentukan dan pembaharuan hukum Indonesia. Politik
hukum tertinggi terdapat dalam UUD Tahun 1945 yang memuat arah kebijakan hukum yang harus
dijalankan sesuai dengan tujuan nasional yang hendak dicapai dan berdasarkan pada Pancasila
yang termaktub dalam pembukaan UUD Tahun 1945.

Bagi bangsa Indonesia, Pancasila mempunyai fungsi dan peranan yang bermacam-macam antara
lain:[5]

a. Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa.

Dengan Pancasila menjadi pandangan hidup, maka bangsa Indonesia akan mengetahui arah mana
tujuan yang ingin dicapainya, akan mampu memandang dan memecahkansegala persoalan yang
dihadapinya secara tepat, sehingga tidak terombang-ambing dalam menghadapi persoalan
tersebut, mengapa? Karena pancasila adalah merupakan kristalisasi dari nilai-nilai yang hidup
dalam masyarakat Indonesia dan berakar pada budaya bangsa, maka akan dijunjung tinggi oleh
warganya.

b. Pancasila Sebagai Dasar Negara Republik Indonesia.

Pancasila dalam kedudukan ini sering disebut sebagai dasar filsafat atau dasar falsafah negara
(philosohische Gronslas) dari negara, ideologi negara (staatsidee).

Konsekuensinya seluruh pelaksanaan dan penyelenggaraan negara terutama segala peraturan


perundang-undangan negara dijabarkan dan diderivikasi dari nilai-nilai Pancasila. Karena itu
Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum.

Kedudukan Pancasila merupakan dasar negara Republik Indonesia tersimpul dalam pembukaan
UUD 1945 alenia ke IV, ketetapan MPRS NO XX/MPRS/1966 jo TAP No. V/MPR/1973 dan
Ketetapan No. IX/MPR/1978.
c. Pancasila Sebagai Ideologi Negara dan Bangsa Indonesia.

Ideologi negara pada hakekatnya merupakan asas kerokhaniahan, merupakan sumber cita-cita,
harapan nilai-nilai serta norma-norma yang dianggap baik, sehingga pancasila pada hakekatnya
sebagai ideologi bertujuan mewujudkan kesejahteraan hidup bagi bangsa Indonesia. Ketentuan
tentang ideologi Pancasila ini dapat ditemukan dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke 4.

d. Pancasila Sebagai ideologi terbuka.

Pancasila sebagai ideologi tidak bersifat kaku dan tertutup namun bersifat terbuka, aktual, dinamis,
antisipatif dan senantiasa mampu menyesuaikan dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan
dan teknologi serta dinamika perkembangan masyarakat, sehingga memiliki kemampuan yang
lebih tajam untuk memecahkan masalah-masalah baru dan aktual yang senantiasa berkembang
seiring dengan tuntutan zaman.

Dalam aplikasinya ideologi Pancasila yang bersifat terbuka, dikenal ada 3 tingkat nilai yaitu nilai
dasar yang tidak berubah yaitu pembukaan UUD 1945 yang merupakan pencerminan dari
Pancasila, kemudian nilai instrumental sebagai sarana mewujudkan nilai dasar yang senantiasa
sesuai dengan keadaan. Nilai praktis yang berupa nilai pelaksanaan secara nyata yang
sesungguhnya dalam kehidupan yaitu UU dan peraturan pelaksanaan lainnya, yang sewaktu-waktu
dapat berubah seiring dengan derap perkembangan yang ada.

Dibidang hukum Pancasila yang selama ini ditempatkan sebagai sumber dari segala sumber hukum
hanyalah mejadi jargon belaka, belum sebangun serta senafas. Hal ini terjadi karena ketiadaan
kerangka implementasi terhadap monsep tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut Mahfudz MD
mengintroduksi empat kaidah untuk penuntun dalam pembuatan politik hukum atau kebijakan
negara lainnya agar Pancasila tidak sekedar menjadi jargon belaka yakni :[6]

Pertama, Kebijakan umum dan politik hukum harus tetap menjaga integrasi atau keutuhan bangsa
baik secara ideologi maupun secara teritori. Setiap hukum atau kebijakan apapun di Indonesia
tidak boleh menyebabkan terancamnya keutuhan kita sebagai bangsa baik ideologis maupun
wilayah teritorinya. Politik hukum dan kebijakan umum haruslah menjadi milik dan diterima
secara bersama tanpa dirusak oleh nilai-nilai sektarian. Haruslah ditangkal dan ditindak tegas
setiap kebijakan atau upaya apapun yang berpotensi merobek keutuhan ideologi dan teritori kita.

