PENDAHULUAN
1
BAB II
LAPORAN KASUS
Suami
Nama : Tn. D P
Umur :38 tahun
Suku/bangsa :Jawa/ Indonesia
Agama : Islam
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Desa Tanjung Sari Sungai Bahar, Muaro Jambi
2.2. Anamnesis
a. Keluhan Utama :
2
b. Data Kebidanan
Haid
Riwayat KB
Pasien pernah menggunakan alat kontrasepsi berupa suntik.
3
2.3 Riwayat Kesehatan
a. Riwayat kesehatan keluarga
Os memiliki riwayat keturunan kembar dalam keluarga. Penyakit
menular dan/ atau keturunan seperti DM, Hepatitis, Hipertensi, PJK
dan TB disangkal.
b. Perilaku kesehatan yang lalu
Os tidak pernah menderita penyakit DM, Hepatitis, Hipertensi, Tifoid,
Penyakit Jantung Koroner, dan juga TB.
4
2.5 Pemeriksaan ginekologi
a. Pemeriksaan Luar
Palpasi:
TFU : 37 cm
Leopold I : teraba massa lunak tidak melenting
Leopold II : teraba bagian rata memanjang pada sisi kiri
Leopold III : teraba massa keras melenting
Leopold IV : sudah masuk PAP
TBJ : 4000 gram
HIS : 3 x 10’/30”
Auskultasi:
DJJ : Positif
Lokasi DJJ : 2 jari dibawah pusat
Frekuensi DJJ : 175 x/menit
Bising usus : positif
b. Pemeriksaan Dalam
Portio : Tebal
Pendataran : 30%
Pembukaan : 3 cm
Ketuban : (+), warna hijau
Penunjuk : UUK
Presentasi : Kepala
Penurunan : Hodge I
Posisi :
2.6 Laboratorium
Pemeriksaan Darah Rutin
- WBC : 10.6 x 103/mm3
- RBC : 4.38 x 106/mm3
5
- HB : 10,0 g/dl
- HT : 31,2 %
-
PLT : 342 x 103/mm3
Kimia Darah
- GDS : 88 mg/dl
2.7 Diagnosis
G5P4A0 gravida 39 – 40 minggu Inpartu kala I fase laten, JTH intrauterin
Preskep + KPSW + Gawat Janin
2.8 Penatalaksanaan
Observasi KU, TTV, DJJ, his
Ibu diposisikan miring ke sebelah kiri
IVFD RL 20 gtt/i
Lapor DPJP, a/d Rencana SC Cito
Inj. Ceftriaxone 1x2 gr
Persiapan SC
Edukasi ke os untuk pasang IUD atau MOW, os meminta MOW
6
8. Cavum uteri dibersihkan dengan kasa betadine
9. Uterus dijahit lapis demi lapis
10. Dilakukan MOW teknik Pomeroy
11. Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis
12. Operasi selesai
13. Perdarahan dirawat sebagaimana mestinya
Intruksi Post Op:
Mobilisasi bertahap, boleh minum perlahan
Tidur memakai bantal
Terapi Post Op:
IVFD RL 20 gtt/i
Inj. Ceftriaxone 2x1 gr
Inj. Alinamin F 3x1 amp
Inj. Ketorolac 3x1 amp
Kaltrophen Supp 3x1
Pukul 13.30 WIB os pindah ke ruangan bangsal
7
Kaltrophen Supp 3x1
16/01/2015 S -
O KU: Sedang
Konut: Baik, Keras
TFU : 4 jari bawah pusat
TD: 120/80 mmHg, N: 80xi, S: 370C, RR: 20x/i
A P5A0 Post SCTP a/i KPSW + KWH + Gawat Janin +
Cukup anak. Hari ke 4
P PO: Cefixime 2 x 100mg
Vit. C 2 x 50mg
Ketoprofen 3 x 100mg
Os Boleh Pulang
8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
9
perubahan dari membran kolagen atau adanya infeksi seperti korioamnionitis.
Pada korioamnionitis, berbagai mikroorganisme vaginal dan servikal
memproduksi protease yang dapat mengubah integritas dari selaput dan
memudahkan terjadinya ruptur. PROM juga dapat disebabkan oleh adanya enzim
kolagenetik yang dihasilkan oleh plasenta dan cairan amnion yang meningkat
seiring dengan bertambahnya usia kehamilan. 1
Faktor resiko yang meningkatkan kejadian KPSW antara lain wanita yang
pernah mengalami PPROM pada kehamilan sebelumnya, wanita yang melahirkan
bayi prematur dengan atau tanpa KPSW, wanita dengan perdarahan pada trimester
pertama atau kedua kehamilan (perdarahan yang berkaitan dengan plasenta previa
dan solusio plasenta), operasi pada serviks sebelumnya (konisasi, sevikal
inkompeten, dua atau lebih terminasi kehamilan yang bersifat elektif), pendeknya
serviks (kurang dari 2.5 cm yang diukur dari USG transvaginal) distensi berlebih
dari uterus (akibat multigravida, gemelli, atau polihidramnion), penyakit jaringan
ikat (Leisch-Nyhan), merokok selama kehamilan (resiko meningkat bila jumlah
rokok semakin banyak-dose dependent), trauma, kelainan janin, amniosentesis,
keadaan sosial ekonomi rendah (prenatal care kurang baik), juga body mass
index ibu rendah, menderita infeksi menular seksual (Neisseria gonorrhea,
Chlamydia trachomatis dan bacterial vaginosis) dan infeksi saluran kemih. Masih
kontroversial mengenai faktor nutrisi (defisiensi besi dan asam folat) dan
pengaruh vaginal toucher yang dilakukan secara rutin terhadap peningkatan
kejadian KPSW.2,4,9,10,11,12,13,14,15
10
ditemukan tampak air ketuban mengalir atau selaput ketuban tidak ada dan air
ketuban sudah mengering. Pada pemeriksaan dalam, selaput ketuban sudah tidak
ada dan air ketuban sudah kering. 4,20
3.1.4 Patogenesis
Selaput ketuban yang normal sangat kuat pada kehamilan muda. Pada
suatu tingkat tertentu, selaput ketuban robek karena tidak dapat lagi menahan
kekuatan nonpenetrating yang terjadi tiba-tiba. Robeknya selaput lebih
diakibatkan kekuatan yang menyebabkannya melemah. Gabungan antara
peregangan dari selaput dengan pertumbuhan uterus dan tegangan bertahap yang
diakibatkan kontraksi uterus normal, serta gerakan dari janin mungkin
menyebabkan selaput ketuban melemah. Perubahan biokimia yang signifikan juga
mempengaruhi selaput ketuban menjelang usia kehamilan aterm, termasuk
turunnya substansi kolagen. Karena semua hal tersebut KPSW pada aterm
mungkin merupakan proses yang fisiologis daripada sebuah proses patologis.
Selaput ketuban sangat kuat pada kehamilan preterm, maka terdapat proses
patologis yang melemahkan selaput baik faktor intrinsik maupun ekstrinsik yang
bertanggung jawab pada proses KPSW dalam kehamilan preterm. Suatu
penelitian menunjukkan pada ibu dengan PPROM tidak memperlihatkan
perbedaan kekuatan pada selaput kecuali pada tempat robeknya. Fokus lokal ini
menunjukkan sumber kelemahan eksogen (dari luar). 5
Diperlukan keseimbangan faktor intrinsik, yang mengatur pembentukan
kolagen, dan penghancuran dari jaringan ikat pada amnion dan korion untuk
menjaga selaput ketuban tetap utuh. Keadaan yang dapat mengakibatkan
perubahan pada selaput ketuban antara lain penurunan komposisi kolagen,
perubahan struktur kolagen, dan peningkatan aktivitas kolagenolitik.5
Gangguan pada jaringan ikat berhubungan dengan lemahnya selaput
ketuban dan peningkatan insidensi KPSW. Berdasarkan penelitian, 72% pasien
penderita sindrom Ehler-Danlos melahirkan bayi prematur setelah PPROM.
Sindrom Ehler-Danlos yaitu gangguan berupa hiperelastisitas kulit dan sendi
dikarenakan defek pada sintesis atau struktur kolagen. 5
11
Pada waktunya, kematian sel terprogram dan aktivasi dari enzim-enzim
katabolik seperti kolagenase dan adanya daya mekanik menyebabkan pecahnya
selaput ketuban. PROM terjadi karena mekanisme dan aktivasi yang sama, namun
muncul secara prematur. Sedangkan PROM yang terjadi dini dihubungkan dengan
adanya proses patologis seperti inflamasi dan/atau infeksi dari selaput ketuban.2
Defisiensi nutrisi pada perempuan hamil meningkatkan risiko PPROM.
