Anda di halaman 1dari 12

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Pangan merupakan salah satu masalah utama yang strategis bagi kehidupan bangsa,
khususnya dalam memenuhi kebutuhan pokok penduduk (SEAFAST, 2010). Indonesia
memiliki sumber daya yang cukup untuk menjamin ketahanan pangan bagi penduduknya.
Akan tetapi masih banyak penduduk Indonesia yang belum mendapatkan kebutuhan pangan
yang mencukupi. Sekitar tiga puluh persen rumah tangga mengatakan bahwa konsumsi
mereka masih berada di bawah konsumsi yang semestinya.
Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk dengan tingkat pertumbuhan
yang tinggi. Penduduk Indonesia pada tahun 2011 diperkirakan mencapai 241 juta jiwa1[1].
Pada tahun 2011, data BPS menunjukkan bahwa tingkat konsumsi beras mencapai 139
kg/kapita lebih tinggi dibanding dengan Malaysia dan Thailand yang hanya berkisar 65 kg –
70 kg perkapita pertahun. Di Indonesia, ketahanan pangan merupakan salah satu topik yang
sangat penting, bukan saja dilihat dari nilai-nilai ekonomi dan sosial, tetapi juga mengandung
konsekuensi politik yang besar. Dapat dibayangkan apa yang akan terjadi terhadap
kelangsungan suatu kabinet pemerintah atau stabilitas politik di dalam negeri apabila
Indonesia terancam kekurangan pangan atau kelaparan (Tambunan, 2008).
Ketahanan pangan sering dikaitkan sebatas kecukupan produksi pangan. Ketahanan
pangan jarang dikaitkan dengan masalah akses semua penduduk untuk mendapatkan makanan
yang cukup baik untuk memenuhi kebutuhan energi maupun kebutuhan gizi secara lengkap
(Pardede, 2009).
Salah satu contoh masalah ketahanan pangan yang hingga sekarang masih menarik
untuk dibahas adalah ketersediaan beras dan akses terhadap beras. Beras merupakan makanan
pokok dari 98% penduduk Indonesia (Riyadi, 2002 dalam Kusumaningrum, 2008). Beras
mempunyai peran yang strategis dalam memantapkan ketahanan pangan, ekonomi dan politik
nasional (Suryana et. al., 2001 dalam Kusumaningrum , 2008). Beras bagi bangsa Indonesia
bukan hanya sekedar komoditas pangan atau ekonomi saja, tapi sudah merupakan komoditas
politik dan keamanan. Suryana et al., (2001) dalam Kusumaningrum (2008) mengatakan
bahwa sebagian besar penduduk Indonesia masih menghendaki adanya pasokan (penyediaan)
dan harga beras yang stabil, tersedia sepanjang waktu, terdistribusi secara merata dengan
harga yang terjangkau.

1
Selain itu, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, jika dilihat rata-rata konsumsi
kalori per kapita dalam sehari menurut kelompok makanan dari tahun 2001 sampai 2009,
ternyata komoditas padi menjadi sumber utama terbesar penyumbang konsumsi kalori pada
penduduk Indonesia. Dan apabila dilihat dari data presentase pengeluaran rata-rata per kapita
dalam sebulan dari tahun 2002-2009, ternyata padi-padian masih menjadi komoditi pertama,
kemudian dibawahnya ada komoditi makanan jadi, kacang-kacangan, dan umbiumbian.
Secara keseluruhan, kondisi tersebut menunjukan bahwa beras masih menjadi
komoditas strategis secara politis. Namun pada kenyatannya, beras masih belum dapat diakses
penuh oleh seluruh masyarakat. Berdasarkan kenyataan tersebut perlu diketahui faktor
penyebab sulitnya akses terhadap beras dan juga pihak-pihak yang seharusnya berperan serta
untuk mengatasi masalah tersebut agar nantinya ketahanan pangan beras di Indonesa tetap
stabil dan terjaga.

2. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

a. Apakah yang dimaksud dengan swasembada pangan?


b. Kebijakan-kebijakan pertanian apa saja yang sudah dilakukan oleh pemerintah
selama 5 tahun terakhir untuk meningkatkan swasembada pangan?
c. Apa hambatan untuk mewujudkan swasembada pangan?

