Anda di halaman 1dari 35

ASUHAN KEPERAWATAN

KLIEN DENGAN RISIKO PERILAKUKEKERASAN DAN BUNUH DIRI


Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Kesehatan Jiwa II

Dosen Pengampu :
Liyanovitasari, S.Kep., Ns., M.Kep.

Disusun Oleh Kelompok 1 :


1. Destri Mahesti (010115A027)
2. Dina Purnamasari (010115A033)
3. Farah Mahdiyyah M. (010115A040)
4. I Ketut Wisma J. A. B. (010115A053)
5. Kiki Devianti (010115A064)
6. Maria Pulung A. H. (010115A070)
PSKep-A Semester 5

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS NGUDI WALUYO UNGARAN
2017
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat
mengakhiri kehidupan. Istilah yang terakhir ini menjadi topik besar dalam
psikatrikontemporer, karena jumlah yang terlibat dan riset yang mereka buat. Di
dunia lebih dari 1000 tindakan bunuh diri terjadi tiap hari, di Inggris ada lebih
dari 3000 kematian bunuh diri tiap tahun (Ingram, Timbury dan Mowbray,
1993). Data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2008
mengungkapkan bahwa 1 juta orang bunuh diri dalam setiap tahunnya atau
setiap 40 detik, bunuh diri juga satu dari tiga penyebab utama kematian pada
usia 15-34 tahun, selain karena faktor kecelakaan. Bunuh diri merupakan
kedaruratan psikiatri karena klien berada dalam keadaan stres yang tinggi dan
menggunakan koping yang maladaptif. Situasi gawat pada bunuh diri adalah saat
ide bunuh diri timbul secara berulang tanpa rencana yang spesifik untuk bunuh
diri.
Sedangkan perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang
ditunjukan untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak
menginginkan datangnya tingkah laku tersebut ( purba dkk, 2008) WHO
memperkirakan ada sekitar 450 juta orang di dunia mengalami gangguan
kesehatan jiwa. Pada masyarakat umum terdapat 0,2 – 0,8 % penderita
skizofrenia dan dari 120 juta penduduk di Negara Indonesia terdapat kira-kira
2.400.000 orang anak yang mengalami gangguan jiwa (Maramis, 2004 dalam
Carolina, 2008). Data WHO tahun 2006 mengungkapkan bahwa 26 juta
penduduk Indonesia atau kira-kira 12-16 persen mengalami gangguan jiwa.
Berdasarkan data Departemen Kesehatan, jumlah penderita gangguan jiwa di
Indonesia mencapai 2,5 juta orang (WHO, 2006). Berdasarkan data yang
diperoleh peneliti melalui survey awal penelitian di Rumah Sakit Jiwa Provinsi
Sumatera Utara bahwa jumlah pasien gangguan jiwa pada tahun 2008 tercatat
sebanyak 1.814 pasien rawat inap yang keluar masuk rumah sakit dan 23.532
pasien rawat jalan. Pada tahun 2009 tercatat sebanyak 1.929 pasien rawat inap
yang keluar masuk rumah sakit dan 12.377 pasien rawat jalan di rumah sakit
tersebut. Sedangkan untuk pasien rawat inap yang menderita skizofrenia
paranoid sebanyak 1.581 yang keluar masuk rumah sakit dan 9.532 pasien rawat
jalan. Pasien gangguan jiwa skizofrenia paranoid dan gangguan psikotik dengan
gejala curiga berlebihan, galak, dan bersikap bermusuhan. Gejala ini merupakan
tanda dari pasien yang mengalami perilaku kekerasan (Medikal Record, 2009).
Peran perawat dalam membantu pasien perilaku kekerasan adalah dengan
memberikan asuhan keperawatan perilaku kekerasan. Pemberian asuhan
keperawatan merupakan proses terapeutik yang melibatkan hubungan kerjasama
antara perawat dengan pasien, keluarga dan atau masyarakat untuk mencapai
tingkat kesehatan yang optimal (Keliat dkk, 1999).
Berdasarkan standar yang tersedia, asuhan keperawatan pada pasien
perilaku kekerasan dilakukan dalam lima kali pertemuan. Pada setiap pertemuan
pasien memasukkan kegiatan yang telah dilatih untuk mengatasi masalah
kedalam jadwal kegiatan. Diharapkan pasien akan berlatih sesuai jadwal
kegiatan yang telah dibuat dan akan dievaluasi oleh perawat pada pertemuan
berikutnya. Berdasarkan evaluasi yang dilakukan akan dinilai tingkat
kemampuan pasien dalam mengatasi masalahnya yaitu mandiri, bantuan, atau
tergantung. Tingkat kemampuan mandiri, jika pasien melaksanakan kegiatan
tanpa dibimbing dan tanpa disuruh; bantuan, jika pasien sudah melakukan
kegiatan tetapi belum sempurna dan dengan bantuan pasien dapat melaksanakan
dengan baik; tergantung, jika pasien sama sekali belum melaksanakan dan
tergantung pada bimbingan perawat (Keliat, 2001).

B. Tujuan
Tujuan Umum
Mengerti tentang asuhan keperawatan pada pasien resiko bunuh diri dan perilaku
kekerasan
Tujuan Khusus
1. Mengetahui pengertian bunuh diri dan perilaku kekerasan .
2. Mengetahui rentang respon resiko bunuh diri dan perilaku kekerasan .
3. Mengetahui faktor predisposisi dan faktor presipasi bunuh diri dan
perilaku kekerasan.
4. Mengetahui tanda dan gejala dengan resiko bunuh diri dan perilaku
kekerasan.
5. Mengetahui psikopatologi resiko bunuh diri dan perilaku kekerasan.
6. Mengetahui diagnosa keperawatan dan medis klien resiko bunuh diri dan
perilaku kekerasan.
7. Mengetahui penatalaksanaan resiko bunuh diri dan perilaku kekerasan.
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Konsep Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Risiko Perilaku Kekerasan


