Anda di halaman 1dari 16

TATALAKSANA AIRWAY DAN VENTILASI SELAMA RESUSITASI JANTUNG PARU

DAN SETELAH RESUSITASI BERHASIL

Abstrak

Setelah terjadi henti jantung, digunakan teknik kombinasi airway dan ventilasi dasar serta
lanjutan selama melakukan resusitasi jantung paru (RJP) dan setelah terjadi return of
spontaneous circulation (ROSC). Kombinasi teknik airway, oksigenasi dan ventilasi yang
optimal masih belum pasti. Pedoman yang ada kebanyakan didasarkan pada bukti-bukti dari
penelitian observasional serta konsensus para ahli; percobaan acak terkontrol yang sudah ada
maupun sedang dilakukan sebaiknya memberikan informasi lebih lanjut tentang hal ini. Tinjauan
naratif ini menggambarkan tentang bukti-bukti saat ini, yang meliputi peran relatif dari airway
dasar dan lanjutan (airway supraglotis dan intubasi trakea), oksigenasi dan target ventilasi
selama RJP dan setelah ROSC pada orang dewasa. Bukti saat ini mendukung langkah-langkah
pendekatan tatalaksana airway berdasarkan faktor pasien, ketrampilan penolong dan tahapan
resusitasi. Selama RJP, penolong sebaiknya memberikan inspirasi oksigen maksimal yang dapat
diberikan dan menggunakan waveform capnography bila telah terpasang airway lanjutan.
Setelah ROSC, penolong sebaiknya mentitrasi oksigen inspirasi dan ventilasi untuk mencapai
target oksigen dan karbondioksida normal.

Kata kunci: airway, henti jantung, resusitasi jantung paru, oksigenasi, ventilasi

LATAR BELAKANG

Intervensi airway dan ventilasi selama resusitasi jantung paru (RJP) dan pada pasien yang
telah terjadi return of a spontaneous circulation (ROSC) merupakan langkah-langkah
pendekatan intervensi yang sangat tepat, tergantung pada faktor pasien, ketrampilan penolong
dan tahapan resusitasi. Pedoman saat ini untuk in-hospital cardiac arrest (IHCA) dan out-
hospital cardiac arrest (OHCA) secara primer didasarkan pada penelitian observasional dan
konsensus para ahli, dan intervensi yang optimal masih belum ditentukan. Selain itu,
pengetahuan tentang tatalaksana IHCA kebanyakan merupakan ekstrapolasi dari penelitian
OHCA.

1
Apakah kita memerlukan airway, oksigenasi dan ventilasi selama RJP?

Pedoman saat ini merekomendasikan bahwa, setelah henti jantung primer, kembalikan
sirkulasi dengan kompresi dada dan, bila tersedia, coba lakukan defibrilasi untuk mengembalikan
jantung, hal ini menjadi prioritas dibanding intervensi airway dan ventilasi.

Dasar pemikirannya yaitu terdapat simpanan oksigen yang adekuat saat terjadi henti
jantung dan oksigen tambahan hanya dibutuhkan setelah sekitar 4 menit. Bila henti jantung
diikuti oleh masalah airway dan atau pernapasan (hanti jantung asfiksia), intevensi yang lebih
awal yaitu mengembalikan oksigenasi yang adekuat ke organ-organ vital.

Pedoman saat ini untuk RJP, menekankan pada kompresi dada untuk semua jenis henti
jantung karena:

 Kompresi dada mudah untuk dipelajari dan dilakukan oleh kebanyakan penolong serta
tidak membutuhkan peralatan khusus. Penelitian menunjukan bahwa RJP dengan hanya
kompresi dari penolong lebih baik dibandingkan tanpa RJP.
 Henti jantung tiba-tiba, dengan irama awal shockable (ventrikular fibrilasi atau pulseless
ventricular tachycardia VF/pVT]) memiliki hasil akhir yang baik dengan RJP dan
defribrilasi dini.
 Pasien yang selamat setelah henti jantung dengan penyebab non-kardiak seperti henti
jantung asfiksia lebih sering berdampak pada irama awal henti jantung non-shockable
(pulseless electrical activity [PEA] atau asistol, yang relatif lebih buruk bahkan bila
terjadi ROSC). Pasien-pasien sering mengalami cedera otak berat yang berhubungan
dengan hipoksemia dan aliran darah yang rendah sebelum mengalami henti jantung, yaitu
suatu periode dimana aliran darah tidak ada atau rendah selama RJP dan terjadi cedera
reperfusi setelah ROSC.
 Karena VF/pVT memiliki respon terapi yang lebih baik, intervensi RJP memprioritaskan
terapi untuk VF/pVT dibandingkan untuk PEA atau asistol.

