Anda di halaman 1dari 41

MAKALAH STUDI KASUS FARMAKOTERAPI

TERAPAN
EPILEPSI

Disusun Oleh:
Kelompok 7

Nugraha Mas’ud 182211101038


Nia Novita Sari 182211101039
Ayu Maulida Fitriah 182211101040
Abu Malik 182211101041
Fanitika Imansari 182211101042
Adinda Nadia N. 182211101043
Ratih Wulandari 182211101044

Program Studi Profesi Apoteker


Fakultas Farmasi
Universitas Jember
2018
BAB I. PENDAHULUAN

1. EPILEPSI

Epilepsi adalah suatu serangan berulang secara periodik dengan atau tanpa
kejang. Serangan tersebut dikarenakan kelebihan muatan neuron kortikal dan
ditandai dengan adanya perubahan aktivitas listrik seperti yang diukur dengan
elektro-ensefalogram (EEG). Kejang menyatakan keparahan kontraksi otot polos
yang tidak terkendali (Dipiro, 2015).
Gejala kejang yang spesifik akan tergantung dari macam kejangnya, namun
cenderung serupa satu sama lain. Kejang kompleks parsial (berhubungan dengan
gambaran somatosensori/motor fokal, perubahan kesadaran), Kejang tonik klonik
umum merupakan episode konvulsif utama dan selalu dikaitkan dengan
kehilangan kesadaran. Pemeriksaan laboratorium untuk menunjang penyebab
kejang antara lain hipoglikemia, konsentrasi elektrolit dan ada/tidaknya infeksi
(Dipiro, 2015). Jenis-jenis kejang adalah:
a. Tonic clonic convulsion
Kejang ini merupakan jenis kejang yang banyak terjadi. Pasien
tiba-tiba jatuh, kejang, nafas terengah-engah, dan keluar air liur. Pada
jenis kejang ini dapat terjadi sianosis, ngompol atau menggigit lidah
b. Petit mal/abcense attacks
Kejang ini merupakan jenis kejang yang jarang terjadi. Kejang ini
umumnya terjadi pada masa anak-anak atau awal remaja. Pasien tiba-tiba
melotot, mata berkedip-kedip dengan kepala terkulai. Kejang ini dapat
terjadi hanya beberapa detik dan bahkan dapat tidak disadari
c. Myoclonic seizue
Kejang ini biasanya terjadi pada pagi hari setelah bangun tidur.
Pasien dapat mengalami sentakan tiba-tiba pada ekstrimitas atas
d. Atonic seizure
Kejang ini jarang terjadi. Pasien dapat tiba-tiba kehilangan
kekuatan otot dan terjatuh. Tetapi kejang ini dapat segera pulih.
e. Kejang parsial/focal
Terjadi jika aktivasi otak dimulai dari bagian tertentu. kejang ini terdiri
dari:
- Simple partial seizure
Pasien tidak kehilangan kesadaran. Terjadi sentakan pada bagian-
bagian tertentu pada tubuh
- Complex partial seizure
Pasien melakukan gerakan-gerakan yang tidak terkendalai
contohnya mengunyah, meringis dan sebagainya tanda sadar)
Status epileptikus dihubungkan dengan perubahan fisiologis sistemik hasil
peningkatan kebutuhan metabolik akibat kejang berulang dan perubahan autonomi
termasuk takikardi, aritmia, hipotensi, dilatasi pupil dan hipertermia. Perubahan
sistemik termasuk hipoksia, hiperkapnia, hipoglikemia, asidosis metabolik, dan
gangguan elektrolit memerlukan intervensi medis. Kehilangan autoregulasi
serebral dan kerusakan neuron dimulai setelah 30 menit aktivitas kejang yang
terus-menerus (Rilianto, 2015).
Prinsip penatalaksanaan status epileptikus adalah menghentikan aktivitas
kejang baik klinis maupun elektro-ensefalografik (EEG). Penilaian awal jalan
nafas dan oksigenasi sangat penting, jika jalan napas telah bebas maka intubasi
tidak harus segera dilakukan. Setelah dilakukan pemberian oksigen, kadar gas
darah dilakukan monitoring untuk memastikan oksigenasi telah adekuat. Asidosis,
hiperpireksia, dan hipertensi tidak perlu ditangani karena merupakan keadaan
umum pada tahap awal SE. Pemeriksaan neurologis untuk mencari tanda lesi
fokal intrakranial. CT-scan direkomendasikan setelah jalan nafas dan sirkulasi
nafas stabil. Jika hasil CTscan negatif, pungsi lumbal dapat dipertimbangkan
untuk menyingkirkan infeksi (Rilianto, 2015).
Terapi farmakologi pada status epileptikus yang dapat diberikan antara lain
(Rilianto, 2015) :
a. Benzodiazepine. Golongan benzodiazepine seperti diazepam
merupakan obat pilihan pertama dimana obat tersebut dapat memasuki
otak secara cepat dan setelah 15-20 menit akan terdistribusi ke tubuh.
Walaupun terdistribusi cepat, eliminasi waktu paruh mendekati 24 jam.
Diazepam 5-10 mg intravena dapat menghentikan kejang sebanyak
75% kasus. Diazepam dapat diberikan secara intramuscular atau rektal.
Efek samping yang perlu diperhatikan adalah depresi pernafasan,
hipotensi, sedasi, iritasi jaringan lokal. Selain itu juga dapat diberikan
obat benzodiazepine lain seperti lorazepam dan midazolam.
b. Agen antikonvulsan. Salah satu contoh obatnya adalah fenitoin yang
dapat mengatasi kejang akut, status epileptikus, epilepsi kronik.
Kelebihan digunakan fenitoin yakni memiliki efek sedasi yang minim,
akan tetapi perlu diperhatikan efek aritmia dan hipotensi pada pasien
diatas 40 tahun. Fosfofenitoin juga dapat digunakan dalam mengatasi
status epileptikus, obat ini merupakan prodrug dari fenitoin yang larut
dalam air dan akan dikonversi menjadi fenitoin setelah diberikan
secara intravena. Dosis fosfofenitoin sebanyak 1,5 mg ekuivalen
dengan fenitoin 1 mg. Dosis awal fosfofenitoin 15-20 mg/kgBB
dengan kecepatan 150 mg/menit dimana kecepatan infus 3x lebih cepat
dari fenitoin intravena.
c. Barbiturat. Salah satu contohnya adalah phenobarbital yang
merupakan lini obat ke dua jika golongan benzodiazepine dan fenitoin
gagal mengontrol status epileptikus. Loading dose obat barbiturate
adalah 15-20 mg/kg BB. Dosis tinggi phenobarbital bersifat sedatif
maka proteksi jalan nafas menjadi penting. Saat ini untuk penanganan
SE refrakter digunakan agen lain seperti midazolam, propofol dan
pentobarbital daripada phenobarbital.