Kedua, Kebijakan umum dan politik hukum haruslah didasarkan pada upaya membangun
demokrasi (kedaulatan rakyat) dan nomokrasi (negara hukum) sekaligus. Indonesia adalah negara
demokrasi yang berarti menyerahkan pemerintahan dan penentuan arah kebijakan negara
kepadarakyat melalui kontestasi politik yang sehat, namun Indonesia juga adalah negara hukum
(nomokrasi) sehingga setiap kebijkan negara yang dibuat atas nama rakyat haruslah sesuai dengan
prinsip-prinsip hukum dan dan filosofi hukum yang mendasarinya. Demokrasi biasanya
mendasarkan diri pada pertarungan menang atau kalah, sedangkan nomokrasi mendasarkan diri
pada masalah benar atau salah. Oleh karena itu keputusan-keputusan yang diambil secara
demokratis tetapi isinya salah maka dapat dibatalkan oleh proses nomokratis (misalnya melalui
judicial review) untuk membenarkannya.
Ketiga, Kebijakan umum dan politik hukum haruslah didasarkan pada upaya membangun keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Indonesia bukanlah penganut liberalism, tetapi secara
ideologis menganut prismatika antara individualisme dan kolektivisme dengan titik berat pada
kesejahteraan umum dan sosial. Itulah sebabnya dalam pembangunan sosial dan ekonomi kita
menganut ekonomi kerakyatan, kebersamaan, gotong royong dan toleransi sebagaimana
ditegaskan prinsipnya di dalam Pasal 33 dan 34 UUD 1945.

Keempat, politik hukum haruslah didasarkan pada prinsip toleransi beragama yang berkeadaban.
Indonesia bukan negara agama sehingga tidak boleh melahirkan kebijakan atau politik hukum
yang berdasar atau dominasi oleh satu agama tertentu atas nama apapun; tetapi Indonesia juga
bukan negara sekuler yang hampa agama sehingga setiap kebijakan atau politik hukumnya
haruslah dijiwai ajaran berbagai agama-agama yang bertujuan mulia bagi kemanusiaan.
Kedudukan agama sebagai sumber hukum haruslah diartikan sebagai sumber hukum materiil yakni
bahan untuk dijadikan hukum formal atau peraturan perundang-undangan yang memiliki bentuk
tertentu setelah diolah dengan bahan-bahan hukum yang lain.

Dalam pergaulan global, pemerintah Indonesia menyambut baik kerjasama internasional dalam
upaya pemberantasan korupsi. Kerjasama internasional yang telah dan akan dilakukan antara lain
berupa pertukaran informasi, ekstradisi, bantuan hukum timbal balik, dan pengembalian aset
negara hasil tindak pidana korupsi yang berada di luar negeri. Masyarakat internasional termasuk
Indonesia bersama-sama berkomitmen untuk tidak memberikan perlindungan (deny safe havens)
bagi para koruptor dan aset mereka yang berasal dari tindak pidana korupsi. Pemerintah Indonesia
telah berketetapan untuk memajukan kerjasama internasional dalam kerangka Konvensi PBB
Menentang Korupsi Tahun 2003 (UN Convention Against Corruption) dan Konvensi PBB
Tentang Kejahatan Lintas Batas Negara yang Terorganisir (UN Convention on Transnational
Organised Crime).

Konvensi PBB Menentang Korupsi yang dirundingkan selama kurun waktu 2002 - 2003 telah
diterima oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 31 Oktober 2003 dan Indonesia sebagai salah satu
anggota masyarakat internasional telah menandatangani konvensi ini pada tanggal 18 Desember
2003.Sebagai kelanjutan konvensi ini, PBB telah menetapkan tanggal 9 Desember 2004 sebagai
hari internasional pertama anti korupsi. Sebagai konsekuensi bagi negara yang ikut
menandatangani konvensi tersebut, Indonesia akan ikut mendukung sesuai dengan wilayah
kedaulatan yang dimiliki dengan melakukan langkah-langkah konkrit pemberantasaan korupsi.

