Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

OSTEOARTHRITIS KNEE
KONSEP DASAR LANSIA

1. Pengertian Lanjut Usia


Lanjut usia adalah kelompok manusia yang berusia 60 tahun ke atas (Hardywinoto
dan setiabudhi 1999) pada lanjut usia akan terjadi proses menghilangnya kemampuan
jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi
noramalnaya secara perlahan-lahan sehingga dapat bertahan terhadap infeksi dan
memperbaiki kerusakn yang terjadi (Constantinides, 1994). Oleh karena itu, dalam
tubuh akan menumpuk makin banyak distorsi metabolic dan sturuktural yang
disebabkan penyakit degenerative yang menyebankan lansia akan mengakhiri hidup
dengan episode terminal (Darmojo dan Martono, 1999;4 dalam Nugroho, 2008)
2. Karakteristik Lansia
Menurut Keliat (1999) dalam Maryam (2008) lansia memiliki karakteristik
sebagai berikut: berusia lebih dari 60 tahun (sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) UU No. 13
tentang Kesehatan), kebutuhan dan masalah yang bervariasi dan rentang sehat sampai
sakit, dari kebutuhan biopsikososial sampai spiritual, serta dari kondisi adaptif hingga
kondisi maladaptif, lingkungan tempat tinggal yang bervariasi.
3. Batasan Umur Lanjut Usia
Menurut pendapat berbagai ahli dalam Efendi (2009) batasan-batasan umur yang
mencakup batasan umur lansia sebagai berikut:
a) Menurut undang-undang nomor 13 tahun 1998 dalam Bab 1 pasal 1 ayat 2
yang berbbunyi “lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke
atas.
b) Menurut WHO, usia lanjut ialah 60-74 tahun, lanjut usia tua ialah 74-90 tahun,
usia sangat tua ialah di atas 90 tahun
c) Menurut Dra. Jos Masdani (psikolog UI) terdapat 4 fase, yaitu: pertama (fase
inventus) ialah 25-40, kedua (fase virilities) iahlah 40-55 tahun, ketiga (fase
presenium) ialah 55-65 tahun, keempat (fase senium) ialah 65 hingga tutup
usia.
d) Menurut prof.Dr. Koesoemato masa lanjut usia (getiatric age) itu sendiri
dibagi menjadi tiga batasan umur, yaitu Young old (70-75 tathun), old (75-80
tahun), dan very old (>80 tahun) (Efendi, 2009)
4. Teori proses menuaan
Ada beberapa teori tentang penuaan, sebagaimana dikemukakan oleh maryam, dkk.
(2008), yaitu teori biologi, teori psikologi, teori cultural, teori sosial, teori genetika
teori rusaknya sistem imun tubuh, teori menua akibat metabolisme, dan teori kejiwaan
sosial. Berdasarkan pengetahuan yang berkembang dalam pembahasan tentang proses
menjadi tua (menua) yang hingga saat ini di anut oleh gerontologis, maka dalam
tingkatan kopetensinya, perawat perlu menegembangkan konsep dan teori keperawtan
sekaligus praktik keperawatan, sehingga praktik keperawatan benar-benar mampu
member manfaat bagi kehudupan masyarakat.
1) Teori Biologis
Teori ini berfokus pada proses fisiologi dalam kehidupan seseorang lahir
sampai meninggal. Perubahan pada tubuh dapat secara independen atau dapat
dipengaruhi oleh factor luar bersifat patologis. Sebagaimana dikemukakan
oleh Zairt (1980), bahwa teori biologis dalam proses menua mengacu pada
asumsi bahwa proses menua merupakan perubahan yang terjadi dalam struktur
dan fungsi tubuh selama masa hidup. Teori ini lebih menekankakn pada
perubahan kondisi tingkat structural sel organ tubuh, termasuk didalamnya
adalah pengaruh agen patologis. Menurut hayflick proses penurunan fungsi
organism yang dalam konteks sistemik, dapat mempengaruhi member dampak
terhadap organ sistem tubuh lainnya dan berkembang sesuai dengan
peningkatan usia kronologis.