2. HEPATITIS ISKEMIK

Ischemic hepatitis (acute cardiogenic liver injury, hypoxic hepatitis, atau


shock liver) adalah kerusakan hati yang meluas akibat hipoperfusi akut. Kondisi
ini berbeda dari infark hati yang merupakan kerusakan iskemik fokal (disebabkan
oleh kemoembolisasi arteri hati, trombosis). Ischemic hepatitis menyebabkan
nekrosis sel hati sentrilobular dan peningkatan tajam serum aminotransferase pada
pasien gagal jantung, gagal sirkulasi, atau gagal napas. Saat ini, ischemic hepatitis
adalah penyebab tersering kerusakan hati akut di ICU dengan prevalensi mencapai
10%.
Ischemic hepatitis lebih disebabkan karena forward failure, yaitu menurunnya
cardiac output yang mengakibatkan hipoperfusi. Segala kondisi yang
menyebabkan hipotensi dan instabilitas hemodinamik dapat mengakibatkan
ischemic hepatitis. Kondisi-kondisi tersebut antara lain: Kolaps kardiopulmonal
setelah infark miokard, eksaserbasi gagal jantung, emboli paru, syok kardiogenik,
syok hipovolemik, dehidrasi berat, tamponade perikardium, pembedahan jantung
terbuka, asfiksia, kejang lama, dan heat stroke.
Pada kondisi tanpa hipotensi, ischemic hepatitis dapat juga terjadi pada:
hipoksemia berat, seperti obstructive sleep apnea dan gagal napas, peningkatan
kebutuhan metabolisme, seperti syok septik/toksik, anemia berat dan gangguan
suplai darah ke hati karena gangguan fokal, seperti tumor, anemia sickle-cell,
trombosis arteri hati pada pasien dengan trombosis vena porta (trombosis arteri
hati saja tidak menyebabkan kondisi ini karena suplai darah ke hati bercabang
dua). Ischemic hepatitis paling banyak terjadi pada penyakit jantung primer (78%)
gagal jantung kongestif (65%), infark miokard (17%), sepsis (15%), dan gagal
napas kronis (12%).
- Patofisiologi
Terdapat empat mekanisme hemodinamik yang bertanggung jawab atas
terjadinya ischemic hepatitis yaitu gagal jantung kiri (forward failure), gagal
jantung kanan (backward failure), gagal napas, dan syok sepsis/toksik. Saat
aliran darah ke hati berkurang, ekstraksi oksigen dari darah yang melalui hati
oleh hepatosit meningkat hingga 95%. Hal ini merupakan mekanisme hati
melindungi diri dari kerusakan akibat hipoksia. Pada kondisi hipoperfusi di
organ akhir, hipoksia jaringan persisten, atau syok akut (forward failure),
mekanisme perlindungan hati ini tidak mampu bertahan. Akibatnya terjadi
kerusakan sel-sel hati, diikuti peningkatan tajam SGOT, SGPT, LDH,
perpanjangan prothrombin time, dan kadang disertai penurunan fungsi ginjal.
Kelainan ini mencapai puncaknya pada hari pertama hingga ketiga setelah
onset ischemic hepatitis dan normal kembali 5-10 hari setelah onset. Pada
kebanyakan kasus, keadaan ini terjadi sangat cepat setelah hipoperfusi akut
yang disebabkan syok, perdarahan, resusitasi, atau syok septik. Backward
failure yang merupakan proses terjadinya congestive hepatopathy juga dapat
memperparah hipoperfusi arteri hati. Hal ini memperkuat proses ischemic
hepatitis.

