Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

Fobia berasal dari kata Phobos, nama salah satu Dewa Yunani yang dapat
menimbulkan rasa takut. Sang Dewa digambarkan sebagai satu lukisan memakai
kedok/topeng dan pelindung untuk menakuti lawan dalam peperangan. Kata
“phobia” berasal dari namanya yang diartikan dengan kekhawatiran, ketakutan,
atau kepanikan.1 Fobia sosial (social phobia) dalam DSM IV-R disebut juga
gangguan ansietas sosial (social anxiety disorder).1,2
Freud yang pertama kali membahas rumusan teoretis terbentuknya fobia
dalam sejarah/ riwayat kasusnya yang cukup terkenal, “Little-Hans”, yang bercerita
tentang seorang anak laki-laki usia 5 tahun yang mempunyai ketakutan berlebihan
terhadap kuda.1,2
Berdasarkan penemuan empiris, sebagian besar oleh Marks, terdapat 4
subtipe fobia: agorafobia, fobia sosial, fobia binatang, dan fobia spesifik.
Kebanyakan penelitian lebih mencurahkan perhatian pada agorafobia, masih sedikit
yang menyelidiki fobia sosial.1
Fobia sosial adalah suatu ketakutan yang bermakna dan terus-menerus atas
satu atau lebih situasi-situasi sosial atau perbuatan/penampilan (performance)
tatkala orang tersebut dihadapkan/dipertemukan dengan orang-orang yang tak
dikenalnya, atau kemungkinan untuk diperhatikan dengan cermat oleh orang lain.
Individu tersebut takut bahwa dia akan berbuat sesuatu (menunjukkan gejala
ansietas) yang memalukan.1,3

1
BAB II
STATUS PSIKIATRI

I. IDENTITAS
IDENTITAS PASIEN (AUTOANAMNESIS)
1. Nama : Tn. A
2. Tanggal Lahir/Umur : 19 tahun
3. Jenis kelamin : Laki-laki
4. Alamat : Sungai Putri
5. Agama : Islam
6. Status Perkawinan : Belum Kawin
7. Pekerjaan : Mahasiswa
8. Pendidikan terakhir : SMA

II. ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Os susah tidur.
Riwayat Penyakit Sekarang:
Os mengalami susah tidur semenjak SMP tetapi mulai mengalami
keparahan sejak 3 bulan belakangan ini. Os sulit untuk memulai tidur
meskipun sudah merasa mengantuk. Os pada saat susah tidur biasanya
melakukan aktivitas lain seperti menonton film atau bermain game sampai
keesokan paginya tetapi hal ini tidak mengganggu kegiatan perkuliahan os.
Os mengatakan bahwa ia mengalami susah tidur dikarenakan os
suka memikirkan masa depan os sampai os sering merasa sedih bahkan
menangis. Os khawatir tentang masa depan yang tidak sesuai dengan
keinginan os karena terbentur keinginan orang tua. Os juga sering
memikirkan kejadian yang cukup traumatik dialaminya pada saat os kelas 3
SD. Semenjak itu, os sering merasa bersalah, os juga merasa menyusahkan
orangtuanya, dan os merasa hilang minat dan hobinya. Os memiliki keluhan

2
yang lain seperti susah nafas, keringat dingin, nyeri ulu hati, tangan gemetar
dan mual. Nafsu makan os masih dalam batas normal.
Os merupakan anak yang sulit bergaul atau bersosialisasi dengan
teman-temannya, dan merupakan anak yang pemalu. Os juga termasuk tipe
orang yang sulit terbuka kepada orang lain dan suka memendam apa yang
dia rasakan bahkan mengenai permasalahannya tidak pernah diceritakan
kepada orang tua os. Dari aloanamnesis didapatkan keluhan-keluhan yang
sama seperti yang dirasakan os. Namun os masih dapat beraktivitas seperti
biasanya.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Os belum pernah ada gangguan psikiatri sebelumnya, os belum
pernah berobat ke rumah sakit jiwa maupun ke psikiater. Os pernah
menjalani appendiktomi pada usia 16 tahun dan os pernah mengalami
gangguan pendengaran.
Riwayat Kehidupan Pribadi :
a. Riwayat Pranatal
Os lahir cukup bulan dengan persalinan normal dibantu oleh bidan.
Tidak ada kelainan fisik pada saat os dilahirkan
b. Riwayat Masa Kanak-Kanak Awal (0-3 tahun)
Masa pertumbuhan dan perkembangan os normal
c. Riwayat Masa Kanak Pertengahan (3-11 tahun)
Pertumbuhan dan perkembangan os pada masa ini normal. Waktu
kelas 3 SD, os pernah ditampar oleh ayahnya dan dipermalukan didepan
umum karena tuduhan merusak properti sekolah menjadi kejadian
traumatik bagi os. Prestasi di sekolah biasa saja.
d. Riwayat Masa Remaja
Saat remaja, os berkembang menjadi seseorang yang menarik diri
dari lingkungan sosialnya. Os susah untuk bergaul dengan orang yang
baru ditemuinya.

3
e. Riwayat Dewasa Muda
Setelah tamat SMA, os ingin melanjutkan perkuliahan di jurusan
seni, tetapi orang tua tidak mendukung dan memaksa os kuliah di
jurusan IT. Setelah kuliah ternyata IPK os terus menurun sehingga os
dipaksa pindah kuliah oleh orang tuanya ke Universitas Jambi jurusan
hukum.
f. Riwayat Pendidikan
Os tamat sekolah TK, SD, SMP, SMA dan sekarang sedang kuliah
di Universitas Jambi
g. Riwayat Pekerjaan
Os seorang adalah seorang mahasiswa Fakultas Hukum.
h. Riwayat Pernikahan
Os belum pernah menikah.
i. Riwayat Kehidupan Beragama
Os beragama Islam, selalu menunaikan sholat dan ibadah lainnya.
j. Riwayat Psikoseksual
Os mengalami pubertas pada usia 13 tahun.
k. Riwayat Pelanggaran Hukum
Os tidak pernah melakukan pelanggaran hukum dan tidak pernah
terlibat dalam masalah hukum.
l. Aktivitas Sosial
Semenjak kejadian traumatic yang dialaminya, os menjadi jarang
bersosialisasi dengan lingkungan sekitar dan tetangga. Os lebih senang
menyendiri dirumah dengan bermain game.
Riwayat Keluarga:
- Riwayat keluhan yang sama dalam keluarga disangkal.

