Anda di halaman 1dari 17

1

BAB I

PENDAHULUAN

Cedera kepala adalah gangguan traumatik pada otak yang menimbulkan


perubahan fungsi atau struktur pada jaringan otak akibat mendapatkan kekuatan
mekanik eksternal berupa trauma tumpul ataupun penetrasi yang menyebabkan
gangguan fungsi kognitif, fisik maupun psikososial baik sementara ataupun
permanen.

Cedera kepala mencakup trauma pada kulit kepala, tengkorak (cranium


dan tulang wajah), atau otak. Cidera kepala masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat di banyak negara karena dapat menyebabkan kematian, kecacatan,
mengurangi waktu produktif seseorang karena melibatkan kelompok usia
produktif dan mengakibatkan beban sosial ekonomi yang besar pertahun.
2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Trauma Kapitis

2.1.1 Anatomi

1. Kulit kepala

Kulit kepala menutupi cranium dan meluas dari linea nuchalis superior pada os
occipitale sampai margo supraorbitalis ossis frontalis. Ke arah lateral kulit kepala
meluas lewat fascia temporalis ke arcus zygomaticus. Kulit kepala terdiri dari
lima lapis jaringan yang terdiri atas skin (kulit), connective tissue (jaringan ikat),
aponeurosis epicranialis (galea aponeurotica), loose connective tissue (jaringan
ikat spons) dan pericranium. Lapisan tersebut biasa disebut dengan scalp. Jaringan
penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari perikranium dan
merupakan tempat tertimbunnya darah (hematoma subgaleal). Kulit kepala
memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan akibat laserasi
kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah, terutama pada bayi dan
anak-anak.

2. Tulang Tengkorak

Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Kalvaria
khususnya di bagian temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot
temporal. Basis kranii berbentuk tidak rata sehinga dapat melukai bagian dasar
otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar
dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior, fosa media, dan fosa posterior. Fosa
anterior adalah tempat lobus frontalis, fosa media adalah tempat lobus temporalis,
dan fosa posterior adalah ruang bagian bawah batang otak dan serebelum.
3

3. Kranium

Kranium membungkus dan melindungi otak. Kranium terdiri dari os frontal yang
membentuk dahi, langit-langit rongga nasal dan langit-langit rongga orbita; os
parietal yang membentuk sisi dan langit-langit kranium; os temporal yang
membentuk dasar dan bagian sisi dari kranium; os etmoid yang merupakan
struktur penyangga penting dari rongga nasal dan berperan dalam pembentukan
orbita mata dan os sfenoid yang membentuk dasar anterior cranium.

4. Otak

Otak manusia terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak. Serebrum terdiri
atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks serebri yaitu lipatan
duramater dari sisi inferior sinus sagitalis superior. Pada hemisfer serebri kiri
terdapat pusat bicara manusia. Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara
sering disebut sebagai hemisfer dominan. Lobus frontal berkaitan dengan fungsi
emosi, fiungsi motorik, dan pada sisi dominan mengandung pusat ekspresi bicara.
Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus
temporal mengatur fungsi memori. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam
proses penglihatan. Batang otak terdiri dari mesensefalon (mid brain), pons, dan
medula oblongata. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi
retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada medula
oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik, yang terus memanjang sampai
medulla spinalis dibawahnya. Lesi yang kecil saja pada batang otak sudah dapat
menyebabkan defisit neurologis yang berat. Serebelum bertanggung jawab dalam
fungsi koordinasi dan keseimbangan, terletak dalam fosa posterior, berhubungan
dengan medula spinalis, batang otak, dan juga kedua hemisfer serebri.

5. Cairan serebrospinal

Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh pleksus khoroideus dengan kecepatan


produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral melalui
4

foramen monro menuju ventrikel III kemudian melalui aquaductus sylvii menuju
ventrikel IV. Selanjutnya CSS keluar dari sistem ventrikel dan masuk ke dalam
ruang subaraknoid yang berada di seluruh permukaan otak dan medula spinalis.
CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui vili araknoid.

6. Tentorium

Tentorium serebelli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supra tentorial


(terdiri atas fossa kranii anterior dan fossa kranii media) dan ruang infratentorial
(berisi fosa kranii posterior)
5

2.1.2 Definisi

Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara


langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologi
yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun
permanen.

