Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

BUDAYA AKADEMIK

DISUSUN OLEH:

ARISA MARDIANI (180500155)

CHAIRUNISA T.A MASAOLY (180500120)

DANANG DARMAWAN (180500121)

DEBBY VITARA (180500122)

UNIVERSITAS ALMA ATA

YOGYAKARTA

2018/2019
BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Tujuan dan arah pendidikan Tinggi di Indonesia seperti yang tertuang pada Bab II pasal 2 Keputusan
Menteri Pendidikan No.232/U/2000 adalah menyiapkan peserta didik untuk menjadi anggota
masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dalam menerapkan, mengembangkan, dan/atau
memperkaya kasanah ilmu pengetahuan, teknologi dan atau kesenian, serta menyebarluaskan dan
mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan dan memperkaya kebudayaan
nasional. Ini berarti kinerja akademik dituntut dilaksanakan secara kompetitif dengan kualitas unggul.
Kinerja akademik yang tidak berorientasi pada kualitas unggul, tidak saja akan tertinggal dalam
persaingan tetapi juga akan bergantung pada dunia luar yang lebih maju.

Perubahan lingkungan dan masyarakat baik yang disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal,
membawa dampak pada perubahan di bidang pendidikan nasional pada umumnya dan Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik. Perkembangan masyarakat yang semakin komplek menuntut Perguruan tinggi
memiliki dan mengembangkan budaya akademik yang dapat membentuk mahasiswa agar memiliki
jatidiri dan kompetensi dibidangnya. Menurut Tylor, sebagai mana dikutip oleh Brown (1871),
budaya adalah ”the complex whole which includes knowledge, belief, art, morals, law, custom, and
any other capabilities and habits acquired by man as a member of society” (sekumpulan pengetahuan,
keyakinan, seni, moral, hukum, adat, kapabilitas, dan kebiasaan yang diperoleh seseorang sebagai
anggota sebuah perkumpulan atau komunitas tertentu). Dengan demikian budaya akademik berarti
apa yang dipelajari oleh mahasiswa selama periode waktu tertentu dari Universitas, Fakultas atau
Jurusannya. Pengembangan budaya akademik ini didasarkan atas dua tantangan yang selalu dihadapi
oleh pendidikan tinggi dalam penyelenggaraan pendidikannya yaitu tantangan yang bersifat internal
dan eksternal.

Tantangan faktor internal menunjuk pada adanya perubahan sumberdaya manusia hasil didikan
Perguruan Tinggi yang semata-mata tidak hanya berdasarkan pada persyaratan penguasaan ilmu dan
ketrampilan, tetapi juga pada persyaratan sikap dan semangat belajar, pengenalan bidang lapangan
pekerjaan dan kepercayaan masyarakat terhadap pendidikannya

serta adanya semangat otonomi sesuai dengan UU No.32 tahun 2004. Sedangkan tantangan yang
bersifat eksternal menunjuk pada adanya persaingan tenaga kerja yang menglobal, tuntutan
pendidikan tinggi yang humanis, internasionalisasi pendidikan yang bersifat lintas negara yang dalam
era globalisasi disebut dengan istilah 'etnoscapes'.Guna mencapai tujuan pendidikan, salah satu fator
penting dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi harus didukung oleh sistem organisasi pendidikan
yang baik, sarana dan prasarana yang memadai (kualiatas SDM dan fasilitas yang dibutuhkan untuk
mendukung proses belajar dan mengajar), juga dipengaruhi oleh fator kurikulum yang tepat.

Kehidupan dan kegiatan akademik diharapkan selalu berkembang, bergerak maju bersama dinamika
perubahan dan pembaharuan sesuai tuntutan zaman. Perubahan dan pembaharuan dalam kehidupan
dan kegiatan akademik menuju kondisi yang ideal senantiasa menjadi harapan dan dambaan setiap
insan yang mengabdikan dan mengaktualisasikan diri melalui dunia pendidikan tinggi dan penelitian,
terutama mereka yang menggenggam idealisme dan gagasan tentang kemajuan. Perubahan dan
pembaharuan ini hanya dapat terjadi apabila digerakkan dan didukung oleh pihak-pihak yang saling
terkait, memiliki komitmen dan rasa tanggungjawab yang tinggi terhadap perkembangan dan
kemajuan budaya akademik.
B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa pengertian budaya akademik?

