Anda di halaman 1dari 15

EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN DALAM AKAD MURABAHAH ATAS

ALASAN WANPRESTASI
(Perspektif Perlindungan Nasabah)

Oleh : Drs. H. Abd. Salam, S.H. M.H.


Wakil Ketua Pengadilan Agama Mataram
Pendahuluan
Hak tanggungan memberikan hak istimewa pada kreditur (bank) dan eksekusinya mudah
karena dapat dilakukan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum tanpa melalui
persetujuan lagi kepada pemberi hak tanggungan selanjutnya bank mengambil pelunasan
piutangnya.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012, tanggal 29 Agustus
2012, Peradilan Agama berwenang melakukan proses lelang pada jaminan Hak Tanggungan atas
akad-akad syariah. Maka SEMA Nomor 4 Tahun 2016, tanggal 9 Desember 2016 memberikan
petunjuk teknis bahwa “Hak Tanggungan dan jaminan utang lainnya dalam akad ekonomi
syariah tetap dapat dieksekusi jika terjadi wanprestasi meskipun belum jatuh tempo pelunasan
sesuai dengan yang diperjanjikan setelah diberi peringatan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku”.
Murabahah merupakan skema yang paling dominan digunakan dalam perbankan syariah
dibandingkan dengan akad lainnya,1 karena dalam murabahah, bank sebagai lembaga
intermediary prinsip kehati-hatian (prudential) bisa diterapkan secara effesien sehingga resiko
kerugian bank bisa diminimalisir.
Sebagai bentuk jual-beli, harga murabahah bisa dibayar secara tunai (naqdan), angsur
(taqhsith) atau dalam bentuk sekaligus (mu’ajjal).
Dalam akad murabahah harga property yang sama yang pelunasan harganya dibayar
secara angsur, dijual oleh bank dengan yang berbeda tergantung dengan lamanya jangka
pelunasan. Semakin lama masa angsuran akan semakin mahal atau tinggi harganya.
Disini bank syariah juga melakukan pricing2 yang acuannya sama dengan bunga pada
bank konpensional, dimana waktu juga dihargai secara ekonomi. Gambaran singkatnya sebagai
berikut :

1
Dr. Mardani, Hukum Perikatan Syariah di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2013, hal . 123;
2
Pricing adalah memperhitungkan harga jual dengan mempertimbangkan jangka waktu pelunasan dengan acuan
bunga dalam kredit konpensional. Ini adalah delema system syariah sehingga aplikasi harga murabahah harus
- Harga perolehan bank (tsaman al-awwal) sebesar Rp. 400.000.000,- untuk jangka waktu 3
(tiga) tahun (36 angsuran) dijual oleh bank dengan harga Rp. 512.500.000,-
- Untuk jangka waktu 5 tahun (60 angsuran) dijual dengan harga Rp.587.500.000,-
- Untuk jangka waktu 10 tahun (120 angsuran) dijual oleh bank dengan harga Rp.
775.000.000,- dan seterusnya.
Maka ketika nasabah yang mengadakan akad murabahah dengan bank syariah untuk
masa angsuran 10 tahun, dan mengalami macet saat angsuran berjalan 5 tahun, akan sangat
merugikan nasabah jika bank menuntut pelunasan harga sebesar Rp. 775.000.000,- sebagaimana
yang diperjanjikan dalam akad. Itulah yang terjadi di lapangan, hal ini dirasakan sangat
merugikan nasabah sehingga pada saat ada permohonan eksekusi lelang atas hak tanggungan
sebagai perjanjian asesor dari murabahah tersebut memunculkan upaya hukum perlawanan bagi
nasabah.
Di pihak lain, bank syari’ah sebagai lembaga intermediary yang menerima dana dari
nasabah dengan berbagai akad yang bersifat bisnis oriented (mudlarabah, musyarakah, ijarah dll)
tentu juga harus membagikan keunungan kepada nasabahnya, maka terjadi pembiayaan yang
mecet bank akan menderita kerugian.
Tulisan ini mencoba menjelaskan problem hukum wanprestasi menurut hokum perdata
sebagai dasar eksekusi hak tanggungan dalam akad murabahah yang belum jatuh tempo tersebut,
serta mengetengahkan solusi yang adil dan proporsional bagi bank syariah dan nasabahnya.
Pengertian Wanprestasi:
Wanprestasi dapat diartikan sebagai tidak terlaksananya prestasi karena kesalahan debitur
baik karena kesengajaan atau kelalaian.Menurut J. Satrio mendefinisikan wanprestasi adalah
suatu keadaan di mana debitur tidak memenuhi janjinya atau tidak memenuhi sebagaimana
mestinya dan kesemuanya itu dapat dipersalahkan kepadanya, sedangkan menurut Yahya
Harahap wanprestasi sebagai pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau
dilakukan tidak menurut selayaknya, sehingga menimbulkan keharusan bagi pihak debitur untuk
memberikan atau membayar ganti rugi (schadevergoeding), atau dengan adanya wanprestasi
oleh salah satu pihak, pihak yang lainnya dapat menuntut pembatalan perjanjian.

