Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pendahuluan
Islam masuk ke Indonesia melalui jalur sufisme (tasawuf).1 Jalur ini dianggap sebagai
jalur yang paling berperan dalam proses Islamisasi di Indonesia. Penyebaran Islam melalui
jalur tasawuf tidak terlepas dari kontribusi ulama-ulama sufi, yang memiliki pengetahuan dan
penglaman sufistik. Dalam menyebarkan Islam, para sufi membawa Islam rahmatan lil alamin,
yaitu Islam sebagai agama yang merahmati alam semesta, Islam yang moderat, dan Islam yang
mengakomodir nilai-nilai kebudayaan serta ritual tradisional masyarakat lokal. Maka dari itu,
peyebaran Islam di Indonesia melalui tasawuf cocok dengan masyarakat Indonesia yang
sebelumnya telah dipengaruhi asketisme Hindu, Budha, dan sinkretisme kepercayaan lokal. 2
Selain itu, para sufi tersebut dinilai lebih kompromis dalam menyebarkan Islam sehingga
mereka berhasil mengislamkan mayoritas masyarakat Indonesia. Dengan demikian, Islam
diterima dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang sebelumnya telah
menganut kepercayaan lain.
Agama Islam terdiri atas tiga pilar, yaitu islam, iman, dan ihsan. Pilar Islam
diimplementasikan dengan ilmu fikih dan pilar iman diimplementasikan dengan ilmu tauhid,
sedangkan pilar ihsan diimplementasikan dengan ilmu tasawuf. Secara etimologi, kata tasawuf
berasal dari bahasa Arab, yaitu tashawwafa – yatashawwafu - tashawwufun. Kata tasawuf
berasal dari akar kata shuf, yang berarti bulu domba atau wol. Pakaian yang terbuat dari wol
bulu domba dianggap sebagai pakaian sehari-hari para sufi. Pakaian tersebut melambangkan
kesederhanaan hidup kaum sufi. Selain itu, juga untuk mencegah sikap riya. Kemudian,
pakaian ini menjadi pakaian adat para sufi. Jika seorang sufi tidak mempunyai pakaian yg
terbuat dari bulu domba, mereka memakai pakaian bertambal, seperti halnya pakaian Nabi
Muhammad SAW. Menurut J.Spencer Trimingham, periode awal tasawuf ditetapkan pada
asketik muslim yang berpakaian wol kasar.3 Secara terminologi, tasawuf adalah usaha
mendekatkan diri kepada Allah SWT. dengan membersihkan jiwa, mengosongkan hati serta
memusatkannya hanya kepada Allah SWT. melalui pelatihan spiritual dengan sungguh-
sungguh sehingga sampai pada kebahagiaan yang hakiki. Kebahagiaan hakiki diperoleh