2.1.3 Epidemiologi

Cedera kepala merupakan penyebab utama kecacatan dan kematian, terutama


pada dewasa muda. Di Amerika Serikat, hampir 10% kematian disebabkan karena
trauma, dan setengah dari total kematian akibat trauma berhubungan dengan otak.
Kasus cedera kepala terjadi setiap 7 detik dan kematian akibat cedera kepala
terjadi setiap 5 menit. Cedera kepala dapat terjadi pada semua kelompok usia,
namun angka kejadian tertinggi adalah pada dewasa muda berusia 15-24 tahun.
Angka kejadian pada laki-laki 3 hingga 4 kali lebih sering dibandingkan wanita.
Penyebab cedera kepala di Indonesia mayoritas karena kecelakaan lalu lintas yang
dapat dilaporkan kecenderungannya dari tahun 2007 dengan 2013 hanya untuk
transportasi darat, tampak ada kenaikan cukup tinggi yaitu dari 25,9 persen
menjadi 47,7 persen.

2.1.4 Klasifikasi

Berdasarkan Advanced Traumatic Life Support (ATLS, 2014) cedera kepala


diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi
klasifikasi, yaitu berdasarkan; mekanisme, beratnya cedera, dan morfologi.

1. Mekanisme

Dengan mekanisme fisiologis pada cedera kepala akan dapat memperkirakan


dampak pada cedera kepala primer. Komponen utama diantaranya kekuatan
cedera (kontak atau gaya), jenis cedera (rotasional, translational, atau angular),
dan besar serta lamanya dampak tersebut berlangsung. Kekuatan kontak terjadi
ketika kepala bergerak setelah suatu gaya, sedangkan gaya inersia terjadi pada
percepatan atau perlambatan kepala, sehingga gerak diferensial otak relatif
6

terhadap tengkorak. Meskipun satu proses mungkin mendominasi, sebagian besar


pasien dengan cedera kepala mengalami kombinasi dari mekanisme ini.
Mekanisme fisiologis yang menyebabkan cedera kepala; benturan kepala dengan
benda padat pada kecepatan yang cukup, beban impulsif memproduksi gerak tiba-
tiba kepala tanpa kontak fisik yang signifikan, dan statis beban kompresi statis
atau kuasi kepala dengan kekuatan bertahap. Kekuatan kontak biasanya
mengakibatkan cedera fokal seperti memar dan patah tulang tengkorak. kekuatan
inersia terutama translasi mengakibatkan cedera fokal, seperti kontusio dan
Subdural Hematoma (SDH), sedangkan cedera rotasi akselerasi dan deselerasi
lebih cenderung mengakibatkan cedera difus mulai dari gegar otak hingga Diffuse
Axonal Injury (DAI). Cedera rotasi secara khusus 8 menyebabkan cedera pada
permukaan kortikal dan struktur otak bagian dalam.

2. Beratnya cedera kepala

Terlepas dari mekanisme cedera kepala, pasien diklasifikasikan secara klinis


sesuai dengan tingkat kesadaran dan distribusi anatomi luka. Kondisi klinis dan
tingkat kesadaran setelah cedera kepala dinilai menggunakan Glasgow Coma
Scale (GCS), merupakan skala universal untuk mengelompokkan cedera kepala
dan faktor patologis yang menyebabkan penurunan kesadaran. Glasgow Coma
Scale (GCS) dikembangkan oleh Teasdale and Jennett pada 1974 dan saat ini
digunakan secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera otak
(Teasdale, 1974). Penderita yang mampu membuka kedua matanya secara
spontan, mematuhi perintah, dan berorientasi mempunyai nilai GCS total sebesar
15, sementara pada penderita yang keseluruhan otot ekstrimitasnya flaksid dan
tidak membuka mata ataupun tidak bersuara maka nilai GCS-nya minimal atau
sama dengan 3. Menurut Brain Injury Association of Michigan (2005), klasifikasi
keparahan dari cedera kepala yaitu: Nilai GCS sama atau kurang dari 8
didefinisikan sebagai koma atau cedera otak berat (kehilangan kesadaran >36 jam,
amnesia post traumatic >7hari). Berdasarkan nilai GCS, maka penderita cedera
otak dengan nilai GCS 9- 13 dikategorikan sebagai cedera otak sedang
(kehilangan kesadaran >20menit dan <36jam, amnesia post traumatic >24 jam dan
7

<7hari), dan penderita dengan nilai GCS 14- 15 dikategorikan sebagai cedera otak
ringan (kehilangan kesadaran <20 menit, amnesia post traumatic <24jam).

