HEMATEMESIS MELENA
Disusun oleh:
Chyntia Monica
Pembimbing:
dr. Nugroho Budi Santoso, Sp.PD FINASIM
Anamnesis : autoanamnesis
Keluhan utama :
Pasien mengeluh muntah darah sejak 12 jam SMRS
Keluhan tambahan :
Pasien mengeluh BAB berwarna hitam dan nyeri ulu hati
Riwayat Keluarga :
Keluarga menderita keluhan yang sama (-)
Status Generalis :
Keadaan umum : baik
Kesadaran : composmentis
Tekanan darah : 130 / 80 mmHg
Nadi : 80x/menit
Suhu : 37oC
Pernapasan : 20x/menit
Berat badan : 70 kg
Tinggi badan : 170 cm
Tingkat Kejiwaan
Tingkah laku : wajar
Proses berpikir : cukup ide, relevan, koheren
Kecerdasan : cukup
Pemeriksaan Fisik
1. Kulit
Warna : coklat sawo matang
Pucat : tidak ada
Jaringan parut : tidak ada
Turgor : baik
2. Kepala
Bentuk : normosefal
Posisi : simetris
Muka : normal
3. Mata
Exophtalmus : tidak ada
Enophtalmus : tidak ada
Edema kelopak : tidak ada
Konjungtiva anemis : -/-
Skelra ikterik : -/-
4. Telinga
Pendengaran : baik
Darah & cairan : tidak ditemukan
5. Mulut
Trismus : tidak ada
Bau pernapasan : tidak ada
Faring : dalam batas normal
Lidah : lidah tidak kotor, tidak deviasi
Uvula : letak ditengah, tidak deviasi
Tonsil : T1-T1
6. Leher
Trakhea : tidak ada deviasi
Kelenjar tiroid : tidak ada pembesaran
Kelenjar limfe : tidak ada pembesaran
7. Paru – paru
Inspeksi : pergerakan dinding dada simetris pada keadaan statis dan
dinamis kanan kiri. Tidak terlihat luka, kulit kemerahan atau penonjolan.
Palpasi : tidak teraba kelainan dan massa pada seluruh lapang paru.
Fremitus taktil dan vokal (kanan dan kiri) simteris
Perkusi : sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : terdengar suara napas dasar vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -
/-.
8. Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba
Perkusi : batas jantung normal
Auskultasi : bunyi jantung I-II reguler, gallop (-), murmur (-)
9. Abdomen
Inspeksi : simetris, perut datar
Palpasi : supel (+), nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan lien tidak
teraba membesar, nyeri lepas (-)
Perkusi : timpani pada seluruh kuadran, shifting dullness (-)
Auskultasi : bising usus (+), normal
10. Ekstremitas
Akral hangat pada ekstremitas atas dan bawah kanan kiri
Edema pada ekstremitas atas dan bawah kanan kiri tidak ditemukan
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium pada tanggal 29 Desember 2017
Hematologi Hasil Nilai Rujukan Satuan
Hemoglobin 8.4 13.2 – 17.3 g/dL
Hematokrit 25 40 – 52 %
Eritrosit 2.5 4.4 – 5.9 juta/L
Leukosit 14.40 3.80 – 10.60 103/L
Trombosit 263 150 – 440 ribu/L
Kimia Klinik
SGOT (AST) 31 0 – 50 U/L
SGPT (ALT) 44 0 – 50 U/L
Ureum darah 125 20 – 40 mg/dL
Kreatinin darah 1.22 0.17 – 1.50 mg/dL
eGFR 64.2 mL/min/1.73 m2
Glukosa darah 118 < 200 mg/dL
sewaktu
Gas darah + elektrolit
Natrium (Na) 146 135 – 147 mmol/L
Kalium (K) 4.3 3.5 – 5.0 mmol/L
Klorida (Cl) 113 98 – 108 mmol/L
Laboratorium pada tanggal 31 Desember 2017
Hematologi Hasil Nilai Rujukan Satuan
Hemoglobin 10.1 13.2 – 17.3 g/dL
Hematokrit 29 40 – 52 %
Eritrosit 2.9 4.4 – 5.9 juta/L
Leukosit 9.23 3.80 – 10.60 103/L
Trombosit 200 150 – 440 ribu/L
Hitung Jenis
