Anda di halaman 1dari 24

DEKOMPOSISI SERASAH

Nama : Siska Noviana Dewi


NIM : B1A017018
Rombongan : II
Kelompok :2
Asisten : Destalinda Rika Safira

LAPORAN PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI LINGKUNGAN

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2019
I. PENDAHULUAN

Dekomposisi serasah merupakan proses perombakan bahan organik yang


berasal dari hewan atau tumbuhan, baik secara fisik maupun kimia menjadi senyawa
anorganik sederhana oleh mikroorganisme tanah. Kecepatan proses dekomposisi
tergantung pada kondisi lingkungan, jenis tanaman, komposisi bahan kimia tanaman
dan umur tegakan. Manfaat yang dapat dihasilkan berupa nutrisi untuk pertumbuhan
tanaman secara normal (Dita, 2007 dalam Watumlawar et al., 2019).
Dekomposer yang berperan dalam proses dekomposisi serasah seperti
mikroba, jamur, jenis-jenis serangga, dan molluska. Makhluk lain yang berperan
sebagai dekomposer awal di tanah dekat perairan adalah makrobentos yang akan
memotong-motong serasah menjadi ukuran yang lebih kecil. Dekomposisi
dilanjutkan dengan proses biologi yang dilakukan oleh bakteri dan fungi sebagai
dekomposer untuk menguraikan partikel-partikel organik dengan mengeluarkan
enzim sehingga dapat menguraikan bahan organik menjadi protein (Sari et al., 2017).
Bakteri yang berperan dalam dekomposisi serasah merupakan jenis bakteri selulolitik
yang memiliki manfaat untuk mendegradasi selulosa sehingga dapat dimanfaatkan
untuk peningkatan penyerapan nutrisi bahan alam berserat misalnya Pseudomonas
aeruginosa sebagai bakteri selulolitik dominan pada sampel lumpur, kayu lapuk dan
serasah daun (Kurniawan et al., 2018).
Dekomposisi terbentuk melalui proses fisika dan kimia yang mereduksi hara
kimia bahan organik mati pada tumbuhan dan binatang. Dekomposisi bahan organik
seperti mempunyai dua tahap proses. Pertama, ukuran partikel yang besar dipecah
menjadi bagian yang lebih kecil dan dapat direduksi secara kimia. Kedua, bagian
hasil pecahan kecil dari bahan organik direduksi dan dimineralisasi untuk
melepaskan unsur dasar dari protein, karbohidrat, lemak, dan mineral yang dapat
dikonsumsi, diserap oleh organisme lalu dihanyutkan oleh sistem (Golley, 1983).
Peran serasah dalam proses penyuburan tanah dan tanaman sangat tergantung pada
laju produksi dan laju dekomposisinya. Selain itu komposisi serasah akan sangat
menentukan dalam penambahan hara ke tanah dan dalam menciptakan substrat yang
baik bagi organisme pengurai (Sudomo & Ary, 2017). Laju dekomposisi serasah
mengalami perubahan atau penyusutan bobot serasah yang tidak konstan, namun
berubah dari waktu ke waktu atau cenderung menurun mengikuti waktu. Tahap awal
proses dekomposisi bobot serasah menyusut mengikuti hilangnya bahan-bahan yang
mudah larut dalam air, yaitu yang memiliki struktur sederhana dan ukuran molekul
kecil seperti glukosa, asam amino dan senyawa-senyawa fenol. Apabalia bahan
tersebut habis, yang tersisa adalah bahan-bahan yang memiliki struktur lebih
kompleks dan ukuran molekul yang jauh lebih besar seperti lignin dan selulosa yang
