Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Perubahan – perubahan akan terjadi pada tubuh manusia sejalan


dengan makin meningkatnya usia. Perubahan tubuh terjadi sejak awal
kehidupan hingga usia lanjut pada semua organ dan jaringan tubuh. Keadaan
demikian itu tampak pula pada semua sistem muskuloskeletal dan jaringan
lain yang ada kaitannya dengan kemungkinan timbulnya beberapa golongan
reumatik. Salah satu golongan penyakit reumatik yang sering menyertai usia
lanjut yang menimbulkan gangguan muskuloskeletal terutama adalah
reumatoid artritis. Kejadian penyakit tersebut akan makin meningkat sejalan
dengan meningkatnya usia manusia.

Menguntip pendapat Sjamsuhidajat (1997) dalam Sahril (2015),


artritis reumatoid merupakan penyakit autoimun dari jaringan ikat terutama
sinovial dan kausanya multifaktor. Penyakit ini ditemukan pada semua sendi
dan sarung sendi tendon, tetapi paling sering di tangan. Selain menyerang
sendi tangan, dapat pula menyerang sendi siku, kaki, pergelangan kaki dan
lutut. Artritis kronik yang terjadi pada anak yang menyerang satu sendi atau
lebih, dikenal dengan artitis reumatoid juvenil. Biasanya reumatoid artritis
timbul secara sistemik. Gejala yang timbul berupa nodul subkutan yang
terlihat pada 30% penderita. Nodul sering terdapat di ekstremitas atas dan
tampak sebagai vaskulitis reumatoid, yang merupakan manisfestasi
ekstraartikuler. Bila penyakit ini terjadi bukan pada sendi, seperti bursa,
sarung tendon, dan lokasi lainnya dinamakan reumatoid ektraarikuler.

Reumatik bukan merupakan suatu penyakit, tapi merupakan suatu


sindrom dan golongan penyakit yang menampilkan perwujudan sindroma
reumatik cukup banyak, namun semuanya menunjukkan adanya persamaan
ciri. Menurut kesepakatan para ahli di bidang rematologi, reumatik dapat
terungkap sebagai keluhan atau tanda.
Dari kesepakatan, dinyatakan ada tiga keluhan utama pada sistem
muskuloskeletal yaitu: nyeri, kekakuan (rasa kaku) dan kelemahan, serta
adanya tiga tanda utama yaitu: pembengkakan sendi., kelemahan otot, dan
gangguan gerak. (Soenarto, 1982) dalam Sahril (2015). Reumatik dapat
terjadi pada semua umur dari kanak – kanak sampai usia lanjut, atau sebagai
kelanjutan sebelum usia lanjut. Pucak dari reumatoid artritis terjadi pada
umur dekade keempat, dan penyakit ini terdapat pada wanita 3 kali lebih
sering dari pada laki- laki. Terdapat insiden familial ( HLA DR-4 ditemukan
pada 70% pasien )
BAB II

PEMBAHASAN

A. DEFINISI

Kata arthritis berasal dari dua kata Yunani. Pertama, arthron, yang
berarti sendi. Kedua, itis yang berarti peradangan. Secara harfiah, arthritis
berarti radang sendi. Sedangkan rheumatoid arthritis adalah suatu penyakit
autoimun dimana persendian (biasanya sendi tangan dan kaki) mengalami
peradangan, sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan seringkali akhirnya
menyebabkan kerusakan bagian dalam sendi (Gordon, 2002) dalam Sahril
(2015).

Artritis reumatoid adalah penyakit inflamasi non-bakterial yang bersifat


sistemik, progesif, cenderung kronik dan mengenai sendi serta jaringan ikat
sendi secara simetris. Artritis reumatoid adalah gangguan kronik yang
menyerang berbagai sistem organ. Penyakit ini adalah salah satu dan
sekelompok penyakit jaringan penyambung difus yang diperantai oleh
imunitas dan tidak diketahui sebab-sebabnya. Biasanya terjadi destrukti sendi
progesif, walaupun episode peradangan sendi dapat mengalami masa remisi.
Artritis reumatoid merupakan inflamasi kronik yang paling sering ditemukan
pada sendi. Insiden puncak adalah antara usia 40 hingga 60 tahun, lebih
sering pada wanita daripada pria dengan perbandingan 3 : 1. Penyakit ini
menyerang sendi-sendi kecil pada tangan, pergelangan kaki dan sendi-sendi
besar dilutut, panggul serta pergelangan tangan. (Muttaqin, 2006) dalam
Sahril (2015)

