Oleh :
Delti Delaya Busa, S.Farm
Sulistyawati, S.Farm.
Maria Dyah Ayu R.D, S.Farm.
Aron Saputra Thie, S.Farm.
A. Latar Belakang
B. Tujan
1. Mengetahui jenis dan metode pengadaan sediaan farmasi
2. Memahami alur atau proses pengadaan sediaan farmasi, serta hal−hal yang terkait
didalamnya.
C. Manfaat
Menambah pengetahuan tenrkait manajemen pengelolaan sediaan farmasi dalam
pelayanan kesehatan terutama dalam hal perencanaan dan pengadaan sediaan farmasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Apotek
1. Definisi apotek
B. PENGADAAN
Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai dilakukan
sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku yaitu Peraturan Menteri Kesehatan
RI nomor 73 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek meliputi
perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pemusnahan, pengendalian,
pencatatan dan pelaporan. Dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi, alat
kesehatan dan bahan medis habis pakai perlu diperhatikan pola penyakit, pola konsumsi,
budaya dan kemampuan masyarakat.
1. Perencanaan
Perencanaan perbekalan farmasi adalah salah satu fungsi yang menentukan
dalam proses pengadaan perbekalan farmasi. Tujuan perencanaan perbekalan
farmasi adalah untuk menetapkan jenis dan jumlah perbekalan farmasi sesuai
dengan pola penyakit dan kebutuhan pelayanan kesehatan. Tahapan perencanaan
kebutuhan perbekalan farmasi meliputi:
a) Pemilihan
Fungsi pemilihan adalah untuk menentukan apakah perbekalan farmasi benar-
benar diperlukan sesuai dengan jumlah pasien/kunjungan dan pola penyakit di
rumah sakit. Kriteria pemilihan kebutuhan obat yang baik yaitu meliputi:
Jenis obat yang dipilih seminimal mungkin dengan cara menghindari
kesamaan jenis.
Hindari penggunaan obat kombinasi, kecuali jika obat kombinasi
mempunyai efek yang lebih baik dibanding obat tunggal.
Apabila jenis obat banyak, maka kita memilih berdasarkan obat pilihan
(drug of choice) dari penyakit yang prevalensinya tinggi.
b) Perhitungan Kebutuhan
Menentukan kebutuhan perbekalan farmasi merupakan tantangan yang
berat yang harus dihadapi oleh tenaga farmasi yang bekerja di rumah sakit.
Masalah kekosongan atau kelebihan perbekalan farmasi dapat terjadi, apabila
informasi yang digunakan semata-mata hanya berdasarkan kebutuhan teoritis
saja. Metode perencanaan yang digunakan dapat berupa pola konsumsi,
epidemiologi atau kombinasi metode konsumsi dan epidemiologi yang
disesuaikan dengan anggaran yang ada. Sebagai acuan, perencanaan dapat
digunakan DOEN dan Formularium Nasional, gambaran corak resep yang
masuk, kebutuhan pelayanan setempat, penetapan prioritas dengan
mempertimbangkan anggaran yang tersedia, sisa stok, data pemakaian periode
yang lalu, kecepatan perputaran barang, dan rencana pengembangan (Menteri
Kesehatan RI, 2014). Dengan koordinasi dan proses perencanaan untuk
pengadaan perbekalan farmasi secara terpadu serta melalui tahapan seperti di
atas, maka diharapkan perbekalan farmasi yang direncanakan dapat tepat
jenis, tepat jumlah, tepat waktu, dan tersedia pada saat dibutuhkan. Adapun
pendekatan perencanaan kebutuhan dapat dilakukan melalui beberapa
metode:
Metode Konsumsi
Perhitungan kebutuhan dengan metode konsumsi didasarkan pada data
riel konsumsi perbekalan farmasi periode yang lalu, dengan berbagai
penyesuaian dan koreksi. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
rangka menghitung jumlah perbekalan farmasi yang dibutuhkan adalah:
1) Pengumpulan dan pengolahan data
2) Analisa data untuk informasi dan evaluasi
3) Perhitungan perkiraan kebutuhan perbekalan farmasi
4) Penyesuaian jumlah kebutuhan perbekalan farmasi dengan alokasi
dana.