1. Definisi Perilaku Kekerasan
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan hilangnya kendali perilaku
seseorang yang diarahkan pada diri sendiri, orang lain, atau lingkungan.
Perilaku kekerasan pada diri sendiri dapat berbentuk melukai diri untuk bunuh
diri atau membiarkan diri dalam bentuk penelantaran diri. Perilaku kekerasan
pada orang adalah tindakan agresif yang ditujukan untuk melukai atau
membunuh orang lain. Perilaku kekerasan pada lingkungan dapat berupa
perilaku merusak lingkungan, melempar kaca, genting, dan semua yang ada di
lingkungan. Pasien yang dibawa ke rumah sakit jiwa sebagian besar akibat
melakukan kekerasan di rumah. Perawat harus jeli dalam melakukan
pengkajian untuk menggali penyebab perilaku kekerasan yang dilakukan
selama di rumah.
Perilaku kekerasan merupakan bagian dari rentang respons marah yang
paling maladaptif, yaitu amuk. Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul
sebagai respons terhadap kecemasan (kebutuhan yang tidak terpenuhi) yang
dirasakan sebagai ancaman. (Stuart dan Sundeen, 1991). Amuk merupakan
respons kemarahan yang paling maladaptif yang ditandai dengan perasaan
marah dan bermusuhan yang kuat disertai hilangnya kontrol, yang individu
dapat merusak diri sendiri, orang lain, atau lingkungan (Keliat, 1991).

2. Rentang Respon Marah

Asertif : Kemarahan yang diungkapkan tanpa menyakiti orang lain.


Frustasi : Kegagalan mencapai tujuan, tidak realitas/terhambat.
Pasif : Respons lanjutan yang pasien tidak mampu mengungkapkan
perasaan.
Agresif : Perilaku destruktif tapi masih terkontrol.
Amuk : Perilaku destruktif yang tidak terkontrol.
Perbandingan Perilaku Pasif, Asertif, dan Agresif
KARAKTERISTIK PASIF ASERTIF AMUK
Nada bicara - Negatif. - Positif. - Berlebihan.
- Menghina diri. - Menghargai diri - Menghina
- Dapatkah saya sendiri. orang lain.
lakukan. - Saya dapat - Anda selalu /
- Dapatkah ia lakukan. tidak pernah.
lakukan.
Nada suara - Diam. - Diatur. - Tinggi.
- Lemah. - Menuntut.
- Merengek.
Sikap tubuh - Melorot. - Tegak. - Tegang.
- Menundukkan - Relaks. - Bersandar ke
kepala. depan.
Personal peace - Orang lain - Menjaga jarak - Memiliki
dapat masuk yang teritoral orang
pada teritoral menyenangkan. lain.
pribadinya. - Mempertahankan
hak tempat.
Gerakan - Minimal. - Memperlihatkan - Mengancam
- Lemah. gerak yang ekspansi,
- Resah. sesuai. gerakan.
Kontak mata - Sedikit/ tidak - Sekali- sekali - Melotot.
ada. sesuai dengan
kebutuhan
intraksi.
3. Gejala atau Tanda Marah (Perilaku)
a. Emosi
1) Tidak adekuat
2) Tidak aman
3) Rasa terganggu
4) Marah (dendam)
5) Jengkel
b. Intelektual
1) Mendominasi
2) Bawel
3) Sarkasme
4) Berdebat
5) Meremehkan
c. Fisik
1) Muka merah
2) Pandangan tajam
3) Napas pendek
4) Keringat
5) Sakit fisik
6) Penyalahgunaan zat
7) Tekanan darah meningkat
d. Spiritual
1) Kemahakuasaan
2) Kebijakan/kebenaran diri
3) Keraguan
4) Tidak bermoral
5) Kebejatan
6) Kreativitas terlambat
e. Sosial
1) Menarik diri
2) Pengasingan
3) Penolakan
4) Kekerasan
5) Ejekan
6) Humor

4. Proses Terjadinya Marah

5. Proses Terjadinya Amuk


Amuk adalah respons marah terhadap adanya stres, rasa cemas, harga
diri rendah, rasa bersalah, putus asa, dan ketidakberdayaan. Respons marah
dapat diungkapkan melalui tiga cara yaitu (1) mengungkapkan secara verbal,
(2) menekan, dan (3) menantang. Mengekspresikan rasa marah dengan
perilaku konstruktif dengan menggunakan kata-kata yang dapat dimengerti
dan diterima tanpa menyakiti orang lain akan memberikan kelegaan pada
individu. Apabila perasaan marah diekspresikan dengan perilaku agresif dan
menentang, biasanya dilakukan karena ia merasa kuat.

6. Pengkajian Keperawatan
a. Faktor Predisposisi
1) Psikoanalisis
Teori ini menyatakan bahwa perilaku agresif adalah merupakan hasil
dari dorongan insting (instinctual drives).
2) Psikologis
Berdasarkan teori frustasi-agresif, agresivitas timbul sebagai hasil dari
peningkatan frustasi. Tujuan yang tidak tercapai dapat menyebabkan
frustasi berkepanjangan.
3) Biologis
Bagian-bagian otak yang berhubungan dengan terjadinya
agresivitas sebagai berikut.
- Sistem limbik
Merupakan organ yang mengatur dorongan dasar dan ekspresi
emosi serta perilaku seperti makan, agresif, dan respons seksual.
Selain itu, mengatur sistem informasi dan memori.
- Lobus temporal
Organ yang berfungsi sebagai penyimpan memori dan melakukan
interpretasi pendengaran.
- Lobus frontal
Organ yang berfungsi sebagai bagian pemikiran yang logis, serta
pengelolaan emosi dan alasan berpikir.
- Neurotransmiter
Beberapa neurotransmiter yang berdampak pada agresivitas
adalah serotonin (5-HT), Dopamin, Norepineprin, Acetylcholine,
dan GABA.
4) Perilaku (behavioral)
- Kerusakan organ otak, retardasi mental, dan gangguan belajar
mengakibatkan kegagalan kemampuan dalam berespons positif
terhadap frustasi.
- Penekanan emosi berlebihan (over rejection) pada anak-anak atau
godaan (seduction) orang tua memengaruhi kepercayaan (trust)
dan percaya diri (self esteem) individu.
- Perikaku kekerasan di usia muda, baik korban kekerasan pada
anak (child abuse) atau mengobservasi kekerasan dalam keluarga
memengaruhi penggunaan kekerasan sebagai koping.
Teori belajar sosial mengatakan bahwa perilaku kekerasan adalah
hasil belajar dari proses sosialisasi dari internal dan eksternal, yakni
sebagai berikut.
 Internal : penguatan yang diterima ketika melakukan kekerasan.
 Eksternal : observasi panutan (role model), seperti orang tua,
kelompok, saudara, figur olahragawan atau artis, serta media
elektronik (berita kekerasan, perang, olahraga keras).
5) Sosial cultural
- Norma
Norma merupakan kontrol masyarakat pada kekerasan. Hal ini
mendefinisikan ekspresi perilaku kekerasan yang diterima atau
tidak diterima akan menimbulkan sanksi. Kadang kontrol sosial
yang sangat ketat (strict) dapat menghambat ekspresi marah yang
sehat dan menyebabkan individu memilih cara yang maladaptif
lainnya.
- Budaya asertif di masyarakat membantu individu untuk berespons
terhadap marah yang sehat.
Faktor sosial yang dapat menyebabkan timbulnya agresivitas atau
perilaku kekerasan yang maladaptif antara lain sebagai berikut.
1) Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan hidup.
2) Status dalam perkawinan.
3) Hasil dari orang tua tunggal (single parent).
4) Pengangguran.
5) Ketidakmampuan mempertahankan hubungan interpersonal dan
struktur keluarga dalam sosial kultural.