Sebagai amunisi bagi pemberantasan tindak pidana korupsi, maka pembentukan undang-undang
pemberantasan tindak pidana korupsi yang baru harus didasarkan pada prinsip-prinsip yang
terdapat dalam UNCAC. Dengan mengadopsi ketentuan-ketentuan dalam UNCAC ke dalam
undang-undang, diharapkan akan dapat menumbuhkan kembali rasa kepastian hukum dan nilai-
nilai keadilan di dalam masyarakat yang selama ini telah tercabik-cabik akibat penegakan hukum
yang tidak efektif terhadap praktik-praktik korupsi. Dengan kata lain undang-undang
pemberantasan tindak pidana korupsi yang baru, akan menjadi tonggak bagi usaha-usaha
meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Dalam praktiknya, penerapan Undang-Undang No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut masih menyisakan beberapa permasalahan antara
lain :

Pertama, masih adanya beberapa perbuatan yang seharusnya dipandang sebagai perbuatan korupsi
belum tercakup di dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Hal ini
menyebabkan sering diterapkannya penafsiran yang ekstensif bahkan cenderung akrobatik. Oleh
karena itu diperlukan rumusan delik yang lebih luas tetapi ketat (strict).

Kedua, Adanya kekeliruan yang mendasar seperti pengaturan delik yang diatur dua kali, contoh
Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 11C UU 31 Tahun 1999 tentang PemberantasanTindak Pidana Korupsi
sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 yang sama-sama mengatur
mengenai pegawai negeri yang menerima suap. Selain itu, juga terdapat pasal yang kontradiktif
mengenai masalah ancaman pidananya, yaitu Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 12 huruf C Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Ketiga, adanya kesalahan rumusan mengenai beban pembuktian terbalik dalam Pasal 12B UU No.
20 Tahun 2001. Dengan adanya kekeliruan tersebut, rumusan yang seharusnya dibuat untuk
pengaturan beban pembuktian terbalik, akan tetapi dalam pelaksanaannya menjadi proses
pembuktian biasa.

Selain itu, apabila dikaitkan dengan ketentuan dalam UNCAC, maka ketentuan-ketentuan dalam
UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sudah tidak sesuai dalam UNCAC. Isu-isu antar
negara yang diakomodir dalam UNCAC, tidak dapat diterapkan di Indonesia, apabila Indonesia
masih menggunakan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi yang lama. Oleh
karena itu, dengan telah diratifikasinya UNCAC oleh Indonesia dengan Undang-Undang RI
Nomor 7 Tahun 2006 tentang tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption
2003, maka pemerintah Indonesia berkewajiban untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian
produk hukum nasionalnya dengan UNCAC.

Adapun arti penting ratifikasi UNCAC bagi Indonesia adalah:

a. untuk meningkatkan kerja sama internasional khususnya dalam melacak, membekukan,


menyita, dan mengembalikan aset-aset hasil tindak pidana korupsi yang ditempatkan di luar
negeri;

b. meningkatkan kerja sama internasional dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik

c. meningkatkan kerja sama internasional dalam pelaksanaan perjanjian ekstradisi, bantuan hukum
timbal balik, penyerahan narapidana, pengalihan proses pidana, dan kerja sama penegakan hukum;

d. mendorong terjalinnya kerja sama teknik dan pertukaran informasi dalam pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi di bawah payung kerja sama pembangunan ekonomi dan
bantuan teknis pada lingkup bilateral, regional, dan multilateral; dan
e. harmonisasi peraturan perundang-undangan nasional dalam pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana korupsi sesuai dengan konvensi ini.

