TUGAS
Diajukan Untuk Memenuhi Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Kesehatan Reproduksi
Remaja
Disusun Oleh :
PENDAHULUAN
1.3. Tujuan
2
3. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi hambatan bagi korban pelecehan
seksual dalam memperoleh keadilan dan pemulihan.
3
BAB II
PEMBAHASAN
5
2. Hostile work environment
Pelecehan seksual yang terjadi tanpa janji atau iming-iming maupun ancaman.
Pelecehan seksual memiliki berbagai bentuk. Secara luas, terdapat lima bentuk pelecehan
seksual menurut ILO (International Labour Organization) yaitu:
1. Pelecehan fisik termasuk sentuhan yang tidak diinginkan mengarah ke perbuatan
seksual seperti mencium, menepuk, mencubit, melirik atau menatap penuh nafsu.
2. Pelecehan lisan termasuk ucapan verbal/ komentar yang tidak diinginkan tentang
kehidupan pribadi atau bagian tubuh atau penampilan seseorang, lelucon dan
komentar bernada seksual.
3. Pelecehan isyarat termasuk bahasa tubuh dan atau gerakan tubuh bernada seksual,
kerlingan yang dilakukan berulang-ulang, isyarat dengan jari, dan menjilat bibir.
4. Pelecehan tertulis atau gambar termasuk menampilkan bahan pornografi , gambar,
screensaver atau poster seksual, atau pelecehan lewat email dan moda komunikasi
elektronik lainnya.
5. Pelecehan psikologis/emosional terdiri atas permintaan-permintaan dan ajakan-
ajakan yang terusmenerus dan tidak diinginkan, ajakan kencan yang tidak diharapkan,
penghinaan atau celaan yang bersifat seksual.
6
2.3. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PELECEHAN SEKSUAL
1. Faktor Fisik
Klien dapat mengalami penurunan keinginan seksual karena alasan fisik, karena
bagamanapun aktivitas seks bisa menimbulkan nyeri dan ketidaknyamanan. Kondisi
fisik dapat berupa penyakit ringan/berat, keletihan, medikasi maupun citra tubuh.
Citra tubuh yang buruk, terutama disertai penolakan atau pembedahan yang
mengubah bentuk tubuh menyebabkan seseorang kehilangan gairah.
2. Faktor Hubungan
Masalah dalam berhubungan (kemesraan, kedekatan) dapat mempengaruhi hubungan
seseorang untuk melakukan aktivitas seksual.
Hal ini sebenarnya tergantung dari bagimana kemampuan mereka dalam
berkompromi dan bernegosiasi mengenai perilaku seksual yang dapat diterima dan
menyenangkan.
3. Faktor Gaya Hidup
Gaya hidup disini meliputi penyalahgunaan alkohol dalam aktivitas seks, ketersediaan
waktu untuk mencurahkan perasaan dalam berhubungan, dan penentuan waktu yang
tepat untuk aktivitas seks. Penggunaan alkohol dapat menyebabkan rasa sejahtera atau
gairah palsu dalam tahap awal seks dengan efek negatif yang jauh lebih besar
dibanding perasaan eforia palsu tersebut. Sebagian klien mungkin tidak mengetahui
bagaiman mengatur waktu antara bekerja dengan aktivitas seksual, sehingga pasangan
yang sudah merasa lelah bekerja merasa kalau aktivitas seks merupakan beban
baginya.
4. Faktor Harga Diri
Jika harga-diri seksual tidak dipelihara dengan mengembangkan perasaan yang kuat
tentang seksual-diri dan dengan mempelajari ketrampilan seksual, aktivitas seksual
mungkin menyebabkan perasaan negatif atau tekanan perasaan seksual. Harga diri
seksual dapat terganggu oleh beberapa hal antara lain: perkosaan, inses, penganiayaan
fisik/emosi, ketidakadekuatan pendidikan seks, pengaharapan pribadi atau kultural
yang tidak realistik. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual,
menurut Purnawan (2004) yang dikutip dari berbagai sumber antara lain:
a. Faktor Internal
1) seksual (fisik/psikologis)
7
Tingkat perkembangan Perbedaan kematangan seksual akan menghasilkan
perilaku seksual yang berbeda pula. Misalnya anak yang berusia 4-6 tahun
berbeda dengan anak 13 tahun.
2) Pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi
Anak yang memiliki pemahaman secara benar dan proporsional tentang
kesehatan reproduksi cenderung memahami resiko perilaku serta alternatif
cara yang dapat digunakan untuk menyalurkan dorongan seksualnya
3) Motivasi
Perilaku manusia pada dasarnya berorientasi pada tujuan atau termotivasi
untuk memperoleh tujuan tertentu. Hersey & Blanchard cit Rusmiati (2001)
perilaku seksual seseorang memiliki tujuan untuk memperoleh kesenangan,
mendapatkan perasaan aman dan perlindungan, atau untuk memperoleh uang
(pada gigolo/WTS)
b. Faktor Eksternal
1) Keluarga
Menurut Wahyudi (2000) kurangnya komunikasi secara terbuka antara orang
tua dengan remaja dapat memperkuat munculnya perilaku yang menyimpang
2) Pergaulan
Menurut Hurlock perilaku seksual sangat dipengaruhi oleh lingkungan
pergaulannya, terutama pada masa pubertas/remaja dimana pengaruh teman
sebaya lebih besar dibandingkan orangtuanya atau anggota keluarga lain.
3) Media massa
Penelitian yang dilakukan Mc Carthi et al (1975), menunjukan bahwa
frekuensi menonton film kekerasan yang disertai adegan-adegan merangsang
berkolerasi positif dengan indikator agresi seperti konflik dengan orang tua,
berkelahi , dan perilaku lain sebagi manifestasi dari dorongan seksual yang
dirasakannya.
11
adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (Pasal 27(1) dan Pasal 28D(1)) karena
tidak dapat mengakses proses hukum yang berkeadilan.
Bahwa pelecehan seksual menyebabkan perampasan pada sejumlah hak warga
negara menunjukkan bahwa upaya pencegahan dan penanganannya adalah amanat
Undang-Undang. Negara adalah pihak utama yang bertanggung jawab untuk memenuhi
hak-hak konstitusional berdasarkan Undang-Undang itu.
Mandat pemenuhan hak-hak tersebut juga telah ditegaskan dan diterjemahkan
dalam berbagai landasan hukum, di antaranya:
Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi tentang
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan
Undang-Undang No.5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Anti Penyiksaan dan Perlakuan
atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat
Manusia
Undang-Undang No. 24 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga
Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 285, Pasal 286, Pasal 287, Pasal 289, Pasal
291, Pasal 294;
Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1365 tentang Perbuatan Melawan Hukum
Statuta Roma Pasal 7 ayat 2 (g), Pasal 69 ayat 1 & 2, Pasal 68.
Resolusi PBB 1820 tentang Kekerasan Seksual dalam Konflik Bersenjata.
Deklarasi penghapusan tindak kekerasan terhadap perempuan (ICPD) pada bulan
Desember 1993.
Deklarasi Wina Tahun 1993
Konferensi Beijing 1995
12
bentuk fisik yang ringan misalnya sentuhan, menyenggol, mendekatkan tubuh) ke pihak
yang berwajib sangat bergantung pada masing-masing individu dan hal ini sifatnya
sangat beragam, yakni sejauh mana hal tersebut mengakibatkan rasa tidak nyaman atau
merendahkan martabat korban. Bentuk-bentuk seperti ini pada tahap awal dapat
diadukan ke pihak yang dapat melindungi korban, misalkan guru, orang tua atau orang
yang dipercaya oleh korban.