Contoh perhitungan:
Total pengadaan Amoxycillin kaplet Januari Î Desember 2005
sebanyak 2.500.000 kaplet (ternyata habis dipakai selama 10 bulan,
jadi ada kekosongan 2 bulan) Sisa stok per 31 Desember 2005
sebanyak = 0 tablet
Pemakaian rata-rata per bulan 2.500.000 tab/10 = 250.000 kaplet
Kebutuhan Pemakaian 12 bulan = 250.000 x 12 = 3.000.000
kaplet
Stok pengaman (10-20%) = 20% x 3.000.000 kaplet = 600.000
kaplet
Lead time (waktu tunggu) 3 bulan = 3 x 250.000 = 750.000
kaplet
Kebutuhan amoxycillin kaplet tahun 2006 adalah b + c + d yaitu
(3.000.000 + 600.000 + 750.000) kaplet = 4.350.000 kaplet f.
Jadi pengadaan tahun 3006 adalah hasil perhitungan e sisa stok
yaitu (4.350.000) kaplet =4.350.000 kaplet atau sama dengan
4350 kaleng @1000 kaplet.
Metode Morbiditas/Epidemiologi
Dinamakan metode morbidotas karena dasar perhitungan adalah jumlah
kebutuhan perbekalan farmasi yang digunakan untuk beban kesakitan
(morbidity load) yang harus dilayani. Metode morbiditas adalah
perhitungan kebutuhan perbekalan farmasi berdasarkan pola penyakit,
perkiraan kenaikan kunjungan, dan waktu tunggu (lead time). Langkah-
langkah dalam metode ini adalah:
1) Menentukan jumlah pasien yang dilayani
2) Menentukan jumlah kunjungan kasus berdasarkan prevalensi
penyakit.
3) Menyediakan formularium/standar/pedoman perbekalan farmasi.
4) Menghitung perkiraan kebutuhan perbekalan farmasi.
5) Penyesuaian dengan aloksai dana yang tersedia.
Contoh perhitungan:
Menghitung masing-masing obat yang diperlukan perpenyakit:
Berdasarkan pedoman penyakit diare akut, maka sebagai contoh
perhitungan sbb:
Contoh untuk anak:
Satu siklus pengobatan diare diperlukan 15 bungkus oralit @200
ml. Jumlah kasus 18.000 kasus. Jumlah oralit yang diperlukan
adalah: =18.000 kasus x 15 bungkus = 270.000 bungkus @200 ml.
Contoh untuk dewasa:
Satu siklus pengobatan diare diperlukan 6 bungkus oralit @1 liter.
Jumlah kasus 10.800 kasus. Jumlah oralit yang diperlukan adalah:
=10.800 kasus x 6 bungkus = 64.800 bungkus @1000ml/1 liter
Metode Kombinasi
Penggunaan metode ini disesuaikan dengan anggaran yang tersedia.
Acuan yang digunakan pada metode ini yaitu DOENanggaran yang
tersedia; penetapan prioritas; pola penyakit; sisa persediaan; data
penggunaan periode yang lalu; dan rencana pengembangan. Dalam
metode ini biasanya digunakan dengan 2 sistem yaitu sistem ABC dan
VEN, yaitu :
- Sistem ABC
Prinsip sistem ini adalah sebanyak 20% item barang yang ada
mempengaruhi sebanyak 80% anggaran keseluruhan. Obat
dengan golongan A dalam analisis ABC menyumbang 75% -
80% dari total biaya yang dihabiskan, obat dengan golongan B
menyumbangkan 15%-20% dari total biaya, dan obat dengan
golongan C hanya menyumbangkan 5%-10% dari total biaya
(Satibi, 2014).
