Anda di halaman 1dari 11

Rehabilitasi Lingkungan Mangrove di Kabupaten Situbondo

A. PENDAHULUAN
a. Latar belakang
Dewasa ini pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut dalam rangka pengembangan
ekonomi nasional telah menempatkan wilayah ini pada posisi yang sangat strategis.
Kebutuhan sumber daya pesisir dan laut dalam negeri meningkat sejalan dengan
meningkatnya laju pertumbuhan penduduk sehingga mengakibatkan tekanan terhadap
ruang pesisir semakin besar. Berbagai pembangunan sektoral, regional, swasta dan
masyarakat yang memanfaatkan kawasan pesisir seperti sumberdaya perikanan, lokasi
resort, wisata, pertambangan lepas pantai, pelabuhan laut, industri dan reklamasi kota
pantai serta pangkalan militer. Ditambah lagi dengan adanya salah tafsir tentang
persepsi otonomi daerah, dengan anggapan bahwa otonomi daerah semata – mata
berorientasi pada upaya peningkatan PAD. Hal ini menimbulkan persoalan
pembangunan wilayah darat dan wilayah laut, khususnya kawasan pesisir perlu
perencanaan dan pengendalian kelestarian ekosistem. Bila dilihat kondisi yang ada
banyak terjadi penyimpangan pemanfaatan tetapi banyak juga sumberdaya potensial
yang belum dioptimalkan dan sebagian lagi bahkan belum dimanfaatkan.
Kabupaten Situbondo yang daerah fisiknya memanjang dari barat ke timur
sepanjang pantai Selat Madura dengan panjang ±150 km, dan kedalaman wilayahnya
dari pantai rata-rata 11 m, secara geografis sangat potensial untuk usaha budidaya
perikanan pantai. Lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, telah
memberikan peluang kepada Kabupaten Situbondo untuk mengelola sumberdaya
kelautan sepanjang 4 mil. Pemanfaatan wilayah pesisir Kabupaten Situbondo menjadi
lokasi budidaya perikanan diharapkan akan memberikan kontribusi yang nyata bagi
Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Situbondo (Pemerintah Kabupaten Situbondo,
2001).
Program Pembangunan Kelautan dan Perikanan di daerah Kabupaten Situbondo
menempati urutan prioritas program kedua setelah Program Pengembangan Agribisnis
dan Ketahanan Pangan. Program Kelautan dan Perikanan tersebut bertujuan
memberdayakan masyarakat wilayah pesisir pantai dengan meningkatkan produksi
kelautan dan perikanan di seluruh wilayah pantai Kabupaten Situbondo. Dalam hal itu,
Kabupaten Situbondo menargetkan peningkatan produksi perikanan mencapai sebesar
17.353 ton dengan perkiraaan nilai produksi perikanan laut sebesar 62.685.000 rupiah
pada tahun 2005 (Pemerintah Kabupaten Situbondo, 2001).
Kompetisi dan tumpang tindih pengelolaan antara pihak-pihak yang
berkepentingan telah memicu konflik pemanfaatan ruang dan konflik kewenangan. Hal
ini masih ditambah lagi dengan belum adanya pemanfaatan ruang laut dan pesisir yang
mengalokasikan ruang laut untuk kegiatan yang saling mendukung dan memisahkannya
dari kegiatan yang bisa merusak. Oleh sebab itu perlu diupayakan adanya suatu
perencanaan/penataan ruang wilayah pesisir dan laut yang bersifat terpadu dan
berkelanjutan.
Pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan memiliki wilayah daratan dan wilayah laut
sejauh 12 (dua belas mil laut), diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke
arah perairan kepulauan untuk provinsi dan sepertiga dari wilayah kewenangan provinsi
untuk kabupaten/kota.
Kewenangan daerah terhadap sumberdaya pesisir dan lautan meliputi kewenangan
dalam :
1. Eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut.
2. Pengaturan kepentingan administratif.
3. Pengaturan tata ruang.
4. Penegakan hukum yang menjadi wewenangnya.

