Anda di halaman 1dari 12

KONSEP HUKUM SYARA DAN PEMBAGIANNYA

Makalah Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


USHUL FIQH

Dosen Pengampu :
Prof. Dr. Damanhuri, M.Ag
Oleh:
Muhamad Nur Lutfi Ainul Izzi (D91216064)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2018

i
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan rasa syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat


Allah SWT yang maha pengasih lagi penyayang atas segala berkat dan rahmat-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah Mata Kuliah Ushul Fiqh dengan
Judul Materi “Konsep Hukum Syara dan Pembagaiannya”.

Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada Dosen pembimbing kami,


bapak Prof. Dr. Damanhuri, M.Ag., yang telah memberikan bimbingannya dalam
penulisan makalah ini. sahabat-sahabat kelas serta semua pihak yang telah membantu
kami dalam menyusun makalah ini, sehingga dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Tidak ada sesuatu yang sempurna di dunia ini karena kesempurnaan hanya
milik Allah SWT. Demikian juga di dalam tugas makalah ini, kami menyadari
bahwa makalah ini jauh dari sempurna. Terdapat banyak kekurangan dan kesalahan.
Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun demi
perbaikan makalah ini.

Surabaya, 16 September 2018

Penyusun

iii
DAFTAR ISI

COVER ........................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................................... iii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................ 1
C. Tujuan Penulisan ......................................................................... 1
BAB II : PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Syara’ ............................................................ 2
B. Hukum dan Pembagiannya ........................................................... 2
BAB III : KESIMPULAN ....................................................................................... 8
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 9
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Segala amal perbuatan manusia, perilaku dan tutur katanya tidak dapat
lepas dari ketentuan hukum syari'at, baik hukum syari'at yang tercantum di
dalam Quran dan Sunnah, maupun yang tidak tercantum pada keduanya,
akan tetapi terdapat pada sumber lain yang diakui syari'at.Sebagaimana
yang di katakan imam Ghazali, bahwa mengetahui hukum syara' merupakan
buah (inti) dari ilmu Fiqh dan Ushul fiqh. Sasaran kedua di siplin ilmu ini
memang mengetahui hukum syara' yang berhubungan dengan perbuatan
orang mukallaf. Meskipun dengan tinjauan yang berbeda. Ushul fiqh
meninjau hukum syara' dari segi metodologi dan sumber-sumbernya,
sementara ilmu fiqh meninjau dari segi hasil penggalian hukum syara', yakni
ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf,
baik berupa igtidha (tuntutan perintah dan larangan), takhyir (pilihan),
maupun berupa wadhi (sebab akibat), yang di maksud dengan ketetapan
Allah ialah sifat yang telah di berikan oleh Allah terhadap sesuatu yang
berhubungan dengan orang-orang mukallaf. Seperti hukum haram, makruh,
wajib, sunnah, mubah, sah, batal, syarat, sebab, halangan (mani')dan
ungkapan lain yang akan kami jelaskan pada makalah ini yang kesemuanya
itu merupakan objek pembahasan ilmu Ushul fiqh. Maka, lewat makalah ini
kami akan mencoba membahas tentang hukum syara' yang berhubungan
dengan hukum taklifi dan hukum wadhi. Semoga makalah ini dapat
membantu pembaca dalam proses pemahaman dalam mempelajari ilmu
Ushul fiqh.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan hukum syara’?
2. Bagaimana pembagian hukum syara dalam ilmu ushul fiqh?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk menjelaskan pengertian hukum syara
2. Untuk menjelaskan pembagian hukum syara’ dalam ilmu ushul fiqh

