TERAPAN
EPILEPSI
Disusun Oleh:
Kelompok 7
1. EPILEPSI
Epilepsi adalah suatu serangan berulang secara periodik dengan atau tanpa
kejang. Serangan tersebut dikarenakan kelebihan muatan neuron kortikal dan
ditandai dengan adanya perubahan aktivitas listrik seperti yang diukur dengan
elektro-ensefalogram (EEG). Kejang menyatakan keparahan kontraksi otot polos
yang tidak terkendali (Dipiro, 2015).
Gejala kejang yang spesifik akan tergantung dari macam kejangnya, namun
cenderung serupa satu sama lain. Kejang kompleks parsial (berhubungan dengan
gambaran somatosensori/motor fokal, perubahan kesadaran), Kejang tonik klonik
umum merupakan episode konvulsif utama dan selalu dikaitkan dengan
kehilangan kesadaran. Pemeriksaan laboratorium untuk menunjang penyebab
kejang antara lain hipoglikemia, konsentrasi elektrolit dan ada/tidaknya infeksi
(Dipiro, 2015). Jenis-jenis kejang adalah:
a. Tonic clonic convulsion
Kejang ini merupakan jenis kejang yang banyak terjadi. Pasien
tiba-tiba jatuh, kejang, nafas terengah-engah, dan keluar air liur. Pada
jenis kejang ini dapat terjadi sianosis, ngompol atau menggigit lidah
b. Petit mal/abcense attacks
Kejang ini merupakan jenis kejang yang jarang terjadi. Kejang ini
umumnya terjadi pada masa anak-anak atau awal remaja. Pasien tiba-tiba
melotot, mata berkedip-kedip dengan kepala terkulai. Kejang ini dapat
terjadi hanya beberapa detik dan bahkan dapat tidak disadari
c. Myoclonic seizue
Kejang ini biasanya terjadi pada pagi hari setelah bangun tidur.
Pasien dapat mengalami sentakan tiba-tiba pada ekstrimitas atas
d. Atonic seizure
Kejang ini jarang terjadi. Pasien dapat tiba-tiba kehilangan
kekuatan otot dan terjatuh. Tetapi kejang ini dapat segera pulih.
e. Kejang parsial/focal
Terjadi jika aktivasi otak dimulai dari bagian tertentu. kejang ini terdiri
dari:
- Simple partial seizure
Pasien tidak kehilangan kesadaran. Terjadi sentakan pada bagian-
bagian tertentu pada tubuh
- Complex partial seizure
Pasien melakukan gerakan-gerakan yang tidak terkendalai
contohnya mengunyah, meringis dan sebagainya tanda sadar)
Status epileptikus dihubungkan dengan perubahan fisiologis sistemik hasil
peningkatan kebutuhan metabolik akibat kejang berulang dan perubahan autonomi
termasuk takikardi, aritmia, hipotensi, dilatasi pupil dan hipertermia. Perubahan
sistemik termasuk hipoksia, hiperkapnia, hipoglikemia, asidosis metabolik, dan
gangguan elektrolit memerlukan intervensi medis. Kehilangan autoregulasi
serebral dan kerusakan neuron dimulai setelah 30 menit aktivitas kejang yang
terus-menerus (Rilianto, 2015).
Prinsip penatalaksanaan status epileptikus adalah menghentikan aktivitas
kejang baik klinis maupun elektro-ensefalografik (EEG). Penilaian awal jalan
nafas dan oksigenasi sangat penting, jika jalan napas telah bebas maka intubasi
tidak harus segera dilakukan. Setelah dilakukan pemberian oksigen, kadar gas
darah dilakukan monitoring untuk memastikan oksigenasi telah adekuat. Asidosis,
hiperpireksia, dan hipertensi tidak perlu ditangani karena merupakan keadaan
umum pada tahap awal SE. Pemeriksaan neurologis untuk mencari tanda lesi
fokal intrakranial. CT-scan direkomendasikan setelah jalan nafas dan sirkulasi
nafas stabil. Jika hasil CTscan negatif, pungsi lumbal dapat dipertimbangkan
untuk menyingkirkan infeksi (Rilianto, 2015).