Basofil 0 0–1 %
Eosinofil 1 1–3 %
Neutrofil Batang 0 3–5 %
Neutrofil Segmen 70 50 – 70 %
Limfosit 23 25 – 40 %
Monosit 6 2–8 %
Permasalahan
Hematemesis : pasien mengatakan muntah darah
Melena : pasien mengatakan BAB berwarna hitam
Diagnosis Kerja
Hematemesis melena e.c multipel ulkus gaster
Diagnosis Banding
Hematemesis melena e.c gastritis erosif
Penatalaksanan
Non Farmakologi Farmakologi
1. Tirah baring 1. Cairan infus RL
2. Pemasangan NGT 2. Injeksi omeprazole 1x1 intravena
3. Puasa hingga perdarahan berhenti 3. Injeksi ondancentron 2x1 intravena
4. Diet lunak 4. Transamin 3x1
5. Transfusi PRC 500cc 5. V-Block 1x6.25mg P.O
6. Sucralfat sirup 3x1 cth
7. Inpepsa 3x15 cth
Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanactionam : dubia ad bonam
PEMBAHASAN
I. DEFINISI
Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) kehilangan darah dari saluran
cerna atas, di mana saja, mulai dari esofagus sampai dengan duodenum (dengan
batas anatomik di ligamentum Treitz), dengan manifestasi klinis berupa
hematemesis, melena, hematoskezia atau kombinasi.
II. EPIDEMIOLOGI
Insidens perdarahan SCBA bervariasi mulai dari 48-160 kasus per 100.000
populasi, insidens tertinggi pada laki-laki dan lanjut usia. Lebih dari 60%
perdarahan SCBA disebabkan oleh perdarahan ulkus peptikum, perdarahan varises
esofagus hanya sekitar 6%. Etiologi lain adalah malformasi arteriovenosa, Mallory
Weiss tear, gastritis, dan duodenitis. Di Indonesia, sekitar 70% penyebab SCBA
adalah ruptur varises esofagus. Namun, dengan perbaikan manajemen penyakit
hepar kronik dan peningkatan populasi lanjut usia, proporsi perdarahan ulkus
peptikum diperkirakan bertambah. Data studi retrospektif di RS Cipto
Mangunkusumo tahun 2001-2005 dari 4154 pasien yang menjalani endoskopi,
diketahui bahwa 807 (19,4%) pasien mengalami perdarahan SCBA. Penyebab
perdarahan SCBA antara lain: 380 pasien (33,4%) ruptur varises esofagus, 225
pasien (26,9%) perdarahan ulkus peptikum, dan 219 pasien (26,2%) gastritis erosif.
III. KLASIFIKASI
Perdarahan SCBA, dibagi berdasarkan perdarahan varises dan non-varises.
Perdarahan Varises
1. Esophageal varises
Sekitar 25 – 35 % pada pasien sirosis hati, rentan terjadi pecah nya varises
esofagus.
Faktor – faktor pecahnya varises esofagus :
a. Tekanan dalam varises
b. Tekanan dinding varises
c. Ukuran varises
d. Beratnya penyakit hati
2. Gastric varises
Varises gaster adalah pelebaran pembuluh darah yang terutama ditemukan
pada gaster. Prevalensi dari varises gaster pada pasien yang menderita
hipertensi portal berkisar antara 2% - 70%. Sekitar 2%-43% penyebab
perdarahan varises dikatakan berasal dari varises gaster. Klasifikasi gastric
varises :
Gastroesophageal varices (GOV)
GOV1 berlokasi di kurvatura minor
GOV2 berlokasi di fundus
Isolated gastric varices (IGV)
IGV1 berlokasi di fundus
IGV2 berlokasi di korpus, antrum, pylorus
1. Ulkus peptikum
Ulkus peptikum merupakan hasil dari ketidakseimbangan antara faktor-faktor
yang menyebabkan kerusakan dengan sistem pertahanan mukosa. Beberapa
mekanisme protektif dapat mencegah kejadian ulkus peptikum pada keadaan sehat.
