Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hemoptisis atau batuk darah adalah ekspektorasi darah atau dahak


mengandung darah, berasal dari saluran nafas dibawah pita suara.
Hemoptisis harus dibedakan dengan epistaksis atau hematemesis, baik
secara anamnesis, pemeriksaan fisik atau pemeriksaan laboratorium.
Hemoptisis merupakan salah satu gejala yang menyebabkan penderita
segera datang berobat, karena bagi masyarakat awam hemoptisis
merupakan pertanda bahwa penyakit yang dideritanya cukup
membahayakan dan akan membawa maut baginya.
Hemoptisis dalam jumlah yang banyak (masif) termasuk
kegawatan medis yang harus mendapatkan penanganan intensif dengan
terapi yang tepat. Selain dapat mengganggu kestabilan hemodinamik
akibat kehilangan darah dalam jumlah yang banyak, hemoptisis masif juga
dapat mengganggu pertukaran gas di alveoli dan menimbulkan komplikasi
asfiksia yang tinggi angka mortalitasnya.
Etiologi dari hemoptisis ini beragam, di antaranya adalah penyakit
parenkimal, penyakit saluran nafas, dan penyakit vaskuler. Namun dari
beberapa penelitian, 3-42% pasien dengan hemoptisis etiologinya tidak
dapat diketahui dan dapat disebut sebagai kriptogenik. Penelitian Prasad et
al. (2009) di India menunjukkan dari 476 kasus hemoptisis, sebanyak
79,2% disebabkan tuberkulosis paru. Hasil yang sedikit berbeda
dilaporkan Sahasranaman et al. (2012), dimana dari penelitiannya di
Libanon, etiologi utama hemoptisis adalah Community Acquired
Pneumonia (CAP) sebanyak 30%, tuberkulosis paru 9,6%, namun
sebagian besar masih merupakan penyakit infeksi. Di Indonesia sendiri,
berdasarkan studi yang dilakukan pada pasien rawat inap dan IGD RS
Persahabatan, tuberkulosis paru merupakan penyakit terbanyak yang
mendasari hemoptisis. Etiologi hemoptisis yang diketahui saat ini juga

1
sangat beragam, tidak hanya infeksi dan kelainan paru, tetapi juga
neoplasma, kelainan kardiovaskular, kelainan hematologi, ataupun
penyakit sistemik.
Sumber perdarahan hemoptisis dapat berasal dari sirkulasi
pulmoner atau sirkulasi bronkial. Hempotisis masif sumber perdarahan
umumnya berasal dari sirkulasi bronkial ( 95 % ). Sirkulasi pulmoner
memperdarahi alveol dan duktus alveol, sistem sirkulasi ini bertekanan
rendah dengan dinding pembuluh darah yang tipis. Sirkulasi bronkial
memperdarahi trakea, bronkus utama sampai bronkiolus dan jaringan
penunjang paru, esofagus, mediastinum posterior dan vasa vasorum arteri
pulmoner.
Mortalitas dari hemoptisis masif ini berkisar antara 50%, dengan
prevalensi sekitar 5% dari seluruh kasus hemoptisis. Sedangkan mortalitas
dari hemoptisis itu sendiri antara 7-30%.2 Kematian pada hemoptisis dapat
terjadi akibat banyaknya darah pada saluran pernafasan sehingga
menyebabkan asfiksia dan diikuti oleh gagal sistem kardiovaskular. Di
Indonesia, prevalensi hemoptisis pada pasien rawat inap di RSP tahun
2007 dan 2008 sebesar 30.99% dan 34.68%.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Hemoptisis


Hemoptisis atau batuk darah adalah ekspektorasi darah atau dahak
mengandung darah yang berasal dari saluran nafas bawah.
2.2 Hemoptisis Masif
Hemoptisis atau batuk darah adalah ekspektorasi darah atau dahak
mengandung darah, berasal dari paru atau trunkus bronkotrakeal sedangkan
hemoptisis massif adalah batuk darah dengan volume 100-1000 mL (jumlah yang
digunakan masih beragam pada beberapa pusat pendidikan).
2.3 Kriteria Hemoptisis Masif
1. Bila penderita mengalami batuk darah lebi dari 600 ml per 24 jam dan dalam
pengamatan batuk darah tidak berhenti
2. Bila penderita batuk darah kurang dari 600 ml per 24 jam dan pada
pemeriksaan laboratorium menunjukkan Hb kurang dari 10 g%, sedangkan batuk
darah masih berlangsung terus.
3. Penderita dengan batuk darah kurang dari 600 ml per 24 jam, tetapi lebih dari
250 ml per 24 jam, kadar Hb lebih dari 10g%, dan pada pengamatan selama 48
jam dengan pengobatan konservatif pendarahan tidak berhenti sama sekali.