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Syara’
Menurut bahasa, hukum diartikan:
B. ‫ش ْيءٍ ا َ ْو نَ ْفيُهُ َع ْنه‬ َ ُ‫اِثْ َبات‬
َ ‫ش ْيءٍ َعلَى‬
Menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakan sesuatu daripadanya.
Menurut Muhammad Abu Zahra (1958: 26) atri hukum secara istilah adalah:
C. ‫ضعًا‬ َ َ‫َّللاِ ْال ُمتَعَ ِل ُق بِا َ ْفعَا ِل ْال ُم َكله ِفيْن‬
ْ ‫طلَبًا اَ ْو ت َْخيِي ًْرا ا َ ْو َو‬ َ ‫ِخ‬
‫طابُ ه‬
“Titah Allah (atau sabda rasul) y;ang mengenai pekerjaan mukallaf (orang
yang telah baligh dan berakal), baik titah itu mengandung tuntutan, suruhan
atau larangan, atau semata-semata menerangkan kebolehan, atau menjadikan
sesuatu itu sebab, atau syarat atau penghalang bagi sesuatu hukum.”
Menurut istilah ahli fiqh, yang disebut hukum ialah akibat hukum (atau
‘efect‘) dari titah Allah atau sabda Rasul. Apabila disebut hukum shara‘ maka yang
dimaksud ialah hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia, yakni perbuatan
zahir yang dibicarakan dalam ilmu fiqh, bukan hukum yang berpautan dengan
akidah/keimanan dan akhlaq.1
Hukum Syar’i (‫ )ألحكم الشرعي‬atau hukum syara’ adalah kata majemuk yang
tersusun dari kata “Hukum” dan kata “Syara’”.2
B. Hukum dan Pembagiannya
Dengan memerhatikan pengertian hukum sebagaimana tersebut di atas,
maka nyatanya bahwa hukum itu ada yang mengandung thalal (tuntutan), ada
yang mengandung keterangan sebab, syarat, mani, (pencegah berlakunya
hukum), shah, batal, rukhshah dan azimah.
Hukum yang mengandung tuntutan (suruhan atau larangan) dinamakan
hukum taklify, hukum yang mengandung takhyir (kebolehan mengerjakan atau
tidak mengerjakan) dinamakan hukum takhyiry, hukum yang menerangkan
sebab, syarat, mani’, shah, batal, azimah dan rukhshah dinamakan hukum
wadhi’iy.3

1
Achmad Yasin, Ilmu Usul Fiqh (Surabaya, MKD UINSA, 2015), 130.
2
Ahmad Sanusi dan Sohari, Ushul Fiqh (Jakarta: Rajawali Pers, 2017), 95.
3
Ibid., 96.

2
1. Hukum Takhyiry
Hukum Takhyiry ialah yang memberikan hak milik atau ibadah,
yakni titah yang menerangkan kebolehan kita mengerjakan atau tidak
mengerrjakan pekerjaan yang dititahkan. Titah itu dinamakan ibadah,
sedangkan pekerjaannya dinamakan mubah.4
Akhyir berasal dari bahasa Arab (‫ )تخييرا‬yang secara etimologi
berarti menyuruh pilih atau memberi kebebasan memilih.5 Sedangkan
secara epistimologi takhyir adalah perbuatan yang diperintahkan oleh
Allah(As-Syari’) untuk memilih antara melakukan atau tidak. Para ulama’
menamakan khitab ini ibahah (mubah) dan demikian pula sifat perbuatan
itu.6 Adapun menurut Prof. Dr. Rahmat Syafe’i, takhyir (fakultatif) adalah
kebolehan memilih antara melakukan atau meninggalkannya dengan posisi
yang sama. Sedangkan di dalam kamus Istilah Fiqh dijelaskan bahwa
Hukum Takhyiri ialah suatu hukum yang sifatnya boleh memilih, yakni :
boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Hukum Takhyiri mencakup:
Sunat, Makruh dan Mubah.
Dari beberapa definisi di atas, penulis lebih sependapat dengan
definisi pertama dan kedua bahwa takhyir sama dengan mubah. Karena
pembahasan tentang takhyir di dalam kitab-kitab ushul fiqh sangat
terbatas, maka penulis akan menjelaskan tentang mubah dan tidak lagi
memakai kata takhyir. Hal ini diperkuat dengan adanya definisi takhyir:
bahwa Allah SWT memberikan kebebasan kepada orang mukallaf untuk
mengerjakan atau meninggalkannya, seperti, makan, tidur dan pekerjaan-
pekerjaan lainnya yang biasa dikerjakan manusia pada waktu-waktu
tertentu, dimana Allah memang memerintahkan perbuatan-perbuatan
tersebut, hanya saja tidak memberikan ketentuan waktunya.7
2. Hukum Wadh’iy