Data observasional menunjukan bahwa RJP dengan hanya kompresi oleh penolong yang
berada di dekat pasien dapat meningkatkan angka keselamatan setelah henti jantung tiba-tiba.
Hal ini dapat terjadi karena meningkatnya kecenderungan seseorang yang berada di dekat pasien
untuk melakukan RJP dengan hanya kompresi dibandingkan tidak melakukan RJP, atau RJP

2
dengan jeda yang lama karena percobaan melakukan ventilasi yang tidak efektif. Selain itu, RJP
dengan hanya kompresi yang dibantu oleh arahan nampaknya memberikan hasil yang serupa
atau lebih baik dibandingkan dengan arahan instruksi RJP dengan kompresi dan ventilasi.
Keuntungan lain dari RJP dengan kompresi dan ventilasi yaitu bila dilakukan oleh penolong
yang telah terlatih dengan ventilasi, saat waktu respon emergency medical service (EMS) cukup
lama atau setelah terjadi henti jantung asfiksia.

Beberapa layanan EMS memberikan kompresi dada kualitas tinggi secara kontinyu
dengan oksigenasi pasif menggunakan airway orofaringeal dan simple oxygen mask (resusitasi
jantung dengan interupsi minimal) dan airway lanjutan akan ditunda sampai telah dilakukan 600
kompresi dada untuk OHCA yang dilihat dengan irama shockable. Penelitian observasional
menunjukan adanya perbaikan angka keselamatan sampai keluar rumah sakit pada semua pasien
OHCA dewasa, dan perbaikan angka keselamatan dengan hasil akhir neurologis yang baik untuk
henti jantung yang disaksikan atau bila irama awalnya bersifat shockable. Apakah kompresi dada
menimbulkan volume tidal yang cukup untuk pertukaran gas masih belum pasti dan cenderung
menjadi bervariasi dari waktu ke waktu. Penelitian pada henti jantung lama (40-50 menit)
menunjukan bahwa volume tidal yang didapat lebih sedikit dibandingkan perkiraan dead space
pasien.

Langkah-langkah tatalaksana airway dan ventilasi selama RJP dan setelah ROSC

Selama RJP, intervensi airway berkisar dari RJP dengan hanya kompresi dengan atau
tanpa opening, ventilasi mulut ke mulut, ventilasi mulut ke masker, ventilasi bag-mask (dengan
atau tanpa airway orofaringeal) atau airway lanjutan (supraglotic airway [SGA] dan intubasi
trakea menggunakan laringoskopi direk atau laringoskopi video) (gambar 1). Dalam sebuah
penelitian tentang percobaan acak terkontrol (RCT) tentang OHCA, pasien-pasien pada
kelompok tatalaksana airway “biasanya” ternyata mendapat intervensi airway dasar maupun
lanjutan yang akan berubah sesuai dengan keterampilan penolong saat itu dan pada beberapa
waktu selama resusitasi.

Setelah ROSC, IHCA maupun OHCA, kebanyakan pasien mengalami sindroma post
henti jantung, yaitu keadaan koma dengan gangguan refleks airway dan ventilasi dan atau
memiliki indikasi untuk intubasi trakea sesuai dengan kondisi pasien. Pasien yang masih sadar

3
dan tidak memerlukan intervensi airway cenderung memiliki irama awal shockable, akan
diterapi di awal dengan defibrilasi, dan memiliki hasil akhir yang lebih baik. Intubasi trakeal
memungkinkan kontrol ventilasi untuk membantu transportasi pasien ke unit gawat darurat
setelah OHCA, laboratorium kateterisasi jantung atau ke unit perawatan intensif (ICU). Intubasi
yang dibantu dengan obat oleh tim pelayanan pasien kritis pada IHCA maupun OHCA dengan
ROSC menggunakan pendekatan sesuai protokol (misalnya dengan ketamin atau midazolam,
fentanyl dan rocurunium) yang aman dan efektif.

Teknik airway dan ventilasi selama RJP

Ventilasi bag-mask

Saat kedatangan penolong yang sudah terlatih, ventilasi bag-mask dengan pemberian
oksigen merupakan pendekatan awal yang paling sering dilakukan dan dapat dibantu dengan
airway orofaringeal atau nasofaringeal. Selama RJP, bag-mask digunakan untuk memberikan 2
pernapasan setelah tiap 30 kompresi. Sebuah RCT meneliti tentang pemberian ventilasi bag-
mask tanpa menjeda kompresi pada OHCA, ternyata tidak ditemukan adanya perbedaan pada
angka keselamatan bila dibandingkan dengan menjeda ventilasi setelah tiap 30 kompresi. Sebuah
analisis melaporkan bahwa angka keselamatan sampai keluar rumah sakit yang lebih tinggi
secara signifikan (ada pada mereka yang mendapat RJP konvensional (30:2) dibandingkan
dengan mereka yang mendapat kompresi kontinyu).