b. Faktor Presipitasi
Semua faktor ancaman antara lain sebagai berikut.
a. Internal
1) Kelemahan.
2) Rasa percaya menurun.
3) Takut sakit.
4) Hilang kontrol.
b. Eksternal
1) Penganiayaan fisik.
2) Kehilangan orang yang dicintai.
3) Kritik.
7. Diagnosis

Diagnosis Keperawatan :

1. Risiko mencederai diri sendiri dan lingkungan b/d perilaku kekerasan.


2. Perilaku kekerasan b/d harga diri rendah.
8. Rencana Intervensi
a. Tindakan Keperawatan untuk Pasien
1) Tujuan
a) Pasien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
b) Pasien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.
c) Pasien dapat menyebutkan jenis perilaku kekerasan yang pernah
dilakukannya.
d) Pasien dapat menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan yang
dilakukannya.
e) Pasien dapat menyebutkan cara mencegah/mengontrol perilaku
kekerasannya.
f) Pasien dapat mencegah/mengontrol perilaku kekerasannya secara
fisik, spiritual, sosial, dan dengan terapi psikofarmaka.
2) Tindakan
a) Bina hubungan saling percaya.
 Mengucapkan salam terapeutik.
 Berjabat tangan.
 Menjelaskan tujuan interaksi.
 Membuat kontrak topik, waktu, dan tempat setiap kali
bertemu pasien.
b) Diskusikan bersama pasien penyebab perilaku kekerasan saat ini
dan masa lalu.
c) Diskusikan perasaan pasien jika terjadi penyebab perilaku
kekerasan.
 Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara fisik.
 Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara
psikologis.
 Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara sosial.
 Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara
spiritual.
 Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara
intelektual.
d) Diskusikan bersama pasien perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan pada saat marah secara:
 verbal,
 terhadap orang lain,
 terhadap diri sendiri,
 terhadap lingkungan.
e) Diskusikan bersama pasien akibat perilakunya.
f) Diskusikan bersama pasien cara mengontrol perilaku kekerasan
secara:
 fisik, misalnya pukul kasur dan batal, tarik napas dalam
 obat
 sosial/verbal, misalnya menyatakan secara asertif rasa
marahnya
 spiritual, misalnya sholat atau berdoa sesuai keyakinan
pasien.
g) Latih pasien mengontrol perilaku kekerasan secara fisik, yaitu
latihan napas dalam dan pukul kasur/bantal, secara sosial/verbal,
secara spiritual, dan patuh minum obat.
h) Ikut sertakan pasien dalam terapi aktivitas kelompok stimulasi
persepsi mengontrol perilaku kekerasan.
b. Tindakan Keperwatan untuk Keluarga
1) Tujuan
Keluarga dapat merawat pasien di rumah.
2) Tindakan
a) Diskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat
pasien.
b) Diskusikan bersama keluarga tentang perilaku kekerasan
(penyebab, tanda dan gejala, serta perilaku yang muncul dan
akibat dari perilaku tersebut).
c) Diskusikan bersama keluarga kondisi-kondisi pasien yang perlu
segera dilaporkan kepada perawat, seperti melempar atau
memukul benda/orang lain.
d) Latih keluarga merawat pasien dengan perilaku kekerasan.
- Anjurkan keluarga untuk memotivasi pasien melakukan
tindakan yang telah diajarkan oleh perawat.
- Ajarkan keluarga untuk memberikan pujian kepada pasien
bila pasien dapat melakukan kegiatan tersebut secara tepat.
- Diskusikan bersama keluarga tindakan yang harus dilakukan
bila pasien menunjukkan gejala-gejala perilaku kekerasan.
e) Buat perencanaan pulang bersama keluarga.

STRATEGI PENAHANAN

1. Manajemen krisis
a) Identifikasi pemimpin tim krisis.
b) Susun atau kumpulkan tim krisis.
c) Beritahu petugas keamanan yang diperlukan.
d) Pindahkan semua pasien dari area tersebut.
e) Siapkan atau dapatkan alat pengekang (restrains).
f) Susun strategi dan beritahu anggota lain.
g) Tugas penanganan pasien secara fisik.
h) Jelaskan semua tindakan pada pasien, “Kami harus mengontrol Tono,
karena perilaku Tono berbahaya pada Tono dan orang lain. Jika
Tono sudah dapat mengontrol perilakunya, kami akan lepaskan”.
i) Ikat/kekang pasien sesuai instruksi pemimpin (posisi yang nyaman).
j) Berikan obat psikofarmaka sesuai instruksi.
k) Jaga tetap kalem dan konsisten.
l) Evaluasi tindakan dengan tim.
m) Jelaskan kejadian pada pasien lain dan staf seperlunya.
n) Secara bertahap integrasikan pasien pada lingkungan.