4
 Struktur keluarga yang tinggal serumah

No Nama L/P Usia Hubungan Sifat


1. Tn.R L 49 th Ayah Emosional
2. Ny. S P 44 th Ibu Penyayang
3. Y P 21 th Kakak Ceria dan Penyayang
4. Tn. A L 19 th Pasien Pendiam dan Pemalu
5. C P 14 th Adik Ceria dan Penyayang
6. A L 9 th Adik Ceria dan Penyayang

Di keluarga tidak ada yang memiliki keluhan serupa dengan os. Os


tinggal bersama keluarga dan merupakan anak kedua dari empat bersaudara.
Ekonomi keluarga os berkecukupan, hubungan pasien dengan ayah dan
ibunya kurang baik sedangkan hubungan pasien dengan saudara-saudaranya
baik.

GENOGRAM

Keterangan : : Laki-laki : Perempuan


: Ayah : Ibu
: Pasien

5
III. PEMERIKSAAN STATUS PSIKIATRI
Pemeriksaan dilakukan di Poliklinik RSJ pada tanggal 11-02-2017,
hasil pemeriksaan ini menggambarkan situasi keadaan pertama kali datang
berobat.
A. Deskripsi Umum
1. Penampilan
Os tampak rapi
2. Kesadaran
Kompos mentis
3. Perilaku dan Aktivitas Psikomotor
Keadaan os baik. Os memperlihatkan gerak-gerik yang tidak bertujuan,
gerak berulang, maupun gerakan abnormal/involunter seperti
mengetukkan ujung jari-jari ke meja.
4. Pembicaraan
a. Kuantitas : Os dapat menjawab pertanyaan dan dapat
mengungkapkan isi hatinya dengan jelas.
b. Kualitas : Os dapat memahami dan memberikan respon dengan
baik, dan menjawab pertanyaan dengan spontan, volume bicara
cenderung pelan, intonasi os berbicara agak lambat, pengucapan
kata jelas dan pembicaraan dapat dimengerti.
c. Tidak ada hendaya berbahasa.
5. Sikap terhadap pemeriksa
Os kooperatif, kontak mata adekuat. Os dapat menjawab pertanyaan
dengan baik walaupun keadaan os pendiam.
B. Keadaan Afektif
1. Mood : Sedih/ cemas
2. Afek : Murung / dalam rentang luas
3. Keserasian : Serasi
C. Gangguan Persepsi
1. Halusinasi tidak ada
2. Depersonalisasi tidak ada

6
3. Derealisasi tidak ada
4. Ilusi tidak ada
D. Proses Pikir
1. Bentuk pikir : Realistik
2. Arus pikir
a. Produktivitas : pasien dapat menjawab spontan saat diajukan
pertanyaan,
b. Kontinuitas : Koheren, mampu memberikan jawaban sesuai
pertanyaan
c. Hendaya berbahasa : Tidak terdapat hendaya berbahasa
3. Isi pikiran : Normal, Waham tidak ada
E. Fungsi Intelektual / Kognitif
1. Taraf pendidikan, pengetahuan umum dan kecerdasan
• Taraf pendidikan
Pasien lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan sedang
mengenyam pendidikan di perguruan tinggi.
• Pengetahuan Umum
Baik, pasien dapat menjawab dengan tepat siapa presiden Indonesia
dan sistem jaminan kesehatan di Indonesia sekarang.
2. Daya konsentrasi dan perhatian
Konsentrasi pasien baik, pasien dapat berfikir 100 dihitung mundur
ke 80, pasien juga mampu mengalikan angka seperti 4x5 atau 5x10.
Perhatian pasien baik, pasien bisa bisa menyebutkan benda-benda yang
berawalan huruf A atau J.
3. Orientasi
• Waktu : Baik, pasien mengetahui saat wawancara saat pagi hari
• Tempat : Baik, pasien mengetahui dia sedang berada di rumah sakit
jiwa jambi
• Orang : Baik, pasien mengetahui siapa saja saudaranya, siapa saja
yang tinggal serumah dengannya, dan mengetahui sedang
diwawancara oleh siapa.

7
• Situasi : Baik, pasien mengetahui bahwa dia sedang konsultasi
dan wawancara.
4. Daya Ingat
• Daya ingat jangka panjang : Baik, pasien masih dapat mengingat
dimana pasien bersekolah SD
• Daya ingat jangka menengah : Baik, pasien dapat mengingat apa yang
dilakukan pada bulan lalu
• Daya ingat jangka pendek : Baik, pasien dapat mengingat makan apa
kemarin.
• Daya ingat segera : Baik, pasien dapat mengingat nama
pemeriksa dan dapat mengulang 5 kata yang disebutkan oleh
pemeriksa seperti kursi, gunting, meja, batu, dan sepatu.
• Akibat hendaya daya ingat pasien : Tidak terdapat hendaya daya ingat
pada pasien saat ini.
5. Kemampuan baca tulis : baik
6. Kemampuan visuospatial : baik
7. Berpikir abstrak : baik, pasien dapat menjelaskan persamaan
apel dan jeruk
8. Kemampuan menolong diri sendiri : baik, pasien dapat melakukan
perawatan diri sehari- hari secara mandiri seperti mandi, makan,
minum, dan melakukan pekerjaan rumah sendiri.
F. Daya Nilai
Daya nilai sosial pasien baik. Uji daya nilai realitas pasien juga baik.
G. Pengendalian Impuls
Pengendalian impuls pasien terganggua, selama wawancara pasien tidak
dapat mengontrol emosinya dengan baik (menangis)
H. Tilikan
Tilikan derajat 6, karena pasien menyadari bahwa dirinya mengalami
kedukaan dan pasien memerlukan pengobatan untuk dapat tidur nyenyak.
I. Taraf Dapat Dipercaya
Kemampuan pasien untuk dapat dipercaya cukup baik dengan jujur

8
mengenai peristiwa yang terjadi, dan di cross check juga dengan keterangan dari
suami pasien yang menceritakan kejadian yang serupa.

