Anda di halaman 1dari 34

TINJAUAN PUSTAKA

A. Bronkopneumonia
1. Definisi Bronkopneumonia
Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis adalah peradangan pada
parenkim paru yang melibatkan bronkus/bronkiolus yang berupa distribusi
berbentuk bercak-bercak (patchy distribution). Konsolidasi bercak berpusat
disekitar bronkus yang mengalami peradangan multifokal dan biasanya
bilateral. Konsolidasi pneumonia yang tersebar (patchy) ini biasanya
mengikuti suatu bronkitis atau bronkiolitis. Bronkopneumina adalah
frekwensi komplikasi pulmonary, batuk produktif yang lama, tanda dan
gejalanya biasanya suhu meningkat, nadi meningkat, pernapasan meningkat.
Bronchopneumonia disebut juga pneumoni lobularis, yaitu radang paru-paru
yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan benda-benda asing.1

Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa


Bronkopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau beberapa
lobus paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrat yang
disebabkan oleh bakteri,virus, jamur dan benda asing.2

2. Epidemiologi Bronkopneumonia
 Distribusi Bronkopneumonia
o Distribusi Bronkopneumonia Berdasarkan Orang
Berdasarkan hasil SKRT 2001, angka prevalensi ISPA 2% dari lima
penyakit yang disurvei (ISPA, infeksi saluran nafas kronik, hipertensi,
kulit, dan sendi), dengan prevalensi tinggi pada golongan bayi (39%)

13
dan balita (42%). ISPA merupakan penyebab utama kematian pada
bayi dan balita dengan CFR masing-masing (27,6%), dan (22,8%).
Angka kematian bayi dan balita menjadi indikator derajat kesehatan
masyarakat.2,3

Prevalensi ISPA di Indonesia berdasarkan Surkesnas (Survei


Kesehatan Nasional) 2001 masih sangat tinggi yaitu 38,7% pada umur
dibawah 1 tahun dan 42,2% umur 1-4 tahun. Cause Specific Death
Rate (CSDR) pneumonia pada anak umur <1 tahun laki-laki 940 per
100.000 penduduk dan perempuan 652 per 100.000 penduduk, pada
anak umur 1-4 tahun laki-laki 44 per 100.000 penduduk dan
perempuan 40 per 100.000 penduduk. Proporsi kematian balita akibat
ISPA 28% artinya dari 100 balita yang meninggal 28 disebabkan oleh
penyakit ISPA.3

Profil Kesehatan Indonesia tahun 2005, prevalensi ISPA tinggi pada


perempuan (24%) daripada laki-laki (23%). Menurut hasil penelitian
Taisir (2005) di Kelurahan Lhok Bengkuang Kecamatan Tapak Tuan
Aceh Selatan dengan menggunakan desain Cross Sectional,
berdasarkan jenis kelamin IR ISPA balita pada laki-laki (43,3%) lebih
tinggi daripada perempuan (33,7%). 4

o Distribusi Bronkopneumonia Berdasarkan Tempat dan Waktu


Berdasarkan hasil Surkesnas 2001 proporsi kematian karena penyakit
sistem pernapasan pada bayi sebesar 23,9% di Jawa Bali, 15,8% di
Sumatera, dan 42,6% di Kawasan Timur Indonesia. Pada balita
sebesar 16,7% di Jawa Bali, 29,4% di sumatera, dan 30,3% di
Kawasan Timur Indonesia.4

14
Profil Kesehatan Indonesia tahun 2005, prevalensi ISPA di pedesaan
(25%) lebih tinggi dibandingkan dengan perkotaan (22%). Prevalensi
ISPA untuk kawasan Sumatera 20%, sementara untuk kawasan Jawa-
Bali adalah 23% dan kawasan KTI (Kalimantan, Sulawesi, dan
NTB/NTT/Papua) 29%.1,5

Profil Kesehatan Indonesia tahun 2008, pneumonia yang terjadi pada


balita berdasarkan laporan 26 provinsi, tiga provinsi dengan cakupan
tertinggi berturut-turut adalah provinsi Nusa Tenggara Barat 56,50%,
Jawa Barat 42,50% dan Kepulauan Bangka Belitung 21,71%.
Sedangkan cakupan terendah adalah provinsi DI Yogyakarta 1,81%,
Kepulauan Riau 2,08%, dan NAD 4,56%.2,3

 Determinan Bronkopneumonia
a. Faktor Host
o Umur
ISPA merupakan salah satu penyebab kematian tersering pada anak
di negara sedang berkembang. ISPA ini menyebabkan empat dari
15 juta perkiraan kematian pada anak berusia di bawah 5 tahun
setiap tahunnya, sebanyak dua pertiga kematian tersebut adalah bayi
(khususnya bayi muda). Hampir seluruh kematian karena ISPA
pada bayi dan balita disebabkan oleh Infeksi Saluran Pernafasan
bawah Akut (ISPbA), paling sering adalah pneumonia.4

Tingginya kejadian pneumonia terutama menyerang kelompok usia


bayi dan balita. Faktor usia merupakan salah satu faktor risiko
kematian pada bayi dan balita yang sedang menderita pneumonia.6

15
o Jenis kelamin
Berdasarkan konsep epidemiologi, secara umum setiap penyakit
dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan. Selain umur, jenis
kelamin merupakan determinan perbedaan kedua yang paling
signifikan di dalam peristiwa kesehatan atau dalam faktor risiko
suatu penyakit.3

o Status gizi
Kelompok umur yang rentan terhadap penyakit-penyakit
kekurangan gizi adalah kelompok bayi dan balita. Masukan zat-zat
gizi yang diperoleh pada tahap pertumbuhan dan perkembangan
dipengaruhi oleh: umur, keadaan fisik, kondisi kesehatannya,
kesehatan fisiologis pencernaannya, tersedianya makanan dan
aktivitasnya.1

Status gizi pada balita berdasarkan hasil pengukuran antropometri


dengan melihat kriteria yaitu: Berat Badan per Umur (BB/U),
Tinggi Badan per Umur (TB/U), Berat Badan per Tinggi Badan
(BB/TB). Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor risiko
yang penting untuk terjadinya ISPA. Beberapa penelitian telah
membukt ikan adanya hubungan antara gizi buruk dan infeksi paru,
sehingga anak-anak yang bergizi buruk sering mendapat
pneumonia. Disamping itu adanya hubungan antara gizi buruk dan
terjadinya campak dan infeksi virus berat lainnya serta menurunnya
daya tahan tubuh balita terhadap infeksi.2,4,5,6

Status gizi berhubungan dengan daya tahan tubuh, makin baik


status gizi makin baik daya tahan tubuh, sehingga memperkecil
risiko pneumonia. Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah
terserang ISPA dibandingkan balita dengan gizi normal karena

16
faktor daya tahan tubuh yang kurang. Penyakit infeksi akan
menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan dan
mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang, balita
lebih mudah terserang “ISPA berat” bahkan serangannya lebih
lama.1,2,6

o Status imunisasi
Imunisasi merupakan salah satu cara menurunkan angka kesakitan
dan angka kematian pada bayi dan balita. Dari seluruh kematian
balita, sekitar 38% dapat dicegah dengan pemberian imunisasi
secara efektif. Imunisasi yang tidak lengkap merupakan faktor
risiko yang dapat meningkatakan insidens ISPA terutama
pneumonia.3,4

