Dosen Pengampu :
Liyanovitasari, S.Kep., Ns., M.Kep.
A. Latar Belakang
Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat
mengakhiri kehidupan. Istilah yang terakhir ini menjadi topik besar dalam
psikatrikontemporer, karena jumlah yang terlibat dan riset yang mereka buat. Di
dunia lebih dari 1000 tindakan bunuh diri terjadi tiap hari, di Inggris ada lebih
dari 3000 kematian bunuh diri tiap tahun (Ingram, Timbury dan Mowbray,
1993). Data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2008
mengungkapkan bahwa 1 juta orang bunuh diri dalam setiap tahunnya atau
setiap 40 detik, bunuh diri juga satu dari tiga penyebab utama kematian pada
usia 15-34 tahun, selain karena faktor kecelakaan. Bunuh diri merupakan
kedaruratan psikiatri karena klien berada dalam keadaan stres yang tinggi dan
menggunakan koping yang maladaptif. Situasi gawat pada bunuh diri adalah saat
ide bunuh diri timbul secara berulang tanpa rencana yang spesifik untuk bunuh
diri.
Sedangkan perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang
ditunjukan untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak
menginginkan datangnya tingkah laku tersebut ( purba dkk, 2008) WHO
memperkirakan ada sekitar 450 juta orang di dunia mengalami gangguan
kesehatan jiwa. Pada masyarakat umum terdapat 0,2 – 0,8 % penderita
skizofrenia dan dari 120 juta penduduk di Negara Indonesia terdapat kira-kira
2.400.000 orang anak yang mengalami gangguan jiwa (Maramis, 2004 dalam
Carolina, 2008). Data WHO tahun 2006 mengungkapkan bahwa 26 juta
penduduk Indonesia atau kira-kira 12-16 persen mengalami gangguan jiwa.
Berdasarkan data Departemen Kesehatan, jumlah penderita gangguan jiwa di
Indonesia mencapai 2,5 juta orang (WHO, 2006). Berdasarkan data yang
diperoleh peneliti melalui survey awal penelitian di Rumah Sakit Jiwa Provinsi
Sumatera Utara bahwa jumlah pasien gangguan jiwa pada tahun 2008 tercatat
sebanyak 1.814 pasien rawat inap yang keluar masuk rumah sakit dan 23.532
pasien rawat jalan. Pada tahun 2009 tercatat sebanyak 1.929 pasien rawat inap
yang keluar masuk rumah sakit dan 12.377 pasien rawat jalan di rumah sakit
tersebut. Sedangkan untuk pasien rawat inap yang menderita skizofrenia
paranoid sebanyak 1.581 yang keluar masuk rumah sakit dan 9.532 pasien rawat
jalan. Pasien gangguan jiwa skizofrenia paranoid dan gangguan psikotik dengan
gejala curiga berlebihan, galak, dan bersikap bermusuhan. Gejala ini merupakan
tanda dari pasien yang mengalami perilaku kekerasan (Medikal Record, 2009).
Peran perawat dalam membantu pasien perilaku kekerasan adalah dengan
memberikan asuhan keperawatan perilaku kekerasan. Pemberian asuhan
keperawatan merupakan proses terapeutik yang melibatkan hubungan kerjasama
antara perawat dengan pasien, keluarga dan atau masyarakat untuk mencapai
tingkat kesehatan yang optimal (Keliat dkk, 1999).
Berdasarkan standar yang tersedia, asuhan keperawatan pada pasien
perilaku kekerasan dilakukan dalam lima kali pertemuan. Pada setiap pertemuan
pasien memasukkan kegiatan yang telah dilatih untuk mengatasi masalah
kedalam jadwal kegiatan. Diharapkan pasien akan berlatih sesuai jadwal
kegiatan yang telah dibuat dan akan dievaluasi oleh perawat pada pertemuan
berikutnya. Berdasarkan evaluasi yang dilakukan akan dinilai tingkat
kemampuan pasien dalam mengatasi masalahnya yaitu mandiri, bantuan, atau
tergantung. Tingkat kemampuan mandiri, jika pasien melaksanakan kegiatan
tanpa dibimbing dan tanpa disuruh; bantuan, jika pasien sudah melakukan
kegiatan tetapi belum sempurna dan dengan bantuan pasien dapat melaksanakan
dengan baik; tergantung, jika pasien sama sekali belum melaksanakan dan
tergantung pada bimbingan perawat (Keliat, 2001).