mempertimbangkan berbagai aspek; waktu pelunasan, resiko, bunga dalam konpensional, sehingga harga
murabahah terpaut sangat tingga dengan harga perolehan bank.
Dalam transaksi perbankan, tidak bisa terlepas dari perjanjian. Dalam suatu perjanjian
umumnya dicantumkan klausul tentang wanprestasi yang menerangkan suatu keadaan yang
dikarenakan kelalaian atau kesalahannya debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang
telah ditentukan dalam perjanjian dan bukan dalam keadaan memaksa.
Bentuk wanprestasi sangat tergantung pada perjanjian pokoknya. Terkadang ditemukan
adanya batasan waktu seorang debitur dapat dianggap telah berbuat wanprestasi. Hal
sebagaimana ketentuan Pasal 1238 KUH Perdata menyatakan, “Si berutang adalah lalai, apabila
ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi
perikatan sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan
lewatnya waktu yang ditentukan”.
Pasal tersebut menegaskan bahwasanya debitur dianggap melakukan wanprestasi dengan
lewatnya batas waktu tersebut. Tetapi, jika dalam perjanjian tersebut tidak ditentukan batasan
waktu, maka untuk menyatakan seseorang debitur melakukan wanprestasi, lazimnya diperlukan
surat peringatan tertulis dari kreditur yang diberikan kepada debitur. Surat peringatan tersebut
disebut dengan somasi.
Bentuk-bentuk dari wanprestasi:
1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali; Misal, debitur tidak memenuhi dan melaksanakan
Kewajibannya sesuai yang telah ditentukan dalam perjanjian;
2. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya; misal debitur selalu telat melaksanakan
kewajibannya;
3. Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru. Misal, debitur selalu melaksanakan
kewajibannya namun qualitas dan quantity-nya tidak sesuai dengan ketentuan yang
diperjanjiakan.
4. Debitur melaksanakan yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Berdasarkan bentuk-bentuk wanprestasi sebagai tersebut diatas, maka nasabah yang tidak
dapat mengangsur atau macet beberapa bulan di tengah masa angsuran, sudah dapat
dikategorikan sebagai wanprestasi.
Sanksi wanprestasi
Dalam ketentuan hokum perdata, ada beberapa sanksi yang dapat dijatuhkan kepada
debitur yang telah dianggap wanprestasi, yaitu :
1) Membayar kerugian yang diderita kreditur;
2) Pembatalan perjanjian;
3) Peralihan resiko;
4) Membayar biaya perkara apabila sampai diperkarakan dimuka hakim.
Atas sanksi-sanksi tersebut, terkait dengan barang yang dijadikan jaminan, ada 2 cara
yang dapat ditempuh bank sebagai pemegang barang jaminan yakni :
1) Proses litigasi :
Apabila seorang debitur sudah diperingatkan dan secara tegas ditagih janjinya, tetapi ia
tetap tidak melaksanakan prestasinya, maka Bank sebagai kreditur dapat mengajukan gugatan
wanprestasi disertai permohonan penetapan sita jaminan harta milik nasabah sebagai debitur
(conservatoir beslag) kepada Pengadilan. Jika pihak yang dikalahkan tidak mau melaksanakan
putusan secara sukarela (vrijwilling), berdasarkan ketentuan Pasal 196-197 HIR, Ketua
Pengadilan3 dapat melaksanakan putusan dengan upaya paksa terhadap harta benda yang telah
disita jaminankan untuk dijual melalui Kantor Lelang Negara.
2) Eksekusi Hak Tanggungan
Pasal 6 UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan menyatakan, apabila debitor
cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak
Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan
piutangnya dari hasil penjualan tersebut.
Dari ketentuan pasal tersebut bank sebagai pemegang Hak Tanggungan, secara hukum,
berhak atas kekuasaan sendiri menjual obyek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum tanpa
memerlukan persetujuan lagi dari pemberi Hak Tanggungan (debitur) dan selanjutnya
mengambil pelunasan piutangnya, jika terdapat sisa hasil penjualan, maka sisa tersebut menjadi
hak pemberi Hak Tanggungan (debitur).
Didalam praktek, apabila terdapat debitur yang wanprestasi, bank akan mengirimkan
surat peringatan kepada debitur agar melaksanakan kewajibannya dalam pembayaran angsuran
sesuai dengan yang diperjanjikan. Peringatan tersebut biasanya diajukan paling sedikit sebanyak
3 (tiga) kali untuk memenuhi syarat keadaan wanprestasinya debitur.
