Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH PENCERAN LINGKUNGAN

“ PENCEMARAN PEMBANGKIT LISTRIK ( BBM/NUKLIR )


PERAWATAN/PEMBERSIHAN ALAT, TRANSPORTASI AIR “

Dosen Pengampu : Marlina Kamelia, M.Si

Disusun Kelompok :

1. Beni Julianto 1611060153


2. Eriyadi 1611060294
3. Reni Nur Rohmah 1611060133
4. Reni Farsela 1611060156
5. Syafi’atul Mahmudah 1611060306

Kelas/Semester : C/VI

PRODI PENDIDIKAN BIOLOGI


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT karena dengan rahmat, karunia
serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul
pencemaran pembangkit listrik ( BBM/Nuklir ), perawatan/pembersihan alat, tranpostasi air.
Dan juga kami berterimakasih kepada ibu Marlina Kamelia, M.Si selaku dosen mata kuliah
pencemaran lingkungan.

Kami berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai spesiasi dan filogeni, oleh sebab itu kami berharap adanya kritik
dan saran demi perbaikan makalah yang telah dibuat di masa yang akan datang, mengingat
tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Semoga makalah ini dapat dipahami bagi sarapan yang membangun dan sebelumnya
kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami
ucapkan terimakasih.

Bandar Lampung, 28 Maret 2019

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................................ i


KATA PENGANTAR ..................................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................................... 1
C. Tujuan ......................................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Pencemaran Pembangkit Listrik ( Nuklir ) ....................................................................
B. Transportasi Air .............................................................................................................

BAB III KESIMPULAN...................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia memerlukan pembangkit-pembangkit listrik baru untuk memenuhi


kenaikan kebutuhan listrik di masa yang akan datang. Di AS, untuk tahun 1990, Pembangkit
Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Batubara (PLTU)
diproyeksikan akan memegang masing-masing 12,5% dan 55% dari total pembangkitan
listrik, suatu angka yang lebih besar dari kontribusi jenis-jenis sumber energi lain. Dalam
memperbandingkan kedua pilihan ini, perlu diingat bahwa masing-masing berasal dari
teknologi yang berbeda, meskipun demikian keduanya menggunakan energi yang
dihasilkannya untuk menguapkan air. Selanjutnya uap tersebut digunakan untuk memutar
turbin.
PLTN merupakan bidang yang cukup baru dibandingkan dengan PLTU. Hal ini perlu
ditekankan mengingat Indonesia adalah negara yang sedang berkembang. Selain itu, karena
pemakaian bahan-bahan radioaktif untuk PLTN, masalah-masalah yang dihadapi dan faktor-
faktor pembentuk hambatan tersebut adalah dua lingkup yang berbeda yang kadang-kadang
tidak dapat diperbandingkan secara langsung. Segi-segi polusi, biaya konstruksi,
pemeliharaan, bahan bakar dan operasi serta keamanan dan keandalan sistem diambil sebagai
pokok- pokok perbandingan dengan harapan masingmasing akan terwakili secara jelas dan
menyeluruh.
Dalam kenyataan tenaga nuklir tidak mungkin dihapuskan dari dunia ini. Sampai
suatu saat dunia mempunyai alternatif baru yang lebih ekonomis dan lebih aman, nuklir tetap
memegang peranan yang penting. Adanya kecelakaan ini telah menunda perkembangan
industri nuklir, tetapi dalam waktu yang bersamaan telah meningkatkan kesadaran untuk
lebih menjaga segi keamanan. Dalam jangka panjang dapat dikatakan bahwa kecelakaan ini
telah menbawa pengaruh positif terhadap keseluruhan industri nuklir.