b. Rumusan masalah
Rumusan yang dapat diambil dari latar belakan yang kami buat antara lain:
1) Apa pengertian mangrove
2) Manfaat apa yang dapat kita ambil dari lahan mangrove
3) Apa akibat / dampak yang ditimbulkan akibat rusaknya hutan Mangrove
4) Seberapa besar kerusakan hutan mangrove di Kabupaten Situbondo
5) Bagaimana cara mengembalikan ekosistem mangrove di Kabupaten
Situbondo

c. Tujuan
Tujuan yang dapat diambil dari latar belakan yang kami buat antara lain:
1) Mahasiswa mengetahui pengertian mangrove
2) Manfaat apa yang dapat kita ambil dari lahan mangrove
3) Apa akibat / dampak yang ditimbulkan akibat rusaknya hutan Mangrove
4) Seberapa besar kerusakan hutan mangrove di Kabupaten Situbondo
5) Bagaimana cara mengembalikan ekosistem mangrove di Kabupaten
Situbondo

B. LANDASAN TEORI
2.1. Mangrove

Hutan Mangrove berasal dari kata mangue/mangal (Portugish) dan grove (English). Hutan
mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen, atau
juga hutan bakau. Hutan mangrove dapat didefinisikan sebagai tipe ekosistem hutan yang
tumbuh di daerah batas pasang-surutnya air, tepatnya daerah pantai dan sekitar muara
sungai. Tumbuhan tersebut tergenang di saat kondisi air pasang dan bebas dari genangan di
saat kondisi air surut. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi mayoritas pesisir
pantai di daerah tropis & sub tropis yang didominasi oleh tumbuhan mangrove pada daerah
pasang surut pantai berlumpur khususnya di tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran
dan akumulasi bahan organik.

Tumbuhan mangrove bersifat unik karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang
hidup di darat dan di laut dan tergolong dalam ekosistem peralihan atau dengan kata lain
berada di tempat perpaduan antara habitat pantai dan habitat darat yang keduanya bersatu
di tumbuhan tersebut. Hutan mangrove juga berperan dalam menyeimbangkan kualitas
lingkungan dan menetralisir bahan-bahan pencemar.
Umumnya mangrove mempunyai sistem perakaran yang menonjol yang disebut akar nafas
(pneumatofor). Sistem perakaran ini merupakan suatu cara adaptasi terhadap keadaan
tanah yang miskin oksigen atau bahkan anaerob. Pada hutan mangrove: tanah, air, flora dan
fauna hidup saling memberi dan menerima serta menciptakan suatu siklus ekosistem
tersendiri. Hutan mangrove memberikan masukan unsur hara terhadap ekosistem air,
menyediakan tempat berlindung dan tempat asuhan bagi anak-anak ikan, tempat
kawin/pemijahan, dan lain-lain. Sumber makanan utama bagi organisme air di daerah
mangrove adalah dalam bentuk partikel bahan organik (detritus) yang dihasilkan dari
dekomposisi serasah mangrove (seperti daun, ranting dan bunga).

Hutan mangrove sangat berbeda dengan tumbuhan lain di hutan pedalaman tropis dan
subtropis, ia dapat dikatakan merupakan suatu hutan di pinggir laut dengan kemampuan
adaptasi yang luar biasa. Akarnya, yang selalu tergenang oleh air, dapat bertoleransi
terhadap kondisi alam yang ekstreem seperti tingginya salinitas dan garam. Hal ini
membuatnya sangat unik dan menjadi suatu habitat atau ekosistem yang tidak ada duanya.

Kita sering menyebut hutan di pinggir pantai tersebut sebagai hutan bakau. Sebenarnya,
hutan tersebut lebih tepat dinamakan hutan mangrove. Istilah ‘mangrove’ digunakan
sebagai pengganti istilah bakau untuk menghindarkan kemungkinan salah pengertian
dengan hutan yang terdiri atas pohon bakau Rhizophora spp. Karena bukan hanya pohon
bakau yang tumbuh di sana. Selain bakau, terdapat banyak jenis tumbuhan lain yang hidup
di dalamnya.