IV. PEMERIKSAAN FISIK


Gambaran Umum:
TD : 120/70
Nadi : 80 x/menit

RR: 20x/menit

Suhu: 36.5oC

TB: 168 cm

BB: 60 kg

a. Kulit : turgor baik


b. Kepala : tidak ada deformitas
c. Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil bulat, isokor,
refleks cahaya +/+ normal
d. Leher : JVP tidak meningkat, KGB tidak teraba
e. Toraks : bentuk dan pergerakan simetris
f. Jantung : bunyi jantung murni, regular, murmur (-)
g. Pulmo : sonor, VBS kanan = kiri
h. Abdomen : datar, lembut.
i. Hepar : tidak teraba
j. Lien : tidak teraba
k. Ekstremitas : telapak tangan basah, tremor (+)

9
V. DIAGNOSIS MULTIAKSIAL
Aksis I : Fobia Sosial
Aksis II : Tidak terdapat gangguan kepribadian
Aksis III : TTH, nyeri ulu hati
Aksis IV : Masalah Psikososial
Aksis V : GAF Scale 70-61(pada saat pemeriksaan)
GAF Scale 60-51 (Tertinggi satu tahun terakhir)

VI. PENATALAKSANAAN
Terapi pada pasien ini yaitu :
Sertraline 50 mg 1x1 tablet /oral/hari
Serotonin selective reuptake inhibitor (SSRI) seperti Sertraline,
paroxetine, fluvoxamine, citalopram. Obat ini bekerja di dalam SSP dengan
menghambat secara selektif ambilan kembali serotonin (5-HT). efek
sampingnya berbeda dengan antidepresan trisiklik, yaitu bahwa SSRI jarang
menyebabkan sedasi yang bermakna,efek samping anti muskarinik,
peningkatan berat badan, hipotensi, atau kardiotoksisitas. Akan tetapi, SSRI
cenderung menyebabkan mual dan muntah, dan terkadang, diare. SSRI
sangat aman dalam keadaan overdosis.

Penanganan psikososial
A. Psikoterapi.
1. Membina raport dengan pasien sehingga pasien merasa nyaman dan aman
untuk menceritakan apa yang sedang dirasakan serta riwayat penyakitnya.
2. Memberikan informasi kepada pasien mengenai penyakitnya serta edukasi
untuk mengkonsumsi obat dan untuk datang lagi untuk melakukan
konsultasi poli psikiatri agar dapat dilihat perkembangan penyakitnya oleh
psikiater.
3. Memberikan informasi kepada kedua orang tua mengenai kondisi dan
penyakit pasien, pentingnya dukungan konsumsi obat sesuai instruksi

10
dokter dan kontrol teratur ke poli psikiatri, yang dapat mempengaruhi
kekambuhan penyakit pasien.

VII. PROGNOSIS
Dubia ad bonam
 Tidak ada kelainan organobiologik
 Tidak ada gangguan jiwa dalam keluarga
 Keinginan pasien untuk sembuh dan berobat
 Tingkat pendidikan yang cukup tinggi.

VIII. LAMPIRAN WAWANCARA


Wawancara dengan pasien
Pemeriksa: Selamat pagi mas, perkenalkan nama saya Devi Arnes dokter
muda disini. Maaf dengan mas siapa ya?
Pasien: Saya A.
Pemeriksa: Mas umurnya berapa?
Pasien: 19 tahun.
Pemeriksa: Baiklah mas datang kesini ada yang bisa saya bantu?
Pasien: Saya susah tidur.
Pemeriksa: Sejak kapan mas mengalami susah tidur?
Pasien: Sebenarnya dari SMP saya sudah mulai susah tidur, tapi selama 3
bulan ini saya merasa semakin susah sekali untuk tidur.
Pemeriksa: Mas itu susah tidurnya bagaimana ya?
Pasien: Maksudnya? Saya kurang mengerti
Pemeriksa: Maksud saya apakah mas susah untuk mulai tidur atau pada
saat tidur terbangun terus tidak dapat tidur lagi?
Pasien: Saya kalau mau tidur itu susah tapi saya merasa ngantuk.
Pemeriksa: Kalau lagi susah tidur mas biasanya ngapain ya?
Pasien: Biasanya saya nonton film atau main game sampai pagi.
Pemeriksa: Apakah kurang tidur itu menyebabkan gangguan pada aktivitas
yang lainnya?

11
Pasien: Tidak begitu mengganggu, saya masih bisa kuliah.
Pemeriksa: Mas sendiri pada saat susah tidur itu ada yang mas pikirkan
atau tidak ?
Pasien: Saya suka mikirin tentang masa depan saya, sampai-sampai saya
merasa sedih dan suka menangis sendiri.
Pemeriksa: Memang apa yang mas khawatirkan tentang masa depan mas?
Pasien: Jadi awalnya saya itu dipaksa orang tua saya kuliah ngambil jurusan
IT di Binus, tapi sebenarnya saya ingin kuliah seni. Saya sudah
menceritakan keinginan saya ini kepada orang tua saya tapi mereka menolak
karena mereka beranggapan kalau kuliah di seni itu masa depannya tidak
ada. Saya akhirnya setuju kuliah di Binus, tapi setelah beberapa semester
IPK saya terus turun sehingga orang tua saya menyuruh saya untuk ikut
ujian masuk PTN lagi dan mengambil jurusan hukum di UNJA. Sampai
saya diterima dan bertahan sampai saat ini.
Pemeriksa: Selain itu ada hal lain yang mas pikirkan?
Pasien: Ada suatu kejadian yang sampai sekarang terus terngiang-ngiang
dipikiran saya. Waktu saya kelas 3 SD saya pernah dipermalukan oleh ayah
kandung saya.
Pemeriksa: Kalau boleh tahu dipermalukan seperti apa ya?
Pasien: Saya pernah ditampar ayah saya di depan teman-teman satu kelas
saya, karena waktu itu ayah saya dipanggil oleh guru kelas saya. Ayah saya
dipanggil karena saya dituduh merusak properti kelas. Tidak sakit sih
tamparannya, cuma saya merasa sangat malu sekali sampai kejadian itu
tidak pernah hilang dari ingatan saya.
Pemeriksa: Selain itu mas ada memikirkan apa lagi?
Pasien: Saya sering merasa bersalah misalnya takut salah ngomong, saya
juga merasa saya ini menyusahkan orang tua saya, dan saya juga merasa
akhir-akhir ini saya tidak senang lagi melakukan hal-hal yang senang saya
lakukan dulu misalnya main gitar.
Pemeriksa: Selain susah tidur tadi, keluhan apa lagi yang mas rasa cukup
mengganggu?

12
Pasien: Saya sering merasa susah nafas, keringat dingin, nyeri ulu hati,
tangan gemetar dan mual juga.
Pemeriksa: Apakah nafsu makan mas berkurang?
Pasien: Tidak ada, biasa saja, badan saya memang dari dulu kurus.
Pemeriksa: Mas itu tipe orangnya seperti apa ya?
Pasien: Saya ini tipe orang yang sulit terbuka, suka memendam apa yang
saya rasakan, bahkan hal yang sudah saya ceritakan tadi belum pernah saya
ceritakan ke orang lain termasuk orang tua saya.
Pemeriksa: Kalau untuk pergaulan mas bagaimana?
Pasien: Hubungan saya dengan tetangga baik, saya juga punya 2 orang
teman dekat dari kecil tapi mereka kuliah diluar jambi jadi susah bertemu
tapi masih sering komunikasi.
Pemeriksa: Kalau dikampus ada punya teman akrab gak mas?
Pasien: Kalau yang akrab sih tidak ada, berteman ya biasa biasa saja.
Pemeriksa: Mas merokok atau tidak?
Pasien: Iya merokok dari kelas 2 SMP, karena di lingkungan saya merokok
semua jadi saya terpengaruh
Pemeriksa: Kalau boleh tau mas suka minum minuman alkohol tidak?
Pasien: Suka sih tidak, tapi saya pernah iseng-iseng coba minum alkohol
waktu saya kelas 1 SMA.
Pemeriksa: Mas pernah dirawat inap atau periksa ke dokter lain
sebelumnya?
Pasien: Saya pernah operasi usus buntu pada saat usia 16 tahun, saya juga
pernah mengalami gangguan pendengaran tapi saya lupa kapan pastinya.
Pemeriksa: Apakah mas punya riwayat alergi seperti alergi obat atau alergi
makanan?
Pasien: Sepengetahuan saya sih tidak ada.

13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Fobia Sosial


Fobia adalah perasaan takut yang irasional yang menyebabkan kesadaran
untuk menghindar dari obyek ketakutan spesifik, aktivitas atau situasi. Fobia
sosial, juga disebut sebagai gangguan cemas sosial, adalah gangguan cemas yang
termasuk didalamnya distress yang hebat terhadap situasi umum. Individu
dengan fobia sosial secara khas mengalami panik selama berhubungan sosial.
Situasi ini meliputi berbicara didepan publik, menggunakan kamar kecil atau wc
umum, makan dengan orang lain atau kontak sosial secara umum. Ketakutan
pasien adalah merasa dihina atau dipermalukan oleh orang lain atas kelakuan
dirinya dan dapat mengarah menjadi kecemasan yang hebat, dengan peningkatan
detak jantung, diaforesis dan tanda lainnya dari pemunculan otonom. Gejala fisik
ini dapat disebabkan oleh cemas tambahan, yang sering mendorong kearah
respon takut yang menguatkan kecemasan dalam situasi umum.1
Fobia sosial adalah ketakutan yang tidak beralasan atau ketakutan yang
berlebihan terhadap situasi sosial, dan interaksi dengan orang lain yang secara
otomatis dapat membawa perasaan self – consciousness, judgment, evaluasi, dan
perasaan inferior.2

B. Epidemiologi Fobia Sosial


Fobia sosial terdapat pada 3 sampai 5 persen populasi. Pria dan wanita
memiliki angka kejadian yang seimbang. Onset penyakit biasanya dimulai awal
umur belasan tahun, walaupun tidak menutup kemungkinan terjasi pada tiap
tahap kehidupan. Menurut survey yang dilakukan di Amerika sejak tahun 1994,
fobia sosial adalah gangguan jiwa nomer 3 terbesar di Amerika Serikat.
Prevalensi fobia sosial terlihat meningkat pada ras kulit putih, orang yang
menikah, dan individu dengan taraf pendidikan yang baik. Fobia sosial
umumnya bermanifestasi pada orang dewasa tapi biasa terdapat pada anak-anak
atau remaja.1

14
Prevalensi enam bulan untuk fobia sosial adalah kira-kira 2 sampai 3 per
100 orang. Dalam penelitian epidemiologis, wanita lebih sering terkena daripada
laki-laki, tetapi sampel klinis seringkali terjadi hal yang sebaliknya. Alasan
untuk observasi yang berlainan tersebut adalah tidak diketahui. Onset usia
puncak untuk fobia sosial adalah pada usia belasan tahun, walaupun onset sering
kali paling muda pada usia 5 tahun dan paling lanjut pada usia 35 tahun.1

C. Etiologi Fobia Sosial


Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan sebagai penyebab terjadinya
gangguan fobia sosial ini.
1. Faktor Perilaku
Beberapa penelitian melaporkan adanya kemungkinan ciri tersendiri
pada anak-anak yang mempunyai pola perilaku menahan diri (behavioral
inhibition). Anak-anak yang mempunyai sifat demikian sering mempunyai
orang tua menderita gangguan panik dan anak tersebut akan berkembang
menjadi sangat pemalu. Beberapa orang fobia sosial juga menunjukkan
perilaku menahan diri semasa kanak-kanaknya. Juga ada data yang
menunjukkan bahwa orang tua pasien fobia sosial kurang
memperhatikan/menjaga anaknya (less caring), lebih menolak (more
rejecting) atau over protective terhadap anakanaknya.1,3
2. Faktor Psikoanalitik
Sigmund Freud mengatakan bahwa gangguan ansietas (salah satunya
gangguan fobia) sebagai akibat konflik yang berasal dari kejadian-kejadian
pada fase perkembangan psikoseksual yang tidak terselesaikan dengan baik;
pada pasien fobia mekanisme pertahanan ego yang dipakai adalah
displacement (memindahkan situasi yang tidak bisa diterima ke situasi yang
lebih bisa diterima). Beberapa penelitian melaporkan hubungan dengan
kebiasaan menghalanghalangi anak pada masa kecilnya.
Freud pertama kali membahas rumusan teoritis terbentuknya fobia pada
kasusnya yang terkenal, “Little Hans”, bercerita tentang seorang anak laki-
laki usia 5 tahun yang takut terhadap kuda.1 Hans pernah melihat seekor kuda