2. Pengasingan
Pengasingan dilakukan untuk memisahkan pasien dari orang lain di
tempat yang aman dan cocok untuk tindakan keperawatan. Tujuannya
adalah melindungi pasien, orang lain, dan staf dari bahaya. Hal ini legal
jika dilakukan secara terapeutik dan etis. Prinsip pengasingan antara lain
sebagai berikut (Stuart dan Sundeen, 1995: 738).
a) Pembatasan gerak
 Aman dari mencederai diri.
 Lingkungan aman dari perilaku pasien.
b) Isolasi
 Pasien butuh untuk jauh dari orang lain, contohnya paranoid.
 Area terbatas untuk adaptasi, ditingkatkan secara bertahap.
c) Pembatasan input sensoris
Ruangan yang sepi akan mengurangi stimulus.

3. Pengekangan
Tujuan dari pengekangan adalah mengurangi gerakan fisik pasien,
serta melindungi pasien dan orang lain dari cedera. Indikasi antara lain
sebagai berikut.
a. Ketidakmampuan mengontrol perilaku.
b. Perilaku tidak dapat dikontrol oleh obat atau teknik psikososial.
c. Hiperaktif dan agitasi.
Prosedur pelaksanaan pengekangan adalah sebagai berikut.
a. Jelaskan pada pasien alasan pengekangan.
b. Lakukan dengan hati-hati dan tidak melukai.
c. Ada perawat yang ditugaskan untuk mengontrol tanda vital, sirkulasi,
dan membuka ikatan untuk latihan gerak.
d. Penuhi kebutuhan fisik, yaitu makan, minum, eliminasi, dan
perawatan diri.

9. Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (SP)


Masalah : Perilaku Kekerasan
a. Pasien
Strategi Pelaksanaan I
1. Mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
2. Mengidentifikasi tanda dan gejala perilaku kekerasan.
3. Mengidentifikasi perilaku kekerasan yang dilakukan.
4. Mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.
5. Mengajarkan cara mengontrol perilaku kekerasan.
6. Melatih klien cara mengontrol perilaku kekerasan fisik I (nafas dalam).
7. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.

Strategi Pelaksanaan II
1. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.
2. Melatih pasien cara mengontrol perilaku kekerasan fisik II (memukul
bantal/ kasur/ konversi energi).
3. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.

Strategi Pelaksanaan III


1. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.
2. Melatih pasien cara mengontrol perilaku kekerasan secara verbal
(meminta, menolak, dan mengungkapkan marah secara baik).
3. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.

Strategi Pelaksanaan IV
1. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.
2. Melatih pasien cara mengontrol perilaku kekerasan secara spiritual
(berdoa, berwudhu, sholat)
3. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.

Strategi Pelaksanaan IV
1. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.
2. Menjelaskan cara mengontrol perilaku kekerasan dengan meminum
obat (prinsip 5 benar minum obat).
3. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.

b. Keluarga
Strategi Pelaksanaan I
1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat
pasien.
2. Menjelaskan pengertian perilaku kekerasan, tanda, dan gejala, serta
proses terjadinya perilaku kekerasan.
3. Menjelaskan cara merawat pasien dengan perilaku kekerasan.

Strategi Pelaksanaan II
1. Melatih keluarga mempraktikkan cara merawat pasien dengan perilaku
kekerasan.
2. Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada pasien
perilaku kekerasan.

Strategi Pelaksanaan III


1. Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk
minum obat (discharge planning)
2. Menjelaskan follow Up pasien setelah pulang.
B. Konsep Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Risiko Bunuh Diri
1. Definisi Bunuh Diri
Secara umum, bunuh diri berasal dari bahasa Latin “suicidium”, dengan
“sui” yang berarti sendiri dan “cidium” yang berarti pembunuhan. Schneidman
mendefinisikan bunuh diri sebagai sebuah perilaku pemusnahan secara sadar
yang ditujukan pada diri sendiri oleh seorang individu yang memandang bunuh
diri sebagai solusi terbaik dari sebuah isu.
Dideskripsikan bahwa keadaan mental individu yang cenderung
melakukan bunuh diri telah mengalami rasa sakit psikologis dan perasaan
frustasi yang bertahan lama sehingga individu melihat bunuh diri sebagai satu-
satunya penyelesaian untuk masalah yang dihadapi yang bisa menghentikan
rasa sakit yang dirasakan (dalam Maris dkk., 2000).
Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dandapat
mengakhiri kehidupan. Bunuh diri merupakan keputusan terakhir dariindividu
untuk memecahkan masalah yang dihadapi (Captain, 2008).
Menciderai diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan
dapat mengakhiri kehidupan. Bunuh diri mungkin merupakan keputusan
terakhir dari individu untuk memecahkan masalah yang dihadapi
(Captain,2008).
Bunuh diri merupakan tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan
dapat mengakhiri kehidupan (Wilson dan Kneisl, 1988). Bunuh diri merupakan
kedaruratan psikiatri karena pasien berada dalam keadaan stres yang tinggi dan
menggunakan koping yang maladaptif. Situasi gawat pada bunuh diri adalah
saat ide bunuh diri timbul secara berulang tanpa rencana yang spesifik atau
percobaan bunuh diri atau rencana yang spesifik untuk bunuh diri. Oleh karena
itu, diperlukan pengetahuan dan keterampilan perawat yang tinggi dalam
merawat pasien dengan tingkah laku bunuh diri, agar pasien tidak melakukan
tindakan bunuh diri.
Menurut Stuart dan Sundeen (1995), faktor penyebab bunuh diri adalah
perceraian, pengangguran, dan isolasi sosial. Sementara menurut Tishler
(1981) (dikutip oleh Leahey dan Wright, 1987) melalui penelitiannya
menyebutkan bahwa motivasi remaja melakukan percobaan bunuh diri, yaitu
51% masalah dengan orang tua, 30% masalah dengan lawan jenis, 30%
masalah sekolah, dan 16% masalah dengan saudara.