Supraglotic airway

Supraglotic airway (SGA) semakin meningkat penggunaanya selama RJP dimana insersi
SGA lebih mudah untuk dipelajari dibandingkan intubasi trakea serta lebih mudah dilakukan
dengan interupsi yang lebih singkat saat kompresi dada. Data observasional menunjukan bahwa
penggunaan classic laryngeal airway mask (cLMA) selama RJP berhubungan dengan insidens
regurgitasi isi lambung yang lebih rendah dibandingkan dengan ventilasi bag-mask. SGA
generasi kedua (misalnya i-gel dan LMA Supreme [LMAS]) memiliki manfaat potensial yang
lebih daripada SGA generasi pertama, yaitu peningkatan pada segel tekanan faringeal, drainase
tube esophageal dan blok gigitan yang lebih menyatu. Penelitian dengan babi meningkatkan
perhatian bahwa cuff supraglotik menekan arteri karotis eksternal dan internal, sehingga

4
menurunkan aliran darah serebral selama RJP. Penelitian radiologis dengan manusia tidak
menemukan bukti adanya kompresi mekanik pada arteri karotis.

Gambar 1. Langkah-langkah pendekatan tatalaksana airway selama resusitasi jantung paru

Intubasi trakea

Intubasi trakea memungkinkan kompresi dada terus berlanjut tanpa interupsi, sedangkan
paru-paru tetap terventilasi, mencegah insuflasi gaster dan melindungi paru-paru dari aspirasi isi
lambung: sebuah penelitian observasional menunjukan bahwa sepertiga pasien OHCA
mengalami regurgitasi, dan dua per tiganya terjadi sebelum EMS tiba dan seperempatnya terjadi
antara kedatangan EMS dan intubasi trakea. Penelitian menunjukan dibutuhkan lebih dari 50
intubasi yang berhasil untuk mencapai angka keberhasilan insersi lebih dari 90% selama RJP.
Pedoman Eropa saat ini merekomendasikan sebuah jeda yang kurang dari 5 detik saat kompresi
untuk insersi pipa trakea.

Videolaringoskopi (VL) dapat memiliki peran dalam intubasi trakea selama RJP,
walaupun hanya terdapat beberapa penelitian tentang penggunaan VL selama RJP. Dalam sebuah
penelitian pengalaman dokter, VL berhubungan dengan episode perpanjangan interupsi kompresi
dada (>10 detik) yang signifikan lebih sedikit; angka keberhasilan intubasi tidak berbeda secara
signifikan. Dalam penelitian lanjutan, penggunaan VL berhubungan dengan jeda kompresi yang
lebih pendek dibandingkan dengan laringoskopi direk saat intubasi trakea awal tidak berhasil.

Perbandingan antara berbagai teknik airway selama RJP

Membandingkan antara berbagai teknik airway sangat sulit karena kebanyakan pasien
mendapat lebih dari 1 teknik airway selama RJP, intervensi airway tergantung pada faktor pasien

5
dan kejadian yang tidak dilaporkan (misalnya lokasi henti jantung dan akses, obesitas),
kemampuan penolong menentukan keberhasilan teknik dan ROSC dini pada pasien nampaknya
tidak cenderung membutuhkan airway lanjutan.

Airway dasar versus airway lanjutan selama RJP

Bukti-bukti yang tersedia masih mempertanyakan pernyataan bahwa intervensi lanjutan


(SGA atau pipa trakeal) lebih baik dibandingkan intervensi dasar (ventilasi bag mask) selama
RJP. Meta analisa dari penelitian observasional pada OHCA memperkirakan bahwa airway
lanjutan berhubungan dengan penurunan angka keselamatan sampai ke luar rumah sakit /30 hari
(odds ratio 0.49 (95% CI) 0.37-0.65) bila dibandingkan dengan ventilasi bag mask. Penelitian
observasional cenderung mengalami bias karena, bila ROSC terjadi secara dini, airway lanjutan
mungkin tidak dibutuhkan lagi selama RJP, sedangkan pasien-pasien dengan hanti jantung
asfiksia primer atau aspirasi isi lambung cenderung menggunakan airway lanjutan dan memiliki
hasil akhir yang lebih buruk.

RCT multi senter oleh Cardiac Arrest Airway Management (CAAM) mengacak 2041
pasien OHCA ke dalam kelompok intubasi trakea atau kelompok ventilasi bag mask dengan
penundaan intubasi trakeal post-ROSC, yang diberikan oleh tim pelayanan pra rumah sakit yang
dipimpin oleh dokter. Penggunaan bag mask dibandingkan dengan pipa trakea gagal untuk
menunjukan keunggulan dan kelemahan selama kelangsungan hidup 28 hari dengan fungsi
neurologis (4.3 versus 4.2%). Penulis melaporkan bahwa penelitian tersebut memiliki hasil yang
tidak dapat disimpulkan. Kelompok bag mask mengalami komplikasi airway yang lebih banyak:
tatalaksana airway yang sulit (18.1 vs 13.4%, P=0.004), kegagalan (6.7 vs 2.1%, P<0.001), dan
regurgitasi isi gaster (15.2 vs 7.5%, P<0.001). Diperkenalkan intubasi esophageal dan dilakukan
koreksi pada 10.2% kasus.