Pada saat mekanisme-mekanisme ini terganggu atau tidak berfungsi, maka mukosa
menjadi rentan terhadap berbagai serangan. Hal ini sering ditemukan pada berbagai
keadaan penyakit, diantaranya syok, penyakit kardiovaskular, hati atau gagal ginjal,
yang merupakan kondisi predisposisi terjadinya penyakit ulkus peptikum.
Sebagian besar ulkus, meskipun demikian, timbul pada saat mekanisme
pertahanan normal diganggu atau ditekan oleh gangguan mukosa yang hebat
sehingga mengalahkan mekanisme protektif saluran cerna atas. Gangguan yang
paling sering didapatkan adalah oleh karena infeksi H. pylori dan penggunaan obat
anti-inflamasi non steroid (OAINS). Penyebab yang lebih jarang termasuk
hipersekresi asam lambung (sindrom Zollinger-Ellison), hiperplasia sel-G antral
dan mastositosis. Infeksi virus seperti herpes simplex dan sitomegalovirus, kelainan
inflamasi seperti penyakit Crohn’s atau sarkoidosis, serta trauma radiasi dapat
menyebabkan ulserasi saluran cerna, termasuk lambung dan duodenum.
Perdarahan akibat ulkus peptikum terjadi pada saat ulkus menyebabkan salah
satu pembuluh darah besar yang memperdarahi saluran cerna bagian atas.
IV. ETIOLOGI
Penyebab terbanyak di Indonesia adalah perdarahan varises karena sirosis hati
(65%), sedangkan di negara Eropa dan Amerika adalah perdarahan non variceal
karena ulkus peptikum (60%). Penyebab lain yang jarang meliputi, Malory Weiss
tears, duodenitis erosive, ulkus dielafoy (salah satu tipe malformasi vaskuler),
neoplasma, aortoenteric fistula, GAVE (gastric antral vascular ectasia) dan
gastropathy prolapse.
Tabel 1. Penyebab Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas
Sering (Common) Kurang sering (less Jarang
common)
Ulkus gaster Erosi / gastropati gaster Ulkus esophagus
Ulkus duodenum Esofagitis Duodenitis erosive
Varises esophagus Lesi Dielafoy Fistula Aortoenterik
Mallory Weiss Tear Telangiektasis Hemobilia
Gastropati hipertensi Penyakit pankreas
portal Penyakit chron’s
GAVE (Gastric Antral
Vascular Ectasia) =
watermelon stomach
Varises gaster
Neoplasma
1. Usia
Perdarahan SCBA sering terjadi pada orang dewasa dan risiko meningkat pada
usia >60 tahun. Penelitian pada tahun 2001-2005 dengan studi retrospektif di
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo terhadap 837 pasien yang memenuhi
kriteria perdarahan SCBA menunjukkan rata-rata usia pasien laki-laki adalah
52,7 ± 15,82 tahun dan rata-rata usia pasien wanita adalah 54,46 ± 17,6.26 Usia
≥ 70 tahun dianggap sebagai faktor risiko karena terjadi peningkatan frekuensi
pemakaian OAINS dan interaksi penyakit komorbid yang menyebabkan
terjadinya berbagai macam komplikasi.
2. Jenis kelamin
Kasus perdarahan SCBA lebih sering dialami oleh laki-laki. Penelitian di
Amerika Serikat menunjukkan bahwa sekitar 51,4% yang mengalami
perdarahan SCBA berjenis kelamin laki-laki. Dari penelitian yang sudah
dilakukan mayoritas menggunakan pendekatan epidemiologi dan belum ada
penelitian yang secara spesifik menjelaskan hubungan perdarahan SCBA dengan
jenis kelamin.
6. Alkohol
Mengkonsumsi alkohol konsentrasi tinggi dapat merusak pertahanan mukosa
lambung terhadap ion hidrogen dan menyebabkan lesi akut mukosa gaster yang
ditandai dengan perdarahan pada mukosa.
7. Riwayat Gastritis
Riwayat Gastritis memiliki dampak besar terhadap terjadinya ulkus. Pada
kelompok ini diprediksi risiko terjadi bukan karena sekresi asam tetapi oleh
adanya gangguan dalam mekanisme pertahanan mukosa dan proses
penyembuhan.