Terapi farmakologi pada status epileptikus yang dapat diberikan antara lain
(Rilianto, 2015) :
a. Benzodiazepine. Golongan benzodiazepine seperti diazepam
merupakan obat pilihan pertama dimana obat tersebut dapat memasuki
otak secara cepat dan setelah 15-20 menit akan terdistribusi ke tubuh.
Walaupun terdistribusi cepat, eliminasi waktu paruh mendekati 24 jam.
Diazepam 5-10 mg intravena dapat menghentikan kejang sebanyak
75% kasus. Diazepam dapat diberikan secara intramuscular atau rektal.
Efek samping yang perlu diperhatikan adalah depresi pernafasan,
hipotensi, sedasi, iritasi jaringan lokal. Selain itu juga dapat diberikan
obat benzodiazepine lain seperti lorazepam dan midazolam.
b. Agen antikonvulsan. Salah satu contoh obatnya adalah fenitoin yang
dapat mengatasi kejang akut, status epileptikus, epilepsi kronik.
Kelebihan digunakan fenitoin yakni memiliki efek sedasi yang minim,
akan tetapi perlu diperhatikan efek aritmia dan hipotensi pada pasien
diatas 40 tahun. Fosfofenitoin juga dapat digunakan dalam mengatasi
status epileptikus, obat ini merupakan prodrug dari fenitoin yang larut
dalam air dan akan dikonversi menjadi fenitoin setelah diberikan
secara intravena. Dosis fosfofenitoin sebanyak 1,5 mg ekuivalen
dengan fenitoin 1 mg. Dosis awal fosfofenitoin 15-20 mg/kgBB
dengan kecepatan 150 mg/menit dimana kecepatan infus 3x lebih cepat
dari fenitoin intravena.
c. Barbiturat. Salah satu contohnya adalah phenobarbital yang
merupakan lini obat ke dua jika golongan benzodiazepine dan fenitoin
gagal mengontrol status epileptikus. Loading dose obat barbiturate
adalah 15-20 mg/kg BB. Dosis tinggi phenobarbital bersifat sedatif
maka proteksi jalan nafas menjadi penting. Saat ini untuk penanganan
SE refrakter digunakan agen lain seperti midazolam, propofol dan
pentobarbital daripada phenobarbital.
2. HEPATITIS ISKEMIK
- Gejala Klinis
Tidak ada gejala klinis spesifik. Gejala klinis biasanya menunjukkan
kondisi syok yang mendasari atau gejala hepatitis viral akut. Pasien biasanya
mengeluh mual, muntah, tidak napsu makan, lemah, tidak enak badan, nyeri
perut kanan atas, ikterik, sesak, oliguria, dan tremor. Kadang pasien juga
tidak menunjukkan gejala. Ischemic hepatitis biasanya tidak mematikan dan
dapat sembuh sendiri. Diagnosis klinis hampir selalu tidak disengaja, saat
enzim hati ditemukan meningkat tajam 1-3 hari setelah episode hipotensi
sistemik. Komplikasi yang dapat terjadi adalah hipoglikemia spontan, sesak
napas karena sindroma hepatopulmonal, dan hiperamonemia.
- Terapi
Ischemic hepatitis biasanya tidak berbahaya dan dapat sembuh sendiri.
Serum aminotransterase cepat berkurang setelah penyebab diatasi.
Pengobatan ditujukan untuk mengatasi penyebab dan optimalisasi
hemodinamik. Tidak ada terapi spesifik. Prognosis lebih ditentukan penyebab
syok. Setelah penyebab teratasi, ischemic hepatitis akan membaik dengan
sendirinya. Hal yang harus dilakukan pada pasien ischemic hepatitis adalah:
a. Menjauhkan penyebab seperti obat-obatan dengan efek inotropik
negatif atau efek hipotensi (obat-obatan aritmia, calcium-channel
blocker, vasodilator), obat-obatan yang mengganggu fungsi ginjal
(ACE-inhibitor dosis tinggi, ARB), atau obat-obatan yang
terakumulasi bila gagal ginjal memburuk (contoh: digoksin).
b. Oksigen diberikan sesegera mungkin pada pasien hipoksemia untuk
mencapai saturasi oksigen arteri >95%.
c. Pemberian diuretik intravena direkomendasikan bila terdapat gejala
sekunder akibat penyumbatan dan kelebihan cairan.
d. Obat inotropik dipertimbangkan pada kondisi output dan tekanan darah
sistolik yang rendah. Obat inotropik dapat diberikan segera saat
diperlukan dan dihentikan segera saat perfusi organ telah adekuat
kembali dan/atau penyumbatan berkurang.
e. Vasopresor hanya diindikasikan pada kasus syok kardiogenik, saat
kombinasi obat inotropik dan fluid challenge gagal meningkatkan
tekanan darah sistolik >90 mmHg, dan perfusi organ tidak adekuat.
BAB II. PHARMACEUTICAL CARE PLAN
I. IDENTITAS PASIEN
II. Subyektif
IV. ASSESMENT
4.1 Epileptikus
Subjektif/Objektif Terapi Analisis DRP Plan dan Monitoring
S: NS 0,9% 12 tpm Normal Saline (NS) Tidak ada DRP Plan:
- Kejang berulang merupakan salah satu cairan Terapi dilanjutkan
setiap 5 menit kristaloid yang digunakan Terapi ditambah dengan
sekali untuk resusitasi cairan. Normal pemberian oksigen.
- Riwayat Epilepsi Saline memiliki komposisi Na+
Post Stroke 2 dan Cl- dengan pH 5 (Mane, Monitoring:
tahun yang lalu 2017). Kadar elektrolit pasien,
- Riwayat O2 Penatalaksanaan awal untuk Indikasi tidak Plan :
penggunaan obat pasien epileptiku adalah terdapat terapi Terapi ditambah dengan
Karbamazepin pemberian terapi oksigen jika pemberian oksigen
2x200 mg saturasi oksigen rendah
- Ketidakteraturan (Glauser et al., 2016). Terapi Monitoring:
penggunaan obat oksigen perlu diberikan karena Kadar saturasi oksigen pasien
O: pasien memiliki saturasi O2
- RR: 26x/menit 89% dan RR 26x/menit.
- Saturasi Alinamin F 2x1 Alinamin F merupakan Tidak ada DRP Plan :
Oksigen: 86% ampul suplemen yang digunakan Terapi dilanjutkan dan
- Diagnosis untuk memenuhi kebutuhan ditambahkan dekstrose 50% (iv)
Dokter vitamin B1 dan B2 dengan 50 mL. Selanjutkan disarankan
dosis 1-2 ampul (1-2x sehari) pengecekan terkait kadar gula
secara intravena (mims.com). darah lengkap.
Pada penatalaksanaan awal
epileptikus pasien dewasa Monitoring:
dilakukan pengecekan kadar Kadar gula darah
glukosa, apabila kadar glukosa
<60 mg/dl maka diberikan 100
mg Thiamin (iv) kemudian
diberikan Dekstrose 50% (iv)
50 mL (Glauser et al., 2016).
Diazepam (iv) 30 Diazepam merupakan obat Dosis diazepam Plan:
mg (rate: golongan benzodiazepine yang berlebih Penurunan dosis menjadi 9,3
5mg/menit) dapat digunakan untuk mg-10 mg (5mg/menit).
antikonvulsan. Diazepam (iv)
sangat lipofilik dan cepat Monitoring:
didistribusikan ke otak dan Kejang pasien
distribusikan kembali dengan
cepat ke dalam lemak tubuh
yang menyebabkan efek sangat
singkat (< 0.5 jam) (Wells et
al., 2015).
Dosis Diazepam (iv) yang
direkomendasikan merupakan
0,15-0,2 mg/kgBB dan
maksimal dosis 10 mg/kgBB
(Glauser et al., 2016).
Fenitoin 3x100 Fenitoin merupakan Dosis fenitoin Plan :
mg (iv) antikonvulsan yang digunakan kurang Dosis Fenitoin ditingkatkan
sebagai terapi lini ke-2 untuk menjadi 3 x 200 mg
pasien SE (status epileptikus)
apabila penggunaan Monitoring :
benzodiazepin setelah Kadar SGOT dan SGPT pasien.
pengulangan kedua tidak
menunjukkan respon perbaikan
kejang (Dipiro, 2008)
Dosis fenitoin : 10-15 mg/kg
BB (untuk pasien ini dengan
BB 62 kg dosis yang
digunakan 620-930 mg). (DIH
ed 17th, 2009)
Antrain 1 x1 amp Antrain mengandung Tidak ada DRP Plan :
metamizole, dosis penggunaan Terapi dilanjutkan
0,5 – 4 gram sehari secara oral,
intravascular, dan
intramuscular. (Martindale,
2009). Monitoring :
Pasien epilepsi biasanya dapat Nyeri kepala pasien
mengalami nyeri setelah
serangan kejang, nyeri ini bisa
terjadi di kepala sebagian
maupun keseluruhan. Paling
parah bagian depan, sehingga
pada pasien diberi NSAID
Antrain sebagai pereda nyeri.