Untuk pelecehan seksual bentuk fisik yang lebih berat, khususnya yang terdapat
unsur pemaksaan dan kekerasan di dalamnya, hendaknya dilaporkan ke pihak yang
berwajib. Jika mengalami kekerasan, korban hendaknya tidak melenyapkan, tidak
membuang dan tidak menghilangkan bekas-bekas atau barang bukti kekerasan. Korban
harus segera melaporkan diri ke polisi. Bila korban enggan melapor sendirian ke kantor
polisi, korban harus segera mengadukan hal ini ke pihak yang dapat melindungi korban,
misalkan guru, orang tua, orang lain yang dipercaya oleh korban ataupun rekan sebaya
untuk selanjutnya bersama korban melapor ke kantor polisi terdekat.
Polisi akan melakukan upaya penegakan hukum untuk kasus yang dialami korban,
termasuk membuat surat permintaan visum agar korban dapat segera diperiksa oleh
dokter di Rumah Sakit terdekat dan mendapatkan visum. Jika membutuhkan
perlindungan ataupun pendampingan dalam proses pelaporan dan permintaan visum,
korban juga dapat dipandu untuk menghubungi atau datang langsung ke Pusat Pelayanan
Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), Woman Crisis Center atau
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) terdekat.
Secara umum menurut Komnas Perempuan, ada empat faktor penentu perempuan
korban perkosaan dalam mengakses keadilan dan pemulihan, yaitu faktor personal,
sosial budaya, hukum dan politik. Keempat faktor ini saling kait-mengait dan
menentukan tingkat kepercayaan korban untuk melaporkan kasusnya, menuntut keadilan
dan menjadi pulih.
13
Di tingkat personal, perempuan korban perkosaan bisa menderita trauma mendalam
akibat perkosaan yang ia alami. Trauma ini dapat termanifestasi pada kehilangan ingatan
pada peristiwa yang dialaminya, kehilangan kemampuan bahasa, gangguan kejiwaan,
rasa takut yang luar biasa, atau keinginan untuk melupakan dengan tidak membicarakan
peristiwa yang melukainya itu. Kesemua hal ini menyebabkan korban tidak mampu atau
tidak bersedia untuk melaporkan kasusnya.
Faktor sosial budaya seperti konsep moralitas dan aib mengakibatkan masyarakat
cenderung menyalahkan korban, meragukan kesaksian korban atau mendesak korban
untuk bungkam. Pada sejumlah masyarakat, konsep “AIB” juga dikaitkan dengan konsep
nasib sial dan karma. Perempuan korban perkosaan dianggap bernasib sial karena harus
menanggung balasan dari tindak kejahatan yang pernah dilakukan oleh keluarga atau
para leluhurnya. Menceritakan tindak kekerasan seksual yang ia alami dianggap
membongkar aib yang ada di dalam keluarganya. Situasi ini pula yang mendorong
keluarga untuk mengambil keputusan bagi korban untuk tidak melapor. Cara pikir
tentang “aib” seringkali menyudutkan korban, dikucilkan, atau diusir dari lingkungannya
atau bahkan dipaksa untuk menjalani hidupnya dengan pelaku kekerasan, misalnya
dengan memaksakanperempuan korban menikahi pelakunya.
Pada faktor hukum, ada tiga aspek yang harus diperhatikan dalam memahami hambatan
yang dihadapi korban yaitu aspek substansi, struktur dan budaya hukum. Di tingkat
substansi, sekalipun ada penegasan pada hak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi, berbagai jenis kekerasan seksual belum dikenali oleh hukum Indonesia,
ataupun pengakuan pada tindak kekerasan tersebut masih belum utuh. Dalam konteks
perkosaan, hukum Indonesia hanya mengakomodir tindak pemaksaan hubungan seksual
yang berbentuk penetrasi penis ke vagina dan dengan bukti-bukti kekerasan fisik akibat
penetrasi tersebut.Padahal, ada banyak keragaman pengalaman perempuan akan
perkosaan, sehingga perempuan tidak dapat menuntut keadilan dengan menggunakan
hukum yang hanya memiliki definisi sempit atas tindak perkosaan itu.