1
Sufisme adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlak, membangun lahir
dan batin serta untuk memperoleh kebahagian yang abadi.
2
Amin, Samsul Munir. (2014). Ilmu Tasawuf . Jakarta: Amzah. hlm.325.
3
Trimingham, J.Spencer. (1973). The Sufi Orders in Islam, London : Oxford University Press. hlm.1.
dengan mengasah jiwa sehingga dapat mengenal Allah SWT. secara langsung dan melihat
keindahan-Nya melalui mata hati.
Tasawuf bersumber dari kehidupan spiritual Nabi Muhammad SAW. sebelum atau
setelah menjadi utusan. Kemudian kehidupan ini diikuti oleh sahabat dan tabiin, tabii at-tabiin,
dan para sufi secara sambung menyambung. Kehidupan spiritual yang dipraktekan adalah
kesederhanaan hidup atau zuhud. Zuhud adalah membenci dan berpaling terhadap segala
sesuatu selain Allah SWT., yang bersifat duniawi untuk mencapai kebahagiaan akhirat. Para
sufi beranggapan bahwa kehidupan di akhirat lebih baik dari pada kehidupan di dunia sehingga
segala sesuatu yang dilakukan oleh para sufi diorientasikan untuk persiapan hidup di akhirat.
Dalam perealisasiannya, tasawuf dipraktekan melalui tarekat. Secara etimologis, kata
tarekat berasal dari bahasa Arab, yaitu thariqah, yang berarti jalan. Dalam tradisi tasawuf,
istilah tarekat hanya dipakai dengan pengertian jalan yang lurus sampai abad ke- 11 M/5H.
Istilah ini dipakai oleh setiap calon sufi untuk mencapai tujuannya, yaitu berada sedekat
mungkin dengan Allah SWT dan mengenal-Nya tanpa dibatasi oleh dinding atau hijab.4
Adapun secara terminologis, tarekat adalah jalan yang ditempuh seorang murid atau salik untuk
mendekatkan diri kepada Alloh SWT. melalui riyadhah atau meditasi maupun amalan-amalan
yang sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad SAW. Ajaran tersebut diikuti oleh para sahabat
dan tabi’in. Kemudian ajaran tersebut turun-temurun sampai kepada guru-guru secara
berkesinambungan dan berantai. Guru-guru yang mengajarkan ajaran tersebut dan
membimbing seorang murid dalam mengamalkannya dinamakan mursyid. Adapun dalam
mengamalkan ajaran tarekat, seorang murid harus melalui prosesi baiat. Seorang murid akan
memperoleh kemajuan dengan melalui sederetan ijazah berdasarkan tingkatnya secara
bertahap. Tingkatan tersebut dimulai dari pengikut biasa, murid, pembantu syekh atau
khalifahnya, dan akhirnya menjadi guru yang mandiri (mursyid).5
Tarekat adalah bagian penting dari praktek tasawuf. Bertasawuf tanpa bertarekat akan
hampa. Maka dari itu, untuk meresapkan tasawuf agar meresap ke jiwa, tidak hanya sebatas
formalitas, direalisasikan melalui tarekat. Jika syariat dan tarekat dapat dijalankan dengan baik,
lahirlah hakekat. Lahirnya hakekat ditandai dg keadaan atau ahwal yg lebih baik dr
sebelumnya. Setelah hakekat dapat dikuasai, sampailah pada tujuan akhir yaitu makrifat,
mengenal dan mencintai Alloh SWT. Syariat, tarekat, hakekat, dan makrifat saling berkaitan
di antara satu sama lainnya dan tidak akan dicapai dengan mengabaikan salah satu di antaranya.

