Anda di halaman 1dari 34

PRESENTASI KASUS

HEMATEMESIS MELENA

Disusun oleh:
Chyntia Monica

Pembimbing:
dr. Nugroho Budi Santoso, Sp.PD FINASIM

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam


RSUD Pasar Rebo
Periode 25 Desember 2017 – 3 Maret 2018
Universitas YARSI
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. C
Usia : 59 tahun
Alamat : Ciracas
Jenis Kelamin : Laki – laki
Pekerjaan : Karyawan
Pendidikan terakhir : SMP
Agama : Kristen
Tanggan Masuk RS : 29 Desember 2017
Tanggan Pemeriksaan : 3 Januari 2018

Anamnesis : autoanamnesis

Keluhan utama :
Pasien mengeluh muntah darah sejak 12 jam SMRS

Keluhan tambahan :
Pasien mengeluh BAB berwarna hitam dan nyeri ulu hati

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke RSUD Pasar Rebo dengan keluhan muntah darah sejak 12 jam
SMRS. Muntah darah berwarna kehitaman sebanyak  250 cc dengan frekuensi 1 kali
tanpa disertai rasa mual terlebih dahulu. Pasien mengeluh nyeri pada ulu hati sejak 5
hari SMRS. Nyeri ulu hati yang dirasakan disertai mual. Pasien mengatakan nyeri ulu
hati bertambah setelah pasien makan. Pasien juga mengeluh BAB berwarna hitam
setelah 3 hari masuk RS dengan konsistensi padat dan frekuensi 3 kali.
Pasien mengaku mempunyai kebiasaan minum alkohol 10 tahun yang lalu.
Pasien tidak ada keluhan BAK, tidak ada riwayat minum obat analgetik dalam jangka
waktu yang lama dan tidak ada kebiasaan minum jamu.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat hipertensi (+)
Riwayat diabetes melitus (+), terkontrol
Riwayat alergi obat (-)
Riwayat seperti ini sebelumnya (-)

Riwayat Pemakaian Obat :


Obat diabetes melitus

Riwayat Keluarga :
Keluarga menderita keluhan yang sama (-)

Status Generalis :
Keadaan umum : baik
Kesadaran : composmentis
Tekanan darah : 130 / 80 mmHg
Nadi : 80x/menit
Suhu : 37oC
Pernapasan : 20x/menit
Berat badan : 70 kg
Tinggi badan : 170 cm

Tingkat Kejiwaan
Tingkah laku : wajar
Proses berpikir : cukup ide, relevan, koheren
Kecerdasan : cukup
Pemeriksaan Fisik
1. Kulit
Warna : coklat sawo matang
Pucat : tidak ada
Jaringan parut : tidak ada
Turgor : baik

2. Kepala
Bentuk : normosefal
Posisi : simetris
Muka : normal

3. Mata
Exophtalmus : tidak ada
Enophtalmus : tidak ada
Edema kelopak : tidak ada
Konjungtiva anemis : -/-
Skelra ikterik : -/-

4. Telinga
Pendengaran : baik
Darah & cairan : tidak ditemukan

5. Mulut
Trismus : tidak ada
Bau pernapasan : tidak ada
Faring : dalam batas normal
Lidah : lidah tidak kotor, tidak deviasi
Uvula : letak ditengah, tidak deviasi
Tonsil : T1-T1
6. Leher
Trakhea : tidak ada deviasi
Kelenjar tiroid : tidak ada pembesaran
Kelenjar limfe : tidak ada pembesaran

7. Paru – paru
Inspeksi : pergerakan dinding dada simetris pada keadaan statis dan
dinamis kanan kiri. Tidak terlihat luka, kulit kemerahan atau penonjolan.
Palpasi : tidak teraba kelainan dan massa pada seluruh lapang paru.
Fremitus taktil dan vokal (kanan dan kiri) simteris
Perkusi : sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : terdengar suara napas dasar vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -
/-.

8. Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba
Perkusi : batas jantung normal
Auskultasi : bunyi jantung I-II reguler, gallop (-), murmur (-)

9. Abdomen
Inspeksi : simetris, perut datar
Palpasi : supel (+), nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan lien tidak
teraba membesar, nyeri lepas (-)
Perkusi : timpani pada seluruh kuadran, shifting dullness (-)
Auskultasi : bising usus (+), normal

10. Ekstremitas
Akral hangat pada ekstremitas atas dan bawah kanan kiri
Edema pada ekstremitas atas dan bawah kanan kiri tidak ditemukan
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium pada tanggal 29 Desember 2017
Hematologi Hasil Nilai Rujukan Satuan
Hemoglobin 8.4 13.2 – 17.3 g/dL
Hematokrit 25 40 – 52 %
Eritrosit 2.5 4.4 – 5.9 juta/L
Leukosit 14.40 3.80 – 10.60 103/L
Trombosit 263 150 – 440 ribu/L
Kimia Klinik
SGOT (AST) 31 0 – 50 U/L
SGPT (ALT) 44 0 – 50 U/L
Ureum darah 125 20 – 40 mg/dL
Kreatinin darah 1.22 0.17 – 1.50 mg/dL
eGFR 64.2 mL/min/1.73 m2
Glukosa darah 118 < 200 mg/dL
sewaktu
Gas darah + elektrolit
Natrium (Na) 146 135 – 147 mmol/L
Kalium (K) 4.3 3.5 – 5.0 mmol/L
Klorida (Cl) 113 98 – 108 mmol/L
Laboratorium pada tanggal 31 Desember 2017
Hematologi Hasil Nilai Rujukan Satuan
Hemoglobin 10.1 13.2 – 17.3 g/dL
Hematokrit 29 40 – 52 %
Eritrosit 2.9 4.4 – 5.9 juta/L
Leukosit 9.23 3.80 – 10.60 103/L
Trombosit 200 150 – 440 ribu/L
Hitung Jenis
Basofil 0 0–1 %
Eosinofil 1 1–3 %
Neutrofil Batang 0 3–5 %
Neutrofil Segmen 70 50 – 70 %
Limfosit 23 25 – 40 %
Monosit 6 2–8 %