2. Rentang Respons Protektif Diri

Keterangan :
1. Peningkatan diri yaitu seorang individu yang mempunyai pengharapan,
yakin, dan kesadaran diri meningkat.
2. Pertumbuhan-peningkatan berisiko, yaitu merupakan posisi pada rentang
yang masih normal dialami individu yang mengalami perkembangan
perilaku.
3. Perilaku destruktif diri tak langsung, yaitu setiap aktivitas yang merusak
kesejahteraan fisik individu dan dapat mengarah kepada kematian, seperti
perilaku merusak, mengebut, berjudi, tindakan kriminal, terlibat dalam
rekreasi yang berisiko tinggi, penyalahgunaan zat, perilaku yang
menyimpang secara sosial, dan perilaku yang menimbulkan stres.
4. Pencederaan diri, yaitu suatu tindakan yang membahayakan diri sendiri yang
dilakukan dengan sengaja. Pencederaan dilakukan terhadap diri sendiri,
tanpa bantuan orang lain, dan cedera tersebut cukup parah untuk melukai
tubuh. Bentuk umum perilaku pencederaan diri termasuk melukai dan
membakar kulit, membenturkan kepala atau anggota tubuh, melukai
tubuhnya sedikit demi sedikit, dan menggigit jari.
5. Bunuh diri, yaitu tindakan agresif yang langsung terhadap diri sendiri untuk
mengakhiri kehidupan.
3. Proses Terjadinya Perilaku Bunuh Diri

Setiap upaya percobaan bunuh diri selalu diawali dengan adanya


motivasi untuk bunuh diri dengan berbagai alasan, berniat melaksanakan bunuh
diri, mengembangkan gagasan sampai akhirnya melakukan bunuh diri. Oleh
karena itu, adanya percobaan bunuh diri merupakan masalah keperawatan yang
harus mendapatkan perhatian serius. Sekali pasien berhasil mencoba bunuh
diri, maka selesai riwayat pasien. Untuk itu, perlu diperhatikan beberapa mitos
(pendapat yang salah) tentang bunuh diri.

4. Mitos Tentang Bunuh Diri


a. Mitos: Ancaman bunuh diri hanya cara individu untuk menarik perhatian
dan tidak perlu dianggap serius.
Fakta: Semua perilaku bunuh diri harus dianggap serius.
b. Mitos: Bunuh diri tidak memberi tanda.
Fakta: Delapan dari 10 individu memberi tanda secara verbal atau perilaku
sebelum melakukan percobaan bunuh diri.
c. Mitos: Berbahaya membicarakan pikiran bunuh diri pada pasien.
Fakta: Hal yang paling penting dalam perencanaan keperawatan adalah
pengkajian yang akurat tentang rencana bunuh diri pasien.
d. Mitos: Kecenderungan bunuh diri adalah keturunan.
Fakta: Tidak ada data dan hasil riset yang menyokong pendapat ini karena
pola perilaku bunuh diri bersifat individual.
5. Klasifikasi Bunuh Diri
a. Bunuh diri egoistik
Akibat seseorang yang mempunyai hubungan sosial yang buruk.
b. Bunuh diri altruistik
Akibat kepatuhan pada adat dan kebiasaan.
c. Bunuh diri anomik
Akibat lingkungan tidak dapat memberikan kenyamanan bagi individu.

Pengelompokan Bunuh Diri


1. Isyarat bunuh diri
Isyarat bunuh diri ditunjukkan dengan berperilaku secara tidak
langsung ingin bunuh diri, misalnya dengan mengatakan “Tolong jaga anak-
anak karena saya akan pergi jauh!” atau “Segala sesuatu akan lebih baik
tanpa saya.” Pada kondisi ini pasien mungkin sudah memiliki ide untuk
mengakhiri hidupnya, tetapi tidak disertai dengan ancaman dan percobaan
bunuh diri. Pasien umumnya mengungkapkan perasaan seperti rasa
bersalah/sedih/marah/putus asa/tidak berdaya. Pasien juga mengungkapkan
hal-hal negatif tentang diri sendiri yang menggambarkan harga diri rendah.
2. Ancaman bunuh diri
Ancaman bunuh diri umumnya diucapkan oleh pasien, yang berisi
keinginan untuk mati disertai dengan rencana untuk mengakhiri kehidupan
dan persiapan alat untuk melaksanakan rencana tersebut. Secara aktif pasien
telah memikirkan rencana bunuh diri, tetapi tidak disertai dengan percobaan
bunuh diri. Walaupun dalam kondisi ini pasien belum pernah mencoba
bunuh diri, pengawasan ketat harus dilakukan. Kesempatan sedikit saja dapat
dimanfaatkan pasien untuk melaksanakan rencana bunuh dirinya.
3. Percobaan bunuh diri
Percobaan bunuh diri adalah tindakan pasien mencederai atau
melukai diri untuk mengakhiri kehidupannya. Pada kondisi ini, pasien aktif
mencoba bunuh diri dengan cara gantung diri, minum racun, memotong urat
nadi, atau menjatuhkan diri dari tempat yang tinggi.
6. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian tingkah laku bunuh diri temasuk aplikasi observasi melekat
dan keterampilan mendengar untuk mendeteksi tanda spesifik dan rencana
spesifik. Perawat harus mengkaji tingkat risiko bunuh diri, faktor predisposisi,
presipitasi, mekanisme koping, dan sumber koping pasien. Beberapa kriteria
untuk menilai tingkat risiko bunuh diri seperti pada tabel berikut.
1. Faktor Risiko
a. Menurut Hatton, Valente, dan Rink, 1977 (dikutip oleh Shiver, 1986).

b. Menurut SIRS (Suicidal Intention Rating Scale)


1) Skor 0 : Tidak ada ide bunuh diri yang lalu dan sekarang.
2) Skor 1 : Ada ide bunuh diri, tidak ada percobaan bunuh diri,
tidak mengancam bunuh diri.
3) Skor 2 : Memikirkan bunuh diri dengan aktif, tidak ada
percobaan bunuh diri
4) Skor 3 :Mengancam bunuh diri, misalnya, “Tinggalkan saya
sendiri atau saya bunuh diri”.
5) Skor 4 : Aktif mencoba bunuh diri.
c. Menurut Stuart dan Sundeen (1987)