Belum ada RCT skala besar tentang tatalaksana airway pada IHCA yang dibuat. Data
analisa kecenderungan berdasarkan waktu dari American Heart Association Get With The
Guidelines IHCA menunjukan bahwa intubasi trakea dalam setiap 15 menit pertama resusitasi,
dibandingkan dengan tanpa intubasi selama waktu tersebut, berhubungan dengan penurunan
angka keselamatan sampai keluar rumah sakit. Penelitian tersebut menggunakan data
observasional sehingga tidak dapat mengoreksi jumlah bias (misalnya keterampilan dan

6
pengalaman penolong, penyebab henti jantung, kualitas RJP dan indikasi intubasi) serta bias
yang terindikasi dapat mempengaruhi hasilnya. Penelitian tersebut meningkatkan kemungkinan
bahwa intubasi trakea dini dapat memperburuk keadaan selama RJP setelah IHCA dan
menggarisbawahi perlunya berbagai RCT tentang tatalaksana airway pada ICHA.

Airway supraglotis versus intubasi trakea selama RJP

Sebuah meta analisis dari 10 penelitian observasional dengan 76.000 pasien melaporkan
adanya hubungan antara intubasi trakea dan peningkatan angka keselamatan yang utuh secara
neurologis (OR 1.33, CI 1.09-1.61) dibandingkan dengan penggunaan SGA. Sebuah penelitian
dengan 615 pasien OHCA menunjukan bahwa sebuah RCT skala besar mengacak paramedis
untuk menggunakan i-gel, LMAs atau menggunakan pelayanan biasanya (yang paling sering
yairu intubasi trakea). Penelitian ini yang mana merupakan sebuah RCT terbesar tentang
tatalaksana airway lanjutan selama RJP, menemukan bahwa tidak terdapat perbedaan dalam hal
angka keselamatan sampai keluar rumah sakit (i-gel 9.5%, LMA supreme 6.8%, pelayanan biasa
8.6^) atau sampai 90 hari (9.5% vs 6.9%), fungsi neurokognitif atau kualitas hidup antara
kelompok tersebut, tidak cukup kuat untuk mendeteksi adanya perbedaan yang signifikan dalam
hal hasil akhirnya. Pendaftaran pada kelompok LMA dihentikan karena 3 orang penolong
terkontaminasi saat melakukan kompresi karena adanya darah dan muntahan yang dikeluarkan
dari portal drainase gaster LMAS. Angka keberhasilan percobaan pemasangan pertama yaitu
79% untuk i-gel dan 75% untuk LMAS, dan angka keberhasilan percobaan pertama untuk
intubasi trakea yaitu 85%. Dalam sebuah penelitian observasional tentang OHCA, keberhasilan
pemasangan pipa laryngeal terjadi pada 85% dari 344 pasien.

Alasan yang sering dipakai untuk melawan penggunaan pipa trakeal selama RJP yaitu
karena proses insersi akan memperpanjang dan berpotensi untuk memberikan interupsi yang
merugikan selama kompresi dada. Dalam sebuah penelitian observasional dari 100 intubasi pra
rumah sakit oleh paramedis, percobaan intubasi trakea selama RJP menyebabkan rata-rata 110
detik interupsi (IQR 54-198), dan dalam seperempat kasus, interupsi tersebut dapat lebih dari 3
menit. Data observasional OHCA terbaru (339 pasien) menunjukan durasi jeda yang paling lama,
jumlah jeda lebih dari 10 detik dan fraksi kompresi dada (proporsi waktu kompresi yang
diberikan) serupa dengan bag mask, SGA dan intubasi trakea. Selain itu, data dari 2767 kasus

7
OHCA menunjukan bahwa fraksi kompresi dada sedikit lebih kurang dengan pipa trakea (72.4 vs
76.7%).

Pragmatic Airway Resuscitation Trial (PART) mengacak percobaan yang


membandingkan intubasi trakea dengan insersi laryngeal tube (LT) pada 3005 pasien OHCA
telah melaporkan hasil awalnya. EMS diacak secara cluster dengan interval 3-5 bulan. Hasil
akhir primer yaitu angka keselamatan dalam 72 jam membaik dengan penggunaan LT
dibandingkan dengan intubasi trakea (18.2 vs 15.3%, perbedaan disesuaikan 2.9% (95% CI 0.2-
5.6%, P<0.001, dan hasil akhir sekunder yaitu ROSC (27.9 vs 24.1%, P=0.002), keselamatan di
rumah sakit (10.8 vs 8.0%, P-0.01) dan status neurologis yang buruk saat keluar rumah sakit (7.0
vs 5.0%, P=0.002). Masih dinantikan keseluruhan hasil dari penelitian PART dan RCT skala
besar lainya yang membandingkan i-gel dengan intubasi trakea selama OHCA.