Apabila telah diperingati secara patut tetapi debitur tidak juga melakukan pembayaran
kewajibanya, maka bank melalui ketentuan hukum yang terdapat pada Pasal 6 dan Pasal 20 UU

3
Dalam hal akad murabahah harus dibaca Pengadilan Agama;
RI No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, akan melakukan proses lelang terhadap jaminan
debitur.
Mungkin juga bank mengajukan permohonan lelang jaminan Hak Tanggungan kepada
KPKNL (Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang) yang merupakan salah satu unit kerja
pada Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Departemen Keuangan RI.
Pasal 14 UU RI No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan yang mengisyaratkan
bahwa Pelaksanaan Lelang Hak Tanggungan memiliki kekuatan eksekutorial yang sama dengan
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Hanya saja
perlu penulis sampaikan bahwa apabila objek lelang jaminan Hak Tanggungan terdapat
perlawanan dari debitur ataupun pihak lain, maka KPKNL tidak memiliki kewenangan untuk
melakukan eksekusi pengosongan atas objek lelang yang sudah dibeli oleh peserta/pembeli
lelang. Kewenangan pelaksanaan Eksekusi Pengosongan terhadap suatu objek merupakan
kewenangan badan peradilan. Sedangkan didalam prakteknya Pengadilan tidak dapat langsung
melaksanakan eksekusi pengosongan terhadap objek lelang bermasalah yang dilelang oleh
KPKNL. Hal tersebut terjadi karena Pengadilan menganggap bahwa terhadap objek lelang yang
dijual oleh KPKNL tidak terdapat peletakkan sita (beslag) oleh badan Pengadilan. Sementara
prosedur hukum untuk melakukan eksekusi pengosongan mewajibkan harus adanya penetapan
sita terlebih dahulu oleh Pengadilan, kemudian dengan dasar itu dapat dilakukan eksekusi
pengosongan (Pasal 200 ayat (11) HIR / Pasal 218 ayat (2) RBg).
Prosedur Permohonan Lelang
1. Pemohon Lelang Eksekusi (Bank) mengajukan permohonan melalui Kepaniteraan
Pengadilan;
2. Pengadilan menerbitkan Surat Anmaning (Peringatan kepada debitur) sebanyak 2 (dua) kali
untuk diberi kesempatan melakukan pelunasan pinjaman kepada bank.
3. Apabila Debitur tidak melaksanakan kewajibannya meskipun sudah diperingati (anmaning)
maka selanjutnya Pengadilan meletakkan sita jaminan terhadap objek lelang;
4. Pengadilan mengajukan permohonan lelang kepada KPKNL;
5. Pelaksanaan Lelang oleh KPKNL sebagai penyelenggara lelang yang difasilitasi oleh Badan
Peradilan.
6. Selanjutnya apabila terhadap objek lelang yang terjual tersebut terdapat pihak-pihak yang
tidak mau menyerahkan objek lelang kepada pemenang lelang, maka Pengadilan berdasarkan
ketentuan Pasal 14 UU RI No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan memiliki
kewenangan untuk melaksanakan eksekusi pengosongan terhadap objek lelang tersebut.
Oleh karena itu Pelaksanaan Lelang melalui Pengadilan adalah cara yang tepat dalam
mencari kepastian hukum terhadap proses lelang hak tanggungan.
Kewenangan Peradilan Agama
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012, tanggal 29 Agustus
2012, Badan Peradilan Agama merupakan lembaga yang berwenang melakukan proses lelang
pada jaminan Hak Tanggungan atas akad-akad syariah. Maka atas dasar pemikiran demikian
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) RI Nomor 4 Tahun 2016, tanggal 9 Desember 2016
Rumusan Hukum Kamar Agama pada halaman 9 angka 3 menentukan bahwa “Hak Tanggungan
dan jaminan utang lainnya dalam akad ekonomi syariah tetap dapat dieksekusi jika terjadi
wanprestasi meskipun belum jatuh tempo pelunasan sesuai dengan yang diperjanjikan setelah
diberi peringatan sesuai dengan ketentuan yang berlaku”.
Konsep Dasar Murabahah
Murabahah dari segi bahasa berarti saling menguntungkan. Dalam perbankan disebut
Deferred Payment Sale. Terminologi fikih klasik mendefinisikan, murabahah merupakan salah
satu bentuk jual-beli, dimana penjual harus menyatakan dengan jujur biaya perolehan barang (al-
tsaman al-awwal) dan keuntungan yang diinginkan.4 Karena murabahah menuntut adanya
transparansi harga perolehan (al-tsaman al-awal), maka dalam suatu terminologinya murabahah
disebut pula dengan jual-beli amanah. Tetapi murabahah juga marupakan jual-beli muthlaq
karena obyek akadnya adalah barang (‘aiyn) dan uang (daiyn).5
Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, murabahah adalah pembiayaan saling
menguntungkan yang dilakukan oleh shahib al-maal dengan pihak yang membutuhkan melalui
transaksi jual-beli dengan penjelasan bahwa harga pengadaan barang dan harga jual terdapat nilai
lebih yang merupakan keuntungan atau labah bagi shahib al-mal dan pengembaliannya dilakukan
secara tunai atau angsur.6

4
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, (Indonesia, Al-Ma’arif t.th, I, hal 178); Juga Dr.