Laboratorium pada tanggal 2 Januari 2018


Masa Protombin Hasil Nilai Rujukan Satuan
PT Pasien (CS- 10.5 10.1 – 11.9 detik
1600)
PT Kontrol (CS- 10.8 detik
1600)
APTT
APTT Pasien (CS- 32.3 27.7 – 40.2 detik
1600)
APTT Kontrol (CS- 31.3 detik
1600)
Anti HIV Hasil Nilai Rujukan
Anti HIV (Rapid) Non Reaktif Non Reaktif
HBsAg
HBsAg (Rapid) Non Reaktif Metode : ICT
Non Reaktif
Anti HCV Total
Anti HCV (Rapid) Reaktif Non Reaktif

Hasil USG Abdomen pada tanggal 3 Januari 2018


Pemeriksaan EKG pada tangga 29 Desember 2017
Pemeriksaan endoskopi pada tanggal 4 Januari 2018
Resume
Pasien laki – laki 59 tahun datang ke RSUD Pasar Rebo dengan keluhan muntah
darah sejak 12 jam SMRS. Muntah darah sebanyak  250 cc dengan frekuensi 1 kali
tanpa disertai rasa mual terlebih dahulu. Pasien mengeluh nyeri pada ulu hati. Pasien
juga mengeluh BAB berawarna hitam setelah 3 hari masuk RS dengan konsistensi padat
dan frekuensi 3 kali.
Pasien mengaku tmempunyai kebiasaan minum alkohol 10 tahun yang lalu.
Pasien tidak ada keluhan BAK, tidak ada riwayat minum obat analgetik dalam jangka
waktu yang lama dan tidak ada kebiasaan minum jamu. Pasien memiliki riwayat
hipertensi dan diabetes melitus terkontrol.
Pada pemeriksaan fisik kepala sampai ekstremitas dalam batas normal. Pada
pemeriksaan laboratorium tanggal 29 Desember 2017 didapatkan hemoglobin,
hematokrit, eritrosit menurun dan leukosit, ureum darah dan klorida meningkat. Pada
tanggal 31 Desember 2017 didapatkan hemoglobin, hematokrit, eritrosit, neutrofil
batang, limfosit menurun. Pada tanggal 2 Januari 2018, didapatkan PT pasien
memendek dan anti HCV reaktif. Pada pemeriksaan EKG didapatkan hasil normal. Pada
pemeriksaan USG abdomen didapatkan tidak tampak kelainan. Pada pemeriksaan
endoskopi didapatkan esofagitis grade B dan multiple ulkus gaster.

Permasalahan
Hematemesis : pasien mengatakan muntah darah
Melena : pasien mengatakan BAB berwarna hitam

Diagnosis Kerja
Hematemesis melena e.c multipel ulkus gaster
Diagnosis Banding
Hematemesis melena e.c gastritis erosif

Penatalaksanan
Non Farmakologi Farmakologi
1. Tirah baring 1. Cairan infus RL
2. Pemasangan NGT 2. Injeksi omeprazole 1x1 intravena
3. Puasa hingga perdarahan berhenti 3. Injeksi ondancentron 2x1 intravena
4. Diet lunak 4. Transamin 3x1
5. Transfusi PRC 500cc 5. V-Block 1x6.25mg P.O
6. Sucralfat sirup 3x1 cth
7. Inpepsa 3x15 cth

Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanactionam : dubia ad bonam
PEMBAHASAN
I. DEFINISI
Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) kehilangan darah dari saluran
cerna atas, di mana saja, mulai dari esofagus sampai dengan duodenum (dengan
batas anatomik di ligamentum Treitz), dengan manifestasi klinis berupa
hematemesis, melena, hematoskezia atau kombinasi.

II. EPIDEMIOLOGI
Insidens perdarahan SCBA bervariasi mulai dari 48-160 kasus per 100.000
populasi, insidens tertinggi pada laki-laki dan lanjut usia. Lebih dari 60%
perdarahan SCBA disebabkan oleh perdarahan ulkus peptikum, perdarahan varises
esofagus hanya sekitar 6%. Etiologi lain adalah malformasi arteriovenosa, Mallory
Weiss tear, gastritis, dan duodenitis. Di Indonesia, sekitar 70% penyebab SCBA
adalah ruptur varises esofagus. Namun, dengan perbaikan manajemen penyakit
hepar kronik dan peningkatan populasi lanjut usia, proporsi perdarahan ulkus
peptikum diperkirakan bertambah. Data studi retrospektif di RS Cipto
Mangunkusumo tahun 2001-2005 dari 4154 pasien yang menjalani endoskopi,
diketahui bahwa 807 (19,4%) pasien mengalami perdarahan SCBA. Penyebab
perdarahan SCBA antara lain: 380 pasien (33,4%) ruptur varises esofagus, 225
pasien (26,9%) perdarahan ulkus peptikum, dan 219 pasien (26,2%) gastritis erosif.