2) Teori Psikologis
a) Teori hierarki kebutuhan manusia menurut Maslow Hierarchy Of
Human Needs (1960). Dalam teori hierarki menurut maslow,
kebutuhan dasar manusia dibagi dalam lima tingkatan dari mulai yang
terendah, yaitu kebutuhan biologis/sex, rasa amann, kasih sayang,
harga diri samapai yang paling tinggi , yaitu aktualisasi diri. Seseorang
akan memenuhi kebutuhan tersebut dari mulaitingkat yang paling
rendah menuju tingkat yang paling tinggi. Menurut Maslow, semakin
tua usia individu maka individu tersebut
akan mulai berusaha mencapai aktualisasi dirinya. Hika individu telah
mencapai aktualisasi diri maka individu telah mencapai kedewasaan
dan kematangan dengan semua sifat yang ada di dalamnya,
yaituotonomi, kreatif, mandiri, dan hubungan interpersonal yang
positif
b) Teori individualisme jung, teori ini dikemukakan oleh Carl Gustaf
Jung (2009). Menurut Carl Gustaf Jung. Sifat dasar manusia terbagi
menjadi dua, yaitu ekstrover dan introvert. Individu yang telah
mencapai masa lansia akan cenderung introvert. Dia lebih suka
menyendiri sperti
bernostalgia tentang masa lalunya. Menua yang sukses adalah jika dia
bisa menyeimbangkan antara sisi introvernya dengan sisi ekstrovernya,
namun lebih condong kearah introvert meski demikian dia tidak selalu
hanya senang dengan dunianya sendiri, tetapu tetapi juga terkadang dia
ekstrover juga.
5. Teori Rusaknya Sistem Imun Tubuh
Teori ini dikembangkan oleh Hayflick (1965) yang menyatakan bahwa mutasi yang
terjadi secara berulang mengakibatkan kemampuan sistem imun untuk mengenali
dirinnya berkurang, menurun mangakibatkan kelainan pada sel, dan dianggap sel
asing sehingga dihancurkan. Perubahan inilah yang disebut terjadinya autoimun
6. Teori Menua Akibat metabolisme
Teori ini dikemukakan oleh Hadi Martono (2006). Pada zaman dulu, pendapat tentang
lanjut usia adalh botak, mudah bingung, pendengaran sangat menurun, menjadi
bengkuk, dan sering dijumpai kesulitan dalam menhan buang air kecil.
7. Teori Kejiwaan Sosial
Teori ini dikembangakan oleh Boedhi-Darmojo (2010) menyatakan bahwa lanjut usia
yang sukses dalah mereka yang aktif dan mengikuti banyak kegiatan sosial. Ukuran
optimum (pola hidup) dilanjutkan pada cara hidup lansia dan mempertahankan
hubungan antarsistem sosial dan individu agar tetap stabil dari usia perteganhan ke
lansia.
(Nugroho, 2008)
A. Pengertian
Osteoarthritis adalah penyakit tulang degeneratif yang ditandai oleh pengeroposan
kartilago artikular (sendi). Tanpa adanya kartilago sebagai penyangga, maka tulang
dibawahnya akan mengalami iritasi, yang menyebabkan degenerasi sendi (Corwin,
2009).
Osteoartritis yang dikenal sebagai penyakit sendi degeneratif atau osteoartrosis
(sekalipun terdapat inflamasi) merupakan kelainan sendi yang paling sering ditemukan
dan kerapkali menimbulkan ketidakmampuan (disabilitas) (Suzanne, 2002).
B. Penyebab dan Faktor Predisposisi
1. Penyebab
Banyak faktor yang dapat menimbulkan kerusakan tulang rawan sendi, akibat
penipisan tulang rawan sendi. Pada tahap tertentu, tulang rawan sendi yang tipis
tidak dapat berfungsi sebagai bantalan. Bersamaan dengan penipisan tulang rawan
ini, terbentuklah osteofit, suatu tulang baru yang sebenarnya merupakan suatu