2. Faktor Perilaku
a. Ketidakpatuhan
Ketidakpatuhan biasanya dikaitkan dengan program pengobatan yang
dilakukan (pemberian obat). Pasien dengan keinginan bunuh diri
memilih untuk tidak memperhatikan dirinya.
b. Pencederaan diri
Cedera diri adalah sebagai suatu tindakan membahayakan diri sendiri
yang dilakukan dengan sengaja. Pencederaan diri dilakukan terhadap diri
sendiri, tanpa bantuan orang lain, dan cedera tersebut cukup parah untuk
melukai tubuh.
c. Perilaku bunuh diri
Biasanya dibagi menjadi tiga kategori, yaitu sebagai berikut.
1) Ancaman bunuh diri, yaitu peringatan verbal dan nonverbal bahwa
orang tersebut mempertimbangkan untuk bunuh diri. Orang tersebut
mungkin menunjukkan secara verbal bahwa ia tidak akan berada di
sekitar kita lebih lama lagi atau mungkin juga mengomunikasikan
secara nonverbal melalui pemberian hadiah, merevisi wasiatnya, dan
sebagainya.
2) Upaya bunuh diri, yaitu semua tindakan yang diarahkan pada diri
sendiri yang dilakukan oleh individu yang dapat mengarahkan pada
kematian jika tidak dicegah.
3) Bunuh diri mungkin terjadi setelah tanda peringatan terlewatkan atau
terabaikan. Orang yang melakukan upaya bunuh diri dan yang tidak
benar-benar ingin mati mungkin akan mati jika tanda-tanda tersebut
tidak diketahui tepat pada waktunya.
3. Faktor Lain
Faktor lain yang perlu diperhatikan dalam pengkajian pasien destruktif diri
(bunuh diri) adalah sebagai berikut (Stuart dan Sundeen, 1995).
a. Pengkajian lingkungan upaya bunuh diri.
1) Presipitasi peristiwa kehidupan yang menghina/menyakitkan.
2) Tindakan persiapan/metode yang dibutuhkan, mengatur rencana,
membicarakan tentang bunuh diri, memberikan barang berharga
sebagai hadiah, catatan untuk bunuh diri.
3) Penggunaan cara kekerasan atau obat/racun yang lebih mematikan.
4) Pemahaman letalitas dari metode yang dipilih.
5) Kewaspadaan yang dilakukan agar tidak diketahui.
b. Petunjuk gejala
1) Keputusasaan.
2) Celaan terhadap diri sendiri, perasaan gagal, dan tidak berharga.
3) Alam perasaan depresi.
4) Agitasi dan gelisah.
5) Insomnia yang menetap.
6) Penurunan berat badan.
7) Berbicara lamban, keletihan, menarik diri dari lingkungan sosial.
c. Penyakit psikiatrik
1) Upaya bunuh diri sebelumnya.
2) Kelainan afektif.
3) Alkoholisme dan atau penyalahgunaan obat.
4) Kelainan tindakan dan depresi pada remaja.
5) Demensia dini dan status kekacauan mental pada lansia.
6) Kombinasi dari kondisi di atas.
d. Riwayat psikososial
1) Baru berpisah, bercerai, atau kehilangan.
2) Hidup sendiri.
3) Tidak bekerja, perubahan, atau kehilangan pekerjaan yang baru
dialami.
4) Stres kehidupan ganda (pindah, kehilangan, putus hubungan yang
berarti, masalah sekolah, ancaman terhadap krisis disiplin).
5) Penyakit medis kronis.
6) Minum yang berlebihan dan penyalahgunaan zat.
e. Faktor-faktor kepribadian
1) Impulsif, agresif, rasa bermusuhan.
2) Kekakuan kognitif dan negatif.
3) Keputusasaan.
4) Harga diri rendah.
5) Batasan atau gangguan kepribadian antisosial.
f. Riwayat keluarga
1) Riwayat keluarga berperilaku bunuh diri.
2) Riwayat keluarga gangguan afektif, alkoholisme, atau keduanya.
4. Faktor Predisposisi
Mengapa individu terdorong untuk melakukan bunuh diri? Banyak pendapat
tentang penyebab dan atau alasan termasuk hal-hal berikut.
a. Kegagalan atau adaptasi, sehingga tidak dapat menghadapi stres.
b. Perasaan terisolasi dapat terjadi karena kehilangan hubungan
interpersonal atau gagal melakukan hubungan yang berarti.
c. Perasaan marah atau bermusuhan. Bunuh diri dapat merupakan hukuman
pada diri sendiri.
d. Cara untuk mengakhiri keputusasaan.
e. Tangisan minta tolong.
Lima domain faktor risiko menunjang pada pemahaman perilaku
destruktif diri sepanjang siklus kehidupan, yaitu sebagai berikut.
1) Diagnosis psikiatri
Lebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya dengan
bunuh diri mempunyai hubungan dengan penyakit jiwa. Tiga
gangguan jiwa yang dapat membuat individu berisiko untuk bunuh
diri yaitu gangguan afektif, skizofrenia, dan penyalahgunaan zat.
2) Sifat kepribadian
Tiga aspek kepribadian yang berkaitan erat dengan besarnya risiko
bunuh diri adalah rasa bermusuhan, impulsif, dan depresi.
3) Lingkungan psikososial
Baru mengalami kehilangan, perpisahan atau perceraian, kehilangan
yang dini, dan berkurangnya dukungan sosial merupakan faktor
penting yang berhubungan dengan bunuh diri.
4) Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan
faktor risiko penting untuk perilaku destruktif.
5) Faktor biokimia
Data menunjukkan bahwa secara serotonegik, opiatergik, dan
dopaminergik menjadi media proses yang dapat menimbulkan
perilaku merusak diri.
Faktor penyebab tambahan terjadinya bunuh diri antara lain sebagai
berikut (Cook dan Fontaine, 1987).
a) Penyebab bunuh diri pada anak
- Pelarian dari penganiayaan dan pemerkosaan.
- Situasi keluarga yang kacau.
- Perasaan tidak disayangi atau selalu dikritik.
- Gagal sekolah.
- Takut atau dihina di sekolah.
- Kehilangan orang yang dicintai.
- Dihukum orang lain.
b) Penyebab bunuh diri pada remaja.
- Hubungan interpersonal yang tidak bermakna.
- Sulit mempertahankan hubungan interpersonal.
- Pelarian dari penganiayaan fisik atau pemerkosaan.
- Perasaan tidak dimengerti orang lain.
- Kehilangan orang yang dicintai.
- Keadaan fisik.
- Masalah dengan orang tua.
- Masalah seksual.
- Depresi.
c) Penyebab bunuh diri pada mahasiswa.
- Self ideal terlalu tinggi.
- Cemas akan tugas akademik yang terlalu banyak.
- Kegagalan akademik berarti kehilangan penghargaan dan kasih
sayang orang tua.
- Kompetisi untuk sukses.
d) Penyebab bunuh diri pada usia lanjut.
- Perubahan status dari mandiri ke ketergantungan.
- Penyakit yang menurunkan kemampuan berfungsi.
- Perasaan tidak berarti di masyarakat.
- Kesepian dan isolasi sosial.
- Kehilangan ganda, seperti pekerjaan, kesehatan, pasangan.
- Sumber hidup bergantung.
5. Faktor Presipitasi
a. Psikososial dan klinik
1) Keputusasaan
2) Ras kulit putih
3) Jenis kelamin laki-laki
4) Usia lebih tua
5) Hidup sendiri
b. Riwayat
1) Pernah mencoba bunuh diri.
2) Riwayat keluarga tentang percobaan bunuh diri.
3) Riwayat keluarga tentang penyalahgunaan zat.
c. Diagnostis
1) Penyakit medis umum
2) Psikosis
3) Penyalahgunaan zat
6. Sumber Koping
Tingkah laku bunuh diri biasanya berhubungan dengan faktor sosial dan
kultural. Durkheim membuat urutan tentang tingkah laku bunuh diri. Ada
tiga subkategori bunuh diri berdasarkan motivasi seseorang, yaitu sebagai
berikut.
a. Bunuh diri egoistik
Akibat seseorang yang mempunyai hubungan sosial yang buruk.
b. Bunuh diri altruistik
Akibat kepatuhan pada adat dan kebiasaan.
c. Bunuh diri anomik
Akibat lingkungan tidak dapat memberikan kenyamanan bagi individu.
7. Mekanisme Koping
Mekanisme pertahanan ego yang berhubungan dengan perilaku
pengerusakan diri tak langsung adalah pengingkaran (denial). Sementara,
mekanisme koping yang paling menonjol adalah rasionalisasi,
intelektualisasi, dan regresi.