Bayi dan balita yang pernah terserang campak dan sembuh akan
mendapat kekebalan alami terhadap pneumonia sebagai komplikasi
campak. Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA
yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi seperti difteri, pertusis, campak. Peningkatan cakupan
imunisasi akan berperan besar dalam upaya pemberantasan ISPA.
Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA,
diupayakan imunisasi lengkap. Bayi dan balita yang mempunyai
status imunisasi lengkap bila menderita ISPA diharapkan
perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat.1,4

b. Faktor Agent
Bronkopneumonia umumnya disebabkan oleh bakteri seperti
Diplococus pneumonia, Pneumococcus sp, Streptococcus sp,
Hemoliticus aureus, Haemophilus influenza, Basilus friendlander
(Klebsial pneumonia), Mycobacterium tuberculosis. Virus seperti

17
Respiratory syntical virus, Virus influenza, Virus sitomegalik. Jamur
seperti Citoplasma capsulatum, Criptococcus nepromas, Blastomices
dermatides, Cocedirides immitis, Aspergillus sp, Candinda albicans,
Mycoplasma pneumonia.5

Pada zaman sebelum ditemukan antibiotik, pneumokokus merupakan


penyebab pneumonia paling sering (95-98%) dari semua pneumonia
yang dirawat di rumah sakit, dan menyebabkan kematian pada 60%
penderita pneumonia dengan bakteriemia dan pada 20% penderita
pneumonia non bakteriemia. Kini, hanya 62% pneumonia disebabkan
oleh kuman pneumokokus dan menyebabkan kematian hanya pada
32% penderita pneumonia dengan bakteriemia dan 6% menderita
pneumonia non bakteriemia.4,5

Dahulu kuman gram negatif jarang menyebabkan pneumonia dan


menyebabkan angka kematian 97%, tapi sekarang gram negatif
menyebabkan pneumonia 20% dari seluruh penderita pneumonia,
menggantikan stafilokokus sebagai penyebab kedua yang paling
sering. Pneumonia sebab gram negatif tetap mempunyai angka
kematian yang tinggi 79%.5

c. Faktor Lingkungan Sosial


o Pekerjaan Orang Tua
Penghasilan keluarga adalah pendapatan keluarga dari hasil
pekerjaan utama maupun tambahan. Tingkat penghasilan yang
rendah menyebabkan orang tua sulit menyediakan fasilitas
perumahan yang baik, perawatan kesehatan, dan gizi balita yang
memadai. Rendahnya kualitas gizi anak menyebabkan daya tahan
tubuh berkurang dan mudah terkena penyakit infeksi termasuk
penyakit pneumonia.3

18
o Pendidikan Orang Tua
Tingkat pendidikan orang tua yang rendah juga merupakan faktor
risiko yang dapat meningkatkan angka kematian ISPA terutama
pneumonia. Tingkat pendidikan ibu akan berpengaruh terhadap
tindakan perawatan oleh ibu kepada anak yang menderita ISPA.2,3

o Pola Asuhan Anak Dalam Keluarga Berdasarkan Jumlah Anak


Orang tua yang menerapkan pola asuh secara tepat artinya pola
asuh yang diterapkan orang tua bersifat dinamis, sesuai, konsisten,
penerapan pola asuh yang kompak antara kedua orang tua, serta
adanya contoh perilaku yang positif dari kedua orang tua. Pola asuh
yang dinamis artinya pola asuh yang diterapkan sejalan dengan usia
balita misalkan pemberian jenis makanan pada anak yang berumur
1 tahun tentu berbeda dengan jenis makanan anak yang berumur 5
tahun, pola asuh bersifat sesuai artinya orang tua menerapkan pola
asuh sesuai dengan kondisi balita itu sendiri karena pola asuh pada
balita yang memiliki ganaguan kesehatan tentu berbeda dengan pola
asuh pada balita normal. Pola asuh yang baik yaitu pola asuh yang
bersifat konsisten dalam penerapan pola asuh cenderung bersifat
tetap sebagai contoh balita boleh bermain asal ditempat yang bersih
dan saat tiba waktu makan balita harus berhenti bermain dulu unuk
makan, berbagi dan berkasih sayang dengan saudara dan anggota
keluarga yang lain, lama kelamaan balita akan terbiasa dengan hal
tersebut dan pada akhirnya balita akan mengerti hal mana yang
boleh atau baik dan hal mana yang tidak boleh atau tidak baik.1,5,6

Pada orang tua yang melakukan pola asuh tidak tepat, artinya pola
asuh yang diterapkan orang tua bersifat terlalu over protektif
dimana balita tidak diberi kepercayaan sama sekali seperti tidak

19
memperbolehkan bermain diluar rumah dan harus didalam rumah
terus membuat anak stres sehingga dapat membuatnya sakit, dan
pola asuh yang diterapkan terlalu bebas artinya disini orang tua
memperbolehkan segala sesuatu tanpa menuntut seperti saat si
balita tidak mau makan dibiarkan saja padahal balita tersebut perlu
nutrisi yang kuat untuk meningkatkan kualitas gizinya sehingga
pada akhirnya status gizi si balita semakin buruk dan orang tua
tidak memperdulikan lingkungan sekitar yang mungkin kurang
baik bagi kesehatan sehingga membuatnya mudah terserang
penyakit.4

Adapun faktor lain adalah ekonomi keluarga yang tidak yang


terlihat pada pendapatan keluarga yang kurang dan ditambah lagi
faktor jumlah anak.Bagi orang tua yang memiliki anak tunggal,
secara ekonomis menguntungkan. Orang tua tidak perlu bersusah
payah mencari penghasilan yang besar karena tanggung jawab
untuk memberi atau memenuhi kebutuhan fisik anaknya relatif
tidak besar. Berlainan bila mempunyai banyak anak, di mana tiap
anak memunyai kebutuhan-kebutuhan sendiri yang harus dipenuhi
oleh kedua orang tuanya seperti kebutuhan akan kesehatan,
kebutuhan perumahan atau tempat tinggal yang lebih luas, dan
kebutuhan lainnya.2,3,6

Pada masyarakat petani, di mana tanah-tanah masih banyak yang


harus digarap, memang benar bahwa banyaknya anak akan berarti
banyaknya tanah yang dapat digarap dan berarti pula penghasilan
akan bertambah. Berlainan dengan masyarakat kota yang
mengandalkan penghasilan sebagai pegawai. Bila lowongan
pekerjaan cukup besar, hal ini tidak menjadi persoalan. Tetapi
realitas ternyata berpendapat lain.1,5

20
Dari uraian di atas, terlihat bahwa dengan memiliki anak banyak,
maka persoalan yang harus diatasi menjadi banyak pula. Apakah
hal ini berarti juga sebaliknya, artinya dengan memiliki sedikit
anak, berarti sedikit pula persoalan yang harus dihadapi oleh
keluarga atau orang tua tersebut. Secara ekonomis mungkin benar,
tetapi secara psikologis belum tentu.2