- Sistem VEN (Vital, Essensial, dan Non Essensial)
Metode VEN adalah metode yang dilakukan dengan membagi
obat menjadi dua atau tiga kategori, berdasarkan tingkat kritis
obat dalam mengobati suatu penyakit.
- Kelompok Vital adalah obat yang termasuk dalam life saving
drug, mempunyai withdrawal side effect yang signifikan,
atau krusial untuk menyediakan pelayanan kesehatan dasar.
- Kelompok Essensial adalah obat yang efektif mengurangi
penyakit namun tidak vital.
- Kelompok Non Essensial adalah kelompok obat yang
digunakan untuk penyakit minor atau penunjang kesehatan
misalnya vitamin dan suplemen. Sistem VEN ini dapat
membantu memperkecil penyimpangan proses pengadaan
dengan penetapan prioritas
(Satibi, 2014).
2. Pengadaan
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Standar Pelayanan Farmasi di Apotek, pengadaan untuk menjamin kualitas
pelayanan kefarmasian maka pengadaan sediaan farmasi harus melalui jalur resmi
sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan (Menteri Kesehatan RI, 2014).
Pengadaan obat yang efektif dan efisien diharapkan dapat menjamin :
Tersedianya rencana kebutuhan jenis dan jumlah obat yang sesuai dengan
kebutuhan, tersedianya anggaran pengadaan obat yang dibutuhkan sesuai dengan
waktunya, terlaksananya pengadaan obat yang efektif dan efisien, terjaminnya
penyimpanan obat dengan mutu yang baik, terjaminnya pendistribusian obat yang
efektif dengan waktu tunggi (lead time) yang pendek, terpenuhinya kebutuhan
obat yang mendukung pelayanan kesehatan sesuai dengan jenis, jumlah dan
waktu yang dibutuhkan, tersedianya sumber daya manusia dengan jumlah dan
kualifikasi yang tepat, digunakannya obat secara rasional sesuai dengan pedoman
yang disepakati, dan tersedianya informasi pengelolaan dan penggunaan obat
yang benar (Mangindara dan Nurhayani, 2011).
Proses pengadaan merupakan usaha dan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan
operasional yang telah di tetapkan dalam fungsi perencanaan, siklus pengadaan
meliputi pemilihan kebutuhan, penentuan jumlah obat, penyesuaian kebutuhan
dan dana, penetapan atau pemilihan pemasok, penerimaan dan pemeriksaan obat,
pembayaran, penyimpanan, pendistribusian dan pengumpulan informasi
penggunaan obat (Mangindara dan Nurhayani, 2011). Pengadaan dapat dilakukan
dengan beberapa cara yaitu pembelanjaan tahunan, pembelanjaan terencana atau
pembelanjaan harian. Prinsip pengadaan obat yang baik adalah pengadaan obat
generik, pembatasan daftar obat, pembelian dalam jumlah banyak, serta
pembatasan distributor dan monitoring, sehingga mendukung pengadaan yang
efektif (Quick., et al, 1997).
Pengadaan dapat dilakukan melalui pembelian, produksi atau pembuatan
sediaan farmasi dan sumbangan (drooping) atau hibah. Menurut Barraclough et
al. (2012) metode proses pembelian produk farmasetis terbagi menjadi beberapa
kategori yang meliputi:
a. Open tender berlaku untuk semua supplier yang terdaftar dan telah sesuai
dengan persyaratan dan kriteria yang ditentukan dan penentuan harga lebih
menguntungkan.
b. Restricted tender atau yang biasa disebut dengan lelang tertutup. Supplier
yang berminat harus disetujui terlebih dahulu melalui proses pre-kualifikasi
yang mempertimbangkan kepatuhan good manufacturing practices, past
supply performance dan kelayakan finansial serta harga masih bisa
dikendalikan.
c. Competitive negotiation atau pembelian dengan tawar-menawar, pembeli
dapat melakukan tawar menawar dengan supplier untuk mencapai
kesepakatan harga atau layanan tertentu. Metode ini dapat dilakukan jika
jenis barang tidak urgent.
d. Pengadaan langsung atau Just in Time adalah metode yang paling sederhana
tetapi paling mahal karena dilakukan pembelian langsung dari single
supplier.
