Anda di halaman 1dari 17

ISLAMIC ECONOMIC SOCIALIZATION

IN PLURAL SOCIETY
Oleh: Ummi Kalsum
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Kendari
Email: kalsumummi75@gmail.com

Abstract: Islamic economic socialization in plural society


explains the Islamic economy which is believed to be the
economic solution faced today is socialized in the historical
context there are two missing links in the history of economic
thought, the great gap in the dark age and the link between
thought in the West and the Islamic world. On the other side of
the Islamic Economy is also superior seen from its
comprehensive, universal and non-discriminatory teachings.
From the side of the object, considering that Indonesia is Muslim
majority, the socialization of Islamic economics itself is relatively
easier with religious sentiments approach, while if in the context
of Indonesian-ness approach 33, 27 and 34 of the 1945
Constitution, in order to be accepted by both Muslims and non-
Muslims, The superiority of the Islamic economic concept itself
that rahmatan lil alamin.

Abstrak: Islamic economic sosialization in plural society


menjelaskan Ekonomi Islam yang diyakini sebagai solusi ekonomi
yang dihadapi saat ini disosialisasikan dalam konteks historis
terdapat dua missing link dalam sejarah pemikiran ekonomi,
yaitu great gap pada masa dark age dan kaitan antara pemikiran
di Barat dan dunia Islam. Di sisi lain Ekonomi Islam juga unggul
dilihat dari ajarannya yang komprehensif, universal dan tidak
diskriminaif. Dari sisi objek, mengingat Indonesia mayoritas
muslim maka sosialisasi ekonomi Islam itu sendiri relatif lebih
mudah dengan pendekatan sentimen keagamaan sementara jika
dalam konteks keindonesiaan pendekatannya pasal 33, 27 dan
34 UUD 1945, agar bisa diterima masyarakat baik muslim
maupun non muslim, di samping dari segi keunggulan dari
konsep ekonomi Islam itu sendiri yang rahmatan lil alamin.

Keywords: Islamic Economic, Socialization, Plural Society


Pendahuluan:
Lebih dari satu abad sistem ekonomi modern (konvensional)
melayani kepentingan manusia dalam memenuhi kebutuhan atau
kepuasan mereka sehingga memerlukan kerja keras untuk
mewujudkan sistem ekonomi yang adil. Hal ini diperlukan karena
2

teori-teori ekonomi yang ada terbukti tidak mampu mewujudkan


ekonomi global yang berkeadilan dan berkeadaban. Malah yang
terjadi adalah dikotomi antara kepentingan individu, masyarakat
dan negara, serta hubungan antar negara. Selain itu, juga tidak
mampu menyelesaikan masalah kemiskinan dan ketimpangan
sosial, tidak mampu menyelaraskan hubungan antar regional di
suatu negara, antar negara-negara di dunia. Lebih parahnya lagi
dengan terabaikannya pelestarian sumber daya alam (non-
renewable resources), (Sarkaniputra, 2004; 6, Amalia, 2009; 93).
Karenanya para pakar ekonomi mutakhir mengkritik tajam atas
kegagalan sistem ekonomi global, diantaranya dari pakar ekonomi
konvensional sendiri yang memahami konteks budaya Asia, Gunnar
Myrdal (Swedia), Hla Myint (Burma/Myanmar), Amartya Sen (India),
Amitai Etzioni. Demikian pula para tokoh dari Indonesia, seperti
Sukadji Ranuwihardjo, Rukmono Markam, Mubyarto dan Sri Edi
Swasono. Sementara para pakar ekonom muslim tidak hanya
memberikan kritik tetapi juga berusaha mencoba melakukan
terobosan dengan membangun suatu pendekatan baru, suatu
disiplin ilmu baru yang dapat dikatakan sebagai ilmu ekonomi
Islam. Belakangan ekonomi Islam menjadi wacana yang semakin
berkembang di kalangan para ilmuwan sosial dan ilmuwan ekonomi
baik muslim maupun non muslim. Ilmu ekonomi Islam diyakini
merupakan solusi yang tepat untuk mengatasi persoalan ekonomi.
Tulisan ini akan mengekplor bagaimana mensosialisasikan
ekonomi Islam yang diyakini sebagai sebagai solusi ekonomi pada
masyarakat Indonesia yang plural. Dalam tulisan ini akan dibahas
pengertian ekonomi Islam itu sendiri, kemudian sekilas tentang
pluralisme, sosialisasinya pada masyarakat yang plural dan diakhiri
dengan ekonomi Islam dalam Pancasila dan UUD 1945.
Teori Ekonomi Islam
Ekonomi Islam dimaknai para pakar ekonom muslim dengan
tiga kemungkinan pemaknaan, yaitu; pertama, ekonomi Islam
3

adalah ilmu ekonomi yang berdasarkan nilai atau ajaran Islam.