Peran waveform capnography selama RJP dan setelah ROSC

Direkomendasikan untuk menggunakan waveform capnography kapanpun bila memakai


airway lanjutan (SGA atau pipa trakea) baik selama RJP maupun setelah ROSC. SGA akan
memberikan nilai end-tidal carbon dioxide (ETCO2) yang dapat diandalkan bila segelnya baik.
ETCO2 tergantung pada besarnya jumlah variabel fisiologisnya (meliputi cardiac output, status
metabolik, fungsi paru-paru). Hal ini akan menyebabkan beberapa keterbatasan dalam
penggunaan monitoring ETCO2 selama RJP dan setelah ROSC. Waveform capnography
memiliki peran sebagai berikut selama RJP:

1. Mengkonfirmasi penempatan pipa trakea yang benar


2. Membantu memandu penolong untuk melakukan ventilasi pada kecepatan yang benar,
walaupun artefak kompresi dada dapat menyebabkan kecepatan ventilasi yang cepat
3. Membantu memandu kualitas kompresi dada. Sebuah penelitian menunjukan bahwa
terdapat hubungan antara kompresi dada kualitas tinggi dengan ETCO2 yang lebih tinggi
dan keberhasilan defibrilasi setelah OHCA.
4. Membantu mengidentifikasi ROSC selama RJP. Peningkatan ETCO2 selama RJP atau
cenderung meningkat mengindikasikan adanya ROSC.
5. Membantu dalam membuat keputusan untuk menghentikan RJP. Sebuah tinjauan
sistematik dari 17 penelitian observasional menemukan adanya hubungan antara ETCO2

8
yang rendah (<10mmHg pada 20 menit) dengan cenderung kurang terjadi ROSC
(<0.5%). Mengingat banyaknya faktor yang dapat mempengaruhi ETCO2, maka nilai
ETCO2 menjadi cukup penting dibandingkan dengan nilai lainnya untuk membantu
membuat keputusan. Selain itu, sebaiknya digunakan pendekatan multi-modalitas
dibandingkan hanya menggunakan nilai ETCO2 saja dalam menentukan prognosis
selama RJP.

Waveform capnography membantu memandu kecepatan ventilasi dan mengoreksi


penempatan pipa trakea setelah ROSC. Pasien-pasien post-ROSC memiliki cardiac output yang
buruk dan dead space alveolar yang besar dan hal ini berefek pada korelasi antara ETCO2 dan
tekanan karbondioksida parsial arterial (PaCO2). Dalam sebuah penelitian tentang gas darah
arteri, rata-rata (kisaran interkuartil) PaCO2 yaitu 67 (34) mmHg dan ETCO2 yaitu 31 (925)
mmHg selama RJP, dan setelah ROSC, PaCO2 yaitu 58 (21) mmHg dan ETCO2 yaitu 37.5 (17)
mmHg. Data dari penelitian TTM menunjukan bahwa pasien-pasien yang ditatalaksana pada
suhu 33oC memiliki ETCO2 yang lebih rendah dibandingkan pada suhu 36oC. Penelitian
observasional menunjukan adanya peningkatan PaCO2 sampai celah ETCO2 selama RJP maupun
setelah ROSC berhubungan dengan penurunan ROSC dan angka keselamatan sampai keluar
rumah sakit.

Berapa banyak oksigen selama RJP dan setelah ROSC?

Oksigen optimal yang dibutuhkan untuk RJP dan setelah ROSC masih belum pasti,
terlalu sedikit merugikan, terlalu banyak juga dapat merugikan, dan apa yang benar serta
bagaimana dapat ditentukan dan targetnya pun masih belum pasti.

Pedoman saat ini merekomendasikan untuk memberikan maksimal oksigen yang dapat
diberikan selama RJP berdasarkan alasan untuk mengembalikan kadar oksigen yang dihabiskan
dan untuk mengoreksi hipoksi jaringan sehingga dapat meningkatkan angka keselamatan. Data
observasional menunjukan adanya hubungan antara tekanan oksigen parsial yang lebih tinggi
selama RJP dan peningkatan ROSC. Akibat stadium aliran cardiac output yang rendah,
disamping pemberian fraksi oksigen inspirasi, tekanan oksigen pada mitokondria jaringan tidak
tinggi.