15
jatuh dan kemudian berkembang satu ketakutan bahwa kuda akan jatuh dan
menggigitnya. Freud dapat menunjukkan bahwa kuda tidak ada hubungannya
dengan ketakutan Hans yang sebenarnya, tetapi sebagai simbol menggantikan
ayahnya yang ditakutinya secara tidak sadar. Gigitan kuda menjadi simbol
(secara tidak sadar) ancaman kastrasi oleh ayahnya. Ketakutan terhadap si
ayah telah direpresi dan diganti ke objek lain. Freud percaya bahwa baik
dorongan seksual atau agresif, atau gabungan keduanya bersamaan,
menjadikan adanya kekuatan bertahan dalam melawan dorongan tersebut.
Prinsip teori psikoanalitik adalah ide/pikiran yang merupakan sumber asli
ketakutan telah digantikan (replaced) menjadi fobia objek lain yang
memunculkan (represent) sumber aslinya secara simbolik; melalui represi
dan displacement, sumber asli ketakutan tersebut tidak diketahui oleh
individu.1,3
3. Faktor Neurokimiawi
Hipersensitif terhadap penolakan oleh orang lain diperkirakan
dipengaruhi oleh sistem dopaminergik. Kekurangan dopamin telah
ditemukan pada tikus yang punya sifat pemalu dan inilah yang
membedakannya dari mereka yang bersifat lebih agresif; bila sistem dopamin
pada tikus yang agresif diputus secara farmakologik maka binatang tersebut
akan menjadi lebih patuh/tunduk. Penelitian lain menunjukkan bahwa kadar
metabolit dopamin dalam cairan spinal meninggi pada orangorang ekstrovert
dengan gangguan depresif dibandingkan dengan orang-orang introvert.
Dopamin bertanggung jawab terhadap beberapa fungsi motivasi dan
dorongan/ rangsangan (incentive) susunan saraf pusat, minat sosial yang
tinggi; keinginan berteman/ berkumpul dengan kelompok dan kepercayaan
diri bisa mencerminkan pengaruh tersebut.1
Pasien fobia penampilan/perbuatan (performance anxiety) melepaskan
lebih banyak norepinefrin dan epinefrin sentral ataupun perifer dibandingkan
orang nonfobik; pasien ini bisa sangat sensitif terhadap rangsang adrenergik
normal. Keadaan ini berhubungan dengan tanda karakteristik, seperti denyut
jantung yang cepat, banyak keringat, dan tremor jika penderita tampil.1,3

16
4. Faktor Neuroendokrin
Anak-anak dengan defisiensi hormon pertumbuhan (growth hormone
deficiency, GHD) mempunyai kecenderungan mengidap gangguan
penyesuaian psikologik. Anakanak tersebut mempunyai sifat imatur,
tergantung (dependent), pemalu (shy), menarik diri (withdrawal), dan
terisolasi sosial (socially isolated). Anak-anak ini menunjukkan
ketidakmampuan kognitif dan perilaku. Orang dewasa pengidap growth
hormone deficiency yang diobati dengan pemberian growth hormone
melaporkan adanya perbaikan status kesehatan dan perasaan senang
(wellbeing) secara psikologik. Berdasarkan hal ini, diduga growth hormone
punya pengaruh terhadap neuroendokrin sentral. Di kelompok dewasa yang
pernah mengalami defi siensi growth hormone, ditemukan insidens fobia
sosial yang cukup tinggi.1
5. Faktor Genetik
Keluarga tingkat pertama (first degree relatives) penderita fobia sosial
kira-kira tiga kali lebih sering menderita fobia sosial dibandingkan keluarga
tingkat pertama orang tanpa gangguan mental/kontrol.1,4 Penelitian pada
1.427 orang anak kembar (898 monozigot dan 529 dizigot) menemukan kasus
gangguan kepribadian menghindar sebanyak 2,7% dan fobia sosial 5%.4
Meta-analisis ikatan gen pada pasien gangguan fobia menemukan kelainan
pada kromosom 16q.4
6. Teori Neurotransmiter
a. Mekanisme Dopaminergik
Dari penelitian didapatkan bahwa fobia sosial berhubungan dengan
gangguan pada system dopaminergik. Kadar homovanilic acid (HVA) pada
penderita fobia sosial lebih rendah blia dibandingkan dangan penderita
panik atau kontrol. Adanya perbaikan gejala fobia sosial dengan pemberian
monoamine oxidase inhibitor (MAOI) menunjukkan bahwa kinerja
dopamine terganggu pada fobia sosial. 1

17
2. Mekanisme Serotonergik
Pemberian fenilfluramin pada panderita fobia sosial menyebabkan
peningkatan kortisol sehingga diperkirakan adanya disregulasi serotonin.
Walaupun demikian, pada pemberian methchlorphenylpiperazine (MCPP),
suatu serotonin agonis, tidak ditemukan adanya perbedaan respons prolaktin
antara pendarita fobia sosial dengan kontrol normal. Begitu pula,
pengukuran ikatan platelet (3H)-paroxetine, suatu petanda untuk
mangetahui aktivitas serotonin; tidak terlihat adanya perbedaan antara fobia
sosial dengan gangguan panik atau kontrol normal. 1
3. Mekanisme Noradrenergik
Penderita fobia sosial sangat sensitif terhadap perubahan kadar
epinefrin sehingga dengan cepat terjadi peningkatan denyut jantung,
berkeringat dan tremor. Pada orang normal, gejala fisik yang timbul akibat
peningkatan epinefrin mereda atau menghilang dengan cepat. Sebaliknya
pada penderita fobia sosial tidak terdapat penurunan gejala. Bangkitan
gejala fisik yang meningkat semakin mengganggu penampilan di depan
umum. Pengalaman ini juga membangkitkan kecamasan pada penampilan
berikutnya sehingga mengakibatkan orang tidak berani tampil dan
menghindari panampilan selanjutnya.1

7. Pencitraan Otak
Dengan magnetic resonance imaging (MRI) terlihat adanya penurunan
volume ganglia basalis pada penderita fobia sosial. Ukuran putamen
berkurang pads fobia sosial. 1