Lysil oksidase adalah enzim yang diproduksi oleh sel mesenkhim pada amnion
yang dapat meningkatkan kuat regangan amnion dengan cara meletakkan kolagen
pada amnion. Mekanisme kerja enzim ini tergantung dengan ketersediaan
tembaga (copper dependent enzyme). Wanita hamil yang mengalami PROM
memiliki kadar tembaga yang lebih rendah pada darah ibu maupun serum darah
plasenta dibandingkan pada wanita hamil yang selaput ketubannya pecah saat
persalinan. Wanita hamil yang memiliki kadar vitamin C (asam askorbat) rendah
juga lebih berisiko terjadi KPSW. Asam askorbat diperlukan pada sintesis
kolagen.5
Ibu yang perokok memiliki konsentrasi asam askorbat serum yang rendah
bila dibandingkan ibu yang tidak merokok. Cadmium yang terdapat pada rokok
meningkatkan metal-binding protein metallothienin pada trofoblas. Rendahnya
kadar tembaga dan asam askorbat dapat mengakibatkan perubahan struktur
kolagen pada selaput ketuban pada ibu yang merokok. Hal ini berhubungan
dengan terjadinya KPSW. 5
Degradasi kolagen dimediasi oleh matriks metalloproteinase. Matrix-
metalloproteinase-1 (MMP-1) dan MMP-8 memecah ikatan serabut kolagen tipe I
dan III, yang kemudian didegradasi oleh gelatinase MMP-2 dan MMP-9.
Gelatinase ini juga memecah serabut kolagen tipe IV, fibronektin, dan
proteoglikan. Serabut kolagen pada selaput ketuban terletak di antara dua lapisan
sel yang memproduksi matriks metaloproteinase. Tissue inhibitor of
metalloproteinase-1 (TIMP-1) berikatan deengan MMP-1, MMP-8, dan MMP-9
yang teraktivasi. TIMP-2 berikatan pada bentuk aktif dan laten MMP-2. TIMP-3
dan TIMP-4 menghambat matriks metaloproteinase sama efisiennya dengan
TIMP-1. Pada saat menjelang persalinan keseimbangan antara matriks
12
metalloproteinase yang teraktivasi dengan inhibitornya berubah dan degradasi
kolagen lebih dominan dari inhibitornya. Saat persalinan, aktivitas MMP-9
meningkat dan konsentrasi TIMP-1 menurun. Pada pemeriksaan selaput ketuban,
ditemukan aktivitas MMP-1 meningkat sebelum persalinan, MMP-9 dan MMP-3
teraktivasi selama persalinan, dan konsentrasi TIMP-1 meningkat setelah
persalinan.5
KPSW dapat diakibatkan juga oleh ketidakseimbangan antara aktivitas
matriks metalloproteinase dan inhibitornya mengakibatkan degradasi matriks
ekstraseluler pada selaput ketuban. Aktivitas kolakenase meningkat pada PROM
pada kehamilan aterm. Aktivitas protease meningkat pada PPROM, dengan lebih
didominasi aktivitas MMP-9. Aktivitas kolagenase meningkat pada jaringan
serviks selama dilatasi serviks pada saat persalinan. Pada penyakit periodontal,
aktivitas matriks metalloproteinase meningkat di jaringan ginggiva. Hal ini diduga
meningkatkan risiko kelahiran prematur melalui peningkatan insidensi PPROM.
Penemuan ini menimbulkan dugaan adanya predisposisi genetik yang berkaitan
dengan degradasi matriks ekstraseluler dan peningkatan aktivitas matriks
metalloproteinase, yang menimbulkan gejala klinis periodontitis, dilatasi serviks
prematur, atau KPSW.5
Respons inflamasi dimediasi oleh neutrofil dan makrofag, dan dihasilkan
sitokin, matriks metalloproteinase dan prostaglandin. Sitokin yang dihasilkan
pada proses inflamasi adalah interleukin-1 (IL-1) dan tumor necrosis factor-α
(TNF-α) diproduksi oleh monosit yang teraktivasi. Sitokin-sitokin tersebut
meningkatkan MMP-1 dan MMP-3 pada sel korion. 5
Infeksi bakteri menginduksi produksi prostaglandin pada selaput ketuban,
sehingga risiko KPSW meningkat melalui perangsangan uterus dan degradasi
kolagen pada selaput ketuban. Beberapa bakteri dapat menghasilkan fosfolipase
A2, yang dapat melepaskan prostaglandin yang merpakan prekursos asam
arakidonat. Respon imun terhadap infeksi bakteri adalah produksi sitokin oleh sel
monosit yang teraktivasi, sehingga produksi prostaglandin E2 meningkat pada sel
korion. Stimulasi sitokin pada produksi prostaglandin E2 mempengaruhi induksi
siklooksigenase II, yang merupakan enzim yang mengubah asam arakidonat
13
menjadi prostaglandin. Prostaglandin merupakan mediator pada persalinan, dan
prostaglandin E2 mengurangi sintesis kolagen pada selaput ketuban dan
meningkatkan MMP-1 dan MMP-3 pada fibroblas. Glukokortikoid dihasilkan
sebagai respon imun tubuh terhadap infeksi. Pada sebagian besar jaringan, efek
antiinflamasi glukokortikoid timbul melalui penekanan produksi prostaglandin.
Pada amnion, glukokortikoid menstimulasi produksi prostaglandin. Pada kultur
sel epitel amnion, deksamethason mengurangi sintesis fibronektin dan kolagen
tipe III. Diduga produksi glukokortikoid yang merupakan respons terhadap infeksi
mikroba, mendukung terjadinya KPSW.5
Progesteron dan estradiol menekan remodelling matriks ekstraseluler pada
organ reproduksi. Kedua hormon tersebut menurunkan konsentrasi MMP-1 dan
MMP-3 serta meningkatkan konsentrasi penghambat metalloproteinase. Kadar
progesteron yang tinggi menurunkan produksi kolagenase pada serviks marmut,
sedangkan kadar progesteron dan estradiol yang rendah meningkatkan produksi
kolagenase pada marmut. Relaksin, suatu hormon yang berfungsi mengatur
remodelling jaringan ikat, dihasilkan desidua dan plasenta, serta menghambat efek
inhibisi estradiol dan progesteron, dengan cara meningkatkan aktivitas MMP-3
dan MMP-9 pada selaput ketuban. Kadar relaksin meningkat sebelum persalinan
pada selaput ketuban kehamilan aterm.5
Program kematian sel atau apoptosis berkaitan dengan remodelling yang
terjadi pada jaringan organ reproduksi atau cerviks. Apoptosis ditandai dengan
pemecahan DNA dan katabolisme RNA ribosom subunit 28S, di mana kedua zat
ini diperlukan untuk sintesis protein. Pada tikus percobaan, apoptosis dimulai saat
persalinan. Apoptosis ini terjadi saat degradasi matriks ekstraseluler dimulai. Pada
selaput ketuban yang pecah sebelum mulainya persalinan, ditemukan banyak sel-
sel yang mengalami apoptosis di tempat pecahnya selaput, sedangkan di tempat
lain lebih sedikit. Pada korioamnionitis, diduga respons imun terhadap inflamasi
semakin memacu terjadinya apoptosis. Mekanisme lebih detail mengenai
hubungan apoptosis dengan pecahnya selaput ketuban, belum ditemukan.5
Distensi uterus yang berlebihan karena polihidramnion dan kehamilan
dengan janin lebih dari satu merangsang peregangan selaput ketuban dan
14
meningkatkan risiko terjadinya KPSW. Peregangan selaput ketuban secara
mekanik mengakibatkan terangsangnya produksi prostaglandin E2 dan
interleukin-8. Peregangan juga meningkatkan aktivitas MMP-1 di selaput
ketuban. Seperti dijelaskan di atas, Prostaglandin E2 meningkatkan ambang
rangsang uterus, menurunkan sintesis kolagen pada selaput ketuban, dan
meningkatkan produksi MMP-1 dan MMP-3. Interleukin-8, yang diproduksi oleh
sel amnion dan korion, merupakan suatu zat kemotaktik neutrofil dan
meningkatkan aktivitas kolagenase. Interleukin-8 ditemukan dalam jumlah rendah
pada trimester kedua, sedangkan pada trimester ketiga jumlahnya cukup banyak.