Kedua, ekonomi Islam adalah sistem dan ketiga, perekonomian
umat Islam. Sistem, menyangkut pengaturan yaitu pengaturan
kegiatan ekonomi dalam suatu masyarakat atau Negara
berdasarkan suatu cara atau metode tertentu. Ketiga wilayah ini;
teori, sistem dan perekonomian umat Islam (aktivitas) menurut
Adiwarman Karim (Karim, 2003:11-15) merupakan pilar atau basis
yang harus bersinergi dalam upaya penegakan syariah dalam
bidang ekonomi Islam yang dilakukan secara akumulatif.
Upaya dalam mengkontsruksi teori ekonomi Islam dengan
merujuk kepada pendapat Mohammad Anas Zarka dalam
makalahnya ”Methodology of Islamic Economics” yang dikutip oleh
M. Dawam Rahardjo bahwa kategori atau tipe-tipe para ahli yang
dibutuhkan dalam ekonomi Islam terdiri dari tiga, yaitu (Rahardjo,
1999: 20) pertama, spesialisasi ilmu syariah yang memahami ilmu
ekonomi, yang diharapkan memberikan kontribusi terhadap aspek
normatif dalam area sistem ekonomi Islam dengan menemukan
prinsip-prinsip Islam di bidang ekonomi serta menjawab persoalan-
persoalan modern dalam sistem ekonomi. Kedua, Spesialisasi ilmu
ekonomi yang mengenal syariah diharapkan bisa melakukan
analisis ekonomi positif terhadap operasionalisasi sistem ekonomi
Islam. Ketiga, kategori spesialisasi mereka yang memiliki keahlian
dalam bidang syariah maupun ilmu ekonomi (Haneef, 1995: 11).
Sementara masalah-masalah dalam perekonomian
kontemporer dan aplikasinya membutuhkan kerjasama antara
kedua disiplin tersebut dan dari ketiga komponen kategori di atas
secara bersama-sama. Seperti untuk menciptakan produk
perbankan syariah yang bisa bersaing dengan produk-produk bank-
bank konvensional. Di samping itu umat Islam Indonesia pada
umumnya belum begitu familiar dengan ekonomi syariah yang
bebas bunga.
4

Sementara definisi ekonomi Islam itu dikemukakan para ahli


ekonomi muslim dengan berbagai pengertian sesuai dari sudut
pandang mereka, diantaranya; Monzer Kahf (Kahf, 1978: 16, Amalia,
2009: 114-115) mendefinisikan bahwa ekonomi Islam adalah bagian
dari ilmu ekonomi yang bersifat interdisipliner, dalam arti kajian
ekonomi Islam tidak dapat berdiri sendiri tetapi perlu penguasaan
yang baik terhadap ilmu-ilmu yang berfungsi sebagai tools of
analysis, seperti matematika, statistik, logika, ushul fiqh.
Definisi ekonomi Islam juga dikemukakan oleh para pakar
Ekonomi Islam kontemporer lainnya, seperti; Umer Chapra, Ekonomi
Islam adalah suatu cabang pengetahuan yang membantu
merealisasikan kesejahteraan manusia melalui suatu alokasi dan
distribusi sumber daya alam yang langka yang sesuai dengan
maqasid, tanpa mengekang kebebasan individu untuk menciptakan
keseimbangan makro ekonomi dan ekologi yang
berkeseinambungan, membentuk solidaritas keluarga sosial dan
jaringan moral masyarakat. Ekonomi Islam menurut S.M.
Hasanuzzaman adalah pengetahuan dan aplikasi dari ajaran dan
aturan syariah yang mencegah ketidakadilan dalam memperoleh
sumber-sumber daya material sehingga tercipta kepuasaan manusia
dan memungkinkan mereka menjalankan perintah Allah SWT dan
masyarakat. M. Nejatullah Siddiqi mendefinisikannya, ekonomi Islam
adalah jawaban dari pemikir muslim terhadap tantangan-tantangan
ekonomi pada zamannya dengan panduan al-Qur’an dan sunnah,
akal dan pengalaman (Amin, 2009: 16).
Versi Syed Nawab Haedar Naqvi, ekonomi Islam adalah
perwakilan perilaku kaum muslimin dalam suatu masyarakat muslim
tipikal. Tidak jauh berbeda dengan pemikir lainnya Muhammad
Abdul Mannan, berpendapat bahwa ilmu ekonomi Islam dikatakan
sebagai ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-
masalah ekonomi masyarakat yang diilhami nilai-nilai Islam. Ia
5