Hutan mangrove mempunyai tajuk yang rata dan rapat serta memiliki jenis pohon yang
selalu berdaun. Keadaan lingkungan di mana hutan mangrove tumbuh, mempunyai faktor-
faktor yang ekstrim seperti salinitas air tanah dan tanahnya tergenang air terus menerus.
Meskipun mangrove toleran terhadap tanah bergaram (halophytes), namun mangrove lebih
bersifat facultative daripada bersifat obligative karena dapat tumbuh dengan baik di air
tawar. Flora mangrove terdiri atas pohon, epipit, liana, alga, bakteri dan fungi. Jenis-jenis
tumbuhan yang ditemukan di hutan mangrove Indonesia adalah sekitar 89 jenis, yang terdiri
atas 35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit dan 2 jenis
parasit.

Dari sekian banyak jenis mangrove di Indonesia, jenis mangrove yang banyak ditemukan
antara lain adalah jenis api-api (Avicennia sp), bakau (Rhizophora sp), tancang (Bruguiera
sp), dan bogem atau pedada (Sonneratia sp), merupakan tumbuhan mangrove utama yang
banyak dijumpai. Jenis-jenis mangrove tersebut adalah kelompok mangrove yang
menangkap, menahan endapan dan menstabilkan tanah habitatnya. Fauna mangrove
hampir mewakili semua phylum, meliputi protozoa sederhana sampai burung, reptilia dan
mamalia. Secara garis besar fauna mangrove dapat dibedakan atas fauna darat (terrestrial),
fauna air tawar dan fauna laut. Fauna darat, misalnya kera ekor panjang (Macaca spp.),
Biawak (Varanus salvator), berbagai jenis burung, dan lain-lain. Sedangkan fauna laut
didominasi oleh Mollusca dan Crustaceae. Golongan Mollusca umunya didominasi oleh
Gastropoda, sedangkan golongan Crustaceae didominasi oleh Bracyura.

Hutan mangrove memiliki ciri-ciri fisik yang unik di banding tanaman lain. Hutan mangrove
mempunyai tajuk yang rata dan rapat serta memiliki jenis pohon yang selalu berdaun.
Keadaan lingkungan di mana hutan mangrove tumbuh, mempunyai faktor-faktor yang
ekstrim seperti salinitas air tanah dan tanahnya tergenang air terus menerus. Meskipun
mangrove toleran terhadap tanah bergaram (halophytes), namun mangrove lebih bersifat
facultative daripada bersifat obligative karena dapat tumbuh dengan baik di air tawar.

Hal ini terlihat pada jenis Bruguiera sexangula, Bruguiera gymnorrhiza, dan Sonneratia
caseolaris yang tumbuh, berbuah dan berkecambah di Kebun Raya Bogor dan hadirnya
mangrove di sepanjang tepian sungai Kapuas, sampai ke pedalaman sejauh lebih 200 km, di
Kalimantan Barat. Mangrove juga berbeda dari hutan darat, dalam hal ini jenis-jenis
mangrove tertentu tumbuh menggerombol di tempat yang sangat luas. Disamping
Rhizophora spp., jenis penyusun utama mangrove lainnya dapat tumbuh secara “coppice”.
Asosiasi hutan mangrove selain terdiri dari sejumlah jenis yang toleran terhadap air asin dan
lingkungan lumpur, bahkan juga dapat berasosiasi dengan hutan air payau di bagian hulunya
yang hampir seluruhnya terdiri atas tegakan nipah Nypa fruticans.

Ciri-ciri ekosistem mangrove terpenting dari penampakan hutan mangrove, terlepas dari
habitatnya yang unik, adalah :

 memiliki jenis pohon yang relatif sedikit;


 memiliki akar tidak beraturan (pneumatofora) misalnya seperti jangkar melengkung
dan menjulang pada bakau Rhizophora spp., serta akar yang mencuat vertikal
seperti pensil pada pidada Sonneratia spp. dan pada api-api Avicennia spp.;
 memiliki biji (propagul) yang bersifat vivipar atau dapat berkecambah di pohonnya,
khususnya pada Rhizophora;
 memiliki banyak lentisel pada bagian kulit pohon.