- Gejala Klinis
Tidak ada gejala klinis spesifik. Gejala klinis biasanya menunjukkan
kondisi syok yang mendasari atau gejala hepatitis viral akut. Pasien biasanya
mengeluh mual, muntah, tidak napsu makan, lemah, tidak enak badan, nyeri
perut kanan atas, ikterik, sesak, oliguria, dan tremor. Kadang pasien juga
tidak menunjukkan gejala. Ischemic hepatitis biasanya tidak mematikan dan
dapat sembuh sendiri. Diagnosis klinis hampir selalu tidak disengaja, saat
enzim hati ditemukan meningkat tajam 1-3 hari setelah episode hipotensi
sistemik. Komplikasi yang dapat terjadi adalah hipoglikemia spontan, sesak
napas karena sindroma hepatopulmonal, dan hiperamonemia.
- Terapi
Ischemic hepatitis biasanya tidak berbahaya dan dapat sembuh sendiri.
Serum aminotransterase cepat berkurang setelah penyebab diatasi.
Pengobatan ditujukan untuk mengatasi penyebab dan optimalisasi
hemodinamik. Tidak ada terapi spesifik. Prognosis lebih ditentukan penyebab
syok. Setelah penyebab teratasi, ischemic hepatitis akan membaik dengan
sendirinya. Hal yang harus dilakukan pada pasien ischemic hepatitis adalah:
a. Menjauhkan penyebab seperti obat-obatan dengan efek inotropik
negatif atau efek hipotensi (obat-obatan aritmia, calcium-channel
blocker, vasodilator), obat-obatan yang mengganggu fungsi ginjal
(ACE-inhibitor dosis tinggi, ARB), atau obat-obatan yang
terakumulasi bila gagal ginjal memburuk (contoh: digoksin).
b. Oksigen diberikan sesegera mungkin pada pasien hipoksemia untuk
mencapai saturasi oksigen arteri >95%.
c. Pemberian diuretik intravena direkomendasikan bila terdapat gejala
sekunder akibat penyumbatan dan kelebihan cairan.
d. Obat inotropik dipertimbangkan pada kondisi output dan tekanan darah
sistolik yang rendah. Obat inotropik dapat diberikan segera saat
diperlukan dan dihentikan segera saat perfusi organ telah adekuat
kembali dan/atau penyumbatan berkurang.
e. Vasopresor hanya diindikasikan pada kasus syok kardiogenik, saat
kombinasi obat inotropik dan fluid challenge gagal meningkatkan
tekanan darah sistolik >90 mmHg, dan perfusi organ tidak adekuat.
BAB II. PHARMACEUTICAL CARE PLAN

I. IDENTITAS PASIEN

Nama Pasien : Ny. AR


Ruang :-
Umur : 50 tahun
BB/TB : 62 kg/158 cm
Tanggal MRS : 17 Februari 2018
Tanggal KRS :-
Diagnosa : Epileptikus dan Hepatitis
Farmasis : Mas’ud, Nia, Ayu, Abu, Tika, Nadia, dan Ratih