mengatakan bahwa ekonomi Islam merupakan bagian dari suatu


tata kehidupan lengkap, berdasarkan empat bagian nyata dari
pengetahuan, yaitu al-Qur’an, as-sunnnah, ijma’ dan qiyas (Amin,
2009: 16-17). Dan M.M. Metwally (Metwally, 1995: 1) mendefinisikan
ekonomi Islam sebagai ilmu yang mempelajari perilaku muslim
dalam suatu masyarakat Islam yang mengikuti al-Qur’an, as-
Sunnah, ijma’ dan qiyas.
Dari beberapa definisi tersebut secara umum ekonomi Islam
didefinisikan sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan yang
berupaya memandang, meneliti, dan menyelesaikan permasalahan-
permasalahan ekonomi dengan cara-cara Islami berdasarkan al-
Qur’an dan hadis. Berarti ekonomi Islam itu akan berkembang terus
sesuai dengan perkembangan zaman sebab ia juga berperan
menjawab persoalan-persoalan yang muncul berpedoman kepada
al-Qur’an dan hadis.
Pluralism
Pluralisme berasal dari kata plural dan isme, plural yang
berarti banyak (jamak), sedangkan isme berarti paham. Jadi
pluralism adalah suatu paham atau teori yang menganggap bahwa
realitas itu terdiri dari banyak substansi (Dahlan, 1994: 604).
Dalam perspektif ilmu sosial, pluralism yang meniscayakan
adanya diversitas dalam masyarakat memiliki dua wajah, konsensus
dan konflik. Konsensus mengandaikan bahwa masyarakat yang
memiliki latar belakang yang berbeda-beda itu akan survive
(bertahan hidup) karena para anggotanya menyepakati hal-hal
tertentu sebagai aturan bersama yang harus ditaati, sedangkan
teori konflik justru memandang sebaliknya bahwa masyarakat yang
berbeda-beda itu akan bertahan hidup karena adanya konflik. Teori
ini tidak menafikan adanya keharmonisan dalam masyarakat.
Keharmonisan terjadi bukan karena adanya kesepakatan bersama,
6

tetapi karena adanya pemaksaan kelompok kuat terhadap yang


lemah (Sumbulah, 2010).
Pluralitas merupakan realitas sosiologi yang mana dalam
kenyataannya masyarakat memang plural. Plural pada intinya
menunjukkan lebih dari satu dan isme adalah sesuatu yang
berhubungan dengan paham atau aliran. Dengan demikian
pluralisme adalah paham atau sikap terhadap keadaan majemuk
atau banyak dalam segala hal diantaranya sosial, budaya, politik
dan agama.
Pluralisme agama bisa dipahami dalam tiga sudut pandang.
Pertama, sosial yaitu semua agama berhak untuk ada dan hidup
artinya semua umat beragama sama-sama belajar untuk toleran,
dan menghormati iman atau kepercayaan dari setiap penganut
agama. Kedua, etika atau moral yaitu semua umat beragama
memandang bahwa moral atau etika dari masing-masing agama
bersifat relatif dan sah apabila umat beragama menganut
pluralisme agama dalam nuansa fanatis, maka didorong untuk tidak
menghakimi penganut agama lain. Ketiga teologi filosofis
yaitu‚ agama-agama pada hakekatnya setara, sama-sama benar
dan sama menyelamatkan artinya semua agama menuju pada
ketuhanan yang maha esa. Dengan demikian, yang dimaksud
pluralism agama adalah suatu pemahaman bahwa semua agama
mempunyai eksistensi hidup saling berdampingan, saling
bekerjasama dan saling berinteraksi antara satu agama dengan
agama yang lain. Atau disebut juga suatu sikap mengakui,
menghargai, menghormati, memelihara keadaan yang bersifat
plurar baik itu suku, etnis maupun agama.
Dalam masyarakat plural yang ditengarai dengan kehadiran
bersama perbedaan dan keragaman, kebebasan beragama atau
berkepercayaan dapat didefinisikan meliputi dua kategori sebagai
berikut: pertama, Kebebasan beragama: perbedaan dan keragaman
7