3. Tujuan

Adapun tujuan dibuatnya makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui ruang lingkup swasembada pangan


2. Untuk mengetahui kebijakan-kebijakan pemerintah disektor pertanian 5 tahun
terakhir dalam mewujudkan sewasembada pangan.
3. Untuk mengetahui hambatan untuk mewujudkan swasembada pangan.

2
PEMBAHASAN

Menurut Undang-undang (UU) No.7 Tahun 1996 tentang pangan, Pasal 1 Ayat 17,
konsep ketahanan pangan yang dianut Indonesia adalah bahwa "Ketahanan pangan adalah
kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga (RT) yang tercermin dari tersedianya pangan yang
cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau". UU ini sejalan dengan
definisi ketahanan pangan menurut Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) dan
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 1992, yakni akses setiap rumah tangga atau
individu untuk dapat memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidup yang
sehat. Sementara pada World Food Summit tahun 1996, ketahanan pangan disebut sebagai
akses setiap rumah tangga atau individu untuk dapat memperoleh pangan pada setiap waktu
untuk keperluan hidup yang sehat dengan persyaratan penerimaan pangan sesuai dengan nilai
atau budaya setempat (Pambudy, 2002 dalam Tambunan, 2008). Ketahanan pangan nasional
harus dipahami dari tiga aspek, yaitu ketersediaan, distribusi dan akses, serta konsumsi.
Ketiga aspek tersebut saling terkait, tidak hanya cukup meningkatkan produksi pangan saja,
serta memerlukan upaya pengawalan yang harus dilakukan secara terus menerus (Bappenas,
2011).

1. Swasembada Pangan
Swasembada pangan berarti kita mampu untuk mengadakan sendiri kebutuhan
pangan dengan bermacam-macam kegiatan yang dapat menghasilkan kebutuhan yang
sesuai diperlukan masyarakat Indonesia dengan kemampuan yang dimilki dan
pengetauhan lebih yang dapat menjalankan kegiatan ekonomi tersebut terutama di
bidang kebutuhan pangan.Yang kita ketahui Negara Indonesia sangat berlimpah dengan
kekayaan sumber daya alam yang harusnya dapat menampung semua kebutuhan pangan
masyarakat Indonesia

2. Kebijakan pemerintah dalam mencapai ketahanan pangan dengan target


swasembada beras
Ketahanan pangan merupakan prioritas nasional dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahap II 2010-2014. Adapun kebijakan
Kementerian Pertanian tahun 2010-2014 berkaitan dengan pembangunan ketahanan
pangan yaitu :

3
 Melanjutkan dan memantapkan kegiatan tahun sebelumnya yang terbukti sangat baik
kinerja dan hasilnya, antara lain bantuan benih/bibit unggul, subsidi pupuk, alsintan,
Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT);
 Melanjutkan dan memperkuat kegiatan yang berorientasi pemberdayaan masyarakat
seperti Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP), Lembaga Mandiri yang
Mengakar di Masyarakat (LM3), Sarjana Membangun Desa (SMD) dan Penggerak
Membangun Desa (PMD), dan rekrutmen tenaga pendamping lapang guna
mempercepat pertumbuhan industri pertanian di perdesaan;
 Pemantapan swasembada beras melalui peningkatan produksi yang berkelanjutan;
 Pencapaian swasembada kedelai, daging sapi, dan gula industri;
 Peningkatan produksi susu segar, buah lokal, dan produk-produk substitusi
komoditas impor;
 Peningkatan kualitas dan kuantitas public goods melalui perbaikan dan
pengembangan infrastruktur pertanian seperti irigasi, embung, jalan desa, dan jalan
usahatani;
 Jaminan penguasaan lahan produktif;
 Pembangunan sentra-sentra pupuk organik berbasis kelompok tani;
 Penguatan kelembagaan perbenihan dan perbibitan nasional;
 Pemberdayaan masyarakat petani miskin melalui bantuan sarana, pelatihan, dan
pendampingan;
 Penguatan akses petani terhadap iptek, pasar, dan permodalan bunga rendah;
 Mendorong minat investasi pertanian dan kemitraan usaha melalui promosi yang
intensif dan dukungan iklim usaha yang kondusif;
 Pembangunan kawasan komoditas unggulan terpadu secara vertikal dan/atau
horizontal dengan konsolidasi usahatani produktif berbasis lembaga ekonomi
masyarakat yang berdaya saing tinggi di pasar lokal maupun internasional;
 Pengembangan bio-energi berbasis bahan baku lokal terbarukan untuk memenuhi
kebutuhan energi masyarakat khususnya di perdesaan dan mensubstitusi BBM;
 Pengembangan diversifikasi pangan dan pembangunan lumbung pangan masyarakat
untuk mengatasi rawan pangan dan stabilisasi harga di sentra produksi;
 Peningkatan keseimbangan ekosistem dan pengendalian hama penyakit tumbuhan
dan hewan secara terpadu;
 Penguatan sistem perkarantinaan pertanian;