akan didekomposisi oleh biota dekomposer (Hanif et al., 2015).
Dekomposisi serasah dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan kandungan
serasahnya sendiri. Faktor lingkungan yang mempengaruhi dari produksi dan laju
dekomposisi diantaranya adalah curah hujan dan kecepatan angin, temperature,
salinitas dan pH tanah, tekstur sedimen, bahan organik. Beberapa faktor lainnya
adalah seperti jenis tanah, tingkat salinitas, pH tanah, temperature lingkungan,
kandungan dalam bahan tanaman dan lain-lain (Widhitama et al., 2016). Serasah
yang memiliki kandungan unsur hara yang tinggi akan lebih cepat mengalami proses
dekomposisi. Serasah yang kaya nutrisi cenderung lebih cepat terdekomposisi
daripada serasah yang miskin nutrisi pada lantai hutan yang sama (Sari et al., 2017).
Faktor lainnya adalah adanya organisme dekomposer yang mengubah komposisi
kimia tanaman, dengan demikian mengubah kualitas serasah untuk dekomposisi
(Hanif et al., 2015).
Serasah dapat dijumpai di berbagai tempat khususnya di sawah dan hutan.
Sawah merupakan tanah yang digunakan untuk menanami padi secara terus-menerus
sepanjang tahun maupun bergiliran dengan tanaman palawija. Tanah sawah berasal
dari tanah kering yang diairi kemudian disawahkan, atau dari tanah rawa yang
dikeringkan dengan membuat saluran drainase. Penggenangan selama pertumbuhan
padi dan pengolahan tanah kering yang disawahkan dapat menyebabkan berbagai
perubahan sifat baik secara morfologi, fisika, kimia, mikrobiologi, maupun sifat-sifat
lainnya sehingga tanah akan berbeda sifatnya dengan tanah aslinya (Hardjowigeno et
al. 2004). Hal ini berbeda dengan tanah hutan adalah tanah yang terbentuk di bawah
pengaruh vegetasi hutan. Hal ini didasarkan atas dalamnya perakaran; organisne
tanah yang spesifik dan hasil proses dekomposisi bahan organis berupa unsur basa-
basa seperti N, P, K, Ca dan Mg selain dihasilkan pula berupa asam-asam humin
seperti asam posfat dan asam nitrat serta yang lainnya. Jadi secara alami keperluan
unsur hara bagi tanaman dapat terpenuhi melalui siklus hara yang relative tertutup
yang terjadi antara tanaman dan tanah hutan (Yamani, 2012).
Beberapa serasah yang dijumpai di lingkungan adalah jerami dan daun jambu.
Jerami merupakan limbah pertanian yang mengandung selulosa, hemiselulosa dan
lignin yang tinggi. Jerami padi mengandung 30-45% selulosa, 20-25% hemiselulosa,
15-20% lignin, dan silika. Kandungan selulosa yang tinggi pada jerami padi dapat
dimanfaatkan sebagai media alternatif pertumbuhan jamur merang melalui proses
pengomposan dengan tambahan kapur pertanian (CaCO3), dedak dan air (Suparti et
al., 2018). Kandungan jerami berbeda dengan daun jambu yang memiliki kandungan
metabolit sekunder, terdiri dari tanin, polifenolat, flovanoid, menoterpenoid,
siskulterpen, alkaloid, kuinon dan saponin, minyak atsiri, serta memiliki kandungan
yang tinggi pada selulosa 28%, hemiselulosa 46,3%, dan lignin 25,7% (Sharma et
al., 1999).
Tujuan praktikum acara kali ini yaitu untuk mengevaluasi kecepatan
dekomposisi serasah daun oleh konsorsium mikroorganisme.
II. MATERI DAN CARA KERJA