B. Tujuan
Tujuan Umum
Mengerti tentang asuhan keperawatan pada pasien resiko bunuh diri dan perilaku
kekerasan
Tujuan Khusus
1. Mengetahui pengertian bunuh diri dan perilaku kekerasan .
2. Mengetahui rentang respon resiko bunuh diri dan perilaku kekerasan .
3. Mengetahui faktor predisposisi dan faktor presipasi bunuh diri dan
perilaku kekerasan.
4. Mengetahui tanda dan gejala dengan resiko bunuh diri dan perilaku
kekerasan.
5. Mengetahui psikopatologi resiko bunuh diri dan perilaku kekerasan.
6. Mengetahui diagnosa keperawatan dan medis klien resiko bunuh diri dan
perilaku kekerasan.
7. Mengetahui penatalaksanaan resiko bunuh diri dan perilaku kekerasan.
BAB II
TINJAUAN TEORI
6. Pengkajian Keperawatan
a. Faktor Predisposisi
1) Psikoanalisis
Teori ini menyatakan bahwa perilaku agresif adalah merupakan hasil
dari dorongan insting (instinctual drives).
2) Psikologis
Berdasarkan teori frustasi-agresif, agresivitas timbul sebagai hasil dari
peningkatan frustasi. Tujuan yang tidak tercapai dapat menyebabkan
frustasi berkepanjangan.
3) Biologis
Bagian-bagian otak yang berhubungan dengan terjadinya
agresivitas sebagai berikut.
- Sistem limbik
Merupakan organ yang mengatur dorongan dasar dan ekspresi
emosi serta perilaku seperti makan, agresif, dan respons seksual.
Selain itu, mengatur sistem informasi dan memori.
- Lobus temporal
Organ yang berfungsi sebagai penyimpan memori dan melakukan
interpretasi pendengaran.
- Lobus frontal
Organ yang berfungsi sebagai bagian pemikiran yang logis, serta
pengelolaan emosi dan alasan berpikir.
- Neurotransmiter
Beberapa neurotransmiter yang berdampak pada agresivitas
adalah serotonin (5-HT), Dopamin, Norepineprin, Acetylcholine,
dan GABA.
4) Perilaku (behavioral)
- Kerusakan organ otak, retardasi mental, dan gangguan belajar
mengakibatkan kegagalan kemampuan dalam berespons positif
terhadap frustasi.
- Penekanan emosi berlebihan (over rejection) pada anak-anak atau
godaan (seduction) orang tua memengaruhi kepercayaan (trust)
dan percaya diri (self esteem) individu.
- Perikaku kekerasan di usia muda, baik korban kekerasan pada
anak (child abuse) atau mengobservasi kekerasan dalam keluarga
memengaruhi penggunaan kekerasan sebagai koping.
Teori belajar sosial mengatakan bahwa perilaku kekerasan adalah
hasil belajar dari proses sosialisasi dari internal dan eksternal, yakni
sebagai berikut.
Internal : penguatan yang diterima ketika melakukan kekerasan.
Eksternal : observasi panutan (role model), seperti orang tua,
kelompok, saudara, figur olahragawan atau artis, serta media
elektronik (berita kekerasan, perang, olahraga keras).
5) Sosial cultural
- Norma
Norma merupakan kontrol masyarakat pada kekerasan. Hal ini
mendefinisikan ekspresi perilaku kekerasan yang diterima atau
tidak diterima akan menimbulkan sanksi. Kadang kontrol sosial
yang sangat ketat (strict) dapat menghambat ekspresi marah yang
sehat dan menyebabkan individu memilih cara yang maladaptif
lainnya.
- Budaya asertif di masyarakat membantu individu untuk berespons
terhadap marah yang sehat.
Faktor sosial yang dapat menyebabkan timbulnya agresivitas atau
perilaku kekerasan yang maladaptif antara lain sebagai berikut.
1) Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan hidup.
2) Status dalam perkawinan.
3) Hasil dari orang tua tunggal (single parent).
4) Pengangguran.
5) Ketidakmampuan mempertahankan hubungan interpersonal dan
struktur keluarga dalam sosial kultural.
b. Faktor Presipitasi
Semua faktor ancaman antara lain sebagai berikut.
a. Internal
1) Kelemahan.
2) Rasa percaya menurun.
3) Takut sakit.
4) Hilang kontrol.
b. Eksternal
1) Penganiayaan fisik.
2) Kehilangan orang yang dicintai.
3) Kritik.
7. Diagnosis
Diagnosis Keperawatan :
STRATEGI PENAHANAN
1. Manajemen krisis
a) Identifikasi pemimpin tim krisis.
b) Susun atau kumpulkan tim krisis.
c) Beritahu petugas keamanan yang diperlukan.
d) Pindahkan semua pasien dari area tersebut.
e) Siapkan atau dapatkan alat pengekang (restrains).
f) Susun strategi dan beritahu anggota lain.
g) Tugas penanganan pasien secara fisik.
h) Jelaskan semua tindakan pada pasien, “Kami harus mengontrol Tono,
karena perilaku Tono berbahaya pada Tono dan orang lain. Jika
Tono sudah dapat mengontrol perilakunya, kami akan lepaskan”.
i) Ikat/kekang pasien sesuai instruksi pemimpin (posisi yang nyaman).
j) Berikan obat psikofarmaka sesuai instruksi.
k) Jaga tetap kalem dan konsisten.
l) Evaluasi tindakan dengan tim.
m) Jelaskan kejadian pada pasien lain dan staf seperlunya.
n) Secara bertahap integrasikan pasien pada lingkungan.
2. Pengasingan
Pengasingan dilakukan untuk memisahkan pasien dari orang lain di
tempat yang aman dan cocok untuk tindakan keperawatan. Tujuannya
adalah melindungi pasien, orang lain, dan staf dari bahaya. Hal ini legal
jika dilakukan secara terapeutik dan etis. Prinsip pengasingan antara lain
sebagai berikut (Stuart dan Sundeen, 1995: 738).
a) Pembatasan gerak
Aman dari mencederai diri.
Lingkungan aman dari perilaku pasien.
b) Isolasi
Pasien butuh untuk jauh dari orang lain, contohnya paranoid.
Area terbatas untuk adaptasi, ditingkatkan secara bertahap.
c) Pembatasan input sensoris
Ruangan yang sepi akan mengurangi stimulus.
3. Pengekangan
Tujuan dari pengekangan adalah mengurangi gerakan fisik pasien,
serta melindungi pasien dan orang lain dari cedera. Indikasi antara lain
sebagai berikut.
a. Ketidakmampuan mengontrol perilaku.
b. Perilaku tidak dapat dikontrol oleh obat atau teknik psikososial.
c. Hiperaktif dan agitasi.
Prosedur pelaksanaan pengekangan adalah sebagai berikut.
a. Jelaskan pada pasien alasan pengekangan.
b. Lakukan dengan hati-hati dan tidak melukai.
c. Ada perawat yang ditugaskan untuk mengontrol tanda vital, sirkulasi,
dan membuka ikatan untuk latihan gerak.
d. Penuhi kebutuhan fisik, yaitu makan, minum, eliminasi, dan
perawatan diri.
Strategi Pelaksanaan II
1. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.
2. Melatih pasien cara mengontrol perilaku kekerasan fisik II (memukul
bantal/ kasur/ konversi energi).
3. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
Strategi Pelaksanaan IV
1. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.
2. Melatih pasien cara mengontrol perilaku kekerasan secara spiritual
(berdoa, berwudhu, sholat)
3. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
Strategi Pelaksanaan IV
1. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.
2. Menjelaskan cara mengontrol perilaku kekerasan dengan meminum
obat (prinsip 5 benar minum obat).
3. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
b. Keluarga
Strategi Pelaksanaan I
1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat
pasien.