Pada dasarnya ketentuan yang terdapat dalam UNCAC bersifat memberi kewajiban bagi negara-
negara yang meratifikasi UNCAC untuk mengatur dalam produk hukumnya mengenai hal-hal
yang telah ditentukan dalam UNCAC. Rumusan bunyi dalam pasal diserahkan kepada masing
masing negara, dengan catatan bahwa susbtansi yang ditentukan dalam UNCAC telah tercakup di
dalamnya. Rambu-rambu yang harus dipegang oleh perancang undang-undang pemberantasan
tindak pidana korupsi yang baru adalah berpegangan bahwa hokum (aturan) yang akan dibuat dan
akan diterapkan harus memenuhi 3 (tiga) syarat, yaitu menganut asas lex certa (jelas, pasti dan
tidak meragukan), menganut keseimbangan antara hak dan kewajiban sesuai dengan HAM, serta
memegang teguh prinsip transparansi, akuntabilitas dan menjaga adanya partisipasi masyarakat
dalam pelaksanaannya di lapangan.

IV. PENUTUP

Terkait dengan telah diratifikasinya ketentuan UNCAC, maka salah satu kewajiban bagi
pemerintah Indonesia adalah melakukan penyesuaian peraturan perundang-undangan
(harmonisasi) di bidang pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia agar sesuai dengan
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UNCAC. Dengan kata lain pemerintah harus merubah
atau mengganti Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana yang telah dirubah dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang
Perubahan Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kemudian dengan belum sinkronnya produk hukum Indonesia mengenai pemberantasan tindak
pidana korupsi dengan UNCAC, maka kebijakan untuk membentuk undang-undang
pemberantasan tindak pidana korupsi yang baru adalah merupakan kebijakan yang tepat.
Pembentukan undang-undang yang baru dianggap lebih efektif dan efisien daripada hanya
melakukan perubahan terhadap undang-undang yang lama. Norma-norma dalam UNCAC lebih
mudah diadopsi dalam satu undang-undang, dengan kata lain alur (sistimatika) pengaturan akan
dapat menjadi lebih terurut dan sinkron. Hal ini akan memberikan dampak yang lebih bagus bagi
aparat penegak hukum dalam memahami dan melaksanakan ketentuan-ketentuan yang ada.

Pengutamaan nilai terutama nilai keadilan dalam berhukum tidaklah bertentangan dengan tujuan
hukum secara universal sebagaimana yang dikemukakan oleh Paul Scholten[7] bahwa keadilan
inilah yang pada hakekatnya harus diciptakan dalam bermasyarakat. Selain tidak bertentangan
dengan tujuan universal pengutamaan keadilan dalam berhukum juga tidak bertentangan dengan
pedoman hidup bangsa Indonesia yakni Pancasila karena keadilan adalah salah satu sila yang ada
dalam Pancasila.

Keadilan tidaklah bisa dicabut dari akar dimana hukum tersebut lahir dan tidak bisa dijauhkan dari
nilai/hukum agama dan hukum tradisional yang hidup dalam masyarakat, bahkan merupakan
“tuntutan jaman” khusunya bagi bangsa Indonesia untuk mengakomodasi nilai-nilai tersebut
kedalam hukum nasional yang dicita-citakan.
Guna mencegah hukum yang tidak adil dan kering terhadap rasa kemanusiaan seperti yang saat ini
banyak dirasakan orang, maka perlu untuk mewujudkan nilai keadilan yang bersifat abstrak
tersebut kedalam hukum dan sistem hukum nasional dimasa yang akan datang (ius constituendum),
dengan berpedoman pada unsur-unsur sebagaimana disebutkan oleh Bagir Manan yang
mengemukakan bahwa sistem hukum nasional terdiri dari Hukum Islam (yang diambil asas-
asasnya), Hukum Adat (yang diambil asas-asasnya) dan Hukum Barat (yang diambil
sistimatikanya).

Unsur Unsur Korupsi

Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar memenuhi unsur-unsur
sebagai berikut,

 perbuatan melawan hukum,


 penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana,
 memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan
 merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Jenis Jenis Korupsi

Jenis tindak pidana korupsi di antaranya adalah,

 memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan),


 penggelapan dalam jabatan,
 pemerasan dalam jabatan,
 ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara), dan
 menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).