3. Morfologi

Luka pada kulit dan tulang dapat menunjukkan lokasi atau area terjadinya trauma.
Cedera yang tampak pada kepala bagian luar terdiri dari dua, yaitu secara garis
besar adalah trauma kepala tertutup dan terbuka. Trauma kepala tertutup
merupakan fragmen-fragmen tengkorak yang masih intak atau utuh pada kepala
setelah luka. The Brain and Spinal Cord Organization 2009, mengatakan trauma
kepala tertutup adalah apabila suatu pukulan yang kuat pada kepala secara tiba-
tiba sehingga menyebabkan jaringan otak menekan tengkorak. Trauma kepala
terbuka adalah yaitu luka tampak luka telah menembus sampai kepada dura mater.
Secara morfologi cedera kepala data dibagi atas:
8

a. Laserasi Kulit Kepala

Luka laserasi adalah luka robek yang disebabkan oleh benda tumpul atau runcing.
Dengan kata lain, pada luka yang disebabkan oleh benda tajam lukanya akan
tampak rata dan teratur. Luka robek adalah apabila terjadi kerusakan seluruh tebal
kulit dan jaringan bawah kulit. Laserasi kulit kepala sering di dapatkan pada
pasien cedera kepala. Kulit kepala terdiri dari lima lapisan yang disingkat dengan
akronim SCALP yaitu skin, connective tissue, apponeurosis galea, loose
connective tissue dan percranium. Diantara galea aponeurosis dan periosteum
terdapat jaringan ikat longgar yang memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang.
Pada fraktur tulang kepala sering terjadi robekan pada lapisan ini.

b. Fraktur tulang kepala

Fraktur tulang tengkorak berdasarkan pada garis fraktur dibagi menjadi:

1. Fraktur Linier Fraktur linier merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal
atau stellata pada tulang tengkorak yang mengenai seluruh ketebalan tulang
kepala.

2. Fraktur Diastasis Fraktur diastasis adalah jenis fraktur yang terjadi pada sutura
tulang tengkorak yang menyebabkan pelebaran sutura-sutura tulang kepala. Jenis
fraktur ini terjadi pada bayi dan balita karena sutura-sutura belum menyatu dengan
erat.

3. Fraktur kominutif Fraktur kominutif adalah jenis fraktur tulang kepala yang
memiliki lebih dari satu fragmen dalam satu area fraktur.

4. Fraktur impresi Fraktur impresi tulang pepala terjadi akibat benturan dengan
tenaga besar yang langsung mengenai tulang kepala. Fraktur impresi pada tulang
kepala dapat menyebabkan penekanan atau laserasi pada duramater dan jaringan
otak, fraktur impresi dianggap bermakna terjadi jika tabula eksterna segmen
tulang yang impresi masuk hingga berada di bawah tabula interna segmen tulang
yang sehat.
9

5. Fraktur basis cranii Fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi
pada dasar tulang tengkorak. Fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada
duramater yang melekat erat pada dasar tengkorak. pada pemeriksaan fisik dapat
ditemukan adanya rhinorrhea dan racon eyes sign pada fraktur basis cranii fossa
anterior, atau ottorhea dan battle’s sign pada fraktur basis cranii fossa media.

c. Luka memar (kontusio)

Luka memar pada kulit terjadi apabila kerusakan jaringan subkutan dimana
pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah meresap ke jaringan sekitarnya,
kulit tidak rusak, menjadi bengkak dan berwarna merah kebiruan. Luka memar
pada otak terjadi apabila otak menekan pembuluh darah kapiler pecah. Biasanya
terjadi pada tepi otak seperti pada frontal, temporal dan oksipital. Kontusio yang
besar dapat terlihat di CT-Scan atau MRI (Magnetic Resonance Imaging). Pada
kontusio dapat terlihat suatu daerah yang mengalami pembengkakan yang disebut
edema. Jika pembengkakan cukup besar dapat menimbulkan penekanan hingga
dapat mengubah tingkat kesadaran.