Mardani dalam Hukum Perikatan Syariah di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2013, hal . 123;
5
Menurut ahli fikih dari segi obyek pertukarannya (badalayin), jual-beli dibagi menjadi empat macam; 1. Barter (al-
muqayyadah) obyek tukarnya sama-sama barang (‘aiyn). 2. Jual-beli mutlak, obyek tukarnya barang (‘ayn) dengan
uang/harga (dayn). 3. Jual-beli sharf, obyek tukarnya sama-sama uang (dayn). 4. Jual-beli al-salam, yaitu obyek
tukarnya piutang barang yang masih menjadi piutang dengan uang yang telah ada ketika akad.
6
Pasal 20 ayat (6) Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
Para ulama telah sepakat (ijmak) akan kebolehan jual-beli murabahah walapun baik Al-
Qur-an maupun Hadis secara spesifik tidak membicarakannya. Dasar pijak ulamak dalam
menentukan kebolehan jual-beli murabahah adalah al-maslahah, karena model jual-beli
murabahah tersebut sangat dibutuhkan masyarakat karena sebagian dari mereka ketika akan
membeli barang tidak mengetahui kualitasnya maka ia sangat membutuhkan pertolongan pihak
lain yang lebih tahu untuk membelikan barang yang dikehendakinya dan menjual kepadanya
dengan keharusan menyebutkan harga perolehannya (al-tsaman al-awwal) dengan ditambah
keuntungan (ribh).7 Oleh karena itu murabahah semula dihajatkan untuk membantu seseorang
agar tidak terjadi jual-beli ghassy maupun juhalah yang berakibat merugikan pembeli.
Selain alasan al-maslahah, Al-Kasani berpendapat bahwa kebolehan murabahah adalah
berdasarkan prinsip kaidah “al-‘Uruf” yaitu “Atsaabit bil ‘urfi katsaabit bisy syar’i”; Artinya apa yang
lazim menurut kebiasaan seolah-olah berlaku lazim menurut syara’ selama kebiasaan tersebut tidak
bertentangan dengan kaidah umum syari’a, karena jual-beli murabahah telah berjalan lama dari
generasi ke generasi sepanjang masa dan tidak ada seorangpun yang mengingkarinya.
Hal penting lain yang menjadi prinsip pada murabahah dalam pembahasan fikih
muamalah klasik adalah komoditas atau barang yang menjadi obyek murabahah telah tersedia
dan menjadi milik penjual (bank) pada waktu akad berlangsung. Kemudian ia menjual barang
tersebut kepada pembeli dengan menjelaskan harga pembelian dan keuntungan yang akan
diperoleh. Karena itu dapat dikatakan bahwa praktek tersebut adalah jual-beli biasa.
Kelebihannya terletak pada pengetahuan pembeli tentang harga pembelian awal sehingga
menuntut kejujuran penjual dalam dalam menjelaskan harga awal yang sebenarnya.
Ketentuan murabahah secara lengkap baik definisi, karakteristik, syarat dan rukun dan
lain sebagainya telah diatur secara detail dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES)
dari pasal 116 s/d pasal 133.
Murabahah Dalam Lembaga Keuangan Syariah
Dalam praktek di Lembaga Keuangan Syariah (LKS) termasuk perbankan syariah,
karakteristik murabahah dalam fikih klasik tersebut mengalami modifikasi yang sebagian dapat
dinilai menyimpang dari konsep dasar murabahah dalam fikih muamalah klasik. Murabahah

7
Hisam Ad-Diin Hafanah, Bai’ al-Murabbaha lil Amr bi Asy-Syira’, Dar al-ma’arif wal Kutub, 1992, h.4;
yang dipraktekkan pada LKS dikenal dengan murabaha li al-amr bi al-syira’,8yaitu transaksi
jual-beli dimana seorang nasabah datang kepada bank untuk membelikan komoditas dengan
criteria tertentu dan ia berjanji akan membeli komoditas tersebut secara murabahah, yakni sesuai
dengan harga pokok pembelian ditambah dengan keuntungan bank yang disepakati kedua belah
pihak dan nasabah akan melakukan pembayaran secara installment (cicilan berkala) sesuai
dengan kemapuan financial yang dimiliki.