4
 Penelitian dan pengembangan berbasis sumberdaya spesifik lokasi (kearifan lokal)
dan sesuai agro-ekosistem setempat dengan teknologi unggul yang berorientasi
kebutuhan petani;
 Pengembangan industri hilir pertanian di perdesaan yang berbasis kelompok tani
untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk pertanian, membuka
lapangan kerja, mengurangi kemiskinan, dan meningkatkan keseimbangan ekonomi
desa-kota;
 Berperan aktif dalam melahirkan kebijakan makro yang berpihak kepada petani
seperti perlindungan tarif dan non tarif perdagangan internasional, penetapan Harga
Pembelian Pemerintah (HPP), dan Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk bersubsidi;
 Peningkatan promosi citra petani dan pertanian guna menumbuhkan minat generasi
muda menjadi wirausahawan agribisnis;
 Peningkatan dan penerapan manajemen pembangunan pertanian yang akuntabel dan
good governance.

Ketahanan pangan nasional selama ini dicapai melalui kebijaksanaan swasembada


pangan dan stabilitas harga. Oleh sebab itu pemantapan swasembada beras merupakan
salah satu fokus dalan terwujudnya ketahanan pangan. Hal ini dalam rangka
mewujudkan Visi, Misi dan Tujuan dari Kementrian Pertanian yang terdapat dalam
Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 15/Permentan/Rc.110/1/2010 Tentang Rencana
Strategis Kementerian Pertanian 2010-2014.
Adapun kebijakan Kementrian Pertanian yang terkait penetapan target pelaksanaan
swasembada beras sebagai penunjang terwujudnya swasembada beras adalah:
a. Mewujudkan sistem pertanian berkelanjutan yang efisien, berbasis iptek dan
sumberdaya lokal, serta berwawasan lingkungan melalui pendekatan sistem
agribisnis.
b. Menciptakan keseimbangan ekosistem pertanian yang mendukung keberlanjutan
peningkatan produksi dan produktivitas untuk meningkatkan kemandirian pangan.
c. Menjadikan petani yang kreatif, inovatif, dan mandiri serta mampu memanfaatkan
iptek dan sumberdaya lokal untuk menghasilkan produk pertanian berdaya saing
tinggi.

5
Langkah pembangunan ketahanan pangan dapat ditempuh melalui memasyarakatkan
program diversifikasi pangan baik horizontal maupun vertikal. Untuk itu pemetaan
wilayah sebaran dan wilayah program pengembangan sumber pangan lokal di Indonesia
perlu mendapat perhatian pemerintah.
Untuk mendukung berhasilnya program ketahanan pangan diantaranya ditempuh
dengan swasembada karena selama ini ketahanan nasional dicapai melalui kebijakan
program swasembada pangan dan stabilisasi harga. Swasembada pangan merupakan
target utama kementrian Pertanian dalam rangka mewujudkan Ketahanan Pangan. Seperti
yang tercantum dalam Peraturan Menteri Pertanian No. 15/Permentan/Rc.110/1/2010
selama lima tahun ke depan (2010-2014).
Dalam membangun pertanian di Indonesia, Kementerian Pertanian mencanangkan 4
(empat) target utama, yaitu:
a. Pencapaian Swasembada dan Swasembada Berkelanjutan.
b. Peningkatan Diversifikasi Pangan.
c. Peningkatan Nilai Tambah, Daya Saing, dan Ekspor.
d. Peningkatan Kesejahteraan Petani.

