Makalah Ayes Perbankan
Makalah Ayes Perbankan
NPM : B1A017152
UNIVERSITAS BENGKULU
FAKULTAS HUKUM
2019
1
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat serta
karunia-Nya. Tanpa pertolongan-Nya tentu penulis tidak akan sanggup untuk
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah
curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah
membawa kita dari jalan gelap menuju cahaya.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-
Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas akhir dari mata kuliah Perbankan
dan Pembiayaan dengan judul “Perlindungan Hukum Nasabah Dalam Likuidasi
Bank”
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,
penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya
makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi.
2
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................... ii
A. Kesimpulan ..................................................................... 17
3
BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu faktor yang membuat system perbankan nasional keropos adalah
akibat perilaku para pengelola dan pemilik bank yang cenderung mengeksploitasi
dan/atau mengabaikan prinsip kehati-hatian dalam berusaha, disamping faktor
penunjang lain, yakni lemahnya pengawasan dari Bank Indonesia (BI).
Dampak dari krisis pebankan dimulai tahun 1997 yang menyebabkan 16 bank
dinilai oleh otoritas perbankan tidak mungkin lagi dipertahankan eksistensinya,
sehingga dicabut eksistensinya, sehingga dicabut izin usahanya. Berdasarkan
4
Undang-Undang nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (sebelum direvisi dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998), yang memiliki kewenangan untuk
menerbitkan dan mencabut izin usaha bank adalah Menteri Keuangan berdasarkan
rekomendasi dari Bank Indonesia. Sebagai tindak lanjut dari pencabutan izin usaha,
dilakukan pembubaran badan hukum bank tersebut melalui proses likuidasi bank.
Likuidasi terhadap 16 bank tersebut pada saat itu ternyata menimbulkan domino
effect antara lain didahului dengan adanya rush di sektro perbankkan sehingga
kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional menjadi terpuruk.1
B. RUMUSAN MASALAH
1
Sutedi Andrian, “Hukum Perbankan: Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi, dan
Kepailitan”, (Jakarta: Sinar Grafika ,2007), hlm. 131.
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. LIKUIDASI BANK
a. Pengertian Likuidasi Bank
Likuidasi bank adalah merupakan tindakan penyelesaian seluruh hak dan
kewajiban bank sebagai akibat pencabutan izin usaha dan pembubaran badan
hukum bank. Jadi likuidasi bank bukanlah sekedar pencabutan izin usaha dan
pembubaran badan hukum bank, tetapi berkaitan dengan proses penyelesaian
segala hak dan kewajiban dari suatu bank yang dicabut izin usahanya. Setelah
suatu bank dicabut izin usahanya, dilanjutkan lagi dengan proses pembubaran
badan hukum bank yang bersangkutan, dan seterusnya dilakukan proses
pemberesan berupa penyelesaian seluruh hak dan kewajiban (piutang dan utang)
bank sebagai akibat dari pencabutan izin usaha dan pembubaran badan hukum
bank.2
Kemudian dalam perkembangannya, terdapat beberapa istilah yang ada
kaitannya dengan likuidasi, yaitu:3
1. Dissolution, yaitu rangkaian proses yang terdiri dari proses pemberhentian
badan hukum dan bisnis perusahaan, penjualan aset, pembagian hasil
penjualan aset kepada para pihak yang berhak dan dalam proses ini dilakukan
juga proses pembubaran. Terdapat 3 (tiga) macam dissolusi, yaitu :
2
Gazali, Djoni S dan Rachmadi Usman, 2010, Hukum Perbankan, Jakarta, Sinar Grafika, hlm.
532.
3
Munir Fuady, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, cet. I., (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti,
2003), hlm. 180.
6
a. Dissolusi Sukarela (voluntary dissolution), yaitu disolusi yang dilakukan atas
rekomendasi dari salah satu atau lebih organ perseroan dan diputus oleh
RUPS.
b. Dissolusi Administrasi (administrative dissolution), yaitu dissolusi yang
dilakukan atas perintah pemerintah karena perusahaan tidak memenuhi
prosedur hukum tertentu atau karena alasan demi kepentingan umum.