Setidak-tidaknya ada tiga model atau tipe penerapan jual-beli murabahah dalam
perbankan syariah;
Pertama; Tipe yang konsisten dengan fikih muamalah, yaitu bank membeli dahulu
barang yang akan dibeli oleh nasabah setelah ada perjanjian sebelumnya. Setelah barang dibeli
atasnama bank kemudian dijual ke nasabah dengan harga perolehan ditambah margin
keuntungan sesuai dengan kesepakatan bank dengan nasabah.
Kedua; mirip dengan tipe yang pertama, tapi perpindahan kepemilikan langsung dari
supplier kepada nasabah, sedangkan pembayaran dilakukan bank langsung kepada penjual
pertama/supplier.
Ketiga bank melakukan akad murabahah dengan nasabah dan pada saat yang sama
mewakilkan kepada nasabah untuk membeli sendiri barang yang akan dibelinya.
Dari tiga tipe tersebut, tipe ke dua dan ke tiga yang paling sering digunakan perbankan
syariah dengan alasan efektif dan efesien terutama berkaitan dengan ketentuan pajak
pertambahan nilai. Padahal tipe pertama adalah yang paling ideal dan sesuai dengan konsep fikih
muamalah. Oleh karena itu telah menjadi pengetahuan umum bahwa akad dalam produk
perbankan syariah senantiasa bukan akad tunggal tetapi multi akad.
Pricing Dalam Akad Murabahah di Perbankan Syariah
Sudah menjadi pengetahuan bersama, bahwa hal yang paling banyak mengundang
perdebatan adalah penentuan harga produk jasa perbankan syariah, baik penentuan harga
(pricing) produk pendanaan maupun produk pembiayaan.
Penentuan harga pada produk pembiayaan syariah hingga saat ini pada umumnya masih
menggunakan metode atau teknis pricing yang dilakukan oleh bank konvensional, dalam arti
menggunakan dan memperhitungkan suku bunga (bank konvensional) sebagai rujukan dalam

8
Mengenai hokum murabaha li al-amr bi al-syira’ para ulama kontemporer (lakhaf) berbeda pendapat; Ada yang
membolehkan dan ada pula yang mengharamkan; Yusuf Qardhawi menghalalkan sedangkan Muhammad Sulayman
Al-Asyqar mengharamkannya.
penentuan harga produk-produknya. Para ulama amat terkejut ketika mengetahui bahwa bunga
bank konvensional masih dijadikan dasar perhitungan bagi hasil maupun harga dalam akad
syariah, dan mereka bertanya-tanya mengapa harus bunga yang dijadikan dasar perhitungan.
Apakah tidak ada alternatif lain. Masalah rujukan ini bukan saja masalah nasional, tetapi juga
merupakan fenomena internasional. Saat ini kritik tajam dilontarkan kepada bank syariah karena
menjadikan pasar uang sebagai rujukannya. Padahal jika prinsip perbankan syariah benar-benar
dijalankan dan infrastruktur pasar yang tersedia lengkap, maka para bankir tidak akan
menghadapi kesulitan dalam melakukan pricing yang murni syar’i.
Pada pembiayaan berbasis jual-beli dan bagi hasil (investasi), tidak membuat metode
pricingnya berbeda. Yang berbeda hanya representasi harga hasil pricing. Untuk produk berbasis
jual-beli seperti murabahah representasi harganya berupa tingkat margin, sementara untuk
produk berbasis bagi hasil representasi harganya adalah nisbah bagi hasil. Oleh karenanya dalam
akad murabahah dengan jangka waktu angsuran 10 tahun harganya jauh lebih mahal dari pada
murabahah yang berjangka waktu ansurannya hanya 5 tahun.
Dalam praktek perbankan harga property perolehan bank (tsaman al-awwal) seharga Rp.
400.000.000,- dijual kepada nasabah dengan diangsur jangka waktu 10 tahun (120 angsuran) bisa
berharga sebesar Rp.775.000.000,- sedangkan untuk jangka waktu 5 tahun harganya hanya
Rp.587.500.000,-. Maka ketika akad murabaha untuk jangka waktu angsuran 10 tahun, kemudian
baru berjalan 3 tahun atau 5 tahun angsuran macet, maka bank secara hukum dapat mengajukan
eksekusi lelang atas Hak Tanggungan. Akan yang terjadi adalah bank menuntut agar hutang yang
dibayar nasabah adalah seluruh harga yang seharus dibayar lunas dalam tempo 10 tahun (Rp.
775.000.000,-). Karena karakteristik murabahah, harga yang dipasang hanya satu, tidak boleh
terdapat dua harga dalam satu akad.