Fungsi interleukin-8 dihambat oleh progesteron.5
15
(ferning appearance), lanugo dan verniks kaseosa. Cairan amnion bersifat alkalis
yang ditentukan dengan pemeriksaan menggunakan kertas nitrazin dan kertas
lakmus dimana warna merah akan berubah menjadi biru dan yang biru tetap
berwarna biru. 2,6,20
16
Tes nitrazin dilakukan dengan meneteskan satu atau dua tetes cairan
vagina ke atas strip nitrazin. Reaksi kimia akan menunjukkan perubahan warna
dan mengindikasikan pH pada cairan vagina. Apabila warna menunjukkan bahwa
pH lebih tinggi dari 6,5 maka dapat ditentukan bahwa telah terjadi pecahnya
ketuban. 15
17
Gambar 2.5 Gambaran pakis (ferning appearance) pada cairan amnion 16
18
Gambar 2.6 Amniosentesis 21
19
kuadran. Pada keempat kuadran tersebut dilakukan pengukuran ukuran kantung.
Ukuran normalnya 5-24. Biasanya pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu
dilakukan pengukuran hanya di dua kuadran, yaitu kuadran kanan dan kiri bawah.
11,22,23,24,25
20
3.1.7 Komplikasi
Pasien yang mengalami KPSW dapat menderita infeksi, partus preterm,
prolaps tali pusat dan distosia 4. Risiko neonatal pada pengelolaan konservatif
PROM adalah infeksi, abrubsio plasenta, fetal distress, deformitas janin,
hipoplasia paru janin dan kematian janin/neonatus. Kematian janin terjadi kira-
kira 1% pada pasien dengan PROM yang dilakukan pengelolaan konservatif. Hal
utama yang menjadi determinan untuk morbiditas dan mortalitas neonatal adalah
usia kehamilan pada saat persalinan. Pada umumnya, prognosis pada usia
kehamilan lebih dari 32 minggu baik selama tidak ada komplikasi seperti
malformasi kongenital maupun hipoplasia paru janin. 2
3.1.7.2 Infeksi
Pada kehamilan aterm, infeksi merupakan komplikasi PROM yang paling
serius untuk ibu maupun bayinya. Risiko terjadinya korioamnionitis pada
PROM dilaporkan kurang dari 10% dan meningkat sampai 40% setelah 24
jam. Hal ini menunjukkan pentingnya strategi pengelolaan pada PROM yang
aterm. Melihat risiko infeksi pada KPSW aterm rendah pada 24 jam pertama,
pengelolaan konservatif dan menunggu persalinan spontan mungkin dipilih
oleh pasien pada 12-24 jam pertama. 2
Infeksi yang terjadi pada ibu disebut korioamnionitis. Korioamnionitis
adalah infeksi pada korion, amnion dan cairan amnion oleh bakteri. Infeksi
pada janin dapat berupa sepsis, pneumonia, infeksi saluran kencing, atau
21
konjungtivitis. Umumnya, infeksi pada ibu mengawali terjadinya infeksi pada
janin. Akan tetapi, terkadang sepsis yang berat pada janin dapat terjadi
sebelum terjadinya korioamnionitis. Ini diakibatkan, saat selaput ketuban
pecah, terdapat bakteri virulen yang membentuk kolonisasi pada ketuban
sebelum munculnya tanda-tanda klinis infeksi pada ibu. Hal ini disebut juga
infeksi preklinis. Bila ditemukan tanda-tanda infeksi, misalnya demam (suhu
lebih dari 38oC), takikardi ibu dan janin, leukositosis (leukosit lebih dari
15.000/mm3), peningkatan CRP, dan cairan amnion keruh dan berbau busuk,
maka perlu dipikirkan kemungkinan terjadinya korioamnionitis. Akan tetapi,
terkadang tanda-tanda ini dapat tidak ditemukan pada kasus korioamnionitis.
CRP dapat meningkat pada kehamilan trimester pertama. Bila tidak ditemukan
tanda-tanda klinis infeksi tetapi dicurigai terjadi korioamnionitis, dapat
dilakukan amniosentesis dan dilakukan pewarnaan gram serta pemeriksaan
ada tidaknya leukosit 12,13,14
Berdasarkan penelitian Yoder tahun 1983, insidensi sepsis neonatorum
pada usia kehamilan aterm adalah 1 dari 500 janin. Bila KPSW terjadi lebih
dari 24 jam, insidensi sepsis meningkat 3-5%. Pada PPROM, infeksi pada
janin lebih sering terjadi daripada pada PROM. Semakin lama KPSW
berlangsung, semakin tinggi kemunkinan terjadinya infeksi dari bakteri di
vagina. Sebagian besar janin pada PPROM mengalami infeksi saat selaput
janin pecah. Pada sebagian besar kasus, mortalitas bayi prematur dengan
KPSW meningkat karena komplikasi prematuritas seperti sindrom distress
saluran pernafasan, perdarahan intraventrikuler, dan necrotizing enterocolitis.
Sebagai contoh, janin dengan usia kehamilan 26 minggu dengan PPROM,
morbiditas dan mortalitasnya meningkat karena prematuritas daripada infeksi.
Pada usia kehamilan 34 minggu, keadaan janin tidak jauh berbeda dengan
janin aterm, sehingga infeksi lebih mempengaruhi morbiditas dan
mortalitasnya. Adanya infeksi dapat meningkatkan komplikasi prematuritas
sehingga morbiditas dan mortalitas bayi premature meningkat. Yoon, Comero
dan kawan-kawan menjelaskan hubungan infeksi pada janin dengan
korioamnionitis dan kerusakan SSP pada janin melalui sindrom respon
22
inflamasi janin. Mereka menyatakan sitokin yang dihasilkan preaksi inflamasi
mengakibatkan lesi pada substansia alba otak janin (leukomalacia). Lesi ini
mengakibatkan terjadinya cerebral palsy saat anak berusia 3 tahun. Hal ini
diduga berhubungan dengan kadar leukosit dan interleukin-6 yang meningkat
pada amnion. 13
Berdasarkan penelitian Garite dkk tahun 1979, Miller dkk tahun 1980,
Cotton dkk tahun 1984, Zlatnick dkk tahun 1984, Broekhuizen dkk tahun
1985, Gonik dan Cotton tahun 1985 dan Romero tahun 1988, bakteri
penyebab infeksi mulai dari yang tersering adalah Streptokokus grup B (20%),
Gardnerella vaginalis (17%), Peptococcus (11%), Fusobacteria (10%),
Bacteroides fragilis (9%), dan streptoccus sp.(9%), bacteroides sp (5%).
Berdasarkan penelitian NIH, morbiditas neonatus (sepsis, pneumonia, RDS,
dan necrotizing enterocollitis menurun pada kelompok yang diberi eritromisin
dibanding plasebo. Berdasarkan penelitian Kenyon dkk, pemberian eritromisin
sama efektifnya dengan pemberian ampisilin ditambah asam klavulanat. 11
Bila terjadi korioamnionitis diberi antibiotic spectrum luas sesegera
mungkin, yaitu kombinasi ampisilin 3 x 1000 mg, gentamisin 5
mg/kgBB/hari, dan metronidazol 3 x 500 mg. beri uterotonika supaya
kontraksi uterus baik pascapersalinan. Hal ini akan menghambat invasi
mikroorganisme melalui sinus-sinus pembuluh darah pada dinding uterus. 12
23
hasil yang non reaktif (tidak adanya akselerasi) perlu dipikirkan terjadinya
sepsis atau gawat janin. 11,12,13
24
pemberian ventilasi mekanik dan dirawat di NICU, sedangkan deformitas
yang terjadi diatasi dengan jalan pembedahan. Hipoplasiapulmonal dapat
26
mengakibatkan pneumothoraks spontan atau sindrom distress saluran nafas.