II. Subyektif

2.1 Keluhan Utama


-
2.2 Riwayat Penyakit Dahulu
- Diabetes Mellitus sejak 4 tahun yang lalu
- Epilepsi sejak Post-Stroke sejak 2 tahun yang lalu
2.3 Riwayat Pengobatan
- Metformin 3×500 mg
- Karbamazepin 2×200 mg
- Pasien tidak teratur minum obat sejak 1 minggu yang lalu dikarenakan
selalu merasa nyeri pada bagian perut
2.4 Riwayat Penyakit Keluarga
-
2.5 Riwayat Alergi Obat
-
III. OBYEKTIF

3.1 Data Klinik Pasien selama MRS


Parameter Nilai Normal Tanggal Keterangan
17 (10.15) 17 (10.30) 17 (10.40)
Pasien mengalami hipotensi karena kesadaran pasien
TD (mmHg) 120/80 100/90 ↓
yang menurun
Pasien mengalami bradikardi (jantung berdenyut
Nadi (x/min) 80-100 77 ↓
lambat) karena tekanan darah rendah
Nilai RR melebihi nilai normal (takipnea) terjadi
karena hipotensi dan bradikardi sehingga pasokan O2
RR (x/min) 18-24 26 ↑
dalam darah berkurang menyebabkan tubuh berusaha
bernafas lebih cepat
Suhu (˚C) 36-37 37,4 Normal
Pasien mengalami kejang yang merupakan
Kejang Negatif + + +
manifestasi klinik dari epileptikus
Pasien mengalami jaundice yang merupakan
Jaundice Negatif +
manifestasi klinik dari hepatitis
3.2 Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Parameter Nilai Normal Tanggal Keterangan
17 (10.15)
Na (mmol/L) 135-145 140 Normal
Pasien mengalami hipokalemia. Hipokalemia dapat terjadi akibat
K (mmol/L) 3,6-4,8 3,2 ↓ penggunaan antidiabetik (Metformin). Sehingga menyebabkan
berkurangnya aktivitas otot jantung (hipotensi dan bradikardi)
Leukosit (x/mm3) 4,8-10 x 103 6200 Normal
Pasien mengalami trombositosis. Trombositosis dapat terjadi karena
penggunaan karbamazepin (bone narrow depression). Trombositosis
150-450 x
Trombosit (x/mm3) 980000 ↑ dapat menyebabkan penyumbatan pembuluh darah yang
103
mengakibatkan terjadinya stroke dan resiko epilepsi (penyumbatan
pembuluh darah pada otak).
Pasien mengalami anemia. Anemia menyebabkan berkurangnya
kemampuan transpor O2 ke dalam jaringan yang mengakibatkan
Hb (mg/dL) 12-16 8,5 ↓ kestabilan membran sel saraf terganggu dan dapat memicu kejang.
Anemia dapat disebabkan oleh penggunaan Metformin dan
Karbamazepin.
SGOT (mg/dL) < 40 130 ↑ Menunjukkan adanya gangguan fungsi hati
SGPT (mg/dL) < 41 289 ↑ Menunjukkan adanya gangguan fungsi hati
GDA (mg/dL) < 200 60 Normal
Saturasi O2 (%) 95-100 86 ↓ Kadar O2 dalam darah pasien rendah karena hipotensi dan bradikardi