Tujuan penjualan lelang adalah untuk membayar hutang tertentu dalam arti sebagaimana
tersebut dalam akad (perjanjian), kalau dihubungkan dengan sanksi wanprestasi sebagaimana
tersebut diatas, bank menemui kesulitan mengkonstruksi tuntutan dalam permohonan lelangnya
dalam akad murabahah. Sanksi akibat wanprestasi adalah :
1. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur (ganti rugi);
2. Pembatalan perjanjian;
3. Peralihan resiko. Benda yang dijanjikan obyek perjanjian sejak saat tidak dipenuhinya
kewajiban menjadi tanggung jawab dari debitur;
4. Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim.
Jika bank menuntut pembatalan perjanjian misalnya, maka bank akan sangat merugi
karena membatalkan perjanjian, berarti hanya akan memperoleh harga property semula (Rp.
400.000.000,-), Problem lainnya adalah dalam murabahah, obyek transaksi sesungguhnya adalah
property atau barang bukan uang, apakah memungkinkan bank akan menerima/menarik barang
yang dahulu sebagai obyek jual beli. Maka konstrusi hukum yang dituntut oleh bank adalah
membayar kerugian. Jika demikian tuntutan bank menjadi bias tidak sesuai dengan kegunaan dan
fungsi hak tanggungan sebagai pemenuhan hutang tertentu.
Jika eksekusi Hak Tanggungan harus menunggu sampai selesainya jatuh tempo, maka
bank juga akan dirugikan. Disinlah delematisnya wanprestasi sebagai dasar eksekusi hak
tanggungan dalam akah murabahah.
Fungsi Hak Tanggungan
Peraturan hukum mengenai Hak Tanggungan adalah suatu perangkat hukum yang
digunakan ketika terjadinya perikatan (kesepakatan) pinjam-meminjam uang/pembiayaan antara
Peminjam (Debitur) dengan Pemberi Pinjaman (Bank). Oleh karena itu Perjanjian Hak
Tanggungan bukanlah merupakan perjanjian yang berdiri sendiri, akan tetapi mengikuti
perjanjian yang ada sebelumnya yang disebut perjanjian induk. Perjanjian induk yang terdapat
pada Hak Tanggungan adalah perjanjian utang-piutang yang dijamin, perjanjian utang-piutang
disini termasuk akad pembiayaan syariah. Perjanjian yang mengikuti perjanjian induk dalam
terminology hukum disebut perjanjian accessoir. Penegasan terhadap asas accesoir ini,
dijelaskan dalam poin 8 penjelasan UU Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan yang
menyatakan bahwa:“Oleh karena Hak Tanggungan menurut sifatnya merupakan ikutan atau
accessoir pada suatu piutang tertentu, yang didasarkan pada suatu perjanjian utang-piutang
atau perjanjian lain, maka kelahiran dan keberadaannya ditentukan oleh adanya piutang yang
dijamin pelunasannya”.
Penegasan yang termuat dalam penjelasan umum poin 8 di atas, secara tegas diatur pula
dalam Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 18 ayat (1) UU Nomor 4 'Tahun 1996. Dalam Pasal 10 ayat (1)
dinyatakan bahwa perjanjian untuk memberikan Hak Tanggungan merupakan bagian tak
terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan, sedangkan Pasal 18 ayat (1) huruf
a menyatakan bahwa Hak Tanggungan hapus karena hapusnya utang yang dijamin dengan Hak
Tanggungan.
Hak Tanggungan menurut undang-undangnya mempunyai kedudukan diutamakan.
Penjelasan umum Undang Undang Hak Tanggungan (UUHT) dinyatakan: Bahwa jika debitur
cedera janji, kreditor pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum
tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan, dengan hak mendahului daripada keditor-kreditor lain.
Pelaksanaan Eksekusi Hak Tanggungan Mudah dan Pasti
Selain berkedudukan utama, Hak Tanggungan berasas eksekusi mudah karena dapat
dilakukan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum tanpa melaui persetujuan lagi kepada
Pemberi Hak Tanggungan, ketentuan ini bermaksud mencegah terjadinya cedera janji yang
dilakukan pemberi Hak Tanggungan. Oleh karena itu, apabila terjadi cedera janji, pemegang Hak
Tanggungan pertama mendapatkan prioritas pertama menjual objek Hak Tanggungan. Hal ini
sesuai ketentuan Pasal 6 UUHT dinyatakan bahwa: “Apabila debitor cedera janji, pemegang
Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas
kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil
penjualan tersebut”.
Berkaitan dengan ketentuan Pasal 6 UUHT di atas, dalam penjelasan Pasal 6 tersebut
dijelaskan sebagai berikut: “Hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri
merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh pemegang
Hak Tanggungan. Hak tersebut didasarkan pada janji yang diberikan oleh pemegang Hak
Tanggungan bahwa apabila debitor cedera janji, pemegang Hak Tanggungan berhak untuk
menjual objek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi
dari pemberi Hak Tanggungan dan selanjutnya mengambil pelunasan piutangnya dari hasil
penjualan itu lebih dahulu daripada kreditor-kreditor yang lain. Sisa hasil penjualan tetap
menjadi hak pemegang Hak Tanggungan”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 6 UUHT di atas, maka apabila debitor cedera janji, maka
kreditor dapat memohon pelaksanakan eksekusi atau yang lazim disebut parate eksekusi.