Arthritis rheumatoid adalah penyakit sistemik dengan gejala ekstra–


artikuler. (Smeltzer, 2001) dalam Sahril (2015). Reumatoid Artritis (RA)
adalah suatu penyakit inflamasi kronis yang menyebabkan degenerasi
jaringan penyambung. Jaringan penyambung yang biasanya mengalami
kerusakan pertama kali adalah membran sinovial, yang melapisi sendi. Pada
RA, inflamasi tidak berkurang dan menyebar ke struktur sendi disekitarnya,
termasuk kartilago artikular dan kapsul sendi fibrosa. Akhirnya, ligamen dan
tendon mengalami. Inflamasi ditandai oleh akumulasi sel darah putih, aktivasi
komplemen, fagositosis ekstensif, dan pembentukan jaringan parut. Pada
inflamasi kronis, membran sinovial mengalami hipertropi dan menebal
sehingga menyumbat aliran darah dan lebih lanjut menstimulasi nekrosis sel
dan respon inflamasi. Sinovium yang menebal menjadi ditutup oleh jaringan
granular inflamasi yang disebut panus. Panus dapat menyebar ke seluruh
sendi sehingga menyebabkan inflamasi dan pembentukan jaringan parut lebih
lanjut. Proses ini secara lambat merusak tulang dan menimbulkan nyeri hebat
serta deformitas. (Corwin, 2009) dalam Sahril (2015)

B. KLASIFIKASI

Klasifikasi Rheumatoid Arthritis : Buffer (2010) dalam Sahril (2015)


mengklasifikasikan rheumatoid arthritis menjadi 4 tipe, yaitu:

1. Rheumatoid arthritis klasik pada tipe ini harus terdapat 7 kriteria tanda
dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit
dalam waktu 6 minggu.
2. Rheumatoid arthritis defisit pada tipe ini harus terdapat 5 kriteria tanda
dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit
dalam waktu 6 minggu.
3. Probable rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 3 kriteria tanda
dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit
dalam waktu 6 minggu.
4. Possible rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 2 kriteria tanda
dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit
dalam waktu 3 bulan.
C. ETIOLOGI

Penyebab artritis reumatoid masih belum diketahui secara pasti


walaupun banyak hal mengenai patologis penyakit ini telah terungkap.
penyakit ini belum dapat dipastikan mempunyai hubungan dengan faktor
genetik. Namun, berbagai faktor termasuk kecendrungan genetik bisa
memengaruhi reaksi autoimun. Faktor-faktor yang berperan antara lain adalah
jenis kelamin, infeksi (Price, 1995), keturunan (Price, 1995; Noer S, 1996),
dan lingkungan (Noer S, 1996) dalam Sahril (2015). Agen spesifik penyebab
arthritis rheumatoid belum dapat dipastikan, tetapi jelas ada interaksi factor
genetik dengan faktor lingkungan. (Maini dan Feldmann, 1998: Blab et al,
1999). Namun faktor predisposisinya adalah mekanisme imunitas (antigen –
antibodi), factor metabolik dan infeksi virus (Suratun, Heryati, Manurung &
Raenah, 2008) dalam Sahril (2015).