2. Menjelaskan pengertian perilaku kekerasan, tanda, dan gejala, serta
proses terjadinya perilaku kekerasan.
3. Menjelaskan cara merawat pasien dengan perilaku kekerasan.
Strategi Pelaksanaan II
1. Melatih keluarga mempraktikkan cara merawat pasien dengan perilaku
kekerasan.
2. Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada pasien
perilaku kekerasan.
Keterangan :
1. Peningkatan diri yaitu seorang individu yang mempunyai pengharapan,
yakin, dan kesadaran diri meningkat.
2. Pertumbuhan-peningkatan berisiko, yaitu merupakan posisi pada rentang
yang masih normal dialami individu yang mengalami perkembangan
perilaku.
3. Perilaku destruktif diri tak langsung, yaitu setiap aktivitas yang merusak
kesejahteraan fisik individu dan dapat mengarah kepada kematian, seperti
perilaku merusak, mengebut, berjudi, tindakan kriminal, terlibat dalam
rekreasi yang berisiko tinggi, penyalahgunaan zat, perilaku yang
menyimpang secara sosial, dan perilaku yang menimbulkan stres.
4. Pencederaan diri, yaitu suatu tindakan yang membahayakan diri sendiri yang
dilakukan dengan sengaja. Pencederaan dilakukan terhadap diri sendiri,
tanpa bantuan orang lain, dan cedera tersebut cukup parah untuk melukai
tubuh. Bentuk umum perilaku pencederaan diri termasuk melukai dan
membakar kulit, membenturkan kepala atau anggota tubuh, melukai
tubuhnya sedikit demi sedikit, dan menggigit jari.
5. Bunuh diri, yaitu tindakan agresif yang langsung terhadap diri sendiri untuk
mengakhiri kehidupan.
3. Proses Terjadinya Perilaku Bunuh Diri
2. Faktor Perilaku
a. Ketidakpatuhan
Ketidakpatuhan biasanya dikaitkan dengan program pengobatan yang
dilakukan (pemberian obat). Pasien dengan keinginan bunuh diri
memilih untuk tidak memperhatikan dirinya.
b. Pencederaan diri
Cedera diri adalah sebagai suatu tindakan membahayakan diri sendiri
yang dilakukan dengan sengaja. Pencederaan diri dilakukan terhadap diri
sendiri, tanpa bantuan orang lain, dan cedera tersebut cukup parah untuk
melukai tubuh.
c. Perilaku bunuh diri
Biasanya dibagi menjadi tiga kategori, yaitu sebagai berikut.
1) Ancaman bunuh diri, yaitu peringatan verbal dan nonverbal bahwa
orang tersebut mempertimbangkan untuk bunuh diri. Orang tersebut
mungkin menunjukkan secara verbal bahwa ia tidak akan berada di
sekitar kita lebih lama lagi atau mungkin juga mengomunikasikan
secara nonverbal melalui pemberian hadiah, merevisi wasiatnya, dan
sebagainya.
2) Upaya bunuh diri, yaitu semua tindakan yang diarahkan pada diri
sendiri yang dilakukan oleh individu yang dapat mengarahkan pada
kematian jika tidak dicegah.
3) Bunuh diri mungkin terjadi setelah tanda peringatan terlewatkan atau
terabaikan. Orang yang melakukan upaya bunuh diri dan yang tidak
benar-benar ingin mati mungkin akan mati jika tanda-tanda tersebut
tidak diketahui tepat pada waktunya.
3. Faktor Lain
Faktor lain yang perlu diperhatikan dalam pengkajian pasien destruktif diri
(bunuh diri) adalah sebagai berikut (Stuart dan Sundeen, 1995).
a. Pengkajian lingkungan upaya bunuh diri.
1) Presipitasi peristiwa kehidupan yang menghina/menyakitkan.
2) Tindakan persiapan/metode yang dibutuhkan, mengatur rencana,
membicarakan tentang bunuh diri, memberikan barang berharga
sebagai hadiah, catatan untuk bunuh diri.
3) Penggunaan cara kekerasan atau obat/racun yang lebih mematikan.
4) Pemahaman letalitas dari metode yang dipilih.