Sedangkan tempat hidup hutan mangrove merupakan habitat yang unik dan memiliki ciri-
ciri khusus ekosistem mangrove, diantaranya adalah :

 tanahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari atau hanya tergenang
pada saat pasang pertama;
 tempat tersebut menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat;
 daerahnya terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat;
 airnya berkadar garam (bersalinitas) payau hingga asin.

2.2. Pengertian Konservasi


Konservasi adalah segenap proses pengelolaan suatu tempat agar makna kultural
yang dikandungnya terpelihara dengan baik (Piagam Burra, 1981). Konservasi adalah
pemeliharaan dan perlindungan terhadap sesuatu yang dilakukan secara teratur untuk
mencegah kerusakan dan kemusnahan dengan cara pengawetan (Peter Salim dan Yenny Salim,
1991).
Kegiatan konservasi selalu berhubungan dengan suatu kawasan, kawasan itu sendiri
mempunyai pengertian yakni wilayah dengan fungsi utama lindung atau budidaya
(UU No. 24 Tahun 1992). Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi
utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam,
sumber daya buatan, dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan pembangunan
berkelanjutan. Kawasan budidaya adalah kawasan yang ditetapkan
dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam,
sumber daya manusia, dan sumber daya buatan (Sofa, 2008).

2.3. Manfaat Mangrove

Ekosistem hutan mangrove memiliki produktivitas yang tinggi. Seorang peneliti, White (1987)
melaporkan produktivitas primer ekosistem mangrove ini sekitar 400-500 gram karbon/m2/tahun
adalah tujuh kali lebih produktif dari ekosistem perairan pantai lainnya. Oleh karenanya, ekosistem
mangrove mampu menopang keanekaragaman jenis yang tinggi.

Vegetasi mangrove memiliki adaptasi anatomi dalam merespon berbagai kondisi tempat
tumbuhnya, (1) seperti adanya kelenjar garam pada golongan secreter, dan kulit yang mengelupas
pada golongan non-secreter sebagai tanggapan terhadap lingkungan yang salin, (2) system
perakaran yang khas, dan lentisel debagai tanggapan terhadap tanah yang jenuh air, (3) struktur dan
posisi daun yang khas sebagai tanggapan terhadap radiasi sinar matahari dan suhu yang tinggi.

Hutan mangrove mempunyai tiga fungsi utama bagi kelestarian sumber daya, yakni : (1) Fungsi fisik,
hutan mangrove secara fisik menjaga dan menstabilkan garis pantai serta tepian sungai, pelindung
terhadap hempasan gelombang dan arus, mempercepat pembentukan lahan baru serta melindungi
pantai dari erosi laut/abrasi (green belt). (2) Fungsi biologis adalah sebagai tempat asuhan (nursery
ground), tempat mencari makanan (feeding ground) ) untuk berbagai organisme yang bernilai
ekonomis khususnya ikan dan udang, tempat berkembang biak (spawning ground), sebagai
penghasil serasah/zat hara yang cukup tinggi produktivitsnya, dan habitat berbagai satwa liar antara
lain, reptilia, mamalia, hurting dan lain-lain. Selain itu, hutan mangrove juga merupakan sumber
plasma nutfah. (3) Fungsi ekonomi yakni kawasan hutan mangrove berpotensi sebagai tempat
rekreasi (ecotourism), lahan pertambakan, dan penghasil devisa dengan produk bahan baku
industri. ( Saparinto, Cahyo. 2007)

Selain itu, secara khusus hutan mangrove juga berguna sebagai perangkap zat-zat pencemar dan
limbah, mempercepat perluasan lahan, mengolah limbah organik, dan sebagainya. Setiap saat
pantai terancam abrasi akibat arus dan gelombang laut yang selalu bergerak. Tanpa keberadaan
hutan mangrove dan hutan pantai, sangat besar peluang pinggir pantai tergerus oleh arus dan
gelombang yang terus menerpanya.