2. Bagaimana membangun budaya akademik?

3. Bagaimana konsep dan ciri-ciri perkembangan budaya akademik?

4. Seperti apa tradisi akademik itu?

5. Bagaimana kebebasan akademik itu?

6. Bagaimana kesadaran kritis dan budaya akademik itu?

C. TUJUAN PENULISAN

1. Mengetahui pengertian budaya akademik

2. Mengetahui bagaimana membangun budaya akademik

3. Mengetahui bagaimana konsep dan ciri-ciri perkembangan budaya akademik

4. Mengetahui seperti apa tradisi akademik itu

5. Mengetahui bagaimana kebebasan akademik itu

6. Mengetahui bagaimana kesadaran kritis dan budaya akademik itu


II. PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN BUDAYA AKADEMIK

Pengertian Budaya

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang
dan diwariskan dari generasi ke generasi.

Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak
aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan
meliputi banyak kegiatan sosial manusia.

Pengertian Akademik

Akademik adalah keadaan dimana orang-orang bisa menyampaikan dan menerima gagasan,
pemikiran, ilmu pengetahuan, dan sekaligus dapat mengujinya secara jujur, terbuka, dan leluasa.
Dalam hal ini yaitu institusi pendidikan.

Pengertian Budaya Akademik

Pengertian Budaya Akademik adalah adalah budaya yang dihasilkan oleh suatu komunitas yang
tindakannya didasari atas hasil ilmiah teknis dan mampu menjelaskan tindakannya itu atas dasar
logika dan ilmu pengetahuan.

Warga dari suatu akademik adalah insan-insan yang memiliki wawasan dan integritas ilmiah. Oleh
karena itu, masyarakat akademik harus senantiasa mengembangkan budaya ilmiah yang merupakan
esensi pokok dari aktivitas akademik.

Dunia akademik memiliki budaya tersendiri yang disebut budaya akademik (Academic culture),
dimana segenap nilai (value) dalam dunia akademik termuat dalam etika akademik.

B. MEMBANGUN BUDAYA AKADEMIK

Di tahun 1997 yang lalu, masalah budaya akademik yang cenderung sulit berkembang di perguruan
tinggi Indonesia, telah menjadi topik perbincangan. Beberapa pakar pendidikan meyakini bahwa
kemunduran kultur akademik bukan hanya karena pengaruh birokrasi pendidikan tetapi juga akibat
keadaan internal perguruan tinggi itu sendiri. Di antaranya yang menjadi bahan polemik adalah
masalah mataramisme yang mendarah daging dalam interaksi sosiologis di setiap perguruan tinggi.

Hak milik yang paling berharga bagi suatu perguruan tinggi adalah kebebasan, otonomi, dan budaya
akademik (academic culture). Milik yang paling berharga ini menyadarkan kita akan misi undang-
undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, peraturan pemerintah nomor 60
tahun 1999 tentang pendidikan tinggi dan PP nomor 61 tahun 1999 tentang pergruruan tinggi negeri
sebagai badan hukum (BHMN). Landasan konstiutusional itu merupakan nilai yang harus dijaga,
dibangun, dan dikembangkan secera terencana, terarah, dan berkesinambungan. Dalam hal ini,
perguruan tinggi mempunyai karakteristik yang khas dan harus menjadi panutan pihak luar.
Budaya akademik sebagai suatu subsistem perguruan tinggi memegang peranan penting dalam upaya
membangun dan mengembangkan kebudayaan dan peradaban masyarakat (civilized society) dan
bangsa secara keseluruhan. Indikator kualitas PT sekarang dan terlebih lagi pada milenium ketiga ini
akan ditentukan oleh kualitas civitas akademika dalam mengembangkan dan membangun budaya
akademik ini.

Jika sosialisasi tersebut dilakukan secara kontinu, maka ia akan menjadi sebuah tradisi dan budaya
bagi individu-individu dalam masyarakat kampus. Norma-norma akademik merupakan hasil dari
proses belajar dan latihan dan bukan merupakan bawaan lahir.

Bagi dosen, untuk mencapai derajat akademik guru besar, ia harus membudayakan dirinya untuk
melakukan tindakan akademik pendukung tercapainya derajat guru besar itu. Ia harus melakukan
kegiatan pendidikan dan pengajaran dengan segala perangkatnya dengan baik, dengan terus memburu
referensi mutakhir. Ia harus melakukan penelitian untuk mendukung karya ilmiah, menulis di jurnal-
jurnal ilmiah, mengikuti seminar dalam berbagai tingkat dan forum, dan lain-lain. Ia juga harus
melakukan pengabdian pada masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan
kesejahteraan masyarakat.