D. Gambaran Klinis Fobia Sosial


Fobia ditandai dengan timbulnya kecemasan cukup berat saat pasien
dihadapkan pada satu situasi atau objek yang spesifik. Pasien-pasien fobia akan
mencoba menghindari stimulus fobik.1
Beberapa individu pengidap fobia sosial bisa mempunyai ketakutan yang
sangat spesifik (non-generalized social phobia) dengan gambaran sangat jelas,
seperti berbicara di depan umum dan makan/minum atau menulis di tempat

18
umum, menghadapi lawan jenis, tidak dapat buang air kecil di toilet umum (“shy
bladder”), atau ketakutan terhadap interaksi yang terbatas pada satu atau dua
keadaan saja. Jenis fobia sosial lain adalah takut pada keadaan-keadaan yang
bersifat umum (generalized type). Penderita ini takut atau merasa malu atau tidak
dapat berada dalam sebagian besar situasi-situasi sosial atau keadaan-keadaan
fungsi sosial khusus.1,3,4
Dalam PPDGJ-III, gangguan ini disebut dengan gambaran kabur (difus)
yang mencakup hampir semua situasi sosial di luar lingkungan keluarga.5 Orang
dikatakan menderita fobia sosial umum (generalized social phobia) jika ia merasa
takut akan situasi-situasi interaksi dengan orang lain, seperti pertemuan sosial atau
terlibat dalam satu percakapan, sedangkan tipe spesifi k atau nongeneralized
social phobia jika yang bersangkutan takut akan situasi-situasi yang berorientasi
pada penampilan/perbuatan (performance-oriented situations), seperti berbicara di
depan umum atau menulis di hadapan orang lain.1
Manifestasi klinis bisa bermacam-macam dan bisa mengenai setiap sistem
tubuh. Gejala yang sering adalah palpitasi, kadang-kadang disertai nyeri dada,
dispnea, mulut kering, kadang-kadang disertai mual atau muntah. Selain itu, bisa
terdapat gejala banyak keringat, ketegangan otot, perasaan panas dingin, serta rasa
tertekan di kepala atau nyeri kepala. Dapat juga tercetus keluhan malu (muka
merah), tangan gemetar, atau ingin buang air kecil. Kadang-kadang individu
bersangkutan merasa yakin bahwa salah satu dari manifestasi gejala sekunder
ansietasnya merupakan yang utama; dalam hal ini, gejala dapat berkembang
menjadi serangan panik.1,3
Temuan pemeriksaan status mental yang paling bermakna adalah ketakutan
irasional dan ego-distonik terhadap situasi, aktivitas, atau objek tertentu; pasien
juga dapat menggambarkan bagaimana mereka menghindari hubungan/kontak
dengan situasi fobik tersebut. Depresi ditemukan pada kira-kira sepertiga pasien
fobia.1,4

19
E. Diagnosis Fobia Sosial
Menurut DSM-IV
Kriteria A
Ketakutan yang jelas dan menetap terhadap satu atau lebih situasi sosial
atau tampil didepan orang yang belum dikenal atau situasi yang memungkinkan
ia dinilai oleh orang lain atau menjadi pusat perhatian. Ada perasaan takut bahwa
ia akan berperilaku memalukan atau menampakkan gejala cemas atau bersikap
yang dapat merendahkan dirinya. 2
Kriteria B
Apabila pasien terpapar dengan situasi sosial, hampir selalu timbul
kecemasan atau bahkan mungkin serangan panik.2
Kriteria C
Pasien menyadari bahwa ketakutannya sangat berlebihan dan tidak masuk
akal. Ketakutan tersebut tidak merupakan waham atau paranoid.2
Kriteria D
Pasien menghindar dari situasi sosial atau menghindar untuk tampil di
depan umum atau pasien tetap bertahan pada situasi sosial tersebut tetapi dengan
perasaan sangat cemas atau sangat menderita.2
Kriteria E
Penghindaran dan kecemasan atau penderitaan akibat ketakutan terhadap
situasi sosial atau tampil di depan umum tersebut mempengaruhi kehidupan
pasien secara bermakna atau mempengaruhi fungsi pekerjaan, aktivitas dan
hubungan sosial atau secara subjektif pasien merasa sangat menderita.2
Kriteria F
Untuk yang berusia di bawah 18 tahun, durasi paling sedikit 6 bulan. 2
Kriteria G
Ketakutan atau sikap menghindar tersebut tidak disebabkan oleh efek
fisiologik zat atau kondisi medik umum atau gangguan mental lain (gangguan
panik dengan atau tanpa agoraphobia, gangaguan dismorfik, gangguan
perkembangan prevasif, atau dengan gangguan kepribadian skizoid). 2

20
Kriteria H
Bila terdapat kondisi medik umum atau gangguan mental lain,
ketakutan pada kriteria A tidak berhubungan dengannya (gagap, Parkinson,
atau gangguan perilaku makan seperti bulimia atau anoreksia nervosa)
Kriteria A merupakan kunci gejala fobia sosial. Hal yang penting pada
kriteria ini yaitu adanya situasi yang dapat membangkitkan fobia yaitu
situasi yang dinilai atau diamati oleh orang lain dan juga ketakutan akan
memperlihatkan kecemasan atau bertingkah dengan cara yang memalukan.2
Sedangkan berdasarkan PPDGJ - III diagnosis fobia sosial ditegakkan
bardasarkan yaitu 5

Semua kriteria di bawah ini harus dipenuhi untuk diagnosis pasti:


a. gejala psikologis, perilaku atau otonomilk yang timbul harus merupakan
manifestasi primer dari anxietasnya dan bukan sekunder dari
gejala-gejala lain seperti misalnya waham atau pikiran obsesif;
b. anxietasnya harus mendominasi atau terbatas pada situasi sosial tertentu
(outside the family circle); dan
c. menghindari situasi fobik harus atau sudah merupaken gejala yang
menonjol
Bila terlalu sulit untuk membedakan antara fobia sosial dengan agorafobia,
hendaknya diutamakan diagnosa agorafobia. 5

F. Diagnosis Banding
Dua pertimbangan diagnosis banding tambahan untuk fobia sosial
adalah gangguan depresif berat dan gangguan kepribadian skizoid.
Menghindari situasi sosial sering kali merupakan gejala depresi; tetapi,
wawancara psikiatrik dengan pasien kemungkinan mengungkapkan
berbagai kumpulan gejala depresif. Pada pasien dengan gangguan
kepribadian skizoid, tidak adanya minat dalam hal sosialisasi, menyebabkan
perilaku sosial menghindar.1