Beberapa contoh hasil penelitian juga menunjukkan fungsi hutan mangrove dan hutan pantai dalam
meredam energi arus gelombang laut, seperti tergambar dari hasil penelitian Pratikto et al. (2002)
dan Instiyanto dkk (2003). Pratikto melaporkan bahwa hutan mangrove di Teluk Grajagan -
Banyuwangi mampu mereduksi atau mengurangi energi gelombang yang menerpa kawasan pantai
tersebut. Istiyanto dkk (2003) melalui pengujian laboratorium juga menyimpulkan bahwa rumpun
bakau (Rhizophora) memantulkan, meneruskan, dan menyerap energi gelombang tsunami yang
diwujudkan dalam perubahan tinggi gelombang tsunami ketika menjalar melalui rumpun tersebut.

Selain itu, Hutan Mangrove juga merupakan potret ekosistem yang miliki keanekaragaman hayati
yang banyak di dalamnya. Keanekaragaman hayati tersebut membentuk hubungan yang erat dan
saling menjaga satu sama lain, layaknya keluarga besar, serta menjadi contoh potret keluarga yang
harmonis.

Mereka menghasilkan akar panggung mana proyek di atas lumpur dan air untuk menyerap oksigen.
Terendam di air asin dan sampai berlutut di lumpur, tanaman di Rawa Mangrove memiliki cara
cerdas untuk mengatasi lingkungan mereka. Tanaman mangrove membentuk komunitas yang
membantu untuk menstabilkan bank dan garis pantai dan menjadi rumah bagi berbagai jenis hewan.
.

Disamping itu Hutan Mangrove juga memiliki manfaat yang lain, yaitu menyediakan buffer untuk
negeri itu, bakau juga berinteraksi dengan laut. Sedimen terperangkap oleh akar mencegah
pendangkalan habitat laut yang berdekatan di mana air keruh mungkin membunuh karang atau
padang rumput melimpahi lamun. Selain itu, tanaman bakau dan sedimen telah terbukti untuk
menyerap polusi, termasuk logam berat. Mangrove juga sangat efektif dalam menyimpan karbon.

Bila diamati dan dipahami dengan baik, Hutan Mangrove mempunyai banyak manfaat yang
mendukung kelangsungan kehidupan manusia. Namun, manusia selalu merasa belum puas dan ingin
mendapatkan lebih banyak keuntungan, sehingga menggunakan segala upaya untuk memperoleh
keuntungan yang besar walaupun harus merusak ekosistem Hutan Mangrove.

2.4. Kerusakan akibat Mangrove

Kerusakan hutan mangrove di Indonesia mencapai 70% dari total potensi mangrove yang ada seluas
9,36 juta hektare. Yaitu 48% atau seluas 4,51 juta hektare rusak sedang dan 23% atau 2,15 juta
hektare dalam kondisi rusak berat. Seperti yang telah diutarakan oleh Menteri Kelautan dan
Perikanan Fadel Muhammad dalam keterangannya ketika membuka Jambore Mangrove di Pantai
Depok, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, Jumat (19/3), ia mengatakan bahwa kerusakan
sebagian besar hutan mangrove di Indonesia diakibatkan oleh ulah manusia, baik berupa konversi
mangrove menjadi pemanfaatan lain seperti pemukiman, industeri, rekreasi dan lain sebagainya

Seperti contoh kasus yang terjadi di daerah Sumatera Utara yaitu adanya pengalihan fungsi lahan
hutan mangrove menjadi tambak masyarakat dan dikonversi lagi menjadi lahan kelapa sawit. Seperti
yang sudah kita ketahui Hutan mangrove atau bakau adalah hutan yang tumbuh di atas rawa-rawa
berair payau, terletak pada garis pantai dan dipengaruhi pasang-surut air laut. Hutan ini tumbuh
khususnya di tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik. Baik di
teluk-teluk yang terlindung dari gempuran ombak, maupun di sekitar muara sungai di mana air
melambat dan mengendapkan lumpur yang dibawanya dari hulu.