9
Setelah ROSC, oksigen yang diinspirasi sebaiknya dititrasi untuk mencapai saturasi
oksigen normal (94-98%) bila oksigenasi sudah dapat dimonitor dengan pulse oximetry.
Penelitian observasional menunjukan bahwa hipoksia setelah ROSC berhubungan dengan
penurunan angka keselamatan sampai keluar rumah sakit. Efek dari hipoksia setelah ROSC
masih belum pasti. Sindroma post-henti jantung meliputi cedera reperfusi dan stres oksidatif,
yang dapat berdampak pada kerusakan neuronal. Hiperoksia nampaknya dapat meningkatkan
stres oksidatif. Penelitian dengan hewan menunjukan bahwa hiperoksia yang terjadi segera
setelah ROSC berhubungan dengan hasil akhir neurologis yang buruk. Sebuah RCT dengan 28
pasien OHCA menunjukan adanya peningkatan yang lebih besar pada neuron specific enolase
(NSE), yaitu suatu penanda terjadinya cedera neuronal, pada pasien-pasien post-ROSC yang
diterapi dengan oksigen inspirasi 100% dibandingkan dengan oksigen inspirasi 30% selama 60
menit setelah ROSC (tidak ada kelompok yang mendapatkan kontrol suhu). Beberapa penelitian
menunjukan adanya hubungan antara hiperoksia dan hasil akhir yang buruk pada saat keluar
rumah sakit (keseluruhan angka keselamatan, atau keselamatan dengan fungsi neurologis yang
masih baik) bila dibandingkan dengan keadaan normoksia, sedangkan penelitian lain melaporkan
tidak terdapat hubungan. Penelitian tersebut sulit untuk menginterpretasikan berapa banyak
oksigen yang dapat menggambarkan penanda adanya keparahan penyakit, penelitian tersebut
tidak melihat oksigenasi segera setelah ROSC (periode waktu dimana terjadi kerusakan pada
penelitian dengan menggunakan hewan), durasi aktual (‘dosis’) hiperoksia untuk seorang
individu masih belum diketahui dan dampak dari intervensi lain (misalnya kontrol suhu, target
karbondioksida) masih belum pasti. Sebuah penelitian tentang titrasi oksigen segera setelah
ROSC masih berusaha untuk menentukan saturasi oksigen yang memungkinkan dilakukannya
titrasi oksigen inspirasi menggunakan bag-mask. Sebuah RCT tentang titrasi oksigen segera
setelah ROSC akan segera dimulai (Tabel 1).

Berapa banyak ventilasi selama RJP dan setelah ROSC?

Tanpa adanya airway lanjutan selama RJP, pedoman saat ini didasarkan pada bukti yang
sangat terbatas dan merekomendasikan napas tekanan positif setelah tiap 30 kompresi dada.
Napas tersebut sebaiknya dilakukan dalam waktu inspirasi 1 detik dan menghasilkan
kenampakan peninggian dinding dada. Observasi pada orang dewasa dalam anestesi menunjukan
adanya kenampakan peninggian dinding dada yang terjadi dengan rata-rata volume tidal yaitu

10
384 ml (95% CI 362 sampai 406 ml). Bila sudah dipasang airway lanjutan, direkomendasikan
kecepatan ventilasi 10/menit tanpa interupsi kompresi dada. Kompresi dada terus-menerus tanpa
interupsi tidak selalu mudah dilakukan dengan SGA dan mungkin dibutuhkan jeda setelah tiap
30 kompresi dada dengan tujuan untuk memberikan napas bantuan.

Pemahaman penulis tentang strategi ventilasi optimal dan interaksinya dengan kompresi
dada untuk membuat aliran darah yang adekuat dan penghantaran oksigen ke organ vital masih
terbatas. Kecepatan ventilasi yang direkomendasikan yaitu 10/menit dengan pipa trakea
didasarkan pada penelitian dengan hewan, yang diikuti dengan observasi bahwa hiperventilasi
sering terjadi selama RJP manusia. Sebuah penelitian menggunakan babi menunjukan bahwa
kecepatan respirasi 30/menit dibandingkan dengan 12/menit dapat menyebabkan peningkatan
tekanan intratoraks, penurunan perfusi koroner dan otak serta penurunan ROSC. Selain itu,
penulis juga memasukan data observasional manusia dan melaporkan bahwa tidak ada yang
selamat dari henti jantung dengan airway lanjutan bila kecepatan respirasinya lebih besar dari
1/menit dan waktu inspirasi lebih dari 1 detik. Penurunan kecepatan respirasi cukup untuk
mempertahankan rasio perfusi ventilasi normal selama RJP karena cardiac output yang akan
dimulai oleh kompresi dada juga akan menurun.