Pengadaan barang dilakukan berdasarkan perencanaan yang telah dibuat dan
disesuaikan dengan anggaran dan keuangan yang ada. Pengadaan barang meliputi
proses pemesanan, pembelian, dan penerimaan barang. Ada tiga macam
pengadaan yang bisa dilakukan di apotek, yaitu pengadaan dalam jumlah terbatas,
pengadaan secara berencana, dan pengadaan spekulatif.
a. Pengadaan dalam jumlah terbatas. Pengadaan dalam jumlah terbatas
dimaksud yaitu pembelian dilakukan apabila persediaan barang dalam hal ini
adalah obat-obatan sudah menipis. Barang- barang yang sudah dibeli
hanyalah obat- obatan yang dibutuhkan saja, dalam waktu satu sampai dua
minggu. Hal tersebut dilakukan untuk mengurangi stok obat dalam jumlah
besar dan pertimbangan masalah biaya yang minimal. Namun perlu pula
adanya pertimbangan pengadaan obat dalam jumlah terbatas ini dilakukan
apabila PBF tersebut ada di dalam kota dan selalu siap mengirimkan obat
dalam waktu cepat.
b. Pengadaan secara berencana. Pengadaan secara berencana adalah
perencanaan pembelian obat berdaarkan penjualan perminggu atau perbulan.
Sistem ini dilakukan pendataan obat- obat mana yang laku banyak dan
tergantung pula pada kondisi cuaca. Hasil pendataan tersebut diharapkan
dapat memaksimalkan prioritas pengadaan obat. Cara ini biasa dilakukan
apabila supplier atau PBF berada diluar kota. Di dalam Permenkes RI Nomor
35 Tahun 2014, pemilihan Pedagang Besar Farmasi (PBF) yang selektif dan
berkualitas serta dapat dipercaya menjadi pertimbangkan yang penting untuk
dapat memperoleh perbekalan farmasi yang berkualitas dengan harga
terjangkau. Pemilihan tersebut berdasarkan atas fasilitas yang diberikan oleh
PBF yang bersangkutan, seperti pelayanan yang cepat (lead time yang
singkat), sistem pembayaran, ketepatan pengiriman barang, kemudahan
pengembalian barang (retur) barang yang menjelang kadaluwarsa, diskon
yang ditawarkan serta bonus.
c. Pengadaan secara spekulatif. Cara ini dilakukan apabila akan ada kenaikan
kebutuhan, namun resiko ini terkadang tidak sesuai dengan rencana, karena
obat dapat rusak apabila stok obat digudang melampaui kebutuhan. Di sisi
lain obat-obat yang mempunyai ED akan menyebabkan kerugian besar,
namun apabila spekulasi benar dapat mendatangkan keuntungan yang besar.
(Hartini, 2007).
Pengadaan sediaan farmasi seperti obat- obatan dan alat kesehatan perlu
melakukan pengumpulan data obat- obatan yang akan dipesan. Data obat- obatan
tersebut biasanya ditulis dalam buku defecta, yaitu jika barang habis atau
persediaan menipis berdasarkan jumlah barang yang tersedia pada bulan-bulan
sebelumnya (Hartini, 2007).