Di tingkat struktur, lembaga penegak hukum mulai membuat unit dan prosedur khusus
untuk menangani kasus kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual.
Sayangnya, unit dan prosedur ini belum tersedia di semua tingkat penyelenggaraan
hukum dan belum didukung dengan fasilitas yang memadai. Di tingkat kultur atau
budaya hukum, banyak penyelenggara hukum mengadopsi cara pandang masyarakat
14
tentang moralitas dan kekerasan seksual. Akibatnya, penyikapan terhadap kasus tidak
menunjukkan empati pada perempuan korban, bahkan cenderung ikut menyalahkan
korban. Pertanyaan seperti memakai baju apa, sedang berada dimana, dengan siapa jam
berapa merupakan beberapa pertanyaan yang kerap ditanyakan oleh aparat penegak
hukum ketika menerima laporan kasus perkosaan. Pertanyaan semacam itu tidak saja
menunjukkan bahwa tiadanya perspektif korban tapi juga bentuk mengakimi korban dan
menjadikan korban mengalami kekerasan kembali (reviktimisasi).
Persoalan lain yang seringkali muncul adalah tersedia tidaknya perlindungan saksi dan
korban yang mumpuni. Pada sejumlah kasus, korban tidak mau melaporkan kasusnya
karena kuatir balas dendam pelaku. Korupsi dalam proses penegakan hukum yang begitu
mengurat akar juga menjadi hambatan bagi perempuan korban yang kehilangan
keyakinan bahwa ia akan memperoleh proses hukum yang adil dan terpercaya.
Faktor lain yang mempengaruhi akses perempuan korban perkosaan pada proses mencari
keadilan dan pemulihan adalah faktor politik. Dalam konteks konflik, proses
pengungkapan kebenaran sangat ditentukan oleh itikad baik politik (good will)
penyelenggara negara. Hal ini karena kasus kekerasan tersebut melibatkan aparat negara
sebagai pelaku kekerasan dan terkait dengan adanya kebijakan-kebijakan negara yang
memungkinkan kekerasan tersebut terjadi dan terus berulang. Dalam konteks Tragedi
Mei 1998, misalnya, sikap negara membiarkan peristiwa kekerasan dan diskriminasi
terhadap masyarakat etnis Tionghoa, dan pada kontroversi tentang ada tidaknya
perkosaan pada rangkaian peristiwa kerusuhan Mei 1998 menyebabkan perempuan
korban semakin enggan untuk mengungkapkan kasusnya. Dalam konteks Aceh, Tragedi
1965 dan Timor Leste, misalnya, sikap negara pada penuntasan pelanggaran HAM masa
lalu terus mendua dan membiarkan korban yang telah mengungkapkan kasusnya terus
menunggu tanpa batas waktu kapan proses keadilan akan diawali dengan sungguh-
sungguh.
Masih terdapat berbagai hambatan bagi korban pelecehan seksual dalam mengakses
keadilan dan pemulihan. Faktor-faktor yang menyebabkan hal ini menurut BKKBN
antara lain:
Korban kekerasan bisa menderita trauma mendalam akibat pelecehan seksual yang
ia alami. Trauma ini dapat termanifestasi pada kehilangan ingatan pada peristiwa
yang dialaminya, kehilangan kemampuan bahasa, gangguan kejiwaan, rasa takut
15
yang luar biasa, atau keinginan untuk melupakan dengan tidak membicarakan
peristiwa yang melukainya itu. Kesemua hal ini menyebabkan korban tidak mampu
atau tidak bersedia untuk melaporkan kasusnya.
Konsep moralitas dan aib mengakibatkan masyarakat cenderung menyalahkan
korban, meragukan kesaksian korban atau mendesak korban untuk bungkam. Pada
sejumlah masyarakat, konsep aib juga dikaitkan dengan konsep nasib sial dan karma.