4
Rusli, Ris’an. (2013). Tasawuf dan Tarekat: Studi Pemikiran dan Pengamalan Sufi. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada. hlm. 184.
5
Bruinessen, Martin Van. (1992). Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia. Bandung: Mizan. hlm.15.
Imam malik mengatakan bahwa seseorang yang hanya mempelajari fikih tanpa mempelajari
tasawuf disebut fasik, seseorang yang hanya mempelajari tasawuf tanpa mempelajari fikih
disebut zindiq, dan seseorang yang mempelajari serta mengamalkan fikih dan tasawuf ia
disebut mutahaqqiq atau ahli tarekat yang sebenar-benarnya.6
Selain tarekat, sering juga digunakan kata suluk, yang berarti jalan spiritual. Adapun
orang-orang yang menempuh perjalanan spiritual disebut salik. Sebagai jalan spiritual, tarekat
ditempuh oleh para sufi atau salik di sepanjang zaman. Setiap orang yang menempuhnya
memperoleh pengalaman yang berbeda-beda, walaupun memiliki tujuan yang sama, yaitu
mengenal Allah SWT. (ma’rifatullah). Dalam mencapai tujuan itu, seorang salik harus melalui
tahapan-tahapan perjalanan spiritual (maqamat) dan keadaan (ahwal). Perbedaan di antara
keduanya yakni maqamat adalah kedudukan jiwa yang dicapai melalui usaha yang sungguh-
sungguh secara sadar dengan melakukan kewajiban, melalui proses yang lama dan bersifat
permanen. Adapun ahwal adalah keadaan jiwa (mental states) yang dicapai secara spontan,
sebagai anugerah dan karunia dari Allah SWT, tanpa melalui proses yang lama dan tidak
permanen.7
Di Indonesia, terdapat organisasi tarekat yang bernama Jam’iyyah Ahli Thariqah
Muktabarah, yang didirikan oleh para kyai Nahdhatul Ulama (NU) pada 10 Oktober 1957.
Berdasarkan keputusan Mu’tamar NU 1979 di Semarang, organisasi tarekat ini diubah menjadi
Jam’iyyah Ahli Thariqah Mu’tabarah Nahdliyyin (JATMAN). Penambahan kata Nahdliyyin
bertujuan untuk menegaskan bahwa organisasi ini berafiliasi kepada Nahdhatul Ulama (NU).
Organisasi ini ditujukan untuk membimbing organisasi-organisai tarekat yang dinilai belum
mengajarkan amalan-amalan Islam yang sesuai dengan Alquran dan Hadits. Selain itu,
organisasi ini juga ditujukan untuk mengawasi organisasi-organisasi tarekat agar tidak
menyalahgunakan pengaruhnya untuk kepentingan yang tidak diajarkan oleh agama. 8
Terdapat 45 nama tarekat yang termasuk ke dalam kategori tarekat muktabarah di
Indonesia. Tarekat muktabarah adalah tarekat yang memiliki sanad atau mata rantai yang
bersambung kepada nabi Muhammad saw. Nama-nama tarekat yang termasuk ke dalam
kategori tarekat muktabarah adalah Rumiyah, Rifaiyah, Sa’diyah, Bakriyah, Justiyyah,
Umariyyah, Alawiyyah, Abbasiyyah, Zainiyyah, Dasuqiyyah, Akbariyyah, Bayumiyyah,
Malamiyyah, Ghakiyyah, Tijaniyyah, Uwaisiyyah, Idrusiyyah, Samaniyyah, Buhuriyyah,
Usyaqiyyah, Kubrawiyyah, Maulawiyyah, Jalwatiyyah, Bairumiyyah, Ghazaliyyah,

6
7
Amin, Samsul Munir. (2014). Ilmu Tasawuf . Jakarta: Amzah. hlm. 168 & 177.
8
Dhofier, Zamakhsyari. (1998). Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3ES. hlm. 143.
Hamzawiyyah, Haddadiyyah, Madbuliyyah, Sumbuliyyah, Idrisiyyah, Usmaniyyah,
Syadiliyyah, Sya’baniyyah, Qalqasyaniyyah, Khadliriyyah, Syatariyyah, Khalwatiyyah,
Bakdasiyyah, Syuhrawiyyah, Ahmadiyyah, Isawiyyah, Thuruq al-Akabir al-Awliyya’,
Qadiriyyah, Qadiriyyah wa Naqsabandiyyah, dan Naqsabandiyyah Khalidiyyah. Salik yang
mengamalkan tarekat muktabarah akan memiliki keistimewaan, kelebihan, dan karamah sesuai
bidangnya masing-masing.
Tarekat Qadiriyah merupakan salah satu dari 45 tarekat muktabarah di Indonesia. Tarekat
Qadiriyah adalah nama tarekat yang diambil dari nama pendirinya, yaitu Syekh Abdul Qadir
Al-Jilani. Syekh Abdul Qadir Al-Jilani dikenal dengan sebutan Syekh Abdul Qadir Al-Ghawsts
atau qutb al-awliya. Tarekat ini berpusat di Iraq dan Syiria. Pengikut tarekat ini berasal dari
Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika, dan Asia, termasuk Indonesia. 9Tarekat Qadiriyah
dianggap sebagai pelopor lahirnya organisasi tarekat. Selain itu, tarekat ini juga sebagai cikal
bakal munculnya berbagai cabang tarekat di dunia Islam.10
Tarekat Qadiriyah dikenal luwes. Keluwesan ini dilihat dari kewenangan seorang murid
jika sudah mencapai derajat mursyid, tidak mempunyai keharusan untuk mengikuti tarekat
gurunya. Hal ini sesuai dengan ungkapan Syekh Abdul Qadir Al-Jilani bahwa murid yang
sudah mencapai derajat gurunya, dia menjadi mandiri sebagai syekh dan Alloh lah yang
menjadi walinya. Murid tersebut diperbolehkan memodifikasi Tarekat Qadiriyah dengan syarat
sesuai dengan syariat Islam dan aturan yang sudah ada. Maka dari itu, Tarekat Qadiriyah
memiliki banyak cabang disebabkan keluwesannya. Salah satu cabang dari tarekat ini adalah
Tarekat Qadiriyah Al-Irakiyah. Tarekat Qadiriyah Al-Irakiyah adalah tarekat yang didirikan
oleh Syekh Abdullah Al-Iraki di Sudan, tepatnya di Pesantren Thariqah Madani Syekh
Abdullah Al-Iraki Thayyibah Syekh Abdu Al-Baqi. Tarekat ini tersebar di wilayah Afrika dan
Asia, termasuk di Indonesia.11
Di Indonesia, adanya Tarekat Qadiriyah Al-Irakiyah dibawa oleh Syekh Hilmi Ash-
Shiddiqi. Tarekat ini dibawa oleh Syekh Hilmi Ash-Shiddiqi pada 2006. Akan tetapi,
penyebarannya dilakukan pada 2011, salah satunya di Pesantren Al-Hikam Depok. Pesantren
Al-Hikam adalah sebuah lembaga pendidikan Islam yang didirikan oleh seorang tokoh
Nahdhatul Ulama (NU), yaitu Alm. K.H Hasyim Muzadi pada 11 Januari 2011.12 Pesantren ini