Swasembada ditargetkan pada komoditas pertanian yang dianggap sebagai pangan


pokok seperti beras. Alasan mengapa beras menjadi objek swasembada adalah karena
beras merupakan bahan pangan pokok yang dikonsumsi oleh 98% penduduk Indonesia.
Selain itu, Beras mempunyai peran yang strategis dalam memantapkan ketahanan pangan,
ekonomi dan politik nasional. Swasembada beras sebelumnya ditetapkan pada periode
tahun 2005-2009 dari hasil swasembada didaptkan hasil yang positif berupa peningkatan
produksi beras tiap tahunya. Melihat keberhasilan yang dicapai untuk itu akan
diberlakukan lagi swasembada lanjutan dengan komoditas yang masih sama dengan
periode tahun 2010-2014. Sasaran produksi beras yang ingin dicapai pemerintah pada
2014 ditargetkan sebesar 75,70 juta ton gabah kering giling (GKG) dan jagung 29 juta ton
pipilan kering atau masing-masing tumbuh 3,22 persen per tahun (padi). Target yang ingin
dicapai didasarkan pada pertumbuhan penduduk nasional, permintaan bahan baku industri,
kebutuhan stok nasional dan peluang ekspor.
Dalam mewujudkan program swasembada beras perlu adanya integrasi dari berbagai
pihak terkait peningkatan produksi beras. Pemerintah dalam hal ini berperan sebagai
penyedia fasilitas untuk mendukung petani dalam menghasilkan beras yang cukup melalui
kebijakan kebijakan yang telah diatur oleh pemerintah. Bentuk dukungan pemerintah

6
dalam mensuk seskan swasembada tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian No.
15/Permentan/Rc.110/1/2010 yakni (1) Penyediaan pupuk (subsidi dan non-subsidi): urea
35,15 juta ton, SP-36 22,23 juta ton, ZA 6,29 juta ton, KCL 13,18 juta ton, NPK 45,99
juta, dan organ ik 53,09 ton. (2) Subsidi: pupuk, benih/bibit dan kredit/bunga.
(3)Perluasan lahan baru-baru 2 juta ha untuk tanaman pangan, hortikultura, perkebunan,
hijauan makanan ternak dan padang penggebalaan. (4) Investasi pemerintah dan swasta di
bidang pertanian.
Kebijakan-kebijakan pangan yang telah diatur pemerintah tak lain adalah untuk
mensejahterakan kehidupan bangsa Indonesia melalui salah satunya tercukupinya pangan.
Jadi dengan demikian upaya upaya pemerintah dalam membangun ketahanan pangan,
kebijakan-kebijakan tentang pangan yang telah dibuat merupakan wujud implementasi
dari Pembukaan UUD 1945.

3. Hambatan Untuk Mewujudkan Swasembada Pangan


Program swasembada pangan masih bergantung pada luasan lahan yang tersedia.
Dalam menuju swasembada pangan nasional seperti kedelai, jagung, padi, gula,
semuanya masih bergantung pada luas lahan yang ada. Tanpa ada realisasi perluasan
lahan, mustahil target swasembada pangan 2014 terwujud. Dalam memenuhi
swasembada pangan, Indonesia masih membutuhkan lahan sekitar 3 juta Ha. Target
produksi padi (GKG) pada 2014 adalah 75 juta ton dari 64 juta ton sekarang. Jagung dari
17 juta ton menjadi 29 juta ton, kedelai pada 2014 ditargetkan 2,7 juta ton. Begitu
industri gula sekarang baru 2,3 juta ton ditargetkan naik menjadi 3,6 juta ton pada tahun
2014.Target semua di atas tentu memerlukan tambahan lahan yang cukup signifikan.
Apakah semuanya bisa tercapai, jika moratorium dilaksanakan. Secara teknis
pemberlakuan moratorium, sejatinya tidak menguntungkan dalam menuju swasembada
pangan. Pelaksanaan ini juga berimbas padakomoditas lain, seperti sektor perkebunan
(CPO) dan kehutanan (HTI). Memang komoditas pangan ini diprioritaskan untuk
pemenuhan domestik, sedangkan kedua sektor di atas masih menjadi andalan ekspor
nasional.