agama-agama yang hidup bersama dan berdampingan tercakup


dalam definisi kebebasan beragama. Agama-agama tersebut
diperkenankan untuk dipeluk dan diyakini secara bebas oleh setiap
individu yang memilihnya menjadi pegangan hidup. Kedua,
Kebebasan berkepercayaan merupakan istilah yang merujuk kepada
pandangan hidup-pandangan hidup atau posisi non keagamaan atau
sekuler yang tercakup dalam kebebasan berkepercayaan (Baidhawi,
2006: 3).
Sebagai bangsa yang plural dan multikultural, keberislaman
seseorang tidak cukup hanya melihat segala persoalan kehidupan
dari perspektif individu dan teologis. Kehidupan masyarakat yang
beragam suku, agama maupun etnis akan mengalami keharmonisan
dan damai jika setiap individu menghargai entitas apapun yang
dimiliki orang lain. Proses penghargaan ini akan nyata tidak lain
agar keberagamaan yang diyakini tidak sampai pada terjadinya titik
klimak klaim kebenaran dari orang lain dan selanjutnya berujung
pada usahanya sesalu menang sendiri (Wasid, 2010: 116).
Dalam masyarakat yang beragam budaya, suku dan agama
keharusan mengedepankan kesamaan adalah sebuah keniscayaan
dari pada selalu mencari perbedaan. Modal ini cukup efektif
sehingga nilai-nilai budaya dan agama ditempatkan dalam posisinya
sebagai motivasi bagi upaya membangun sebuah pluralitas dan
multikultural yang merupakan aset bangsa (Wasid, 2010: 116).
Sosialisasi Ekonomi Islam: Missing Link dalam Sejarah
Josep Schumpeter seorang sarjana Eropa dalam karyanya
History of Economic Anaysis mengatakan bahwa adanya great gap
dalam sejarah pemikiran ekonomi selama lebih dari lima ratus tahun
yaitu pada masa yang dikenal sebagai dark ages oleh Barat. Pada
masa kegelapan tersebut kondisi Barat dalam keadaan
terkebelakang, di mana tidak ada prestasi intelektual yang
gemilang, termasuk dalam pemikiran ekonomi. Demikian pula pada
8

kebanyakan referensi sejarah pemikiran ekonomi, misalnya Siegel


menganggap pada masa dark ages tidak ada karya pemikiran
tentang ekonomi. Siegel memang membuka sejarah pemikiran
ekonomi dari Bibel (1 Masehi) dan para pemikir Yunan (SM),
kemudian setelah itu lebih dari seribu tahun langsung pada
pemikiran masa Scolastic, terutama karya St. Thomas Aguinas
(abad 13). Pada masa berikutnya, abad ke 16-18 M, sejarah
mencatat praktik perekonomian Merkantilis dan pemikiran ekonomi
kaum Phsiokrat. Terdapat masa-masa stagnasi antar waktu yang
amat panjang dalam sejarah pemikiran ekonomi, sebelum kemudian
berkembang pesat pasca lahirnya karya The Wealth of Nation tahun
1776 (P3EI UII Yogyakarta, 2008: 119).
Sebenarnya pada masa dark age itu justru merupakan masa
kegemilangan dan kejayaan di dunia Islam, di mana pada masa itu
Daulat Umayyah dan Daulat Abbasiyah, Islam berkembang pesat
sampai ke Spanyol oleh tokohnya Thariq ibn Ziyad. Pada masa itu
banyak karya-karya gemilang di berbagai bidang ilmu, termasuk
ilmu ekonomi, yang lahir dari sarjana-sarjana muslim. Bahkan
pemikiran para sarjana muslim tersebut banyak mempengaruhi
pemikiran para sarjana Barat, termasuk pemikiran ekonominya.
Suatu hal yang berusaha ditutupi-tutupi Barat dan mereka
sembunyikan sebab pemikiran-pemikiran ekonomi Islam pada saat
inilah yang kemudian banyak dicuri oleh para ahli ekonomi Barat
dan mereka bawa ke negaranya, mereka telaah lalu mereka
kembangkan. Jadi terdapat dua missing link dalam sejarah
pemikiran ekonomi, yaitu great gap pada masa dark age dan kaitan
antara pemikiran di Barat dan dunia Islam. (P3EI UII Yogyakarta,
2008: 119-120)

Keunggulan Konsep
Islam sebagai agama rahmatan lil alamin dijelaskan dalam
Q.s. al-Anbiya: 107, ....dan Kami tidak mengutus kamu
9

(Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam.