D. PATOLOGI
a) Kelainan pada sinovia
Kelainan artitis reumatoid dimulai pada sinovia berupa sinovitis. Pada
tahap awal terjadi hiperemi dan pembengkakan pada sel-sel yang
meliputi sinovia disertai dngan infiltrasi limposit dan sel-sel plasma.
Selanjutnya terjadi pembentukan vilus berkembang ke arah ruang sendi
dan terjadi nekrosis dan kerusakan dalam ruang sendi. Pada pemeriksaan
mikroskopik ditemukan daerah nekrosis fibrinoid yang diliputi oleh
jaringan fibroblas membentuk garis radial kearah bagian yang nekrosis.
b) Kelainan pada tendo
Pada tendo terjadi tenosinovitis disertai dengan invasi kolagen yang
dapat menyebabkan ruptur tendo secara parsial atau total.
c) Kelainan pada tulang.
Jika ditinjau dari stadium penyakit, terdapat tiga stadium yaitu :
1) Stadium I (stadium sinovitis)
Pada stadium ini terjadi perubahan dini pada jaringan sinovial yang
ditandai hiperemi, edema karena kongesti, nyeri pada saat bergerak
maupun istirahat, bengkak dan kekakuan.
2) Stadium II (stadium destruksi)
Pada stadium ini selain terjadi kerusakan pada jaringan sinovial
terjadi juga pada jaringan sekitarnya yang ditandai adanya kontraksi
tendon.
3) Stadium III (stadium deformitas)
Pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan berulang
kali, deformitas dan gangguan fungsi secara menetap.
4) Kelainan pada jaringan ekstra artikular.
Perubahan patologis yang dapat terjadi pada jaringan ekstra-artikuler
adalah :
a. Otot
Pada otot terjadi miopati yang pada elektromiograf menunjukkan
adanya degenerasi serabut otot.
b. Pembuluh darah kapiler
Terjadi perubahan pada pembuluh darah sedang dan kecil berupa
artritis nekrotik. Akibatnya terjadi gangguan respon arteriol
terhadap temperatur.
c. Nodul subkutan
Nodul subkutan terdiri atas unit jaringan yang nekrotik di bagian
sentral dan dikelilingi oleh lapisan sel mnonuklear yang tersusun
secara radier dengan jaringan ikat yang padat dan diinfiltrasi oleh
sel-sel bulat. Nodul subkutan hanya ditemukan pada 25% dari
seluruh klien artritis reumatoid. Gambaran ektra-artikuler yang
khas adalah ditemukannya nodul subkutan yang merupakan tanda
patognomonik dan ditemukan pada 25% dari klien artritis
reumatoid.
d. Kelenjar limfe
Terjadi pembesaran kelenjar limfe yang berasal dari aliran limfe
sendi, hiperplasia folikuler, peningkatan aktivitas sistem
retikuloendotelial dan proliferasi jaringan ikat yang
mengakibatkan splenomegali.
e. Saraf
Pada saraf terjadi perubahan pada jaringan periuneral berupa
nekrosis fokal, rekasi epiteloid serta infiltrasi yang menyebabkan
neuropati sehingga terjadi gangguan sensoris.
f. Organ-organ Visea
Kelainan artritis reumatoid juga dapat terjadi pada organ visera
seperti jantung dimana adanya demam reumatik kemungkinan
akan menyebabkan gangguan pada katub jantung. (Muttaqin,
Pengantar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem
Muskuloskletal, 2006) dalam Sahril (2015).

E. MANISFESTASI KLINIS

Gejala awal terjadi pada beberapa sendi sehingga disebut poli artritis
rheumatoid. Persendian yang paling sering terkena adalah sendi tangan,
pergelangan tangan, sendi lutut, sendi siku pergelangan kaki, sendi bahu serta
sendi panggul dan biasanya bersifat bilateral/simetris. Tetapi kadang-kadang
hanya terjadi pada satu sendi disebut artritis reumatoid mono-artikular.
(Chairuddin, 2003) dalam Sahril (2015).

Kriteria dalam American Rheumatism Association (ARA) yang di revisi


1987, adalah:
1. Kaku pada pagi hari (morning stiffness). Pasien merasa kaku pada
persendian dan di sekitarnya sejak bangun tidur sampai sekurang-
kurangnya 1 jam sebelum perbaikan maksimal.
2. Arthritis pada 3 daerah. Terjadi pembengkakan jaringan lunak atau
persendian (soft tissue swelling) atau lebih efusi, bukan pembesaran
tulang (hyperostosis). Terjadi pada sekurang-kurangnya 3 sendisecara
bersamaan dalam observasi seorang dokter. Terdapat 14 persendian yang
memenuhi criteria, yaitu interfalang proksimal, metakarpofalang,
pergelangan tangan, siku, pergelangan kaki, dan metatarsofalang kiri dan
kanan.
3. Arthritis pada persendian tangan. Sekurang-kurangnya terjadi
pembengkakan satu persendian tangan seperti tertera di atas.
4. Arthritis simetris. Maksudnya keterlibatan sendi yang sama;(tidak mutlak
bersifat simetris) pada kedua sisi secara serentak (symmetrical
polyartritis simultaneously).
5. Nodul rheumatoid, yaitu nodul subkutan pada penonjolan tulang atau
permukaan ektensor atau daerah jukstaartikular dalam observasi seorang
dokter.
6. Faktor rheumatoid serum positif. Terdapat titer abnormal faktor
rheumatoid serum yang diperiksa dengan cara yang memberikan hasil
positif kurang dari 5% kelompok control.
7. Terdapat perubahan gambaran radiologis yang khas pada pemeriksaan
sinar rontgen tangan posteroanterior atau pergelangan tangan, yang harus
menunjukkkan adanya erosi atau dekalsifikasi tulang yang berlokalisasi
pada sendi atau daerah yang berdekatan dengan sendi.