Hal-hal utama yang menjadi permasalahan dan penyebabnya antara lain, (1) Tekanan penduduk
untuk kebutuhan ekonomi yang tinggi sehingga permintaan konversi mangrove juga semakin tinggi.
Penduduk disini lebih mementingkan kebutuhannya sendiri-sendiri dibandingkan kepentingan
ekologis dan kepedulian akan dampak lingkungan hidup. Banyaknya pihak yang tidak bertanggung
jawab juga dengan meminta untuk mengkonversi lahan mangrove tapi setelah dikonversi lahan
tersebut mereka tidak menindak lanjutinya. Mereka lebih paham bahwa manfaat dengan
dikonversinya hutan mangrove menjadi tambak dan lahan kelapa sawit akan lebih menguntungkan
padahal kalau ditinjau secara keuntungan jangka panjang hutan mangrove akan lebih bermanfaat.
(2) Perencanaan dan pengelolaan sumber daya pesisir di masa lalu bersifat sangat sektoral. Dari sini
kita mengetahui bahwa pengelolaan yang sektoral ini akan mengakibatkan terjadinya perusakan
hutan mangrove berat yang akan berdampak pada masa yang akan datang. Kemudian rendahnya
kesadaran masyarakat tentang konversi dan fungsi ekosistem mangrove. (3) Hutan rawa dalam
lingkungan yang asin dan anaerob di daerah pesisir selalu dianggap daerah yang yang marginal atau
sama sekali tidak cocok untuk pertanian dan akuakultur. Namun karena kebutuhan lahan pertanian
dan perikanan yang semakin meningkat maka hutan mangrove dianggap sebagai lahan alternative.
Reklamasi seperti itu telah memusnakan ekosistem mangrove dan juga mengakibatkan efek – efek
yang negatif teradap perikanan di perairan pantai sekitarnya.

Rusminarto et al. (1984) dalam pengamatannya di areal hutan mangrove di Tanjung Karawang
menjumpai 9 jenis nyamuk yang berada di areal tersebut. Dilaporkan bahwa nyamuk Anopheles
sp., nyamuk jenis vektor penyakit malaria, ternyata makin meningkat populasinya seiring dengan
makin terbukanya pertambakan dalam areal mangrove. Ini mengindikasikan kemungkinan
meningkatnya penularan malaria dengan makin terbukanya areal-areal pertambakan perikanan.
Kajian lain yang berkaitan dengan polutan, dilaporkan oleh Gunawan dan Anwar (2005) yang
menemukan bahwa tambak tanpa mangrove mengandung bahan pencemar berbahaya merkuri (Hg)
16 kali lebih tinggi dari perairan hutan mangrove alami dan 14 kali lebih tinggi dari tambak yang
masih bermangrove (silvofishery). Saat ini sedang diteliti, di mana kandungan merkuri diserap
(pohon mangrove, biota dasar perairan, atau pun ikan).

Dampak ekologis secara umum akibat berkurang dan rusaknya ekosistem mangrove adalah
hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove, yang
dalam jangka panjang akan mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove khususnya dan
ekosistem pesisir umumnya. Selain itu, menurunnya kualitas dan kuantitas hutan mangrove telah
mengakibatkan dampak yang sangat mengkhawatirkan, seperti abrasi yang selalu meningkat,
penurunan tangkapan perikanan pantai, intrusi air laut yang semakin jauh ke arah darat, malaria dan
lainnya.