4
Ahmad Sanusi dan Sohari, Ushul Fiqh..., 98.
5
Adib Bisri, Munawwir A. Fatah, Kamus Al-Bisri (Surabaya: Pustaka Progresif, 1999), 181.
6
Muhammad al-Khudhari Beik, Ushul Fiqh, terj.Faiz el Muttaqien (Jakarta: Pustaka Amani,
2007), 63.
7
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, terj. Saefullah Ma’shum(dkk.), (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2005), 26.

3
Hukum wadh’i yakni hukum yang mengandung sebab, syarat dan
halangan terjadinya hukum dan hubungan hukum. Hukum wadh’i juga
merupakan titah Allah yang berhubungan dengan sesuatu yang
berhubungan atau berkaitan dengan hukum-hukum taklifi. Hukum wadh’i
ialah firman Allah swt. yang menuntuk untuk menjadikan sesuatu sebab,
syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain. Sebab ialah sesuatu yang
tampak yang dijadikan tanda adanya hukum. Misalnya kematian menjadi
sebab adanya kewarisan, akad nikah menjadi sebab halalnya hubungan
suami isteri.8
Al-Amidi dalam kitabnya Al-ihkam menerangkan bahwa hukum
wadh’iy itu ada tujuh macam, sebagai berikut.
a. Titah yang menetapkan bahwa sesuatu itu dijadikan sebab bagi wajib
dikerjakannya suatu pekerjaan, misalnya firman Allah Swt. (QS Al
Baqarah [2]: 185):
ُ َ‫ش ْه َر فَ ْلي‬
ُ‫ص ْمه‬ ‫ش ِهدَ ِم ْن ُك ُم ال ه‬
َ ‫فَ َم ْن‬
“Barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di
bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”
b. Titah yang menerangkan bahwa sesuatu itu dijadikan syarat bagi
sesuatu, misalnya sabda Rasulullah Saw:
َ ‫ضأ‬ َ َ‫ص َلة َ ا َ َح ِد ُك ْم اِذَا أَحْ د‬
‫ث َحتهى يَت ََو ه‬ ‫الَيَ ْقبَ ُل ه‬
َ ُ‫َّللا‬
“Allah tiada menerima shalat salah seorang di antara kamu bila dia
berhadas sehingga ia berwudhu.” (HR Bukhari).
Berdasarkan hadist tersebut nyatanya bahwasuci dari hadis ditetapkan
sebagai syarat bagi diterimanya shalat.
c. Titah yang menerangkan bahwa sesuatu itu menghalangi berlakunya
(sahnya) sesuatu hukum, umpamanya sabda Rasulullah Saw:
‫الَيَ ْخلُ َو هن َر ُج ُل ِبا ْم َرأَةٍ اِاله َو َم َع َها ذُ ْو َمحْ َر ٍم‬
“Janganlah seseorang itu menyepi dengan seorang wanita kecuali ada
mahram yang menyertainya.” (HR Bukhari).

8
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh (Semarang: Dina Utama, 1994), 167.