Artinya Islam, agama yang ditujukan bagi segenap alam semesta
dan isinya. Berarti Islam diperuntukkan untuk segenap umat
manusia, bukan hanya bagi golongan tertentu dan tidak hanya
sesuai bagi pemeluk agama Islam itu sendiri. Islam bersifat
universal karena ketentuan-ketentuan Islam (prinsip syariah)
berlaku tidak terbatas pada tempat dan waktu tertentu, artinya
ketentuan Islam berlaku kapan pun sepanjang zaman serta berlaku
di seluruh dunia. Islam juga melarang diskriminasi, tidak
membeda-bedakan antara manusia muslim dan non muslim dalam
aktivitas perekonomian, Islam juga bersifat komprehensif,
ajarannya mencakup semua dimensi atau aspek kehidupan
manusia baik yang ritual (mahdah) maupun sosial (muamalah),
material dan moral, ekonomi, politik, hukum, kebudayaan, nasional
dan internasional.
Dalam aspek ekonomi, ajaran Islam sangat konsen pada
kemaslahatan manusia dan kemanusiaan, yaitu tercapainya
kebaikan dan kesejahteraan. Abu Zahrah menyatakan ada tiga
sasaran utama syariat Islam diturunkan sebagai rahmat bagi
seluruh umat manusia, yaitu; pertama, penyucian jiwa agar setiap
muslim bisa menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat dan
lingkungannya, kedua, tegaknya keadilan dalam masyarakat,
ketiga, tercapainya kemaslahatan manusia dan masyarakat.
Sementara kemaslahatan dalam Islam dikenal dengan lima prinsip
utama (dharrruriyatul khamsah), yaitu: 1) kemaslahatan agama
(al-din), 2) kemaslahatan jiwa (al-Nafs), 3) kemaslahatan akal (al-
aql), 4) kemaslahatan keluarga dan keturunan (al-nasl) dan 5)
kemaslahatan harta benda (al-mal). Kelima prinsip ini sangat
universal dan prinsip ini juga sejalan dengan berbagai agama dan
hak asasi manusia secara universal. (Nasution, 2007: 62-63)
Sekian banyak wacana tentang ekonomi Islam baik di
kalangan umat sendiri maupun di kalangan non muslim, belum
10

pernah adanya bantahan yang signifikan tentang keunggulan


konsep ekonomi Islam secara keseluruhan. Semakin banyak karya-
karya ilmiah baik berupa tulisan maupun lainnya yang membahas
ekonomi Islam disertai konferensi-konferensi dan seminar-seminar
baik bersifat lokal maupun internasional membuktikan bahwa
makin banyak orang yang tertarik dan menyakini konsep ekonomi
Islam merupakan solusi alternatif terhadap persoalan-persoalan
ekonomi yang terjadi.
Pertimbangan Kepercayaan Agama
Umat Islam sebagai penduduk mayoritas. Indonesia
merupakan negara keempat terbesar di dunia dengan jumlah
penduduk lebih dari 248 juta jiwa. (Biro Pusat Statistik (BPS), 2015).
Mayoritas penduduk Indonesia tercatat yang menganut agama
Islam pada tahun 2005, 88,8%. Berdasarkan data ini Indonesia
menjadi negara muslim terbesar di dunia. Pada hakekatnya, hal ini
merupakan kekuatan dan sekaligus peluang yang mesti
dimanfaatkan secara baik. Kekuatan inilah yang menjadi pilar
utama sekaligus benteng terakhir dalam penegakan ekonomi
syariah di manapun juga. Umat Islamlah yang menjadi stake
holders paling dominan, sebagai sumber dana utama dan sekaligus
pihak paling diharapkan akan membantu dalam program sistem ini.
Sebab peluang ini bisa dijadikan sebagai lahan yang
prospektif untuk dijadikan sebagai objek pengembangan ekonomi
Islam dan sekaligus pangsa pasar dan pada tahap selanjutnya
kapasitas penduduk muslim ini bukan saja menjadi objek pasar
tetapi juga sebagai objek Islamisasi ekonomi sehingga semakin
banyak masyarakat yang mempunyai kesadaran tentang ekonomi
Islam semakin banyak pula penduduk mendukung pengaplikasian
praktik ekonomi Islam seperti menjadi nasabah bank syariah.
Sementara kendala yang dihadapi dalam sosialisasi ekonomi
Islam sebagai berikut (Amin, 2008:164); pertama, kendala
watchisme. Yaitu kultur penganut prinsip watchisme yang hanya
11

suka berbicara, mengkritik tanpa mau terlibat langsung dengan


objek yang diamatinya agar lebih bersifat objektif dan konstruktif.
Ketertarikan dan minat semua masyarakat terhadap wacana
ekonomi Islam dalam bentuk kajian, riset, kritik, pengamatan dan
berbagai forum diskusi merupakan hal yang positif. Namun patut
disayangkan stake holders yang terlibat pada berbagai forum dan
kegiatan di atas hanya sibuk dan konsen sebagai pengamat,
pembahas dan membentuk berbagai lembaga pengamatan
ekonomi dan perbankan syariah semacam syariah economics and
banking watch dengan cukup hanya mengkritik produk-produk dan
kinerja lembaga ekonomi syariah.
Sementara pada tataran implementasi justru masih terlibat
dengan bunga yang ribawi bahkan termasuk lembaga yang tekait
dengannya masih belum menggunakan rekening syariah. Hal ini
merupakan suatu ironi yang kontra produktif. Seharusnya langkah
keterlibatan dalam pengembangan yang lebih konkrit bagi semua
unsur masyarakat secara luas adalah dengan setiap muslim
menjadi pelaku bisnis syariah, sebab merupakan fardhu ’ain setiap
muslim untuk mensyariahkan semua aspek kehidupannya
termasuk dalam kegiatan ekonominya seperti dengan bertransaksi
secara syariah dan menghindari riba serta bunga. Menjadi pelaku
bisnis syariah konotasinya tidak hanya menjadi pengusaha bisnis
syariah saja, tetapi menjadi pengguna dan mitra bisnis syariah
juga termasuk menjadi pelaku bisnis syariah seperti dengan
menjadi nasabah bank syariah.
Kedua, kendala langkanya studi tentang sistem ekonomi
Islam, lack of spirit of inquiry. Persoalan yang menjadi salah satu
penghambat dalam pengembangan Islamic economics di Indonesia
adalah rendahnya semangat untuk melakukan penelitian atau
penyelidikan dalam bidang ekonomi sehingga karya-karya baik
berupa buku maupun tulisan-tulisan tentang ekonomi Islam untuk
12