9
Bruinessen, Martin Van. (1944). Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat. Bandung: Mizan. hlm. 210-211.
10
Mulyati, Sri. (2006). Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, Cet. K3-3. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group. hlm. 26.
11
Wawancara dengan Syekh Muhammad Hilmi Ash-Shidiqi Al-Iraki, Mursyid Tarekat Qadiriyah Al-Irakiyah di
Pesantren Al-Hikam Depok pada tanggal 1 Maret 2017, pukul 20.30 WIB.
12
Wawancara dengan Syekh Muhammad Hilmi Ash-Shidiqi Al-Iraki, Mursyid Tarekat Qadiriyah Al-Irakiyah di
Pesantren Al-Hikam Depok pada tanggal 1 Maret 2017, pukul 20.30 WIB.
terletak di dekat Universitas Indonesia, yaitu tepatnya di Jalan H. Amat nomor 21 Kelurahan
Kukusan, Kecamatan Beji, Depok.
Penyebaran tarekat di Indonesia tidak terlepas dari jasa para ulama dan kiai melalui
pesantren. Begitu juga dengan penyebaran Tarekat Qadiriyah Al-Irakiyah di Indonesia tidak
terlepas dari jasa Syekh Hilmi Ash-Shiddiqi melalui Pesantren Al-Hikam Depok. Awalnya,
Syekh Hilmi Ash-Shiddiqi menyebarkan tarekat ini di pesantren milik orangtuanya, yaitu
Pesantren Al-Husaini di Bandung. Kemudian pada 2011, dia diminta oleh Alm.KH.Hasyim
Muzadi untuk menjadi murafiq atau pendamping santri di Pesantren Al-Hikam Depok. Dia
tidak hanya mentransfer ilmu kepada para santri di pesantren tersebut. Akan tetapi, beliau juga
membimbing santri dalam mengamalkan amalan tarekat tersebut secara bertahap dan
berkelanjutan dalam kehidupan sehari-hari. Bersamaan dengan ini, dia menyebarkan amalan-
amalan Tarekat Qadiriyah Al-Irakiyah kepada para santri di Pesantrean Al-Hikam Depok.13
Hampir seluruh santri di pesantren ini mengamalkan auradh Tarekat Qadiriyah Al-Irakiyah.
Akan tetapi, hanya 10 santri hufadz yang melakukan baiat secara langsung melalui bimbingan
Syekh Hilmi Ash Shiddiqi, selaku mursyid. Sebagai salah satu santriwati Pesantren Al-Hikam
Depok, keberadaan Tarekat Qadiriyah Al-Irakiyah yang belum lama tersebar di Indonesia dan
di amalkan oleh 10 santri hufadz di Pesantren Al-Hikam Depok menarik penulis untuk meneliti
tarekat ini sebagai skripsi. Di samping itu, sepengetahuan penulis belum ada yang melakukan
penelitian dan menulis skripsi tentang Tarekat Qadiriyah Al-Irakiyah.