Demikianlah pembahasan mengenai pengertian korupsi secara umum, menurut para ahli dan
undang undang. Semoga penjelasan ini bermanfaat dan bisa menjadi referensi bagi kita dalam
memahami apa itu korupsi.
UPAYA MENANAMKAN NILAI-NILAI KARAKTER ANTIKORUPSI PADA ANAK

Nilai integritas ini sebaiknya ditanamkan sedini mungkin agar anak menjadikannya sebagai
kebiasaan dan pandangan hidup. Selain baik untuk membangun karakter anak, tentu menjadi
upaya kita juga untuk mencegah dan akhirnya mengurangi tindak korupsi di sekitar kita dan di
masa yang akan datang.
Hukumpedia
Anak-anak. Foto: SGP [Ilustrasi)
Belakangan ini kita sering mendengar di media terkait terjeratnya para pejabat publik yang
tersandung kasus korupsi. Kita semua setuju bahwa korupsi adalah perilaku yang tercela, namun
nyatanya kejahatan tersebut masih saja terjadi. Tindakan memperkaya diri sendiri ini pada
umumnya dilakukan oleh orang dewasa dan sering dikaitkan dengan penyalahgunaan kekuasaan
para pemimpin dan pejabat tinggi.

Kabar baiknya, masyarakat kita juga tidak menutup mata terhadap fenomena ini. Berbagai
lembaga mulai dari yang legal hingga komunitas independen bekerja dalam rangka membangun
karakter dan budaya anti korupsi.

Semasa saya duduk di bangku kuliah, Nilai-nilai Pendidikan Anti Korupsi sudah dimasukkan ke
dalam mata kuliah perilaku berkarya, hal tersebut dilakukan supaya mahasiswa memahami
tindakan antikorupsi dan cara penanganan ketika adanya perbuatan korupsi di sebuah instansi.
Tidak hanya di Perguruan Tinggi saja, Pendidikan Anti Korupsi juga harus ditanamkan sejak
usia dini, hal tersebut sejalan dengan program Kemdikbud yang memutuskan untuk ikut berperan
dalam mencegah korupsi melalui jalur pendidikan. Cara yang dipilih oleh Kemdikbud adalah
dengan memasukkan nilai-nilai pendidikan antikorupsi ke dalam mata pelajaran di sekolah-
sekolah. Hal tersebut dilakukan dengan harapan akan menjadi senjata paling ampuh untuk
mencegah terjadinya praktik korupsi di masa yang akan datang.

Ditanamkannya pendidikan antikorupsi sejak dini kepada siswa di sekolah juga bertujuan agar
peserta didik memiliki jiwa antikorupsi. Jiwa antikorupsi inilah yang akan menjadi benteng bagi
mereka untuk tidak melakukan perbuatan korupsi jika mereka sudah dewasa kelak. Oleh sebab
itulah program yang dicanangkan oleh Kemdikbud bekerjasama dengan KPK ini patut untuk
segara direalisasikan.

Pada dasarnya rencana penerapan pendidikan antikorupsi di sekolah sejalan dengan tujuan
pendidikan nasional yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap
dan kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Inti
dari pendidikan antikorupsi sebagaimana tujuan dari pendidikan nasional adalah menanamkan
karakter kepada generasi muda agar mau berlaku jujur dalam hidupnya.

Ada 9 nilai integritas yang berusaha ditanamkan pada generasi muda bangsa agar mampu
mengontrol dirinya untuk tidak melakukan korupsi. Nah, di sinilah peran kita sebagai orang tua,
keluarga, pengasuh, pendidik, dan para pemerhati anak, untuk menanamkan nilai-nilai tersebut
sejak anak kecil. Mari kita lihat cara-cara sederhana yang dapat kita lakukan di rumah dan
sekolah.
KEJUJURAN
Ajari anak untuk tidak mengambil kepunyaan orang lain, biasakan meminta izin sebelum
meminjam. Tidak mencontek, tumbuhkan kebanggaan saat ia berhasil dengan upaya sendiri.
Dapat pula kita tekankan untuk berkata jujur dengan membiasakan anak bercerita secara terbuka,
ajari mengakui kesalahannya, dan selalu tepati janji pada anak. Dan berilah apresiasi dan rasa
bangga kepada anak ketika nilai ujian tersebut diperoleh dengan cara tidak mencontek, hal
tersebut dilakukan agar seorang anak termotivasi ketika melakukan suatu hal yang diperoleh
dengan cara tindakan jujur.