21
G. Perjalanan Penyakit Dan Prognosis
Fobia sosial biasanya mulai pada usia dini sehingga dapat menyebabkan
gangguan disemua bidang akademik seperti rendahnya kemampuan sekolah,
menghindar dari sekolah, dan sering putus sekolah. Pemilihan karirnya sangat
terbatas dan ia sering berhenti dari pekerjaan. Fobia sosial cenderung menjadi
kronik. Bila tidak diobati depat menjadi komorbiditas dengan gangguan lain
seperti depresi, penyalahgunaan alkohol atau obat. Pada penderita agorafobia dan
fobia sosial, pemakaian alkohol sering merupakan usaha untuk mengobati diri
sendiri.1

H. Penatalaksanaan
Suatu kombinasi pharmacotherapy dan psikoterapi pada umumnya
diberikan untuk para orang dengan fobia sosial.
1. Terapi relaksasi
Terapi ini terdiri dari belajar untuk menurunkan tegangan otot selama
beristirahat, ketika bergerak dan pada situasi-situasi yang dapat menyebabkan
kecemasan. Terapi ini dapat dijadikan sebagai pendamping terapi exposure 7
2. Medication (terapi obat)
a. Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIS): SSRIS dengan cepat
menjadi first-line pengobatan yang baku untuk fobia sosial. Paroxetine
menerima pengakuan badan Makanan Dan Administrasi Obat/Racun (FDA)
untuk indikasi ini pada tahun 1999 dan SSRI yang pertama memperolehnya.
Penelitian menyatakan bahwa SSRIS juga mungkin efektif. 1
b. Benzodiazepines: Benzodiazepines mungkin efektif untuk fobia sosial,
tetapi memiliki profil keselamatan lebih sedikit. Alprazolam Dan
Clonazepam telah digunakan dengan sukses. 1
c. Buspirone: Beberapa studi menyarankan kemanjuran pada penderita fobia
sosial. 1
d. Propranolol: Beta-Blockers telah digunakan untuk blok autonomic terhadap
tanggapan dengan fobia sosial. Pencegahan gejala seperti gemetaran
peningkatan detak jantung mendorong kearah sukses didalam menghadapi

22
situasi sosial. 1
e. Monoamine oxidase inhibitors (MAOI): Phenelzine telah dipertunjukkan
untuk bisa efektif didalam studi. Pembatasan yang berkenaan diet makan
mengurangi ketenaran mereka. Moclobemide, suatu MAOI lebih baru, pasti
mempunyai kemanjuran dengan fobia sosial. 1
3. Terapi Kognitif
Model terapi ini menyatakan bahwa ketika klien masuk ke dalam situasi
sosial, maka aturan pasti, asumsi, atau unconditional beliefs menjadi aktif. Melalui
pendekatan terapi perilaku rasional-emotif, Ellis menunjukkan kepada orang-
orang dengan fobia sosial bahwa kebutuhan-kebutuhan irasional untuk
penerimaan sosial (sosial approval) dan perfeksionisme menghasilkan kecemasan
yang tidak perlu dalam interaksi sosial. Terapi kognitif dari Beck berusaha untuk
mengidentifikasi dan mengoreksi keyakinan-keyakinan yang disfungsional atau
terdistorsi. 1,6
Terapis kognitif membantu orang untuk mengenali cacat-cacat logis dalam
pemikiran mereka dan membantu mereka untuk memandang situasi secara
rasional. Klien diminta untuk mengumpulkan bukti-bukti untuk menguji
keyakinan mereka, yang akan membawa mereka untuk mengubah keyakinan yang
ternyata tidak berdasar pada realitas. Terapis mendorong klien dengan fobia sosial
untuk menguji keyakinan mereka bahwa mereka akan diabaikan, ditolak, atau
ditertawakan oleh orang lain dalam pertemuan-pertemuan sosial dengan
menghadiri suatu pesta, memulai pembicaraan, dan memonitor reaksi orang-orang
lain. Terapis juga membantu klien mengembangkan keterampilan sosial untuk
meningkatkan efektivitas interpersonal mereka dan mengajari mereka bagaimana
cara menghadapi penolakan sosial. 1,6
Salah satu contoh teknik kognitif adalah restrukturisasi kognitif (cognitive
restructuring) atau disebut juga restrukturisasi rasional. Teknik ini merupakan
suatu proses di mana terapis membantu klien mencari pikiran-pikiran self-
defeating dan mencari alternatif rasional sehingga mereka bisa belajar
menghadapi situasi-situasi pembangkit kecemasan. 1,6

23
4. Virtual Reality Exposure
Melalui proses pemaparan terhadap suatu seri stimuli virtual yang makin
bertambah menakutkan dan hanya bila ketakutan sudah berkurang pada langkah
terdahulu, orang belajar untuk mengatasi ketakutan dengan cara yang sama
dengan seandainya mereka mengikuti program pemaparan gradual terhadap
stimuli fobik dalam situasi aktual. Keuntungan dari realitas virtual adalah bahwa
hal ini memberi kesempatan pada kita untuk mengalami situasi yang sulit atau
hampir tidak mungin untuk diandalkandalam realitas yang sesungguhnya .5
Terapis bereksperimentasi dengan terapi virtual, misalnya dalam bentuk
terapi kelompok di mana sekelompok orang yang aktualnya ada di tempat yang
berbeda-beda dapat memakai peralatan realitas virtual, dihubungkan dengan
komputer-komputer mereka pada saat yang sama, dan bertemu secara elektronik
dalam suatu kantor terapi yang simulasi.2,6
5. Cognitive-Behavioral Therapy (CBT)
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terapi kognitif-behavioral berhasil
menurunkan rasa takut individu terhadap evaluasi social.Terapi CBGT dibuat
dengan menggunakan protokol yang dikembangkan oleh Heimberg . Sebelumnya,
rangkaian terapi yang dilakukan adalah melakukan assessment independent dan
self report terhadap klien. Kemudian diikuti dengan pelatihan dalam hal
restrukturisasi keterampilan kognitif, exposure yang diulang terhadap simulasi
dari situasi yang ditakuti dalam tiap sesi, dan dihubungkan dengan homework
assignments. Setelah pelatihan tersebut dilakukan maka seluruh rangkaian
assessment independent dan self report dilakukan kembali.8
6. Terapi Pemaparan
Klien mendapatkan instruksi untuk memasuki situasi sosial yang makin
penuh stres dan untuk tetap tinggal dalam situasi tersebut sampai dorongan untuk
kabur sudah menjadi berkurang. Terapis dapat membantu membimbing mereka
selama percobaan pada pemaparan, dan secara bertahap menarik dukungan
langsung sehingga klien mampu untuk menghadapi sendiri situasi tersebut.
Terapis mungkin mengkombinasikan pemaparan dengan teknik kognitif yang
membantu klien untuk mengurangi pikiran-pikran maladaptif pembangkit