Interaksi antara paru-paru dan sirkulasi selama RJP sangatlah kompleks. Peningkatan
kecepatan respirasi atau volume tidal selama RJP akan meningkatkan rata-rata tekanan
intratoraks dan menurunkan aliran balik vena ke jantung, meningkatkan volume paru-paru dan
resistensi vaskular pulmoner, menurunkan cardiac output dan menurunkan tekanan perfusi
koroner serta tekanan darah aortik. Alat yang dirancang untuk mengatur tekanan intratoraks
seperti impedance threshold device (ITD) dan active compression decompression CPR (ACD
CPR) bertujuan untuk meningkatkan aliran darah ke jantung dan otak selama RJP. Secara
spesifik, ITD akan menghentikan aliran udara ke dalam paru-paru selama recoil kompresi dada
atau dekompresi aktif dan akibat negatif dari peningkatan tekanan intratoraks yaitu peningkatan
aliran darah kedalam ventrikel. Bila dibandingkan dengan RJP standar ITD CPR dan ACD +
ITD CPR meningkatkan cardiac output untuk kompresi selanjutnya. Disamping efek yang
menjanjikan dari ITD + ACD CPR dalam penelitian hewan, hasil dari percobaan dengan manusia
kurang meyakinkan. Penelitian dengan ITD saja tidak menunjukan adanya perbaikan pada angka
keselamatan. International Liaison Committee on Resuscitation (ILCOR) tahun 2015 meninjau

11
tentang ACD + ITD CPR dan tidak mencapai sebuah konsensus mengenai isu ini, walaupun
sebuah RCT skala besar telah melaporkan adanya perbaikan angka keselamatan dengan fungsi
neurologis yang masih baik.

Pedoman saat ini untuk pelayanan post-ROSC merekomendasikan untuk menggunakan


ventilasi volume tidal rendah (6-8 ml/kgBB) dengan kadar PEEP yang dititrasi dan bertujuan
untuk mendapatkan normokapnia. Setelah ROSC, ventilasi yang tidak adekuat dan akibat dari
hiperkapnia akan memperburuk asidosis metabolik yang sudah ada dan berpotensi memperburuk
instabilitas hemodinamik. Selain itu, hiperkapnia akan menyebabkan vasodilatasi serebral bila
reaktivitas serebrovaskular masih terjaga: apakah hal ini akan merusak atau bermanfaat, masih
belum diketahui. Hiperkapnia akan berdampak pada peningkatan tekanan intrakranial dan
perburukan hiperaemia pada otak yang rentan, atau peningkatan aliran darah dapat memperbaiki
iskemia serebral dan dapat bersifat neuroprotektif. Sebuah penelitian observasional menunjukan
adanya perbaikan angka keselamatan sampai keluar rumah sakit dan juga hasil akhir neurologis
yang berhubungan dengan paparan terhadap hiperkapnia ringan bila dibandingkan dengan
normokapnia atau hipokapnia, sedangkan penelitian lain menunjukan perburukan angka
keselamatan sampai keluar rumah sakit dengan hiperkapnia dibandingkan dengan normokapnia
atau hipokapnia. Dalam sebuah RCT kecil dengan 86 pasien post-henti jantung, terdapat
peningkatan yang lebih besar pada NSE (suatu penanda cedera neuronal) pada 72 jam pertama
bila ditargetkan normokapnia (35-45 mmHg, 4.67-6.0 kPa) dibandingkan dengan hiperkapnia
ringan (50-55 mmHg, 6.67-7.33 kPa). Penelitian ini difollow up dengan RCT multi senter yang
lebih besar (percobaan TAME Cardiac Arrest). Hiperventilasi dan hipokapnia juga menjadi
penyebab iskemia sebagai akibat dari vasokonstriksi serebral, alkalosis cairan serebrospinal dan
peningkatan eksitabilitas neuronal akibat meningkatnya pelepasan asam amino eksitatorik.
Sebuah penelitian dengan 10 pasien menunjukan penurunan oksigenasi jaringan serebral yang
dimonitor dengan near infrared spectroscopy bila target PaCO2 menurun dari 40 (5.33 kPa)
menjadi 30 mmHg (4.0 kPa) pada pasien post-ROSC yang diterapi dengan hipotermia. Sebuah
penelitian dengan 5258 pasien (82 ICU di Netherland) menemukan adanya peningkatan risiko
mortalitas pada hipokania bila dibandingkan dengan normokapnia dan hiperkapnia.

Suatu strategi ventilasi pelindung paru-paru post-ROSC didasarkan pada pedoman untuk
ventilasi cedera paru akut. Sebuah penelitian membandingkan volume tidal yang kurang dari

12
atau lebih dari 8 ml/kg pada pasien yang selamat dari OHCA dan menemukan adanya volume
tidal yang lebih rendah pada 48 jam pertama post-ROSC dan berhubungan dengan hasil akhir
neurologis yang baik, lebih banyak dari tanpa ventilator dan shock, sedangkan sebuah penelitian
IHCA tidak menemukan adanya hubungan antara volume tidal yang kurang dari atau lebih dari 8
ml/kg dalam 6 atau 48 jam pertama post-ROSC dengan angka keselamatan sampai keluar rumah
sakit serta hasil akhir neurologis. Dalam percobaan TTM, akhir dari rata-rata volume tidal TTM
yaitu 7.7 ml/kgBB, 60% pasien memiliki volume tidal kurang dari 8 ml/kg, rata-rata PEEP yaitu
7.7 cmH2O (6.4-8.7), rata-rata tekanan yang dipakai yaitu 14.6 cmH2O (±4.3) dan rata-rata FiO2
yaitu 0.35 (0.30-0.45). Pasien yang tidak selamat dibandingkan dengan yang selamat pada 28
hari memiliki oksigenasi yang buruk, kecepatan respirasi, tekanan yang dipakai dan tekanan
plateu yang lebih tinggi serta ketaatan yang lebih rendah dibandingkan dengan pasien yang
selamat.