Pemesanan dilakukan dengan menggunakan Surat Pemesanan (SP) untuk
setiap supplier. Surat pemesanan ada empat macam yaitu surat pesanan narkotika,
surat pesanan prekursor, surat pesanan psikotropika dan surat pesanan untuk obat
selain narkotika, prekursor dan psikotropika. SP untuk obat selain narkotika,
prekursor dan psikotropika minimal dibuat 2 rangkap (untuk supplier dan arsip)
dan ditandatangani oleh APA dengan mencantumkan nama dan nomor SIPA serta
cap apotek atau rumah sakit yang melakukan pemesanan. Surat pesanan golongan
obat bebas, bebas terbatas dan keras dibuat dua rangkap satu untuk pemesan dan
satu untuk PBF. Dalam satu lembar SP dapat diisi dengan beberapa jenis (item)
obat. Pemesanan dapat dilakukan secara langsung melalui sales PBF ataupun
secara tidak langsung, misalnya melalui telepon. Pemesanan narkotika, prekursor
dan psikotropika hanya dapat dilakukan secara langsung ke sales PBF tidak dapat
melalui telepon.
Penerimaan adalah kegiatan untuk menerima perbekalan farmasi yang telah
diadakan sesuai dengan aturan kefarmasian, melalui pembelian langsung, tender,
konsinyasi atau sumbangan. Penerimaan perbekalan farmasi harus dilakukan oleh
petugas yang bertanggung jawab. Petugas yang dilibatkan dalam penerimaan
harus terlatih baik dalam tanggung jawab dan tugas mereka, serta harus mengerti
sifat penting dari perbekalan farmasi. Dalam tim penerimaan harus ada tenaga
farmasi. Tujuan penerimaan adalah untuk menjamin perbekalan farmasi yang
diterima sesuai kontrak baik spesifikasi mutu, jumlah, maupun waktu. Semua
perbekalan farmasi yang diterima harus diperiksa dan disesuaikan dengan
spesifikasinya pada order pembelian rumah sakit (Menteri Kesehatan RI, 2014).
BAB III
PEMBAHASAN
Pengadaan sediaan farmasi di Apotek menurut Peraturan Badan Pengawas Obat dan
Makanan tahun 2018, yaitu :
Pengadaan Obat dan Bahan Obat oleh Apotek hanya dapat bersumber dari Pedagang
Besar Farmasi
Pengadaan Obat dan Bahan Obat dari Industri Farmasi atau Pedagang Besar Farmasi
harus dilengkapi dengan Surat Pesanan
Surat Pesanan (SP) harus :
a) Asli dan dibuat sekurang-kurangnya rangkap 2 (dua) serta tidak dibenarkan
dalam bentuk faksimili dan fotokopi. Satu rangkap SP diserahkan kepada
pemasok dan 1 (satu) rangkap sebagai arsip;
b) Ditandatangani oleh Apoteker/ Tenaga Teknis Kefarmasian Penanggung
Jawab, dilengkapi dengan nama jelas, dan nomor Surat Izin Praktik
Apoteker (SIPA)/ Surat Izin Praktik Tenaga Teknis Kefarmasian (SIPTTK)
sesuai ketentuan perundang-undangan;
c) Dicantumkan nama sarana sesuai izin (disertai nomor izin) dan alamat
lengkap (termasuk nomor telepon/faksimili bila ada) dan stempel sarana;
d) Dicantumkan nama fasilitas pemasok beserta alamat lengkap;
e) Dicantumkan nama, bentuk dan kekuatan sediaan, jumlah (dalam bentuk
angka dan huruf) dan isi kemasan (kemasan penyaluran terkecil atau tidak
dalam bentuk eceran) dari Obat/Bahan Obat yang dipesan;
f) Diberikan nomor urut, nama kota dan tanggal dengan penulisan yang jelas;
g) Sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
Arsip Surat Pesanan harus disimpan sekurang-kurangnya selama 5 (lima) tahun
berdasarkan tanggal dan nomor urut Surat Pesanan.
Faktur pembelian dan/atau Surat Pengiriman Barang (SPB) harus disimpan bersatu
dengan Arsip Surat Pesanan
Adapun sistem pengadaan yang berlaku pada Apotek Kmia Farma 70 sudah sesuai dengan
ketentuan-ketentuan yang telah disebutkan diatas.