5) Kewaspadaan yang dilakukan agar tidak diketahui.
b. Petunjuk gejala
1) Keputusasaan.
2) Celaan terhadap diri sendiri, perasaan gagal, dan tidak berharga.
3) Alam perasaan depresi.
4) Agitasi dan gelisah.
5) Insomnia yang menetap.
6) Penurunan berat badan.
7) Berbicara lamban, keletihan, menarik diri dari lingkungan sosial.
c. Penyakit psikiatrik
1) Upaya bunuh diri sebelumnya.
2) Kelainan afektif.
3) Alkoholisme dan atau penyalahgunaan obat.
4) Kelainan tindakan dan depresi pada remaja.
5) Demensia dini dan status kekacauan mental pada lansia.
6) Kombinasi dari kondisi di atas.
d. Riwayat psikososial
1) Baru berpisah, bercerai, atau kehilangan.
2) Hidup sendiri.
3) Tidak bekerja, perubahan, atau kehilangan pekerjaan yang baru
dialami.
4) Stres kehidupan ganda (pindah, kehilangan, putus hubungan yang
berarti, masalah sekolah, ancaman terhadap krisis disiplin).
5) Penyakit medis kronis.
6) Minum yang berlebihan dan penyalahgunaan zat.
e. Faktor-faktor kepribadian
1) Impulsif, agresif, rasa bermusuhan.
2) Kekakuan kognitif dan negatif.
3) Keputusasaan.
4) Harga diri rendah.
5) Batasan atau gangguan kepribadian antisosial.
f. Riwayat keluarga
1) Riwayat keluarga berperilaku bunuh diri.
2) Riwayat keluarga gangguan afektif, alkoholisme, atau keduanya.
4. Faktor Predisposisi
Mengapa individu terdorong untuk melakukan bunuh diri? Banyak pendapat
tentang penyebab dan atau alasan termasuk hal-hal berikut.
a. Kegagalan atau adaptasi, sehingga tidak dapat menghadapi stres.
b. Perasaan terisolasi dapat terjadi karena kehilangan hubungan
interpersonal atau gagal melakukan hubungan yang berarti.
c. Perasaan marah atau bermusuhan. Bunuh diri dapat merupakan hukuman
pada diri sendiri.
d. Cara untuk mengakhiri keputusasaan.
e. Tangisan minta tolong.
Lima domain faktor risiko menunjang pada pemahaman perilaku
destruktif diri sepanjang siklus kehidupan, yaitu sebagai berikut.
1) Diagnosis psikiatri
Lebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya dengan
bunuh diri mempunyai hubungan dengan penyakit jiwa. Tiga
gangguan jiwa yang dapat membuat individu berisiko untuk bunuh
diri yaitu gangguan afektif, skizofrenia, dan penyalahgunaan zat.
2) Sifat kepribadian
Tiga aspek kepribadian yang berkaitan erat dengan besarnya risiko
bunuh diri adalah rasa bermusuhan, impulsif, dan depresi.
3) Lingkungan psikososial
Baru mengalami kehilangan, perpisahan atau perceraian, kehilangan
yang dini, dan berkurangnya dukungan sosial merupakan faktor
penting yang berhubungan dengan bunuh diri.
4) Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan
faktor risiko penting untuk perilaku destruktif.
5) Faktor biokimia
Data menunjukkan bahwa secara serotonegik, opiatergik, dan
dopaminergik menjadi media proses yang dapat menimbulkan
perilaku merusak diri.
Faktor penyebab tambahan terjadinya bunuh diri antara lain sebagai
berikut (Cook dan Fontaine, 1987).
a) Penyebab bunuh diri pada anak
- Pelarian dari penganiayaan dan pemerkosaan.
- Situasi keluarga yang kacau.
- Perasaan tidak disayangi atau selalu dikritik.
- Gagal sekolah.
- Takut atau dihina di sekolah.
- Kehilangan orang yang dicintai.
- Dihukum orang lain.
b) Penyebab bunuh diri pada remaja.
- Hubungan interpersonal yang tidak bermakna.
- Sulit mempertahankan hubungan interpersonal.
- Pelarian dari penganiayaan fisik atau pemerkosaan.