1.2 Rumusan Masalah


1.3 Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pencemaran Pembangkit Listrik ( BBM/Nuklir )


Pada era pembangunan jangka panjang masyarakat dan bangsa Indonesia akan
sangat membutuhkan energi listrik, kebutuhan listrik manusia akan meningkat seiring dengan
meningkatnya bidang industri dan taraf kehidupan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
energi listrik, pemerintah telah membangunan dan akan masih membangun lagi beberapa
pusat pembangkit tenaga listrikdi Indonesia. Dalam menentukan jenis pembangkit listrik
yang akan dipilih ada beberapa aspek yang harus dipertimbangkan yaitu: aspek sumber daya
alam, aspek teknologi, aspek ekonomi, aspek ekologi, dan aspek sosial budaya. Salah satu
alternatif pembangkit listrik yang akan dibangun di pulau Jawa adalah Pembangkit Listrik
Tenaga Nuklir (PLTN).
Sayangnya, masyarakat belum dapat menenerima kehadiran salah satu bentuk
teknologi nuklir tersebut. Pemerintah mengharapkan, rencana pembangunan PLTN di
Semenanjung Muria Jawa Tengah dapat direalisasikan dan dapat diterima oleh masyarakat
terutama yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu informasi yang benar tentang PLTN sangat
penting bagi masyarakat agar masyarakat dapat menerima kehadirannya dengan ikhlas dan
penuh pengertian. Untuk itu pemerintah melakukan usaha untuk memasyarakatkan PLTN
melalui seminar-seminar, penataran juru penerang, penyuluhan, dan penerangan melalui
media massa. Permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah mengapa pemerintah
memilih PLTN sebagai alternatif pembangkit energi listrik di Pulau Jawa dan bagaimana agar
masyarakat dapat menerima teknologi nuklir.

Pencemaran lingkungan dan kesehatan polusi yang dihasilkan oleh masing-masing


pembangkit listrik. Dari data yang ada, pencemaran udara dari batubara adalah jauh lebih
besar daripada bahan bakar nuklir, terutama asap dari hasil pembakaran batubara dalam
tungku PLTU. Meskipun berdasarka Undang-Undang No. 23/1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup setiap PLTU baru diwajibkan untuk memakai "scrubbers" (flue-gas
desulphurizer) untuk mengurangi kadar polutan yang dikeluarkannya, PLTU tetap memegang
peranan penting datam pencemaran udara secara keseluruhan. Adapun beberapa polutan
utama yang dihasilkan dari PLTU adalah sebagai berikut:
1. gas SOx yang dikenal sebagai sumber gangguan paru-paru dan berbagai penyakit
pernafasan.
2. gas NOx, yang bersama dengan gas SOx adalah penyebab dari fenomena "hujan asam"
yang terjadi di banyak negara maju dan berkembang, terutama yang menggantungkan
produksi listriknya dari PLTB. Fenomena ini diperkirakan membawa dampak buruk bagi
industri peternakan dan pertanian.
3. gas COx yang membentuk lapisan yang menyelubungi permukaan bumi dan menimbulkan
efek rumah kaca ("green-house effect") yang pada akhirnya menyebabkan pergeseran
cuaca yang telah terbukti di beberapa bagian dunia.
4. partikel-partikel debu selain mengadung unsur-unsur radioaktif juga berbahaya bagi
kesehatan jika sampai terhirup masuk ke dalam paru-paru.
5. logam-logam berat seperti Pb,Hg,Ar,Ni,Se dan lain-lain, yang terbukti terdapat dengan
kadar jauh di atas normal di sekitar PLTU.

Sebagai kondensator dari sikius uap air primer, kedua jenis pembangkit listrik di atas
memanfaatkan air dari sumber yang berdekatan dengan lokasinya. Oleh karena itu polusi air
yang disebabkan oleh masing-masing kurang lebih berimbang untuk ukuran generator yang
sama. Sebuah PLTN rata-rata beroperasi dengan efisiensi panas 33% (40% untuk PLTU).
Jadi kurang lebih dua pertiga dari panas yang dihasilkan oleh bahan bakar terpaksa dilepas ke
lingkungan meialui sikius pendingin. Untuk sebuah PLT (nuktir atau batubara) dengan
ukuran 1.000 MWe yang beroperasi dengan efesiensi 35%, dihasilkan sekitar 1.860 MW sisa
panas. Jika air diambil dengan debit 100 m3/s, maka air yang keluar dari sikius sekunder ini
akan mengalami kenaikan suhu sekitar 4,5oC, suatu angka yang cukup untuk menggangu
kesetimbangan ekosistim dari organisms yang hidup di sumber air tersebut. Dampak ini akan
bertambah lagi dengan adanya bahan-bahan kimia pemurni air yang dicampurkan sebelum air
tersebut masuk ke sikius pendingin.