25
penatalaksaan konservatif. Sebagai tambahan, subjek dalam penelitian
tersebut lebih memilih untuk dilakukan induksi persalinan daripada
pengelolaan konservatif. 2
Pasien KPSW pada kehamilan aterm atau preterm dengan atau tanpa
komplikasi harus dirujuk ke rumah sakit. 4
Bila janin hidup dan terdapat prolaps tali pusat, pasien dirujuk dengan
posisi panggul lebih tinggi dari badannya, bila mungkin dengan posisi
bersujud. Kalau perlu kepala janin didorong ke atas dengan 2 jari agar tali
pusat tidak tertekan kepala janin. Tali pusat di vulva dibungkus kain hangat
yang dilapisi plastik 4
Setelah monitoring 24-48 jam dari denyut jantung janin dan kontraksi
uterus dan tidak ditemukan keadaan yang mengkhawatirkan, maka pasien
masuk menjadi kandidat untuk pengelolaan konservatif. Pasien harus
ditempatkan di bagian obstetri ginekologi untuk tirah baring. Pemantauan
bunyi jantung janin harus dilakukan paling tidak sekali sehari dan tanda-tanda
vital ibu harus dimonitor secara ketat. Adanya takikardia dan demam
menunjukkan kemungkinan ke arah korioamnionitis dan membutuhkan
evaluasi yang seksama untuk menentukan adanya infeksi intra amnion yang
membutuhkan terapi antibiotik dan persalinan segera. 2
Pemeriksaan dalam harus dihindari. Pada presentasi selain kepala,
terutama pada serviks yang berdilatasi, pemantauan terus-menerus harus
dilakukan untuk menghindari adanya diagnosis tali pusat menumbung. 2
Pemeriksaan USG untuk menentukan index cairan amnion dan
pertumbuhan serta perkembangan janin harus dilakukan untuk meyakinkan
bahwa pengelolaan konservatif masih dapat dilakukan. Pada oligohidramnion,
index cairan amnion kurang dari 2 sentimeter berhubungan dengan masa
latensi yang pendek dan korioamnionitis, namun oligohidramnion sendiri
bukan merupakan indikasi untuk persalinan apabila tanda-tanda lain baik. 2
Bila ada demam atau dikhawatirkan terjadi infeksi saat rujukan atau
ketuban pecah lebih dari 6 jam, berikan antibiotik seperti penisilin prokain 1,2
26
juta IU intramuskuler dan ampisilin 1 g per oral. Bila pasien tidak tahan
ampisilin, diberikan eritromisin 1 g per oral 4
Bila keluarga pasien menolak dirujuk, pasien disuruh istirahat dalam
posisi berbaring miring, berikan antibiotik penisilin prokain 1,2 juta IU
intramuskuler tiap 12 jam dan ampisilin 1 g per oral diikuti 500 mg tiap 6 jam
atau eritromisin dengan dosis yang sama. 4
Dilakukan dua pengelolaan yaitu konservatif dan aktif. 6
27
Pasien dapat diberikan tokolitik berupa injeksi seperti bricasma,
salbutamol, alupent, magnesium sulfat 40% (2 gram) 20
Untuk menilai kesejahteraan janin, maka dilakukan pemeriksaan USG dan
apabila ada indikasi untuk melahirkan janin, maka sebelumnya dilakukan
pematangan paru janin.6
Diberikan pada semua wanita hamil antara 24-34 minggu yaitu
betametason 12 mg sehari dosis tunggal selama 2 hari atau deksametason IM
5 mg setiap 6 jam sebanyak 4 kali selama sehari.6, 12
Pada pasien rawat jalan di berikan edukasi untuk tidak melakukan coitus,
irigasi vagina, kontrol lebih sering dan apabila ada tanda-tanda infeksi harus
segera memeriksakan diri ke rumah sakit. 20
28
Terminasi kehamilan pada 20-28 minggu dengan misoprostol 100 ug
intravaginal, diulang 1 kali 6 jam setelah pemberian pertama, atau pemasangan
batang laminaria selama 12 jam, atau pemberian oksitosin 5 IU dalam dextrose
5% mulai 20 tetes sampai 60 tetes per menit dinaikkan setiap 15 menit, atau
kombinasi, dilakukan histerotomi apabila upaya melahirkan per vaginam
dainggap tidak berhasil atau atas indikasi ibu 6
Terminasi kehamilan pada lebih dari 28 minggu, diberikan misoprostol 50
ug intravaginal diulangi 1 kali 6 jam setelah pemberian pertama, atau pemberian
tetes oksitosin 5 IU dalam dextrose 5% mulai 20 tetes sampai 60 tetes permenit
pada primi dan multi, pada grandemulti sampai 40 tetes, sebanyak 2 labu dengan
istirahat 2 jam antara labu ke satu dan kedua dan dilakukan SC apabila usaha per
vaginam tidak berhasil 6
KPSW
Umur Kehamilan
29
3.1.9 Pencegahan
Pada periodontitis dan arthritis, di mana atriks metalloproteinase juga
berperan seperti pada KPSW, digunakan tetrasiklin dan inhibitor sintetik matriks
metalloproteinase seperti batimastat. Akan tetapi, penggunaan zat-zat tersebut
untuk mencegah KPSW masih belum diteliti.5
3.1.10 Prognosis
Sekitar 70-80% pasien yang mengalami PROM pada minggu ke 28-36
kehamilan akan mengalami persalinan dalam waktu 4 hari. Semakin aterm,
semakin cepat menuju ke persalinan. 28
Pada umumnya, prognosis pada usia kehamilan lebih dari 32 minggu baik
selama tidak ada komplikasi seperti malformasi kongenital maupun hipoplasia
paru janin. 2
PPROM yang terjadi pada trimester kedua memiliki prognosis yang
kurang baik terutama apabila PPROM terjadi pada usia kehamilan 20 minggu atau
kurang, maka viabilitas janin kurang dari 5% dan risiko hipoplasia paru karena
2
oligohidramnion dan terjadi hipoplasia struktur alveolar dan bronkial. PPROM
berhubungan dengan angka persalinan prematur yang tinggi, yaitu 30-40% dari
5
semua kelahiran prematur dan meningkatkan angka morbiditas serta mortalitas
sampai 10% 28
Tingkat kejadian berulang PPROM adalah 21-32% pada kehamilan
berikutnya. 15
30
3.2 Gawat Janin
3.2.1 Definisi
3.2.2. Patofisiologi
31
bila terjadi hipoksia, sehingga jaringan vital ( otak dan jantung) akan
menerima penyaluran darah yang lebih banyak dibandingkan jaringan
perifer. Bradikardia mungkin merupakan mekanisme perlindungan agar
jantung bekerja lebih efisien sebagai akibat hipoksia.27
3.2.3. Etiologi
- Kontraksi
Pengencangan otot uterus secara involunter untuk melahirkan bayi.
Kontraksi secara langsung mengurangi aliran darah ke plasenta dan dapat
mengkompresi tali pusat sehingga penyaluran nutrisi terganggu. Hal ini
dapat terjadi pada keadaan:
o anestesi epidural
o posisi supine
32
Hal tersebut terjadi karena adanya pengurangan jumlah aliran darah dari
vena cava ke jantung
33
3.2.5. Tanda dan Gejala
Gejala yang dirasakan oleh ibu adalah berkurangnya gerakan janin. Ibu
dapat melakukan deteksi dini dari gawat janin ini, dengan cara menghitung jumlah
tendangan janin/ ’kick count’. Janin harus bergerak minimal 10 gerakan dari saat
makan pagi sampai dengan makan siang. Bila jumlah minimal sebanyak 10
gerakan janin sudah tercapai, ibu tidak harus menghitung lagi sampai hari
berikutnya. Hal ini dapat dilakukan oleh semua ibu hamil, tapi penghitungan
gerakan ini terutama diminta untuk dilakukan oleh ibu yang beresiko terhadap
gawat janin atau ibu yang mengeluh terdapat pengurangan gerakan janin. Bila
ternyata tidak tercapai jumlah minimal sebanyak 10 gerakan maka ibu akan
diminta untuk segera datang ke RS atau pusat kesehatan terdekat untuk dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut.30
Asidosis janin
Diperiksa dengan cara mengambil sampel darah janin.
3.2.5.1 Mekonium
34
beberapa tingkat, mulai dari mewarnai ringan sampai dengan berat. Adanya
mekonium dianggap signifikan bila berwarna hijau tua kehitaman dan kental.