d. Abrasi

Luka abrasi yaitu luka yang tidak begitu dalam, hanya superfisial. Luka ini bisa
mengenai sebagian atau seluruh kulit. Luka ini tidak sampai pada jaringan
subkutis tetapi akan terasa sangat nyeri karena banyak ujung-ujung saraf yang
rusak.

e. Avulsi

Luka avulsi yaitu apabila kulit dan jaringan bawah kulit terkelupas, tetapi
sebagian masih berhubungan dengan tulang kranial. Dengan kata lain intak kulit
pada kranial terlepas setelah cedera.
10

2.1.5 Patofisiologi

a. Cedera Otak Primer

Cedera otak primer adalah akibat cedera langsung dari kekuatan mekanik yang
merusak jaringan otak saat trauma terjadi (hancur, robek, memar, dan
perdarahan). Cedera ini dapat berasal dari berbagai bentuk kekuatan/tekanan
seperti akselerasi rotasi, kompresi, dan distensi akibat dari akselerasi atau
deselerasi. Tekanan itu mengenai tulang tengkorak, yang dapat memberi efek
pada neuron, glia, dan pembuluh darah, dan dapat mengakibatkan kerusakan
lokal, multifokal ataupun difus.

b. Cedera Otak Fokal

1. Kortusio Serebri

Kontusio serebri adalah memar pada jaringan otak yang disebabkan oleh trauma
tumpul maupun cedera akibat akselerasi dan deselerasi yang dapat menyebabkan
kerusakan parenkim otak dan perdarahan mikro di sekitar kapiler pembuluh darah
otak. Pada kontusio serebri terjadi perdarahan di dalam jaringan otak tanpa adanya
robekan jaringan yang kasat mata, meskipun neuron-neuron mengalami kerusakan
atau terputus. Pada beberapa kasus kontusio serebri dapat berkembang menjadi
perdarahan serebral. Namun pada cedera berat, kontusio serebri sering disertai
dengan perdarahan subdural, perdaraham epidural, perdarahan serebral ataupun
perdarahan subaraknoid.

2. Traumatik Intrakranial Hematom

Intrakranial hematom tampak sebagai suatu massa yang merupakan target terapi
yang potensial dari intervensi bedah (sebagai lawan paling memar). Lebih sering
terjadi pada pasien dengan tengkorak fraktur. Tiga jenis utama dari hematoma
intrakranial dibedakan oleh lokasi relatif terhadap meninges: epidural, subdural,
dan intraserebral.
11

c. Cedera Otak Difus

Cedera otak difus merupakan efek yang paling sering dari cedera kepala dan
merupakan kelanjutan klinis cedera kepala, mulai dari gegar otak ringan sampai
koma menetap pasca cedera (Sadewa, 2011). Terjadinya cedera kepala difus
disebabkan karena gaya akselerasi dan deselerasi gaya rotasi dan translasi yang
menyebabkan bergesernya parenkim otak dari permukaan terhadap parenkim yang
sebelah dalam. Vasospasme luas pembuluh darah dikarenakan adanya perdarahan
subarahnoid traumatika yang menyebabkan terhentinya sirkulasi di parenkim otak
dengan manifestasi iskemia yang luas, edema otak disebabkan karena hipoksia
akibat renjatan sistemik, bermanifestasi sebagai cedera kepala difus.

d. Cedera Otak Sekunder

Cedera otak sekunder (COS) yaitu cedera otak yang terjadi akibat proses
metabolisme dan homeostatis ion sel otak, hemodinamika intrakranial dan
kompartement CSS yang dimulai segera setelah trauma tetapi tidak tampak secara
klinis segera setelah trauma. Cedera otak sekunder ini disebabkan oleh banyak
faktor antara lain kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah otak (ADO),
gangguan metabolisme dan homeostatis ion sel otak, gangguan hormonal,
pengeluaran neurotransmitter dan reactive oxygen species (ROS), infeksi dan
asidosis. Kelainan utama ini meliputi perdarahan intrakranial, edema otak,
peningkatan tekanan intrakranial dan kerusakan otak.

2.1.6 Faktor Resiko

Faktor-faktor yang berhubungan dengan penurunan angka survival meliputi nilai


GCS rendah, usia lanjut, dijumpainya hematom intrakranial dan keadaan sistemik
lain yang memperberat keadaan cedera kepala.