Bertentangan dengan anggapan umum, radiasi sinar-sinar radioaktif (selanjutnya akan


disebut radiasi) bukanlah sumber utama polusi pada PLTN. Malah terbukti bahwa secara
rata-rata untuk seorang yang tinggal sampai 1 km dari sebuah reaktor nuklir, dosis radiasi
yang diterimanya dari bahan-bahan yang dipakai di reaktor tersebut adalah kurang dari 10%
dari dosis radiasi alam (dari batuan radioaktif alami, sinar kosmis, sinar-sinar radioaktif untuk
maksud-maksud medis) . Kalau untuk tambang-tambang batubara dikenal istilah "black
lung", dimana partikel batubara yang terh-irup oleh para pekerja tambang mengendap di
paru-paru dan menimbulkan berbagai macam gangguan kesehatan, para pekerja di tambang
Uranium (bahan utama untuk bahan bakar PLTN) terutama terkena radiasi dari Carbon 14
(C-14) dan gas Radon yang terpancar dari Uranium alam. Dari data statistik didapat bahwa
kedua jenis radiasi ini menelan korban jiwa kurang lebih 1 orang tiap 20 juta MWH listrik
yang dihasilkan PLTN per tahun. Tetapi karena kedua unsur tersebut mempunyai waktu
paruh yang sangat besar, dampaknya akan terus terasa untuk masa-masa yang akan datang.
Salah satu pencegahan adalah dengan menempatkan sisa-sisa Uranium tambang di bawah
permukaan tanah dimana radiasinya akan ditahan oleh dinding lapisan penyekat khusus,
tetapi karena praktek ini juga dilakukan untuk sisa Uranium yang telah tidak mengandung C-
14 dan Radon, pada dasarnya belum ada tindakan khusus yang dicanangkan untuk
penangangan bahaya dari kedua unsur ini.

Perlu disimak bahwa masalah radiasi bukan semata-mata berlaku untuk PLTN.
Misainya untuk kapasitas 1.000MWe, PLTN menghasilkan 50kCi radiasi yang sebagian
besar berasal dari gas Xenon dan Krypton sementara PLTU akan mengeluarkan 2Ci radiasi
yang keluar dari cerobong asapnya. Meskipun jumlahnya jauh lebih kecil, radiasi dari PLTU
mempunyai dampak kesehatan yang lebih besar karena kalau abu tersebut terhisap akan
menetap di paru-paru, sumsum tulang atau jaringan yang lain dan merupakan ancaman yang
kontinyu sementara radiasi PLTN lebih berupa sinar yang menembus tubuh dan tidak
menetap. Pada kedua kasus ini, radiasi yang dihasilkannya masih berada jauh dibawah limit
masing-masing.