A. Materi

Alat-alat yang digunakan dalam praktikum kali ini yaitu cawan petri,
jaring pembungkus, baskom, botol, soiltester, tabung reaksi, sprayer, bunsen,
batang drűgalsky, timbangan analitik, sendok, oven, glass objek, pipet tetes, jarum
ose, filler, pipet ukur, kalkulator, kamera dan mikroskop.
Bahan yang digunakan adalah daun jambu air, jerami padi, tanah sawah,
tanah hutan, aluminium foil, medium Nutrient Agar (NA), medium Potato
Dextrose Agar (PDA), Gram A (crystal violet), Gram B (Lugol’s iodine), Gram C
(Etanol 96%), dan Gram D (safranin), dan akuades.

B. Cara Kerja

1. Preparasi Sampel
a. Perlakuan
Daun jambu air atau jerami padi diambil sebanyak dua helai
kemudian dibungkus ke dalam jaring, lalu dimasukkan ke tanah yang ada di
dalam baskom pertama. Cara yang sama dilakukan untuk baskom kedua dan
ketiga. Ketiga baskom diberikan label M1 (minggu pertama), M2 (minggu
kedua), dan M3 (Minggu ketiga), lalu disiram setiap hari jika tanah kering.
b. Kontrol
Daun jambu air atau jerami padi diambil kemudian dibungkus ke
dalam jaring lalu dimasukkan ke dalam tanah steril pada botol.
2. Pengukuran PH dan Kelembaban
Tanah yang berisi daun diukur pH dan kelembabannya dengan soil
tester setiap mingu
3. Pengukuran Berat Kering daun
Daun jambu air atau jerami padi dioven selama 30 menit pada suhu
800 C kemudian ditimbang
4. Pengukuran Jumlah Mikroorganisme (TPC)
Tanah Perlakuan diambil sebanyak 1 gr, lalu dilakukan pengenceran
sampai 10-5 secara aseptis. Pengenceran ke 10-4 dan 10-5 masing-masing
dilakukan plating secara duplo pada medium NA dan PDA. Hasil plating
kemudian diinkubasi, untuk medium NA selama 2 x 24 jam dan PDA selama
5 x 24 jam dalam suhu ruang.
5. Pewarnaan Gram
Langkah pertama, isolat bakteri dominan pada cawan yang berisi
medium NA dengan cara aseptis diulas pada gelas objek yang telah ditetesi
akuades, kemudian difiksasi 2 sampai 3 kali. Langkah kedua objek gelas
tersebut selanjutnya ditetesi dengan crystal violet dan didiamkan selama 60
detik kemudian dicuci dan dikering anginkan. Langkah kedua objek gelas
selanjutnya ditetesi dengan Lugol’s Iodine dan didiamkan selama 60 detik
kemudian dicuci dan dikeringanginkan. Langkah ketiga yaitu objek gelas
ditetesi dengan etanol 96% sampai jernih kemudian dicuci dan
dikeringanginkan. Langkah keempat objek gelas ditetesi dengan Safranin dan
didiamkan selama 45 menit kemudian dicuci dan dikering anginkan. Terakhir
objek gelas diamati dibawah mikroskop dengan interpretasi bakteri Gram
positif berwarna ungu dan bakteri Gram negatif berwarna merah.
6. Penghitungan Densitas (TPC)
Bakteri dan jamur hasil inkubasi sebelumnya kemudian di lakukan
penghitungan dengan rumus:
1 1
CFU’s/ml = Jumlah Koloni x x
p sp/pp
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 3.1 Hasil Plating pada medium NA 10-4 Minggu Ke-0

Gambar 3.2 Hasil Plating pada medium NA 10-4 Minggu Ke-0

Berdasarkan hasil plating pada medium NA di minggu ke-0 didapatkan pada


pengenceran 10-4 pada cawan 1 terdapat 6 sedangkan cawan 2 terdapat 3 koloni
sehingga total koloni terdapat 9. Pengenceran 10-5 didapatkan koloni cawan 1
sebanyak 3 dan cawan 2 sebanyak 4 koloni sehingga total koloni terdapat 9.

Gambar 3.3 Hasil Plating pada medium PDA 10-4 Minggu Ke-0
Gambar 3.4 Hasil Plating pada medium PDA 10-5 Minggu Ke-0

Berdasarkan hasil plating pada medium NA di minggu ke-0 didapatkan pada


pengenceran 10-4 pada cawan 1 terdapat 2 sedangkan cawan 2 terdapat 1 koloni
sehingga total koloni terdapat 3. Pengenceran 10-5 didapatkan koloni cawan 1
sebanyak 1 dan cawan 2 sebanyak 1 koloni sehingga total koloni terdapat 2.

Gambar 3.5 Hasil Pewarnaan Gram Koloni Bakteri Dominan Minggu Ke-0
Berdasarkan pewarnaan Gram dari koloni bakteri dominan didapatkan hasil
yaitu diperoleh bakteri Gram positif yang berbentuk coccus.

Berikut ini adalah hasil perhitungan TPC koloni bakteri dan jamur minggu ke-0
pH : 6,3
Kelembaban : 52%
Berat Kering Perlakuan : 10,416 gram
Berat Kering Kontrol : 10,4954 gram
A. Perhitungan TPC Bakteri
Koloni pada medium NA pengenceran Koloni pada medium NA pengenceran
10-4 10-5
Cawan 1 : 6 Cawan 1 : 3
Cawan 2 : 3 Cawan 2 : 4
Total Koloni : 9 Total Koloni : 7
Rata-rata koloni : 4,5 Rata-rata koloni : 3,5

CFU’s/ml = Jumlah Koloni x 1 x 1 CFU’s/ml = Jumlah Koloni x 1 x 1


p sp p sp
1 1 1 1
= 4,5 x x = 3,5 x x
10−4 10−1 10−5 10−1
= 4,5 x 105 = 35 x 105

Hasil TPC = Pengenceran tertinggi : Pengenceran terendah


= 35 x 105 : 4,5 x 105
=7,8 (>2), maka yang diambil adalah nilai rata-rata TPC
Rata-rata TPC = (4,5 x 105 + 35 x 105) : 2
= 19,75 x 105