IV. ASSESMENT

4.1 Epileptikus
Subjektif/Objektif Terapi Analisis DRP Plan dan Monitoring
S: NS 0,9% 12 tpm Normal Saline (NS) Tidak ada DRP Plan:
- Kejang berulang merupakan salah satu cairan Terapi dilanjutkan
setiap 5 menit kristaloid yang digunakan Terapi ditambah dengan
sekali untuk resusitasi cairan. Normal pemberian oksigen.
- Riwayat Epilepsi Saline memiliki komposisi Na+
Post Stroke 2 dan Cl- dengan pH 5 (Mane, Monitoring:
tahun yang lalu 2017). Kadar elektrolit pasien,
- Riwayat O2 Penatalaksanaan awal untuk Indikasi tidak Plan :
penggunaan obat pasien epileptiku adalah terdapat terapi Terapi ditambah dengan
Karbamazepin pemberian terapi oksigen jika pemberian oksigen
2x200 mg saturasi oksigen rendah
- Ketidakteraturan (Glauser et al., 2016). Terapi Monitoring:
penggunaan obat oksigen perlu diberikan karena Kadar saturasi oksigen pasien
O: pasien memiliki saturasi O2
- RR: 26x/menit 89% dan RR 26x/menit.
- Saturasi Alinamin F 2x1 Alinamin F merupakan Tidak ada DRP Plan :
Oksigen: 86% ampul suplemen yang digunakan Terapi dilanjutkan dan
- Diagnosis untuk memenuhi kebutuhan ditambahkan dekstrose 50% (iv)
Dokter vitamin B1 dan B2 dengan 50 mL. Selanjutkan disarankan
dosis 1-2 ampul (1-2x sehari) pengecekan terkait kadar gula
secara intravena (mims.com). darah lengkap.
Pada penatalaksanaan awal
epileptikus pasien dewasa Monitoring:
dilakukan pengecekan kadar Kadar gula darah
glukosa, apabila kadar glukosa
<60 mg/dl maka diberikan 100
mg Thiamin (iv) kemudian
diberikan Dekstrose 50% (iv)
50 mL (Glauser et al., 2016).
Diazepam (iv) 30 Diazepam merupakan obat Dosis diazepam Plan:
mg (rate: golongan benzodiazepine yang berlebih Penurunan dosis menjadi 9,3
5mg/menit) dapat digunakan untuk mg-10 mg (5mg/menit).
antikonvulsan. Diazepam (iv)
sangat lipofilik dan cepat Monitoring:
didistribusikan ke otak dan Kejang pasien
distribusikan kembali dengan
cepat ke dalam lemak tubuh
yang menyebabkan efek sangat
singkat (< 0.5 jam) (Wells et
al., 2015).
Dosis Diazepam (iv) yang
direkomendasikan merupakan
0,15-0,2 mg/kgBB dan
maksimal dosis 10 mg/kgBB
(Glauser et al., 2016).
Fenitoin 3x100 Fenitoin merupakan Dosis fenitoin Plan :
mg (iv) antikonvulsan yang digunakan kurang Dosis Fenitoin ditingkatkan
sebagai terapi lini ke-2 untuk menjadi 3 x 200 mg
pasien SE (status epileptikus)
apabila penggunaan Monitoring :
benzodiazepin setelah Kadar SGOT dan SGPT pasien.
pengulangan kedua tidak
menunjukkan respon perbaikan
kejang (Dipiro, 2008)
Dosis fenitoin : 10-15 mg/kg
BB (untuk pasien ini dengan
BB 62 kg dosis yang
digunakan 620-930 mg). (DIH
ed 17th, 2009)
Antrain 1 x1 amp Antrain mengandung Tidak ada DRP Plan :
metamizole, dosis penggunaan Terapi dilanjutkan
0,5 – 4 gram sehari secara oral,
intravascular, dan
intramuscular. (Martindale,
2009). Monitoring :
Pasien epilepsi biasanya dapat Nyeri kepala pasien
mengalami nyeri setelah
serangan kejang, nyeri ini bisa
terjadi di kepala sebagian
maupun keseluruhan. Paling
parah bagian depan, sehingga
pada pasien diberi NSAID
Antrain sebagai pereda nyeri.

4.2 Diabetes Mellitus


Subyektif/Obyektif Terapi Analisis Obat DRP Plan & Monitoring
S: Actrapid (3x4 U) Insulin injeksi yang dapat Terapi Plan :
- Riwayat DM 2 Diberikan pada diberikan kepada pasien DM mengakibatkan Terapi dihentikan
(4 tahun) dan jam 10.15 – 10.30 tipe 1 dan tipe 2. penurunan GDA Dilakukan pemeriksaan gula
seminggu tidak Insulin injeksi dapat hingga dibawah darah lebih lanjut
rutin minum diberikan kepada pasien yang normal
Metformin mengalami gangguan fungsi
3x500mg hati. Monitoring nilai :
O: Dosis yang diberikan adalah Gula darah hingga mencapai
- GDA 60 mg/dL antara 0,2-0,4 mg/kg/hari target normal
(normal : 100- (DIH,2009).
200 mg/dL)
4.3 Anemia
Subyektif/Obyektif Terapi Analisis Obat DRP Plan & Monitoring
S:- Transfusi PRC (1 PRC (Packet Red Blood Cells) Terapi tepat Plan :
O: fls) jam 10.40 diindikasikan untuk pasien Terapi tepat diberikan
- Saturasi O2 86% dengan Hb rendah dan atau
- Hb 8,5 mg/dL, nilai saturasi oksigen rendah Monitoring :
- trombosit (Muller, 2015) Hb pasien mencapai normal (11-
3
980.000/ mm 16,5 mg/dL)

4.4 Stress Ulcer


Subyektif/Obyektif Terapi Analisis Obat DRP Plan & Monitoring
S: Ranitidin I.V (3x1 Ranitidin termasuk dalam Terapi tepat Plan :
Nyeri pada bagian amp) jam 10.40 golongan H2 Antagonis yang Terapi dilanjutkan
perut dapat digunakan untuk stress
ulcer dengan dosis IV 50 mg Monitoring :
setiap 6-8 jam (BNF 58th, Reaksi alergi
2008 pg. 46).
DAFTAR PUSTAKA