Setelah ROSC, intervensi untuk oksigenasi dan ventilasi dan kombinasi dengan sejumlah
intervensi yang disesuaikan dengan variabel fisiologis lainya, termasuk suhu, tekanan darah,
glukosa dan kontrol kejang, cukup dibutuhkan untuk hasil akhir yang baik. Target optimal dan
kombinasinya masih belum pasti dan masih dalam penelitian.

KESIMPULAN

Kombinasi yang optimal dari berbagai teknik airway dan target oksigen serta ventilasi
selama RJP dan setelah ROSC masih belum pasti. Tanpa adanya bukti yang mendukung suatu
teknik spesifik, penolong sebaiknya menggunakan teknik airway yang paling mahir dilakukan
selama RJP dan memberikan konsentrasi inspirasi oksigen maksimal. Pasien biasanya mendapat
pendekatan yang lebih baik bila yang ahli telah tiba (Gambar 1). Rasio kompresi sampai ventilasi
30:2 sebaiknya digunakan sampai dilakukan insersi airway lanjutan, bila kecepatan ventilasi
10/menit sebaiknya digunakan tanpa interupsi kompresi dada. Setelah ROSC, oksigenasi dan
ventilasi sebaiknya dititrasi hingga mencapai nilai normal. RCT yang sedang dalam proses
(Tabel 1) sebaiknya dapat memberikan pandangan baru.

13
BAGIAN ILMU ANASTESI DAN REANIMASI JOURNAL READING
FAKULTAS KEDOKTERAN MEI 2019
UNIVERSITAS PATTIMURA

TATALAKSANA AIRWAY DAN VENTILASI SELAMA RESUSITASI JANTUNG PARU


DAN SETELAH RESUSITASI BERHASIL

Disusun oleh:
Yosua T. Unmehopa
NIM. 2012-83-032

Pembimbing:
Dr. Ony W. Angkejaya, Sp. An

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU ANASTESI DAN REANIMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2019

14
15
Tabel 1. Percobaan acak terkontrol yang sedang dalam proses
Judul Negara Ringkasan Status No.registrasi Tautan
AIRWAYS-2 Inggris Percobaan acak cluster yang membandingkan Pendaftaran lengkap ISRCTN08256118 https://www.nc
RCT of i-gel supraglottic intubasi trakea dengan insersi airway supraglotis (i- pada Agustus 2017 bi.nlm.nih.gov/
airway device versus tracheal gel) sebagai airway awal pada OHCA pubmed/
intubation in the initial airway Hasil primer: hasil akhir neurologis pada saat 27697605
management of out of hospital keluar rumah sakit atau pada 30 hari bila masih
cardiac arrest dirawat di rumah sakit.

Pragmatic Airway Amerika Percobaan acak cluster yang membandingkan Pendaftaran lengkap NCT02419573 https://www.nc
Resuscitation intubasi trakea dan insersi pipa laryngeal pada pada Agustus 2017 bi.nlm.nih.gov/
Trial (PART) OHCA pubmed/
Hasil primer: angka keselamatan pada 72 jam 26851059

Reduction of oxygen after Australia Percobaan acak terkontrol fase 3 yang Pendaftaran dimulai NCT03138005 https://clinicaltr
cardiac membandingkan oksigen titrasi sampai samturasi pada Oktober 2017 ials.gov/ct2/sho
arrest: The EXACT trial 90-94% dengan 98-100% segera setelah ROSC dan w/record/
berlanjut sampai masuk ICU.
Hasil primer: angka keselamatan dampai keluar RS

Targeted therapeutic mild Australia Percobaan acak terkontrol yang membandingkan Pendaftaran dimulai NCT03114033 https://clinicaltr
hypercapnia hiperkapnia ringan (PaCO2 50-55 mmHg) dengan pada Desember 2017 ials.gov/ct2/sho
after resuscitated cardiac arrest target normokapnia (PaCO2 35-45 mmHg). w/NCT031140
(TAME) Hasil primer: hasil akhir neurologis pada 6 bulan 33
(GOSE)

Targeting low- or high-normal Finlandia Penelitian feasibel Pendaftaran lengkap NCT02698917 https://clinicaltr
Carbondioxide, Oxygen, and ials.gov/ct2/sho
Mean arterial pressure After w/NCT026989
Cardiac Arrest and 17
REsuscitation: study protocol
for a
randomised pilot trial

16

Anda mungkin juga menyukai