Dengan hanya memiliki seorang anak atau anak tunggal, maka


perhatian orang tua memang akan terfokus kepada anak tersebut
seperti dalam hal kasih sayang, perhatian, kebutuhan kesehatan, dan
kebutuhan lain. Anak tidak akan merasa kekurangan kebutuhan
yang diinginkan daripada orang tua yang memiliki banyak anak,
maka orang tua harus membagi kasih sayang, perhatian, dan
memenuhi kebutuhan yang lebih banyak karena setiap anak berbeda
kebutuhan termasuk kesehatan anak. Anak yang memiliki banyak
saudara harus bisa saling berbagi dengan saudara yang lainnya
berbeda dengan anak tunggal sehingga anak tungga sering tidak
bisa berbagi, egois dan ini merupaka permasalahan yang harus
dihadapi oleh orang tua yang memiliki anak tunggal. Pembentukan
kepribadian dan kesehatan anak sangat bergantung kepada pola
asuh orang tua yang baik, dinamis,konsisten, dan sesuai.1,6

d. Faktor Lingkungan Fisik


o Polusi Udara dalam Ruangan/Rumah
Rumah atau tempat tinggal yang buruk (kurang baik) dapat
mendukung terjadinya penularan penyakit dan gangguan kesehatan,
diantaranya adalah infeksi saluran nafas.Hal ini dapat terjadi pada
rumah yang ventilasinya kurang dan dapur terletak di dalam rumah
bersatu dengan kamar tidur dan ruang tempat bayi dan balita

21
bermain. Hal ini lebih dimungkinkan karena bayi dan balita lebih
lama berada di rumah bersama-sama ibunya sehingga lebih sering
terhirup udara yang pencemaran tentunya akan lebih tinggi.2,5

Rumah kecil yang tidak memiliki sirkulasi udara memadai yang


penuh asap yang berasal dari asap anti nyamuk bakar, asap rokok,
dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak akan
mendukung penyebaran virus atau bakteri, dengan konsentrasi
tinggi dapat merusak mekanisme pertahanan paru sehingga akan
memudahkan timbulnya ISPA.5,6

o Kepadatan Hunian
Kepadatan hunian dalam rumah menurut keputusan menteri
kesehatan nomor 829/MENKES/SK/VII/1999 tentang persyaratan
kesehatan rumah, dua orang minimal menempati luas kamar tidur
8m². Dengan kriteria tersebut diharapkan dapat mencegah penularan
penyakit dan melancarkan aktivitas.6

Di daerah perkotaan, kepadatan merupakan salah satu masalah yang


dialami penduduk kota. Hal ini disebabkan oleh pesatnya
pertumbuhan penduduk kota dan mahalnya harga tanah di
perkotaan. Salah satu kaitan kepadatan hunian dan kesehatan adalah
karena rumah yang sempit dan banyak penghuninya, maka
penghuni mudah terserang penyakit dan orang yang sakit dapat
menularkan penyakit pada anggota keluarga lainnya.4,6

3. Morfologi Bronkopneumonia
Bronkopneumonia ditandai dengan lokus konsolidasi radang yang menyebar
menyeluruh pada satu atau beberapa lobus. Seringkali bilateral di basal sebab
ada kecenderungan sekret untuk turun karena gravitasi ke lobus bawah. lesi

22
yang telah berkembang penuh agak meninggi, kering granuler, abu-abu
merah, sampai kuning, dan memiliki batas yang tidak jelas. Ukuran diameter
bervariasi antara 3 sampai 4 cm. pengelompokan fokus ini terjadi pada
keadaan yang lebih lanjut (florid) yang terlihat sebagai konsolidasi lobular
total. Daerah fokus nekrosis (abses) dapat terlihat di antara daerah yang
terkena.7

Substansi paru di sekelilingi daerah konsolidasi biasanya agak hipermi dan


edematosa, tetapi daerah yang luas diantaranya pada umumnya normal.
Pleuritis fibrinosa atau supuratif terjadi bila fokus peradangan berhubungan
dengan pleura, tetapi ini tidak biasa. Dengan meredanya penyakit, konsolidasi
dapat larut bila tidak ada pembentukan abses, atau dapat menjadi terorganisasi
meninggalkan sisa fokus fibrosis. Secara histologis, reaksi itu terdiri dari
eksudat supuratif yang memenuhi bronki, bronkioli dan rongga alveolar yang
berdekatan. Netrofil dominan dalam eksudasi ini dan biasanya hanya
didapatkan sejumlah kecil fibrin. Seperti yang diharapkan, abses ditandai oleh
nekrosis dari arsitektur dasar.2,7

4. Etiologi Bronkopneumonia
Bronkopneumonia dapat juga dikatakan suatu peradangan pada parenkim paru
yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur. Bakteri seperti Diplococus
pneumonia, Pneumococcus sp, Streptococcus sp, Hemoliticus aureus,
Haemophilus influenza, Basilus friendlander (Klebsial pneumonia), dan
Mycobacterium tuberculosis. Virus seperti Respiratory syntical virus, Virus
influenza, dan Virus sitomegalik. Jamur seperti Citoplasma capsulatum,
Criptococcus nepromas, Blastomices dermatides, Cocedirides immitis,
Aspergillus sp, Candinda albicans, dan Mycoplasma pneumonia.5

23
Meskipun hampir semua organisme dapat menyebabkan bronkopneumonia,
penyebab yang sering adalah stafilokokus, streptokokus, H. influenza, Proteus
sp dan Pseudomonas aeruginosa. Keadaan ini dapat disebabkan oleh
sejumlah besar organisme yang berbeda dengan patogenitas yang bervariasi.
Virus, tuberkolosis dan organisme dengan patogenisitas yang rendah dapat
juga menyebabkan bronkopneumonia, namun gambarannya bervariasi sesuai
agen etiologinya.1,4

Faktor non infeksi, terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus
meliputi:
- Bronkopneumonia hidrokarbon:
Terjadi oleh karena aspirasi selama penelanan muntah atau sonde lambung
( zat hidrokarbon seperti pelitur, minyak tanah dan bensin).
- Bronkopneumonia lipoid:
Terjadi akibat pemasukan obat yang mengandung minyak secara intranasal,
termasuk jeli petroleum. Setiap keadaan yang mengganggu mekanisme
menelan seperti latoskizis,pemberian makanan dengan posisi horizontal,
atau pemaksaan pemberian makanan seperti minyak ikan pada anak yang
sedang menangis. Keparahan penyakit tergantung pada jenis minyak yang
terinhalasi. Jenis minyak binatang yang mengandung asam lemak tinggi
bersifat paling merusak contohnya seperti susu dan minyak ikan.1,5,7

Selain faktor di atas, daya tahan tubuh sangat berpengaruh untuk terjadinya
Bronkopneumonia. Menurut sistem imun pada penderita-penderita penyakit
yang berat seperti AIDS dan respon imunitas yang belum berkembang pada
bayi dan anak, malnutrisi energy protein (MEP), penyakit menahun,
pengobatan antibiotik yang tidak sempurna merupakan faktor predisposisi
terjadinya penyakit ini.5