2.1.7 Pemeriksaan Awal pada Trauma Kapitis

Pemeriksaan pada trauma kapitis menurut Greaves dan Johnson (2002) antara
lain:
12

1. Pemeriksaan kesadaran

Pemeriksaan kesadaran paling baik dicapai dengan menggunakan Glasgow Coma


Scale (GCS). GCS merupakan sistem skoring yang didasari pada tiga pengukuran,
yaitu : pembukaan mata, respon motorik, dan respon verbal. Skor dari masing-
masing komponen dijumlahkan dan memberikan total nilai GCS. Nilai terendah
adalah 3 sedangkan nilai tertinggi adalah 15.

2. Pemeriksaan Pupil

Pupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi terhadap cahaya.
Perbedaan diameter antara dua pupil yang lebih besar dari 1 mm adalah abnormal.
Pupil yang terfiksir untuk dilatasi menunjukkan adanya penekanan terhadap saraf
okulomotor ipsilateral. Respon yang terganggu terhadap cahaya bisa merupakan
akibat dari cedera kepala.

3. Pemeriksaan Neurologis

Pemeriksaan neurologis dilaksanakan terhadap saraf kranial dan saraf perifer.


Tonus, kekuatan, koordinasi, sensasi dan refleks harus diperiksa dan semua
hasilnya harus dicatat

4. Pemeriksaan Scalp dan Tengkorak

Scalp harus diperiksa untuk laserasi, pembengkakan, dan memar. Kedalaman


leaserasi dan ditemukannya benda asing harus dicatat. Pemeriksaan tengkorak
dilakukan untuk menemukan fraktur yang bisa diduga dengan nyeri,
pembengkakan, dan memar.

2.1.8. Prosedur Imaging dalam Diagnosa Trauma Kapitis

a. X-ray Tengkorak

Peralatan diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi fraktur dari dasar


tengkorak atau rongga tengkorak. CT scan lebih dipilih bila dicurigai terjadi
13

fraktur karena CT scan bisa mengidentifikasi fraktur dan adanya kontusio atau
perdarahan. X-Ray tengkorak dapat digunakan bila CT scan tidak ada.

b. CT-Scan

Penemuan awal computed tomography scanner ( CT Scan ) penting dalam


memperkirakan prognosa cedera kepala berat. Suatu CT scan yang normal pada
waktu masuk dirawat pada penderita-penderita cedera kepala berat berhubungan
dengan mortalitas yang lebih rendah dan penyembuhan fungsional yang lebih baik
bila dibandingkan dengan penderita-penderita yang mempunyai CT scan
abnormal. Hal di atas tidaklah berarti bahwa semua penderita dengan CT scan
yang relatif normal akan menjadi lebih baik, selanjutnya mungkin terjadi
peningkata TIK dan dapat berkembang lesi baru pada 40% dari penderita. Di
samping itu pemeriksaan CT scan tidak sensitif untuk lesi di batang otak karena
kecilnya struktur area yang cedera dan dekatnya struktur tersebut dengan tulang di
sekitarnya. Lesi seperti ini sering berhubungan dengan outcome yang buruk.

c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga sangat berguna di dalam menilai


prognosa. MRI mampu menunjukkan lesi di substantia alba dan batang otak yang
sering luput pada pemeriksaan CT Scan. Ditemukan bahwa penderita dengan lesi
yang luas pada hemisfer, atau terdapat lesi batang otak pada pemeriksaan MRI,
mempunyai prognosa yang buruk untuk pemulihan kesadaran, walaupun hasil
pemeriksaan CT Scan awal normal dan tekanan intrakranial terkontrol baik.
Pemeriksaan Proton Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) menambah
dimensi baru pada MRI dan telah terbukti merupakan metode yang sensitif untuk
mendeteksi Cedera Akson Difus (CAD). Mayoritas penderita dengan cedera
kepala ringan sebagaimana halnya dengan penderita cedera kepala yang lebih
berat, pada pemeriksaan MRS ditemukan adanya CAD di korpus kalosum dan
substantia alba. Kepentingan yang nyata dari MRS di dalam menjajaki prognosa
cedera kepala berat masih harus ditentukan, tetapi hasilnya sampai saat ini dapat
14

menolong menjelaskan berlangsungnya defisit neurologik dan gangguan kognitif


pada penderita cedera kepala ringan.

