Anda di halaman 1dari 16

FIKIH MAWARIS

DOSEN PENGAMPU: Dr. Isnawati Rais, M.A.

DISUSUN OLEH:
Kelompok 7

Atika Dewi Nurbaya 11180490000013


M. Fauzi Maulana Ichsan 11180490000019
Indri Rachmayati 11180490000070
M. Rifqi M 11180490000073

PROGRAM STUDI S1 HUKUM EKONOMI SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JL. Ir. H. DJUANDA NO. 95, CIPUTAT, TANGERANG SELATAN, BANTEN

1440 H /2019

i
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah senantiasa kami haturkan kehadirat Allah SWT yang


telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan baik guna memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Fiqh
2, dengan judul : “Fikih Mawaris”

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari
bantuan banyak pihak yang dengan tulus memberikan doa, saran, dan kritik
sehingga makalah ini dapat terselesaikan.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna
dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh
karena itu, kami mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik
yang membangun dari berbagai pihak. Akhirnya, kami berharap semoga makalah
ini dapat memberikan manfaat bagi siapa saja yang membaca dan memahaminya.

Jakarta, 07 Maret 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... 1

BAB I. PENDAHULUAN .................................................................................... 2

1.1 Latar Belakang .................................................................................. 2


1.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 2
1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................... 2
BAB II. PEMBAHASAN ..................................................................................... 3

2.1 Pengertian Fikih Mawaris ................................................................. 3


2.2 Dasar Hukum Fikih Mawaris ............................................................ 4
2.3 Sejarah Perkembangan Fikih Mawaris ............................................. 5
2.4 Istilah-istilah Terkait Fikih Mawaris ................................................ 9
BAB III. PENUTUP ........................................................................................... 13

3.1 Kesimpulan ..................................................................................... 13


3.2 Saran ............................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 14

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kelahiran membawa akibat timbulnya hak dan kewajiban bagi dirinya dan orang
lain serta timbulnya hubungan hukum antara dia dengan orang tua, kerabat dan
masyarakat lingkungannya.
Demikian jugadengan kematian seseorang membawa pengaruh dan akibat hukum
kepada diri, keluarga, masyarakat dan lingkungan sekitarnya, selain itu kematian
tersebut menimbulkan kewajiban orang lain bagi dirinya (si mayit) yang berhubungan
dengan pengurusan jenazahnya. Dengan kematian timbul pula akibat hukum lain
secara otomatis, yaitu adanya hubungan ilmu hukum yang menyangkut hak para
keluarganya (ahli waris) terhadap seluruh harta peninggalannya.
Adanya kematian seseorang mengakibatkan timbulnya cabang ilmu hukum yang
menyangkut bagaimanacara penyelesaian harta peninggalan kepada keluarganya
yang dikenal dengan nama Hukum Waris. Dalam syari’at Islam ilmu tersebut dikenal
dengan nama Ilmu Mawaris, Fiqih Mawaris, atau Faraidh.
Dalam hukum waris tersebut ditentukanlah siapa-siapa yang menjadi ahli waris,
siapa-siapa yang berhak mendapatkan bagian harta warisan tersebut, berapa bagian
mereka masing-masing bagaimana ketentuan pembagiannya serta diatur pula
berbagai hal yang berhubungan dengan soal pembagian harta warisan. makalah ini
kami menjelaskan pengertian, sejarah dan hukum mempelajari dan ilmu mawaris.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Fikih Mawaris?
2. Apa Dasar Hukum Fikih Mawaris?
3. Bagaimana Sejarah Perkembangan Fikih Mawaris?
4. Apa Sajakah Istilah-istilah Yang Terkait Dengan Fikih Mawaris?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui definisi fiqh mawaris dan keduduknnya dalam islam.
2. Untuk mengetahui bagaimanakah perkembangan fikih mawaris.
3. Untuk mengetahui istilah-istilah apa sajakah yang terkait dengan fikih
mawaris.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Fikih Mawaris


Lafaz al faraidh sebagai jamak dari faridhah oleh ulama, faradhiyun
diartikan semakna dengan mafrudhah, yakni bagian yang telah dipastikan atau
ditentukan kadarnya. Diartikan demikian karena bagian bagian yang telah
dipastikan kadarnya dapat mengalahkan bagian bagian yang belum dipastikan
kadarnya (Fathurrahman,1981:31).1
Muhammad Muhyidin Abdul Hamid mendefinisikan sebagai berikut:
Ilmu yang membahas tentang kadar (bagian) dari harta peninggalan bagi
setiap orang yang berhak menerimanya (ahli waris) (Abd Hamid, t.t.:7).2
Menurut Hasby Ash shiddieqy mendefinisikan sebagai berikut:
Ilmu yang mempelajari tentang siapa yang mendapatkan warisan dan siapa yang
tidak mendapatkannya, kadar yang diterima oleh tiap tiap ahli waris, dan cara
pembagiannya.3
Menurut KHI Bab 1 pasal 171 Hukum Kewarisan adalah hukum yang
mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (Tirkah)
pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa
bagiannya masing masing.4
Dari definisi definisi diatas, dapatlah dipahami bahwa Ilmu Faraidh atau
Fikih Mawaris adalah ilmu yang membicarakan hal ihwal pemindahan harta
peninggalan dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih
hidup, baik mengenai harta yang ditinggalkannya, orang orang yang berhak
menerima harta peninggalan tersebut, bagian masing masing ahli waris, maupun
cara penyelesaian pembagian harta peninggalan itu.
Sedangkan menurut Muhammad Ali Hasan adalah :

1
Suparman Usman & Yusuf Somawinata, FIQIH MAWARIS Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta:
Radar Jaya, 2002),hlm.13
2
Ibid hal. 15
3
Teungku Muhammad Hasby Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, (Semarang: Pt.Pustaka Rizki Putra,
2001). hlm.06
4
Nasution Amin Husein. HUKUM KEWARISAN. (Jakarta: PT Raja Grafido).

3
Faraid adalah jamak dari faridah, yang berarti: “satu bagian tertentu”. Jadi,
faraid berarti: “beberapa bagian tertentu”. Untuk mengetahui, siapa-siapa yang
memperoleh bagian tertentu itu, maka perlu diteliti terlebih dahulu ahli-ahli
waris yang ditinggalkan. Kemudian baru ditetapkan, siapa diantara mereka yang
mendapat bagian dan yang tidak mendapat bagian. Di dalam faraid dibahas hal-
hal yang berkenaan dengan warisan (harta peninggalan), ahli waris, ketentuan
bagian ahli waris dan pelaksanaan pembagiannya. (M. Ali Hasan 1996:10).5

Ilmu waris adalah suatu ilmu yang mengajarkan pembagian harta


peninggalan dari orang yang meninggal kepada keluarganya yang di tinggalkan.
Sedangkan faraidh yang berarti penentuan, adalah penentuan pemberian
hartapeninggalan kepada orang yang berhak menerimanya, sehingga ilmu waris
di sebut juga ilmu faraidh. (Ryan Triana Maulana, 2013:1).6

2.2 Dasar Hukum Fikih Mawaris


Dasar hukum mawaris terdapat dalam Al quran surat Annisa ayat 7:

”Bagi orang laki-laki ada hakbagian dari harta peninggalan ibu bapak dan
kerabatnya. Dan bagi orang wanita ada hak bagian pula harta peninggalan ibu
bapak dan keabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah
ditetapkan” (Q.S. Annisa:7)7

Dan juga hadis Nabi Muhammad SAW:


Nabi Muhammad SAW bersabda: “Berikanlah harta warisan kepada orang
orang yang berhak. Sesudah itu, sisanya, untuk orang laki laki yang lebih
utama” (HR. Bukhari dan Muslim).8

5
M. Ali Hasan, Hukum Warisan Dalam Islam ( Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hlm.10
6
Ryan Triana Maulana, Belajar Autodidak Menghitung Waris Islam (Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo Gramedia,2013),hlm.01
7
Ibid hal. 03
8
Ibid hal. 04

4
2.3 Sejarah Perkembangan Fikih Mawaris
1. Pewarisan Pada Masa Pra-Islam9
Pada zaman jahiliyah orang arab dalam kehidupannya bergantung pada hasil
perniagaan serta hasil jarahan dan rampasan perang dari bangsa bangsa yang
mereka taklukan. Mereka beranggapan bahwa kaum lelaki yang sudah dewasa
saja yang mampu dan memiliki kekuatan dan kekuasaan dalam memelihara
harta kekayaan mereka. Anggapan semacam diatas berlaku pula dalam hal
pembagian harta warisan. Itulah sebabnya mereka saat itu memberikan harta
warisan kepaada kaum lelaki, tidak kepada kaum perempuan, kepada orang
yang sudah dewasa bukan kepada anak anak dan kepada orang orang yang
mempunyai perjanjian prasetia (Sayid sabiq, 1972: 424). Juga kepada orang
orang yang diadopsi.
Dari uraian diatas, dapatlah dipahami bahwa sebab sebab yang
memungkinkan seseorang mendapat harta warisan pada zaman jahiliyah adalah:
1. Adanya pertalian kerabat
2. Adanya ikatan janji prasetia
3. Adanya pengangkatan anak
Orang orang yang mempunyai pertalian kerabat berhak mendapatkan waris
tetapi terbatas kepada kaum lelaki dewasa saja seperti anak laki laki, saudara
laki laki, anak paman dari si mayit.

Orang orang yang mempuyai ikatan janji prasetia dengan si mayit berhak
mendapatkan harta warisan dengan syarat apabila kedua belah pihak telah
mengadakan ijab qabul dalam janji prasetianya. Ucapan sumpah yang biasa
digunakan antara lain:

“Darahku darahmu, pertumpahan darahku pertumpahan darahmu, kamu


mewarisi hartaku aku pun mewarisi hartamu, kamu dituntut darahmu karena

9
Suparman Usman & Yusuf Somawinata, FIQIH MAWARIS Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta:
Radar Jaya, 2002),hlm.02

5
tindakanmu terhadapku akupun dituntut darahku karena tindakanku
terhadapmu.” (Hasnain Muhammad Makhluf, 1958: 5).10

Pengangkatan anak merupakan adat kebiasaan yang berlaku dalam


masyarakat arab jahiliyah. Anak angkat pada masa jahiliyah statusnya sama
dengan anak kandung dan mempunyai hak hak yang sama. Orang yang telah
diadopsi oleh si mayit berhak mendapatkan harta peninggalannya seperti anak
kandung si mayit. (Wahab Afif, 1984:12).11

2. Pewarisan Pada Masa Awal Islam


Pada masa awal islam, kekuatan kaum muslimin sangat lemah, lantaran
jumlah mereka sedikit. Setelah menerima perintah dari Allah SWT maka
Raslullah SAW pun hijrah Bersama pengikutnya ke Madinah dan setelah tiba
di Madinah Rasulullah pun disambut oleh para penduduknya dan ditempatkan
kedalam rumah rumah nya dan juga dicukupi segala kebutuhannya.
Untuk memperteguh dan mengabadikan persaudaraan kaum muhajirin dan
kaum anshor maka Rasulullah SAW menjadikan ikatan persaudaraan tersebut
sebagai salah satu sebab untuk saling mewarisi satu sama lain. Misalnya apabila
seorang Muhajirin meninggal dimadinah dan memiliki wali yang ikut hijrah
bersamanya maka hartanya diserahkan kepada walinya. Sedangkan ahli
warisnya yang enggan ikut hijrah maka tidak berhak mewarisi hartanya
sedikitpun. Akan tetapi apabila muhajir tersebut tidak mempunyai wali yang
ikut hijrah maka hartanya dapat diwarisi oleh saudaranya dari kaum Anshar
yang menjadi wali karena ikatan persaudaraan (Fathurrahman, 1981: 17).12
Dari uraian diatas dapatlah dipahami bahwa sebab sebab yang
memungkinkan seseorang mendapatkan harta warisan pada masa awal islam
adalah:
1. Adanya pertalian kerabat
2. Adanya pengangkatan anak

10
Ibid hal.03
11
Ibid hal. 04
12
Fathurrahman, Ilmu Waris (Bandung: Al-Maarif, 1981) hlm. 17

6
3. Adanya hijrah dari mekah ke Madinah dan persaudaraan kaum Muhajirin
dan Anshar.
Hijrah dan muakhkhah sebagai sebab pewarisan dibenarkan Allah SWT.
Dalam firmannya:“Sesungguhnya orang orang yang beriman dan berhijrah
serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang orang
yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang orang
muhajirin), mereka itu satu sama lain lindungi melindungi. Dan terhadap
orang orang yang beriman teteapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban
sedikitpun atasmu, melindungi mereka, sebelum mereka berhijran.” (Q.S. Al
Anfal, 8:72).
3. Pewarisan Pada Masa Islam Selanjutnya13
Setelah aqidah umat islam bertambah kuat dan satu sama lain diantara
mereka telah terpupuk rasa saling mencintai apabila kecintaan mereka kepada
Rasulullah SAW sudah sangat melekat, perkembangan islam makin maju,
pengikutnya bertambah banyak, pemerintahan islam sudah stabil, dan lebih dari
itu penaklukan kota mekkah telah berhasil sukses, maka kewajiban hijrah yang
semula sebagai sarana untuk menyusun kekuatan antara kaum muslimin kota
mekkah dan Madinah dicabut dengan hadis Rasulullah SAW: “Tidak ada hijrah
setelah penaklukan kota Mekkah” (HR. Bukhari dan Muslim).
Demikianlah juga sebab sebab pewarisan atas dasar ikatan persaudaraan
dinasakh oleh firman Allah SWT: “…Dan orang orang yang mempunyai
hubungan darah satu sama lain berhak (waris mewarisi) didalam kitab Allah
dari pda orang orang mukmin danorang oran muhajirin, kecuali kalau kamu
berbuat baik kepada saudara saudaramu (seagama)…(Q.S. Al Ahzab, 33:6).
Sebab sebab pewarisan yang hanya berdasarkan kelaki lakian dewasa dan
menyampingkan anak anak dan kaum perempuan pun dibatalkan oleh firman
Allah SWT: “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian warisan untuk)
anak anakmu. Yaitu bagian seorang anak laki laki sama dengan bagian dua
orang anak perempuan…(Q.S. Annisa, 4:11).

13
Suparman Usman & Yusuf Somawinata, FIQIH MAWARIS Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta:
Radar Jaya, 2002),hlm.06

7
Sebab sebab pewarisan yang berdasarkan janji prasetia dibatalkan oleh
firman Allah SW: “…Orang orang yang mempunyai hubungan kerabat itu
sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya dari pada orang yang bukan
kerabatnya didalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah maha mengetahui segala
sesuatu.”(Q.S. Al-Anfal, 8:75).
Sedangkan pewarisan yang berdasarkan pengangkatan anakpun dibatalkan
dalam firmannya: “Muhammad sekali kali bukanlah bapak dari seorang laki
laki diantara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi nabi…(Q.S.
Al-Ahzab, 33:40).
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa dalam islam kaum kerabat yang
berhak menerima waris bukan hanya laki laki dewasa melainkan perempuan
dan anak anak juga. Dan dalam pewarisan islam tidak dikenal adanya janji
prasetia dan pengangkatan anak (adopsi).
Ikatan perkawinan juga menjadi sebab penerimaan warisan sebagai mana
disebutkan dalam Alquran: “dan bagi suami seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh istri istri mu jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istrimu
mempunyai anak maka kamu mendapatkan seperempat dari harta yang
ditinggalkannya setelah dipenuhi semua wasiat yang mereka buat atau dan
setelah dibayar hutang hutangnya. Para istri memperoleh seperempat harta
yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak dan jika kamu
mempunyai anak maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang
kamu tinggalkan setelah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau dan sesudah
dibayar hutang hutangmu…(QS. An-Nisa 4:12).
Demikian juga pemerdekaan budak sebagaimana disebutkan dalam hadis:
“Wala’ mempunyai bagian sebagaimana kerabat mempunyai bagian.” (HR.
Ibnu Hibban dan Hakim).
Jadi sebab sebab yang memungkinkan seseorang mendapatkan harta
warisan menurut islam adalah:
1. Adanya pertalian kerabat
2. Adanya ikatan perkawinan
3. Adanya pemerdekaan budak