Perencanaan sediaan farmasi di Apotek Kimia Farma dilakukan oleh pihak Apotek
yang kemudian diserahkan kepada BM untuk dilakukan pengadaan, hal ini dikarenakan
pengadaan untuk seluruh Apotek Kimia Farma regional Yogyakarta dilakukuan terpusat oleh
BM Yogyakarta yang dikelola secara terkomputerisasi. Perencanaan pengadaan
dilakukan dengan metode konsumsi, epidemiologi dan metode pareto. Perencanaan
menggunakan metode konsumsi dilakukan dengan melihat data penjualan produk apa saja
yang sering terjual selama 3 bulan terakhir dan diambil rata-rata. Perencanaan
menggunakan metode epidemiologi dengan memperhatikan persebaran penyakit yang terjadi
pada masyarakat, misalnya dengan adanya perubahan musim maka terjadi perubahan pola
peresepan yang dilakukan oleh dokter akibat perubahan penyakit yang dialami
oleh masyarakat.
Pengadaan perbekalan farmasi di Apotek Kimia Farma dilakukan dengan sistem
grouping, artinya pembelian dilakukan secara terpusat oleh bagian pembelian di BM yang
kemudian disalurkan ke apotek-apotek pelayanan yang berada di bawah BM tersebut.
Pengadaan dilakukan berdasarkan data yang tercatat pada buku defekta yang berisi data
persediaan barang yang hampir habis atau sudah habis. Bagian pengadaan dan pembelian
melakukan pemeriksaan kembali kesesuaian antara data pada buku defekta dengan persediaan
barang yang ada untuk menetukan jumlah barang yang akan dipesan. Selain itu diperhatikan
juga tingkat keterjualan barang agar tidak terjadi kekosongan persediaan atau penumpukkan
barang di apotek. Kebutuhan barang yang telah mendapat persetujuan dari APA apotek ditulis
pada Bon Permintaan Barang Apotek (BPBA).
Pengadaan obat rutin di Apotek Kimia Farma dilakukan dengan membuat forecast
barang yang akan diadakan. Data forecast ini digunakan untuk mengisi Bon Permintaan
Barang Apotek (BPBA). Data BPBA dikirim ke bagian purchasing. Bagian purchasing akan
mengumpulkan pesanan-pesanan dari semua cabang Apotek Kimia Farma unit BM
Yogyakarta. Purchasing akan memesan barang ke PBF atas nama Kimia Farma namun, Surat
Pesanan (SP) tetap dibuat per cabang Apotek Kimia Farma. PBF akan mengirimkan barang-
barang yang dipesan langsung menuju masing-masing cabang apotek kimia farma.
Pengadaan obat golongan narkotika, psikotropika, dan prekursor dilakukan oleh masing-
masing cabang Apotek Kimia Farma dengan membuat SP untuk PBF yang menjadi
distributor obat golongan narkotika, psikotropika, atau prekursor sesuai dengan form
SP yang berlaku. SP narkotik terdiri atas 4 rangkap yang digunakan untuk memesan 1 jenis
obat dari golongan narkotika dengan 1 kekuatan. SP psikotropika terdiri atas 3 rangkap,
setiap SP dapat digunakan untuk memesan lebih dari 1 jenis psikotropika. SP Prekursor
digunakan untuk melakukan pemesanan obat bebas atau obat keras yang mengandung zat-zat
yang tergolong ke dalam prekursor. SP prekursor terdiri dari dua rangkap, rangkap pertama
berwarna putih untuk PBF dan rangkap kedua berwarna merah muda untuk arsip apotek. Zat-
zat yang tergolong ke dalam precursor yaitu, Ephedrine, Ergotamine, Pseudoephedrine,
Potassium Permanganat,dan lain-lain. Pengadaan obat reguler dilakukan dengan
menggunakan SP reguler (biasa) yang digunakan untuk memesan obat dengan golongan obat
keras dan obat bebas (tanpa mengandung prekursor). SP reguler (biasa) terdiri dari dua
rangkap, rangkap pertama berwarna putih untuk PBF dan rangkap kedua berwarna merah
muda untuk arsip apotek.
Perencanaan didasarkan pada pola konsumsi dan analisis pareto. Semua produk, kecuali
OTC, alat kesehatan, narkotika dan psikotropika serta produk kerja sama (konsiniyasi)
menggunakan sistem. Data perencanaan berdasarkan sistem Min-Max atau belanja besar
untuk kebutuhan satu bulan. Masing-masing Apotek diperkenankan untuk meng-edit jumlah
permintaan obat sesuai kebutuhan. Apabila stok obat telah habis sebelum perencanaan Min-
Max bulan berikutnya maka permintaan obat dapat dicatatkan kedalam buku defecta, dan
akan segera dipesankan apabila terdapat permintaan Cito. Barang-barang OTC diadakan
sesuai dengan kontrak yang dilakukan antara distributor dengan PT. Kimia Farma.
Perencanaan untuk OTC yang terdaftar sebagai barang yang dijual akan diadakan sesuai
kebutuhan apotek dan ditentukan oleh APA atau APING. Level stok OTC pada rak dijaga
agar tidak terlalu sedikit, sehingga produk tetap terlihat oleh pembeli. Pengadaan Narkotik,
Psikotropika, dan Prekursor juga didasarkan oleh kebutuhan apotek dan ditentukan oleh APA
atau APING. Pengadaan alat kesehatan direncanakan berdasarkan kebutuhan apotek dan
ditentukan oleh APA atau APING.
Pengadaan dengan sistem satu pintu yang dilakukan secara terpusat oleh Business
Manager(BM) ini memberikan beberapa keuntungan, yaitu apotek tidak perlu membeli
barang dalam kemasan utuh (box); efisiensi tempat karena apotek pelayanan tidak
memerlukan gudang; efisiensi SDM karena apotek pelayanan dapat meminimalkan tenaga
kerja yang diperlukan untuk mengatur kegiatan pembelian, penyimpanan, keuangan dan
administrasi; penyediaan barang lebih terkoordinir baik jumlah maupun sistem
pembayarannya; memungkinkan untuk mendapat diskon besar karena pembelian dalam
jumlah banyak; jika terdapat kelebihan barang tertentu dapat dialihkan ke Apotek Kimia
Farma lainnya sehingga dapat dimanfaatkan oleh apotek yang bersangkutan serta mengurangi
kerugian dan mencegah terjadinya barang sisa akibat salah peramalan dan kadaluarsa. Selain
itu dengan sistem terpusat ini Apotek Kimia Farma dapat focus menjalankan perannya
sebagai sarana pelayanan kesehatan dan dapat mengoptimalkan pelayanannya untuk
masyarakat.
Dropping merupakan istilah yang digunakan untuk pengadaan perbekalan farmasi antar
KFA, dropping dilakukan dengan melihat dari sistem, cabang apotek kimia farma mana yang
memiliki stok obat yang diperlukan yang cukup. Apotek Kimia Farma akan menelepon
cabang apotek lain yang memiliki persediaan tersebut. Dropping dilakukan dengan cara kitir,
yaitu permintaan barang intern dengan melampirkan BPBA antar apotek Kimia Farma yang
telah ditanda tangani oleh apoteker. Dilakukannya kitir berdasarkan permintaan pasien yang
tidak dapat dipenuhi oleh apotek Kimia Farma karena ketersediaan obat pada saat itu tidak
mencukupi permintaan pasien, hal ini dilakukan untuk menghindari penolakan resep atau
pembelian obat lainnya serta untuk meningkatkan pelayanan bagi pasien.
Pengadaan barang-barang konsinyasi adalah suatu bentuk kerja sama dengan perusahaan
atau distributor yang menitipkan produknya untuk dijual di apotek. Pada setiap brand product
terdapat SPG yang akan mengecek setiap bulannya untuk mengetahui jumlah produk yang
terjual, misalnya produk nutrimax, wellness dan radiant dan akan di laporkan kepada pihak
perusahaan atau distributor, sehingga pihak apotek tidak terlibat dalam persediaan barang.