9. Infeksi bakteri
Helicobacter pylori Helicobacter pylori merupakan bakteri gram negatif
berbentuk spiral yang hidup dibagian dalam lapisan mukosa yang melapisi
dinding lambung. Beberapa penelitian di Amerika Serikat menunjukkan tingkat
infeksi H.pylori < 75% pada pasien ulkus duodenum.
10. Chronic Kidney Disease
Patogenesis perdarahan saluran cerna pada chronic kidney disease masih belum
jelas, diduga faktor yang berperan antara lain efek uremia terhadap mukosa
saluran cerna, disfungsi trombosit akibat uremia, hipergastrinemia, penggunaan
antiplatelet dan antikoagulan, serta heparinisasi pada saat dialysis.
11. Hipertensi
Hipertensi menyebabkan disfungsi endotel sehingga mudah terkena jejas. Selain
itu hipertensi memperparah artherosklerosis karena plak mudah melekat
sehingga pada penderita hipertensi dianjurkan untuk mengkonsumsi obat-obat
antiplatelet.
V. MANIFESTASI KLINIS
Saluran cerna bagian atas merupakan tempat yang sering mengalami
perdarahan. Dari seluruh kasus perdarahan saluran cerna sekitar 80% sumber
perdarahannya berasal dari esofagus,gaster dan duodenum.
Manifestasi klinis pasien dapat berupa :
Hematemesis : Muntah darah dan mengindikasikan adanya perdarahan saluran
cerna atas, yang berwarna coklat merah atau “coffee ground”.
Melena : Kotoran (feses) yang berwarna gelap yang dikarenakan kotoran
bercampur asam lambung, biasanya mengindikasikan perdarahan saluran cerna
bagian atas, atau perdarahan daripada usus-usus ataupun colon bagian kanan
dapat juga menjadi sumber lainnya.
Penampilan klinis lainnya yang dapat terjadi adalah anemia, sinkope, instabilitas
hemodinamik karena hipovolemik dan gambaran klinis dari komorbid seperti
penyakit hati kronis, penyakit paru, penyakit jantung, penyakit ginjal.7,9
VI. DIAGNOSIS
Anamnesis
Tanda dan gejala tersering dari perdarahan saluran cerna bagian atas adalah
hematemesis (muntah darah), muntah berwarna coffee ground dan melena (tinja
seperti aspal/tar). Sekitar 30% pasien dengan perdarahan ulkus datang dengan
hematemesis, 20% dengan melena dan 50% dengan keduanya. Hematoskezia
(darah segar di tinja) biasanya menunjukkan sumber perdarahan saluran cerna
bawah, oleh karena darah dari saluran cerna atas berubah hitam dan serupa aspal
pada saat melewati saluran cerna, sehingga menghasilkan melena.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Penunjang
VII. KOMPLIKASI
Komplikasi yang bisa terjadi pada perdarahan ulkus peptikum adalah syok
hipovolemik yang dapat diikuti dengan gagal ginjal akut, gagal multi organ dan
kematian.
VIII. PENATALAKSANAAN
Tatalaksana dini
Evaluasi dini dan resusitasi yang sesuai merupakan hal penting untuk dilakukan
pada pasien PSCBA, terutama yang datang dengan keluhan hematemesis,
hematoskezia masif, melena atau anemia progresif. Tatalaksana awal disarankan
untuk dilakukan dengan pendekatan multidisipliner, dengan melibatkan spesialis
penyakit dalam/gastroenterologist, radiologist intervensional, dan ahli bedah/bedah
digestif .
Stratifikasi pasien ke dalam kategori risiko rendah atau tinggi untuk kejadian
pendarahan ulang dan mortalitas dapat digunakan dengan skor Blatchford dan
Rockall (sesuai dengan ada tidaknya fasilitas endoskopi). Pasien-pasien dengan
risiko tinggi untuk terjadinya perdarahan ulang dan risiko kematian, sebaiknya
dirawat di unit rawat intensif.
Suatu studi yang baru-baru ini, menunjukkan bahwa pemberian PPI pre-
endoskopik secara signifikan menurunkan angka stigmata risiko tinggi pada
endoskopi awal (37% vs. 46%, OR 0.67; 95% CI 0.54-0.84). Namun demikian
tidak menunjukkan efek terhadap perdarahan ulang, mortalitas dan pembedahan.