Dissolusi ini dilakukan tidak secara sukarela sehingga disebut juga involuntary
dissolution.
c. Dissolusi judisial (judicial dissolution), merupakan salah satu involuntary
dissolution yang diperintahkan oleh Pengadilan karena permohonan dari
pemegang saham, kreditor atau negara karena alasan-alasan khusus.
2. Winding up, yaitu suatu proses dimana perusahaan yang sudah diputuskan
untuk dilikuidasi diangkat likuidatornya, asetnya dikumpulkan dan dibagikan
kepada para kreditor, pemegang saham atau kepada pihak lainnya yang
berhak. Istilah ini di beberapa negara disamakan dengan likuidasi, seperti
halnya likuidasi disamakan dengan dissolusi.
3. Termination, merupakan pengakhiran suatu perusahaan setelah proses
likuidasi selesai. Pengertian ini dapat disamakan dengan pembubaran menurut
hukum Indonesia.
Likuidasi adalah kemampuan bank untuk memenuhi kewajiban hutang-
hutangnya, dapat membayar kembali semua deposannya, serta dapat
memenuhi permintaan kredit yang diajukan para debitur tanpa terjadi
penangguhan.” Menurut pengertian ini bank dikatakan likuid apabila:4
4
Hotma Sautma Ronny, 2005, Hubungan Bank Dengan Nasabah Produk Tabungan dan
Deposito: Suatu Tinjauan Hukum Terhadap Perlindungan Deposan di Indonesia, Citra Aditya Bandung,
Hlm. 7
7
digunakan untuk memenuhi likuiditasnya;
2. Bank tersebut memiliki cash assets yang lebih kecil dari yang tersebut
diatas, tetapi yang bersangkutan juga memiliki asset lainnya (khususnya
surat-surat berharga) yang dapat dicairkan sewaktu-waktu tanpa
mengalami penurunan nilai pasarnya;
3. Bank tersebut mempunyai kemampuan untuk menciptakan cash assets
baru melalui berbagai bentuk hutang.
8
dalam ayat (2), Pimpinan Bank Indonesia meminta kepada pengadilan untuk
mengeluarkan penetapan yang berisi pembubaran badan hukum bank,
penunjukan tim likuidasi, dan perintah pelaksanaan likuidasi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Ketentuan likuidasi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999,
tanggal 3 Mei 1999 tentang Pencabutan izin usaha, Pembubaran dan Likuidasi
Bank
Berdasarkan Peraturan Pemerintah tersebut, pencabutan izin usaha bank
dilakukan oleh Pimpinan Bank Indonesia apabila:
a. Pasal 3 ayat (2) huruf b dan pasal 4 ayat (1) Pasal 3 ayat (2) huruf b
menyatakan bahwa apabila :
a) tindakan sebagaimana dimaksud ayat (1) belum cukup untuk mengatasi
kesulitan yang dihadapi bank, dan/atau,
b) menurut penilaian Bank Indonesia keadaan suatu bank dapat
membahayakan sistem perbankan, Pimpinan Bank Indonesia dapat mencabut
izin usaha bank dan memerintahkan direksi bank untuk segera
menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham. Pasal 4 ayat (1)
menyatakan bahwa pencabutan izin usaha bank dilakukan oleh Pimpinan Bank
Indonesia.
b. Pasal 25 ayat (1) menyatakan bahwa pelaksanaan likuidasi bank oleh Bank
Indonesia ditetapkan dan diserahkan kepada Badan Khusus yang bersifat
sementara dalam rangka penyehatan perbankan berdasarkan ketentuan Pasal
37 A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, tetap mengikuti
ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.
c. Pasal 26 ayat (1) menyatakan bahwa dalam hal para pemegang saham akan
membubarkan badan hukum bank atas keinginan sendiri, pembubaran
9
tersebut hanya dapat dilakukan setelah pencabutan izin usaha oleh Bank
Indonesia.