B. Perhitungan TPC Jamur


Koloni pada medium PDA pengenceran Koloni pada medium PDA pengenceran
10-4 10-5
Cawan 1 : 2 Cawan 1 : 1
Cawan 2 : 1 Cawan 2 : 1
Total Koloni : 3 Total Koloni : 2
Rata-rata koloni : 1,5 Rata-rata koloni : 1
CFU’s/ml = Jumlah Koloni x 1 x 1 CFU’s/ml = Jumlah Koloni x 1 x 1
p sp p sp
1 1 1 1
= 1,5 x x =1x x
10−4 10−1 10−5 10−1
= 1,5 x 105 = 10 x 105
Hasil TPC = Pengenceran tertinggi : Pengenceran terendah
= 10 x 105 : 1,5 x 105
= 6,7 (>2), maka yang diambil adalah nilai rata-rata TPC
Rata-rata TPC = (1,5 x 105 + 10 x 105) : 2
= 5,75 x 105
Perhitungan koloni bakteri dilakukan dengan rumus TPC (Total Plate Count)
yang merupakan TPC salah satu metode yang dapat digunakan untuk menghitung
jumlah mikroba dengan prinsip kerjanya yaitu perhitungan bakteri di dalam sampel.
Berdasarkan perhitungan TPC medium NA pada pengenceran 10-4 adalah 4,5 x 105
sedangkan pada pengenceran 10-5 adalah 35 x 105. Hasil pembagian antara
pengenceran tertinggi dengan pengenceran terendah adalah lebih dari dua sehingga
diambil nilai rata-rata perhitungan TPC yaitu 19,75 x 106. Berdasarkan perhitungan
TPC medium PDA pada pengenceran 10-4 adalah 1,5 x 105 sedangkan pada
pengenceran 10-5 adalah 10 x 105. Hasil pembagian antara pengenceran tertinggi
dengan pengenceran terendah adalah lebih dari dua sehingga diambil nilai rata-rata
perhitungan TPC yaitu 5,75 x 106 (Sukmawati & Fatimah, 2018).

Gambar 3.6 Hasil Plating pada medium NA 10-4 Minggu Ke-1

Gambar 3.7 Hasil Plating pada medium NA 10-5 Minggu Ke-1

Gambar 3.8 Hasil Plating pada medium PDA 10-4 Minggu Ke-1
Gambar 3.9 Hasil Plating pada medium PDA 10-5 Minggu Ke-1

Gambar 3.10 Hasil Pewarnaan Gram Koloni Bakteri Dominan Minggu Ke-1

Berikut ini adalah hasil perhitungan TPC koloni bakteri dan jamur minggu ke-1
pH : 6,3
Kelembaban : 55%
Berat Kering Perlakuan : 6,833 gram
Berat Kering Kontrol : 0, 6537 gram
A. Perhitungan TPC Bakteri
Koloni pada medium NA pengenceran Koloni pada medium PDA pengenceran
10-4 10-5
Cawan 1 : 51 Cawan 1 : 14
Cawan 2 : 61 Cawan 2 : 6
Total Koloni : 112 Total Koloni : 20
Rata-rata koloni : 56 Rata-rata koloni : 10
CFU’s/ml = Jumlah Koloni x 1 x 1 CFU’s/ml = Jumlah Koloni x 1 x 1
p sp p sp
1 1 1 1
= 56 x −4 x = 10 x −5 x
10 10−1 10 10−1
= 56 x 105 = 100 x 105
Hasil TPC = Pengenceran tertinggi : Pengenceran terendah
= 100 x 105 : 56 x 105
= 1,8 (<2), maka yang diambil adalah nilai pengenceran terendah yaitu
56 x 105
Rata-rata TPC = (56 x 105 + 100 x 105) : 2
= 78 x 105
Hasil Pengamatan Bakteri : Gram (+) basil

B. Perhitungan TPC Jamur


Koloni pada medium PDA pengenceran Koloni pada medium PDA pengenceran
10-4 10-5
Cawan 1 : 1 Cawan 1 : 2
Cawan 2 : 0 Cawan 2 : 0
Total Koloni : 1 Total Koloni : 2
Rata-rata koloni : 0,5 Rata-rata koloni : 1
1
CFU’s/ml = Jumlah Koloni x x
1 1 p
CFU’s/ml = Jumlah Koloni x x
p sp/pp 1
1 1 sp/pp
= 0,5 x
10 −4 x 10−1 1 1
= 0,5 x 105
=1x
10 −5 x 10−1
= 10 x 105

Hasil TPC = Pengenceran tertinggi : Pengenceran terendah


= 10 x 105 : 0,5 x 105
= 20 (>2), maka yang diambil adalah nilai rata-rata TPC
Rata-rata TPC = (0,5 x 105 + 10 x 105) : 2
= 5,25 x 105
Gambar 3.11 Hasil Plating pada medium NA 10-4 Minggu Ke-2

Gambar 3.12 Hasil Plating pada medium NA 10-5 Minggu Ke-2

Gambar 3.13 Hasil Plating pada medium PDA 10-4 Minggu Ke-2

Gambar 3.14 Hasil Plating pada medium PDA 10-5 Minggu Ke-2
Gambar 3.15 Hasil Pewarnaan Gram Koloni Bakteri Dominan Minggu Ke-2