2.4 Etiologi dan Faktor Risiko


Etiologi hemoptisis secara garis besar baik masif maupun tidak dapat di :
kelompokkan atas 6 kelompok utama, yaitu:
1. Trauma dan benda asing
2. Kelainan kardiovaskular
3. Radang dan infeksi
4. Blood dyscrasias
5. Sindrom komprsi
6. Idiopatik

3
Penyebab terpenting dari hemoptisis masif adalah:
1. Tumor
Karsinoma, adenoma, metastasis endobronkial dari massa tumor
ekstratorakal
2. Infeksi
Aspergiloma, bronkiektasis (terutama pada lobus atas), abses paru,
tuberculosis paru
3. Infark paru
4. Udem paru
Terutama disebabkan oleh mitral stenosis
5. Perdarahan paru
Sistemik lupus eritematosus, Goodpasture’s syndrome, Idiophatic
pulmonary haemosiderosis
6. Cedera pada dada/ trauma
Kontusio pulmonal, transbronkial biopsy, transtorakal biopsy
memakai jarum
7. Kelainan pembuluh darah
Malformasi arteriovena. Hereditary haemorhagic teleangiectasis
8. Bleedhing diathesis.

2.5 Patogenesis
Mekanisme terjadinya batuk darah adalah:
1. Radang mukosa
Pada trakeobronkitis akut atau kronis, mukosa yang kaya
pembuluh darah menjadi rapuh, sehingga trauma yang ringan
sekalipun sudah cukup untuk menimbulkan batuk darah
2. Infark paru
Biasanya disebabkan oleh emboli paru atau inflasi mikroorganisme
pada pembuluh darah, seperti infeksi coccus, virus dan infeksi oleh
jamur
3. Pecahnya pembuluh darah vena atau kapiler
Distensi pembuluh darah akibat kenaikan tekanan darah
intraluminal seperti pada dekompensasi kordis kiri akut dan mitral
stenosis. Pada mitral stenosis, perdarahan dapat terjadi akibat
pelebaran vena bronkialis.
4. Kelainan membran alveolokapiler
Akibat adanya reaksi antibodi terhadap membran, seperti pada
Goodpastures syndrome

4
5. Perdarahan kavitis tuberkulosis
Pecahnya pembuluh darah dinding kavitas tuberculosis yang
dikenal dengan aneurisma
6. Invasi tumor ganas
7. Cedera dada
Akibat benturan dinding dada, maka jaringan paru akan mengalami
transudasi ke dalam alveoli dan keadaan ini akan memacu
terjadinya batuk darah.

2.6 Patofisiologi
Trigger yang berbeda-beda dapat menyebabkan asma oleh karnea inflamasi
saluran nafas atau bronkospasme akut atau keduanya. Mekanisme keterbatasan
aliran udara yang bersifat akut ini bervariasi sesuai dengan rangsangan. Allergen
akan memicu terjadinya bronkokonstriksi akibat dari pelepasan IgE dependen dari
sel Mast saluran pernafasan yang berasal dari mediator, termasuk diantaranya
histamin, prostaglandin, leukotriene, sehingga terjadi kontraksi otot polos.
Keterbatasan aliran udara yang akut ini kemungkinan juga terjadi oleh karena
saluran pernafasan pada pasien asma sangat hiperresponsif terhadap berbagai jenis
rangsangan.4
Mekanisme yang menyebabkan bronkokonstriksi terdiri dari kombinasi
antara pelepasan mediator sel inflamasi dan rangsangan yang bersifat local atau
reflex saraf pusat. Akibatnya keterbatasan aliran udara timbul karena adanya
pembengkakan dinding saluran nafas dengan atau tanpa kontraksi otot polos.
Peningkatan permeabilitas dan kebocoran mikrovaskular berperan terhadap
penebalan dan pembengkakan pada sisi luar otot polos saluran pernafasan.
Penyempitan saluran pernafasan yang bersifat progresif disebabkan oleh
inflamasi saluran pernafasan dan atau peningkatan tonus otot polos bronkiolus
merupakan gejala serangan asma dan berperan terhadap peningkatan esistensi
aliran, hiperinflasi pulmoner dan ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi (v/q).
apabila tidak dilakukan koreksi terhadap obstruksi saluran nafas ini, akan terjadi
gagal nafas yang merupakan konsekuensi dari peningkatan kerja pernafasan,
inefisiensi pertukaran gas dan kelelahan otot-otot pernafasan. Obstruksi aliran
udara merupakan gangguan fisiologis terpenting pada asma. Gangguan ini akan
menghambat aliran udara selama inspirasi dan ekspirasi, dan dapat dinilai dengan