dijadikan sebagai rujukan masih sangat minim. Syed Hussein


Alatas merujuk kepada pernyataan the spiritus rector dari
modernisme Islam Jamaluddin al-Afgani (Ismail, 2001: 284)
menganggap rendahnya the intellectual spirit menjadi salah satu
faktor terpenting yang menyebabkan kemunduran Islam. Bahkan
hal itu diperparah dengan rendahnya semangat untuk meneliti,
rendahnya rasa cinta untuk mencari ilmu dan penghormatan
terhadap ilmu pengetahuan serta ilmu rasional tidak berkembang
dengan baik.
Salah persepsi terhadap sistem ekonomi Islam mungkin
menjadi penyebab langkanya studi tentang sistem ekonomi Islam
di Indonesia. Salah persepsi ini terjadi karena sebagian besar pakar
ekonom Islam Indonesia pada umumnya mendapatkan pendidikan
tentang masalah ekonomi dari konsep-konsep Barat dan sama
sekali tidak menyinggung tentang konsep Islam dalam masalah
perekonomian. De-Islamisasi dan pencucian otak yang telah
berlangsung berabad-abad itu menyebabkan kerangka pemikiran
sebagian cendikiawan muslim kita menjadi beku dan apriori
terhadap konsep-konsep ekonomi yang tidak berasal dari tokoh-
tokoh Barat, dengan meminjam istilah Swasono (Swasono, 2011:
26) hegemoni akademis. Sehingga setiap konsep yang berasal
bukan dari Barat dipandang aneh, termasuk konsepsi ekonomi
yang berakar dari al-Qur’an dan Hadis (Perwataatmadja, 1996: 53).
Padahal al-Qur’an dan Hadis cukup sarat dengan konsep-konsep
sosial dan ekonomi yang lahir pada abad ke-7 M. Sebaliknya, tidak
semua praktek sekuler (dari Barat) bertentangan dengan Islam.
Qureshi menegaskan seperti yang dikutip Dawam Rahardjo bahwa
lembaga-lembaga keuangan Islam ternyata banyak meminjam
model-model Barat yang sekuler (Rahardjo, 1999: 31).
Jadi sistem ekonomi Islam sebagai suatu kajian sistem
sebenarnya bersifat ilmiah dan netral dari sentimen agama.
13

Mengkaji ekonomi Islam dan kemudian menerapkannya tidak dapat


diartikan sebagai langkah untuk mendirikan negara Islam, tetapi
mempelajari secara objektif sistem-sistem mana yang sesuai
dengan situasi dan kondisi di suatu negeri yang akan dapat
memberikan kontribusi pemikiran dan manfaat yang besar tidak
saja kepada umat Islam tetapi kepada seluruh komponen
bangsa(Perwataatmadja, 1996:54-55) sebab Islam diturunkan
sebagai rahmatan li al-’alamiin.
Ketiga, kendala simbolisme. (al-Qardhawi, 2001:9)
Masyarakat Indonesia khususnya umat Islam baik dari kalangan
masyarakat umum sering terjebak pada simbolisme dan
melupakan aspek substansi dari ajaran Islam itu sendiri yang
mengajarkan istiqomah (konsistensi) dalam ucapan, pengakuan
dan tindakan keseharian secara komprehensif (kaffah). Dan bukan
menjadikan simbol-simbol agama hanya sekedar menjadi slogan
kampanye, promosi, serta pengakuan simbolik formal untuk
kepentingan sosial ekonomi dan politik. Inilah sebenarnya tuntutan
pemenuhan aspek syariah (shari’a complance) yang sangat
memprihatinkan.
Kepatuhan terhadap ketentuan syariah dituntut untuk
dijalankan termasuk dalam bidang ekonomi secara kaffah karena
itu keterlibatannya dengan ekonomi syariah berawal dari akidah
atau ideologi yang akan mengalahkan segala pertimbangan
pragmatis, sehingga menjadi potensi yang dahsyat bagi
pengembangan ekonomi syariah termasuk manajemen moneter
Islam. Demikian juga para pengambil kebijakan, praktisi ekonomi
Islam dan pelaku bisnis pada umumnya dituntut untuk konsekuen
dengan prinsip syariah dalam bisnisnya dan masyarakat pada
umumnya juga dituntut untuk konsekuen dalam perilaku
ekonominya. Sehingga tidak akan ada stigma yang negatif dengan
tuduhan yang macam-macam terhadap konsep ekonomi Islam,
14