Apotek Kimia Farma juga mengadakan pengadaan obat CITO dan pembelian obat yang
mendesak. Pengadaan obat cito merupakan pengadaan barang atau obat dalam jumlah kecil
yang dapat dilakukan setiap hari berdasarkan kebutuhan apotek. Pengadaan cito dilakukan
dengan menyusun kebutuhan dalam BPBA, kemudian dikirim ke bagian pengadaan untuk
selanjutnya dilakukan pembelian kepada PBF dan oleh PBF dilakukan pengiriman barang
kepada Apotek Kimia Farma sesuai SP. Sedangkan Pembelian mendesak adalah pembelian
yang dilakukan kepada apotek lain selain Apotek Kimia Farma, dilakukan dengan
menggunakan surat pesanan dan dibayarkan secara tunai sesuai harga barang dari pihak
ketiga yang dituju. Hal ini dilakukan apabila ketersediaan barang atau obat di apotek kosong
atau pesanan pasien guna menghindari penolakan resep.
Pemesanan barang hanya dilakukan kepada pemasok yang telah mempunyai ikatan
kerjasama dengan Kimia Farma sehingga masuknya obat palsu dapat dicegah. Pemilihan
pemasok dilakukan oleh Bussines Manager dengan mempertimbangkan mutu barang yang
ditawarkan, ketepatan waktu pengiriman, masa kredit yang panjang, harga yang bersaing
serta potongan harga yang diberikan, serta pemasok tersebut merupakan agen resmi yang
ditunjuk oleh industri farmasi.
BAB IV
KESIMPULAN
Pengadaan sediaan farmasi perlu memperhatikan pola penyakit, pola konsumsi, budaya
dan kemampuan masyarakat. Pengadaan tidak dapat dipisahkan dari proses perencanaan yang
kebutuhan dan tahap penyesuaian rencana pengadaan yang dapat dilakukan dengan analisis
Pengadaan dilakukan melalui lima tahap yaitu persiapan, pemesanan yang menurut
peraturan Menteri Kesehatan harus dilakukan di Pedagang Besar Farmasi (PBF) dengan jalur
Pengadaan yang efektif, efisien dan sesuai peraturan yang berlaku ditujukan untuk menjamin
Barraclough, A., Clark M., Lee, D., and Quick, J.D., 2012. MDS-3: Managing Access to
Medicines and Health Technologies 3rd Edition. Managing Procurement. USA,
Management Sciences for Health, Inc., 321-218.
BPOM, 2018, Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 4 Tahin 2018 tentang
Pengawasan Pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor
Farmasi di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian. BPOM, Jakarta.
Depkes RI, 2009, Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian,
Departemen Kesehatan RI: Jakarta.
DepKes RI. 2009, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan. Jakarta.
Hartini., 2007, Apotek : Ulasan Beserta Naskah Peraturan Perundang-Undangan
Terkait Apotek Termasuk Naskah dan Ulasan Permenkes tentang Apotek
Rakyat,Cetakan Kedua, Yogyakarta, pp. 61-62,68
Mangindara., D., Nurhayani., B., 2011, Analisis Pengelolaan Obat di Puskesmas
Kampala Kecamatan Sinjai Timur Kabupaten Sinjai Tahun 2011, Jurnal
AKK, Vol 1 No 1, 1-55.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia 2014, Peraturan Menteri Kesehatan Indonesia Nomor
35 tahun 2014 : Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Menteri Kesehatan RI,
Jakarta.
PermenKes, 2017, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2017
tentang Apotek, Jakarta.
Quick, J.D., 1997, Managing Drug Supply, 2nd edition, Kumarin Press, Connecticut,
pp. 163- 184
Satibi, 2014, Manajemen Obat di Rumah Sakit, UGM Press, Yogyakarta.