III. KLASIFIKASI
Perdarahan SCBA, dibagi berdasarkan perdarahan varises dan non-varises.

Perdarahan Varises
1. Esophageal varises
Sekitar 25 – 35 % pada pasien sirosis hati, rentan terjadi pecah nya varises
esofagus.
Faktor – faktor pecahnya varises esofagus :
a. Tekanan dalam varises
b. Tekanan dinding varises
c. Ukuran varises
d. Beratnya penyakit hati

Pada sirosis hepatis kronis, kematian sel dalam hepar mengakibatkan


peningkatan tekanan vena porta. Sebagai akibatnya terbentuk saluran
kolateral dalam submukosa esophagus dan rektum serta pada dinding
abdomen anterior untuk mengalihkan darah dari sirkulasi splenik menjauhi
hepar. Dengan meningkatnya tekanan dalam vena ini, maka vena tersebut
menjadi mengembang dan membesar (dilatasi) oleh darah dan timbul varises.
Varises bisa pecah, mengakibatkan perdarahan gastrointestinal masif.
Selanjutnya dapat mengakibatkan
kehilangan darah tiba-tiba,
penurunan arus balik vena ke jantung
dan penurunan curah jantung. Jika
perdarahan menjadi berlebihan, maka
akan mengakibatkan penurunan
perfusi jaringan.
Dalam berespon terhadap
penurunan curah jantung, tubuh
melakukan mekanisme kompensasi
untuk mencoba mempertahankan
Gambar 1. Hipertensi portal
perfusi. Mekanisme ini merangsang
pada sirosis hari
tanda-tanda dan gejala utama yang
terlihat. Jika volume darah tidak digantikan, penurunan perfusi jaringan
mengakibatkan disfungsi seluler. Sel-sel akan berubah menjadi metabolisme
anaerob dan terbentuk asam laktat.
Penurunan aliran darah akan mengakibatkan / memberi efek pada
seluruh sistem tubuh dan tanpa suplai oksigen yang mencukupi sistem
tersebut akan mengalami kegagalan.

2. Gastric varises
Varises gaster adalah pelebaran pembuluh darah yang terutama ditemukan
pada gaster. Prevalensi dari varises gaster pada pasien yang menderita
hipertensi portal berkisar antara 2% - 70%. Sekitar 2%-43% penyebab
perdarahan varises dikatakan berasal dari varises gaster. Klasifikasi gastric
varises :
 Gastroesophageal varices (GOV)
GOV1  berlokasi di kurvatura minor
GOV2  berlokasi di fundus
 Isolated gastric varices (IGV)
IGV1  berlokasi di fundus
IGV2  berlokasi di korpus, antrum, pylorus

Gambar 2. Klasifikasi Sarin gastric varises


Perdarahan non – varises
Penyebab perdarahan non varises yang banyak di Indonesia yaitu gastritis
erosif, tukak peptik. Gastritis erosif dan tukak peptik ini berhubungan dengan
pemakaian obat anti inflamasi non steroid (OAINS), infeksi Helicobacter pylori dan
stres. Penggunaan NSAIDs merupakan penyebab umum terjadi tukak gaster.
Penggunaan obat ini dapat mengganggu proses peresapan mukosa, proses
penghancuran mukosa, dan dapat menyebabkan cedera. Sebanyak 30% orang
dewasa yang menggunakan NSAIDs mempunyai GI yang kurang baik.

Gambar 3. Mekanisme NSAID dapat menyebabkan perdarahan

1. Ulkus peptikum
Ulkus peptikum merupakan hasil dari ketidakseimbangan antara faktor-faktor
yang menyebabkan kerusakan dengan sistem pertahanan mukosa. Beberapa
mekanisme protektif dapat mencegah kejadian ulkus peptikum pada keadaan sehat.
Pada saat mekanisme-mekanisme ini terganggu atau tidak berfungsi, maka mukosa
menjadi rentan terhadap berbagai serangan. Hal ini sering ditemukan pada berbagai
keadaan penyakit, diantaranya syok, penyakit kardiovaskular, hati atau gagal ginjal,
yang merupakan kondisi predisposisi terjadinya penyakit ulkus peptikum.
Sebagian besar ulkus, meskipun demikian, timbul pada saat mekanisme
pertahanan normal diganggu atau ditekan oleh gangguan mukosa yang hebat
sehingga mengalahkan mekanisme protektif saluran cerna atas. Gangguan yang
paling sering didapatkan adalah oleh karena infeksi H. pylori dan penggunaan obat
anti-inflamasi non steroid (OAINS). Penyebab yang lebih jarang termasuk
hipersekresi asam lambung (sindrom Zollinger-Ellison), hiperplasia sel-G antral
dan mastositosis. Infeksi virus seperti herpes simplex dan sitomegalovirus, kelainan
inflamasi seperti penyakit Crohn’s atau sarkoidosis, serta trauma radiasi dapat
menyebabkan ulserasi saluran cerna, termasuk lambung dan duodenum.

Perdarahan akibat ulkus peptikum terjadi pada saat ulkus menyebabkan salah
satu pembuluh darah besar yang memperdarahi saluran cerna bagian atas.

Gambar 4. Sistem Pertahanan Mukosa Saluran Cerna Atas


2. Sindroma Mallory-Weiss
Sindroma Mallory-Weiss adalah
sebuah kondisi di mana lapisan
mukosa di bagian distal esophagus
pada gastroesophageal junction
mengalami laserasi yang dapat
menyebabkan hematemesis
(muntah darah). Laserasi seringkali
juga menyebabkan perdarahan
arteri submukosa. Perdarahan
muncul ketika luka sobekan telah
Gambar 5. Sindroma Mallory-Weiss
melibatkan esophageal venous
atau arterial plexus. Pasien dengan hipertensi portal dapat meningkatkan resiko
daripada perdarahan dibandingkan dengan pasien hipertensi non-portal. Sindrom
Mallory-Weiss biasanya sekunder terhadap peningkatan mendadak tekanan
intraabdominal. Faktor pencetus meliputi muntah, mengedan saat buang air besar,
mengangkat beban, batuk, kejang epilepsi, cegukan di bawah anestesi, dada
tertekan, trauma abdomen, preparat kolonoskopi dan gastroskopi.

IV. ETIOLOGI
Penyebab terbanyak di Indonesia adalah perdarahan varises karena sirosis hati
(65%), sedangkan di negara Eropa dan Amerika adalah perdarahan non variceal
karena ulkus peptikum (60%). Penyebab lain yang jarang meliputi, Malory Weiss
tears, duodenitis erosive, ulkus dielafoy (salah satu tipe malformasi vaskuler),
neoplasma, aortoenteric fistula, GAVE (gastric antral vascular ectasia) dan
gastropathy prolapse.
Tabel 1. Penyebab Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas
Sering (Common) Kurang sering (less Jarang
common)
Ulkus gaster Erosi / gastropati gaster Ulkus esophagus
Ulkus duodenum Esofagitis Duodenitis erosive
Varises esophagus Lesi Dielafoy Fistula Aortoenterik
Mallory Weiss Tear Telangiektasis Hemobilia
Gastropati hipertensi Penyakit pankreas
portal Penyakit chron’s
GAVE (Gastric Antral
Vascular Ectasia) =
watermelon stomach
Varises gaster
Neoplasma

Faktor Resiko Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas


Terdapat beberapa faktor risiko yang dianggap berperan dalam patogenesis perdarahan
SCBA.Faktor risiko yang telah di ketahui adalah usia, jenis kelamin, penggunaan
OAINS, penggunaan obat antiplatelet, merokok, mengkonsumsi alkohol, riwayat ulkus,
diabetes mellitus dan infeksi bakteri Helicobacter pylori.

1. Usia
Perdarahan SCBA sering terjadi pada orang dewasa dan risiko meningkat pada
usia >60 tahun. Penelitian pada tahun 2001-2005 dengan studi retrospektif di
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo terhadap 837 pasien yang memenuhi
kriteria perdarahan SCBA menunjukkan rata-rata usia pasien laki-laki adalah
52,7 ± 15,82 tahun dan rata-rata usia pasien wanita adalah 54,46 ± 17,6.26 Usia
≥ 70 tahun dianggap sebagai faktor risiko karena terjadi peningkatan frekuensi
pemakaian OAINS dan interaksi penyakit komorbid yang menyebabkan
terjadinya berbagai macam komplikasi.

2. Jenis kelamin
Kasus perdarahan SCBA lebih sering dialami oleh laki-laki. Penelitian di
Amerika Serikat menunjukkan bahwa sekitar 51,4% yang mengalami
perdarahan SCBA berjenis kelamin laki-laki. Dari penelitian yang sudah
dilakukan mayoritas menggunakan pendekatan epidemiologi dan belum ada
penelitian yang secara spesifik menjelaskan hubungan perdarahan SCBA dengan
jenis kelamin.

3. Penggunaan obat antiinflamasi non steroid (OAINS)


Peningkatan risiko komplikasi ulkus (rawat inap, operasi, kematian) terjadi pada
orang tua yang mengkonsumsi OAINS. Studi cross sectional terhadap individu
yang mengkonsumsi OAINS pada dosis maksimal dalam jangka waktu lama
35% hasil endoskopi adalah normal, 50% menunjukkan adanya erosi atau
petechiae, dan 5%-30% menunjukkan adanya ulkus. Jenis-jenis OAINS yang
sering dikonsumsi adalah ibuprofen, naproxen, indomethacin, piroxicam, asam
mefenamat, diklofenak.

4. Penggunaan obat-obat antiplatelet


Penggunaan aspirin dosis rendah (75 mg per hari) dapat menyebabkan faktor
perdarahan naik menjadi dua kali lipat, bahkan dosis subterapi 10 mg per hari
masih dapat menghambat siklooksigenase. 19 Aspirin dapat menyebabkan ulkus
lambung, ulkus duodenum, komplikasi perdarahan dan perforasi pada perut dan
lambung. Obat antiplatelet seperti clopidogrel berisiko tinggi apabila
dikonsumsi oleh pasien dengan komplikasi saluran cerna.
5. Merokok
Dari hasil penelitian menunjukkan merokok meningkatkan risiko terjadinya
ulkus duodenum, ulkus gaster maupun keduanya. Merokok menghambat proses
penyembuhan ulkus, memicu kekambuhan, dan meningkatkan risiko
komplikasi.

6. Alkohol
Mengkonsumsi alkohol konsentrasi tinggi dapat merusak pertahanan mukosa
lambung terhadap ion hidrogen dan menyebabkan lesi akut mukosa gaster yang
ditandai dengan perdarahan pada mukosa.

7. Riwayat Gastritis
Riwayat Gastritis memiliki dampak besar terhadap terjadinya ulkus. Pada
kelompok ini diprediksi risiko terjadi bukan karena sekresi asam tetapi oleh
adanya gangguan dalam mekanisme pertahanan mukosa dan proses
penyembuhan.

8. Diabetes mellitus (DM)


Beberapa penelitian menyatakan bahwa DM merupakan penyakit komorbid
yang sering ditemui dan menjadi faktor risiko untuk terjadinya perdarahan.
Namun, belum ada penelitian yang menjelaskan mekanisme pasti yang terjadi
pada perdarahan SCBA yang disebabkan oleh diabetes mellitus.

9. Infeksi bakteri
Helicobacter pylori Helicobacter pylori merupakan bakteri gram negatif
berbentuk spiral yang hidup dibagian dalam lapisan mukosa yang melapisi
dinding lambung. Beberapa penelitian di Amerika Serikat menunjukkan tingkat
infeksi H.pylori < 75% pada pasien ulkus duodenum.
10. Chronic Kidney Disease
Patogenesis perdarahan saluran cerna pada chronic kidney disease masih belum
jelas, diduga faktor yang berperan antara lain efek uremia terhadap mukosa
saluran cerna, disfungsi trombosit akibat uremia, hipergastrinemia, penggunaan
antiplatelet dan antikoagulan, serta heparinisasi pada saat dialysis.

11. Hipertensi
Hipertensi menyebabkan disfungsi endotel sehingga mudah terkena jejas. Selain
itu hipertensi memperparah artherosklerosis karena plak mudah melekat
sehingga pada penderita hipertensi dianjurkan untuk mengkonsumsi obat-obat
antiplatelet.

12. Chronic Heart Failure


Penelitian yang ada mengatakan bahwa chronic heart failure dapat
meningkatkan faktor risiko perdarahan SCBA sebanyak 2 kali lipat.

V. MANIFESTASI KLINIS
Saluran cerna bagian atas merupakan tempat yang sering mengalami
perdarahan. Dari seluruh kasus perdarahan saluran cerna sekitar 80% sumber
perdarahannya berasal dari esofagus,gaster dan duodenum.
Manifestasi klinis pasien dapat berupa :
 Hematemesis : Muntah darah dan mengindikasikan adanya perdarahan saluran
cerna atas, yang berwarna coklat merah atau “coffee ground”.
 Melena : Kotoran (feses) yang berwarna gelap yang dikarenakan kotoran
bercampur asam lambung, biasanya mengindikasikan perdarahan saluran cerna
bagian atas, atau perdarahan daripada usus-usus ataupun colon bagian kanan
dapat juga menjadi sumber lainnya.
 Penampilan klinis lainnya yang dapat terjadi adalah anemia, sinkope, instabilitas
hemodinamik karena hipovolemik dan gambaran klinis dari komorbid seperti
penyakit hati kronis, penyakit paru, penyakit jantung, penyakit ginjal.7,9

VI. DIAGNOSIS
Anamnesis

Tanda dan gejala tersering dari perdarahan saluran cerna bagian atas adalah
hematemesis (muntah darah), muntah berwarna coffee ground dan melena (tinja
seperti aspal/tar). Sekitar 30% pasien dengan perdarahan ulkus datang dengan
hematemesis, 20% dengan melena dan 50% dengan keduanya. Hematoskezia
(darah segar di tinja) biasanya menunjukkan sumber perdarahan saluran cerna
bawah, oleh karena darah dari saluran cerna atas berubah hitam dan serupa aspal
pada saat melewati saluran cerna, sehingga menghasilkan melena.

Meskipun demikian, 5% pasien dengan perdarahan ulkus datang dengan


hematoskezia, yang menandakan perdarahan berat, biasa lebih dari 1.000 mL.
Pasien yang datang dengan hematoskezia dan disertai dengan tanda-tanda gangguan
hemodinamik, seperti sinkop, hipotensi postural, takikardia dan syok harus
dicurigai menderita perdarahan saluran cerna bagian atas.

Tanda dan gejala nonspesifik termasuk nausea, vomitus, nyeri epigastrik,


fenomena vasovagal dan sinkop, serta adanya penyakit komorbid tersering
(misalnya diabetes melitus, penyakit jantung koroner, stroke, penyakit ginjal kronik
dan penyakit arthritis) dan riwayat penggunaan obat-obatan harus diketahui.

Pemeriksaan Fisik

Penilaian hemodinamik (denyut nadi, tekanan darah), laju pernafasan, status


kesadaran, konjungtiva yang pucat, capillary refill yang melambat, serta tidak
ditemukannya stigmata sirosis hati kronik merupakan tanda-tanda awal yang harus
segera diidentifikasi. Takikardia pada saat istirahat dan hipotensi ortostatik
menunjukkan adanya kehilangan darah yang cukup banyak. Luaran urin rendah,
bibir kering dan vena leher kolaps juga merupakan tanda yang cukup berguna.
Sebagai catatan, takikardia dapat tidak timbul apabila pasien mendapatkan terapi
dengan penyekat beta, sering digunakan pada pasien gagal jantung dan sirosis hati.

Pemeriksaan Penunjang

Walaupun bukan merupakan prosedur rutin pada perdarahan ulkus peptikum,


pemasangan nasogastric tube (NGT) dan menilai aspiratnya biasanya bermanfaat
untuki penilaian klinis awal. Apabila terdapat darah merah segar, maka pasien
membutuhkan evaluasi endoskopik segera dan perawatan di unit intensif.
Penurunan kadar hemoglobin 1g/dL diasosiasikan dengan kehilangan darah 250mL.
Apabila terdapat warna coffee ground, maka pasien membutuhkan rawat inap dan
evaluasi endoskopik dalam waktu 24 jam. Namun demikian aspirat normal tidak
menyingkirkan perdarahan saluran cerna. Sekitar 15% pasien dengan aspirat
normal, tetap mempunyai perdarahan saluran cerna aktif atau risiko tinggi
mengalami perdarahan ulang.

Pemeriksaan endoskopi, tidak hanya mendeteksi ulkus peptikum, namun juga


dapat digunakan untuk mengevaluasi stigmata yang dikaitkan dengan peningkatan
risiko perdarahan ulang.

VII. KOMPLIKASI
Komplikasi yang bisa terjadi pada perdarahan ulkus peptikum adalah syok
hipovolemik yang dapat diikuti dengan gagal ginjal akut, gagal multi organ dan
kematian.
VIII. PENATALAKSANAAN

Tatalaksana dini

Evaluasi dini dan resusitasi yang sesuai merupakan hal penting untuk dilakukan
pada pasien PSCBA, terutama yang datang dengan keluhan hematemesis,
hematoskezia masif, melena atau anemia progresif. Tatalaksana awal disarankan
untuk dilakukan dengan pendekatan multidisipliner, dengan melibatkan spesialis
penyakit dalam/gastroenterologist, radiologist intervensional, dan ahli bedah/bedah
digestif .

Stratifikasi pasien ke dalam kategori risiko rendah atau tinggi untuk kejadian
pendarahan ulang dan mortalitas dapat digunakan dengan skor Blatchford dan
Rockall (sesuai dengan ada tidaknya fasilitas endoskopi). Pasien-pasien dengan
risiko tinggi untuk terjadinya perdarahan ulang dan risiko kematian, sebaiknya
dirawat di unit rawat intensif.

Pemasangan nasogastric tube (NGT) dilakukan pada perdarahan yang diduga


masih berlangsung disertai dengan gangguan hemodinamik. NGT bertujuan untuk
mencegah aspirasi, dekompresi, dan menilai perdarahan sehingga tidak diperlukan
pada semua pasien dengan perdarahan.

Lavage nasogastrik atau orogastrik dapat dilakukan pada pasien dengan


perdarahan saluran cerna atas dalam keadaan tertentu. Penggunaan air es tidak
direkomendasikan sebagai bilas lambung.

Resusitasi yang dilakukan termasuk pemberian cairan intravena dan


suplementasi oksigen, koreksi koagulopati berat dan transfusi darah pada saat
dibutuhkan. Batasan transfusi bergantung kepada kondisi medis umum dan tanda
vital pasien, namun biasanya ditetapkan pada hemoglobin ≤ 7.0 g/dL kecuali bila
perdarahan masih terus berlangsung atau masif serta adanya penyakit jantung
koroner, gangguan hemodinamik (hipotensi dan takikardi) dan usia lanjut. Kadar
hemoglobin minimal untuk dilakukan endoskopi adalah 8 mg/dL dan jika akan
dilaksanakan endoskopi terapeutik maka kadar hemoglobin minimal adalah 10
mg/dL dengan catatan pasien juga dalam keadaan hemodinamik stabil.

Pemberian PPI sebelum endoskopi dapat digunakan (Rekomendasi 1B) untuk


pasien dengan PUP. Suasana lingkungan asam menyebabkan penghambatan
agregasi trombosit dan koagulasi plasma, juga menyebabkan terjadinya lisis pada
bekuan yang telah terbentuk. Pemberian PPI dapat secara cepat menetralisasi asam
lambung intraluminal, yang menghasilkan stabilisasi bekuan darah. Pada jangka
panjang, terapi antisekretorik juga mendukung penyembuhan mukosa.

Suatu studi yang baru-baru ini, menunjukkan bahwa pemberian PPI pre-
endoskopik secara signifikan menurunkan angka stigmata risiko tinggi pada
endoskopi awal (37% vs. 46%, OR 0.67; 95% CI 0.54-0.84). Namun demikian
tidak menunjukkan efek terhadap perdarahan ulang, mortalitas dan pembedahan.

Bila endoskopi akan ditunda dan tidak dapat dilaksanakan, PPI intravena
direkomendasikan untuk mengurangi perdarahan lanjut.

Tatalaksana Khusus
a. Varises gastroesofageal
1) Terapi medikamentosa dengan obat vasoaktif
a) Glipressin (Vasopressin) : Menghentikan perdarahan lewat efek
vasokonstriksi pembuluh darah splanknik, menyebabkan aliran darah dan
tekanan vena porta menurun. Pemberian dengan mengencerkan
vasopressin 50 unit dalam 100 ml Dextrose 5%, diberikan 0,5–1
mg/menit/iv selama 20–60 menit dan dapat diulang tiap 3–6 jam; atau
setelah pemberian pertama dilanjutkan per infuse 0,1–0,5 U/menit
b) Somatostatin : Menurunkan aliran darah splanknik, lebih selektif
daripada vasopressin. Untuk perdarahan varises atau nonvarises. Dosis
pemberian awal dengan bolus 250 mcg/iv, lanjut per infus 250 mcg/jam
selama 12–24 jam atau sampai perdarahan berhenti.
2) Terapi mekanik dengan balon Sengstaken Blackmore atau Minesota
3) Terapi endoskopi
a) Ligasi : Mulai distal mendekati cardia bergerak spiral setiap 1–2 cm.
Dilakukan pada varises yang sedang berdarah atau ditemukan tanda baru
saja mengalami perdarahan (bekuan darah melekat, bilur merah, noda
hematokistik). Efek samping sklerosan dapat dihindari, mengurangi
frekuensi ulserasi dan striktur.
b) Skleroterapi : alternatif bila ligasi sulit dilakukan karena perdarahan
masif, terus berlangsung atau teknik tidak memungkinkan. Yang
digunakan campuran yang sama banyak antara polidokanol 3%, NaCl
0,9% dan alcohol absolute; dibuat sesaat sebelum skleroterapi.
Penyuntikan dari bagian paling distal mendekati cardia, lanjut ke
proksimal bergerak spiral sejauh 5cm.
4) Terapi radiologi : pemasangan transjugular intrahepatic portosystemic
shunting (TIPS)& perkutaneus obliterasi spleno-porta.
5) Terapi pembedahan
a) Shunting
b) Transeksi esofagus + devaskularisasi + splenektomi
c) Devaskularisasi + splenektomi
b. Tukak peptic
1) Terapi medikamentosa
a) PPI (proton pump inhibitor): obat anti sekresi asam untuk mencegah
perdarahan ulang. Diawali dosis bolus Omeprazol 80 mg/iv lalu per
infuse 8 mg/kgBB/jam selama 72 jam
Antasida, sukralfat, dan antagonis reseptor H2 masih boleh diberikan
untuk tujuan penyembuhan lesi mukosa perdarahan.
b) Obat vasoaktif
2) Terapi endoskopi
a) Injeksi : penyuntikan submukosa sekitar titik perdarahan dengan
adrenalin (1:10000) sebanyak 0,5–1 ml/suntik dengan batas 10 ml atau
alcohol absolute (98%) tidak melebihi 1 ml
b) Termal : koagulasi, heatprobe, laser
c) Mekanik : hemoklip, stapler
3) Terapi bedah

1. Memulangkan pasien
Sebagian besar pasien umumnya pulang pada hari ke 1–4 perawatan.
Perdarahan ulang (komorbid) sering memperpanjang masa perawatan. Bila tidak ada
komplikasi, perdarahan telah berhenti, hemodinamik stabil serta risiko perdarahan
ulang rendah pasien dapat dipulangkan . Pasien biasanya pulang dalam keadaan
anemis, karena itu selain obat pencegah perdarahan ulang perlu ditambahkan
preparat Fe.

Waktu endoskopi

Endoskopi telah menjadi alat untuk diagnosis dan tatalaksana PSCBA yang utama.
Tindakan ini memungkinkan untuk dilakukan identifikasi sumber pendarahan dan
terapi pada saat yang sama. Waktu optimal endoskopi masih dalam perdebatan.
Endoskopi darurat memungkinkan untuk dilakukan hemostasis dini, namun dapat
menyebabkan terjadinya aspirasi darah dan desaturasi oksigen pada pasien yang
belum stabil. Sebagai tambahan, jumlah darah dan bekuan yang banyak dapat
mengganggu terapi target untuk fokus pendarahan, yang dapat menyebabkan
dibutuhkannya prosedur endoskopik ulangan.

Konsensus internasional dan Asia-Pasifik menganjurkan endoskopi dini dalam


waktu 24 jam setelah pasien dirawat , oleh karena tindakan ini secara signifikan
menurunkan lama rawat inap dan memperbaiki luaran klinis. Endoskopi sangat dini
(<12 jam) sampai saat ini belum menunjukkan keuntungan tambahan dalam hal
menurunkan risiko pendarahan ulangan, pembedahan dan mortalitas bila
dibandingkan dengan waktu 24 jam. Namun demikian, endoskopi darurat harus
dipertimbangkan pada pasien dengan pendarahan berat. Pada pasien dengan
gambaran klinis risiko lebih tinggi (misalnya: takikardi, hipotensi, muntah darah,
atau darah segar pada NGT ) endoskopi dalam 12 jam kemungkinan dapat
meningkatkan luaran klinis.

Pada pasien dengan hemodinamik stabil dan tanpa faktor komorbid serius,
dilakukan endoskopi terlebih dahulu sebelum pasien dipulangkan.

Terapi endoskopik untuk PUP

Tujuan terapi endoskopik adalah untuk menghentikan pendarahan aktif dan


mencegah perdarahan ulang. Beberapa teknik, termasuk injeksi, ablasi dan mekanik
telah dikembangkan dalam beberapa dekade terkini. Pemilihan tindakan dapat
disesuaikan dengan penampakan fokus perdarahan dan risiko terkait untuk kejadian
pendarahan persisten dan rekuren (gambar 5). Pada PUP, pasien dengan perdarahan
aktif atau pembuluh darah visibel tanpa perdarahan pada area ulkus mempunyai
risiko perdarahan ulang tertinggi, sehingga membutuhkan terapi hemostatik
endoskopik segera. Pasien dengan stigmata risiko rendah (ulkus dasar bersih atau
bintik pigmentasi pada area ulkus) tidak membutuhkan terapi endoskopik.
Gambar 6. Pilihan tatalaksana endoskopik dan PPI intravena untuk pasien dengan
PSCBA terkait ulkus peptikum. PPI = proton pump inhibitor.

*Jika fasilitas terapi endoskopik optimal

Pasien dengan ulkus dengan dasar bersih diberi diet lunak dan dipulangkan setelah
endoskopi dengan syarat hemodinamik stabil, hemoglobin cukup dan stabil, tidak
ada masalah kesehatan lain.

Pada pasien dengan perdarahan ulkus yang aktif, terapi hemostasis sebaiknya
dalam bentuk kombinasi (epinefrin ditambah modalitas lain seperti penempatan
klim hemostatik, termokoagulasi, dan elektrokoagulasi) .Injeksi epinefrin tidak
dianjurkan diberikan sebagai terapi tunggal. Injeksi Penggunaan klip
direkomendasikan karena dapat menurunkan kejadian perdarahan ulang.

Pasien dengan stigmata secara endoskopi risiko tinggi (perdarahan aktif,


pembuluh darah yang terlihat, bekuan – bekuan (klasifikasi Forrest) umumnya
dirawat inap selama 3 hari bila tidak ada perdarahan ulang dan tidak ada indikasi
lain untuk rawat inap.
Pasien boleh diberi diet cair segera setelah endoskopi kemudian diganti secara
bertahap.

Pasien dengan perdarahan ulang biasanya dapat ditangani dengan terapi


endoskopik. Namun demikian, pembedahan darurat atau embolisasi angiografik
mungkin diperlukan pada saat-saat tertentu, seperti :

• Perdarahan memancar (spurting) yang tidak dapat dihentikan dengan endoskopi, 


• Titik pendarahan tidak dapat dilihat oleh karena pendarahan aktif yang masif, dan 


• Perdarahan ulang yang muncul setelah endoskopi terapeutik kedua

Tatalaksana pasca endoskopik 


Terapi antisekretorik

Farmakoterapi memainkan peran utama kedua untuk tatalaksana PSCBA akibat


ulkus peptikum. Terapi PPI lebih superior dibandingkan antagonis reseptor
histamin-2. PPI dapat diberikan oral atau intravena bergantung kepada stigmata
perdarahan (Kriteria Forrest). Data-data yang ada mendukung rekomendasi
pemberian terapi PPI intravena kontinu dosis tinggi pada pasien PUP dengan
stigmata risiko tinggi. Pasien-pasien dengan PUP juga harus dipulangkan dengan
PPI oral dosis tunggal harian, untuk menurunkan risiko perdarahan ulang. Lama
dan dosis PPI bergantung kepada etiologi dan pemakaian obat lainnya. Pada pasien
dengan ulkus idiopatik (non H.pylori, non NSAID), dapat direkomendasikan terapi
anti ulkus jangka panjang (contohnya: PPI harian). Pada pasien dengan perdarahan
ulkus karena aspirin dosis rendah, harus dikaji ulang urgensi pemberian aspirin
tersebut.
Terapi eradikasi H.pylori

Pemeriksaan H.pylori disarankan untuk semua pasien dengan PUP. Pemeriksaan ini
kemudian dilanjutkan dengan terapi eradikasi untuk semua pasien dengan hasil
positif, pemantauan berkala untuk hasil terapi dan terapi ulang pada gagal eradikasi.

Eradikasi dengan terapi tiga obat (triple therapy) memiliki tingkat keberhasilan
sampai 80 % bahkan 90% pada pasien ulkus peptikum tanpa disertai dengan efek
samping yang signifikan dan efek minimal dalam resistensi terhadap antibiotik.
Lebih jauh lagi, berkaitan dengan evaluasi penyembuhan ulkus melalui endoskopi,
ditemukan bahwa tingkat keberhasilan terapi PPI selama satu minggu mencapai 80-
85%. Setelah H. pylori terbukti tereradikasi, terapi PPI rumatan tidak diperlukan
kecuali pasien menggunakan NSAIDs atau antitrombotik.

Tes diagnostik H.pylori mempunyai nilai prediktif negatif rendah pada keadaan
PSCBA akut. Hal ini dapat disebabkan oleh karena kesulitan teknik dalam
melakukan biopsi representatif atau ketidakakuratan pemeriksaan pada lingkungan
basa yang disebabkan darah. Hasil biopsi negatif yang diperoleh pada keadaan akut
harus diinterpretasi secara hati-hati dan bila perlu dilakukan tes ulang pada
pemantauan kembali

PROGNOSIS
Prognosis buruk jika Usia
> 60 tahun, Awitan perdarahan di rumah sakit,
Terdapat penyakit medis komorbid, Syok atau hipotensi ortostatik,
Darah segar di selang nasogastric,Koagulopati, Dibutuhkan transfusi
berulang, Ulkus di kurvatura minor bagian atas (dekat dengan arteri
gastrika sinistra), Ulkus bulbus duodeni posterior (dekat dengan arteri
gastroduodenal), Temuan endoskopik berupa perdarahan arterial atau
pembuluh darah visibel
DAFTAR PUSTAKA

Anand, B.S., Katz, J., 2011. Peptic Ulcer Disease, Medscape Reference, Professor.
Department of Internal Medicine, Division of Gastroenterology, Baylor College of
Medicine. Available from:http://emedicine.medscape.com/ ( Accessed 6 Januari
2018)
Djumhana A;Hadi S;Abdurachman SA;Wijojo J;Saketi R: Upper GI bleeding in Hasan
Guyton, AC dan Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed: ke-9 . Jakarta: EGC
The Indonesian Society of Gastroenterology. National consensus on management of
non-variceal upper gastrointestinal tract bleeding in Indonesia. Acta Medica
Indonesiana. 2014;46(2):163-71
Wani ZA, Bhat RA et al. 2015. Gastric varices: classification, endoscopic and
ultrasonographic management. Journal of Research in Medical Sciences. 2015 Dec;
20(12): 1200–1207.

Anda mungkin juga menyukai