terhadap institusi keuangan Islam sebagai menjual kedok syariah


untuk kepentingan bisnis.
Keempat, kendala kekurangan sumber daya insani (SDI,
sumber daya manusia). Sumber daya manusia yang terjun dalam
praktik ekonomi Islam baik dalam dunia perbankan syariah
maupun dalam dunia pendidikan masih kurang baik secara kualitas
maupun kuantitas.
Ekonomi Islam, Pancasila dan UUD 1945: Pendekatan
Sosialisasi
Dasar konstitusi kehidupan ekonomi nasional Indonesia adalah
UUD 1945. Untuk itu, ketika berbicara dalam kontek keindonesiaan
maka dasar dalam penerapan ekonomi Islam adalah UUD 1945.
Secara spesifik doktrin kebangsaan dan doktrin kerakyatan terdapat
pada pasal 33 UUD 1945, pasal 34 dan pasal 27. Pasal-pasal ini
menjadi benteng nasionalisme ekonomi dan benteng pengutamaan
kepentingan kehidupan seluruh rakyat Indonesia. Ini penting
dibahas karena berbicara tentang ekonomi dalam konteks
keindonesiaan.
Sementara bagi umat Islam sebenarnya tidak sulit untuk
menjabarkan secara luas dan lengkap mengenai demokrasi ekonomi
yang dikembangkan berdasarkan Pancasila karena acuan dari
Pancasila dan UUD 1945 itu sendiri adalah ajaran Islam yang
bersumber dari al-Qur’an dan hadis. Pancasila yang digali dari
khasanah budaya bangsa jelas bernafaskan Islam karena sebagian
besar penduduk negeri ini beragama Islam dan semua pasal-pasal
pada Undang-undang Dasar 1945 yang mengatur kehidupan sosial
dan ekonomi bangsa juga tidak menyimpang dari ajaran Islam.
Misalnya, pasal 34: “Fakir dan miskin dan anak-anak terlantar
dipelihara oleh Negara”. Dalam Islam diperintahkan untuk
memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar diatur dalam al-
15

Qur’an lebih dari 21 surat dan 50 ayat, salah satu dalam Q.s. al-
Ma’un [107]: 1-7. Demikian juga dengan pasal-pasal lain.
Jadi ekonomi Islam sebenarnya menurut Sri Edi Swasono
sejalan dengan ekonomi Pancasila dan bersifat compatible meski
tidak sepenuhnya substitutable, untuk itu ekonomi Islam tidak
boleh direduksi hanya memusatkan pada upaya membangun
lembaga-lembaga keuangan syariah seperti bank syariah. Ekonomi
syariah harus dapat menangkal sistem ekonomi yang exploitatory
secara luas, yang memelihara dan menumbuhkan kesejenjangan
ekonomi, yang membiarkan terjadinya trade off secara sistemik
untuk kerugian si miskin dan si lemah, yang subordinatif dan
discriminatory, yang membiarkan perkembangan laissez faire
dalam arti luas tanpa memperhatikan perlunya dekonstruksi dan
restrukturisasi sistem ekonomi yang usurious ini. (Swasono, 2012;
24). Untuk itu dibutuhkan pakar ekonom muslim yang menguasai
ilmu ekonomi konvensional sekaligus kontemporer sehingga mampu
mengoreksi, mengimprovisasi dan lebih tangguh serta mumpuni
mengantarkan ilmu ekonomi syariah ke arah tercapainya keadilan
dan kemaslahatan umat di dunia agar tercapai kesejahteraan di
dunia dan di akhirat, falah.