4
d. Titah yang menerangkan sahnya suatu pekerjaan, yaitu apabila kita
diperintah mengerjakan suatu pekerjaan dan telah memenuhi sebab
dan syaratnya serta terlepas dari penghalangnya, yakinlah kita bahwa
pekerjaan itu telah menjadi sah,melepaskan diri dari tugas-tugas
pelaksanaannya.
e. Titah yang menerangkan bahwa sesuatu itu batal, tidak dipandang sah,
tidak dihukum terlepas yang membuatnya dari tugas-tugas
pelaksanaannya.
f. Titah yang menetapkan atas para mukallaf, tugas-tugas yang
diberatkan sebagai suatu hukum yang umum, bukan karena suatu
pengecualian, disebut azimah. Bekasan dari azimah disebut azimah,
pekerjaannya disebut azimah.
g. Titah yang memberi pengertian, bahwa hukum yang dimaksudkan itu
sebagai ganti dari hukum azimah, yakni yang dikerjakan lantaran
dipandang sukar dijalankan yang azimah. Bekasnya disebut rukhshah,
pekerjaannya disebut rukhshah pula.
3. Hukum Taklifi
Dari kalangan para ahli usul fiqh diperoleh keterangan, bahwa khitab/ketetapan
agama yang masuk ke dalam hukum takliefy ada empat macam, yaitu :9
a. Ijab (sifat mewajibkan), yaitu titah yang mengandung suruhan/perintah yang
mesti dikerjakan. Misalnya firman Allah : ‫هللا اَ عبُدْ أ‬
Artinya : “Sembahlah olehmu Allah.” (Q.S., 4 : 35). Akibat/efect dari ijab
disebut wujub dan pekerjaan yang dikenai hukum wujub disebut wajib.
b. Nadb (sifat anjuran/supaya dikerjakan), yaitu titah yang mengandung
perintah/suruhan yang tidak musti dikerjakan, hanya merupakan anjuran untuk
dilaksanakan. Ketidakmustian perintah untuk dikerjakan itu diperoleh dari
qarinah/variabel di luar suruhan itu. Misalnya firman :




9
Achmad Yasin, Ilmu Usul Fiqh (Dasar-dasar Istinbat Hukum Islam) (Surabaya: MKD UINSA,
2015), 130.

5
Apabila kamu hutang dengan berjanji akan melunasinya pada waktu yang
telah ditentukan, maka catatlah hutang itu .” (Q.S, 2 : 282).
Suruhan/perintah menulis hutang atau membuat surat keterangan tertulis
tidak bersifat musti melainkan berupa anjuran; sebab pada akhir ayat tersebut
Allah berfirman lagi:




Maka jika satu dengan lainnya saling mempercayai, hendaklah
seorang yang dipertaruhkan amanat kepadanya (pihak
berhutang) menunaikan amanat itu dan hendaklah ia takut kepada
Allah”. (Q.S, 2 : 283).
Perintah yang sama dengan ini disebut nadb, akibatnya disebut juga
nadb dan pekerjaannya disebut mandub atau sunnat/mustahab
b. Tahrim (sifat mengharamkan), yaitu titah yang mengandung larangan yang
musti dan harus ditinggalkan. Misalnya firman Allah :


Janganlah kamu mengatakan ‘ah‘ kepada orang tua kamu (menyakitkan ibu
bapakmu), dan janganlah kamu menghardik keduanya” . (Q.S, 17 : 23).
Perintah ini dinamai tahrim, akibatnya disebut muharam/muhram, beban
pekerjaannya dinamai haram, atau mahdhur.
d. Karahah (sifat perbuatan yang dibenci), yaitu titah yang mengandung larangan,
namun tidak musti dijauhi. Ketidak-harusan kita menjauhinya itu diperoleh
dari qarinah-qarinah/variabel yang terdapat di sekelilingnya. Hal itu yang
merubah larangan tersebut dari harus ditinggalkan kepada ketidakpastian
untuk meninggalkan. Misal firman Allah:




Apabila kamu diserukan kepada shalat Jum'at di hari jum’at,
maka bersegeralah kamu ke masjid untuk menyebut nama Allah
(mengerjakan shalat Jum'at) dan tinggalkanlah jual beli” . (Q.S, 62 : 9).

