Anda di halaman 1dari 8

Inflasi dan perekonomian

[sunting] Inflasi
Bulan dan tahun Tingkat inflasi
Mei 2007 6.01 %
April 2007 6.29 %
Maret 2007 6.52 %
Februari 2007 6.30 %
Januari 2007 6.26 %
Desember 2006 6.60 %
November 2006 5.27 %
Oktober 2006 6.29 %
September 2006 14.55 %
Agustus 2006 14.90 %
Juli 2006 15.15 %
Juni 2006 15.53 %
Mei 2006 15.60 %
Data inflasi dari catatan Bank
Indonesia
Inflasi di Indonesia diumpamakan seperti penyakit endemis dan berakar di sejarah.
Tingkat inflasi di Malaysia dan Thailand senantiasa lebih rendah. Inflasi di Indonesia
tinggi sekali di zaman Presiden Soekarno, karena kebijakan fiskal dan moneter sama
sekali tidak prudent (“kalau perlu uang, cetak saja”). Di zaman Soeharto, pemerintah
berusaha menekan inflasi - akan tetapi tidak bisa di bawah 10 persen setahun rata-rata,
antara lain oleh karena Bank Indonesia masih punya misi ganda, antara lain sebagai
agent of development, yang bisa mengucurkan kredit likuiditas tanpa batas. Baru di
zaman reformasi, mulai di zaman Presiden Habibie maka fungsi Bank Indonesia
mengutamakan penjagaan nilai rupiah. Tetapi karena sejarah dan karena inflationary
expectations masyarakat (yang bertolak ke belakang, artinya bercermin kepada sejarah)
maka “inflasi inti” masih lebih besar daripada 5 persen setahun.[1]
Bulan dan tahun Pertumbuhan ekonomi
Maret 2006 4.6 %
Juni 2006 5.2 %
September 2006 5.5 %
Desember 2006 6.1 %
Data pertumbuhan ekonomi
dari catatan Bank Indonesia

[sunting] Perekonomian
Tanda-tanda perekonomian mulai mengalami penurunan adalah ditahun 1997 dimana
pada masa itulah awal terjadinya krisis. Saat itu pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya
berkisar pada level 4,7 persen, sangat rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang 7,8
persen. Kondisi keamanan yang belum kondusif akan sangat mempengaruhi iklim
investasi di Indonesia. Mungkin hal itulah yang terus diperhatikan oleh pemerintah. Hal
ini sangat berhubungan dengan aktivitas kegiatan ekonomi yang berdampak pada
penerimaan negara serta pertumbuhan ekonominya. Adanya peningkatan pertumbuhan
ekonomi yang diharapkan akan menjanjikan harapan bagi perbaikan kondisi ekonomi
dimasa mendatang. Bagi Indonesia, dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi maka
harapan meningkatnya pendapatan nasional (GNP), pendapatan persaingan kapita akan
semakin meningkat, tingkat inflasi dapat ditekan, suku bunga akan berada pada tingkat
wajar dan semakin bergairahnya modal bagi dalam negeri maupun luar negeri.
Namun semua itu bisa terwujud apabila kondisi keamanan dalam negeri benar-benar telah
kondusif. Kebijakan pemerintah saat ini didalam pemberantasan terorisme, serta
pemberantasan korupsi sangat turut membantu bagi pemulihan perekonomian.
Pertumbuhan ekonomi yang merupakan salah satu indikator makro ekonomi
menggambarkan kinerja perekonomian suatu negara akan menjadi prioritas utama bila
ingin menunjukkan kepada pihak lain bahwa aktivitas ekonomi sedang berlangsung
dengan baik pada negaranya.

Puncak Inflasi Diperkirakan September


Kamis, 24 Juli 2008 | 14:59 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta: Inflasi diperkirakan akan mencapai puncaknya pada pada
September tahun ini. Harga minyak dan komoditi masih diperkirakan sebagai penyebab
inflasi.

Kepala Ekonom Bank Mandiri Martin Panggabean menyatakan tingkat inflasi pada
September dan Oktober mendatang akan mencapai sekitar 11,5 persen.

"Selain dua penyebab utama tadi, penyebab utama inflasi kali ini adalah hari raya lebaran
yang dan datangnya puasa," kata Martin usai acara paparan tinjauan makro ekonomi
Bank Mandiri hari ini.
Setelah kenaikan bahan bakar akhir Mei kemarin, kata dia, inflasi Juni mencapai 11,03
persen. Sedangkan Juli diperkirakan inflasi mencapai 11,1 persen. "Setelah puncak pada
September-Oktober itu, kami perkirakan inflasi akan cenderung stabil bahkan menurun,"
kata dia.

Untuk mengimbangi ini, Bank Indonesia diperkirakan akan terus menaikkan suku bunga
dalam beberapa bulan ke depan. "Akhir tahun suku bunga Bank Indonesia diperkirakan
akan mencapai 9,5-9,75 persen," kata dia.

Baru-baru ini BI menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin menjadi 8,75 persen. Cara
ini dinilai cara yang tepat untuk menekan laju inflasi yang diperkirakan mencapai 11-12
persen akhir tahun ini.

Akan tetapi Martin kemudian mengingatkan bahwa kenaikan suku bunga yang terlalu
tinggi nantinya akan membebani sektor riil. "Padahal sektor riil saat ini sedang
mengalami perlambatan karena inflasi," ujarnya.

Ekonomi Indonesia
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari

Ekono
mi
Indone
sia

Mata Rupiah
uang

Tahun Tahun kalender


fiskal

Organi APEC, ASEAN,


sasi WTO
perdag
angan

Statisti
k [1]

Pering ke-15
kat
PDB

PDB $863,6 milyar


(2005)

Pertum 4,8% (2004)


buhan
PDB

PDB $3.200 (2004)


per
kapita

PDB pertanian
berdas (16.6%), industri
arkan (43.6%), jasa
sektor (39.9%) (2004)

Inflasi 6.6% (2004)

Pop di 8.% (1998)


bawah
garis
kemisk
inan

Tenaga 105,7 juta (2004)


kerja

Tenaga produksi 46%,


kerja pertanian 16%,
berdas jasa 39% (1999)
arkan
pekerj
aan

Pengan 8.7% (2004)


gguran

Industr minyak bumi dan


i gas alam; tekstil,
utama perlengkapan,
dan sepatu;
pertambangan,
semen, pupuk
kimia, plywood;
karet; makanan;
pariwisata

Perdag
angan
Interna
sional[
2]

Ekspor $113,99 milyar


(2007)

Komod minyak dan gas,


iti plywood, tekstil,
utama karet

Mitra Jepang 22,3%,


dagang Amerika Serikat
12,1%,
Singapura 8,9%,
Korea Selatan
7,1%, China
6.2% (2003)

Impor $74,40 milyar


(2007)

Komod mesin dan


iti peralatan; kimia,
utama bahan bakar,
makanan

Mitra Jepang 13%,


dagang Singapura
12,8%, China
9,1%, Amerika
Serikat 8,3%,
Thailand 5,2%,
Australia 5,1%,
Korea Selatan
4,7%, Arab
Saudi 4,6%
(2003)

Keuan
gan
publik
[3]

Utang $454.3 milyar


pemeri (56.2% dari
ntah GDP)
Pendap $40.91 milyar
atan (2004)

Belanj $44,95 milyar


a (2004)

Bantua $43 milyar dari


n IMF (1997–
ekono 2000)
mi

Sunting

Indonesia memiliki ekonomi berbasis-pasar di mana pemerintah memainkan peranan


penting. Pemerintah memiliki lebih dari 164 BUMN dan menetapkan harga beberapa
barang pokok, termasuk bahan bakar, beras, dan listrik. Setelah krisis finansial Asia yang
dimulai pada pertengahan 1997, pemerintah menjaga banyak porsi dari aset sektor swasta
melalui pengambilalihan pinjaman bank tak berjalan dan asset perusahaan melalui proses
penstrukturan hutang.

[sunting] Latar belakang


Selama lebih dari 30 tahun pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto, ekonomi
Indonesia tumbuh dari GDP per kapita $70 menjadi lebih dari $1.000 pada 1996. Melalui
kebijakan moneter dan keuangan yang ketat, inflasi ditahan sekitar 5%-10%, rupiah stabil
dan dapat diterka, dan pemerintah menerapkan sistem anggaran berimbang. Banyak dari
anggaran pembangunan dibiayai melalui bantuan asing.
Pada pertengahan 1980-an pemerintah mulai menghilangkan hambatan kepada aktivitas
ekonomi. Langkah ini ditujukan utamanya pada sektor eksternal dan finansial dan
dirancang untuk meningkatkan lapangan kerja dan pertumbuhan di bidang ekspor non-
minyak. GDP nyata tahunan tumbuh rata-rata mendekati 7% dari 1987-1997, dan banyak
analisis mengakui Indonesia sebagai ekonomi industri dan pasar utama yang
berkembang.
Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dari 1987-1997 menutupi beberapa kelemahan
struktural dalam ekonomi Indonesia. Sistem legal sangat lemah, dan tidak ada cara efektif
untuk menjalankan kontrak, mengumpulkan hutang, atau menuntut atas kebangkrutan.
Aktivitas bank sangat sederhana, dengan peminjaman berdasarkan-"collateral"
menyebabkan perluasan dan pelanggaran peraturan, termasuk batas peminjaman.
Hambatan non-tarif, penyewaan oleh perusahaan milik negara, subsidi domestik,
hambatan ke perdagangan domestik, dan hambatan ekspor seluruhnya menciptakan
gangguan ekonomi.
Krisis finansial Asia Tenggara yang melanda Indonesia pada akhir 1997 dengan cepat
berubah menjadi sebuah krisis ekonomi dan politik. Respon pertama Indonesia terhadap
masalah ini adalah menaikkan tingkat suku bunga domestik untuk mengendalikan
naiknya inflasi dan melemahnya nilai tukar rupiah, dan memperketat kebijakan fiskalnya.
Pada Oktober 1997, Indonesia dan International Monetary Fund (IMF) mencapai
kesepakatan tentang program reformasi ekonomi yang diarahkan pada penstabilan
ekonomi makro dan penghapusan beberapa kebijakan ekonomi yang dinilai merusak,
antara lain Program Permobilan Nasional dan monopoli, yang melibatkan anggota
keluarga Presiden Soeharto. Rupiah masih belum stabil dalam jangka waktu yang cukup
lama, hingga pada akhirnya Presiden Suharto terpaksa mengundurkan diri pada Mei
1998. Di bulan Agustus 1998, Indonesia dan IMF menyetujui program pinjaman dana di
bawah Presiden B.J Habibie. Presiden Gus Dur yang terpilih sebagai presiden pada
Oktober 1999 kemudian memperpanjang program tersebut.

[sunting] Kajian Pengeluaran Publik


Sejak krisis keuangan Asia di akhir tahun 1990-an, yang memiliki andil atas jatuhnya
rezim Suharto pada bulan Mei 1998, keuangan publik Indonesia telah mengalami
transformasi besar. Krisis keuangan tersebut menyebabkan kontraksi ekonomi yang
sangat besar dan penurunan yang sejalan dalam pengeluaran publik. Tidak mengherankan
utang dan subsidi meningkat secara drastis, sementara belanja pembangunan dikurangi
secara tajam.
Saat ini, satu dekade kemudian, Indonesia telah keluar dari krisis dan berada dalam
situasi dimana sekali lagi negara ini mempunyai sumber daya keuangan yang cukup
untuk memenuhi kebutuhan pembangunan. Perubahan ini terjadi karena kebijakan
makroekonomi yang berhati-hati, dan yang paling penting defisit anggaran yang sangat
rendah. Juga cara pemerintah membelanjakan dana telah mengalami transformasi melalui
"perubahan besar" desentralisasi tahun 2001 yang menyebabkan lebih dari sepertiga dari
keseluruhan anggaran belanja pemerintah beralih ke pemerintah daerah pada tahun 2006.
Hal lain yang sama pentingnya, pada tahun 2005, harga minyak internasional yang terus
meningkat menyebabkan subsidi minyak domestik Indonesia tidak bisa dikontrol,
mengancam stabilitas makroekonomi yang telah susah payah dicapai. Walaupun terdapat
resiko politik bahwa kenaikan harga minyak yang tinggi akan mendorong tingkat inflasi
menjadi lebih besar, pemerintah mengambil keputusan yang berani untuk memotong
subsidi minyak.
Keputusan tersebut memberikan US$10 milyar [4] tambahan untuk pengeluaran bagi
program pembangunan. Sementara itu, pada tahun 2006 tambahan US$5 milyar [5] telah
tersedia berkat kombinasi dari peningkatan pendapatan yang didorong oleh pertumbuhan
ekonomi yang stabil secara keseluruhan dan penurunan pembayaran utang, sisa dari krisis
ekonomi. Ini berarti pada tahun 2006 pemerintah mempunyai US$15 milyar [6] ekstra
untuk dibelanjakan pada program pembangunan. Negara ini belum mengalami 'ruang
fiskal' yang demikian besar sejak peningkatan pendapatan yang dialami ketika terjadi
lonjakan minyak pada pertengahan tahun 1970an. Akan tetapi, perbedaan yang utama
adalah peningkatan pendapatan yang besar dari minyak tahun 1970-an semata-mata
hanya merupakan keberuntungan keuangan yang tak terduga. Sebaliknya, ruang fiskal
saat ini tercapai sebagai hasil langsung dari keputusan kebijakan pemerintah yang hati
hati dan tepat.
Walaupun demikian, sementara Indonesia telah mendapatkan kemajuan yang luar biasa
dalam menyediakan sumber keuangan dalam memenuhi kebutuhan pembangunan, dan
situasi ini dipersiapkan untuk terus berlanjut dalam beberapa tahun mendatang, subsidi
tetap merupakan beban besar pada anggaran pemerintah. Walaupun terdapat pengurangan
subsidi pada tahun 2005, total subsidi masih sekitar US$ 10 milyar [7] dari belanja
pemerintah tahun 2006 atau sebesar 15 persen dari anggaran total.
Berkat keputusan pemerintahan Habibie (Mei 1998 - Agustus 2001) untuk
mendesentralisasikan wewenang pada pemerintah daerah pada tahun 2001, bagian besar
dari belanja pemerintah yang meningkat disalurkan melalui pemerintah daerah. Hasilnya
pemerintah propinsi dan kabupaten di Indonesia sekarang membelanjakan 37 persen [8]
dari total dana publik, yang mencerminkan tingkat desentralisasi fiskal yang bahkan lebih
tinggi daripada rata-rata OECD.
Dengan tingkat desentralisasi di Indonesia saat ini dan ruang fiskal yang kini tersedia,
pemerintah Indonesia mempunyai kesempatan unik untuk memperbaiki pelayanan
publiknya yang terabaikan. Jika dikelola dengan hati-hati, hal tersebut memungkinkan
daerah-daerah tertinggal di bagian timur Indonesia untuk mengejar daerah-daerah lain di
Indonesia yang lebih maju dalam hal indikator sosial. Hal ini juga memungkinkan
masyarakat Indonesia untuk fokus ke generasi berikutnya dalam melakukan perubahan,
seperti meningkatkan kualitas layanan publik dan penyediaan infrastruktur seperti yang
ditargetkan. Karena itu, alokasi dana publik yang tepat dan pengelolaan yang hati-hati
dari dana tersebut pada saat mereka dialokasikan telah menjadi isu utama untuk belanja
publik di Indonesia kedepannya.
Sebagai contoh, sementara anggaran pendidikan telah mencapai 17.2 persen [9] dari total
belanja publik- mendapatkan alokasi tertinggi dibandingkan sektor lain dan mengambil
sekitar 3.9 persen [10] dari PDB pada tahun 2006, dibandingkan dengan hanya 2.0 persen
dari PDB pada tahun 2001[11] - sebaliknya total belanja kesehatan publik masih dibawah
1.0 persen dari PDB [12]. Sementara itu, investasi infrastruktur publik masih belum
sepenuhnya pulih dari titik terendah pasca krisis dan masih pada tingkat 3.4 persen dari
PDB [13]. Satu bidang lain yang menjadi perhatian saat ini adalah tingkat pengeluaran
untuk administrasi yang luar biasa tinggi. Mencapai sebesar 15 persen pada tahun 2006
[14], menunjukkan suatu penghamburan yang signifikan atas sumber daya publik.

[sunting] Lihat pula

Anda mungkin juga menyukai