Mekonium kental merupakan tanda pengeluaran mekonium pada cairan amnion
yang berkurang dan merupakan indikasi perlunya persalinan yang lebih cepat dan
penanganan mekonium pada saluran napas atau neonatus untuk mencegah aspirasi
mekonium. Pada presentasi sungsang, mekonium dikeluarkan pada saat persalinan
akibat kompresi abdomen janin pada persalinan. Hal ini bukan merupakan tanda
kegawatan kecuali jika hal ini terjadi pada awal persalinan/ saat bokong masih
tinggi letaknya.31
35
oligohidroamnion, ibu perokok, penggunaan obat-obatan terlarang. (internet)
Ramin dkk. mempunyai hipotesis bahwa patofisiologi sindrom aspirasi mekonium
termasuk hiperkapnia janin, yang menstimulasi respirasi janin mengakibatkan
aspirasi mekonium ke dalam alveoli, dan trauma parenkim paru sekunder dari
kerusakan sel alveolar karena asidemia.31
3.2.5.2 Kardiotokografi
36
Gambar 1. Kardiotokograf33
Pengukuran eksternal
Dengan menggunakan alat yang dipasang pada dinding perut ibu, terdapat 2
elektroda: elektroda jantung yang ditempatkan tepat di tempat terdengarnya
denyut jantung janin dan elektroda kontraksi yang ditempatkan untuk
mengukur tegangan dinding perut, yang merupakan cara pengukuran
tekanan intra uterus secara tidak langsung. Ketua elektroda dipasang dengan
menggunakan suatu sabuk, untuk mendapatkan hasil yang maksimal,
sebelumnya digunakan jeli dengan tujuan menghilangkan pengaruh udara.
Cara pengukuran ini harus lebih cermat, karena dapat dikacaukan oleh
denyut aorta ibu. Cara eksternal lebih populer karena bisa dilakukan selama
antenatal maupun intranatal, praktis, aman ( mencegah terjadinya ruptur
membran dan invasi uterus), dengan nilai prediksi positif yang kurang lebih
sama dengan cara internal yang lebih invasif.32
37
Gambar 2. Diagram yang menunjukkan penggunaan pemantauan
eksternal34
38
Gambar 4. Gambaran denyut jantung janin yang diukur dengan
elektroda yang ditempatkan di kulit kepala janin, dan dicatat pada
kecepatan kertas 1 cm/ menit dan 3 cm/ menit.32
Pengukuran internal
Cara ini lebih invasif, alat pemantau dimasukkan ke dalam rongga rahim ibu
dan membutuhkan dilatasi serviks, dan memasukkan kateter bertekanan
serta menempelkan elektroda spiral ke kulit kepala janin. Elektroda bipolar
diletakkan pada kulit janin bagian terdepan secara langsung. Pengukuran
internal lebih tepat dan mungkin lebih dipilih pada keadaan tertentu dimana
diperkirakan akan terjadi persalinan yang terkomplikasi.32
39
Gambar 5. Gambaran skematik pemantauan internal dimana
elektroda bipolar terpasang pada kulit kepala janin, untuk mendeteksi
kompleks QRS ( F), juga menunjukkan denyut jantung ibu (M)32
40
Pasien Klinis Risti
NST
Mencurigakan
Reaktif Nonreaktif
OCT
41
A. Uji Tanpa Beban / Non Stress Test ( NST)
NST adalah pemeriksaan kesehatan janin dengan menggunakan
kardiotokografi pada umur kehamilan ≥ 32 minggu. Menurut American
Pregnancy Association, NST dilakukan pada umur kehamilan lebih atau
sama dengan 28 minggu. Sebelum usia 28 minggu, janin belum cukup
berkembang untuk memberikan respons terhadap tes. Pemeriksaan ini
dilakukan dengan maksud menilai kesehatan janin melalui hubungan
perubahan denyut jantung janin dengan gerakan janin yang dirasakan oleh
ibu
Semua kondisi yang dapat menyebabkan janin lahir dalam keadaan buruk,
antara lain:
Kondisi ibu:
Hipertensi kronis
Diabetes mellitus
Anemia berat ( Hb < 8 gr % atau Ht < 26 %)
Penyakit vaskuler kolagen
Gangguan fungsi ginjal
Penyakit jantung
Pneumonia dan penyakit paru-paru berat
Penyakit dengan kejang
42
Kondisi janin:
Kehamilan multipel
Ketuban pecah pada kehamilan kurang bulan
Polihidramnion
Oligohidramnion
Plasentasi abnormal
Solusio plasenta
Kehamilan lewat waktu
Prosedur:
43
Pemeriksaan NST ulangan dilakukan berdasarkan pertimbangan
hasil NST secara individual
Komplikasi: supine hypotension
44
B. Uji Beban Kontraksi ( Contraction Stress Test/ CST) atau Uji Dengan
Oksitosin ( Oxytocin Challenge Test/ OCT)
CST/ OCT adalah pemeriksaan kesehatan janin dengan menggunakan
kardiotokografi yang menilai perubahan denyut jantung janin pada saat
kontraksi rahim. Tujuan dilakukannya tes ini adalah untuk memantau
kondisi janin pada kehamilan usia lanjut sebelum janin dilahirkan, menilai
apakah janin sanggup mentolerir beban persalinan normal serta menilai
fungsi plasenta.
Indikasi:
45
Kelainan bawaan atau cacat janin berat
Indikasi untuk seksio sesarea
Komplikasi: persalinan kurang bulan
Prosedur:
Negatif
46
Bila hasil OCT negatif, maka kehamilan dapat diteruskan sampai 7 hari lagi,
selanjutnya dilakukan OCT ulangan, atau diartikan bahwa janin dapat mentolerir
beban persalinan normal.
Positif
Mencurigakan
Tidak memuaskan
Hiperstimulasi
47
Gambar 6. Hasil yang menunjukkan baseline rate normal:34
48
Denyut jantung janin dikatakan bradikardi bila baseline heart rate kurang
dari 110 dpm. Jika antara 110 dan 100 dikatakan mencurigakan, sementara di
bawah 100 dikatakan patologis. Penurunan bertahap yang terus-menerus adalah
suatu tanda gawat janin.
49
Gambar 9. Gambaran variabilitas32
50
Gambar 10. Gambaran bermacam-macam tingkat variabilitas32
5. Pola sinusoidal
51
satu langsung ke denyut jantung atau gelombang R
berikutnya. Variabilitas ini adalah interval waktu antara
sistole jantung
Variabilitas lanjut : bila perubahan denyut jantung terjadi dalam waktu 1
menit.
Normal bila terdapat 3-5 perubahan dalam 1 menit
Variabilitas ini normal terdapat dengan batasan 6 – 25 denyut/ menit. Tidak
adanya variabilitas biasanya berhubungan dengan asidemia metabolik yang
mendepresi batang otak janin atau jantung itu sendiri.
52
Gambar 10. Gambaran akselerasi pada respons terhadap stimulus34
53
Gambar 11. Gambaran deselerasi awal, lambat dan variabel34
Deselerasi lambat bila deselerasi persisten setelah kontraksi selesai, hal ini
mengarah pada keadaan gawat janin. Deselerasi dikatakan variabel bila bervariasi
dengan waktu dan bentuk antara satu sama lain, gambaran ini mengarah pada
keadaan hipoksia atau kompresi tali pusat.
54
Tabel 2. Klasifikasi gambaran dari kardiotokografi36
55
tetapi merupakan pemeriksaan penyerta untuk menegakkan diagnosis gawat janin
pada hasil NST yang meragukan.32
Pengambilan darah janin harus dilakukan di luar his dan sebaiknya ibu
dalam posisi tidur miring.
Pemeriksaan darah janin ini dilakukan bila terdapat indikasi sebagai berikut:
o Deselerasi lambat berulang
o Deselerasi variabel memanjang
o Mekonium pada presentasi kepala
o Hipertensi ibu
o Osilasi/ variabilitas yang menyempit
Kontraindikasi:
o Gangguan pembekuan darah janin
o Presentasi fetus yang tidak dapat dicapai
o Infeksi pada ibu
Syarat:
o Pembukaan lebih dari 2 cm
o Ketuban sudah pecah
o Kepala sudah turun hingga dasar pelvis
56
Gambar 12. Teknik pengambilan sampel darah dari kulit kepala
janin menggunakan amnioskopi32
57
Semua perkiraan hasil sampel tersebut harus diinterpretasi bersama dengan
hasil pengukuran pH terdahulu, tingkat kemajuan dalam persalinan dan gambaran
klinis ibu dan janin.
Dalam interpretasi, dapat terjadi hasil yang abnormal atau normal palsu.