8
2.4 Istilah-istilah Terkait Fikih Mawaris
a. Furudul Muqaddarah
Furudul Muqaddarah artinya bagian-bagian ahli waris yang ditetapkan
(ditebtukan) oleh Al Quran dan hadis Nabi saw. Syariat Islam telah menetapkan
bahwa jumlah furudul muqaddarah itu ada enam macam, yaitu 2/3, 1/3, 1/6, 1/2,
1/4, dan 1/8.14
b. Ashabul Furud atau Zawil Furud
Adalah ahli waris yang mendapatkan bagian tertentu sesuai dengan yang
ditentukan Al Quran dan hadis Nabi saw. bagian tertentu itu yaitu: 1/8, 1/4, 1/2,
1/6, 1/3, dan 2/3.15
c. Asabah
Asabah secara etimologi adalah pembela, penolong, pelindung, atau kerabat
dari jurusan ayah. Menurut istilah faradhiyun, asabah adalah ahli waris yang
dalam penerimaannya tidak ada ketentuan bagian yang pasti, bisa menerima
seluruhnya atau menerima sisanya atau tidak mendapat sisa sama sekali. Jadi,
asabah adalah ahli waris yang bagiannya tidak ditetapkan oleh Al Quran dan
hadis nabi saw., tetapi bisa medapat harta atau sisa harta setelah dibagi kepada
ahli waris dzawil furudh.16
1) Asabah binafsi
Yaitu ahli waris yang langsung menjadi ashabah dengan sendirinya tanpa
disebabkan oleh orang lain. Misalnya, anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak
laki-laki, ayah, kakek, saudara sekandung atau seayah, saudara ayah/paman.
2) Asabah bil ghair
Yaitu perempuan yang menjadi asabah beserta orang laki-laki yang sederajat
dengannya.
3) Asabah ma’al ghair

14
Teungku Muhammad Hasby Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, (Semarang: Pt.Pustaka Rizki Putra,
2001). hlm.59
15
Ibid hal. 60-62
16
Ibid hal. 148

9
Yaitu perempuan yang menjadi asabah disebabkan ada orang lain yang bukan
17
asabah.
d. Dzawil Arham
Dzawil arham adalah ahli waris yang tidak termasuk dzawil furud maupun
asabah.18
e. Aul
Aul menurut etimologi berarti irtifa’: mengangkat. Secara etimologi Aul adalah
bertambahnya saham dzawil furudh dan berkurangnya kadar penerimaan
warisan mereka.
f. Radd
Rad adalah mengembalikan apa yang tersisa dari bagian dzawil furudh
nasabiyah kepada mereka sesuai dengan besar kecilnya bagian mereka apabila
tidak ada orang lain yang berhak untuk menerimanya.
g. Garawain
Garawain terjadi apabila ahli waris hanya terdiri dari istri atau suami serta bapak
dan ibu.
h. Wala’
Wala’ adalah hubungan saling waris mewarisi karena kekerabatan menurut
hukum yang timbul karena membebaskan budak, sekalipun di antara mereka
tidak ada hubungan darah.
i. Waris
Waris adalah orang yang akan mewarisi harta peninggalan si Muwaris karena
mempunyai sebab-sebab untuk mewarisi.
j. Muwaris
Muwaris adalah orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta waris.
k. Maurus
Maurus adalah harta benda yang ditinggalkan si mayit yang akan dibagi atau
dipusakai oleh para ahli waris setelah diambil untuk biaya-biaya perawatan
jenazah, melunasi utang, dan melaksanakan wasiat.