Depkes. 2007. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Hati. Jakarta : Depkes RI.
DIH, 2009, Drug Infornation Handbook, 17th Edition, American Phamacist
Association.
Dipiro, J.T., Wells, B.G. Schwinghammer., T.L., Dipiro., C.V. 2015.
Pharmacotherapy Handbook Ninth Edition. McGraw-Hill Education.
Fuhrmann V, Jager B, Zubkova A, Drolz A. Hypoxic Hepatitis-Epidemiology,
Pathophysiology and Clinical Management. Wiener klinische
Wochenschrift. 2010; 122(5-6): 129-39.
Gibson PR, Dudley FJ. Ischemic Hepatitis: Clinical Features, Diagnosis and
Prognosis. Aust N Z J Med. 1984; 14: 822-5
Glauser, T., Shinnar, S., Gloss, D., Alldredge, B., Arya, R., Bainbridge, J., Bare,
M., Bleck, T., Dodson, E., Garrity, L., Jagoda, A., Lowenstein, D., Pellock,
J., Riviello, J., Sloan, E., dan Treiman, D.M. 2016. Evidence-Based
Guideline: Treatment of Convulsive Status Epilepticus in Children and
Adults: Report of the Guideline Committee of the American Epilepsy
Society. Journal of American Epilepsy Society 16(1):48–61
Kusmana, Felix. 2016. Congestive Hepatopathy dan Ischemic Hepatitis- Penyakit
Hati Akibat Penyakit Jantung. Contuining Medical Education : Kalbemed.
43(1) : 23-28.
Malhotra P, Singh B, Kapoor D, Babu S, Kaur J, Juneja D. Acute ischemic
hepatitis caused by seizure. JIACM. 2011; 12(2): 144-6.
Mane, A.S. 2017. Fluid Resuscitation: Ringer Lactate Versus Normal Saline-A
clinical Study. International Journal of Contemporary Medical Research
4(11)
Muller, Markus M., Christof Geisen, Kai Zacharowski, Torsten Tonn, and Erhard
Seifried. 2015. Transfusion of packed red cell. Deutsches Arzteblatt
International, 112 (30):507-518
Rilianto, Beny. 2015. Evaluasi dan Manajemen Status Epileptikus. Contuining
Medical Education : Kalbemed. 42(10) : 750-754.
Sweetman, S et al. 2009. Martindale 36th. The Pharmaceutical Press. London.
Tracy, G. M.D, et al., 2016. Evidence-Based Guideline: Treatment of Convulsive
Status Epilepticus in Children and Adults: Report of the Guideline
Committee of the American Epilepsy Society. Epilepsy Currents : American
Epilepsy Society.
Studi Kasus Epilepsi

ALLPPT.com _ Free PowerPoint Templates, Diagrams and Charts


Anggota Kelompok
Nugraha Mas’ud 182211101038
Nia Novita Sari 182211101039
Ayu Maulida Fitriah 182211101040
Abu Malik 182211101041
Fanitika Imansari 182211101042
Adinda Nadia N. 182211101043
Ratih Wulandari 182211101044
EPILEPSI
 Epilepsi adalah suatu serangan berulang secara periodik deng
an atau tanpa kejang.
 Gejala kejang yang spesifik akan tergantung dari macam kej
angnya, namun cenderung serupa pada satu sama lain.
 Serangan tersebut dikarenakan adanya perubahan aliran listri
k yang berlebih pada neuron.
 Kejang umum terjadi jika semua bagian otak teraktivasi, dan
pasien menjadi hilang kesadaran ataupun masih sadar tergant
ung jenis kejangnya. Kejang umum terdiri dari tonic clonic c
onvulsion (grand mal) , abscense attacks (petit mal) , myoclo
nic seizure, atonic seizure.
KEJANG
Tonic clonic
Myoclonic seizure Parsial/focal
convulsion

• Pasien tiba-tiba • Pasien • Terjadi jika


jatuh, kejang, mengalami aktivasi ota
nafas terengah- sentakan tiba- k dimulai d
engah, keluar air tiba pada ari bagian t
liur Petit mal/abcense ekstrimisitas atas ertentu
Atonic seizures
attack

• Pasien tiba-tiba • Pasien tiba-tiba


melotot atau kehilangan
mata berkedip- kekuatan otot
kedip dengan dan terjatuh
kepala terkulai
Tatalaksana Terapi
Menghentikan aktivitas kejan
g baik klinis maupun elektroe
Prinsip Terapi nsefalografik (EEG).