Asidosis ibu
Respons susunan saraf pusat janin terhadap asidosis
Kontaminasi sampel darah
Sampel darah terlalu lama didiamkan sebelum dianalisis
Keadaan-keadaan yang menyebabkan terjadinya hasil normal palsu:
Narkose
Infeksi
Asfiksia saat pengambilan sampel
Prematuritas
Obstruksi jalan nafas neonatal
Trauma persalinan
Anomali kongenital
Recovery incomplete asphyxia
Komplikasi yang dapat terjadi dari tindakan pemeriksaan:
Perdarahan
Insisi terlalu dalam
Infeksi
58
3.2.5.4 Profil Biofisik
Konsep dasar dari profil biofisik adalah penilaian beberapa variabel dari
kegiatan biofisik fetus yang lebih sensitif dan lebih dapat diandalkan daripada
pemeriksaan satu parameter saja. Pemantauan kegiatan biofisik fetus, memainkan
peranan dalam mengidentifikasi janin yang mengalami asfiksia.
Profil biofisik terdiri dari 5 komponen, salah satunya adalah standar tes
non stress. Empat parameter lainnya dilakukan dengan pemeriksaan ultrasonik.
59
Tabel 4. Skor biofisik janin37
Normal : 8 atau 10
Ragu-ragu : 4 atau 6
Abnormal : 0 atau 2
60
Profil biofisik kurang begitu menyita waktu bila dibandingkan dengan
OCT ( Oxytocin Contraction Test), dan ada beberapa peneliti yang menganjurkan
pemeriksaan biofisik sebagai langkah selanjutnya setelah tes non stress dan
bukannya OCT. Bila tes kedua setelah NST yang non reaktif adalah skor biofisik,
maka pengelolaannya sebagai berikut:
Tabel 4. Kriteria Tata Laksana Untuk Pola Denyut Jantung Janin yang
Meragukan32
1. Reposisi pasien
2. Hentikan stimulansia uterus dan koreksi hiperstimulasi uterus
3. Pemeriksaan vaginal
4. Koreksi hipotensi ibu yang berhubungan dengan anestesi regional
5. Pemberitahuan tenaga anestesi dan perawat untuk kebutuhan persalinan
darurat
6. Monitor denyut jantung janin – dengan monitor janin elektronik atau
auskultasi – di ruang operasi sebelum menyiapkan kelahiran per
abdominal
7. Adanya tenaga kompeten yang hadir untuk resusitasi dan penanganan
neonatus
8. Pemberian oksigen ke ibu
61
3.2.6.1 Tokolitik
3.2.6.2 Amnioinfusion
62
hanya dengan pemberian 500 ml bolus cairan fisiologis dalam temperatur
ruangan, atau 500 ml bolus ditambah infus kontinyu 3 ml per menit.32
Hipertonus uterus 27
Amnionitis 7 ( 4)
Ruptur uterus 4 ( 2)
Abrupsi plasenta
2 ( 1)
Kematian ibu
2 ( 1)
63
o Tanda infeksi ( demam, sekret vagina berbau), berikan antibiotik
sesuai dengan penatalaksanaan amnionitis
o Bila tali pusat di bawah bagian yang terendah, atau ada di vagina,
tangani sesuai dengan penanganan tali pusat prolaps
Jika denyut jantung abnormal menetap atau ada tanda tambahan gawat
janin, rencanakan persalinan:
o Jika serviks terdilatasi penuh dan kepala janin tidak lebih dari 1/5
di atas simfisis pubis atau ujung tulang terendah dari kepala pada
stasion 0, lahirkan dengan ekstraksi vakum atau forsep.
o Jika serviks tidak terdilatasi penuh atau kepala janin lebih dari 1/5
di atas simfisi pubis atau ujung tulang terendah dari kepala di atas
stasion 0, lahirkan dengan seksio sesarea.
Metode kontrasepsi permanen disebut juga kontrasepsi mantap, metode ini dibagi
menjadi dua macam, yaitu Tubektomi pada wanita, dan vasektomi pada pria
Tubektomi adalah tindakan yang dilakukan pada kedua tuba fallopii wanita,
tindakan ini dilakukan dengan cara menyumbat atau memutus saluran tuba, sehingga
sperma tidak dapat bertemu dengan ovum, sedangkan vasektomi pada kedua vas deferens
pria yang mengakibatkan para akseptor KB tidak dapat hamil atau tidak menyebabkan
kehamilan lagi.
a. Tubektomi
Dahulu tubektomi dilakukan dengan jalan laparotomi atau pembedahan
vaginal.Namun sekarang dengan alat dan teknik terbaru, tindakan tersebut lebih
ringan dan tidak membutuhkan perawatan di rumah sakit. Terdapat penutupan tuba
dapat dilakukan dengan cara :
1. Laparotomi
Tindakan ini tidak dilakukan lagi sebagai tindakan khusus, dimana tindakan
ini dijalankan sebagai tindakan tambahan apabila wanita yang bersangkutan
perlu dibedah untuk keperluan lain, misalnya Sectio caesarean.
64
2. Laparotomi post partum
Laparotomi post partum dilakukan 1 hari postpartum. Keuntungannya adalah
perawatan nifas dapat dilakukan bersamaan dengan perawatan pasca
operasi, dan oleh karena uterus masih besar, cukup dilakukan sayatan kecil
dekat fundus uteri untuk mencapai tuba. Penutupan tuba tersebut biasanya
dilakukan dengan teknik Pomeroy
3. Minilaparotomi
Mini laparotomi dilakukan dalam masa interval, stuba dimasukkan alat
khusus ke dalam kavum uteri.
4. Laparoskopi
Laparoskopi dilakukan dengan menggunakan alat khusus yang
memungkinkan sayatan yang dibutuhkan dalam penutupan tuba menjadi
minimal.Tuba ditutup dengan melakukan kauterisasi atau dengan memasang
tuba cincin Yoon atau cincin Falope atau cincin Hulka. Namun, dengan
kemungkinan komplikasi yang besar pada kauterisasi, sekarang lebih banyak
dilakukan dengan cara lain.
5. Kuldoskopi
Teknik yang dapat dilakukan dalam penutupan tuba ada beberapa, yaitu :
1. Cara Maedlener
Bagian tengah tuba diangkat dengan cuman, sehingga terbentuk lipatan
terbuka.Kemudian dasar dari lipatan tersebut diikat dengan benang.Pada cara ini
tidak dilakukan pemotongan tuba.Sekarang cara ini sudah tidak dilakukan lagi
karena anggka kegagalan cukup tinggi yaitu 1% -3%.
65
2. Cara Pomeroy
Tuba dijepit kira-kira pada pertengahan, kemudian diangkat sampai
melipat.Dasar lipatan diikat dengan sehelai Catgut biasa no.0 atau no.1.lipatan tuba
kemudian dipotong di atas ikatan catgut tadi. Tujuan pemakaian catgut biasa ini
ialah lekas diabsorpsi, sehingga kedua ujung tuba yang di potong lekas
menjauhkan diri, dengan demikian rekanalisasi tidak dimungkinkan.
3. Cara Irving
Tuba dipotong pada pertengahan panjangya setelah kedua ujung potongan
diikat dengan catgut kronik. Ujung potongan proksimal ditanamkan di dalam
miometrium dinding depan uterus. Ujung potogan distal ditanamkan di dalam
ligamentum latum.Dengan cara ini rekanalisasi spontan tidak mungkin terjadi.Cara
tubektomi ini hanya dapat dilakukan pada laparotomi besar seperti seksio sesarea.
66
4. Cara Aldridge
5. Cara Uchida
Pada cara ini, tuba ditarik ke luar abdomen melalui suatu insisikecil
(minilaparotomi) di atas simfisis pubis.Kemudian di daerahampula tuba
dilakukan suntikan dengan larutan adrenalin dalam air garam di bawah serosa
tuba.Akibat suntikan ini, mesosalping didaerah tersebut menggembung. Lalu
dibuat sayatan kecil didaerah yang kembung tersebut. Serosa dibebaskan dari
tuba sepanjangkira-kira 4-5 cm; tuba dicari dan setelah ditemukan dijepit,
diikatlalu digunting. Ujung tuba yang proksimal akan tertanam dengansendirinya
di bawah serosa, sedangkan ujung tuba yang distaldibiarkan berada di luar serosa.
Angka kegagalan cara ini adalah 0.
67
6. Cara Kroener
Bagian fimbria dari tuba dikeluarkan dari lubang operasi.Dibuat suatu ikatan
dengan benang sutra melalui bagian mesosalping di bawah fimbria.Seluruh fimbria
dipotong, setelah pasti tidak ada perdarahan, maka tuba dikembalikan ke dalam rongga
perut.Teknik ini banyak digunakan. Keuntungan cara ini antara lain ialah sangat kecilnya
kemungkinan kesalahan mengikat ligamentumrotundum. Angka kegagalan 0,19%.
Manfaat
1. Sangat efektif (0,5 kehamilan per 100 perempuan selama tahun pertama
penggunaan.
2. Tidak mempengaruhi proses menyusui.
3. Tidak tegantung pada fartor senggama.
4. Pembedahan sederhana, dapat dilakukan dengan anetesi local.
5. Tidak ada efek samping dalam jangka panjang.
6. Tidak ada perubahan dalam fungsi seksual (tidak ad efek pada produksi hormone
overium).
Keterbatasan
68
Yang dapat menjalankan tubektomi
1. Setiap waktu selama siklus menstruasi apabila telah diyakini bahwa pasien tidak
hamil.
2. Hari ke-16 hingga ke-13 dari siklus menstruasi (fase proliferasi)
3. Pasca persalinan
Minilap : kurang dari 48 jam atau setelah 6 minggu atau 12 minguu.
Laparoskopi : tidak tepat untuk pasien pascapersalinan.
4. Pascakeguguran :
Triwulan pertama : dalam waktu 7 hari sepanjang tidak ada bukti infeksi pelvik
(minilaparotomi atau laparoskopi).
Triwulan kedua : dalam waktu 7 hari sepanjang tidak ada bukti infeksi pelvis
(minilaparotomi saja)
Tipe prosedur :
1. Strerilisasi interval
Ketika ukuran rahim normal atau mendekati normal (dilakukan pada pasien
selama siklus menstruasinya setelah mengesampingkan adanya kehamilan atau setelah
aborsi pada trisemester pertama), dapat dilakukan insisi mendekati tuba di atas tulang
kemaluan.
69
Waktu yang tepat untuk melakukan sterilisasi pasca persalinan yaitu tidak lebih
dari 48 jam setelah melahirkan. Apabila dilakukan lebih dari waktu tersebututerus
sudah berinvolusi sehingga sulit mencapai tuba. Selain itu tuba mulai rapuh dan
,mudah berdarah. Infeksi lebih sering terjadi pada minilap yang dilakukan lebih dari
48 jam pasca bersalin. 32
Minilaparotomi laparoskopi
70
Nyeri pasca operasi Nyeri perut pasca operasi Nyeri perut pasca operasi
dapat terjadi. hanya sedikit.
Konseling Prabedah
Tujuannya ialah membantu calon akseptor memperoleh informasi lebih lanjut tentang
kontap, dan pengertian yang lebih baik mengenai dirinya, keinginannya, khawatirannya,
membantu pasien memilih kontap sebagai kontrasepsi bagi dirinya tanpa adanya paksaan,
memberikasn informasi mengenai tatacaca pelaksanan kontap itu sendiri, termasuk
pengisian permohonan dan persetujuan untuk dilakukan kontap itu sendiri. 32
1. Usap genetalia eksterna dan perineum dengan kasa berantiseptik dan lakukan
kateterisasi.
2. Lakukan pemeriksaan pelvik secara bimanual, nilai posisi, dan besar uterus serta
kelainan dalam pelvik.
3. Pasang speculum dan nilai serviks dan vagina kemudian lakukan tindakan asepsis
pada portio dan vagina.
4. Pasang tenakulum pada jam 12 dan lakukan sondase
5. Pasang elevator uterus.
6. ikatkan gagang elevator pada gagang tenakulum untuk mempertahankan posisi
uterus.
7. lepas sarung tangan pakai “pakaian operasi” dan sarung tangan steril.
71
2. Tentukan tempat insisi pada dinding perut dengan jalan menggerakan
elevatoruterus ke bawah sehingga fundus uteri menyentuh dinding perut ± 2-3 cm
di atas simfisis pubis.
3. Lakukan tindakan asepsis (betadine atau jodium alcohol) pada tempat insisi dengan
gerakan melingkar dari tengah kearah luar, tutup dengan doek steril .
72
5. Lakukan insisi melintang pada kulit dan jaringan subkutan sepanjang 3 cm pada
tempat yang telah ditentukan.
Daerah terbaik untuk sayatan suprapubik adalah 2 sampai 3 cm (atau 1 inci) di atas
perbatasan pubis tersebut.Di daerah ini, anatomi lipatan pada persatuan pubis dan
dinding perut umumnya lebih tipis.34
6. Pisahkan jaringan subkutan secara tumpul (dengan retractor) sampai terlihat fasia.
7. Jepit fasia ( dengan kocher) pada 2 tempat dalam arah vertical dengn jarak 2 cm,
lakukan insisi dalam arah horizontal, pelebar ke kiri dan ke kanan.
8. Pisahkan jaringan otot secara tumpul pada garis tengah dengan jari telunjuk atau
klem sehingga tapak peritoneum.
9. Jepit peritoneum dengan 2 klem, transiluminasi untuk identifikasi, sisihkan
omentum dan usus dari peritoneum dengan menggunakan sisi luar gunting. (bagian
tumpul )
10. Gunting peritoneum arah vertical 2 cm ke atas dan 1 cm ke bawah (sampai batas
perineum-vesika urinaria)
73
Untuk masuk ke rongga perut lebih aman ketika meja operasi ditempatkan di posisi
Trendelenburg (dengan kepala meja miring ke bawah 20 ° atau kurang). Posisi ini
menggeser usus, sehingga meminimalkan risiko cedera .
Untuk meminimalkan waktu mengubah dalam posisi ini, anggota tim bedah harus
menempatkan pasien dalam posisi ini sebelum menggores peritoneum, dan harus
mengembalikannya ke posisi horizontal secepat mungkin setelah pembuntuan
pembuntuan selesai.
11. Masukan 2 buak refraktor pada tempat insisi peritoneum dan regangkan untuk
menampakan uterus pada lapangan operasi.
12. Bila omentum atau usus menghalangin lapang pandang, gunakan kasa gulung, jepit
ujung kasa dengan klem.
Mencapai Tuba
13. Gerakan elevator uterus sampai fundus uteri tampak pada lapangan operasi
14. Tampakan salah satu kornu uteri dan ligament rotundum pada lapangan operasi
dengan menggeraksan elevator dan identifikasi tuba.
15. Jepit tuba dengan pinset atau klem Babcock dan tarik pelan-pelan keluar melalui
lubang insisi sampai terlihat fimbria.
74
Memotong Tuba : (cara pomeroy)
16. Jepit tuba pada 1/3 proksimal dengan klem Babcock, angkat sampai tuba
melengkung,tentukan daerah mesosalping tanpa pembuluh darah.
17. Tusukan jarum bulat dengan bedang catgut nomor 0 pada jarak 2 cm dari
lengkungan dan ikat salah satu pankal lengkungan tuba.
18. Ikat kedua pangkal lengkungan tuba secara bersama-sama dengan menggunakan
benang yang sama.
19. Potong tuba tepat di atas ikatan benang.
20. Periksa perdarahan pada tunggul tuba dan periksa lumen tuba untuk meyakinkan
tuba telah terpotong.
21. Potong benang catgut 1 cm dari tuba dan masukan kembali tuba ke dalam rongga
abdomen.
22. Lakukan tindakan yang sama pada tuba sisi yang lain.
75
Menutup Dinding Abdomen
23. Periksa rongga abdomen ( kemungkinan perdarahan atau laserasi usus ) dan
keluarkan kasa gulung.
24. Jahit fasia dengan jahitan simpul atau angka 8 memakai benang chromic catgut
nomor 1.
25. Jahit subkutis dengan jahitan simpul memakai benang plain catgut nomor 0.
26. Jahit kulit dengan jahitan simpul memakai benang sutera nomor 0.
Tidakan Pascabedah
27. Bersihkan luka insisi dan dinding abdomen sekitarnya dengan alcohol atau betadin,
tutup luka dengan kasa steril dan plester.
28. Bersihkan luka insisi dan dinding abdomen sekitarnya dengan alcohol ata betadine,
tutup luka dengan kain steril dan plester.