Bila endoskopi akan ditunda dan tidak dapat dilaksanakan, PPI intravena
direkomendasikan untuk mengurangi perdarahan lanjut.
Tatalaksana Khusus
a. Varises gastroesofageal
1) Terapi medikamentosa dengan obat vasoaktif
a) Glipressin (Vasopressin) : Menghentikan perdarahan lewat efek
vasokonstriksi pembuluh darah splanknik, menyebabkan aliran darah dan
tekanan vena porta menurun. Pemberian dengan mengencerkan
vasopressin 50 unit dalam 100 ml Dextrose 5%, diberikan 0,5–1
mg/menit/iv selama 20–60 menit dan dapat diulang tiap 3–6 jam; atau
setelah pemberian pertama dilanjutkan per infuse 0,1–0,5 U/menit
b) Somatostatin : Menurunkan aliran darah splanknik, lebih selektif
daripada vasopressin. Untuk perdarahan varises atau nonvarises. Dosis
pemberian awal dengan bolus 250 mcg/iv, lanjut per infus 250 mcg/jam
selama 12–24 jam atau sampai perdarahan berhenti.
2) Terapi mekanik dengan balon Sengstaken Blackmore atau Minesota
3) Terapi endoskopi
a) Ligasi : Mulai distal mendekati cardia bergerak spiral setiap 1–2 cm.
Dilakukan pada varises yang sedang berdarah atau ditemukan tanda baru
saja mengalami perdarahan (bekuan darah melekat, bilur merah, noda
hematokistik). Efek samping sklerosan dapat dihindari, mengurangi
frekuensi ulserasi dan striktur.
b) Skleroterapi : alternatif bila ligasi sulit dilakukan karena perdarahan
masif, terus berlangsung atau teknik tidak memungkinkan. Yang
digunakan campuran yang sama banyak antara polidokanol 3%, NaCl
0,9% dan alcohol absolute; dibuat sesaat sebelum skleroterapi.
Penyuntikan dari bagian paling distal mendekati cardia, lanjut ke
proksimal bergerak spiral sejauh 5cm.
4) Terapi radiologi : pemasangan transjugular intrahepatic portosystemic
shunting (TIPS)& perkutaneus obliterasi spleno-porta.
5) Terapi pembedahan
a) Shunting
b) Transeksi esofagus + devaskularisasi + splenektomi
c) Devaskularisasi + splenektomi
b. Tukak peptic
1) Terapi medikamentosa
a) PPI (proton pump inhibitor): obat anti sekresi asam untuk mencegah
perdarahan ulang. Diawali dosis bolus Omeprazol 80 mg/iv lalu per
infuse 8 mg/kgBB/jam selama 72 jam
Antasida, sukralfat, dan antagonis reseptor H2 masih boleh diberikan
untuk tujuan penyembuhan lesi mukosa perdarahan.
b) Obat vasoaktif
2) Terapi endoskopi
a) Injeksi : penyuntikan submukosa sekitar titik perdarahan dengan
adrenalin (1:10000) sebanyak 0,5–1 ml/suntik dengan batas 10 ml atau
alcohol absolute (98%) tidak melebihi 1 ml
b) Termal : koagulasi, heatprobe, laser
c) Mekanik : hemoklip, stapler
3) Terapi bedah
1. Memulangkan pasien
Sebagian besar pasien umumnya pulang pada hari ke 1–4 perawatan.
Perdarahan ulang (komorbid) sering memperpanjang masa perawatan. Bila tidak ada
komplikasi, perdarahan telah berhenti, hemodinamik stabil serta risiko perdarahan
ulang rendah pasien dapat dipulangkan . Pasien biasanya pulang dalam keadaan
anemis, karena itu selain obat pencegah perdarahan ulang perlu ditambahkan
preparat Fe.
Waktu endoskopi
Endoskopi telah menjadi alat untuk diagnosis dan tatalaksana PSCBA yang utama.
Tindakan ini memungkinkan untuk dilakukan identifikasi sumber pendarahan dan
terapi pada saat yang sama. Waktu optimal endoskopi masih dalam perdebatan.
Endoskopi darurat memungkinkan untuk dilakukan hemostasis dini, namun dapat
menyebabkan terjadinya aspirasi darah dan desaturasi oksigen pada pasien yang
belum stabil. Sebagai tambahan, jumlah darah dan bekuan yang banyak dapat
mengganggu terapi target untuk fokus pendarahan, yang dapat menyebabkan
dibutuhkannya prosedur endoskopik ulangan.
Pada pasien dengan hemodinamik stabil dan tanpa faktor komorbid serius,
dilakukan endoskopi terlebih dahulu sebelum pasien dipulangkan.
Pasien dengan ulkus dengan dasar bersih diberi diet lunak dan dipulangkan setelah
endoskopi dengan syarat hemodinamik stabil, hemoglobin cukup dan stabil, tidak
ada masalah kesehatan lain.
Pada pasien dengan perdarahan ulkus yang aktif, terapi hemostasis sebaiknya
dalam bentuk kombinasi (epinefrin ditambah modalitas lain seperti penempatan
klim hemostatik, termokoagulasi, dan elektrokoagulasi) .Injeksi epinefrin tidak
dianjurkan diberikan sebagai terapi tunggal. Injeksi Penggunaan klip
direkomendasikan karena dapat menurunkan kejadian perdarahan ulang.
• Titik pendarahan tidak dapat dilihat oleh karena pendarahan aktif yang masif, dan
Terapi antisekretorik
Pemeriksaan H.pylori disarankan untuk semua pasien dengan PUP. Pemeriksaan ini
kemudian dilanjutkan dengan terapi eradikasi untuk semua pasien dengan hasil
positif, pemantauan berkala untuk hasil terapi dan terapi ulang pada gagal eradikasi.
Eradikasi dengan terapi tiga obat (triple therapy) memiliki tingkat keberhasilan
sampai 80 % bahkan 90% pada pasien ulkus peptikum tanpa disertai dengan efek
samping yang signifikan dan efek minimal dalam resistensi terhadap antibiotik.
Lebih jauh lagi, berkaitan dengan evaluasi penyembuhan ulkus melalui endoskopi,
ditemukan bahwa tingkat keberhasilan terapi PPI selama satu minggu mencapai 80-
85%. Setelah H. pylori terbukti tereradikasi, terapi PPI rumatan tidak diperlukan
kecuali pasien menggunakan NSAIDs atau antitrombotik.
Tes diagnostik H.pylori mempunyai nilai prediktif negatif rendah pada keadaan
PSCBA akut. Hal ini dapat disebabkan oleh karena kesulitan teknik dalam
melakukan biopsi representatif atau ketidakakuratan pemeriksaan pada lingkungan
basa yang disebabkan darah. Hasil biopsi negatif yang diperoleh pada keadaan akut
harus diinterpretasi secara hati-hati dan bila perlu dilakukan tes ulang pada
pemantauan kembali
PROGNOSIS
Prognosis buruk jika Usia
> 60 tahun, Awitan perdarahan di rumah sakit,
Terdapat penyakit medis komorbid, Syok atau hipotensi ortostatik,
Darah segar di selang nasogastric,Koagulopati, Dibutuhkan transfusi
berulang, Ulkus di kurvatura minor bagian atas (dekat dengan arteri
gastrika sinistra), Ulkus bulbus duodeni posterior (dekat dengan arteri
gastroduodenal), Temuan endoskopik berupa perdarahan arterial atau
pembuluh darah visibel
DAFTAR PUSTAKA
Anand, B.S., Katz, J., 2011. Peptic Ulcer Disease, Medscape Reference, Professor.
Department of Internal Medicine, Division of Gastroenterology, Baylor College of
Medicine. Available from:http://emedicine.medscape.com/ ( Accessed 6 Januari
2018)
Djumhana A;Hadi S;Abdurachman SA;Wijojo J;Saketi R: Upper GI bleeding in Hasan
Guyton, AC dan Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed: ke-9 . Jakarta: EGC
The Indonesian Society of Gastroenterology. National consensus on management of
non-variceal upper gastrointestinal tract bleeding in Indonesia. Acta Medica
Indonesiana. 2014;46(2):163-71
Wani ZA, Bhat RA et al. 2015. Gastric varices: classification, endoscopic and
ultrasonographic management. Journal of Research in Medical Sciences. 2015 Dec;
20(12): 1200–1207.