Berikut ini adalah hasil perhitungan TPC koloni bakteri dan jamur minggu ke-2
pH : 5,8
Kelembaban : 54%
Berat Kering Perlakuan : 0,1120 gram
Berat Kering Kontrol : 7,8413 gram
A. Perhitungan TPC Bakteri
Koloni pada medium NA pengenceran Koloni pada medium NA pengenceran
10-4 10-5
Cawan 1 : 25 Cawan 1 : 17
Cawan 2 : 55 Cawan 2 : 134
Total Koloni : 80 Total Koloni : 151
Rata-rata koloni : 40 Rata-rata koloni : 75,5
CFU’s/ml = Jumlah Koloni x 1 x 1 CFU’s/ml = Jumlah Koloni x 1 x 1
p sp p sp
1 1 1 1
= 40 x x = 75,5 x x
10−4 10−1 10−5 10−1
= 40 x 105 = 755 x 105

Hasil TPC = Pengenceran tertinggi : Pengenceran terendah


= 755 x 105 : 40 x 105
=18,88 (>2), maka yang diambil adalah nilai rata-rata TPC
Rata-rata TPC = (40 x 105 + 755 x 105) : 2
= 397,5 x 105
Hasil Pengamatan Bakteri : Gram (+) basil

B. Perhitungan TPC Bakteri


Koloni pada medium PDA pengenceran Koloni pada medium PDA pengenceran
10-4 10-5
Cawan 1 : 1 Cawan 1 : 0
Cawan 2 : 2 Cawan 2 : 3
Total Koloni : 3 Total Koloni : 3
Rata-rata koloni : 1,5 Rata-rata koloni : 1,5
CFU’s/ml = Jumlah Koloni x 1 x 1 CFU’s/ml = Jumlah Koloni x 1 x 1
p sp p sp
1 1 1 1
= 1,5 x
10 −4 x 10−1
= 1,5 x
10 −5 x 10−1
= 1,5 x 105 = 15 x 105
Hasil TPC = Pengenceran tertinggi : Pengenceran terendah
= 15 x 105 : 1,5 x 105
=10 (>2), maka yang diambil adalah nilai rata-rata TPC
Rata-rata TPC = (1,5 x 105 + 15 x 105) : 2
= 8,25 x 105

Gambar 3.16 Hasil Plating pada medium NA 10-4 Minggu Ke-3

Gambar 3.17 Hasil Plating pada medium NA 10-5 Minggu Ke-3


Gambar 3.18 Hasil Plating pada medium NA 10-4 Minggu Ke-3

Gambar 3.19 Hasil Plating pada medium NA 10-5 Minggu Ke-3

Gambar 3.20 Hasil Pewarnaan Gram Koloni Bakteri Dominan Minggu Ke-3

Rom Sampel Minggu Berat Daun (gr) TPC Klbb.


pH Gram
/ Kel Daun Tanah Ke- Kontrol Perlakuan NA PDA (%)
I/1 Jerami Sawah 0 0,19 0,21 Invalid 1,2 x 106 6,2 + 100
1 0,79 0,67 Invalid 160,2 x 106 7,0 + 60
2 0,28 0,41 3,5 x 106 1,6 x 106 6,3 + 55
6
3 0,19 0,20 13,2 x 10 1,6 x 106 6,8 + 50
I/2 Jambu Hutan 0 2,04 2,26 26,8 x 106 0,6 x 106 6,9 + 60
Air 1 1,35 2,12 38,0 x 106 1,7 x 106 7,0 + 60
2 1,29 1,91 40,0 x 106 2,3 x 106 7,0 - 72
3 1,76 2,29 147,0 x 106 3,5 x 106 6,9 - 90
I/3 Jambu Hutan 0 0,63 0,78 26,8 x 106 3,0 x 106 5,8 + 45
Air 1 0,71 0,66 11,9 x 106 0,6 x 106 6,8 + 40
2 0,56 0,61 Invalid 37,0 x 106 7,0 - 60
3 0,54 0,57 172,0 x 106 65,2 x 106 6,5 + 69
II/1 Jambu Sawah 0 2,52 1,95 Invalid 0,05 x 106 6,2 - 35
Air 1 1,71 1,59 Invalid 0,4 x106 7,0 - 10
2 1,30 1,88 5,5 x 106 3,1 x 106 6,2 - 35
3 1,45 0,96 7,9 x 106 1,1 x 106 7,0 + 45
II/2 Jerami Sawah 0 10,42 7,49 1,9 x 106 0,6 x 106 5,4 + 52
1 0,65 6,83 0,8 x 106 5,2 x 106 6,3 + 55
2 0,11 7,84 39,8 x 106 0,2 x 106 5,8 + 54
3 0,32 4,20 145,6 x 106 1,6 x 106 6,8 + 70
II/3 Jerami Hutan 0 0,27 0,20 55,2 x 106 0,8 x 106 4,8 + 65
1 0,37 0,27 7,7 x 103 2,0 x 106 6,9 + 50
2 0,57 0,74 Invalid 19,0 x 106 7,0 + 68
3 0,54 0,49 Invalid 7,7 x 106 6,9 + 72