2.1.9 Prognosis

Glasgow outcome scale (GOS) merupakan skala paling umum digunakan untuk
menilai hasil akhir pada cedera kepala. GOS dikelompokkan dalam lima kategori,
yaitu: mati, persistent vegetative state, ketidakmampuan yang berat,
ketidakmampuan sedang dan kesembuhan yang baik. Penilaian secara tepat
diperoleh pada 3, 6, dan 12 bulan setelah cedera kepala. Skala penilaian prognosis
Glasglow terdiri atas lima kategori:

1. Pemulihan baik (good recovery=GR) diberi nilai 5. Pasien dapat berpartisipasi


pada kehidupan sosial, kembali bekerja seperti biasa. Pemeriksaan ini dapat
disertai komplikasi neurologis ringan, seperti defisit minor saraf kranial dan
kelemahan ekstremitas atau sedikit gangguan pada uji kognitif atau perubahan
personal.

2. Ketidakmampuan sedang (Moderate disability = MD, independent but disabled)


diberi nilai 4. Kondisi pasien jelas berbeda sebelum cedera dan mampu
menggunakan transportasi umum, tetapi tidak dapat bekerja seperti biasa. Pasien
defisit memori, perubahan personal, hemiparesis, disfasia, ataksia, epilepsi pasca
traumatika, atau defisit mayor saraf kranial. Derajat ketergantungan pasien pada
orang lain lebih baik dibandingkan dengan lansia dan kemampuan kebutuhan
personal sehari-hari dapat dikerjakan tetapi, mobilitas dan kapasitas berinteraksi
tidak dapat dilakukan tanpa asisten.

3. Ketidakmampuan berat (Severe disability = SD, conscious but dependent)


diberi nilai 3. Pasien mutlak bergantung pada orang lain setiap saat (memakai
baju, makan, dan lain-lain), paralisis spastik, disfasia, disatria, defisit fisik dan
mental yang mutlak memerlukan supervisi perawat ataupun keluarga.

4. Persistent Vegetative State=PVS diberi nilai 4. Pasien hanya mampu menuruti


perintah ringan saja atau bicara sesaat. Pada perawatan sering ditemukan grasping
15

reflek, withdrawal sebagai pencerminan menuruti perintah, mengerang, menangis,


kadang mampu mengatakan tidak sebagai bukti proses kembali berbicara.

5. Meninggal dunia (death) diberi nilai 1. Pada tahun 1981 Jennet menelaah dan
memodifikasi ulang skala GOS karena masalah sensitivitas statistik dan
penggunaan yang lebih praktis pada uji klinis obat neuroproteksi, yaitu distribusi
bimodal (dikotomisasi) antara hidup (GR, MD, SD) dan mati (PVS, Death) dan
penilaian ekstensi (GOS Extended).
16

BAB III

KESIMPULAN

Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara


langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologi
yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun
permanen.

Berdasarkan Advanced Traumatic Life Support (ATLS, 2014) cedera


kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi
klasifikasi, yaitu berdasarkan; mekanisme, beratnya cedera, dan morfologi.

Pemeriksaan Awal pada Trauma Kapitis:1. Pemeriksaan kesadaran 2.


Pemeriksaan Pupil 3. Pemeriksaan Neurologis 4. Pemeriksaan Scalp dan
Tengkorak. Prosedur Imaging dalam Diagnosa Trauma Kapitis a. X-ray
Tengkorak. b. CT-Scan. c. Magnetic Resonance Imaging (MRI). Glasgow
outcome scale (GOS) merupakan skala paling umum digunakan untuk menilai
hasil akhir pada cedera kepala.
17

DAFTAR PUSTAKA

American College of Surgeon Committee on Trauma. 2004. Advanced Trauma


Life Support for Doctors 7th Ed. 663 N. Saint Clair St, Chicago.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.


2013. Riset Kesehatan Dasar 2013 .

Biros MH, Heegaard WG. 2009. Head injury. In: Marx JA, ed. Rosen’s
Emergency Medicine: Concepts and Clinical Practice. 7th ed. Philadelphia, PA:
Elsevier Mosby: chap 38.

George D. 2009. Panduan Praktis Diagnosis & Tatalaksana Penyakit Saraf.


Jakarta. EGC.

Gilroy, John. 2000. Basic of Neurology. Mc Graw Hill Professional.

Japardi, I, 2010. Cedera Kepala. PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia,


Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai