Setelah Kemerdekaan
Setelah Kemerdekaan
Keberadaan hukum adat masih dipertanyakan terutama berkisar, mampukah hukum adat
itu untuk membawa bangsa kearah kemajuan. Mengenai hal ini ada pendapat yang saling
bertentangan. Apakah yang harus kita utamakan untuk bangsa ini, apakah kita mengutamakan
kemajuan bidang ekonomi atau mengutamakan rasa kebanggaan terhadap rasa nasionalisame.
Jika yang diutamakan adalah pembangunan bidang ekonomi, maka hukum adat tidak tepat untuk
dijadikan dasar dalam pembentukan hukum nasional. Tetapi apabila yang diprioritaskan adalah
menumbuhkan rasa kebanggaan sebagai suatu bangsa yang berdaulat, maka hukum adat itulah
yang harus dijadikan sumber hukum nasional.
Persoalan yang dihadapi tetap sama yaitu persoalan dalam menentukan hukum apa yang
akan digunakan dalam rangka pembentukan hukum nasional. Ada peristiwa yang relevan untuk
dikaji dalam rangka pembentukan hukum dikade tersebut. Salah satu peristiwa tersebut adalah
pembebasan Irian Barat yang berpengaruh dalam menumbuhkan rasa nasionalisme. Hal ini juga
berimbas terhadap hukum, ada rasa kebencian terhadap sesuatu yang bersumber dari barat
termasuk hukumnya, sehingga isu hukum adat tetap kuat untuk dijadikan dasar dalam
pembentukan hukum nasional. Keadaan ini ditambah pula dengan pernyataan Sukarno tanggal 5
Juli 1956 yang menyatakan “Revolusi Belum Selesai”.Pada awal tahun 1960, pemerintah
mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan hukum adat, yaitu :Pemerintah pada
waktu itu mengeluarkan Tap MPR No II/1960 yang menyatakan Hukum adatlah yang dijadikan
landasan atau dasar pembentukan hukum nasional. Dikeluarkan pula UU No 5 Tahun 1960
tentang Peraturan dasar Pokok-pokok agraria. Perhatikan Pasal 5 yang berbunyi : Hukum agraria
yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan
sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini
dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur
yang bersandar pada hukum agama Kemudian diaktifkannya kembali LPHN tahun 1961 (LPHN
dibentuk tahun 1958).Tugas LPHN yaitu “Berupaya untuk menciptakan kodifikasi dan unifikasi
hukum nasional yang bersumber dari hukum adat, namun tetap mengarahkan para upaya
pemodernan hukum, agar dapat diterima oleh dunia internasional.
Pada masa orde baru yang menjadi prioritas adalah pembangunan sektor ekonomi. Rule
of law dijalankan namun dengan satu tujuan yaitu untuk peningkatan ekonomi semata – mata.
Prinsip yang berkembang adalah “ekonomi Indonesia tidak akan bangkit tanpa bantuan asing”.
Asing tidak akan mau menanamkan modal di Indonesia, jika tidak dijamin oleh sektor hukum.
Akibatnya hukum harus benar-benar dijalankan. Sehingga muncul istilah tool of social
enginering.Hal ini tentu berpengaruh pada hukum yang ada. Untuk mendukung peningkatan
ekonomi tersebut, maka hukum harus sesuai dengan asing, secara otomatis hukum yang
dijadikan sumber adalah hukum barat, namun hukum adat tetap digunakan bersama – sama
dengan hukum barat. Di era itu hukum banyak yang bersumber dari barat yang masuk ke
Indonesia. Misalnya lembaga – lembaga hukum yang bersumber dari Amerika yang sama sekali
tidak dikenal dalam sistem hukum adat. Peristiwa yang menonjol pada waktu itu adalah
dikeluarkannya Tap MPR No. XX/1966 Tentang hirarki perundang-undangan dan sumber tertib
hukum. Dari produk hukum di atas, terlihat bahwa peran eksekutif terlihat lebih menonjol dari
legislatif.
Pada era ini timbul keinginan untuk meninggalkan rasa kejenuhan yang selama ini telah
diciptakan. Khusus dibidang hukum rasa kejenuhan itu adalah kejenuhan terhadap produk hukum
yang sumbernya dari atas (Top Down), sehingga ada keinginan hukum itu bersumber dari bawah
(Bottom Up). Kemudian adanya keinginan untuk perubahan secara cepat dan dapat diberlakukan
seketika, temasuk dibidang hukum. Akibatnya, hukum yang diciptakan bersifat pragmatis (hanya
untuk kepentingan sesaat) dan bukan dogmatis.Pada era reformasi ini telah terjadi empat kali
amandemen UUD 1945. Pasal yang berkenaan dengan hukum adat mulai dimasukkan dalam
Pasal Pasal 18B ayat 2 dan Pasal 28 ayat 3 UUD 1945 amandemen kedua dan belum mengalami
perubahan hingga amandemen keempat. Namun, konsep masyarakat hukum adat adalah konsep
yang masih terlalu umum, yang memerlukan penjelasan lebih lanjut. Lebih lanjut pengaturan
mengenai masyarakat hukum adat ditemui dalam Pasal 51 ayat (1) huruf b UU No. 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) yang merumuskan salah satu kategori pemohon adalah
: “Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.
Menurut MK, suatu kesatuan masyarakat hukum adat untuk dapat dikatakan secara de facto
masih hidup (actual existence) baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat
fungsional setidak-tidaknya mengandung unsur-unsur:
1. Adanya masyarakat yang masyarakatnya memiliki perasaan kelompok (in group feeling)
4. Adanya perangkat norma hukum adat. Khusus pada kesatuan masyarakat hukum adat yang
bersifat teritorial juga terdapat unsure
4. Apa yang membedakan penggunaan Hukum Adat sebelum dan sesudah Kemerdekaan?
Jawaban:
Pada masa sebelum kemerdekaan hukum adat lebih kuat karena ditaati oleh masyarakat
pada masa itu karena mengandung nilai-nilai keagamaan, kesusilaan, dan tradisi serta
nilai kebudayaan yang tinggi. Karena pada ini belum ada hukum nasional sehingga sifat
hukum adat masih sangat kental. Pada masa setelah kemerdekaan sampai sekarang
hukum adat masih tetap dipakai akan tetapi ada beberapa hal yang disimpangi karena
suatu kepentingan. Hingga saat ini hukum adat masih berlaku dan dipatuhi walaupun
sudah ada hukum nasional.