3. Ketentuan likuidasi menurut Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
32/53/KEP/DIR taggal 14 Mei 1999 tentang Tata Cara Pencabutan Izin Usaha,
Pembubaran dan Likuidasi Bank umum dan Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia Nomor 32/54/KEP/DIR tanggal 14 Mei 1999 tentang Tata Cara
Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank Perkreditan Rakyat :
a. Pasal 2 dari kedua Surat Keputusan tersebut menyatakan bahwa
pencabutan izin usaha Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat dilakukan
oleh Direksi Bank Indonesia apabila :
1) Tindakan penyelamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 belum cukup untuk mengatasi
kesulitan yang dihadapi Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat; dan/atau
2) Menurut penilaian Bank Indonesia keadaan suatu Bank Umum atau Bank
Perkreditan Rakyat dapat membahayakan sistem perbankan; atau 3) Terdapat
permintaan dari pemilik atau pemegang saham Bank Umum atau Bank
Perkreditan Rakyat.
b. Pasal 3 dari surat keputusan tersebut di atas menyebutkan bahwa
pencabutan izin usaha kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar
negeri dilakukan oleh direksi Bank Indonesia berdasarkan alasan tindakan
penyelamatan belum cukup mengatasi kesulitan yang dihadapi oleh Bank atau
membahayakan sistem perbankan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 huruf
a atau huruf b atau :
1) Terdapat permintaan kantor pusat bank yang berkedudukan di luar negeri;
atau
10
2) Izin usaha kantor pusat bank yang berkedudukan di luar negeri dicabut
dan/atau kantor pusat dimaksud dilikuidasi oleh otoritas yang berwenang di
negara setempat.
5
Hermansyah,“Hukum Perbankan Nasional Indonesia”, (Jakarta: Kencana,2005), hlm. 121
11
2. Perlindungan eksplisit (Eksplicit deposit orotection), yaitu : perlindungan
melalui pembentukan suatu lembaga yang menjamin simpanan masyarakat,
sehingga apabila bank mengalami kegagalan, lembaga tersebut yang akan
mengganti dana masyarakat yang disimpan pada bank yang gagal tersebut.
Perlindungan ini diperoleh melalui pembentukan lembaga yang menjamin
simpanan masyarakat, sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden RI No.
26 Tahun 1998 tentang jaminan Terhadap Kewajiban Bank Umum.
Asikin Zainal,“Pengantar Hukum Perbankan Indonesia”, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), Hlm.
6
40
12
yang bersangkutan akan memperoleh penggantian dananya dari lembaga
penjamin.
13
b. Menurut KUH Perdata
7
Sutedi Andrian, “Hukum Perbankan: Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi, dan
Kepailitan”, (Jakarta: Sinar Grafika ,2007), hlm. 170.
14
Alternatif yang ditawarkan dalam mengatasi masalah karena adanya
penolakan pihak pengelola sementara pada bank bermasalah untuk menerima
pembayaran utang debitur yang kooperatif sehingga berakibat pada krugian
debitur, adalah dengan menggunakan ketentuan penawaran pembayaran tunai
diikuti konsinyasi sesuai dengan Pasal 1404 s.d Pasal 1412 KUH Perdata.
Penawaran pembayaran tunai yang diikuti oleh penyimpanan (konsinyasi)
terjadi apabila dalam suatu perjanjian, kreditor tidak bersedia menerima
prestasi yang dilakukan oleh debitur. Wanprestasi pihak kreditor ini disebut
“more creditoris”.
8
ibid, hlm. 173
15
turunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap perbankan maupun
pemerintah yang selanjutnya mengakibatkan berkurangnya sumber
pembiayaan pembangunan. Hal ini dapat juga mengakibatkan lesunya
perkembangan ekonomi dalam negeri dan terjadinya Capital Flight. Tujuan
pendirian lembaga tersebut adalah untuk mengganti dana masyarakat yang
disimpan pada bank yang mengganti dana masyarakat yang disimpan pada
bank yang mengalami kolaps.
16
BAB III
PENUTUP
17
DAFTAR PUSTAKA
18