- Benzodiazepine
- Agen antikonvulsan
- Barbiturat Terapi Pemeriksaan
Farmakologi Penunjang
Elektrolit, EEG,
CT-Scan, gula da
rah dsb
TERAPI FARMAKOLOGIS
 Benzodiazepine. Golongan benzodiazepine seperti diazepam me
rupakan obat pilihan pertama dimana dapat memasuki otak secar
a cepat setelah 15-20 menit akan terdistribusi ke tubuh.
 Agen antikonvulsan. Salah satu contoh obatnya adalah fenitoin
yang dapat mengatasi kejang akut, status epileptikus, epilepsi kro
nik. Kelebihan digunakan fenitoin yakni memiliki efek sedasi yan
g minim, akan tetapi perlu diperhatikan efek aritmia dan hipotens
i pada pasien diatas 40 tahun.
 Barbiturat. Salah satu contohnya adalah phenobarbital yang mer
upakan lini obat jika golongan benzodiazepine dan fenitoin gagal
mengontrol status epileptikus. Loading dose barbiturate 15-20 m
g/kg BB.
HEPATITIS ISKEMIK

 Ischemic hepatitis (acute cardiogenic liver injury, hypoxic hep


atitis, atau shock liver) adalah kerusakan hati yang meluas aki
bat hipoperfusi akut.
 Segala kondisi yang menyebabkan hipotensi dan instabilitas h
emodinamik dapat mengakibatkan ischemic hepatitis. Kondisi
-kondisi tersebut antara lain: kolaps kardiopulmonal setelah in
fark miokard, eksaserbasi gagal jantung, emboli paru, syok ka
rdiogenik, syok hipovolemik, dehidrasi berat, pembedahan jan
tung terbuka, kejang lama, dan heat stroke.
ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
GEJALA KLINIS

 Tidak ada gejala klinis spesifik.


 Keluhan: mual, muntah, tidak napsu makan, lemah, tidak e
nak badan, nyeri perut kanan atas, sesak, oliguria, dan tre
mor.
 Diagnosis klinis hampir selalu tidak disengaja, saat enzim
hati ditemukan meningkat tajam 1-3 hari setelah episode h
ipotensi sistemik.
 Komplikasi yang dapat terjadi adalah hipoglikemia sponta
n, sesak napas karena sindroma hepatopulmonal, dan hiper
amonemia.
TERAPI FARMAKOLOGI

 Memberikan oksigen sesegera mungkin untuk meningkatk


an saturasi 0295%
 Pemberian diuretik intravena direkomendasikan bila terda
pat gejala sekunder akibat penyumbatan dan kelebihan cai
ran.
 Menjauhkan penyebab seperti obat-obatan dengan efek efe
k hipotensi, obat-obatan yang mengganggu fungsi ginjal, a
tau obat-obatan yang terakumulasi bila gagal ginjal memb
uruk (contoh: digoksin)
PHARMACEUTICAL CARE PLAN
 IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Ny. AR
Ruang :-
Umur : 50 tahun
BB/TB : 62 kg/158 cm
Tanggal MRS : 17 Februari 2018
Tanggal KRS :-
Diagnosa : Epileptikus dan Hepatitis
Farmasis : Mas’ud, Nia, Ayu, Abu, Tika, Nadia, dan Ratih
 Subyektif
Keluhan Utama : -
Riwayat Penyakit Dahulu :
• Diabetes Mellitus sejak 4 tahun yang lalu
• Epilepsi sejak Post-Stroke sejak 2 tahun yang lalu
Riwayat Pengobatan :
• Metformin 3×500 mg
• Karbamazepin 2×200 mg
• Pasien tidak teratur minum obat sejak 1 minggu yang
lalu dikarenakan selalu merasa nyeri pada bagian per
ut
Riwayat Penyakit Keluarga : -
Riwayat Alergi Obat : -
 Obyektif
- Data Klinik Pasien
- Hasil Pemeriksaan Laboratorium
EPILEPTIKUS
Subjektif/Objektif Terapi Analisis DRP Plan dan Monitoring

S: NS 0,9% Normal Saline (NS) merupak - Plan:


- Kejang berulang se
tiap 5 menit sekali 12 tpm an salah satu cairan kristaloi Terapi dilanjutkan
- Riwayat Epilepsi Po d yang digunakan untuk res Terapi ditambah denga
st Stroke 2 tahun ya
ng lalu usitasi cairan. Normal Saline n pemberian oksigen.
- Riwayat pengguna memiliki komposisi Na+ dan Monitoring:
an obat Karbamazep
in 2x200 mg Cl- dengan pH 5 (Mane, 201 Kadar elektrolit pasien,
-Ketidakteraturan pe 7).
nggunaan obat
O: O2 Penatalaksanaan awal untuk pas - Plan :
- RR: 26x/m
enit ien epileptiku adalah pemberian Terapi ditambah dengan pe
- Saturasi O terapi oksigen jika saturasi oksi mberian oksigen
ksigen: 86%
- Diagnosis gen rendah (Glauser et al., 2016 Monitoring:
Dokter ). Kadar saturasi oksigen pasi
en

Alinamin F 2 Alinamin F merupakan suplemen - Plan :


x1 ampul yang digunakan untuk memenuhi Terapi dilanjutkan dan ditamb
kebutuhan vitamin B1 dan B2 de ahkan dekstrose 50% (iv) 50
ngan dosis 1-2 ampul (1-2x sehar m.
i) secara intravena (mims.com). Monitoring:
Kadar gula darah
Diazepam (i Diazepam merupakan obat golongan be Dosis diaze Plan:
v) 30 mg (ra nzodiazepine yang dapat digunakan unt pam berleb Penurunan dosis menja
te: 5mg/me uk antikonvulsan. Dosis Diazepam (iv) ya ih di 9,3 mg-10 mg (5mg/
nit) ng direkomendasikan merupakan 0,15-0, menit).
2 mg/kgBB dan maksimal dosis 10 mg/k Monitoring:
gBB (Glauser et al., 2016). Kejang pasien

Fenitoin 3x1 Fenitoin merupakan antikonvulsan yang di Dosis fenitoi Plan :


00 mg (iv) gunakan sebagai terapi lini ke-2 untuk pas n kurang Dosis Fenitoin ditingkatk
ien SE (status epileptikus) (Dipiro, 2008) an menjadi 3 x 200 mg
Dosis fenitoin : 10-15 mg/kg BB (untuk pa Monitoring :
sien ini dengan BB 62 kg dosis yang digun Kadar SGOT dan SGPT pa
akan 620-930 mg). (DIH ed 17th, 2009) sien.
Antrain 1 x1 Antrain mengandung metamizole, dosis - Plan :
amp penggunaan 0,5 – 4 gram sehari secara Terapi dilanjutkan
oral, intravascular, dan intramuscular. (M
artindale, 2009).
Pasien epilepsi biasanya dapat mengala
mi nyeri setelah serangan kejang, nyeri i Monitoring :
ni bisa terjadi di kepala sebagian maupu Nyeri kepala pasien
n keseluruhan. Paling parah bagian depa
n, sehingga pada pasien diberi NSAID A
ntrain sebagai pereda nyeri.
Diabetes Mellitus
Subjektif/Objektif Terapi Analisis DRP Plan dan Monitoring

S : Riwayat DM 2 (4 Actrapid (3x4 Insulin injeksi yang da Terapi mengak Plan :


tahun) dan seming U) pat diberikan kepada ibatkan penur Terapi dihentikan
gu tidak rutin minu Diberikan pa pasien DM tipe 1 dan unan GDA hin Dilakukan pemeriksaan
m Metformin 3x500 da jam 10.15 tipe 2. gga dibawah n gula darah lebih lanjut
mg – 10.30 Dosis yang diberikan ormal
O : GDA 60 mg/dL adalah antara 0,2-0,4 Monitoring nilai :
(normal : 100-200 mg/kg/hari (DIH,2009) Gula darah hingga men
mg/dL) . capai target normal
Anemia
Subjektif/Objektif Terapi Analisis DRP Plan dan Monitoring

S:- Transfusi PRC Transfusi diberikan keti - Plan :


O: (1 fls) jam 10 ka kadar Hb ≤ 6 g/dL Terapi tepat diberikan
-Saturasi O2 86% .40 or ≤ 3.7 mmoL/L (Mull
-Hb 8,5 mg/dL, er, 2015) Monitoring :
-trombosit 980.000 Hb pasien mencapai no
/ mm3 rmal (11-16,5 mg/dL)
Stress Ulcer
Subjektif/Objektif Terapi Analisis DRP Plan dan Monitoring

S: Ranitidin I.V Ranitidin termasuk dalam g - Plan :


Nyeri pada bagian (3x1 amp) ja olongan H2 Antagonis yang Terapi dilanjutkan
perut m 10.40 dapat digunakan untuk stre
ss ulcer dengan dosis IV 50 Monitoring :
mg setiap 6-8 jam (BNF 58t Reaksi alergi
h, 2008 pg. 46).

Anda mungkin juga menyukai