Bagi mahasiswa, faktor-faktor yang dapat menghasilkan prestasi akademik itu ialah terprogramnya
kegiatan belajar, kiat untuk memburu referensi aktual dan mutakhir, diskusi substansial akademik, dan
sebagainya. Dengan melakukan aktivitas seperti itu diharapkan dapat dikembangkan budaya mutu
(quality culture) yang secara bertahap dapat menjadi kebiasaan dalam perilaku tenaga akademik dan
mahasiswa dalam proses pendidikan di perguruan tinggi.

Oleh karena itu, tanpa melakukan kegiatan-kegiatan akademik, mustahil seorang akademisi akan
memperoleh nilai-nilai normatif akademik. Boleh jadi ia mampu berbicara tentang norma dan nilai-
nilai akademik tersebut di depan forum namun tanpa proses belajar dan latihan norma-norma itu tidak
pernah terwujud dalam praktik kehidupan sehari-hari. Bahkan sebaliknya, ia tidak segan-segan
melakukan pelanggaran dalam wilayah tertentu -- baik disadari maupun tidak disadari.

Mungkin juga yang terjadi nilai-nilai akademik hanya menyentuh ranah kognitif, tidak sampai
menyentuh ranah afektif dan psikomotorik. Fenomena semacam ini dapat saja terjadi pada seorang
akademisi, yang selamanya hanya menitipkan nama dalam melaksanakan kuliah, penulisan karya
ilmiah, penelitian, pengabdian masyarakat, dan akhir-akhir ini sering terjadi pembelian gelar
akademik yang tidak jelas juntrungnya.

Kiranya, dengan mudah disadari bahwa PT berperan secara instrumental dalam mewujudkan upaya
dan pencapaian budaya akademik tersebut. Perguruan tinggi merupakan wadah pembinaan
intelektualitas dan moralitas yang mendasari kemampuan penguasaan ipteks dan budaya dalam
pengertian yang luas.

Sebagaimana tersurat dalam PP No. 60 Tahun 1999 pasal 2 bahwa PT sebagai subsistem pendidikan
nasional mempunyai misi sebagai berikut: (1) menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat
yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan,
dan/atau menciptakan ipteks; (2) mengembangkan dan menyebarluaskan ipteks serta mengupayakan
penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan
nasional.

Peranan pengembangan kebudayaan ini bukan hanya tercermin dalam kesempatan sivitas akademika
untuk mempelajari dan mengapresiasi budaya pertunjukan melainkan juga pengembangan dan
apresiasi budaya perilaku intelektual dan moral masyarakat akademik dalam menyongsong keadaan
masa depan.

Pembinaan dan pengembangan apresiasi disiplin, rasa tanggung jawab, keinginan menghasilkan suatu
karya inovatif dan kreatif yang terbaik dan sebagainya seringkali dengan efektif diwujudkan melalui
pengembangan contoh keteladanan. Keinginan menghasilkan sesuatu yang lebih baik, terjadinya
suasana dan budaya akademik sesama sivitas akademika dan sebagainya dapat menumbuhkan dan
mengembangkan kesadaran internal pada masing-masing sivitas akademika.

C. KONSEP DAN CIRI-CIRI PERKEMBANGAN BUDAYA AKADEMIK

Budaya Akademik adalah “Budaya atau sikap hidup yang selalu mencari kebenaran ilmiah melalui
kegiatan akademik dalam masyarakat akademik, yang mengembangkan kebebasan berpikir,
keterbukaan, pikiran kritis-analitis; rasional dan obyektif oleh warga masyarakat akademik” Konsep
dan pengertian tentang Budaya Akademik tersebut didukung perumusan karakteristik
perkembangannya yang disebut “Ciri-Ciri Perkembangan Budaya Akademik” yang meliputi
berkembangnya:

1. Penghargaan terhadap pendapat orang lain secara obyektif;


2. Pemikiran rasional dan kritis-analitis dengan tanggungjawab moral;
3. Kebiasaan membaca;
4. Penambahan ilmu dan wawasan;
5. Kebiasaan meneliti dan mengabdi kepada masyarakat;
6. Penulisan artikel, makalah, buku;
7. Diskusi ilmiah;
8. Proses belajar-mengajar, dan
9. Manajemen perguruan tinggi yang baik

D. TRADISI AKADEMIK

Tradisi Akademik adalah “Tradisi yang menjadi ciri khas kehidupan masyarakat akademik dengan
menjalankan proses belajar-mengajar antara dosen dan mahasiswa; menyelenggarakan penelitian dan
pengabdian kepada masyarakat, serta mengembangkan cara-cara berpikir kritis-analitis, rasional dan
inovatif di lingkungan akademik.”