Depkes. 2007. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Hati. Jakarta : Depkes RI.
DIH, 2009, Drug Infornation Handbook, 17th Edition, American Phamacist
Association.
Dipiro, J.T., Wells, B.G. Schwinghammer., T.L., Dipiro., C.V. 2015.
Pharmacotherapy Handbook Ninth Edition. McGraw-Hill Education.
Fuhrmann V, Jager B, Zubkova A, Drolz A. Hypoxic Hepatitis-Epidemiology,
Pathophysiology and Clinical Management. Wiener klinische
Wochenschrift. 2010; 122(5-6): 129-39.
Gibson PR, Dudley FJ. Ischemic Hepatitis: Clinical Features, Diagnosis and
Prognosis. Aust N Z J Med. 1984; 14: 822-5
Glauser, T., Shinnar, S., Gloss, D., Alldredge, B., Arya, R., Bainbridge, J., Bare,
M., Bleck, T., Dodson, E., Garrity, L., Jagoda, A., Lowenstein, D., Pellock,
J., Riviello, J., Sloan, E., dan Treiman, D.M. 2016. Evidence-Based
Guideline: Treatment of Convulsive Status Epilepticus in Children and
Adults: Report of the Guideline Committee of the American Epilepsy
Society. Journal of American Epilepsy Society 16(1):48–61
Kusmana, Felix. 2016. Congestive Hepatopathy dan Ischemic Hepatitis- Penyakit
Hati Akibat Penyakit Jantung. Contuining Medical Education : Kalbemed.
43(1) : 23-28.
Malhotra P, Singh B, Kapoor D, Babu S, Kaur J, Juneja D. Acute ischemic
hepatitis caused by seizure. JIACM. 2011; 12(2): 144-6.
Mane, A.S. 2017. Fluid Resuscitation: Ringer Lactate Versus Normal Saline-A
clinical Study. International Journal of Contemporary Medical Research
4(11)
Muller, Markus M., Christof Geisen, Kai Zacharowski, Torsten Tonn, and Erhard
Seifried. 2015. Transfusion of packed red cell. Deutsches Arzteblatt
International, 112 (30):507-518
Rilianto, Beny. 2015. Evaluasi dan Manajemen Status Epileptikus. Contuining
Medical Education : Kalbemed. 42(10) : 750-754.
Sweetman, S et al. 2009. Martindale 36th. The Pharmaceutical Press. London.
Tracy, G. M.D, et al., 2016. Evidence-Based Guideline: Treatment of Convulsive
Status Epilepticus in Children and Adults: Report of the Guideline
Committee of the American Epilepsy Society. Epilepsy Currents : American
Epilepsy Society.
Studi Kasus Epilepsi
- Benzodiazepine
- Agen antikonvulsan
- Barbiturat Terapi Pemeriksaan
Farmakologi Penunjang
Elektrolit, EEG,
CT-Scan, gula da
rah dsb
TERAPI FARMAKOLOGIS
Benzodiazepine. Golongan benzodiazepine seperti diazepam me
rupakan obat pilihan pertama dimana dapat memasuki otak secar
a cepat setelah 15-20 menit akan terdistribusi ke tubuh.
Agen antikonvulsan. Salah satu contoh obatnya adalah fenitoin
yang dapat mengatasi kejang akut, status epileptikus, epilepsi kro
nik. Kelebihan digunakan fenitoin yakni memiliki efek sedasi yan
g minim, akan tetapi perlu diperhatikan efek aritmia dan hipotens
i pada pasien diatas 40 tahun.
Barbiturat. Salah satu contohnya adalah phenobarbital yang mer
upakan lini obat jika golongan benzodiazepine dan fenitoin gagal
mengontrol status epileptikus. Loading dose barbiturate 15-20 m
g/kg BB.
HEPATITIS ISKEMIK