Penutup
Ekonomi Islam yang diyakini sebagai solusi ekonomi yang
dihadapi saat ini disosialisasikan dalam konteks historis terdapat
dua missing link dalam sejarah pemikiran ekonomi, yaitu great gap
pada masa dark age dan kaitan antara pemikiran di Barat dan dunia
Islam, dark age itu justru merupakan masa kegemilangan dan
kejayaan di dunia Islam. Di sisi lain Ekonomi Islam juga unggul
dilihat dari ajarannya yang komprehensif, universal dan tidak
diskriminasi. Dari sisi objek, mengingat Indonesia mayoritas muslim
maka sosialisasi ekonomi Islam itu sendiri relatif lebih mudah
dengan pendekatan sentimen keagamaan sementara jika dalam
16

konteks keindonesiaan pendekatannya pasal 33, 27 dan 34 UUD


1945, agar bisa diterima masyarakat baik muslim maupun non
muslim, di samping dari segi keunggulan dari konsep ekonomi Islam
itu sendiri yang rahmatan lil alamin.

DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Al-Qardawi, Yusuf. 2001. Bunga Bank Haram, terj. Setiawan Budi
Utomo. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana
Amalia, Euis. 2009. Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam.
Jakarta: 2008.
Amin, A. Riawan, 2009. Menata Perbankan Syariah di Indonesia.
Jakarta: UIN Press, 2009.
Arifin, Zainul. 2000. Memahami Bank Syariah: Lingkup, Peluang,
Tantangan dan Prospek. Jakarta: Alvabet.
Baidhawi, Zakiyudin., 2006. Kredo Kebebasan Beragama. Jakarta:
PSAP.
Chapra, M. Umer. 1995. Islam and The Economic Challenge.
Leicester: The Islamic: Foundation and The International
Institute of Islamic Thought.
Dahlan, Pius A. P, M. 1994. Kamus Ilmiah Popular. Surabaya: Arkola.
Haneef, Mohammad Aslem. 1995. Contemporary Islamic Economic
Thought:A Selected Comparative Analysis. Kuala Lumpur: S.
Abdul Majeed & Co.
Ismail SM dkk, eds.2001. Paradigma Pendidikan Islam. Semarang:
Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo & Pustaka Pelajar.
Kahf, Monzer. 1978. The Islamic Economy: Analitical Study of the
Functioning of the Islamic Economic System. T.tt: Plainfield In
Muslim Studies Association of US and Canada.
Karim, Adiwarman. 2004. Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan.
Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Karim, Adiwarman. 2003. Ekonomi Mikro Islami. Jakarta: IIIT
Indonesia.
Metwally, M.M. 1995. Teori dan Model Ekonomi Islam, terj. M. Husein
Sawit. Jakarta: Bangkit Daya Insana.
Muhammad, 2004. Bank Syariah: Analisis Kekuatan, Peluang,
Kelemahan dan Ancaman. Yogyakarta: Ekonisia.
17

Nasution, Mustafa Edwin, dkk. 2007. Pengenalan Eklusif Ekonomi


Islam. Jakarta: Kencana
P3EI UII Yogyakarta & Bank Indonesia. 2008. Ekonomi Islam. Jakarta:
RajaGrafindo.
Perwataatmadja, Karnaen A. & Henri Tanjung, 2007. Bank Syariah:
Teori, Praktik, dan Peranannya. Jakarta: Celestial Publishing.
Perwataatmadja, Karnaen A., 1996. Membumikan Ekonomi Islam di
Indonesia. Depok: Usaha Kami.
Pohan, Aulia. 2008. Potret Kebijakan Moneter Indonesia. Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
Rahardjo, M. Dawam, 1999. Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi.
Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF).
Sarkaniputra, Murasa. 2004. Adil dan Ihsan dalam Perspektif Islam.
Jakarta: P3EI.
Sumbulah, Umi. 2010. Islam‚ Radikal dan Pluralism Agama (Malang:
Badan Litbang Dan Diklat Kementrian Agama RI.
Swasono, Sri Edi. 2005. Kebersamaan dan Asas Kekeluargaan
Mutualim & Brotherhood. Jakarta: UNJ Press.
Swasono, Sri Edi. Menolak Neoliberalisme: Kembali Ke Ekonomi
Konstitusi, Makala Seminar di Universitas Sebelas Maret,
Surakarta, 21 Juni 2011.
Wasid. 2010. Gus Dur Sang Guru Bangsa; Pergolakan Islam,
Kemanusiaan dan Kebangsaan. Yogyakarta: Interpena.

Artikel dan Makalah


Swasono, Sri-Edi, 2012. “Paradigma Baru Ilmu Ekonomi” dalam
Pidato Kunci pada Workshop Nasional Arsitektu Ilmu Ekonom
Islam: Upaya Akselerasi Sistem Ekonomi Islam di Indonesi.
Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.
Biro Pusat Statistik (BPS), www.bps.go.id diakses pada tanggal 10
Maret 2015.
Biro Pusat Statistik-RI, sensus antar waktu 2005 diakses dari data
penduduk menurut Kementrian Agama, www.kemenag.go.id.
Tanggal 10 Maret 2015.

Anda mungkin juga menyukai