5
tes fungsi paru yang sederhana seperti Peak Expiratory Flow Rate (PEFR) dan
FEV1 (Forced Expiration Volume). Ketika terjadi obstruksi, aliran udara saat
ekspirasi yang relative cukup berat akan menyebabkan pertukaran aliran udara
yang kecil untuk mencegah kembalinya tekanan alveolar terhadap tekanan
atmosfir, maka akan terjadi hiperinflasi dinamik. Besarnya hiperinflasi dapat
dinilai dengan derajat penurunan kapasitas cadangan fungsional dan volume
cadangan.4

2.7 Diagnosa Hemoptisis


Evaluasi awal
Dugaan hemoptisis pada pasien harus dikonfirmasi, tingkat keparahannya
ditentukan, asal perdarahan yang ada dan penyebabnya ditentukan.
1. Konfirmasi hemoptisis
Ini didasarkan pada pengamatan langsung perdarahan atau pendarahan
dilaporkan oleh pasien. Perdarahan saluran nafas bagian atas harus
dibedakan dari hematemesis berdasarkan gejala yang menyertainya, wujud
darah, dan penyakit peserta pasien. Rongga mulut dan fossa hidung harus
diperiksa untuk memastikan bahwa perdarahan subglotis, mengingat
bahwa hidung atau gusi berdarah terjadi pada malam hari mungkin keliru
diambil untuk hemoptisis keesokan paginya. Walaupun data klinis
biasanya cukup, pemeriksaan endoskopi seperti rhinolaryngoscopy,
gastroskopi dan/atau bronkoskopi mungkin diperlukan untuk
mengkonfrimasi asal perdarahan.

2. Evaluasi keparahan

6
Perdarahan harus diukur. Keparahan bisa sangat bervariasi dari dahak
berlender darah
3. Lokasi dan etiologi
Eksaserbasi merupakan perubahan gejala dan fungsi paru-paru dari
keadaan pasien pada biasanya. Penurunan aliran udara ekspirasi dapat diketahui
dengan pengukuran fungsi paru seperti aliran ekspirasi puncak (PEF) atau volume
ekspirasi paksa dalam 1 detik (FEV1) yang dibandingkan dengan fungsi paru
pasien sebelumnya atau nilai prediksi. Pengukuran ini merupakan indikator
keparahan eksaserbasi yang lebih dapat diandalkan daripada gejala. Sebagian
kecil pasien mungkin merasakan gejala yang buruk dan mengalami penurunan
fungsi paru yang signifikan tanpa perubahan gejala yang jelas. Situasi ini terutama
mempengaruhi pasien dengan riwayat asma yang mendekati fatal.

2.8 Klasifikasi Asma Berdasarkan Derajat Serangan 6

7
Parameter Klinis, Ringan Sedang Berat Ancaman
Fungsi Faal Paru, Henti Nafas
Laboratorium

Sesak Berjalan Berbicara Istirahat -

Bayi : Bayi : tangis Bayi : -


menangi pendek dan tidak
s keras lemah mau
Kesulitan
makan/
menetek/ma
minum
k an

Posisi Bisa Lebih suka Duduk -


berbarin duduk bertopan
g g lengan

Bicara Kalimat Penggal Katakat -


kalimat a

Kesadaran Mungki Biasanya Biasany Kebingungan


n iritabel a
Iritabel iritabel

Sianosis Tidak Tidak ada Ada Nyata


ada

Wheezing Sedang Nyaring Sangat Sulit/tidak


hanya sepanjang nyaring, terdengar
pada ekspirasi dan terdenga
akhir inspirasi r tanpa
ekspirasi stetosko
p

Penggunaan Otot Biasany Biasanya Iya Gerakan


Bantu paradox

8
Respiratorik a tidak iya torakoabdomina
l

Retraksi Dangkal Sedang, Dalam, Dangkal/ hilang


, retraksi ditambah ditamba
intercost retraksi h nafas
al suprasternal cuping
hidung