7. Diagnosis
Masalah keperawatan yang dapat muncul adalah risiko bunuh diri b/d
harga diri rendah.

8. Rencana Intervensi
1. Tindakan Keperawatan untuk Pasien
a. Tujuan
Pasien tetap aman dan selamat.
b. Tindakan
Untuk melindungi pasien yang mengancam atau mencoba
bunuh diri, maka Anda dapat melakukan tindakan berikut.
- Menemani pasien terus- menerus sampai dia dapat dipindahkan
ke tempat yang aman.
- Menjauhkan semua benda yang berbahaya, misalnya pisau, silet,
gelas, tali pinggang.
- Memeriksa apakah pasien benar- benar telah meminum obatnya,
jika pasien mendapatkan obat.
- Menjelaskan dengan lembut pada pasien bahwa Anda akan
melindungi pasien sampai tidak ada keinginan bunuh diri.

2. Tindakan Keperawatan untuk Keluarga


a. Tujuan
Keluarga berperan serta melindungi anggota keluarga yang
mengancam atau mencoba bunuh diri.
b. Tindakan
- Menganjurkan keluarga untuk ikut mengawasi pasien serta jangan
pernah meninggalkan pasien sendirian.
- Menganjurkan keluarga untuk membantu perawat menjauhi
barang- barang berbahaya di sekitar pasien.
- Mendiskusikan dengan keluarga untuk tidak sering melamun
sendiri.
- Menjelaskan kepada keluarga pentingnya pasien minum obat
secara teratur.

9. Isyarat Bunuh Diri dengan Diagnosis Harga Diri Rendah


1. Tindakan Keperawatan untuk Pasien Isyarat Bunuh Diri
a. Tujuan
- Pasien mendapat perlindungan dari lingkungannya.
- Pasien dapat mengungkapkan perasaannya.
- Pasien dapat meningkatkan harga dirinya.
- Pasien dapat menggunakan cara penyelesaian masalah yang baik.
b. Tindakan
- Mendiskusikan tentang cara mengatasi keinginan bunuh diri,
yaitu dengan meminta bantuan dari keluarga atau teman.
- Meningkatkan harga diri pasien dengan cara member kesempatan
pasien mengungkapkan perasaannya, berikan pujian bila pasien
dapat mengatakan perasaan yang positif, meyakinkan pasien
bahwa dirinya penting, membicarakan keadaan yang sepatutnya
disyukuri oleh pasien, dan merencanakan aktivitas yang dapat
pasien lakukan.
- Meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah dengan cara
mendiskusikan dengan pasien cara menyelesaikan masalahnya,
mendiskusikan dengan pasien efektivitas masing- masing cara
penyelesaian masalah, dan mendiskusikan dengan pasien cara
menyelesaikan masalah yang lebih baik.

2. Tindakan Keperawatan untuk Keluarga dengan Pasien Isyarat Bunuh Diri


a. Tujuan
Keluarga mampu merawat pasien dengan risiko bunuh diri.
b. Tindakan
- Mengajarkan keluarga tentang tanda dan gejala bunuh diri,
dengan cara menanyakan keluarga tentang tanda dan gejala bunuh
diri yang pernah muncul pada pasien serta mendiskusikan tentang
tanda dan gejala yang umumnya muncul pada pasien berisiko
bunuh diri.
- Mengajarkan keluarga cara melindungi pasien dari perilaku
bunuh diri, dengan cara mendiskusikan tentang cara yang dapat
dilakukan keluarga bila pasien memperlihatkan tanda dan gejala
bunuh diri, menjelaskan tentang cara- cara melindungi pasien
(memberikan tempat yang aman dan mudah diawasi, menjauhkan
barang- barang yang bisa digunakan untuk bunuh diri, selalu
mengadakan dan meningkatkan pengawasan apabila tanda dan
gejala bunuh diri meningkat), menganjurkan keluarga untuk
melaksanakan cara tersebut di atas.
- Mengajarkan keluarga tentang hal- hal yang dapat dilakukan
apabila pasien melakukan percobaan bunuh diri antara lain,
mencari bantuan pada tetangga sekitar atau pemuka masyarakat
untuk menghentikan upaya bunuh diri tersebut dan segera
membawa pasien ke rumah sakit atau puskesmas mendapatkan
bantuan medis.
- Membantu keluarga mencari rujukan fasilitas kesehatan yang
tersedia bagi pasien, dengan memberikan informasi tentang
nomor telepon darurat tenaga kesehatan, menganjurkan keluarga
untuk mengantarkan pasien berobat/ kontrol secara teratur untuk
mengatasi masalah bunuh dirinya, dan menganjurkan keluarga
untuk membantu pasien minum obat sesuai prinsip lima benar
yaitu benar orangnya, benar obatnya, benar dosisnya, benar cara
penggunaannya, dan benar waktu penggunaannya.
10. Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (SP)
Masalah : Risiko Bunuh Diri
a. Pasien
Strategi Pelaksanaan I
1. Mengidentifikasi benda-benda yang dapat membahayakan pasien.
2. Mengamankan benda-benda yang dapat membahayakan pasien.
3. Melakukan kontrak treatment.
4. Mengajarkan cara mengendalikan dorongan bunuh diri.
5. Melatih cara mengendalikan dorongan bunuh diri.