Korban dianggap bernasib sial karena harus menanggung balasan dari tindak
kejahatan yang pernah dilakukan oleh keluarga atau para leluhurnya, khususnya pada
kasus pelecehan berat. Menceritakan tindak pelecehan seksual yang ia alami
dianggap membongkar aib yang ada di dalam keluarganya. Situasi ini pula yang
mendorong keluarga untuk mengambil keputusan bagi korban untuk tidak melapor.
Cara pikir tentang “aib” seringkali menyudutkan korban, dikucilkan, atau diusir dari
lingkungannya atau bahkan dipaksa untuk menjalani hidupnya dengan pelaku
pelecehan, misalnya dengan memaksakan korban menikahi pelakunya.
Sekalipun ada penegasan pada hak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi, berbagai jenis pelecehan seksual belum dikenali oleh hukum Indonesia,
ataupun pengakuan pada tindak pelecehan tersebut masih belum utuh. Misalnya saja
tentang perkosaan, hukum Indonesia hanya mengakomodir tindak pemaksaan
hubungan seksual yang berbentuk penetrasi penis ke vagina dan dengan bukti-bukti
kekerasan fisik akibat penetrasi tersebut. Padahal, ada banyak keragaman
pengalaman perempuan akan perkosaan, sehingga perempuan tidak dapat menuntut
keadilan dengan menggunakan hukum yang hanya memiliki pengertian yang sempit
atas tindak pelecehan seksual itu.
Lembaga penegak hukum mulai membuat unit dan prosedur khusus untuk
menangani kasus kekerasan terhadap perempuan, khususnya pelecehan seksual.
Sayangnya, unit dan prosedur ini belum tersedia di semua tingkat penyelenggaraan
hukum dan belum didukung dengan fasilitas yang memadai.
Adanya penyelenggara hukum yang mengadopsi cara pandang masyarakat tentang
moralitas dan pelecehan seksual. Akibatnya, penyikapan terhadap kasus tidak
menunjukkan empati pada perempuan korban, bahkan cenderung ikut menyalahkan
korban. Persoalan lain adalah masalah ketersediaan perlindungan saksi dan korban
yang memadai. Pada sejumlah kasus, korban tidak mau melaporkan kasusnya karena
khawatir balas dendam pelaku. Tindakan suap atau penyogokan dalam proses
16
penegakan hukum juga dapat menjadi hambatan bagi korban yang kehilangan
keyakinan bahwa ia akan memperoleh proses hukum yang adil dan terpercaya.
Penyikapan ini sungguh berarti bagi korban pelecehan seksual. Langkah awal
untuk penyikapan ini tentunya dengan mengenali pelecehan seksual, akar masalah dan
dampaknya.
Beberapa cara yang dapat dilakukan oleh anggota masyarakat untuk ikut
mencegah dan menangani pelecehan seksual antara lain :
17
Dukung kerja-kerja lembaga pengada layanan bagi korban pelecehan dengan
mengumpulkan informasi tentang pelecehan seksual yang terjadi disekelilingnya,
memberikan dukungan, ikut serta dalam kampanye atau dalam penggalangan dana
bagi penanganan korban.
Sedangkan usaha yang dapat dilakukan orang tua kepada anaknya untuk
menghindari terjadinya pelecehan seksual adalah sebagai berikut:
1. Ajarkan kepada anak mengenai perbedaan antara sentuhan yang baik dengan sentuhan
yang buruk dari orang dewasa.
2. Beritahu anak mengenai bagian tubuh tertentu yang tak boleh disentuh oleh orang
dewasa kecuali saat mandi atau pemeriksaan fisik oleh dokter.
3. Ajarkan kepada anak untuk mengatakan ’tidak’ jika merasa tidak nyaman dengan
perlakuan orang dewasa dan menceritakan kejadian itu kepada orang dewasa yang
meraka percaya.