Perguruan tinggi sebagai suatu institusi dalam masyarakat memiliki ciri khas tersendiri di samping
lapisan-lapisan masyarakat lainnya. Warga dari suatu perguruan tinggi adalah insan-insan yang
memiliki wawasan dan integritas ilmiah. Oleh karena itu masyarakat akademik harus senantiasa
mengembangkan budaya ilmiah yang merupakan esensi pokok dari aktivitas perguruan tinggi
(Kaelan, 2004). Terdapat sejumlah ciri masyarakat ilmiah yang harus dikembangkan dan merupakan
budaya dari suatu masyarakat akademik, yang terdiri dari :

1. Kritis, yang berarti setiap insan akademis harus senantiasa mengembangkan sikap ingin tahu segala
sesuatu untuk selanjutnya diupayakan jawaban dan pemecahannya melalui suatu kegiatan ilmiah
penelitian.

2. Kreatif, yang berarti setiap insan akademis harus senantiasa mengembangkan sikap inovatif,
berupaya untuk menemukan sesuatu yang baru dan bermanfaat bagi masyarakat.
3. Obyektif, yang berarti kegiatan ilmiah yang dilakukan harus benar-benar berdasarkan pada suatu
kebenaran ilmiah, bukan karena kekuasaan, uang atau ambisi pribadi.

4. Analitis, yang berarti suatu kegiatan ilmiah harus dilakukan dengan suatu metode ilmiah yang
merupakan suatu prasyarat untuk tercapainya suatu kebenaran ilmiah.

5. Konstruktif, yang berarti suatu kegiatan ilmiah yang merupakan budaya akademik harus benar-
benar mampu mewujudkan suatu karya baru yang memberikan asas kemanfaatan bagi masyarakat.

6. Dinamis, yang berarti ciri ilmiah sebagai budaya akademik harus dikembangkan terus-menerus.

7. Dialogis, artinya dalam proses transformasi ilmu pengetahuan dalam masyarakat akademik harus
memberikan ruang pada peserta didik untuk mengembangkan diri, melakukan kritik serta
mendiskusikannya.

8. Menerima kritik, ciri ini sebagai suatu konsekuensi suasana dialogis yaitu setiap insan akademik
senantiasa bersifat terbuka terhadap kritik.

9. Menghargai prestasi ilmiah/akademik, masyarakat intelektual akademik harus menghargai prestasi


akademik, yaitu prestasi dari suatu kegiatan ilmiah.

10. Bebas dari prasangka, yang berarti budaya akademik harus mengembangkan moralitas ilmiah
yaitu harus mendasarkan kebenaran pada suatu kebenaran ilmiah.

11. Menghargai waktu, yang berarti masyarakat intelektual harus senantiasa memanfaatkan waktu
seefektif dan seefisien mungkin, terutama demi kegiatan ilmiah dan prestasi.

12. Memiliki dan menjunjung tinggi tradisi ilmiah, yang berarti masyarakat akademik harus benar-
benar memiliki karakter ilmiah sebagai inti pokok budaya akademik.

13. Berorientasi ke masa depan, artinya suatu masyarakat akademik harus mampu mengantisipasi
suatu kegiatan ilmiah ke masa depan dengan suatu perhitungan yang cermat, realistis dan rasional.

14. Kesejawatan/kemitraan, artinya suatu masyarakat ilmiah harus memiliki rasa persaudaraan yang
kuat untuk mewujudkan suatu kerja sama yang baik.

E. KEBEBASAN AKADEMIK

Pengertian tentang “Kebebasan Akademik” adalah Kebebasan yang dimiliki oleh pribadi-pribadi
anggota sivitas akademika (mahasiswa dan dosen) untuk bertanggungjawab dan mandiri yang
berkaitan dengan upaya penguasaan dan pengembangan Iptek dan seni yang mendukung
pembangunan nasional. Kebebasan akademik meliputi kebebasan menulis, meneliti, menghasilkan
karya keilmuan, menyampaikan pendapat, pikiran, gagasan sesuai dengan bidang ilmu yang ditekuni,
dalam kerangka akademis (Kistanto, et. al., 2000: 86).