Strategi Pelaksanaan II
1. Mengidentifikasi aspek positif pasien.
2. Mendorong pasien untuk berfikir positif terhadap diri.
3. Mendorong pasien untuk menghargai diri sebagai individu yang
berharga.

Strategi Pelaksanaan III


1. Mengidentifikasi pola koping yang biasa diterapkan pasien.
2. Menilai pola koping yang biasa dilakukan.
3. Megidentifikasi pola koping yang konstruktif.
4. Menganjurkan pasien memilih pola koping yang konstruktif.
5. Menganjurkan pasien menerapkan pola koping yang konstruktif
dalam kegiatan harian.

Strategi Pelaksanaan IV
1. Membuat rencana masa depan yang realistis bersama pasien.
2. Mengidentifiksai cara mencapai rencana masa deapan yang realistis.
3. Member dorongan pasien melakukan kegiatan dalam rangka meraih
masa depanyang realistis.
b. Keluarga
Strategi Pelaksanaan I
1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat
pasien.
2. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala resiko bunuh diri, dan jenis
perilakubunuh diri yang dialami pasien beserta proses terjadinya.
3. Menjelaskan cara-cara merawat pasien resiko bunuh diri.

Strategi Pelaksanaan II
1. Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan resiko
bunuh diri.
2. Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada pasien
resiko bunuh diri.

Strategi Pelaksanaan III


1. Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk
minum obat.
2. Mendiskusikan sumber rujukan yang bias dijangkau oleh keluarga.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan hilangnya kendali perilaku
seseorang yang diarahkan pada diri sendiri, orang lain, atau lingkungan. Perilaku
kekerasan pada diri sendiri dapat berbentuk melukai diri untuk bunuh diri atau
membiarkan diri dalam bentuk penelantaran diri. Perilaku kekerasan pada orang
adalah tindakan agresif yang ditujukan untuk melukai atau membunuh orang
lain. Perilaku kekerasan pada lingkungan dapat berupa perilaku merusak
lingkungan, melempar kaca, genting, dan semua yang ada di lingkungan. Pasien
yang dibawa ke rumah sakit jiwa sebagian besar akibat melakukan kekerasan di
rumah. Perawat harus jeli dalam melakukan pengkajian untuk menggali
penyebab perilaku kekerasan yang dilakukan selama di rumah.
Bunuh diri merupakan kedaruratan psikiatri karena pasien berada dalam
keadaan stres yang tinggi dan menggunakan koping yang maladaptif. Situasi
gawat pada bunuh diri adalah saat ide bunuh diri timbul secara berulang tanpa
rencana yang spesifik atau percobaan bunuh diri atau rencana yang spesifik
untuk bunuh diri. Oleh karena itu, diperlukan pengetahuan dan keterampilan
perawat yang tinggi dalam merawat pasien dengan tingkah laku bunuh diri, agar
pasien tidak melakukan tindakan bunuh diri.
B. Saran
Hindarkan hal-hal yang bisa menyebabkan marah yaitu mengungkit
masalah tentang keinginan yang tidak terpenuhi, menjauhi hal-hal yang
menyebabkan klien jengkel. Ekspresikan marah dengan menggunakan kata-kata
yang dapat dimengerti dan diterima tanpa menyakiti orang lain.
Tindakan bunuh diri adalah tindakan yang bodoh karena tindakan ini
bertentangan dengan norma yang ada di masyarakat serta agama. Bunuh diri
jangan dijadikan pilihan terakhir dalam pemecahan masalah karena masih
banyak jalan yang bisa kita tempuh dalam memecahkan masalah, jika kita
memiliki sebuah masalah dan tidak mampu mmenyelesaikannya maka kita bisa
meminta bantuan kepada sahabat atau orang-orang yang ada di dekat kita.
DAFTAR PUSTAKA
Ah. Yusuf, Rizky Fitryasari PK, Hanik Endang Nihayati. 2015. Buku Ajar
Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.
Aulia, Nisa. 2016. Analisis hubungan faktor risiko bunuh diri dengan ide bunuh diri
pada remaja di Kota Rengat Tahun 2016, 20-26.
Direja, A H . 2011. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika.
Dwi, A S., & Prihatini, E .2014 .Keefektifan Penggunaan Restrain terhadap
Penurunan Perilaku Kekerasan Pada Pasien Skizofrenia. Jurnal Terpadu Ilmu
Kesehatan, 138 – 139.
Fitria, N. 2010. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan PEndahuluan dan
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan ( LP dan SP ). Jakarta: Salemba
Medika.
Fitriana, Yuni dkk. 2015. Faktor- faktor yang berhubungan dengan perilaku orang
tua dalam melakukan kekerasan verbal terhadap anak usia pra- sekolah.
Jurnal Psikologi Undip, Vol. 14, 81-93.
Hufad, H. Ahmad. 2003. Perilaku kekerasan : Analisis Menurut Sistem Budaya dan
Implikasi Edukatif, 52-61.
Muhith, Adul . 2015 . Pendidikan Keperawatan Jiwa Teori dan Aplikasi. Ed. 1,
Yogyakarta: Andi.

Anda mungkin juga menyukai