Pada ekosistem mangrove, rantai makanan yang terjadi adalah rantai makanan detritus. Sumber
utama detritus adalah hasil penguraian guguran daun mangrove yang jatuh ke perairan oleh bakteri
dan fungi (Romimohtarto dan Juwana 1999).
Gambar Rantai Makanan Detritus

Gambar Rantai Makanan Detritus

Rantai makanan detritus dimulai dari proses penghancuran luruhan dan ranting mangrove oleh
bakteri dan fungi (detritivor) menghasilkan detritus. Hancuran bahan organic (detritus) ini
kemudian menjadi bahan makanan penting (nutrien) bagi cacing, crustacea, moluska, dan hewan
lainnya (Nontji, 1993). Setyawan dkk (2002) menyatakan nutrient di dalam ekosistem mangrove
dapat juga berasal dari luar ekosistem, dari sungai atau laut. Lalu ditambahkan oleh Romimohtarto
dan Juwana (1999) yang menyatakan bahwa bakteri dan fungi tadi dimakan oleh sebagian protozoa
dan avertebrata.

Kemudian protozoa dan avertebrata dimakan oleh karnivor sedang, yang selanjutnya dimakan oleh
karnivor tingkat tinggi. Karena dengan adanya lahan hutan mangrove yang dikonversi ini fauna-
fauna baik itu pemangsa maupun yang dimangsa akan berpindah ke lahan yang belum mengalami
kerusakan. Contohnya saja spesies monyet dan bangau mungkin tidak aka ada lagi karena spesies
ikan yang ada akan berkurang dan habitat mereka telah rusak. Pengaruh bahan-bahan kimia dari
pupuk pertanian juga. Secara tidak langsung akan mengubah siklus biogeokimianya karena unsur-
unsur yang ada akan berubah dan berkurang.

Ternyata dengan adanya lahan perkebunan kelapa sawit ini tentu saja akan menurunkan tingkat
kualitas tanah sebagai salah satu indikator dan pemegang peranan penting didalam ekosistem
apalagi dengan semua aspek fungsi ekologis yang dimilikinya. Juga akan terjadi pendangkalan
perairan pantai karena pengendapan sedimen yang sebelum hutan mangrove dikonversi
mengendap dihutan mangrove. Dengan begitu hutan mangrove yang asalnya tempat pemijahan
ikan dan udang secara alami akan beralih fungsi dan bahkan tidak berfungsi lagi sebagai tempat
pemijahan. Sebagaimana kita ketahui bahwa lahan tersebut secara struktur akan berubah dan
mungkin tercemar oleh bahan-bahan kimia yang berasal dari pupuk pertanian untuk lahan kelapa
sawit. Sehingga dengan melihat tingkat degradasi dan konversi pada areal hutan mangrove tersebut
maka harus direncanakan suatu penelitian untuk mengetahui dan mengkaji kualitas tanah sebagai
akibat dari konversi mangrove yang telah dilakukan. (Anonim, 2009)

Dari situ kita tahu bahwa dengan adanya lahan konversi baik itu menjadi tambak atau pun lahan
perkebunan kelapa sawit. Ternyata akan merusak ekositem mangrove dan akan mengubah struktur
kimia fisika dan fungsi ekologisnya yaitu rantai makanan, rantai energy dan siklus biogeokimianya.
Seharusnya kita menyadari dan menyadarkan masyarakat akan fungsi dan peranan masing-masing
ekosistem karena untuk ke depannya alam ini akan merugikan kita apabila kita merusaknya.
Mungkin secara waktu dekat lahan kelapa sawit akan menguntungkan tapi untuk jangka panjang
dan dampak yang ditimbulkan akan merugikan. persepsi yang menganggap mangrove merupakan
sumber daya yang kurang berguna yang hanya cocok untuk pembuangan sampah atau dikonversi
untuk keperluan lain harus diluruskan. Karena apabila persepsi keliru tersebut tidak dikoreksi, maka
masa depan hutan mangrove Indonesia dan juga hutan mangrove dunia akan menjadi sangat suram.