B. Pencemaran Transportasi Air


Pencemaran laut oleh limbah kapal pencemaran laut untuk kesekian kalinya terjadi di
perairan sekitar Pulau Batam Kepulauan Riau. Gumpalan minyak mentah tidak hanya
mengapung menutup permukaan laut, tapi sebagian terdampar mengotori pantai. Kehidupan
masyarakat setempat terusik. Kejadian ini juga kian merepotkan Pemerintah Kepulauan Riau.
Pasalnya, kasus pencemaran laut, bukan hanya sekali dua kali terjadi tapi sudah berulang kali,
bahkan hampir tak terhitung lagi. "Bayangkan, kejadian seperti ini, sudah terjadi sejak saya
masih kecil hingga sekarang," ujar seorang pejabat pemerintah setempat. Celakanya, sumber
pencemaran sulit dilacak, meski banyak pihak menduga, tumpahan minyak tersebut
kemungkinan berasal dari kapal-kapal di perairan negara tetangga Singapura, dan terbawa
arus laut ke perairan Pulau Batam. Terhadap kejadian tersebut, Pemerintah Kepulauan Riau
berniat melayangkan surat kepada Kementerian Negara Lingkungan Hidup, agar masalah
tersebut diusut tuntas. "Jika perlu, kasus pencemaran laut seperti ini dibawah ke Mahkamah
Internasional, karena dampaknya sudah sangat mengganggu" ujar sumber di Pemerintah
Provinsi Riau.
Namun, menurut Kementeriani Lingkungan Hidup sumber penyebab pencemaran
tersebut hingga saat ini belum diketahui. Pihak Singapura sudah dihubungi, tapi mereka
mengaku tidak tahu menahu asal sumber pencemaran tersebut. Karena itu, untuk sementara
yang dapat dilakukan adalah meningkatkan pengawasan di perairan sekitar Pulau Batam,
yang bekerja sama dengan TNI-Angkatan Laut. Sejatinya, pencemaran laut oleh tumpahan
minyak dan limbah lainnya bukan hanya terjadi di Batam, tapi juga di beberapa perairan laut
Indonesia lainnya. Di perairan Teluk Jakarta, misalnya, tumpahan minyak mentah dan jenis
limbah lainnya jumlahnya mencapai ratusan karung. Itu pun belum semua limbah berhasil
berhasil diangkat dari laut. Beberapa tahun silam, perairan Cilacap juga mengalami
pencemaran berat akibat tumpahan minyak dari kapal tanker yang karam di lepas pantai
Pelabuhan Cilacap.

Jika melihat perkembangan aktivitas di perairan laut Indonesia, maka diperkirakan


pencemaran laut, baik oleh tumpahan minyak dal beragam limbah akan meningkat. Secara
umum, sumber pencemaran laut oleh tumpahan minyak bersumber aktivitas transportasi
minyak, pengeboran minyak lepas pantai, pengilangan minyak dan pemakaian bahan bakar
produk minyak bumi. Penyebabnya, bisa karena kesengajaan, atau kecelakaan, seperti
kebocoran pipa pemboran minyak atau karamnya kapal tanker pengangkut minyak. Namun
apa pun penyebabnya, tumpahan minyak yang mencemari laut pada akhirnya berdampak
negatif bagi organisme laut. Laut yang tercemar minyak dapat mengancam kehidupan
beberapa jenis burung, dan organisme aquatik pantai, seperti berbagai jenis ikan, terumbu
karang, hutan mangrove dan rusaknya wisata pantai. Tumpahan minyak juga akan
menghambat/mengurangi transmisi cahaya matahari ke dalam air laut karena diserap oleh
minyak dan dipantulkan kembali ke udara.

Penanggulangan
Penanggulangan pencemaran laut, khususnya di perairan Indonesia, baik berasal dari kapal
maupun non-kapal seperti, pelabuhan, anjungan minyak dan gas, dan lain-lain sudah diatur
secara nasional dan internasional. Pada lingkup nasional, ketentuan tentang hal tersebut
antara lain diatur dalamUndang Undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, Peraturan
Presiden No. 109/ 2006 tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di
Laut, yang termasuk mengatur organisasinya di tingkat nasional, daerah dan industri/migas.
Sedangkan pada level internasional, masalah tersebut antara lain diatur dalam UNCLOS 82,
IMO Convention, Konvensi Marpol 73/78, dan CLC. Dengan kata lain, dari aspek payung
hukum sesungguhnya sudah cukup memadai. Namun pada pelaksanaannya tampak masih
perlu pembenahan. Akar penyebabnya, bukan pada penguasaan teknis dan prosedur yang
belum berjalan sebagaimana mestinya, melainkan dalam hal koordinasi dan sinergi antar
instansi yang belum maksimal. Dalam penanggulangan pencemaran laut, masing-masing
pihak cenderung jalan sendiri-sendiri. Kalau pun dapat berkoordinasi dan melakukan langkah
bersama itu pun cenderung lamban. Dalam kasus pencemaran dari pemboran minyak di
Celah Timur, misalnya, kejadian tersebut terjadi bulan Agustus 2009.