6
Dalam ayat ini perkataan tinggalkanlah jual beli, sama artinya dengan
jangan kamu berjualan/berdagang. Bentuk larangan berjual-beli/berdagang di
sini sebagai faktor/sebab luar dari pekerjaan itu, maka larangan itu tidak
bersifat mengharamkan, melainkan hanya memakruhkan. Perintah semacam
ini disebut karahah, akibatnya disebut karihah, pekerjaannya disebut
makruh. Jumhur ahli usul fiqh tidak membedakan antara perintah yang
mengandung suruhan/perintah yang musti dikerjakan yakni antara titah yang
qat‘iy dengan titah yang zanniy, keduanya disebut ijab atau fardhu. Sedang
ulama Hanafiyah berpendapat bahwa titah yang mengandung
suruhan/perintah yang wajib dikerjakan itu kalau bersifat qat'iy
disebut
fardhu, kalau bersifat zanniy disebut ijab/wajib. Titah yang mengandung
suruhan/perintah yang tidak musti dikerjakan bagi mereka disebut sebagai
sunnah dan nadb. Titah yang mengandung larangan yang musti dijauhi, dan
bersifat qat'iy dinamakan tahrim, kalau larangan zanniy disebut karahah
tahrim. Bila larangan karahah yang bersifat ringan oleh jumhur ulama disebut
karahah tanzih. Titah-titah yang dikerjakan untuk menyempurnakan hukum
yang wajib semisal adzan, mereka namakan sebagai sunnah hadyin. Dengan
demikian, hukum fiqh menurut ulama Hanafiy terdapat delapan macam, yaitu
: (1). Fardhu, (2). Ijab/wajib. ( 3 ) . T a h r i m / h a r a m . (4). Karahah
Tahrim, (5).

7
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut istilah ahli fiqh, yang disebut hukum ialah akibat hukum (atau
‘efect‘) dari titah Allah atau sabda Rasul. Apabila disebut hukum shara‘ maka yang
dimaksud ialah hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia, yakni perbuatan
zahir yang dibicarakan dalam ilmu fiqh, bukan hukum yang berpautan dengan
akidah/keimanan dan akhlaq.

Hukum Takhyiry ialah yang memberikan hak milik atau ibadah, yakni
titah yang menerangkan kebolehan kita mengerjakan atau tidak mengerrjakan
pekerjaan yang dititahkan. Hukum Takhyiri mencakup: Sunat, Makruh dan
Mubah. Hukum wadh’i yakni hukum yang mengandung sebab, syarat dan
halangan terjadinya hukum dan hubungan hukum, yang menuntuk untuk
menjadikan sesuatu sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain.
ketetapan agama yang masuk ke dalam hukum takliefy ada empat macam, Ijab, nadb,
tahrim dan karahah.
B. Saran
Demikian diatas, makalah ini membahas tentang hukum syara’ dan
pembagiannya, alangkah baiknya kita menjadi hamba Allah SWT., yang
senantiasa menjalankan ibadah-ibadah yang diwajibkan lebih-lebih
memperbanyak amalan ibadah sunnah, dan meninggalkan amalan yang
diharamkan oleh Allah SWT., semoga senantiasa istiqomah.

8
DAFTAR PUSTAKA

Adib Bisri, Munawwir A. Fatah, Kamus Al-Bisri. Surabaya: Pustaka Progresif,


1999.
Beik, Muhammad al-Khudhari. Ushul Fiqh, terj.Faiz el Muttaqien. Jakarta:
Pustaka Amani, 2007
Khallaf,Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama, 1994.
Sanusi, Ahmad dan Sohari. Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers, 2017.
Yasin, Achmad. Ilmu Usul Fiqh (Dasar-dasar Istinbat Hukum Islam). Surabaya:
MKD UINSA, 2015.
.Zahrah, Muhammad Abu. Ushul Fiqh, terj. Saefullah Ma’shum(dkk.). Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2005.

Anda mungkin juga menyukai