24
kecemasan yang mungkin mereka temui dalam situasi-situasi sosial, dengan
pikiran-pikiran yang lebih sesuai.2

25
BAB IV
ANALISIS KASUS

Pada kasus ini fobia sosial ditegakkan berdasarkan anamnesa dan status
psikiatri. Pada kasus ini Tn. A (19 tahun) datang ke Rumah Sakit Jiwa Daerah
Provinsi Jambi dengan keluhan utama Os mengalami susah tidur. Os mengalami
susah tidur semenjak SMP tetapi mulai mengalami keparahan sejak 3 bulan
belakangan ini. Os sulit untuk memulai tidur meskipun sudah merasa mengantuk.
Os pada saat susah tidur biasanya melakukan aktivitas lain seperti menonton film
atau bermain game sampai keesokan paginya tetapi hal ini tidak mengganggu
kegiatan perkuliahan Os.
Os mengatakan bahwa ia mengalami susah tidur dikarenakan Os suka
memikirkan masa depan Os sampai Os sering merasa sedih bahkan menangis. Os
khawatir tentang masa depan yang tidak sesuai dengan keinginan Os karena
terbentur keinginan orang tua. Os juga sering memikirkan kejadian yang cukup
traumatik dialaminya pada saat Os kelas 3 SD. Semenjak itu, Os sering merasa
bersalah, Os juga merasa menyusahkan orangtuanya, dan Os merasa hilang minat
dan hobinya. Os memiliki keluhan yang lain seperti susah nafas, keringat dingin,
nyeri ulu hati, tangan gemetar dan mual. Nafsu makan Os masih dalam batas
normal.
Os merupakan anak yang sulit bergaul atau bersosialisasi dengan teman-
temannya, dan merupakan anak yang pemalu. Os juga termasuk tipe orang yang
sulit terbuka kepada orang lain dan suka memendam apa yang dia rasakan bahkan
mengenai permasalahannya tidak pernah diceritakan kepada orang tua Os. Dari
aloanamnesis didapatkan keluhan-keluhan yang sama seperti yang dirasakan Os.
Namun Os masih dapat beraktivitas seperti biasanya.
Gambaran klinis Os memenuhi kriteria diagnosis Fobia Sosial menurut
PPDGJ III dan DSM-V yaitu:
1. Gejala psikologis, perilaku atau otonomik yang timbul harus merupakan
manifestasi primer dari anxietasnya dan bukan sekunder dari gejala-gejala lain
seperti misalnya waham atau pikiran obsesif;

26
2. Anxietas harus mendominasi atau terbatas pada situasi sosial tertentu (outside
the family circle); dan
3. Menghindari situasi fobik harus atau sudah merupakan gejala yang menonjol.

27
BAB V
KESIMPULAN

Fobia sosial merupakan ketakutan yang bermakna dan terus menerus dari
satu atau lebih situasi-situasi sosial saat orang tersebut berhadapan dengan orang-
orang tak dikenal atau kemungkinan untuk diperhatikan dengan cermat oleh orang
lain. Penyebab fobia sosial bisa karena faktor perilaku, psikoanalitik, neurokimiawi,
neuroendokrin, dan genetik.

Beberapa individu dengan fobia sosial mempunyai ketakutan sangat


spesifik dengan gambaran sangat jelas, seperti berbicara, makan/minum di depan
umum, menghadapi lawan jenis, dan tidak bisa buang air kecil di WC umum. Di
lain pihak, fobia sosial umum merupakan rasa takut pada situasi-situasi yang
mengharuskan interaksi dengan orang lain, seperti pertemuan sosial atau terlibat
dalam satu percakapan. Penatalaksanaan kombinasi farmakoterapi dengan terapi
perilaku kognitif memberikan hasil yang lebih baik.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan, Harold I, Benjamin J. Sadock, Jack A. Grebb. Gangguan


Kecemasan. Kaplan dan Sadock Sinopsis Psikiatri- Ilmu Pengetahuan
Perilaku Psikiatri Klinis. Edisi-7. Jilid-2. 1997. Jakarta: Binarupa Aksara.
Hal: 477-56.
2. American Psychiatric Association. (2000) Diagnostic and Statistic Manual
of Mental Disorders Fourth Edition Text Revision, DSM-IV-TR. Arlington,
VA: American Psychiatric Association.
3. Shelton RC. Anxiety disorder. In: Ebert MH, Nurcombe B, Loosen PT,
Leckman JF, editors. Current diagnosis & treatment psychiatry. 2nd ed. The
Mc Graw Hill Co. Inc.; 2008. p. 351-62.
4. SmollerJW, Sheidley BK, Tsuang MI. Anxiety disorder. In: Psychiatry
genetics application in practical practice. USA: American Psychiatric
Publishing Inc.; 2008. p. 150-6.
5. Pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa di Indonesia. Edisi
III. Jakarta: Departemen Kesehatan RI-Direktorat Jenderal Pelayanan
Medik; 1993. p. 175-6.
6. Nevid, J. S., Rathus, S. A., & Greene, B. 2005. Psikologi Abnormal Edisi
Kelima. Jilid I. Jakarta: Erlangga
7. Anthony, M. M., 1997. Assessment and Treatment of Sosial Phobia. The
Canadian Journal of Psychiatry. Vol. 42, No. 8, p. 826-834.
8. Safren, S. A., Heimberg, R. G., & Juster, H. R. 1997. Brief Report: Client’s
Expectancies and Their Relationship to Pretreatment Symptomatology and
Outcome of Cognitive-Behavioral Group Treatment for Sosial Phobia.
Journal of Consulting and Clinical Psychology. Vol. 65, No. 4, p. 694-698.

29

Anda mungkin juga menyukai