Koordinasi antar instansi dan departemen baru berjalan Desember dan hingga Januari
2010, belum ada tindakan pasti karena masih menunggu hasil penelitian yang akan dilakukan
oleh salah satu departemen. Demikian pula, dalam penanggulangan pencemaran perairan laut
di Pulau Batam. Inilah potret penanggulangan pencemaran laut di negeri ini. Pada hal
Padahal, berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) tentang Penanggulangan Keadaan
Darurat Tumpahan Minyak di Laut keterlibatan antar departemen terkait sangat diperlukan.
Agar penanganan tumpahan minyak dapat berjalan integratif. Keterlibatan berbagai instansi
pemerintah sangat diperlukan karena dampak tumpahan minyak sangatlah luas.
Penanggulangan tumpahan minyak sesungguhnya dapat dilakukan dengan membentuk
semacam badan penyelenggara (executing agency) untuk menangani tumpahan minyak
semacam National Contency plan (NCP). Atau dalam satu wadah yang melibatkan berbagai
instansi/departemen secara permanen.

Menurut beberapa sumber, konon Pertamina telah memiliki 54 sistem Tanggap


Darurat Penanggulangan Tumpahan Minyak Tier. Tapi pengelolaannya masih bersifat lokal
dan pembentukannya baru berdasarkan kebutuhan teknis, belum melalui penilaian
(assessment) yang mendalam. Dampak dari kondisi yang ada itu tentulah akan terasa
bilamana memasuki tahapan pasca lokalisasi tumpahan. Dalam tahap ini mulai dihitung
kerugian yang diderita oleh semua pihak akibat pencemaran yang terjadi. Juga, akan dihitung
berapa besar kerugian yang harus dibayar oleh pemilik kapal sesuai aturan internasional yang
berlaku. Terutama memperkirakan dampak kerusakan terhadap lingkungan dan kehidupan
ekonomi masyarakat yang tergantung pada lautan di sekitarnya. Padahal, semestinya semua
langkah harus berjalan simultan. (LS2LP)
BAB III
KESIMPULAN

1. Dalam kenyataan tenaga nuklir tidak mungkin dihapuskan dari dunia ini. Sampai
suatu saat dunia mempunyai alternatif baru yang lebih ekonomis dan lebih aman,
nuklir tetap memegang peranan yang penting. Adanya kecelakaan ini telah menunda
perkembangan industri nuklir, tetapi dalam waktu yang bersamaan telah
meningkatkan kesadaran untuk lebih menjaga segi keamanan.
2. Pencemaran laut oleh limbah kapal pencemaran laut untuk kesekian kalinya terjadi
di perairan sekitar Pulau Batam Kepulauan Riau. Gumpalan minyak mentah tidak
hanya mengapung menutup permukaan laut, tapi sebagian terdampar mengotori
pantai. Kehidupan masyarakat setempat terusik. Penanggulangan pencemaran laut,
khususnya di perairan Indonesia, baik berasal dari kapal maupun non-kapal seperti,
pelabuhan, anjungan minyak dan gas, dan lain-lain sudah diatur secara nasional dan
internasional. Pada lingkup nasional, ketentuan tentang hal tersebut antara lain diatur
dalamUndang Undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, Peraturan Presiden
No. 109/ 2006 tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut,
yang termasuk mengatur organisasinya di tingkat nasional, daerah dan
industri/migas.
DAFTAR PUSTAKA

Hadi, Setya. 1993. PLTN Sebagai Alternatif Pembangkit Energi Listrik Di Pulau Jawa.
Jurnal Cakrawala. Vol 1 No 1. 2003

https://www.kompasiana.com/pauluslondo/551096c1a33311cf39ba8559/pencemaran-laut-
oleh-limbah-kapal

https://www.elektroindonesia.com/elektro/ener14b.html

Anda mungkin juga menyukai