Pertama, berlanjutnya konversi lahan pertanian untuk kegiatan non pertanian, khususnya
pada lahan pertanian kelas satu di Jawa menyebabkan semakin sempitnya basis produksi
pertanian, sedangkan lahan bukaan baru di luar Jawa mempunyai kesuburan yang relatif
rendah. Demikian pula, ketersediaan sumber daya air untuk pertanian juga telah semakin
7
langka. Dalam kaitan ini sektor pertanian menghadapi tantangan untuk meningkatkan
efisiensi dan optimalisasi pemanfaatan sumber dayalahan dan air secara lestari dan
mengantisipasi persaingan dengan aktifitas perekonomian dan pemukiman yang
terkonsentrasi di Pulau Jawa.

Kedua, teknologi produksi menggunakan benih unggul dan pupuk kimia yang secara
intensif diterapkan sejak awal 70-an pada ekologi sawah berhasil memacu produksi
cukup tinggi, namun juga menyebabkan merosotnya kualitas dan kesuburan lahan (soil
fatigue), serta terdesaknya varietas unggul lokal dan kearifan teknologi lokal yang
menjadi ciri dan kebanggaan masyarakat setempat. Sementara itu, terkonsentrasinya
pengembangan teknologi pangan pada lahan sawah menyebabkan kurang berkembangnya
teknologi pada ekosistem lainnya. Pada saat teknologi lahan sawah relatif stagnan,
sementara itu teknologi lahan kering, lahan rawa/lebak, lahan pasang surut relatif belum
mampu meningkatkan produktivitas tanaman secara signifikan.

Ketiga, kebijakan pengembangan komoditas pangan, termasuk teknologinya yang


terfokus pada beras telah mengabaikan potensi sumber-sumber pangan karbohidrat
lainnya, dan lambatnya pengembangan produksi komoditas pangan sumber protein
seperti serealia, daging, telur, susu serta sumber zat gizi mikro yaitu sayuran dan buah-
buahan. Kondisi demikian berpengaruh pada rendahnya keanekaragaman bahan pangan
yang tersedia bagi konsumen. Selanjutnya apabila teknologi pengembangan aneka
pangan lokal tidak cepat dilakukan, maka bahan pangan lokal akan tertekan oleh
membanjirnya anekaragam pangan olahan impor.
Keempat, teknologi pasca panen belum diterapkan dengan baik sehingga tingkat
kehilangan hasil dan degradasi mutu hasil panen masih cukup tinggi. Demikian pula
agroindustri sebagai wahana untuk meningkatkan nilai tambah dan penghasilan bagi
keluarga petani belum bekembang seperti yang diharapkan. Peningkatan pelayanan
teknologi tepat guna serta penyediaan prasarana usaha harus diupayakan untuk
menunjang pengembangan usaha pasca panen dan agroindustri di pedesaan.
Kelima, belum memadainya prasarana dan sarana transportasi, baik darat dan terlebih
lagi antar pulau, yang menghubungkan lokasi produsen dengan konsumen menyebabkan
kurang terjaminnya kelancaran arus distribusi bahan pangan ke seluruh wilayah. Hal ini
tidak saja menghambat akses konsumen secara fisik, tetapi ketidaklancaran distribusi juga
berpotensi memicu kenaikan harga sehingga menurunkan daya beli konsumen. Ketidak
lancaran proses distribusi juga merugikan produsen, karena disamping biaya distribusi