Diagnosis artritis reumatoid ditegakkan jika sekurang-kurangnya


terpenuhi 4 dari 7 kriteria di atas. Kriteria 1 sampai 4 harus terdapat
minimal selama 6 minggu. (Mansjoer, 2001) dalam Sahril (2015).
F. PATOFISIOLOGI

Sebelum memahami patofisiologi penyakit reumatik penting untuk


memahami lebih dahulu tentang anatomi normal dan fisiologi persendian
diartrodial atau sinovial. Fungsi persendian sinovial adalah gerakan. Setiap
sendi sinovial memiliki kisaran gerak tertentu kendati masing-masing orang
tidak mempunyai kisaran gerak yang sama pada sendi-sendi yang dapat
digerakkan. Pada sendi sinovial yang normal, kartilago artikuler membungkus
ujung tulang pada sendi dan menghasilkan permukaan yang licin serta ulet
untuk gerakan. Membran sinovial melapisi dinding dalam kapsula fibrosa dan
mensekresikan cairan ke dalam ruangan antar-tulang. Cairan sinovial ini
berfungsi sebagai peredam kejut dan pelumas yang memungkinkan sendi
untuk bergerak secara bebas dalam arah yang tepat.

Sendi merupakan bagian tubuh yang paling sering terkena inflamasi dan
degenerasi yang terlihat pada penyakit reumatik. Inflamasi akan terjadi pada
persendian sebagai sinovitis. Pada penyakit reumatik inflamatori, inflamasi
merupakan proses primer dan degenerasi yang terjadi merupakan proses
sekunder yang timbul akibat pembentukan pannus (proliferasi jaringan
sinovial). Inflamasi merupakan akibat dari respon imun. Kartilago artikuler
memainkan dua peranan mekanis yang penting dalam fisiologi sendi.
Pertama, kartilago artikuler memberikan permukaan penahan beban yang
licin secara nyata, dan bersama cairan sinovial, membuat gesekan (friksi)
yang sangat rendah dalam gerakan. Kedua, kartilago akan meneruskan beban
atau tekanan pada tulang sehingga mengurangi stres mekanis. Kartilago
artikuler maupun tulang dapat normal tetapi beban (gaya yang dihasilkan oleh
berat tubuh) berlebihan pada sendi menyebabkan jaringan tersebut gagal, atau
beban pada sendi secara fisiologis masih banyak tetapi kartilago artikuler atau
tulangnya tidak normal. (muttaqin, 2005) dalam Sahril (2015).

Pada artritis reumatoid, reaksi autoimun terutama terjadi pada jaringan


sinovial. Proses fagositosis menghasilkan enzim-enzim dalam sendi. Enzim-
enzim tersebut akan memecah kolagen sehingga terjadi edema, proliferasi
membran sinovial, dan akhirnya membentuk panus. Panus akan
menghancurkan tulang rawan dan menimbulkan erosi tulang, akibatnya
menghilangkan permukaan sendi yang akan mengganggu gerak sendi. Otot
akan turut terkena karena serabut otot akan mengalami perubahan generatif
dengan menghilangnya elastisitas otot dan kekuatan kontraksi otot.