mekanisme untuk memperbaiki kerusakan yang muncul, tetapi gagal mengatasi
kerusakan tersebut. Bahkan pembentukan osteofit justru akan memperberat OA.
Dalam keadaan normal, sendi memiliki derajat gesekan yang rendah sehingga akan
mudah aus, kecuali bila digunakan dengan secara berlebihan atau mengalami cedera.
OA kemungkinan berawal ketika suatu kelainan terjadi pada sel-sel yang membentuk
komponen tulang rawan, seperti kolagen (serabut protein yang kuat pada jaringan
ikat) dan proteoglikan (bahan yang membentuk daya lenting tulang rawan).
Selanjutnya, tulang rawan tumbuh terlalu banyak tetapi pada akhirnya akan menipis
dan membentuk retakan-retakan dipermukaan. Rongga kecil akan terbentuk di dalam
sumsum dari tulang yang terletak dibawah kartilago tersebut sehingga tulang menjadi
rapuh. Tulang mengalami pertumbuhan berlebihan dipinggiran sendi dan
menyebabkan benjolan (osteofit), yang bisa dilihat dan bisa dirasakan. Benjoan ini
mempengaruhi fungsi sendi yang normal dan menyebabkan nyeri (Anies, 2006)
2. Faktor Predisposisi
a. Umur
Osteoartritis lebih sering terjadi pada usia lanjut, tetapi keadaan ini masih belum
jelas apakah osteoarthritis ini timbul sebagai konsekuensi dari proses penuaan.
b. Jenis Kelamin
Dibawah 45 tahun pria lebih sering terserang OA dari pada wanita teapi diatas 45
tahun wanita lebih sering mendapat OA.
c. Obesitas
Sebagai faktor umur, obesitas sering dihubungkan dengan osteoarthritis. Namun
hubungannya yang masih belum dibuktikan antara obesitas dan osteoarthritis.
d. Aktifitas Fisik
Orang yang mejalani aktifitas fisik dengan trauma berulang mengalami
peningkatan resiko berkembangnya OA.
e. Faktor Genetik
f. Hormonal
g. Makanan
(Chandra, 2002)
C. Manifestasi Klinis
OA dapat mengenai sendi-sendi besar maupun kecil. Distribusi OA dapat
mengenai sendi leher, bahu, tangan, kaki, pinggul, lutut.
1. Nyeri
Nyeri pada sendi berasal dari inflamasi pada sinovium, tekanan pada sumsum tulang,
fraktur daerah subkondral, tekanan saraf akibat osteofit, distensi, instabilnya kapsul
sendi, serta spasme pada otot atau ligamen. Nyeri terjadi ketika melakukan aktifitas
berat. Pada tahap yang lebih parah hanya dengan aktifitas minimal sudah dapat
membuat perasaan sakit, hal ini bisaberkurang dengan istirahat.
2. Kekakuan sendi
Kekakuan pada sendi sering dikeluhkan ketika pagi hariketika setelah duduk yang
terlalu lama atau setelah bangun pagi.
3. Krepitasi
Krepitasi sensasi suara gemeratak yang sering ditemukan pada tulang sendi rawan.
4. Pembengkakan
Pembengkakan pada tulangbiasa ditemukan terutama pada tangansebagai nodus
Heberden (karena adanya keterlibatan sendi Distal Interphalangeal(DIP)) atau nodus
Bouchard (karena adanya keterlibatan sendi Proximal Phalangeal(PIP)).
Pembengkakan pada tulang dapat menyebabkan penurunan kemampuan pergerakan
sendi yang progresif.
5. Deformitas sendi
Deformitas sendi seringkali menunjukkan sendinya perlahan-lahan mengalami
pembesaran, biasanya terjadi pada sendi tangan atau lutut.
(Chandra, 2002)
D. Patofisiologi
Penyakit sendi degeneratif merupakan suatu penyakit kronik, tidak meradang,
dan progresif lambat, yang seakan-akan merupakan proses penuaan, rawan sendi
mengalami kemunduran dan degenerasi disertai dengan pertumbuhan tulang baru pada
bagian tepi sendi. Osteoarthritis dapat dianggap sebagai hasil akhir banyak proses
patologi yang menyatu menjadi suatu predisposisi penyakit yang menyeluruh.
Osteoarthritis mengenai kartiloago artikuler, tulang subkondrium ( lempeng tulang yang
menyangga kartilago artikuler) serta sinovium dan menyebabkan keadaan campuran dari
proses degenerasi, inflamasi, serta perbaikan. Proses degeneratif dasar dalam sendi telah
berkembang luas hingga sudah berada diluar pandangan bahwa penyakit tersebut hanya
semata-mata proses “aus akibat pemakaian” yang berhubungan dengan penuaaan. Faktor
resiko bagi osteoarthritis mencakup usia, jenis kelamin wanita, predisposisi genetic,
obesitas, stress mekanik sendi,trauma sendi, kelainan sendi atau tulang yang dialami
sebelumnya, dan riwayat penyakit inflamasi, endokrin serta metabolik. Unsur herediter
osteoarthritis yang dikenal sebagai nodal generalized osteoarthritis ( yang mengenal tiga
atau lebih kelompoksendi) telah dikomfirmasikan. Tipe osteoarthritis ini meliputi proses
inflamasi primer. Wanita pascamenopause dalam keluarga yang sama ternyata memiliki
tipe osteoarthritis pada tangan yang ditandai dengan timbulnya nodus pada sendi
interfalang distal dan proksimal tangan. Gangguan congenital dan perkembangan pada
koksa sudah diketahui benar sebagai predisposisi dalam diri seseorang untuk mengalami
osteartritis koksa. Gangguan ini mencakup sublokasi-dislokasi congenital sendi
koksa,displasia, asetabulum, penyakit Legg-Calve-Perthes dan pergeseran epifise kaput
femoris. Obesitas memiliki kaitan dengan osteoarthritis sendi lutut pada wanita.
Meskipun keadaan ini mungkin terjadi akibat stress mekanik tambahan, dan
ketidaksejajaran sendi lulut terhadap bagian tubuh lainnya karena diameter paha, namun
obesitas dapat memberikan efek metabolik langsung pada kartilago. Secara
mekanis,obesitas dianggap meningkatkan gaya sendi dan arena itu menyebabkan
generasi kartilago. Teori faktor metabolik yang berkaitan dengan dan menyebabkan
osteoarthritis. Obesitas akan disertai dengan peningkatan masa tulang subkondrium yang
dapat menimbulkan kekakuan pada tulang sehingga menjadi kurang lentur terhadap
dampak beban muatan yang akan mentrasmisikan lebih besar gaya pada kartilago
artikuler yang melapisi atasnya dan dengan demikian memuat tulang tersebut lebih
rentan terhadap cidera. Faktor-faktor mekanis seperti trauma sendi, aktivitas olahraga
dan pekerjaan juga turut terlibat. Factor-faktor ini mencakup kerusakan pada ligamentum
krusiatum dan robekan menikus, aktivitas fisik yang berat dan kebiasaan sering berlutut.
Proses degenerasi ini disebabkan oleh proses pemecahan kondrosit yang merupakan
unsur penting rawan sendi. Pemecahan tersebut diduga diawali oleh stress biomekanik
tertentu. Pengeluaran enzim lisosom menyebabkan dipecahnya polisakarida protein yang
membentuk matriks di sekeliling kondrosit sehingga mengakibatkan kerusakan tulang
rawan. Sendi yang paling sering terkena adalah sendi yang harus menanggung berat
badan, seperti panggul lutut dan kolumna vertebralis. Sendi interfalanga distal dan
proksimasi. Osteoartritis pada beberapa kejadian akan mengakibatkan terbatasnya
gerakan. Hal ini disebabkan oleh adanya rasa nyeri yang dialami atau diakibatkan
penyempitan ruang sendi atau kurang digunakannya sendi tersebut. Perubahan-
perubahan degeneratif yang mengakibatkan karena peristiwa-peristiwa tertentu misalnya
cedera sendi infeksi sendi deformitas congenital dan penyakit peradangan sendi lainnya
akan menyebabkan trauma pada kartilago yang bersifat intrinsik dan ekstrinsik sehingga
menyebabkan fraktur ada ligamen atau adanya perubahan metabolisme sendi yang pada
akhirnya mengakibatkan tulang rawan mengalami erosi dan kehancuran, tulang menjadi
tebal dan terjadi penyempitan rongga sendi yang menyebabkan nyeri, kaki kripitasi,
deformitas, adanya hipertropi atau nodulus (Soeparman, 2005)
E. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
Sampai sekarang belum ada obat yang spesifik yang khas untuk osteoartritis, oleh
karena patogenesisnya yang belum jelas, obat yang diberikan bertujuan untuk
mengurangi rasa sakit, meningkatkan mobilitas dan mengurangi ketidak mampuan.
Obat-obat anti inflamasinon steroid (OAINS) bekerja sebagai analgetik dan sekaligus
mengurangi sinovitis, meskipun tak dapat memperbaiki atau menghentikan proses
patologis osteoartritis.
a. Analgesic yang dapatdipakai adalah asetaminofen dosis 2,6-4,9 g/hari atau
profoksifen HCL. Asam salisilat juga cukup efektif namun perhatikan efek
samping pada saluran cerna dan ginjal
b. Jika tidak berpengaruh, atau tidak dapat peradangan maka OAINS, seperti
fenofrofin, piroksikam,ibuprofen dapat digunakan. Dosis untuk osteoarthritis
biasanya ½-1/3 dosis penuh untuk arthritis rematoid. Karena pemakaian biasanya
untuk jangka panjang, efek samping utama adalahganggauan mukosa lambung
dan gangguan faal ginjal.
c. Injeksi cortisone. Dokter akan menyuntikkan cortocosteroid pada engsel yang
mempu mengurangi nyeri/ngilu.
d. Suplementasi-visco. Tindakan ini berupa injeksi turunan asam hyluronik yang
akan mengurangi nyeri pada pangkal tulang. Tindakan ini hanya dilakukan jika
osteoarhtritis pada lutut.
2. Perlindungan sendi
Osteoartritis mungkin timbul atau diperkuat karena mekanisme tubuh yang kurang
baik. Perlu dihindari aktivitas yang berlebihan pada sendi yang sakit. Pemakaian
tongkat, alat-alat listrik yang dapat memperingan kerja sendi juga perlu diperhatikan.
Beban pada lutut berlebihan karena kakai yang tertekuk (pronatio).
3. Diet
Diet untuk menurunkan berat badan pasien osteoartritis yang gemuk harus menjadi
program utama pengobatan osteoartritis. Penurunan berat badan seringkali dapat
mengurangi timbulnya keluhan dan peradangan.
4. Dukungan psikososial
Dukungan psikososial diperlukan pasien osteoartritis oleh karena sifatnya yang
menahun dan ketidakmampuannya yang ditimbulkannya. Disatu pihak pasien ingin
menyembunyikan ketidakmampuannya, dipihak lain dia ingin orang lain turut
memikirkan penyakitnya. Pasien osteoartritis sering kali keberatan untuk memakai
alat-alat pembantu karena faktor-faktor psikologis.
5. Fisioterapi
Fisioterapi berperan penting pada penatalaksanaan osteoartritis, yang meliputi
pemakaian panas dan dingin dan program latihan ynag tepat. Pemakaian panas yang
sedang diberikan sebelum latihan untk mengurangi rasa nyeri dan kekakuan. Pada
sendi yang masih aktif sebaiknya diberi dingin dan obat-obat gosok jangan dipakai
sebelum pamanasan. Berbagai sumber panas dapat dipakai seperti Hidrokolator,
bantalan elektrik, ultrasonic, inframerah, mandi paraffin dan mandi dari pancuran
panas. Program latihan bertujuan untuk memperbaiki gerak sendi dan memperkuat
otot yang biasanya atropik pada sekitar sendi osteoartritis. Latihan isometrik lebih
baik dari pada isotonik karena mengurangi tegangan pada sendi. Atropi rawan sendi
dan tulang yang timbul pada tungkai yang lumpuh timbul karena berkurangnya
beban ke sendi oleh karena kontraksi otot. Oleh karena otot-otot periartikular
memegang peran penting terhadap perlindungan rawan senadi dari beban, maka
penguatan otot-otot tersebut adalah penting.
6. Operasi
Operasi perlu dipertimbangkan pada pasien osteoartritis dengan kerusakan sendi
yang nyata dengan nyari yang menetap dan kelemahan fungsi. Tindakan yang
dilakukan adalah osteotomy untuk mengoreksi ketidaklurusan atau ketidaksesuaian,
debridement sendi untuk menghilangkan fragmen tulang rawan sendi, pebersihan
osteofit.
a. Penggantian engsel (artroplasti). Engsel yang rusak akan diangkat dan diganti
dengan alat yang terbuat dari plastik atau metal yang disebut prostesis.
b. Pembersihan sambungan (debridemen). Dokter bedah tulang akan mengangkat
serpihan tulang rawan yang rusak dan mengganggu pergerakan yang
menyebabkan nyeri saat tulang bergerak.
c. Penataan tulang. Opsi ini diambil untuk osteoatritis pada anak dan remaja.
Penataan dilakukan agar sambungan/engsel tidak menerima beban saat bergerak.
7. Terapi konservatif mencakup penggunaan kompres hangat, penurunan berat badan,
upaya untuk menhistirahatkan sendi serta menghindari penggunaan sendi yang
berlebihan pemakaian alat-alat ortotail. Untuk menyangga sendi yang mengalami
inflamasi ( bidai penopang) dan latihan isometric serta postural. Terapi okupasioanl
dan fisioterapi dapat membantu pasien untuk mengadopsi strategi penangan mandiri.
(Nurma & Ningsih, 2009)
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Untuk OA tidak ada pemeriksaan laboratorium yang diagnostik, tetapi pemeriksan
laboratorium yang spesifik dapat membantu mengetahui penyakit yang mendasari
pada OA sekunder.
2. Dengan uji serologik dengan pendeteksian di dalam cairan sinovium dan/ serum
adanya makromolekul (mis, glikosaminoglikan) yang dilepas oleh tulang rawan /
tulang yang mengalami degenerasi.
3. Sinar-X.
Gambar sinar X pada engsel akan menunjukkan perubahan yang terjadi pada tulang
seperti pecahnya tulang rawan.
4. Tes darah.
Tes darah akan membantu memberi informasi untuk memeriksa rematik.
5. Analisa cairan engsel
Dokter akan mengambil contoh sampel cairan pada engsel untuk kemudian diketahui
apakah nyeri/ngilu tersebut disebabkan oleh encok atau infeksi.
6. Artroskopi
Artroskopi adalah alat kecil berupa kamera yang diletakkan dalan engsel tulang.
Dokter akan mengamati ketidaknormalan yang terjadi.
7. Foto Rontgent menunjukkan penurunan progresif massa kartilago sendi sebagai
penyempitan rongga sendi
(Nurma & Ningsih, 2009)
G. Pathway
Reaksi faktor R dengan
antibody, faktor
metabolik, infeksi dengan Reaksi peradangan
kecenderungan virus

Nyeri Kuraang informasi Sinovial menebal


tentang proses penyakit

Deformitas sendi
Kurang Pengetahuan

Infiltrasi kedalam os
Gangguan Citra subcondria
Tubuh
Hambatan nutrisi pada
kartilago artikularis

Kerusakan kartilago Kartilago nekrosis


& tulang

Erosi kartilago
Tendon dan ligament
melemah
Adhesi pada
permukaan sendi
Hilangnya kekuatan Mudah luksasi &
otot subluksasi
Ankilosis fibosa
ankilosis tulang
Resiko cedera

Kekakuan sendi

Hambatan Mobilitas Terbatasnya gerakan


Fisik sendi

Defisit Perawatan
Diri

(Nurarif & Kusuma, 2015)


H. Penkajian Fokus
Untuk megetahui permasalahan yang ada dengan Osteoatritis Knee perlu dilakukan
pengkajian yang lebih menyeluruh dan medalam dari berbagai aspek yang ada sehingga
dapat ditemukan masalah-masalah yang ada pada klien dengan Osteoatritis Knee (Padila,
2013)
1. Identitas klien
2. Keluhan utama
3. Riwayat penyakit sekarang
4. Riwayat penyakit dahulu
5. Riwayat penyakit sekarang
6. Riwayat psikososial
7. Aktivitas/istirahat
8. Kardiovaskuler
9. Integritas ego
10. Makanan/cairan
11. Hygiene
12. Neurosensori
13. Nyeri/kenyamanan
14. Keamanan
15. Interaksi social
16. Pemeriksaan diagnostic
a. Reaksi aglutinasi : positif
b. LED meningkat pesat
c. Protein C reaktif : positif pada masa inkubasi
d. SDP : meningkat pada proses inflamasi
e. Ig (lgm & Ig G) peningkatan besar menunjukkan proses autoimun
f. RO : menunjukkan pembengkakan jaringan lunak, erosi sendi, osteoporosis pada
tulang yang berdekatan, formasi kista tulang, penyempitan ruang sendi.
(Padila, 2013)
I. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut/kronis berhubungan dengan proses inflamasi
2. Hambatan moblitas fisik berhubungan dengan deformitas skeletal, penurunan
kekuatan otot, dan nyeri.
3. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan kemampuan melakukan tugas-
tugas umum.
J. Intervensi Keperawatan
1. Nyeri akut/kronis berhubungan proses inflamasi
Tujuan dan Kriteria
Intervensi Rasional
Hasil
Tujuan : 1. Lakukan pengkajian 1. Membantu dalam
Nyeri berkurang dan nyeri secara evaluasi kebutuhan dan
terkontrol. komperensif termasuk kefektifan intervensi.
Kriteria Hasil: lokasi, karakteristik,
1. Mampu mengontrol durasi, frekuensi,
nyeri (tahu penyebab kualitas dan faktor
nyeri. presipitasi.
2. Melaporkan bahwa 2. Anjurkan untuk sering 2. Agar mencegah
nyeri berkurang mengubah posisi. terjadinya dekubitus.
dengan menggunakan 3. Ajarkan tekhnik 3. Untuk upaya
manajemen nyeri. relaksasi dalam pengalihan nyeri dan
3. Mengenali nyeri (skala upaya relaksasi.
intensitas, frekuensi 4. Kontrol lingkungan 4. Agar klien merasa
dan tanda nyeri) yang dapat aman dan nyaman.
nyatakan rasa aman mempengaruhi nyeri
setelah nyeri seperti suhu ruangan,
berkurang. pencahayaan dan
kebeisingan.
5. Berikan analgetik sesuai 5. Untuk menurunkan rasa
program pengobatan nyeri yang ada.
dokter.
2. Hambatan moblitas fisik berhubungan dengan deformitas skeletal, penurunan
kekuatan otot, dan nyeri.
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
Tujuan : 1. Pantau tingkat 1. Agar membantu dalam
Dapat melakukan mobilitas inflamasi/rasa sakit evaluasi kebutuhan.
secara optimal. pada sendi.
2. Ajarkan dengan rentang 2. Melatih otot dan sendi
Kriteria Hasil: gerak aktif/pasif. agar tidak kaku.
1. Mempertahankan fungsi 3. Anjurkan untuk 3. Untuk mempertahankan
posisi dengan tidak mempertahankan posisi kekuatan otot dan
hadirnya/ pembatasan tegak dan duduk tinggi, mobilitas sendi.
kontraktor. berdiri, dan berjalan.
2. Mempertahankan 4. Berikan lingkungan 4. Agar klien merasa
ataupun meningkatka yang aman. nyaman.
kekuatan dan fungsi dari 5. Kolaborasi dengan 5. Melatih otot-otot dan
kompensasi bagian fisioterapis dalam sendi.
tubuh. program pengobatan.
3. Mendemonstrasikan
teknik/perilaku yang
memungkinkan
melakukan aktivitas

3. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan kemampuan melakukan tugas-


tugas umum.
Tujuan dan Kriteria
Intervensi Rasional
Hasil
Tujuan : 1. Kaji secara verbal dan 1. Untuk membantu dalam
Dapat menunjukkan citra non verbal. evaluasi kebutuhan.
tubuh positif dan harga diri 2. Kaji respon klien 2. Untuk melihat
posistif. terhadap tubuhnya. perkembangan
Kriteria Hasil: kepercayaan diri.
1. Mampu 3. Jelaskan tentang 3. Agar mengetahui
mengidentifikasi pengobatan, perawatan, kemajuan penyakitnya
kekuatan personal kemajuan dan prognosis saat ini.
2. Mendiskripsikan secara penyakit.
factual perubahan fungsi 4. Dorong klien 4. Agar klien merasa
tubuh. mengungkapkan dihargai.
3. Mempertahankan perasaannya
interaksi sosial 5. Identifikasi arti 5. Untuk memberikan
pengurangan melalui penjelasan dampak
alat bantu positif pemakaian alat
bantu.

(Moorhead, Johson, Maas, & Swanson, 2016)


DAFTAR PUSTAKA

Anies. (2006). Waspada Ancaman Penyakit Tidak Menular Solusi Pencegahan Dari Aspek
Perilaku dan Lingkungan. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

Efendi, Ferry & Makhfudli. (2009). Keperawatan Kesehatan Komunitas : Teori dan Praktik
dalam Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika
Chandra, A. S. (2002). Perbandingan Efek Terapi Panas Dengan Terapi Dingin Terhadap
Pengurangan Nyeri Pada Penderta Osteoartritis Lutut di Intalasi Rehabilitasi Medik
RSUP Dr. Kariadi Semarang , 8-10.

Corwin, E. J. (2009). Patofisiologi : Buku Saku Edisi 3. Jakarta: EGC.

Moorhead, S., Johson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2016). NIC & NOC Edisi Kelima
dan Keenam edisi Bahasa Indonesia. Oxford: Elsevier Global Rights.

Nugroho. (2000). Keperawatan Gerontik Edisi 2. Jakarta: EGC.


Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis & Nanda NIC-NOC. Jogjakarta: Mediaction.

Nurma, & Ningsih, L. (2009). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem
Musculoskeletal. Jakarta: Salemba Medika.

Padila. (2013). Asuhan Keperawatan Penyakit Dalam. Yogyakarta: Nuha Medika.

Soeparman. (2005). Ilmu Penyakit Dalam, Edisi Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Suzanne, S. C. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brnner & Suddarth, Ahli
Bahasa Andry Hartono,dkk. Jakarta: EGC.

Tarwoto. (2013). Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta:


Sagung Seto.
LAPORAN PENDAHULUHAN
OSTEOATRITIS KNEE

Oleh :

NAMA : DIAN IKA PERTIWI, S. Kep


NIM : 2016 0305 073

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ESA UNGGUL
JAKARTA
2017
LAPORAN PENDAHULUHAN
OSTEOATRITIS KNEE

Oleh :

NAMA : FEBRI DAYANTI, S. Kep


NIM : 2016 0305 078

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ESA UNGGUL
JAKARTA
2017

Anda mungkin juga menyukai