8
yang mahal potensi kerugian akibat karena rusak atau susut selama proses pengangkutan
cukup tinggi.
Keenam, ketidakstabilan harga dan rendahnya efisiensi sistem pemasaran hasil-hasil
pangan pada saat ini merupakan kondisi yang kurang kondusif bagi produsen maupun
konsumen. Hal ini antara lain disebabkan karena lemahnya disiplin dan penegakan
peraturan untuk menjamin sistem pemasaran yang adil dan bertanggung jawab,
terbatasnya fasilitas perangkat keras maupun lunak untuk membangun transparansi
informasi pasar, serta terbatasnya kemampuan teknis institusi dan pelaku pemasaran.
Penurunan harga pada saat panen raya cenderung merugikan petani, sebaliknya pada saat
tertentu pada musim paceklik dan hari-hari besar, harga pangan meningkat tinggi
menekan konsumen, tetapi kenaikan harga tersebut sering tidak dinikmati oleh petani
produsen.
Ketujuh, khusus untuk beras, yang pada saat ini peranannya cukup sentral karena
aktivitas produksi hingga konsumsinya melibatkan hampir seluruh masyarakat,
pemerintah sangat memperhatikan kestabilan produksi maupun harganya. Harga yang
relatif stabil dan dijaga kewajarannya bagi produsen dan konsumen, akan lebih
memberikan kepastian penghasilan dan insentif berproduksi kepada petani dan sekaligus
menjaga kelangsungan daya beli konsumen. Dalam era perdagangan bebas dan reformasi
pemerintahan saat ini, fungsi dan kewenangan lembaga-lembaga negara seperti
Departemen Keuangan, Bank Indonesia, BRI, Bulog, termasuk kebijakan subsidi yang
dahulu sangat berperan dalam menunjang stabilisasi sistem perberasan, telah mengalami
deregulasi mengikuti asas mekanisme pasar bebas. Kebijakan harga dasar menjadi sulit
dipertahankan karena pemerintah tidak dapat lagi membiayai pembelian gabah dan
operasi pasar dalam jumlah besar, dan Bulog tidak lagi memegang hak monopoli. Dalam
kondisi demikian pemerintah harus mengupayakan cara-cara lain untuk menjaga
kestabilan harga dan memberikan insentif berproduksi kepada petani.
Kedelapan, terbatasnya kemampuan kelembagaan produksi petani karena terbatasnya
dukungan teknologi tepat guna, akses kepada sarana produksi, serta kemampuan
pemasarannya. Adalah tantangan bagi institusi pelayanan yang bertugas memberikan
kemudahan bagi petani dalam menerapkan iptek, memperoleh sarana produksi secara
enam tepat, dan membina kemampuan manajemen agribisnis serta pemasaran, untuk
meningkatkan kinerjanya memfasilitasi pengembangan usaha dan pendapatan petani
secara lebih berhasil guna.

9
Kesembilan, terbatasnya kelembagaan yang menyediakan permodalan bagi usahatani di
pedesaan, dan prosedur penyaluran yang kurang mengapresiasikan sifat usahatani dan
resiko yang dihadapi, merupakan kendala bagi berkembangnya usahatani. Demikian pula,
kurang memadainya prasarana fisik menjadi kendala berkembangnya industri hulu dan
hilir sebagai wahana bagi peningkatan pendapatan petani di pedesaan.

10
PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan di dalam makalah ini, dapat disimpulkan
bahwa Swasembada pangan adalah keadaan dimana suatu negara dapat memenuhi tingkat
permintaan akan suatu bahan pangan sendiri tanpa perlu melakukan impor dari pihak luar.
Dan juga swasembada pangan adalah terhindarnya suatu negara dari kelaparan. Kebijakan
pertanian kita adalah memajukan pertanian, mengusahakan agar pertanian menjadi lebih
produktif, produksi dan efisiensi produksi naik dan akibatnya tingkat penghidupan dan
kesejahteraan petani meningkat. Untuk mencapai tujuan-tujuan ini, pemerintah baik di pusat
maupun di daerah mengeluarkan peraturan-peraturan tertentu; ada yang berbentuk Undang-
undang, Peraturan-peraturan Pemerintah, dan lain sebagainya.

Saran

Dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini. Akhir
kata, semoga makalah ini dapat dijadikan media bacaan yang mungkin bisa menambah
wawasan dan ilmu pengetahuan kita tentang “Kebijakan Pemerintah Dalam Bidang
Pertanian”.

11
DAFTAR PUSTAKA

http://nasional.kompas.com/read/2016/09/25/06000051/kebijakan.pemerinah.di.sektor.pertani
an.belum.berpihak.pada.petani
http://yuliana-ekaputri.blogspot.co.id/2011/04/swasembada-pangan.html
http://pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_IV_08.pdf

12

Anda mungkin juga menyukai