Gambar 3.1 Hasil Isolasi Mikroorganisme Udara pada Medium NA


A. Perhitungan Densitas Koloni Bakteri

1. Cawan 1 = 13 5 𝑎 𝑥 104
Densitas Koloni ( N) =
2. Cawan 2 = 19 𝑏𝑥𝑡
13+19
Rata-rata Cawan (a) = 5(16)𝑥 104
2 N=
= 16 63,64 𝑥 15
N = 0,83 x 103 CFU’s/ml

B. Diversitas Koloni Bakteri = 12


Gambar 3.2 Hasil Isolasi Mikroorganisme Udara pada Medium PDA
A. Perhitungan Densitas Koloni Jamur

1. Cawan 1 = 9 5 𝑎 𝑥 104
Densitas Koloni ( N) =
2. Cawan 2 = 6 𝑏𝑥𝑡
9+6
Rata-rata Cawan (a) = 5(7,5)𝑥 104
2 N=
= 7,5 63,64 𝑥 15
N = 0,39 x 103 CFU’s/ml

B. Diversitas Koloni Jamur = 8

Berdasarkan praktikum bioaerosol, pada kelompok 2 rombongan ke II


mendapatkan sampel udara di Kantin Fakultas Biologi pada waktu sore hari.
Keadaan lokasi pengambilan sampel pada saat percobaan yaitu tidak terlalu ramai
namun masih terdapat aktivitas manusia. Hasil yang didapatkan pada medium NA
setelah dilakukan perata-rataan terdapat 16 koloni bakteri yang kemudian
dimasukkan ke dalam rumus maka hasilnya 0,83 x 103 CFU’s/ml dengan
diversitasnya sebanyak 12 dan bakterinya Gram positif berbentuk coccus. Adapun
pada medium PDA setelah dilakukan perata-rataan didapatkan 7,5 koloni yang
kemudian dimasukkan ke dalam rumus densitas didapatkan hasil 0,39 x 103 CFU’s/ml
dengan diversitasnya sebanyak 8. Adapun densitas koloni jamur pada medium PDA
sebanyak 0,39 x 103 CFU’s/ml dengan diversitasnya sebanyak 8.
Tabel 3.1. Data Pengamatan Bioaerosol Rombongan I dan II
Bentuk
Tempat
Densitas Diversitas Sel dan
Romb. Kel. & waktu
Sifat
sampling
Bakteri Jamur Bakteri Jamur Gram
Mushola
I 1 0,14 x 101 1,23 x 103 18 8 (+) coccus
& Pagi
Kantin
2 Fabio & 0,84 x 103 2,5 x 103 5 10 (+) coccus
Pagi
Taman
3 Belakang 0,36 x 103 1,62 x 103 14 9 (+) coccus
& Pagi
Mushola
1 0,58 x 103 0,99 x 103 4 5 (+) coccus
& Sore
Kantin
2 Fabio & 0,83 x 103 0,39 x 103 12 8 (+) coccus
II
Sore
Taman
3 Belakang 2,12 x 103 1,3 x 103 5 6 (+) basil
& Sore