G. KOMPLIKASI
a. Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis dan
ulkus peptik yang merupakan komplikasi utama penggunaan obat
antiinflamasi nonsteroid (OAINS) atau obat pengubah perjalanan
penyakit (disease modifying antirheumatoid drugs, DMRAD) yang
menjadi penyebab mordibitas dan mortalitas utama pada artitis
reumatoid.
1) Komplikasi syaraf yang terjadi tidak memberikan gambaran jelas,
sehingga sukar dibedakan antara akibat lesi artikular dan lesi
neuropatik. Umumnya berhubungan dengan mielopati akibat
ketidakstabilan verterbra servikal dan neuropati iskemik akibat
vaskulitis. (Mansjoer, 2001) dalam Sahril (2015). Vaskulitis
(inflamasi sistem vaskuler) dapat menyebabkan trombosis dan
infark.
2) Nodulus reumatoid ekstrasinovial dapat terbentuk pada katup
jantung atau pada paru, mata, atau limpa. Fungsi pernapasan dan
jantung dapat terganggu. Glaukoma dapat terjadi apabila nodulus
yang menyumbat aliran keluar cairan okular terbentuk pada mata.
3) Penurunan kemampuan untuk melakukan aktivitas hidup sehari-
hari , depresi, dan stres keluarga dapat menyertai eksaserbasi
penyakit. (Corwin, 2009) dalam Sahril (2015).
4) Osteoporosis.
5) Nekrosis sendi panggul.
6) Deformitaas sendi.
7) Kontraktur jaringan lunak.
8) Sindrom Sjogren (Bilotta, 2011) dalam Sahril (2015).

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Tidak banyak berperan dalam diagnosis artritis reumatoid, namun dapat
menyokong bila terdapat keraguan atau untuk melihat prognosis pasien.
Pada pemeriksaan laboraturium terdapat:
2. Tes faktor reuma biasanya positif pada lebih dari 75% pasien artritis
reumatoid terutama bila masih aktif. Sisanya dapat dijumpai pada pasien
lepra, tuberkulosis paru, sirosis hepatis, hepatitis infeksiosa, lues,
endokarditis bakterialis, penyakit kolagen, dan sarkoidosis.
3. Protein C-reaktif biasanya positif.
4. LED meningkat.
5. Leukosit normal atau meningkat sedikit.
6. Anemia normositik hipokrom akibat adanya inflamasi yang kronik.
7. Trombosit meningkat.
8. Kadar albumin serum turun dan globulin naik.
9. Pada pemeriksaan rotgen, semua sendi dapat terkena, tapi yang tersering
adalah sendi metatarsofalang dan biasanya simetris. Sendi sakroiliaka
jugasering terkena. Pada awalnya terjadi pembengkakan jaringan lunak
dan demineralisasi juksta artikular. Kemudian terjadi penyempitan ruang
sendi dan erosi.

I. PENATALAKSANAAN/PENGOBATAN

Tujuan penatalaksanaan reumatoid artritis adalah mengurangi nyeri,


mengurangi inflamasi, menghentikan kerusakan sendi dan meningkatkan
fungsi dan kemampuan mobilisasi penderita. Adapun penatalaksanaan umum
pada rheumatoid arthritis antara lain :
1. Pemberian terapi
Pengobatan pada rheumatoid arthritis meliputi pemberian aspirin untuk
mengurangi nyeri dan proses inflamasi, NSAIDs untuk mengurangi
inflamasi, pemberian corticosteroid sistemik untuk memperlambat
destruksi sendi dan imunosupressive terapi untuk menghambat proses
autoimun.
2. Pengaturan aktivitas dan istirahat
Pada kebanyakan penderita, istirahat secara teratur merupakan hal
penting untuk mengurangi gejala penyakit. Pembebatan sendi yang
terkena dan pembatasan gerak yang tidak perlu akan sangat membantu
dalam mengurangi progresivitas inflamasi. Namun istirahat harus
diseimbangkan dengan latihan gerak untuk tetap menjaga kekuatan otot
dan pergerakan sendi.
3. Kompres panas dan dingin
Kompres panas dan dingin digunakan untuk mendapatkan efek analgesic
dan relaksan otot. Dalam hal ini kompres hangat lebih efektive daripada
kompres dingin.
4. Untuk penderita rheumatoid arthritis disarankan untuk mengatur dietnya.
Diet yang disarankan yaitu asam lemak omega-3 yang terdapat dalam
minyak ikan. Mengkonsumsi makanan seperti tahu untuk pengganti
daging, memakan buah beri untuk menurunkan kadar asam urat dan
mengurangi inflamasi. Hindari makanan yang banyak mengandung purin
seperti bir dari minuman beralkohol, ikan anchovy, sarden, herring, ragi,
jerohan, kacang-kacangan, ekstrak daging, jamur, bayam, asparagus, dan
kembangkol karena dapat menyebabkan penimbunan asam urat
dipersendian.
5. Banyak minum air untuk membantu mengencerkan asam urat yang
terdapat dalam darah sehingga tidak tertimbun di sendi. (NANDA, 2013)
dalam Sahril (2015).
6. Gizi
Pemenuhan gizi pada atritis reumatoid adalah untuk mencapai dan
mempertahankan status gizi yang optimal serta mengurangi peradangan
pada sendi. Adapun syarat–syarat diet atritis rheumatoid adalah protein
cukup, lemak sedang, cukup vitamin dan mineral, cairan disesuaikan
dengan urine yang dikeluarkan setiap hari. Rata–rata asupan cairan yang
dianjurkan adalah 2 – 2 ½ L/hari, karbohidrat dapat diberikan lebih
banyak yaitu 65 – 75% dari kebutuhan energi total.
7. Pembedahan
Pembedahan dilakukan apabila rheumatoid arthritis sudah mencapai
tahap akhir. Bentuknya dapat berupa tindakan arhthrodesis untuk
menstabilkan sendi, arthoplasty atau total join replacement untuk
mengganti sendi.