Frekuensi Nafas Takipne Takipne u Takipne Bradipneu


u u

Frekuensi Nadi Normal Takikardi Takikar Bradikardi


di

Pulsus Paradoksus Tidak Ada (10-20 Ada Ada (10-20


ada mmHg) (10-20 mmHg)
(<10 mmHg)
mmHg)

TEFR atau FEV1


(% nilai dugaan/ <40%
>60 % 40-60%
% nilai terbaik) >80% 60-80 % <60%
Prabonkodilator respon
Pascabronkodilato
<2 jam
r

SaO2 % >95 % 91-95 % < 90 %

PaO2 Normal >60 mmHg <60


(biaanya mmHg
tidak
perlu
diperiks
a)

PaCO2 <45 <45 mmHg >45


mmHg mmHg

9
2.9 Level Asma

10
2.10 Penatalaksanaan Diri dari Asma Eksaserbasi dengan Rencana Aksi
Asma Yang Tertulis

Semua pasien dengan asma harus diberikan edukasi manajemen diri yang
dipandu, termasuk pemantauan gejala dan / atau fungsi paru-paru, rencana
tindakan asma yang tertulis, dan peninjauan rutin oleh profesional kesehatan.

Pilihan pengobatan untuk rencana aksi asma yang tertulis


Rencana tindakan asma yang tertulis membantu pasien untuk mengenali dan
merespons dengan tepat jika asma memburuk. Ini harus mencakup instruksi
khusus untuk pasien tentang perubahan pereda dan obat pengontrol, bagaimana
menggunakan kortikosteroid oral (OCS) jika diperlukan dan kapan serta
bagaimana mengakses perawatan medis.
Kriteria untuk memulai peningkatan obat pengendali akan bervariasi dari
pasien ke pasien. Untuk pasien yang memakai perawatan yang mengandung ICS
konvensional, ini umumnya harus ditingkatkan ketika ada perubahan penting
secara klinis dari tingkat kontrol asma yang biasa, misalnya, jika gejala asma
mengganggu aktivitas normal, atau PEF telah turun> 20 % untuk lebih dari 2 hari.

11
Self-management of worsening asthma in adults and adolescents with a
written asthma action plan

2.11 Penatalaksanaan Asma Eksaserbasi pada Pelayanan Primer


Menurut GINA 2018 (Dewasa, Remaja, Anak-anak 6-11 tahun)

12
2.12 Penatalaksanaan Asma Eksaserbasi pada Instalasi Gawat Darurat
Menurut GINA 2018

13
BAB III
KESIMPULAN
Asma adalah penyakit heterogen yang biasanya dikarakteristikkan dengan
inflamasi saluran nafas kronik. Hal ini didefinisikan melalui riwayat gejala-gejala
pernafasan seperti mengi, sesak nafas, dada terasa sesak yang bervariasi dari segi
waktu dan intesitas, bersama dengan keterbatasan aliran udara ekspirasi yang
berubah – ubah.
Asma eksaserbasi adalah episode-episode yang ditandai dengan peningkatan
progresif gejala sesak napas, batuk, mengi atau dada terasa sesak dan penurunan
progresif pada fungsi paru, hal itu menunjukkan perubahan dari status biasa
pasien yang cukup untuk memerlukan perubahan dalam pengobatan. 1
Asma eksaserbasi berat berpotensi mengancam jiwa dan perawatannya
membutuhkan penilaian yang cermat dan pemantauan ketat. Pasien dengan
eksaserbasi berat harus disarankan untuk segera menemui penyedia layanan
kesehatan mereka atau, tergantung pada organisasi layanan kesehatan setempat,
untuk melanjutkan ke fasilitas terdekat yang menyediakan akses darurat untuk
pasien dengan asma akut
Penatalaksanaan asma eksaserbasi yang memburuk adalah bagian dari
kontinum, dari manajemen diri oleh pasien dengan rencana tindakan asma tertulis,
hingga manajemen gejala yang lebih parah dalam perawatan primer, departemen
darurat dan di rumah sakit.

14
DAFTAR PUSTAKA
1. Global Initiative For Asthma. 2018. Global Strategy For Asthma
Management and Prevention.
2. WHO. 2018. Chronic Respiratory Diseases Asthma.
Available from : http://www.who.int/respiratory/asthma/en/
3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia. 2013. Riset Kesehatan Dasar.
Available from :
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas
%202013.pdf
4. Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, W.A. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
II Edisi 6 Jakarta : Interna Publishing.
5. PDPI. 2003. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Asma Di Indonesia
6. Depkes RI. 2009. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma.

15

Anda mungkin juga menyukai