Parate eksekusi yang terdapat di dalam Hipotek berbeda dengan parate eksekusi yang
terdapat di dalam Hak Tanggungan. Pada parate eksekusi yang terdapat pada Hipotek, pemegang
Hipotek hanya mempunyai hak untuk melakukan parate eksekusi apabila sebelumnya telah
diperjanjikan hal yang demikian itu dalam pemberian Hak Hipoteknya. Sementara dalam Hak
Tanggungan, hak pemegang Hak Tanggungan untuk dapat melakukan parate eksekusi adalah hak
yang diberikan oleh Pasal 6 UUHT. Dengan kata lain, diperjanjikan atau tidak diperjanjikan, hak
itu demi hukum dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan. Oleh karena itu Sertifikat Hak
Tanggungan yang merupakan tanda bakti adanya Hak Tanggungan yang diberikan oleh Kantor
Pertanahan dan yang memuat irahirah dengan kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA", mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlalu sebagai pengganti
grosse acte Hipotek sepanjang mengenai tanah."
Perbadaan Angsuran Murabahah dengan Kredit Konpensional.
Murabahah sebagai transaksi jual-beli karakteristiknya berbeda dengan transaksi bagi
hasil atau sewa menyewa, karena dalam transaksi jual-beli hubungan yang ada bukan antara
pemodal dan yang memproduktifkan tetapi antara penjual dan pembeli. Sesuai prinsip pada jual-
beli, pembeli akan membayar harga yang telah disepakati baik secara angsur maupun tunai. Bila
jual-beli dengan cara angsur, tentu ada rentang waktu yang disepakati pula, missal 2 tahun, 5
tahun 10 tahun dst.
Dalam praktek murabahah dalam perbankan syariah, harga property yang sama akan
dijual dengan harga yang berbeda bergantung kesanggupan nasabah untuk mengansur harganya,
semaki lama masa angsuran harga semakin mahal tentunya basarnya angsuranpun berbeda.
Angsuran dalam akad murabahah komponennya hanya satu, yaitu bayar harga tidak ada
unsur bunga. Hal ini beda dengan kredit konvensional komponen angsuran berupa angsuran
hutang pokok dan bunga.
Dengan kata lain dalam kredit konpensional pada setiap angsuran, akan selalu
mengurangi hutang pokok, sehingga semakin mengecil, sehingga ketika terjadi macet
(wanprestasi) tuntutan bank konpensional adalah pengembalian/membayar sisa hutang pokok
(pinjaman) plus bunga pada saat lelang dimohonkan bukan pemenuhan akumulasi bunga sampai
akhir angsuran.
Masyarakat (nasabah) kita masih bermental konpensional, sehingga akan merasakan
bahwa dalam bank syariah bila terjadi resiko macet, akan lebih memberatkan dari pada bank
konpensional.
Kewengan Lembaga Pengadilan
Sesungguhnya asas kebebasan berkontrak bersifat limitatif. Dalam arti sekalipun para pihak
memiliki kebebasan dalam menyatakan kehendak dan mencantumkan klausul-klausul tertentu,
pernyataan kehendak yang terwujud dalam klausul-klausul tersebut tidak boleh bertentangan dengan
prinsip-prinsip kepatutan, keadilan, dan proporsionalitas. Tujuan dari pembatasan kebebasan
berkontrak ada dua, yaitu, pertama, kebebasan berkontrak adalah prinsip yang dibatasi oleh nilai-
nilai keadilan dan kewajaran terhadap distribusi hak dan kewajiban para pihak dalam suatu kontrak.
Kedua, pembatasan terhadap kebebasan para pihak dalam pernyataan kehendak dimaksudkan sebagai
upaya melindungi para pihak dari kesewenang-wenangan pihak lain.
Pengadilan Lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengoreksi suatu kontrak atau
klausul dalam suatu kontrak jika kontrak atau klausul dalam kontrak menempatkan pihak dalam
posisi yang tidak berimbang atau proporsional. Fungsi korektif Hakim dapat berupa membatalkan
suatu klausul atau memperbaiki klausul tertentu sesuai dengan maksud mewujudkan keseimbangan
dan proporsionalitas para pihak dalam kontrak.
Dalam kasus akad murabahah dimana diperjanjikan antara bank syariah dan nasabah bahwa
harga murabahah akan dibayar selama 10 tahun, maka saat terjadi macet (wanprestasi) angsuran baru
berjalan 3 tahun, tetapi permohonan lelang hak tanggungan agar hasil lelang dibayarkan kepada bank
adalah sejumlah harga kumulasi untuk 10 (sepuluh) tahun (dari Rp. 400.000.000,- menjadi Rp.
775.000.000,- ) adalah sebuah ketidak patutan dan ketidak adilan menurut pemahaman nasabah.
Walaupun hal tersebut telah diperjanjikan.
Solusi Yang Proporsional
Bank sebagai lembaga intermediary keuangan yang kegiatan utamanya menghimpun
dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat umum dalam bentuk
pembiayaan, jika terjadi kemacetan nasabah bank akan mengalami kerugian. Maka jika memang
nasabah macet dan gagal bayar sehingga dapat dikategorikan wanprestasi, maka bank dapat
mengajukan eksekusi lelang hak tanggungan.
Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) RI Nomor 4 Tahun 2016, menentukan
bahwa: “Hak Tanggungan dan jaminan utang lainnya dalam akad ekonomi syariah tetap dapat
dieksekusi jika terjadi wanprestasi meskipun belum jatuh tempo pelunasan sesuai dengan yang
diperjanjikan setelah diberi peringatan sesuai dengan ketentuan yang berlaku”.
Lembaga Peradilan adalah lembaga yang diberikan tanggung jawab yang berat untuk
berlakunya keadilan di tengah masyarakat, sehingga ia kewenangan yang luas untuk meneliti dan
mengoreksi ketidakseimbangan kedudukan para pihak dalam kontrak yang menyebabkan suatu
prestasi dalam kontrak tidak harus dilaksanakan bila melanggar rasa keadilan. Oleh karena itu
kontrak atau perjanjian dapat dibatasi oleh prinsip-prinsip proporsionalitas, kepatutan, dan
keadilan.
Tuntutan yang proporsional adalah nasabah mengembalikan pembiayaan yang telah
diterima nasabah ditambah dengan margin yang dihitung oleh bank sampai saat terjadi mecet
atau pelunasan (3 tahun, 5 tahun) bukan menuntut harga murabahah kumulasi angsuran yang
diperjanjikan yaitu misalnya 10 (sepuluh) tahun sebagaimana yang tertera dalam akad.
Sementara ganti rugi sebagaimana diatur dalam hukum perdata menurut Pasal 1243
KUHPerdata yang terdiri dari biaya, rugi, dan bunga” (Pasal 1244 s.d. 1246 KUHPerdata);
- Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh
suatu pihak.
- Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan
oleh kelalaian si debitur.
- Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan, yang sudah dibayarkan atau
dihitung oleh kreditur.
Biaya, ganti rugi dan bunga sebagaimana diatur dalam hukum perdata diatas, tidak ada
dalam nomenklatur akad murabahah. Satu-satunya tuntutan wanprestasi dalam akad murabahah
yang logis adalah pemenuhan harga perolehan bank plus margin yang telah diperjanjikan,
walaupun dapat saja Bank memberikan potongan dalam besaran yang wajar tanpa diperjanjikan
dimuka sebagaimana diatur dalam fatwa DSN-MUI nomor 16/DSN-MUI/IX/2000. Namun
secara legal formal tuntutan wanprestasi atas akad murabahah adalah pemenuhan seluruh harga
yang telah diperjanjikan antara Bank dan Nasabah.
Disinilah problem hukum eksekusi lelang akad murabahah saat belum jatuh tempo.
Kesimpulan
1. Permohonan eksekusi hak tanggungan atas dasar alasan wanprestasi dalam akad murabahah
saat belum jatuh tempo formil dapat diterima dan dijalankan, namun jika ada perlawanan dari
nasabah (party verzet), maka tidak serta merta sebagaimana sifat istimewa hak tanggungan;
Pengadilan harus memeriksa dan mengadili perlawanan dan eksekusi sepatutnya
ditangguhkan. Karena dalam akad murabahah pada bank syariah melakukan pricing sehingga
harga property yang sama dalam murabahah dijual dengan harga yang berbeda bergantung
dengan panjang dan pendeknya waktu anggsuran.
2. Eksekusi hak tanggungan atas dasar wanprestasi dalam akad murabahah yang mengalami
macet, akan proporsional, adil dan patut, jika tuntutan pemenuhan hutang didasarkan pada
pengembalian hutang (harga awal) murabahah ditambah margin yang besarnya dihitung
berdasarkan saat pelunanasan, bukan margin yang diperjanjikan dalam akad.
3. Solusi yang tepat permohonan eksekusi lelang hak tanggungan dalam akad murabahah yang
belum jatuh tempo (macet) adalah mediasi untuk mencari/mensepakati pembayaran harga
secara proposional agar bank tidak merugi dan nasabah tidak terberatkan.

Anda mungkin juga menyukai