“Kebebasan Akademik” berurat-berakar mengiringi tradisi intelektual masyarakat akademik –tetapi


kehidupan dan kebijakan politik acapkali mempengaruhi dinamika dan perkembangannya. Dalam
rezim pemerintahan yang otoriter, kiranya kebebasan akademik akan sulit berkembang. Dalam
kepustakaan internasional kebebasan akademik dipandang sebagai inti dari budaya akademik dan
berkaitan dengan kebebasan berpendapat (lihat CODESRIA 1996, Forum 1994, Daedalus Winter
1997, Poch 1993, Watch 1998, Worgul 1992).

Dalam masyarakat akademik di Indonesia, kebebasan akademik yang berkaitan dengan kebebasan
berpendapat telah mengalami penderitaan yang panjang, selama puluhan tahun diwarnai oleh
pelarangan dan pembatasan kegiatan akademik di era pemerintahan Suharto (lihat Watch 1998). Kini
kebebasan akademik telah berkembang seiring terjadinya pergeseran pemerintahan dari Suharto
kepada Habibie, dan makin berkembang begitu bebas pada pemerintahan Abdurrahman Wahid,
bahkan hampir tak terbatas dan “tak bertanggungjawab,” sampai pada pemerintahan Megawati, yang
makin sulit mengendalikan perkembangan kebebasan berpendapat. Selain itu, kebebasan akademik
kadangkala juga berkaitan dengan sikap-sikap dalam kehidupan beragama yang pada era dan
pandangan keagamaan tertentu menimbulkan hambatan dalam perkembangan kebebasan akademik,
khususnya kebebasan berpendapat.

Dapat dikatakan bahwa kebebasan akademik suatu masyarakat-bangsa sangat tergantung dan
berkaitan dengan situasi politik dan pemerintahan yang dikembangkan oleh para penguasa.
Pelarangan dan pembatasan kehidupan dan kegiatan akademik yang menghambat perkembangan
kebebasan akademik pada lazimnya meliputi

1. Penerbitan buku tertentu;


2. Pengembangan studi tentang ideologi tertentu; dan
3. Pengembangan kegiatan kampus, terutama demonstrasi dan diskusi yang bertentangan
dengan ideologi dan kebijakan pemerintah atau negara.

F. KESADARAN KRITIS DAN BUDAYA AKADEMIK

Merujuk pada redaksi UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Bab VI bagian ke empat pasal 19
bahwasanya mahasiswa itu sebenarnya hanya sebutan akademis untuk siswa/ murid yang telah sampai
pada jenjang pendidikan tertentu dalam masa pembelajarannya. Sedangkan secara harfiah,
mahasiswa” terdiri dari dua kata, yaitu Maha yang berarti tinggi dan Siswa yang berarti subyek
pembelajar sebagaimana pendapat Bobbi de porter, jadi kaidah etimologis menjelaskan pengertian
mahasiswa sebagai pelajar yang tinggi atau seseorang yang belajar di perguruan tinggi/ universitas.

Namun jika kita memaknai mahasiswa sebagai subyek pembelajar saja, amatlah sempit sebab meski
diikat oleh suatu definisi study, akan tetapi mengalami perluasan makna mengenai eksistensi dan
peran yang dimainkandirinya. Kemudian pada perkembangan selanjutnya, mahasiswa tidak lagi
diartikan hanya sebatas subyek pembelajar (study), akan tetapi ikut mengisi definisi learning.
Mahasiswa adalah seorang pembelajar yang tidak hanya duduk di bangku kuliah kemudian mende
ngarkan tausiyah dosen, lalu setelah itu pulang dan menghapal di rumah untuk menghadapi ujian
tengah semester atau Ujian Akhir semester. Mahasiswa dituntut untuk menjadi seorang simbol
pembaharu dan inisiator perjuangan yang respect dan tanggap terhadap isu-isu sosial serta
permasalahan umat manusia.

Apabila kita melakukan kilas balik, melihat sejarah, peran mahasiswa acapkali mewarnai perjalanan
bangsa Indonesia, mulai dari penjajahan hingga kini masa reformasi mahasiswa bukan hanya
menggendong tas yang berisi buku, tapi mahasiswa turut angkat senjata demi kedaulatan bangsa
Indonesia. Dan telah menjadi rahasia umum, bahwasanya mahasiswa lah yang menjadi pelopor
restrukturisasi tampuk kepemimpinan NKRI pada saat reformasi 1998. Peran yang diberikan
mahasiswa begitu dahsyat, sehingga sendi-sendi bangsa yang telah rapuh, tidak lagi bisa ditutup-
tutupi oleh rezim dengan status quonya, tetapi bisa dibongkar dan dihancurkan oleh Mahasiswa.