J. MASALAH YANG MUNGKIN MUNCUL


(NIC NOC 2015 hal. 98)
1. Gangguan citra tubuh b.d perubahan penampilan tubuh, sendi, bengkok,
deformitas
2. Nyeri akut b.d perubahan patologis oleh artritis rheumatoid
3. Resiko cedera b.d hilangnya kekuatan otot, rasa nyeri
4. Hambatan mobilitas fisik b.d kerusakan intergritas struktur tulang,
kekakuan sendi
5. Defisit perawatan diri b.d gangguan muskuluskeletal
6. Difesiensi pengetahuan b.d kurangnya informasi
7. Ansietas b.d kurangnya informasi tentang penyakit, penurunan
produktifitas
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Penyakit reumatik adalah kerusakan tulang rawan sendi yang


berkembang lambat dan berhubungan dengan usia lanjut. Secara klinis
ditandai dengan nyeri, deformitas, pembesaran sendi, dan hambatan gerak
pada sendi – sendi tangan dan sendi besar yang menanggung beban. Artritis
rematoid adalah merupakan penyakit inflamasi sistemik kronik dengan
manifestasi utama poliartritis progresif dan melibatkan seluruh organ tubuh.
Terlibatnya sendi pada pasien artritis rematoid terjadi setelah penyakit ini
berkembang lebih lanjut sesuai dengan sifat progresifitasnya. Pasien dapat
juga menunjukkan gejala berupa kelemahan umum cepat lelah.

B. SARAN
1. Dunia pendidikan dalam kontes pemberian tugas diharapkan agar dapat
menjadi suatu bagian yang menjadikan penulis maupun pembaca bias
lebih berkifrah dalam menambah wawasan.
2. Lingkungan pendidikan yang baik melalui tim pengajar dan mahasiswa
dapat meningkatkan mutu pendidikan di berbagai kalangan
3. Dosen dalam hal pemberian tugas agar dapat menulai secara konsisten
mutu dan kinerja mahasiswa
4. Dengan aktifnya dosen dalam menanggapi memberikan masukan dan
perbaikan dalam berbagai tugas yang ada dapat meningkatkan kwalitas
DAFTAR PUSTAKA

Doenges E Marilynn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. EGC: Jakarta

Kalim, Handono. 1996. Ilmu Penyakit Dalam. Balai Penerbit FKUI: Jakarta.

Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculaapius


FKUI:Jakarta.

Prince, Sylvia Anderson. 1999. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit. EGC: Jakarta.

Smeltzer, Suzzanne C.2001.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. .Jakarta:


EGC.

Ganong.1998.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC

Boedhi Darmojo & Hadi Martono. 1999. Buku Ajar Geriatri. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI.

Lemone & Burke, 2001. Medical Surgical Nursing; Critical Thinking in Client
Care, Third Edition, California : Addison Wesley Nursing.

Http//google.com. : maros SAHRIL (2015)

NANDA NIC NOC 2015


ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK PADA Tn.M
DENGAN DIAGNOSA REMATOID ATHTRITIS
DI JURONG COT PREH GAMPONG PAYA
KOTA SABANG

DI

S
U
S
U
N

Oleh :

MOHAMMAD HABIBIE
DOSEN PEMBIMBING :

NS.ZIKRI REZEKI S,Kep

AKADEMI KEPERAWATAN IBNU SINA


KOTA SABANG
TAHUN AJARAN 2019

Anda mungkin juga menyukai