C. GAMBARAN KERUSAKAN PESISIR

Kerusakan kawasan mangrove di Kabupaten Situbondo diawali dengan adanya booming


budidaya udang pada tahun 1980 - 1990. Masyarakat, dimotori oleh pemodal, menguasai
kawasan hutan mangrove secara ilegal dan membukanya untuk tambak udang. Kerusakan hutan
mangrove di pesisir Utara Jawa, juga diakibatkan oleh alih fungsi lahan untuk industri. Kondisi
pantai di kawasan perairan Kabupaten Situbondo semakin parah dan mengkhawatirkan. Dalam
dua tahun terakhir abrasi (pengikisan) pantai sudah mencapai 5 - 10 meter dari garis pantai, hal
ini perlu penanganan serius dari Pemerintah Kabupaten Situbondo. Sejumlah warga desa di
pesisir perairan Kabupaten Situbondo, mengeluhkan hilangnya pohon - pohon karena tergerus
ombak. Warga juga mengungkapkan, dulu jarak antara tepi laut dan jalan raya sekitar belasan
meter dan akibat abrasi jarak dengan tepi laut hanya tinggal beberapa meter dari pemukiman
penduduk. Terdapat 3 (tiga) isu utama permasalahan pengelolaan mangrove di Indonesia, yaitu
Isu ekologi: (a) lebih
dari 50% total area mangrove di Indonesia berada dalam kondisi rusak, yang berakibat pada
menurunnya fungsi ekologis mangrove; (b) adanya pendapat yang menyatakan bahwa
konservasi dan rehabilitasi ekosistem mangrove untuk meningkatkan fungsi ekologi merupakan
beban, bukan sebagai tanggung jawab; (c) upaya untuk merehabilitasi mangrove yang rusak
masih belum mampu mengimbangi laju kerusakan yang terjadi. Isu sosial ekonomi: (a) adanya
perbedaan pemahaman tentang nilai dan fungsi ekosistem mangrove di antara penentu
kebijakan (policy maker) dan masyarakat; (b) belum optimalnya partisipasi masyarakat lokal
dalam perencanaan dan pengelolaan ekosistem mangrove; (c) sebagian besar kondisi
masyarakat di sekitar ekosistem mangrove tergolong miskin; (d) pemanfaatan mangrove sebagai
sumberdaya yang ramah lingkungan belum berkembang. Isu Kelembagaan: (a) koordinasi antar
lembaga terkait dalam pengelolaan ekosistem mangrove belum efektif; (b) kebijakan antar
sektor dalam pengelolaan ekosistem mangrove masih

belum sinergis; (c) instansi kunci dan perannya dalam pengelolaan ekosistem mangrove belum
disepakati; (d) kelembagaan pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan ekosistem
mangrove belum berkembang dan berfungsi secara optimal. Mencermati uraian tersebut di
atas, kami merasa perlu untuk ikut aktif dalam upaya merehabilitasi kawasan mangrove melalui
penanaman 1.000 tanaman mangrove Di Desa Peleyan Kecamatan Panarukan, Situbondo.
Alasan pemilihan lokasi ini berdasarkan kondisi abrasi yang cukup parah dan juga keberdaan
pembibitan mangrove yang dilakukan o;eh salah satu penduduk dengan swadana. Kegiatan ini
diharapkan dapat membantu mengatasi ketiga isu utama permasalahan pengelolaan mangrove
di Kabupaten Situbondo. Tujuan kegiatan ini adalah menanam 1000 batang mangrove yang
melibatkan mahasiswa dan masyarakat. Manfaat kegiatan adalah: a. Memperbaiki kondisi
lingkungan pantai di Desa Peleyan yang kritis, khususnya kawasan mangrove, melalui
pembangunan masyarakat madani. b. Meningkatkan kapasitas berbagai pihak yang terlibat
dalam pengelolaan ekosistem mangrove, yang sesuai dengan daya dukung lingkungan serta
dengan didasarkan pada data informasi ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. c.
Meningkatkan dan mempertahankan manfaat serta fungsi - fungsi ekosistem mangrove sebagai
sistem penyangga kehidupan.

D. ANALISIS TINGKAT KERUSAKANNYA DAN SOLUSI RESTORASINYA

E. HASIL DAN PEMBAHASAN


F. KESIMPULAN DAN SARAN
G. DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai