Anda di halaman 1dari 2

Misteri Gong yang Menggaung dari Puncak Bukit

Sakhi Al-Adib

Pada zaman dahulu, ketika banyak manusia belum digulung oleh modernisasi, masyarakat
masih mempercayai hal-hal mistis dan ajaib yang tidak bisa dinalar dengan pikiran biasa.
Salah-satunya terjadi di desaku sendiri, yaitu desa Caruy, yang terletak di tengah hutan karet,
cokelat, dan lingkaran kontur pegunungan hijau yang keramat. Hal mistis dan ajaib itu adalah
sebuah cerita turun-temurun dari zaman dahulu hingga sekarang, sebuah misteri tak
berkesudahan tentang suara Gong Kuning yang mendengung dari arah gunung yang terletak di
desa Sidasari.
Banyak orang bersaksi telah mendengar suara gong itu, tetapi anehnya tidak ada yang melihat
siapa yang memainkannya dan dari mana tepatnya sumber bunyinya. Barangkali, hanya juru
kunci gunung Sidasari yang tahu, itu pun menurut kabar dari mulut ke mulut yang sama
misteriusnya dengan suara gong yang sekarang bagai hantu.
Banyak orang yang penasaran dan mencari sumber suara tersebut, tetapi setiap kali mereka
mendekatinya, gaung gong justru semakin menjauh, sehingga mereka yang penasaran dan
mencari harus berputus asa karena tidak mendapatkan hasil apa-apa. Suatu kali, pada suatu masa
yang telah lamapau, juru kunci gunung tersebut pernah berkata, “Tidak sembarang orang bisa
melihat dan memainkan Gong Kuning. Tetapi, jika seseorang ingin meminjamnya, saya dapat
memberikan izin keapadanya.”
Pada suatu hari, seseorang hendak mengadakan pertunjukan wayang dan kekurangan satu gong.
Akhirnya ia meminjam gong kuning itu. Ia pun sowan kepada juru kunci untuk meminta izin dan
beruntung, maksud orang tersebut dikabulkan oleh sang juru kunci gunung Sidasari. “Jika kamu
ingin meminjam gong, kamu tidak boleh mengganti tali gantungannya. Jika kamu melanggar,
kamu akan menanggung sendiri akibatnya,” kata juru kunci itu, meperingatkan. Orang itu
menyetujuinya.
Ritual peminjaman gong pun segera dilaksanakan. Juru kunci berkomat-kamit membaca doa
sebelum kemudian memberikan gong kepada pihak yang meminjam sambil mengingatkan soal
syarat yang telah ia sampaikan.
Acara wayang pun akan segera dilakukan. Orang yang meminjam gong itu berbicara kepada
anggota kelompok wayangnya tentang aturan tidak boleh mengganti tali gong kuning. Para
anggota merasa heran dan bertanya kepada orang yang meminjam gong, apa mungkin tali yang
kecil dan sudah tua itu mampu menahan beban gong sebesar itu. Orang itu menjawab, itu sudah
merupakan syarat dari juru kunci gong yang harus dipaatuhi. Mereka, para amggota penayagan
wayang mulai memasang alat-alat yang akan dimainkan gunakan. Tak lama kemudian, musik
gamelan mengalun dengan sahdu dan nikmat. Suara gong kuning itu seperti menyihir para
penonton sampai pertunjukan usai.
Keesokan harinya, orang itu mengembalikan gong kepada juru kunci sambil mengucapkan
rimakasih sebanyak-banyaknya.
Pada suatu hari, ada orang yang berniat meminjam gong kuning itu dan sowan ke juru kunci
gunung tersebut. Seperti sebelumnya, juru kunci menetapkan syarat yang sama, yaitu tidak boleh
mengganti tali gantungan gong. Orang itu pun menyetujuinya. Tetapi, ketika melihat gong
kuning itu, orang tersebut berpikir, “Apakah tali sekecil itu dan sudah tua pula, kuat menahat
berat gong sebesar itu?” Orang itu lantas mengganti tali pengikat itu menjadi lebih bagus dan
besar. Tetapi, ketika pertunjukan wayang dimulai, tiba-tiba irama gamelan menjadi amburadul
dan tali pengikat itu putus sehingga gong terjatuh dan memporakporandakan panggung dan
menimpa orang yang meminjam gong hingga meninggal dunia. Pertunjukan wayang pun
berakhir tidak di atas kelir, tapi berakhir sebagai petaka bagi dalang dan para nagaya—pemain
gamelan.
Sejak kejadian itu, juru kunci tidak pernah meminjamkan gong kuning karena tidak mau
mengambil risiko agar tidak ada lagi korban jiwa. Sejak itulah tidak ada yang meminjam gong
lagi sampai juru kunci gunung Sidasari wafat.
Sekarang, orang-orang sudah tidak mendengar suara gong itu lagi. Mungkin gong itu masih
berbunyi dalam kegaiban, tapi banyaknya suara kendaraan yang hilir-mudik, membuat suara
gaung mistis alat musik itu menyisih dari perkampungan. Meski begitu, para leluhur masih
menyimpan suaranya dalam benak, dan dari sanalah sumber cerita ini berasal.

Anda mungkin juga menyukai