KESEDERHANAAN
Ajarkan anak merasa cukup dengan apa yang dimiliki, setiap anak ingin membeli sesuatu
ingatkan bahwa ia sudah punya di rumah. Biasakan membeli yang baru jika membutuhkan bukan
menginginkan. Tekankan bahwa yang penting bukan baru atau bagusnya tapi fungsi dan
manfaatnya.

KEGIGIHAN
Kalau menghadapi masalah jangan langsung dibantu, beri kepercayaan dan dukungan bahwa ia
mampu menghadapi masalahnya sendiri. Misalnya belajar mengikat tali sepatu, naik sepeda,
dll. Biasakan pula anak tidak selalu memilih jalan pintas, misalnya kalau ingin nilai bagus harus
belajar bukan mencontek.

KEBERANIAN
Keberanian dan kepercayaan diri dapat dibangun dengan membiarkan anak berekplorasi dan
belajar dari kesalahannya. Tanamkan nilai-nilai moral sejak kecil dan ajak anak melakukan apa
yang diyakininya sebagai sesuatu yang benar. Misalnya membela teman yang diejek, berani
menegur teman yang membuang sampah sembarangan. Selain itu bisa juga dengan mengajak
anak dengan mengikuti arena permainan yang mengasah keberanian anak sejak usia dini.

RASA TANGGUNG JAWAB


Ajari anak tentang konsekuensi, misalnya jika menumpahkan air maka harus dilap, jika merusak
mainan temannya maka mencoba memperbaiki, berani mengakui kesalahan. Dukung anak
menyelesaikan tugasnya. Misalnya membereskan tempat tidur, mengerjakan PR, memberi makan
hewan peliharaan, dan sebagainya.

KEDISIPLINAN
Tumbuhkan disiplin dengan contoh, bukan paksaan, karena kita ingin datang dari dirinya sendiri.
Kebiasaan tepat waktu, membuang sampah pada tempatnya, mengikuti peraturan di rumah atau
di sekolah adalah beberapa bentuk disiplin yang bisa ditanamkan sejak kecil. Kuncinya adalah
contoh dan konsistensi.

KEADILAN
Ajarkan konsep adil sesuai usianya, dan ajari anak berbagi.Tanamkan pula nilai bahwa setiap
orang punya hak dan kewajiban yang sama dan harus diperlakukan dengan setara. Kita bisa
menjadi contoh saat berinteraksi dengan bibi dan tukang kebun di rumah, dengan keluarga,
maupun dengan rekan kerja, semua diperlakukan dengan sama.
KEPEDULIAN
Tumbuhkan empati sejak kecil, ajari anak tentang emosi, dan tunjukkan bagaimana caranya
menunjukkan kepedulian dengan cara sederhana, misalnya menghibur teman yang sedih, berbagi
makanan kepada teman yang tidak membawa bekal, menolong kucing yang sakit.

KERJASAMA
Berikan contoh saat di rumah atau di sekolah, bisa bekerjasama saat bermain atau menyelesaikan
project, saat merapikan mainan, dan sebagainya. Perlihatkan pada anak bahwa dengan kerjasama
pekerjaan kita lebih cepat selesai dan hasilnya lebih bagus.

Akhir kata, kesembilan nilai integritas ini sebaiknya ditanamkan sedini mungkin agar anak
menjadikannya sebagai kebiasaan dan pandangan hidup. Selain baik untuk membangun karakter
anak, tentu menjadi upaya kita juga untuk mencegah dan akhirnya mengurangi tindak korupsi di
sekitar kita dan di masa yang akan datang.

Hari Anti Korupsi Internasional di peringati pada tanggal 9 Desember

Lembaga KPK di bentuk pada masa pemerintahan Megawati Soekarno Putri


MATERI ANTI KORUPSI

SMP NEGERI 1 SOPPENG RIAJA


2018

Anda mungkin juga menyukai