29. Lepaskan tenakulun dan elevator uterus.
30. Periksa tekanan darah, nadi dan pernafasan.
31. Tanyakan pada klien tentang keluhan subyektif.
32. Pindahkan klien dari meja operasi ke ruang pulih untuk pengamatan setelah 1 jam.
33. Observasi tensi, tekanan darah, nadi, pernafasan dan perdarahan melalui luka
operasi dan vagina.
76
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus ini, pasien wanita dengan inisial Ny. S (37 tahun) di diagnosis dengan
KPSW dan Gawat Janin didasarkan dari:
KPSW
Anamnesis:
Pasien hamil 39 – 40 minggu
Pasien mengeluh keluar air – air dari jalan lahir sejak 24 jam SMRS
Pemeriksaan Fisik didapatkan:
Pemeriksaan dalam
Penunjuk UUK
pembukaan serviks 3 cm
Ketuban (+), berwarna hijau
Penurunan kepala janin di Hodge I
Pemeriksaan Penunjang
Darah rutin, leukosit 10,6 x 103/mm3
Gawat Janin
Anamnesis:
Pasien masih merasakan gerakan janin
Pemeriksaan Fisik didapatkan:
Mekonium
Pemeriksaan Penunjang
DJJ 175x/menit
Terjadinya KPSW disertai ketuban yang berwarna hijau dan Gawat Janin
sangat berkaitan, dimana janin mengeluarkan mekonium sebagai respon terhadap
hipoksia, dan mekonium merupakan hasil dari suatu usaha janin untuk
mengompensasi. Selain itu mekonium juga dapat keluar sebagai stimulasi vagal
77
dari terjepitnya tali pusat dan gerakan peristaltik, dapat terjadi Sindrom aspirasi
mekonium, peningkatan DJJ > 160x/menit
Pada pasien ini dilakukan penanganan kasus berupa tindakan aktif yaitu
Sectio Caesarean atas indikasi Gawat Janin + Pembukaan serviks 3 cm.
Sebelum dilakukan operasi, pasien telah diberikan edukasi tentang
kontrasepsi. Karena usia > 35 tahun dan cukup anak, maka kontrasepsi yang
cocok pada pasien ini adalah kontrasepsi mantap. Tindakan kontrasepsi mantap
dilakukan dengan metode pomeroy dan dilakukan pada saat SCTP.
78
BAB V
KESIMPULAN
79
DAFTAR PUSTAKA
80
11. Cootauco A.C., Althaus J.E. Preterm labor and premature rupture of
membranes In: The john hopkins manual of gynecology and obstetrics. 3rd ed.
USA: Lippincott William and Wilkins. 126-27. 2007.
12. Soetomo Soewarto. Ketuban pecah dini. Dalam: Ilmu Kebidanan. Edisi
keempat. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. h. 677-81.
2008.
13. Bruce E. Premature rupture of membranes. Diakses tangal 9 Februari 2015
dari http://www.compleatmother.com/prom.htm
14. University of Virginia. High risk pregnancy. Diakses tanggal 5 Februari 2015
dari
http://www.healthsystem.virginia.edu/uvahealth/peds_hrpregnant/prm.cfm
15. Stuebe A. Premature rupture of membranes. Diakses tanggal 9 Februari 2010
dari http://www.healthline.com/yodocontent/pregnancy/premature-rupture-
risk-factors.html. 2006
16. http://farm3.static.flickr.com/2146/2304953763_c6b05d33ab.jpg
17. Djamhoer M, Firman F.W. Robeknya selaput dalam kehamilan. Dalam :
Sulaiman S, Djamhoer M, Firman W (Editor) Obstetri patologi ilmu
kesehatan reproduksi. Edisi kedua. EGC : Jakarta. 2003. h. 36-7.
18. http://catalog.nucleusinc.com/imagescooked/9946W.jpg
19. Duff, P. Management of premature rupture of the membranes in term
patients. Diakses tanggal 9 Februari 2015 dari
http://www.glowm.com/index.html?p=glowm.cml/section_view&articleid=1
19. 2008
20. Anonim. KPSW (Ketuban pecah sebelum waktunya). Dalam : Standar
diagnosis dan terapi kasus-kasus ilmu kebidanan dan penyakit kandungan.
Rumah Sakit Immanuel : Bandung. 2006.
21. Andersen HF, Hopkins MK, Hayashi RH. Premature Rupture of the
Membranes, Dalam: Gynecology and Obstetrics, Volume 2, Sciarra JJ,
penyunting. Philadelphia: J.B. Lippincott Company, (47)1-6. 1995.
81
22. Parsons MT, Spellacy WN, Premature Rupture of Membranes, Dalam:
Danforth’s Obstetrics and Gynecology, Edisi ke-8, James R, Scott,
penyunting. Philadelphia: Lippincott Wiliams & Wilkins. p.269-76. 1999.
23. Baxter JK, Sehdev HM, Olygohidramnios. Diakses tanggal 10 Februari 2015
dari http://www.emedicine.com. 2003.
24. Rajiah P. Polyhidramnion. Diakses tanggal 11 Februari 2015 dari
http://www.emedicine.com
25. Sairam VK, Travis L, Potter Syndrome. Diakses tanggal 10 Februari 2015
dari http://www.emedicine.com. 2006
26. Admin. Premature rupture of membrane. Diakses tanggal 20 Februari 2015
dari http://www.mdguidelines.com/premature-rupture-of-membranes. 2010
27. Arulkumaran S., Gibb. Fetal Monitoring in Practice, Oxford: Butterworth-
Heinemann Ltd, 1992:1-146
28. Hanifa Wiknjosastro, Abdul Bari Saifudin, Trijatmo Rachimhadhi, dalam:
Ilmu Kebidanan, edisi ketiga. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, 2006:1:4-10
29. Hanifa Wiknjosastro, Abdul Bari Saifudin, Trijatmo Rachimhadhi, dalam:
Ilmu Bedah Kebidanan, edisi pertama. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo, 2006:6:52-60
30. Cleveland. Fetal Distress. Cleveland: Department of Patient Education and
Health Information. 2007. Diakses tanggal 17 Februari 2015 di
http://www.clevelandclinic.org/health/healthinfo/docs/3800/3896.asp?index=
12401
31. Hayley Willacy. Fetal Disress. UK: PatientPlus. 22 Juni 2007. Diakses
tanggal 11 Agustus 2007 di http://www.patient.co.uk/showdoc/40000220/
32. Steele, Wanda F., What are the signs of fetal distress? In: SheKnows
Pregnancy and Baby. Pennsylvania. 2007. Diakses tanggal 11 Februari 2015
di http://pregnancyandbaby.com/pregnancy/baby/What-are-the-signs-of-fetal-
distress-5960.htm
82
33. Hayley Willacy. Meconium Stained Liquor. US: PatientPlus. 7 Agustus 2006.
Diakses tanggal 11 Februari 2015 di
http://www.fetal.freeserve.co.uk/meconium.html
34. Cunningham, Garry F., M. D. et al: Antepartum Assesment, Williams
Obstetrics,22nd ed, Connecticut: Appleton & Lange, 2002:40:1095-1108
35. Wikipedia. Cardiotocography. US:Wikipedia Foundation. 20 Februari 2015.
36. Diakses tanggal 11 Februari 2015, di
http://www.fetal.freeserve.co.uk/meconium.html
37. Cardiotochography. 21 Januari 2001. Diakses tanggal 11 Februari 2015 di
http://www.fetal.freeserve.co.uk/ctg.html
38. Sofie Rifayani Krisnadi, Johanes C. Mose, Jusuf S. Effendi. Pedoman
Diagnosis dan Terapi Obstetri dan Ginekologi. Bandung: Rumah Sakit Hasan
Sadikin. 2005:7-1
39. Sean Kavanagh. Fetal Monitoring. UK: 29 Agustus 2006. Diakses tanggal 11
Februari 2015 di http://www.patient.co.uk/showdoc/40000245/
40. Hidayat Wijayanegara. Dalam: Makalah Lengkap Kursus Dasar
Ultrasonografi Kardiotokografi. Malang: RSUD DR. Saiful
Anwar.2002:VIII1-5
41. Children’s Hospital of The King’s Daughters. Biophysical Profile. 30
September 2005. Diakses tanggal 11 Februari 2015, dari
http://www.chkd.org/highriskpregnancy/bpp.htm
42. World Health Organization. Fetal Distress in Labour.2003. Diakses tanggal
17 Februari 2015 di http://www.who.int/reproductive-
health/impac/Symptoms/Fetal_distress_S95_S96.html
83