Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Wilayah pesisir Indonesia pada umumnya identik dengan beberapa

ekosistem, diantaranya; ekosistem lamun, ekosistem terumbu karang dan

ekosistem mangrove. Saru, A (2007) menyatakan bahwa beberapa ahli

mendefinisikan istilah mangrove secara berbeda-beda, namun pada dasarnya

merujuk pada pengertian yang sama. Tomlinson (1986) dan Wightman (1989)

menjelaskan bahwa mangrove sebagai vegetasi yang terdapat di daerah pasang

surut sebagai suatu komunitas. Hutan pasang surut atau hutan payau lebih dikenal

dengan nama hutan mangrove merupakan vegetasi yang tumbuh sangat

dipengaruhi oleh kadar garam serta adanya aliran sungai yang berair tawar,

sehingga pada umumnya hutan mangrove berada di muara – muara sungai di tepi

pantai yang cukup terlindung oleh hempasan gelombang dan angina laut yang

deras (Darsidi 1984).

Hogarth (1999) menjelaskan bahwa Hutan mangrove merupakan suatu

ekosistem yang mempunyai peranan penting ditinjau dari sisi ekologis maupun

aspek sosial ekonomi. Hutan mangrove adalah tipe hutan yang ditumbuhi dengan

pohon bakau yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai dan

dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Definisi lain diberikan oleh Soerianegara

(1987), yang menjelaskan bahwa hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh

pada tanah berlumpur aluvial di daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi

oleh pasang surut dengan beberapa genera atau spesies yaitu Avicennia sp,

Sonneratia sp, Rhizophora sp, Bruguiera sp, Ceriops sp, Lumnitzera sp,

1
Excoecaria sp, Xylocarpus sp, Aegicveras sp, Scyphyphora dan Nypa sp.

Mulyadi dkk. (2006) menyatakan bahwa Hutan mangrove atau yang sering

disebut hutan bakau merupakan sebagian wilayah ekosistem pantai yang

mempunyai karakter unik dan khas, dan memiliki potensi kekayaan hayati.

Ekosistem mangrove memiliki nilai ekonomi dan ekologi yang besar serta

signifikan (Shah dan Kamaruzaman, 2007). Secara umum ekosistem mangrove

merupakan habitat penting tumbuhan hijau yang memiliki peranan penting dalam

melindungi tambak dari pasang air, menghilangkan polutan dan juga diketahui

sebagai tempat penyedia makanan, pemeliharaan, pemijahan, penetasan, asuhan

dari organisme akuatik (Ponnambalam dkk., 2012).

Walters et al. (2008) menyatakan bahwa hutan mangrove di sepanjang

pesisir pantai dan sungai secara umum menyediakan habitat bagi berbagai jenis

ikan. Hutan mangrove sebagai salah satu lahan basah di daerah tropis dengan

akses yang mudah serta kegunaan komponen biodiversitas dan lahan yang tinggi

telah menjadikan sumberdaya tersebut sebagai sumberdaya tropis yang

kelestariannya akan terancam. Konversi hutan mangrove terus meningkat untuk

dijadikan lahan pertanian atau tambak ikan/udang, sehingga menyebabkan

penurunan produktivitas ekosistem tersebut (Dave, 2006).

Kondisi mangrove saat ini benar-benar dalam proses kemunduran.

Tingginya tekanan populasi, konversi mangrove ke pertanian dan produksi garam,

industri tambang, industrialisasi pesisir dan urbanisasi, dan konversi pesisir ke

pertambakan menjadi penyebab utama degradasi ekosistem mangrove (Vaiphasa

dkk., 2006; Macinthos dkk., 2002). Degradasi ekosistem mangrove dapat

berdampak pada fungsi fisik, ekologi dan ekonomi (Saparinto 2007). Salah satu

2
upaya konservatif untuk mengembalikan fungsi hutan mangrove yang mengalami

degradasi kepada kondisi yang dianggap baik dan mampu mengemban fungsi

fisik, ekologis dan ekonomis adalah dengan melakukan kegiatan rehabilitasi

ekosistem mangrove (Bengen, 1999).

Menurut Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.03/MENHUT-V/2004

rehabilitasi hutan mangrove upaya mengembalikan fungsi hutan mengrove yang

mengalami degradasi, kepada kondisi yang dianggap baik dan mampu

mengemban fungsi ekologis dan ekonomis.

Macintosh et al., 2002 dalam Rusdianti. K, 2012 mengemukakan bahwa

rehabilitasi merupakan kegiatan/upaya, termasuk didalamnya pemulihan dan

penciptaan habitat dengan mengubah sistem yang rusak menjadi yang lebih stabil.

Pemulihan merupakan suatau kegiatan untuk menciptakan suatu ekosistem atau

memperbahuruinya untuk kembali pada fungsi alamiahnya. Namun demikian,

rehabilitasi mangrove sering diartikan secara sederhana, yaitu menanam

mangrove atau membenihkan mangrove lalu menanamnya tanpa adanya penilaian

yang memadai dan evaluasi terhadap keberhasilan penanaman dan level

ekosistem. Oleh karena itu dalam makalah ini akan menjelaskan bagaimana

proses merehabilitasi mangrove yang benar dengan teknik yang terstruktur dan

terkontrol.

B. Tujuan

Adapun yang menjadi tujuan dalam makalah ini adalah Mendeskripsikan

teknik rehabilitasi mangrove dan pelaksanaannya dalam upaya menjaga dan

melestarikannya.

3
C. Manfaat

Adapun yang menjadi manfaat dalam penulisan makalah ini adalah

memberikan informasi bagaimana teknik rehabilitasi mangrove dan sebagai

sumber informasi atau literatur kepada mahasiswa serta masyarakat pada

umumnya untuk bagaimana cara teknik rehabilitasi mangrove yang tepat dan

berkelanjutan.

4
BAB II
TEKNIK REHABILITASI

A. Persiapan

Pelaksanaan persiapan dalam melakukan rehabilitasi mangrove memiliki

beberapa tahap ataupun prosedur yang seharusnya dicermati dan dilakukan untuk

menunjang keberhasilan dalam memulihkan kondisi ekosistem mangrove yang

akan dipulihkan, diantaranya sebagai berikut.

1. Penelitian

Langkah pertama yang harus dilakukan untuk mulai melakukan pekerjaan

rehabilitasi mangrove adalah membentuk tim inti yang akan bertugas sebagai

tenaga pendamping masyarakat dalam melaksanakan program rehabilitasi

mangrove di suatu kawasan mangrove, selanjutnya melakukan Penelitian, yang

meliputi studi sosial ekonomi, budaya, kependudukan, mata pencaharian,

keanekaragaman jenis mangrove dan lain-lain yang berguna untuk mengetahui

permasalahan yang ada sehingga bisa dipecahkan secara bersama-sama dengan

masyarakat setempat. Penelitian diadakan untuk mengetahui tentang kondisi

ekologi kawasan pesisir di lokasi program rehabilitasi (Priyono., 2010).

Penelitian tersebut memiliki tujuan untuk mengetahui lingkungan

mangrove seperti yang dijelaskan oleh Brown Benyamin (2006), bahwa tekanan

pada lingkungan mangrove yang diperkirakan menghambat terjadinya regenerasi

alami, misalnya kurangnya air tanah, terhambatnya pertukaran air pasang/surut,

tingginya kadar garam atau asam sulfat tanah (seringkali terjadi pada bekas

tambak udang), penggembalaan ternak, abrasi garis pantai dan penurunan

ketinggian substrat.

5
2. Sosialisasi

Lokasi yang dipilih untuk rehabilitasi mangrove hanya berdasarkan

kondisi dataran yang berupa lumpur mudflat, dataran garam salt pan atau laguna

dengan asumsi bahwa lahan tersebut akan lebih baik dan produktif jika dijadikan

hutan mangrove. Akan tetapi sebenarnya dataran lumpur adakalanya memiliki

fungsi ekologi tertentu, misalnya sebagai tempat mencari makan burung-burung

yang bermigrasi, sehingga penanaman mangrove gagal. Sebelum melakukan

penanaman mangrove atau upaya restorasi lainnya, sangat penting artinya untuk

menentukan apakah areal yang akan direstorasi ini cocok untuk pertumbuhan

mangrove. Kenalilah apa saja tekanan yang menghalangi pertumbuhan mangrove.

Untuk itu bekerjasamalah dengan masyarakat setempat untuk mengetahui sejarah

perubahan hutan mangrove di areal tersebut (Brown Benyamin., 2006).

Oleh karena itu perlu adanya melakukan sosialisasi sekaligus pendekatan

terhadap masyarakat. Priyono (2010) menjelaskan bahwa sosialisasi ke

masyarakat adalah tahapan yang penting untuk dilakukan. Sebuah metode yang

bisa digunakan untuk mulai menyosialisasikan tujuan program rehabilitasi

mangrove kita ke masyarakat bisa dilakukan dengan melakukan metode PRA

Participatory Rural Appraisal, yaitu sebuah metode pendekatan masyarakat yang

meletakkan masyarakat sebagai subyek kegiatan dan bukan obyeknya.

3. Persemaian

Menurut Priyono (2010) Lokasi persemaian (bedeng) dipilih yang

berdekatan dengan lokasi penanaman mangrove. Hal ini, bertujuan untuk

mempermudah distribusi bibit mangrove pada saat penanaman. Selain itu, harus

diperhatikan juga tentang kondisi lingkungan, seperti tipe pasang surut di lokasi

6
bedeng. Informasi mengenai kondisi pasang surut yang tepat sangat dibutuhkan

untuk menjaga sirkulasi air dan mengenali pola penggenangan di bedeng.

Mengingat pembangunan bedeng sangat tergantung dengan pasang surut, maka

suatu lokasi yang tidak memiliki pola sirkulasi pasang surut yang baik, sudah

seharusnya tidak dipilih sebagai lokasi peletakan bedeng.

Priyono (2010) mengemukakan bahwa ada beberapa macam bentuk

bedeng yaitu:

a. Bedeng tingkat

Bedeng tingkat artinya, dasar bedeng ditinggikan beberapa sentimeter dari

atas tanah dengan tujuan untuk menghindari pemangsaaan bibit mangrove oleh

pemangsa misalkan kepiting. Kepiting jenis Episesarma spp (Wideng) biasanya

adalah jenis kepiting yang umum ditemukan di daerah mangrove, namun tidak

terlalu melimpah sehingga bisa mengganggu kehidupan mangrove yang baru saja

ditanam.

Bedeng tingkat ini dibuat dari potongan bambu dan bisa dibuat beberapa

buah dengan ukuran yang disesuaikan sesuai dengan kebutuhan dan anggaran

yang tersedia. Sebagai naungan, bisa digunakan daun kelapa dan atau bahan

penutup lainnya. Intinya, bibit-bibit mangrove tidak boleh terkena sinar matahari

secara langsung karena akan mengakibatkan pada kematian bibit mangrove yang

sedang disemaikan.

b. Bedeng tanpa tingkat

Bedeng tanpa tingkat artinya, dasar bedeng tidak ditinggikan melainkan

langsung menggunakan tanah sebagai dasarnya. Kelebihan bedeng ini adalah bisa

cepat dibangun dengan hanya membutuhkan biaya yang murah. Kelemahan dari

7
bedeng jenis ini adalah bagi daerah persemaian yang memiliki kelimpahan

kepiting yang besar, maka kehidupan bibit bisa mencapai minimal, apabila

program pemeliharaan bibit mangrove tidak dijalankan secara optimal.

Gambar 1. Bedeng tanpa tingkat (Wibisono I. T. C, 2013)

4. Langkah-langkah Pembibitan

a. Pengambilan Buah

Pengambilan buah mangrove dilakukan dengan cara mengambil buah

mangrove dari pohonnya secara langsung. Buah-buah mangrove dari jenis

Rhizophora dan Ceriops, terletak bervariasi di ketinggian yang berbeda. Buah

Rhizophora yang diambil adalah buah yang sudah matang, yang ditandai dengan

adanya cincin kuning di bagian propagulnya. Untuk propagul yang belum muncul

cincin kuningnya, tidak diambil karena belum bisa disemaikan. Untuk jenis

Sonneratia, buah matang dicirikan dengan telah pecahnya kulit buah sehingga

terlihat biji-bijinya.

Tipe buah mangrove ada dua buah, yaitu Vivipari dan Kriptovivipari.

Vivipari adalah biji yang telah berkecambah ketika masih melekat pada pohon

induknya dan kecambah telah keluar dari buah. Sedangkan Kriptovivipari adalah

adalah biji yang telah berkecambah, ketika masih melekat pada pohon induknya,

tetapi masih tertutup oleh kulit biji. Berikut ini adalah gambar buah vivipari dalam

bentuk propagul jenis mangrove Rhizophora apiculata.

8
Gambar 2. Ilustrasi Propagul Jenis Mangrove Rhizophora apiculata
(Priyono, 2007)

Bisa di lihat bagian-bagian buah vivipari dari jenis mangrove Rhizophora

apiculata mulai dari; (1) Tangkai, (2) Kelopak Buah, (3) Bakal daun plumula, (4)

Buah, (5) Keping Buah, (6) Hipokotil dan (7) Radikula.

Keterangan mengenai beberapa bagian dalam propagul ini telah jelas.

Bakal Daun plumula adalah bakal daun yang tertutupi oleh Keping Buah.

Selanjutnya, Keping Buah bisa dijadikan indikator bagi pemasakan buah. Apabila

warna Keping Buah berubah menjadi kuning atau coklat, maka bisa dipastikan

bahwa buah Rhizophora apiculata telah masak.

Hipokotil adalah semai antara batang dan akar. Bagi beberapa jenis

tumbuhan mangrove, Hipokotil merupakan bagian yang sangat penting untuk

menyimpan cadangan makanan dan bahan cadangan lainnya. Hipokotil

merupakan kecambah yang keluar dari buahnya. Sementara itu, Radikula adalah

bakal akar yang akan menjelma menjadi akar-akar mangrove yang kuat yang akan

bisa melindungi pesisir pantai kita dari abrasi dan gelombang tsunami.

b. Perlakuan Buah

Setelah diambil dari sumbernya, buah mangrove kemudian diletakkan di

9
tempat yang terlindung. Buah mangrove bisa diletakkan sementara di bedeng dan

di pohon indukannya. Bibit mangrove kemudian diberikan perlakuan sedemikian

rupa sehingga pada saat disemaikan bisa mencapai kelulushidupan yang

maksimal.

Secara sederhana, buah mangrove yang ditemukan di lapangan, biasanya

terdiri dari dua tipe, yaitu tipe propagul dan tipe buah bulat. Tipe propagul

berbentuk bulat-lonjong-memanjang dan tipe buah bulat berbentuk bulat, dengan

variasi bulat-lancip seperti pada jenis Avicennia dan bulat penuh yang terdapat

pada Sonneratia. Kedua tipe buah mangrove ini mendapatkan perlakukan yang

sama setelah dipetik dari lapangan, yaitu direndam kurang lebih dua hari atau

menyesuaikan dengan jarak waktu antara pembibitan dan penanaman, sebelum

kemudian disemaikan di bedeng.

Perendaman ini berfungsi untuk menghilangkan kandungan gula pada

buah, yang disukai oleh kepiting. Dengan demikian, pada saat disemaikan, maka

pemangsaan buah oleh kepiting bisa dikurangi. Perendaman dengan air tawar ini,

sekaligus juga berfungsi sebagai sebuah usaha untuk memperlambat tumbuhnya

akar apabila jarak antara pembibitan dan penanaman memerlukan waktu yang

relatif agak lama.

Tabel 1. Perlakuan buah mangrove yang baik untuk ditanam ditandai dengan
waktu yang tepat
Species Jenis Biji Bulan Tanda Matang Ukuran Buah
Matang
Avicennia marina Propagule D, *J, F Kulit buah kuning Berat > 30 g
Brugeira Propagule M, J, J, A, S, Warna buah coklat Panjang > 20 cm
gymnorrhiza O, N, D kemerahan
Ceriops tagal Propagule A, S Tangkai kuning, buah Panjang > 20 cm
coklat atau hijau
Rhizophora Propagule D, J, M, A Tangkai kemerahan Panjang > 20 cm,
apiculata diameter > 14 mm
Rhizophora Propagule S, O, N, D Tangkai kemerahan Panjang > 50 cm

10
mucronata buah coklat
Sonneratia alba Buah A, M, J, S, O Terapung air Diameter > 4 cm
Xylocarpus Buah S, O, N Buah kuning/coklat Berat tiap biji dalam
granatum dan terapung di air buah lebih dari 30 g
* Huruf yang ditebalkan menunjukkan musim
puncak. Diadaptasi dari Hachinohe et. AL,
“Nursery Manual for Mangrove Species - At
Benoa Port in Bali,” JICA, 1998.

B. Penanaman

Penanaman mangrove langkah awal yang perlu dilakukan yakni

pemindahan bibit mangrove dari tempat persemaian ke lokasi penanaman dengan

prinsip tidak merusak akar dan bagian lain dari bibit, menggunakan alat bantu

yang sesuai, dilakukan dengan hati-hati serta hindari pemindahan saat terik

matahari.

Wibisono I. T. C (2013) menjelaskan bahwa penanaman bibit mangrove

pada umumnya diaplikasikan dengan jarak tanam antara lain;

1. penanaman intensif di areal terbuka : 1m x 1m, 2m x 2m, 2m x 3m, 3m x

3m;

2. Penanaman sistem jalur di areal terbuka : 1m x 1m, 2m x 2m, jarak antar

jalur 4-10 m;

3. Penanaman kanan kiri pematang tambak : jarak antar bibit : 20 cm, 30 cm,

50 cm, bisa 1 atau 2 baris;

4. Penanaman kanan kiri sungai : 1m x 1m, 2m x 2m, 2m x 3m, 3m x 3m,

bisa 2 atau 5 baris sesuai dengan kondisi tepi sungai

Saat penanaman mangrove hendaknya polibag dilepaskan dengan hati-hati

dari bibit mangrove sebelum ditanam, hal ini dikarenakan akar bibit mangrove

yang masih rentan dengan perlakuan.

11
Untuk menandakan adanya bibit mangrove yang telah ditanam bisa

menggunakan ajir, dibantu dengan tali bertanda. Selain sebagai penanda, ajir

diperlukan sebagi penahan bibit yang terkena air pasang dan bibit mangrove

nantinya tumbuh dengan tegak.

C. Pemeliharaan

Pemeliharaan memiliki tujuan untuk memastikan bibit mangrove yang

ditanam di kawasan rehabilitasi mampu tumbuh optimal, untuk itu hal-hal yang

perlu dilakukan yakni monitoring dan evaluasi secara berkala untuk mengetahui

kondisi dan pertumbuhan tanaman setelah ditanam. Wibisono I. T. C (2013)

mengemukakan bahwa dalam melakukan pemeliharaan bibit mangrove harus

melakukan pencagahan sekaligus penanggulangan hama dan penyulaman pada

bibit yang mati.

1. Pencegahan dan Penanggulangan Hama

Hama yang sering menyerang mangrove yakni hewan ternak (sapi,

kambing), ulat daun dan teritip.

a. Hewan ternak pencegahannya dengan melakukan penanaman mangrove

pada posisi yang tepat, misalnya tidak landai, posisi pematang agak curam

dan di perlukan jarak antara tempat penanaman dan pematang. Selain itu,

pengandangan hewan ternak perlu dilakukan serta pengawasan dan

pengendalian ternak.

b. Pencegahan hama ulat pada bibit tanaman mangrove dengan cara

penyiraman air payau secara teratur. Penanggulangannya ketika telah

terserang hama perlu dilakukan penyemprotan kuat air payau dan

pembasmian manual.

12
c. Lumut sutra merupakan hama yang sering menyerang bibit mangrove

dengan cara pencegahan pemberian netting pada inlet saluran air, untuk

penanggulangannya dapat dilakukan secara manual.

2. Penyulaman

Penyulaman perlu dilakukan untuk meningkatkan persentase tumbuh

tanaman dengan menyediakan bibit mangrove 10% sampai 20% dari jumlah yang

ditanam pada kawasan rehabilitasi. Pelaksanaan penyulaman dilakukan atas dasar

hasil dari kegiatan monitoring dan evaluasi, selambat-lambatnya 2-3 bulan setelah

ditanam. Penyulaman dilakukan pada tanaman bibit mangrove yang telah mati

atau terserang hama dan penyakit.

13
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan data yang dihasilkan dapat disimpulkan bahwa dalam

melakukan rehabilitasi mangrove yang baik, terdapat teknik rehabilitasi

terstruktur dengan beberapa tahap yang harus dilaksanakan, dimulai dari

persiapan dengan penelitian berkelanjutan untuk mengidentifikasi kawasan

rehabilitasi, menyosialisasikan kepada masyarakat sekitar tentang kawasan

rencana rehabilitasi, menyiapkan tempat persemaian dan menyiapkan bibit.

Selanjutnya melakukan penanaman bibit mangrove menggunakan jarak tanam

yang sesuai dan memeliharanya dengan cara monitoring dan evaluasi secara

berkala untuk mengidentifikasi ancaman pada bibit baik melakukan pencegahan

dan penanggulangan hama atau penyulaman pada bibit yang mati.

B. Saran

Pemulihan kawasan ekosistem mangrove dari degradasi dapat dilakukan

dengan rehabilitasi mangrove melalui teknik rehabilitasi. Oleh karena itu perlu

adanya pemahaman tentang teknik rehabilitasi dan kesadaran secara menyeluruh

dari masyarakat mengenai pentingnya ekosistem mangrove, agar seluruh

masyarakat dapat menjaga dan melindungi mangrove.

Pemerintah selaku pengambil kebijakan perlu mengeluarkan peranturan

dan sangsi yang tegas untuk melindungi dan melestarikan mangrove yang

tentunya peran lembaga keilmuan misalnya mahasiswa, dosen dan pelajar untuk

terus menggiatkan pemahaman yang bersifat berkelanjutan kepada masyarakat.

14

Anda mungkin juga menyukai