- Perasaan tidak dimengerti orang lain.
- Kehilangan orang yang dicintai.
- Keadaan fisik.
- Masalah dengan orang tua.
- Masalah seksual.
- Depresi.
c) Penyebab bunuh diri pada mahasiswa.
- Self ideal terlalu tinggi.
- Cemas akan tugas akademik yang terlalu banyak.
- Kegagalan akademik berarti kehilangan penghargaan dan kasih
sayang orang tua.
- Kompetisi untuk sukses.
d) Penyebab bunuh diri pada usia lanjut.
- Perubahan status dari mandiri ke ketergantungan.
- Penyakit yang menurunkan kemampuan berfungsi.
- Perasaan tidak berarti di masyarakat.
- Kesepian dan isolasi sosial.
- Kehilangan ganda, seperti pekerjaan, kesehatan, pasangan.
- Sumber hidup bergantung.
5. Faktor Presipitasi
a. Psikososial dan klinik
1) Keputusasaan
2) Ras kulit putih
3) Jenis kelamin laki-laki
4) Usia lebih tua
5) Hidup sendiri
b. Riwayat
1) Pernah mencoba bunuh diri.
2) Riwayat keluarga tentang percobaan bunuh diri.
3) Riwayat keluarga tentang penyalahgunaan zat.
c. Diagnostis
1) Penyakit medis umum
2) Psikosis
3) Penyalahgunaan zat
6. Sumber Koping
Tingkah laku bunuh diri biasanya berhubungan dengan faktor sosial dan
kultural. Durkheim membuat urutan tentang tingkah laku bunuh diri. Ada
tiga subkategori bunuh diri berdasarkan motivasi seseorang, yaitu sebagai
berikut.
a. Bunuh diri egoistik
Akibat seseorang yang mempunyai hubungan sosial yang buruk.
b. Bunuh diri altruistik
Akibat kepatuhan pada adat dan kebiasaan.
c. Bunuh diri anomik
Akibat lingkungan tidak dapat memberikan kenyamanan bagi individu.
7. Mekanisme Koping
Mekanisme pertahanan ego yang berhubungan dengan perilaku
pengerusakan diri tak langsung adalah pengingkaran (denial). Sementara,
mekanisme koping yang paling menonjol adalah rasionalisasi,
intelektualisasi, dan regresi.
7. Diagnosis
Masalah keperawatan yang dapat muncul adalah risiko bunuh diri b/d
harga diri rendah.
8. Rencana Intervensi
1. Tindakan Keperawatan untuk Pasien
a. Tujuan
Pasien tetap aman dan selamat.
b. Tindakan
Untuk melindungi pasien yang mengancam atau mencoba
bunuh diri, maka Anda dapat melakukan tindakan berikut.
- Menemani pasien terus- menerus sampai dia dapat dipindahkan
ke tempat yang aman.
- Menjauhkan semua benda yang berbahaya, misalnya pisau, silet,
gelas, tali pinggang.
- Memeriksa apakah pasien benar- benar telah meminum obatnya,
jika pasien mendapatkan obat.
- Menjelaskan dengan lembut pada pasien bahwa Anda akan
melindungi pasien sampai tidak ada keinginan bunuh diri.
Strategi Pelaksanaan II
1. Mengidentifikasi aspek positif pasien.
2. Mendorong pasien untuk berfikir positif terhadap diri.
3. Mendorong pasien untuk menghargai diri sebagai individu yang
berharga.
Strategi Pelaksanaan IV
1. Membuat rencana masa depan yang realistis bersama pasien.
2. Mengidentifiksai cara mencapai rencana masa deapan yang realistis.
3. Member dorongan pasien melakukan kegiatan dalam rangka meraih
masa depanyang realistis.
b. Keluarga
Strategi Pelaksanaan I
1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat
pasien.
2. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala resiko bunuh diri, dan jenis
perilakubunuh diri yang dialami pasien beserta proses terjadinya.
3. Menjelaskan cara-cara merawat pasien resiko bunuh diri.
Strategi Pelaksanaan II
1. Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan resiko
bunuh diri.
2. Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada pasien
resiko bunuh diri.