Mencermati alunan sejarah bangsa Indonesia, hingga kini tidak terlepas dari peran mahasiswa, oleh
karena itu mahasiswa dapat dikategorikan sebagai Agent of social change (Istilah August comte)
yaitu perubah dan pelopor ke arah perbaikan suatu bangsa. Kendatipun demikian, paradigma
semacam ini belumlah menjadi kesepakatan bersama antar mahasiswa (Plat form), sebab masih ada
sebagian madzhab mahasiswa yang apriori ( cuek ) terhadap eksistensi dirinya sebagai seorang
mahasiswa, bahkan ia tak mau tahu menahu tentang keadaan sekitar lingkungan masyarakat ataupun
sekitar lingkungankampusnya sendiri. Yang terpenting buat mereka adalah duduk dibangku kuliah
menjadi kambing conge dosen, lantas pulang duluan ke rumah.

Inikah mahasiswa? Padahal, mahasiswa adalah sosok yang semestinya kritis, logis, berkemauan
tinggi, respect dan tanggap terhadap permasalahan umat dan bangsa, mau bekerja keras, belajar terus
menerus, mempunyai nyali (keberanian yang tinggi) untuk menyatakan kebenaran, aplikatif di
lingkungan masyarakat serta spiritualis dan konsisten dalam mengaktualisasikan nilai-nilai ketauhi
dan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Dengan Konsep itulah, mahasiswa semestinya bergerak dan menyadari dirinya akan eksistensi ke-
mahahasiswaan nya itu. Belajar tidaklah hanya sebatas mengejar gelar akademis atau nilai indeks
prestasi ( IP ) yang tinggi dan mendapat penghargaan cumlaude, lebih dari itu mahasiswa harus
bergerak bersama rakyat dan pemerintah untuk membangun bangsa, atau paling tidak dalam lingkup
yang paling mikro, ada suatu kemauan untuk mengembangkan civitas/ perguruan tinggi dimana ia
kuliah. Misalnya dengan ikut serta/ aktif di Organisasi Mahasiswa, baik itu Organisasi intra kampus (
BEM dan UKM ) ataupun Organisasi Ekstra kampus, serta aktif dalam kegiatan-kegiatan lain yang
mengarah pada pembangunan bangsa.
BAB III
PENUTUP
SIMPULAN

Budaya Akademik dapat dipahami sebagai suatu totalitas dari kehidupan dan kegiatan akademik yang
dihayati, dimaknai dan diamalkan oleh warga masyarakat akademik, di lembaga pendidikan tinggi
dan lembaga penelitian. Membangun budaya akademik bukan perkara yang mudah. Diperlukan upaya
sosialisasi terhadap kegiatan akademik, sehingga terjadi kebiasaan di kalangan akademisi untuk
melakukan norma-norma kegiatan akademik tersebut.

Di tahun 1997 yang lalu, masalah budaya akademik yang cenderung sulit berkembang di perguruan
tinggi Indonesia, telah menjadi topik perbincangan. Beberapa pakar pendidikan meyakini bahwa
kemunduran kultur akademik bukan hanya karena pengaruh birokrasi pendidikan tetapi juga akibat
keadaan internal perguruan tinggi itu sendiri. Di antaranya yang menjadi bahan polemik adalah
masalah mataramisme yang mendarah daging dalam interaksi sosiologis di setiap perguruan tinggi.

Tradisi Akademik adalah “Tradisi yang menjadi ciri khas kehidupan masyarakat akademik dengan
menjalankan proses belajar-mengajar antara dosen dan mahasiswa; menyelenggarakan penelitian dan
pengabdian kepada masyarakat, serta mengembangkan cara-cara berpikir kritis-analitis, rasional dan
inovatif di lingkungan akademik.”

Perguruan tinggi sebagai suatu institusi dalam masyarakat memiliki ciri khas tersendiri di samping
lapisan-lapisan masyarakat lainnya. Warga dari suatu perguruan tinggi adalah insan-insan yang
memiliki wawasan dan integritas ilmiah. Oleh karena itu masyarakat akademik harus senantiasa
mengembangkan budaya ilmiah yang merupakan esensi pokok dari aktivitas perguruan tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

http://anshar-mtk.blogspot.com/2013/02/perkembangan-budaya-akademik-di.html

http://gandhi-lubis.blogspot.com/

Anda mungkin juga menyukai