24
Tabel 1. Etiologi Pneumonia Pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia di
negara maju
Usia Etiologi yang Sering Etiologi yang Jarang
Lahir -20hari Bakteri: Bakteri:
E.colli Bakteri anaerob
Streptococcus group B Streptococcus group D
Liseria monocytogenes Haemophillus influenzae
Streptococcus pneumoniae
Ureapllasma urealyticum
Virus:
Virus sitomegalo
Virus herpes simpleks
3 minggu - 3bulan Bakteri: Bakteri:
Chlamydia trachomatis Bordetella pertusis
Streptococcus pneumoniae Haemophillus influenzae
Virus: tipe B
Virus adeno Moraxella cathardis
Virus influenza Staphylococcus aureus
Virus parainfluenza 1,2,3 Ureaplasma urealyticum
Respiratory Synctial Virus Virus:
Virus sitomegalo
4 bulan - 5 tahun Bakteri: Bakteri:
Chlamydia pneumoniae Haemophillus influenzae
Mycoplasma pneumoniae tipe B
Streptococcus pneumoniae Moraxella catharalis
Virus: Neisseria meningitidis
Virus adeno Staphylococcus aureus
Virus influenzae Virus:
Virus Parainfluenza Virus varisela zooster
Virus Rino
Respiratory Synctial Virus
5 tahun - remaja Bakteri: Bakteri:
Chlamydia pneumoniae Haemophillus influenzae
Mycoplasma pneumoniae Legionella sp
Streptococcus pneumoniae Staphylococcus aureus
Virus:
Virus adeno
Virus Eipstein Barr
Virus influenza
Virus parainfluenza
Virus rino
Respiratory Synctial Virus
Virus varicella zooster

25
5. Klasifikasi
Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang memuaskan, dan
pada umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan etiologi. Beberapa ahli
telah membuktikan bahwa pembagian pneumonia berdasarkan etiologi
terbukti secara klinis dan memberikan terapi yang lebih relevan.7 Pembagian
secara anatomis:
 Pneumonia lobaris
 Pneumonia lobularis (bronkopneumonia)
 Pneumonia interstisialis (bronkiolitis)

Pembagian secara etiologi:


 Bakteri: Pneumococcus pneumonia, Streptococcus pneumonia,
Staphylococcus pneumonia, Haemofilus influenzae.
 Virus: Respiratory Synctitial virus, Parainfluenzae virus, Adenovirus
 Jamur: Candida, Aspergillus, Mucor, Histoplasmosis, Coccidiomycosis,
Blastomycosis, Cryptoccosis.
 Corpus alienum
 Aspirasi
 Pneumonia hipostatik

6. Patogenesis Bronkopneumonia
Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan
mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan
paru. Terdapatnya bakteri di dalam paru merupakan ketidakseimbangan antara
daya tahan tubuh sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan
berakibat timbulnya infeksi penyakit.4

26
Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan
nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan
jaringan sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk
suatu proses peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu:8
 Stadium I/Hiperemia (4 – 12 jam pertama/kongesti)
Pada stadium I, disebut hyperemia karena mengacu pada respon
peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi.
Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler
di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator
peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera
jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan
prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen.
Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk
melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas
kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam
ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler
dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus
meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida
maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering
mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.5,8
 Stadium II/Hepatisasi Merah (48 jam berikutnya)
Pada stadium II, disebut hepatisasi merah karena terjadi sewaktu alveolus
terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh
penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena
menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan
cairan sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti
hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal
sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat
singkat, yaitu selama 48 jam.1,5,8

27
 Stadium III/Hepatisasi Kelabu (3 – 8 hari)
Pada stadium III/hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa
sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai di reabsorbsi, lobus masih
tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat
kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.5,8
 Stadium IV/Resolusi (7 – 11 hari)
Pada stadium IV/resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorpsi
oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.8

7. Gambaran Klinis Bronkopneumonia


Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas
selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39-400C dan
mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah,
dispnue, pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan
sianosis di sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal
penyakit, anak akan mendapat batuk setelah beberapa hari, pada awalnya
berupa batuk kering kemudian menjadi produktif.5

Pada pemeriksaan fisik didapatkan, inspeksi: perlu diperhatikan adanya


tahipnue, dispnue, sianosis sekitar hidung dan mulut, pernapasan cuping
hidung, distensi abdomen, retraksi sela iga, batuk semula nonproduktif
menjadi produktif, serta nyeri dada pada waktu menarik napas. Palpasi: suara
redup pada sisi yang sakit, hati mungkin membesar, fremitus raba mungkin
meningkat pada sisi yang sakit, dan nadi mungkin mengalami peningkatan
(tachicardia). Perkusi: suara redup pada sisi yang sakit. Auskultasi, auskultasi
sederhana dapat dilakukan dengan cara mendekatkan telinga ke hidung/mulut
bayi. Pada anak yang bronkopneumonia akan terdengar stridor.5,6

28
Pada bronkopneumonia, hasil pemeriksaan fisik tergantung pada luasnya
daerah yang terkena. Pada perkusi toraks sering tidak dijumpai adanya
kelainan. Pada auskultasi mungkin hanya terdengar ronki basah gelembung
halus sampai sedang. Bila sarang bronkopneumonia menjadi satu (konfluens)
mungkin pada perkusi terdengar suara yang meredup dan suara pernafasan
pada auskultasi terdengar mengeras.5,8

Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik


yang sesuai dengan gejala dan tanda yang diuraikan sebelumnya disertai
pemeriksaan penunjang. Pada bronkopneumonia, bercak-bercak infiltrat
didapati pada satu atau beberapa lobus. Foto rontgen dapat juga menunjukkan
adanya komplikasi seperti pleuritis, atelektasis, abses paru, pneumotoraks atau
perikarditis. Gambaran ke arah sel polimorfonuklear juga dapat dijumpai.
Pada bayi-bayi kecil jumlah leukosit dapat berada dalam batas yang normal.
Kadar hemoglobin biasanya normal atau sedikit menurun.
Diagnosis etiologi dibuat berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi serologi,
karena pemeriksaan mikrobiologi tidak mudah dilakukan dan bila dapat
dilakukan kuman penyebab tidak selalu dapat ditemukan. Oleh karena itu
WHO mengajukan pedoman diagnosa dan tata laksana yang lebih sederhana.
Berdasarkan pedoman tersebut bronkopneumonia dibedakan berdasarkan:9
 Bronkopneumonia sangat berat:
Bila terjadi sianosis sentral dan anak tidak sanggup minum,maka anak
harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotika.
 Bronkopneumonia berat:
Bila dijumpai adanya retraksi, tanpa sianosis dan masih sanggup
minum,maka anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotika.
 Bronkopneumonia:
Bila tidak ada retraksi tetapi dijumpai pernafasan yang cepat:
> 60x/menit pada anak usia < 2 bulan, > 50 x/menit pada anak usia 2 bulan
– 1 tahun > 40 x/menit pada anak usia 1 - 5 tahun.

29
 Bukan bronkopenumonia:
Hanya batuk tanpa adanya tanda dan gejala seperti diatas, tidak perlu
dirawat dan tidak perlu diberi antibiotika.

Diagnosis pasti dilakukan dengan identifikasi kuman penyebab:1,4,5,8


1. Kultur sputum atau bilasan cairan lambung
2. Kultur nasofaring atau kultur tenggorokan (throat swab), terutama virus
3. Deteksi antigen bakteri

8. Pemeriksaan Laboratorium
a. Gambaran darah menunjukkan leukositosis, biasanya 15.000 – 40.000/
mm3 dengan pergeseran ke kiri. Jumlah leukosit yang tidak meningkat
berhubungan dengan infeksi virus atau mycoplasma.
b. Nilai Hb biasanya tetap normal atau sedikit menurun
c. Sinar x : mengidentifikasi distribusi struktural; dapat juga menyatakan
abses luas/infiltrat, empiema (Stapilococcus sp.); infiltrasi menyebar atau
terlokalisasi (bakterial); atau penyebaran /perluasan infiltrat nodul (virus).
Pneumonia mikoplasma sinar x dada mungkin bersih.
d. Analisa gas darah (AGDA) menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia.Pada
stadium lanjut dapat terjadi asidosis metabolik.
e. Pemeriksaan gram/kultur sputum dan darah: diambil dengan biopsi jarum,
aspirasi transtrakeal, bronkoskopifiberotik atau biopsi pembukaan paru
untuk mengatasi organisme penyebab. Kultur dahak dapat positif pada 20 –
50% penderita yang tidak diobati.
f. JDL: leukositosis biasanya ada, meski sel darah putih rendah terjadi pada
infeksi virus, kondisi tekanan imun memungkinkan berkembangnya
pneumonia bakterial.
g. Pemeriksaan serologi: titer virus atu legionella, aglutinin dingin.
h. LED: meningkat

30
i. Pemeriksaan fungsi paru: volume mungkin menurun (kongesti dan kolaps
alveolar); tekanan jalan nafas mungkin meningkat dan komplain menurun,
hipoksemia.
j. Elektrolit: natrium dan klorida mungkin rendah
k. Bilirubin: mungkin meningkat
l. Aspirasi perkutan/biopsi jaringan paru terbuka :menyatakan intranuklear
tipikal dan keterlibatan sitoplasmik (CMV).1,2,7,8

9. Diagnosa Banding
 Bronkiolitis
 Asma
 Bronkitis akut6

10. Penatalaksanaan
Sebaiknya pengobatan diberikan berdasarkan etiologi dan uji resistensi tetapi
hal ini tidak dapat selalu dilakukan dan memakan waktu yang cukup lama,
maka dalam praktek biasanya diberikan:2,9
a. Penisilin 50.000 U/kgBB/hari,ditambah dengan kloramfenikol 50-70
mg/kgBB/hari atau diberikan antibiotik yang mempunyai spektrum luas
seperti ampisilin. Pengobatan ini diteruskan sampai bebas demam 4-5
hari.
b. Pemberian oksigen dan cairan intravena, biasanya diperlukan campuran
glukose 5% dan Nacl 0.9% dalam perbandingan 3:1 ditambah larutan
KCL 10 mEq/500 ml/botol infus.
c. Karena sebagian besar pasien jatuh kedalam asidosis metabolik akibat
kurang makan dapat diberikan koreksi sesuai denagn hasil analisa gas
darah arteri.
d. Pasien bronkopnemonia ringan tidak usah dirawat dirumah sakit.

31
Idealnya tata laksana sesuai dengan kuman penyebabnya, namun karena
berbagai kendalan diagnostik etiologi maka diberikan antibiotika secara
empiris, walaupun bronkopneumonia viral dapat di tatalaksana tanpa
antibiotika, tetapi pasien diberikan antibiotika karena kesulitan membedakan
infeksi virus dengan bakteri. Disamping itu infeksi bakteri sekunder tidak
dapat dihindarkan.9

Biasanya untuk terapi pneumonia dipakai golongan beta laktam (Penisilin,


sefalosporin, karbapenem, dan monobaktam). Pada kasus berat diberikan
golongan sefalosporin sebagai pilihan, sedangkan untuk kasus ringan sedang
dipilih golongan penisilin.8

Menurut WHO direkomendasikan pemberian penicilin intravena yang


dikombinasikan dengan pemberian gentamicin secara intravena. Anak-anak
usia 2-59 bulan dengan diagnosis bronkopneumonia dengan ratraksi dada
harus diterapi dengan amoxixilin oral dengan dosis 40mg/kgBB/2x dosis
pemberian selama 5 hari. Anak-anak dengan bronkopneumonia berat harus
diterapi dengan ampicilin atau penicilin parenteral dan gentamicin sebagai lini
pertama pengobatan. Adapun dosis ampicilin: 50-100mg/kgBB atau benzyl
penicilin: 50.000 unit per kg IM/IV setiap 6 jam selama 5 hari. Gentamicin: 5-
7mg/kgBB IM/IV sekali sehari selama 5 hari. Ceftriaxone seharusnya
digunakan sebagai terapi lini kedua pada bronkopneumonia berat apabila
terapi lini pertama mengalami kegagalan.8,9

11. Komplikasi
 Otitis media
 Bronkiektase
 Abses paru
 Empiema7

32
12. Pencegahan Bronkopneumonia
 Pencegahan Primer
Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk mempertahankan
orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat agar
tidak sakit. Secara garis besar, upaya pencegahan ini dapat berupa
pencegahan umum dan pencegahan khusus. Pencegahan primer bertujuan
untuk menghilangkan faktor risiko terhadap kejadian bronkopneumonia.10
Upaya yang dapat dilakukan anatara lain:2,5,10
o Memberikan imunisasi BCG satu kali (pada usia 0-11 bulan),
Campak satu kali (pada usia 9-11 bulan), DPT (Diphteri, Pertusis,
Tetanus) sebanyak 3 kali (pada usia 2-11 bulan), Polio sebanyak 4
kali (pada usia 2-11 bulan), dan Hepatitis B sebanyak 3 kali (0-9
bulan).
o Menjaga daya tahan tubuh anak dengan cara memberika ASI pada
bayi neonatal sampai berumur 2 tahun dan makanan yang bergizi
pada balita.
o Mengurangi polusi lingkungan seperti polusi udara dalam ruangan
dan polusi di luar ruangan.
o Mengurangi kepadatan hunian rumah.

 Pencegahan Sekunder
Tingkat pencegahan kedua ini merupakan upaya manusia untuk mencegah
orang telah sakit agar sembuh, menghambat progesifitas penyakit,
menghindari komplikasi, dan mengurangi ketidakmampuan. Pencegahan
sekunder meliputi diagnosis dini dan pengobatan yang tepat sehingga
dapat mencegah meluasnya penyakit dan terjadinya komplikasi. Upaya
yang dilakukan antara lain:
o Bronkopneumonia berat: rawat di rumah sakit, berikan oksigen, beri
antibiotik benzilpenisilin, obati demam, obati mengi, beri perawatan
suportif, nilai setiap hari.

33
o Bronkopneumonia: berikan kotrimoksasol, obati demam, obati mengi.
o Bukan Bronkopneumonia: perawatan di rumah, obati demam.6,10

 Pencegahan Tersier
Pencegahan ini dimaksudkan untuk mengurangi ketidakmampuan dan
mengadakan rehabilitasi. Upaya yang dapat dilakukan anatara lain:
o Memberi makan anak selama sakit, tingkatkan pemberian makan
setelah sakit.
o Bersihkan hidung jika terdapat sumbatan pada hidung yang
menganggu proses pemberian makan.
o Berikan anak cairan tambahan untuk minum.
o Tingkatkan pemberian ASI.
o Legakan tenggorok dan sembuhkan batuk dengan obat yang aman.
o Ibu sebaiknya memperhatikan tanda-tanda seperti: bernapas menjadi
sulit, pernapasan menjadi cepat, anak tidak dapat minum, kondisi anak
memburuk, jika terdapat tanda-tanda seperti itu segera membawa anak
ke petugas kesehatan.2,5,6,10

13. Prognosis
Sembuh total, mortalitas kurang dari 1 %, mortalitas bisa lebih tinggi
didapatkan pada anak-anak dengan keadaan malnutrisi energi-protein dan
datang terlambat untuk pengobatan. Interaksi sinergis antara malnutrisi dan
infeksi sudah lama diketahui. Infeksi berat dapat memperjelek keadaan
melalui asupan makanan dan peningkatan hilangnya zat-zat gizi esensial
tubuh. Sebaliknya malnutrisi ringan memberikan pengaruh negatif pada daya
tahan tubuh terhadap infeksi. Kedua-duanya bekerja sinergis, maka malnutrisi
bersama-sama dengan infeksi memberi dampak negatif yang lebih besar
dibandingkan dengan dampak oleh faktor infeksi dan malnutrisi apabila
berdiri sendiri.11

34
B. Kurang Energi Protein
1. Pengertian Kurang Energi Protein (KEP)
Kurang Energi Protein (KEP) adalah seseorang yang kurang gizi yang
disebabkan oleh rendahnya komsumsi energi dan protein dalam makanan
sehari-hari atau gangguan penyakit –penyakit tertentu. Anak tersebut kurang
energi protein (KEP) apabila berat badanya kurang dari 80 % indek berat
badan/umur baku standar,WHO –NCHS, (DEPKES RI,1997).12

2. Klasifikasi Kurang Energi Protein (KEP)


Berikut ini merupakan klasifikasi KEP menurut Departemen Kesehatan
(1975) adalah:12

Tabel 2. Klasifikasi KEP


Derajat KEP Berat badan (% dari baku*)
0 = normal  80 %
1 = gizi kurang 60-79 %
2 = gizi buruk < 60 %
*Sebagai baku patokan dipakai persentil 50 Harvard

Pengelompokan gizi kurang menurut Z - skore dalam tiga kategori:12,13


a. Gizi kurang tingkat ringan ( nilai Z_BBU  - 2,5 SD dan < - 2,0 SD )
b. Gizi kurang tingkat sedang (nilai Z_BBU  3,0 SD dan < 2,5 SD )
c. Gizi kurang tingkat buruk (nilai Z_BBU < - 3,0 SD )

Secara umum KEP terbagi menjadi 2 bagian diantaranya, KEP ringan yang
sering disebut dengan istilah kurang gizi dan KEP berat yang sering disebut
dengan istilah gizi buruk yang termasuk di dalamnya adalah marasmus,
kwashiorkor (sering juga diistilahkan dengan busung lapar atau HO), dan
marasmik-kwashiorkor.12,13,14
a. Kurang gizi
Penyakit ini paling banyak menyerang anak balita, terutama di negara-
negara berkembang. Gejala kurang gizi ringan relatif tidak jelas, hanya

35
terlihat bahwa berat badan anak tersebut lebih rendah dibanding anak
seusianya. Rata-rata berat badannya hanya sekitar 60-80% dari berat ideal.
Adapun ciri-ciri klinis yang biasa menyertainya antara lain:12
- Kenaikan berat badan berkurang, terhenti, atau bahkan menurun
- Ukuran lingkaran lengan atas menurun.
- Maturasi tulang terlambat.
- Rasio berat terhadap tinggi, normal atau cenderung menurun.
- Tebal lipat kulit normal atau semakin berkurang.

b. Gizi buruk
 Marasmus
Marasmus adalah suatu keadaan kekurangan protein dan kilokalori
yang kronis. Anak-anak penderita marasmus secara fisik mudah
dikenali. Marasmus biasanya terjadi pada bayi umur 6-18 bulan.
Meski masih anak-anak, wajahnya terlihat tua, sangat kurus karena
kehilangan sebagian lemak dan otot-ototnya. Penderita marasmus
berat akan menunjukkan perubahan mental, bahkan hilang kesadaran.
Dalam stadium yang lebih ringan, anak umumnya jadi lebih cengeng
dan gampang menangis karena selalu merasa lapar. Selain itu
marasmus juga terjadi pada kelompok usila yang dirawat di RS yang
terpisah. Ada pun ciri-ciri lainnya adalah:12,13
Kurus kering
Tampak hanya tulang dan kulit
Otot dan lemak bawah kulit atropi (mengecil)
Wajah seperti orang tua
Berkerut/keriput
Layu dan kering
Berat badannya kurang dari 60% berat anak normal seusianya.
Beberapa di antaranya memiliki rambut yang mudah rontok.
Tulang-tulang terlihat jelas menonjol.

36
Sering menderita diare atau konstipasi.
Tekanan darah cenderung rendah dibanding anak normal, dengan
kadar hemoglobin yang juga lebih rendah dari semestinya.

 Kwashiorkor
Kwashiorkor adalah istilah pertama dari Afrika, artinya sindroma
perkembangan anak dimana anak tersebut disapih tidak mendapatkan
ASI sesudah satu tahun karena menanti kelahiran bayi berikutnya.
MP-ASI sebagian besar terdiri dari pati atau gula, tetapi kurang
protein baik kualitas dan kuantitasnya. Kwashiorkor sering juga
diistilahkan sebagai busung lapar atau HO. Penampilan
anak-anak penderita HO umumnya sangat khas, terutama bagian perut
yang menonjol. Berat badannya jauh di bawah berat normal. Edema
stadium berat maupun ringan biasanya menyertai penderita ini.
Beberapa ciri lain yang menyertai diantaranya:12,13,14
Perubahan mental menyolok.
Banyak menangis, bahkan pada stadium lanjut anak terlihat sangat
pasif.
Penderita nampak lemah dan ingin selalu terbaring
Anemia.
Diare dengan feses cair yang banyak mengandung asam laktat
karena berkurangnya produksi laktase dan enzim penting lainnya.
Kelainan kulit yang khas, dimulai dengan titik merah menyerupai
petechia (perdarahan kecil yang timbul sebagai titik berwarna
merah keunguan, pada kulit maupun selaput lendir), yang lambat
laun kemudian menghitam. Setelah mengelupas, terlihat
kemerahan dengan batas menghitam. Kelainan ini biasanya
dijumpai di kulit sekitar punggung, pantat, dan sebagainya.
Pembesaran hati. Bahkan saat rebahan, pembesaran ini dapat
diraba dari luar tubuh, terasa licin dan kenyal.

37
 Marasmik-kwashiorkor
Penyakit ini merupakan gabungan dari marasmus dan kwashirkor
dengan gabungan gejala yang menyertai:
Berat badan penderita hanya berkisar di angka 60% dari berat
normal. Gejala khas kedua penyakit tersebut nampak jelas, seperti
edema, kelainan rambut, kelainan kulit dan sebagainya.
Tubuh mengandung lebih banyak cairan, karena berkurangnya
lemak dan otot.
Kalium dalam tubuh menurun drastis sehingga menyebabkan
gangguan metabolik seperti gangguan pada ginjal dan pankreas.
Mineral lain dalam tubuh pun mengalami gangguan, seperti
meningkatnya kadar natrium dan fosfor inorganik serta menurunnya
kadar magnesium.

3. Faktor Penyebab Kurang Energi Protein (KEP)

PENYEBAB PENYEBAB TIDAK Distribusi


Anggota
LANGSUNG LANGSUNG pangan
keluarga
besar tidak
merata

Ketersediaan Ekonomi
Ketidakcukupan
pangan di Tk.RT rendah
konsumsi
pangan tidak cukup

Penyakit Pola konsumsi


infeksi RT yang kurang Fasilitas
baik Yankes
Pendidikan sulit
dijangkau

Rendahnya
PENYEBAB
pengetahuan dan KEP
MENDASAR
pendidikan ibu

38
a. Penyebab langsung
Yang termasuk dalam penyebab langsung KEP antara lain
ketidakcukupan konsumsi makanan, penyakit infeksi.
b. Penyebab tidak langsung
Yang termasuk dalam penyebab tidak langsung KEP adalah kurangnya
pengetahuan ibu tentang kesehatan, kondisi sosial ekonomi yang rendah,
ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga tidak mencukupi, besarnya
anggota keluarga, pola konsumsi keluarga yang kurang baik, pola
distribusi pangan yang tidak merata, serta fasilitas pelayanan kesehatan
yang sulit dijangkau.
c. Penyebab mendasar
Yang menjadi penyebab mendasar KEP adalah rendahnya pengetahuan
ibu dan rendahnya pendidikan ibu.14

4. Patofisiologi Kurang Energi Protein (KEP)


a. Respon Metabolik Terhadap Pemasukan Energi Inadekuat
KEP merupakan hasil dari tidak tercukupinya kebutuhan energi dan
nutrisi dalam waktu yang lama. Manifestasinya tergantung dari beberapa
faktor, misalnya umur, infeksi, status nutrisi awal dan kebiasaan
mengurangi makan.13,14

Pada keadaan puasa terjadi pengurangan lemak dan perubahan endokrin


yang mempunyai tujuan untuk menjaga fungsi vital dan bertahan hidup
sampai didapatkan lagi energi dari makanan. Akibatnya akan terjadi
perubahan-perubahan yaitu berkurangnya aktivitas, pertumbuhan yang
lambat dan perubahan komposisi badan. Selain itu akan terjadi penurunan
laju metabolisme dan peningkatan total cairan tubuh terutama di
ekstaselular.12,13

39
Hormon cortisol akan meningkat pada keadaan kelaparan dan stress.
Sekresi insulin akan menurun dan akan terjadi resistensi insulin di perifer.
Aktivitas insulin-growth faktor 1 serta efektor metabolik pertumbuhan
yang mempengaruhi hormon pertumbuhan juga berkurang. Efek
keseluruhan dari perubahan hormon ini adalah mobilisasi lemak,
degradasi protein otot, dan penurunan basal metabolic rate. Peningkatan
aldosterone yang berperan dalam kehilangan potassium sudah diikuti oleh
pengurangan energi dan penurunan sintesis adenosin trifosfat dalam
sodium pump.13

b. Adaptasi Terhadap Penurunan Pemasukan Protein


Selama kehilangan protein, otot skelet yang hilang akan diganti untuk
menjaga enzim yang penting dan memberikan energi untuk proses
metabolisme, sehingga terjadi proses pembentukan protein otot dan
peningkatan pemecahan yang akan memberikan asam amino essensial
untuk sintesis protein dan glukoneogenesis. Di dalam hepar, terdapat
pertukaran laju sintesis dari protein yang berbeda: sintesis albumin,
transferrin dan apolipoprotein B akan menurun sedangkan sintesis protein
lain akan dijaga.14

c. Perubahan Elektrolit
Pada marasmus dan kwashiorkor akan terjadi retensi sodium sehingga akan
terjadi peningkatan total sodium dalam tubuh, meskipun kadar serumnya
rendah sedangkan total potasium dalam tubuh akan menurun. Selain
sodium dan potasium, elektrolit lain juga akan berubah seperti fosfat ,
magnesium dan kalsium. Hipofosfatemia ditemukan dalam anak-anak yang
malnutrisi dan berhubungan dengan tingginya angka mortalitas. Kadar
fosfat yang rendah berhubungan dengan diare dan dehidrasi. Selain
hipofosfatemia, hipokalemia juga bisa menyebabkan hipotonus dan
kematian mendadak (sudden death).13,14

40
d. Interaksi dengan Infeksi
Infeksi dan nutrisi saling berhubungan. Kondisi dimana pemasukan energi
dan protein yang tidak cukup berhubungan dengan kondisi peningkatan
bakteri dan mikroba lain. Produk makanan yang berasal dari daging seperti
daging merah, daging unggas, ikan, susu dan telur merupakan sumber
nutrisi yang penting untuk melawan infeksi. Lemak dibutuhkan untuk
memfasilitasi penyerapan dari vitamin seperti E, D dan A serta untuk
menjaga infeksi.13

Selama infeksi, terdapat perubahan metabolik yang akan meningkatkan


produksi protein fase akut. Produksi protein fase akut dan perubahan
metabolik pada infeksi diperantarai oleh sitokin, lipid-derived factor
termasuk prostaglandin, leukotrien, dan platelet aktivating factor.
Perubahan endokrin juga berperan; hormon-hormon katabolik juga
meningkat seperti glukokortikoid, glukagon, dan epinefrin. Sebagai
tambahan bahwa perubahan efek metabolisme terhadap infeksi sesuai
dengan status nutrisinya.12,13

e. Sitokin
Sintesin sitokin dipercepat oleh infeksi, trauma, iskemi dan keadaan lain.
Sitokin berperan dalam metabolisme protein dan otot, puasa, dan cachexia
pada kanker. Pada anak yang malnutrisi berat didapatkan penurunan reaksi
inflamasi dan menumpulnya respon febrile.12

f. Protein Fase Akut


Sitokin memodulasi pembentukan protein fase akut. Pembentukan protein
tersebut adalah di dalam hati dan meningkat bila ada stress seperti infeksi.
Pada anak malnutrisi berat akan terjadi penurunan protein fase akut negatif
seperti albumin, prealbumin, fibronektin dan retinol binding protein. Hal

41
tersebut akan mengakibatkan meningkatnya sistesis protein dalam
hepar.12,13

g. Kwashiorkor
Kwashiorkor berhubungan dengan kurangnya diet protein dan edema yang
terjadi adalah akibat dari rendahnya albumin, namun ada pendapat yang
mengatakan bahwa kwashiorkor tergantung dari intake energi bukan
protein dan edema tidak tergantung dari albumin.14

h. Perubahan Organ dan Sistem


 Sistem Endokrin
Perubahan endokrin diperantarai oleh adaptasi metabolik terhadap
kelaparan. Atrofi pankreas biasanya ditemukan pada anak sehingga akan
mempengaruhi hormon insulin, glukagon, dan arginine. Penelitian
menunjukkan bahwa pada anak dengan malnutrisi terdapat peningkatan
hormon pertumbuhan namun konsentrasi yang tinggi itu akan
mengurangi berat badan. Konsentrasi kortisol yang tinggi dengan infeksi
dan peninggian kortisol ini akan mengakibatkan hipoglikemi. Fungsi
kelenjar tiroid juga mengalami perubahan.15
 Sistem Imun
Anak dengan KEP berat sangat rentan terkena infeksi terutama bakteri
gram negatif dan dapat meninggal karena sepsis. Pada anak dengan
malnutrisi terdapat perubahan imunitas selular, sistem komplemen dan
fungsi PMN dan imunitas humoral.14
 Hati
Pada KEP berat, terdapat perubahan produksi protein karier dan protein
akut inflamasi relatif meningkat yang berespon terhadap infeksi atau
jejas. Pada kwasiorkor terdapat pembesaran hati dan terdapat infiltrasi
lemak dan akumulasi trigliserida. Perubahan ini akan baik bila gejala

42
klinisnya membaik dan tidak ada bukti bahwa kwasiorkor yang lama
akan mengakibatkan kerusakan hati.14,15
 Jantung
Pada anak dengan KEP berat, curah jantung menurun. Serta dapat
terjadi sinus bradikardi. Bersamaan dengan itu terdapat defisiensi seperti
hipokalemia, anemia dan defisiensi vitamin yang akan berpengaruh
terhadap jantung. Efusi perikardial juga mungkin ada pada malnutrisi
dengan edema. Selama penyembuhan, ukuran jantung meningkat cepat.
Bila pergantian/pemasukan makanan dilakukan dengan cepat terutama
bila makanannya tinggi sodium maka gagal jantung dan kematian
mendadak akan terjadi. Tindakan pertama untuk mengatasi hal tersebut
adalah dengan membatasi intake sodium dan memberikan diuretik.
Keadaan tersebut terlihat atau mirip seperti sepsis oleh karena itu
kematian yang terjadi dianggap wajar. Kelainan jantung bukan kelainan
primer di jantung tetapi karena syndrome refeeding.13
 Saluran Pernapasan
Pengurangan massa otot berpengaruh juga pada otot pernapasan
termasuk diafragma. Hal tersebut akan menurunkan fungsi otot-otot
pernapasan yang akan mempengaruhi kapasitas vital dan inspirasi
maksimal dan tekanan inspirasi. Kelemahan ini akan mengakibatkan
abnormalitas elektrolit seperti rendahnya fosfat dan hipokalemia.
Ventilasi berespon terhadap hipoksia tetapi tidak berespon terhadap
hiperkapni. Karena perubahan tersebut, takipnea dan retraksi sub costal
dapat berguna sebagai tanda untuk mendiagnosis pneumoni pada
malnutrisi.13,14
 Saluran Pencernaan
Diare dan malnutrisi biasanya terjadi bersamaan. Malnutrisi
meningkatkan risiko terjadinya diare persisten (>14 hari). Pada KEP
berat, pengaruh terhadap saluran pencernaan adalah penurunan produksi
asam lambung, penipisan mukosa usus halus, hilangnya villi dan sel

43
kripta. Perubahan tersebut akan mengganggu fungsi mukosa,
peningkatan permeabilitas dan malabsorpsi. Meskipun ada gangguan
fungsi saluran pencernaan makanan tetap harus diberikan.13
 Hematologi
Anemia biasanya terjadi pada malnutrisi dan mungkin berhubungan
dengan defisiensi besi dan atau penurunan produksi sel darah merah
untuk adaptasi dari pengecilan massa tubuh. Rendahnya transferin
berhubungan dengan peningkatan resiko kematian di rumah sakit pada
anak dengan KEP.13
 Kulit dan Rambut
Pada marasmus, kulit kering akibat hilangnya lemak subkutan. Hal
tersebut mengakibatkan meningkatnya area permukaan, menurunnya
proteksi terhadap suhu sehingga gampang terjadi hipotermi. Rambut
menjadi lebih tipis serta tumbuhnya lambat dan mudah rontok. Pada
kwasiorkor, beberapa perubahan mirip dengan acrodematitis
enteropatika dan akan membaik dengan pemebrian salep seng. Hal
tersebut mendukung adanya defisiensi seng. Defisiensi nutrisi lain
seperti EFA, vitamin B dan asam amino yang berpengaruh terhadap
perubahan kulit. Rambut juga terpengaruh, terjadi depigmentasi (tanda
klasik).14
 Fungsi Otak dan Perkembangan
Anak dengan KEP berat pada umur-umur awal mungkin terdapat
penurunan pertumbuhan otak, myelinasi saraf, produksi
neurotransmitter dan kecepatan konduksi saraf. Dalam jangka panjang,
bila lingkungan tidak mendukunk, terjadi perubahan dari perilaku dan
kognitif anak.14,15
 Tulang
Anak dengan KEP berat biasanya akan stunted setelah sembuh. Pada
malnutrisi terdapat laju turnover tulang yang rendah dan tinggi pada fase
penyembuhan. Demineralisasi tulang disebabkan oleh defisiensi fosfat.

44
Defisiensi nutrisi lain oleh vitamin D yang menyebabkan riketsia dan
osteomalasia, vitamin C menyebabkan scurvy dan perubahan bentuk
tulang karena defisiensi tembaga mungkin dapat ditemukan.15

5. Penatalaksanaan Kurang Energi Protein (KEP)


Pasien dengan KEP tidak kompleks seharusnya diobati di luar rumah sakit
sejauh memungkinkan. Perawatan rumah sakit meningkatkan resiko infeksi
silang dan situasi yang tidak umum, meningkatkan apatis dan anoreksia pada
anak-anak, sehingga makannya akan sulit. Anak-anak dengan malnutrisi berat
dengan tanda dari prognosis buruk atau komplikasi lain dan tinggal di
lingkungan sosial menyedihkan yang tidak mempunyai sarana medis dan
nutrisional cukup, harus dirawat. Strategi pengobatan dibagi ke dalam 3
tingkat: a) Pemulihan kondisi kehidupan yang mengancam b) Pemulihan
status nutrisi tanpa mengganggu homeostasis dan c) Menjamin rehabilitasi
nutrisi.12,14

Dehidrasi sedang atau berat, manifestasi atau dugaan infeksi, tanda defisiensi
vitamin A berat, anemia berat, hipoglikemia, diare berlanjut, kulit dan lesi
membran mukus, anoreksia, dan hipotermia seluruhnya harus diobati. Untuk
dehidrasi ringan sampai sedang, dapat diberikan oral atau NGT, saat
memungkinkan, untuk mencegah aspirasi. Cairan intravena (iv) diperlukan
untuk pengobatan dehidrasi berat. Jika cairan iv tidak dapat diberikan, infus
intraosseus (marrow) atau intraperitoneal dari 70mL/kg larutan Ringer Laktat
(RL) dapat menyelamatkan hidup. Antibiotik seharusnya efektif diberikan
parenteral untuk 5-10 hari.12

Saat dehidrasi sudah diperbaiki, pemberian makanan dengan oral atau NGT
dimulai dengan sedikit namun sering dari susu cair (66 kkal dan 1,0 g
protein/100 mL pada ~ 120 mL/kg/24 jam) dengan suplementasi nutrien;
kekuatan dan volume bertahap ditingkatkan dan sering menurun lebih dari 5-7

45
hari berikutnya. Pada hari 6-8, anak-anak seharusnya mendapat 150 mL/kg/24
jam pada ~6 pemberian susu energi tinggi (114 kkal dan 4,1 g
protein/100mL). Susu sapi atau yoghurt untuk anak-anak intoleransi laktosa,
seharusnya dibuat dengan 50 g gula /L. Infeksi bakteri seharusnya diobati
secara bersamaan dengan terapi makanan, jika tidak berat dapat ditunda
sampai pemulihan selesai.14

46

Anda mungkin juga menyukai