Berdasarkan tabel, maka jika hasil dari kelompok 2 rombongan II


dibandingkan dengan rombongan I di lokasi yang sama pada waktu yang berbeda
yaitu pagi hari didapatkan hasil bahwa densitas koloni bakteri cenderung sama
karena pada rombongan I sebanyak 0,84 x 103 CFU’s/ml, namun tingkat diversitas
koloni bakteri antara sore dengan pagi hari berbeda yaitu lebih banyak pada waktu
sore karena pada pagi diperoleh diversitasnya sebanyak 5 meskipun jenis bakteri
yang diperoleh sama yaitu Gram positif berbentuk coccus. Adapun pada koloni
jamur yaitu rombongan I densitas jamurnya lebih tinggi sebanyak 2,5 x 103
CFU’s/ml dengan diversitasnya sebanyak 10. Hal tersebut dimungkinkan karena
banyak faktor salah satunya karena tingkat aktivitas manusia. Aktivitas di lokasi
sampel pada waktu pagi dan sore hari hampir sama, yaitu tidak terlalu ramai
sehingga densitasnya sama. Namun, pada pagi hari belum terlalu banyak aktivitas
manusia sehingga diversitas koloni bakteri masih sedikit karena dimungkinkan
belum banyak tercampur oleh bakteri lain khususnya yang terbawa oleh manusia.
Keadaan berbeda ketika sore hari, diversitasnya tinggi karena sudah banyak aktivitas
manusia sebelumnya yang terjadi di lokasi sampel, sehingga kemungkinan
bioaerosol bakteri di udara sudah tercampur dengan bakteri yang dibawa oleh
manusia dari berbagai tempat. Hal ini sejalan dengan referensi yaitu bahwa bakteri
dapat tersebar di udara melalui batuk, bersin, berbicara, dan tertawa, selain itu di
kantin juga ada aktivitas masak dengan berbagai bahan-bahan organik, seperti asam-
asam lemak, yang bertebaran di udara. Contoh bahan-bahan organik volatil yang
beraosisasi kuat dengan konsentrasi bakteri dan jamur di udara adalah alkohol dan
keton (Pudjiadi et al., 2015). Faktor densitas dan diversitas koloni jamur pada waktu
pagi hari kemungkinan disebabkan karena faktor kelembaban. Hal tesebut karena
pada waktu pagi udara lebih lembab dibandingkan dengan sore hari sedangkan
tempat yang lembab merupakan habitat hidup jamur sehingga menjadi faktor pemicu
tumbuhnya jamur lebih banyak. Hal ini sesuai referensi bahwa kelembaban sebagai
pemicu tumbuhnya bakteri dan jamur. Kelembaban udara merupakan salah satu
faktor utama dalam pertumbuhan mikroorganisme, khususnya jamur. Masalah
pencemaran udara dalam ruang biasanya disebabkan kelembaban udara dan gerakan
udara diluar batas yang dianjurkan (Fithri et al., 2016).
Hasil pengambilan sampel di Kantin Fakultas Biologi merupakan bentuk
pengambilan sampel udara semi outdoor karena pada kantin masih terdapat bagian
atap kantin. Berbeda dengan pengambilan sampel indoor yang dilakukan di musholla
dan outdoor yang dilakukan di tamam belakang Fakultas Biologi. Hasil yang
diperoleh di musholla pada waktu sore yaitu densitas bakteri sebanyak 0,58 x 103
CFU’s/ml dengan diversitasnya sebanyak 4. Hal ini jika dibandingkan dengan hasil
kelompok 2 di kantin, maka tidak sesuai dengan teori densitas karena seharusnya
densitas pada indoor lebih tinggi daripada outdoor, namun diversitasnya sesuai yaitu
pada outdoor lebih tinggi daripada indoor. Hal tersebut kemungkinan disebabkan
karena faktor aktivitas manusia, yaitu pada sore hari mushola lebih sepi
dibandingkan dengan kantin sehingga di mushola lebih sedikit. Hal ini sesuai teori
bahwa hampir semua aktivitas manusia akan memberikan kontribusi terhadap emisi
partikel atau bioaerosol udara. Jika aktivitas manusia berkurang maka emisi tersebut
akan lebih rendah (Soedomo, 2001). Hasil koloni jamur yang diperoleh di mushola
lebih tinggi daripada di kantin yaitu sebanyak 0,99 x 103 CFU’s/ml dengan
diversitasnya lebih rendah sebanyak 5. Hal tersebut kemungkinan karena faktor
kelembaban, yaitu di mushola tingkat kelembaban lebih tinggi sehingga
dimungkinkan banyak jamur yang tumbuh, namun diversitasnya lebih rendah. Sesuai
teori yaitu kontaminasi yang berasal dari dalam ruang banyak terjadi pada
kelembaban antara 25%-75%. Tingkat kelembaban tersebut dapat meningkatkan
pertumbuhan spora dan jamur (Santoso, 2015).
Pembahasan terakhir adalah perbandingan antara pengambilan sampel semi
outdoor yaitu di kantin dengan outdoor di taman belakang. Hasilnya adalah koloni
bakteri di taman belakang lebih banyak sebesar 2,12 x 103 CFU’s/ml dengan
diversitasnya lebih rendah yaitu 5. Adapun koloni jamur yang tumbuh densitasnya
juga lebih tinggi yaitu 1,3 x 103 CFU’s/ml dengan diversitasnya lebih rendah yaitu 6.
Hal tersebut terjadi karena banyak faktor, bahwa kondisi lingkungan di taman
belakang lebih sepi dibandingkan di kantin sehingga diversitas koloni bakteri dan
jamur akan lebih rendah. Adapun densitas koloni bakteri dan jamur pada taman
belakang lebih banyak oleh faktor lingkungan yang menunjang pertumbuhan koloni
seperti suhu, pencahayaan, kelembaban dan kepadatan hunian (Fithri et al.,2016).
IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil praktikum dapat diambil kesimpulan bahwa aktivitas


dalam suatu ruangan berpengaruh terhadap kepadatan populasi mikroba dan
keragamannya di atmosfer. Ruangan yang tertutup akan memiliki densitas
mikroorganisme lebih banyak dibandingkan dengan ruangan yang terbuka, namun
divesitas mikroorganisme akan lebih rendah di ruang tertutup daripada ruang
terbuka. Kondisi tersebut dapat berubah karena beberapa faktor lingkungan yang
berpengaruh seperti kelembaban, laju ventilasi, dan padat serta banyaknya
aktivitas manusia yang ada dalam ruangan tersebut.