4. Ajarkan bahwa orang dewasa tidak selalu ’benar’, dan semua orang mempunyai
kontrol terhadap tubuh mereka, sehingga ia dapat memutuskan siapa yang boleh atau
tidak boleh untuk memeluknya.
Jika terjadi pelecehan seksual pada anak, beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1. Ciptakan kondisi sehingga anak merasa leluasa dalam menceritakan tentang bagian
tubuhnya dan menggambarkan kejadian dengan akurat.
2. Yakinkan anak bahwa orang dewasa yang melakukannya adalah salah, sedangkan
anaknya sendiri adalah benar.Orang tua harus bisa mengkontrol ekspresi emosional
didepan anak.
Beberapa tindakan dapat dilakukan untuk menangani dampak yang dialami korban
pelecehan seksual.
1. Perlindungan dan penanganan secara fisik (contohnya penyembuhan atau terapi oleh
dokter).
2. Perlindungan dan penanganan kejiwaan (bisa dengan konsultasi, terapi kejiwaan
atau pendidikan mental spiritual).
18
3. Secara sosial dengan memberi dukungan sosial dan emosional, menerima
kehadirannya, membicarakan sesuatu yang sesuai dengan pemahamannya sehari-
hari, serta memberikan kesempatan untuk terlibat aktif dalam berbagai kegiatan di
lingkungannya.
19
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Pelecehan Seksual adalah perilaku atau tindakan yang mengganggu,
menjengkelkan dan tidak diundang yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang
terhadap pihak lain, yang berkaitan langsung dengan jenis kelamin pihak yang
diganggunya dan dirasakan menurunkan martabat dan harkat diri orang yang
diganggunya.
Pelecehan Seksual terjadi disebabkan karena faktor-faktor tertentu, diantaranya:
faktor gaya hidup dan hubungan, pelecehan seksual tidak akan terjadi apabila seseorang
bisa menjaga dirinya baik itu dari hal hubungan ataupun gaya hidup bahkan media masa
dan pergaulan antar sesama pun bisa mengakibatkan terjadinya pelecehan seksual.
Dampak pelecehan seksual secara garis besar dapat dibagi menjadi dampak fisik,
dampak psikologis, hingga dampak sosial. Maka dari itu, pelecehan seksual merupakan
pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang telah dijamin dalam konstitusi kita,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3.2. SARAN
Telah kita ketahui bahwa semakin majunya perkembangan zaman, maka semakin maju
pula peradaban manusia dan semakin banyak pula kejadian-kejadian yang tidak
diinginkan yang terjadi pada setiap manusia, diantaranya termasuk pelecehan seksual.
Oleh karena itu dari uraian-uraian pada halaman-halaman sebelumnya, kami
menyarankan :
Untuk orang tua:
1. Ajarkan kepada anak mengenai perbedaan antara sentuhan yang baik dengan
sentuhan yang buruk dari orang dewasa.
2. Beritahu anak mengenai bagian tubuh tertentu yang tak boleh disentuh oleh orang
dewasa kecuali saat mandi atau pemeriksaan fisik oleh dokter.
3. Ajarkan kepada anak untuk mengatakan ’tidak’ jika merasa tidak nyaman dengan
perlakuan orang dewasa dan menceritakan kejadian itu kepada orang dewasa yang
meraka percaya
20
Untuk anggota masyarakat:
Peran serta masyarakat sangat penting untuk menguatkan korban agar tidak
membungkam, namun tidak berarti memaksa korban untuk bicara di hadapan publik.
Juga, untuk memastikan korban mendapat dukungan dalam proses pemulihannya yang
sangat terkait dengan keyakinan bahwa ia tidak akan disalahkan, dianggap sebagai aib,
terbebani oleh stigma sebagai “barang rusak” dan atau dikucilkan.
21
DAFTAR PUSTAKA
22