17
Ibid hal 153
18
Ibid hal 207

10
l. Al-Qarabah
Yaitu suatu asas dalam membagikan harta peninggalan kepada dzawil arham
berlandaskan dengan dekatnya hubungan nasab antara dzawil arham dengan
orang yang meninggal.
m. At-Tanzil
Yaitu membagikan hak ahli waris yang ada sesuai dengan bagian ahli waris
yang lebih dekat, yakni yang pokoknya (menurut Imam Hambal).
n. Ar-Rahim
Yaitu suatu asas dalam membagikan harta pusaka kepada dzawil arham atas
dasar pengertian rahim kerabat) secara umum, yang dapat diterapkan dan
mencakup kepada seluruh personalia dzawil arham, dengan tidak membedakan
mereka satu sama lain dan tidak mengutamakan salah satu rumpun dari rumpun
lainnya karena dengan dekat atau kuatnya kekerabatan mereka.
o. Hijab Hirman
Yaitu dinding yang menyebabkan seseorang ahli waris tidak memperoleh sama
sekali warisan disebabkan ahli waris yang lain.
p. Hijab Nuqshan
Yaitu berkurangnya warisan salah seorang ahli waris karena adanya orang lain.
q. Tamatsul
Yaitu apabila angka-angka penyebut bagian para ahli waris sama besarnya.
Contoh: bagian masing-masing ahli waris adalah 1/3 dengan 2/3, di sini angka
penyebutnya sama-sama 3, maka yang demikian dinamakan tamatsul.
r. Tadakhul
Yaitu apabila angka penyebut bagian para ahli waris tidak sama, tetapi bisa
dibagi dengan tepat oleh angka penyebut yang terkecil. Contoh: masing-masing
bagian ahli waris adalah 1/2 dengan 1/6, di sini angka 6 bisa dibagi dengan tepat
oleh 2, maka asal masalahnya harus ditetapkan sesuai dengan angka penyebut
yang terbesar yaitu angka 6.
s. Tawafuq
Yaitu apabila angka penyebut bagian ahli waris tidak sama dan tidak bisa dibagi
oleh angka penyebut yang terkecil, tetapi masing-masingnya masih bisa dibagi

11
oleh angka-angka yang sama. Contoh: bagian masing-masing ahli waris adalah
1/4 dengan 1/6, di sini angka 4 dan 6 sama-sama dibagi 2.
t. Tabayyun
Yaitu apabila angka penyebut bagian para ahli waris tidak sama, tidak bisa
dibagi oleh penyebut yang terkecil dan juga tidak bisa dibagi oleh angka yang
sama selain angka 1. Contoh: bagian masing-masing ahli waris adalah 1/4
dengan 2/3, di sini angka 4 dan 3 tidak bisa dibagi oleh angka yang sama kecuali
angka 1.

12
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari pembahasan diatas bahwa ilmu waris adalah ilmu yang
mempelajari pembagian peninggalan harta seseorang yang telah meninggal
kepada para ahli waris. Dasar hukum waris terdapat pada alquran surat
Annisa ayat 7 dan hadis Nabi SAW: “Berikanlah harta warisan kepada
orang orang yang berhak. Sesudah itu, sisanya, untuk orang laki laki yang
lebih utama” (HR. Bukhari dan Muslim). Ilmu waris juga mengalami
perkembangan sejarah dari budaya bangsa Arab sampai datangnya islam
kemudian memperbaiki tatacara pembagian waris.
3.2 Saran

13
DAFTAR PUSTAKA

Ash Shiddieqi Tengku Muhammad Hasby. 2001. FIQH MAWARIS.


SEMARANG: PT PUSTAKA RIZKI PUTRA.

Usman, S, Somawinata, Y. 2002. FIQH MAWARIS. JAKARTA: RADAR RAYA

Maulana, RT. 2013. BELAJAR AUTODIDAK MENGHITUNG WARIS ISLAM.


JAKARTA: PT ELEX MEDIA KOMPUTINDO GRAMEDIA

Hasan, M. Ali. 1996. HUKUM WARISAN DALAM ISLAM. JAKARTA: BULAN


BINTANG

Fathurrahman. 1996. ILMU WARIS.BANDUNG: Al MA’ARIF

14

Anda mungkin juga menyukai