B. Saran

Saran untuk acara praktikum Bioaerosol yaitu sebaiknya lokasi


pengambilan sampel lebih diperhatikan karena pada lokasi kantin, keadaan
sewaktu pagi dan sore hari sama-sama tidak cukup ramai. Hal lainnya adalah
ketika perhitungan densitas bakteri atau jamur asisten juga mengecek ulang
kebenarannya agar hasilnya lebih akurat.
DAFTAR REFERENSI

Hanif, M. A. H. A., & Syafi'i, W. S. I. (2015). Laju Dekomposisi Serasah Daun di


Kawasan Hutan Larangan Adat Rumbio Kecamatan Kampar Kabupaten
Kampar sebagai Pengembangan Modul Pembelajaran pada Konsep
Ekosistem Hutan Tropis di SMA Kelas X. Jurnal Online Mahasiswa (JOM)
Bidang Keguruan dan Ilmu Pendidikan, 2(1), 1-9.

Suparti, S., Barokah, S. E., Agustina, L., & Agustina, P. (2018). EFEKTIFITAS
MEDIA CAMPURAN JERAMI PADI DAN DAUN PISANG KERING
TERHADAP PRODUKTIVITAS JAMUR MERANG (Volvariella
volvaceae). In Prosiding SNPS (Seminar Nasional Pendidikan Sains) (pp.
191-197).
Sharma, S., Rajat, K., Prasad, R., & Vasudevan, P. (1999). Biology and potential of
Psidium guajava. Journal of Scientific and Industrial Research, 58(6), pp.
441-421.

Fernando, J. A., Huboyo, H. S., & Zaman, B., 2017. Identifikasi Kontribusi
Pencemaran Pm10 Menggunakan Metode Reseptor Chemical Mass Balance
(Cmb)(Studi Kasus: Kota Pekanbaru, Provinsi Riau). Jurnal Teknik
Lingkungan, 6(2), pp. 1-13.

Fithri, N. K., Handayani, P., & Vionalita, G., 2016. Faktor-Faktor Yang
Berhubungan Dengan Jumlah Mikroorganisme Udara Dalam Ruang Kelas
Lantai 8 Universitas Esa Unggul. Forum Ilmiah, 13(1), pp. 21-26.

Mirhoseini, S. H., Nikaeen, M., Satoh, K., & Makimura, K., 2016. Assessment of
airborne particles in indoor environments: Applicability of particle counting
for prediction of bioaerosol concentrations. Aerosol and Air Quality
Research, 16(8), pp. 1903-1910.

Pasquarella. C, Pitzurrat. O, & Savino. A., 2000. The Index of Microbial Air
Contamination. Journal of Hospital Infection Society. 1(2), pp. 241-256.

Pelczar, M.J. & Chan, E.C.S., 1988. Dasar-dasar Mikrobiologi. Jakarta: Universitas
Indonesia Press.

Pudjadi, E., Suciyani, R., Sahira, I. G., & Pikoli, M. R., 2015. Kualitas mikrobiologis
udara di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan. Al-Kauniyah: Jurnal
Biologi, 8(2), pp. 59-65.

Purnamasari, T., Suharno, S., & Selviana, S., 2017. Hubungan Faktor Lingkungan
dan Standar Luas Ruangan dengan Kualitas Mikrobiologi Udara pada Ruang
Perawatan Rumah Sakit Bhayangkara Pontianak. Jumantik, 4(1). pp. 1-10.

Santoto, I., 2015. Kesehatan Lingkungan Permukiman Perkotaan. Yogyakarta:


Gosyen Publishing.
Soedomo, M., 2001. Pencemaran Udara. Bandung: Penerbit ITB.

Stryjakowska-Sekulska, M., Piotraszewska-Pajak, A., Szyszka, A., Nowicki, M., &


Filipiak, M., 2007. Microbiological quality of indoor air in university rooms.
Polish Journal of Environmental Studies, 16(4), pp. 623-632.

Waluyo, L. 2005. Mikrobiologi Lingkungan. Malang: UMM Press.

Anda mungkin juga menyukai