1.2 Rumusan Masalah


Penulisan skripsi ini merupakan kelanjutan dari penulisan jurnal dalam mata kuliah
Islamologi, yang membahas tentang Tarekat Qadiriyyah Al-Irakiyyah di Pesantren Al-Hikam
Depok. Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini
adalah Tarekat Qadiriyah al Irakiyyah di Pesantren Al-Hikam Depok. Masalah yang akan
diteliti dipecah menjadi beberapa rumusan masalah.
1. Bagaimana ajaran dan tradisi Tarekat Qadiriyyah Al-Irakiyyah di Pesantren Al-
Hikam Depok?
2. Bagaimana pegaruh Tarekat Qadiriyyah Al-Irakiyyah di Pesantren Al-Hikam
Depok?

13
Wawancara dengan Syekh Muhammad Hilmi Ash-Shidiqi Al-Iraki, Mursyid Tarekat Qadiriyah Al-Irakiyah di
Pesantren al Hikam Depok pada tanggal 1 Maret 2017, pukul 20.30 WIB.
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan skripsi ini, pertama adalah memaparkan sejarah dan profil Pesantren
Al-Hikam Depok. Kedua, memaparkan ajaran dan tradisi tarekat Qadiriyyah al Irakiyyah di
Pesantren al Hikam Depok. Ketiga, mengetahui peran Tarekat Qadiriyyah Al-Irakiyyah di
Pesantren Al-Hikam Depok.

1.4 Manfaat Penelitian


Keberadaan Tarekat Qadiriyah Al-Irakiyah belum lama di Indonesia. Oleh karena itu,
sumber literatur dan informasi mengenai tarekat ini dalam bahasa Indonesia belum ada. Melalui
penelitian dan penulisan skripsi ini, penulis berharap dapat memperkenalkan tarekat ini. Selain
itu, penulis berharap skripsi ini dapat menambah wawasan bagi pembaca, akademisi, dan
masyarakat mengenai tarekat, khususnya Tarekat Qadiriyah Al-Irakiyah. Selain itu, penulis
berharap karya ilmiah ini dapat dijadikan sebagai sumber literatur mengenai Tarekat Qadiriyah
Al-Irakiyah.

1.5 Ruang Lingkup Penulisan


Dalam penulisan skripsi ini, penulis membatasi ruang lingkup pembahasan pada Tarekat
Qadiriyyah Al Irakiyyah di Pesantren Al-Hikam Depok, yang dikaji pada saat ini baik dari segi
sejarah, perkembangan, karakteristik, dan sebagainya. Selain itu, penulis juga meneliti tentang
Pengaruh Tarekat Qadiriyah Al Irakiyah Terhadap Pengalaman Spiritual Pengikutnya Di
Pesantren Al-Hikam Depok. Dalam hal ini, penulis menggunakan lima narasumber dengan
profesi berbeda-beda. Narasumber tersebut terdiri atas pemimpin pesantren, mursyid tarekat,
pengikut tarekat, pemimpin Sekolah Tinggi Kulliyyatul Quran, dan pengurus Madrasah
Diniyah (MADIN) Al-Hikam.

1.6 Metode penelitian


Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah Metode kualitatif.
Penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang hasil penemuan-penemuannya tidak diperoleh
melalui prosedur-prosedur statistik.14 Akan tetapi, penelitian kualitatif adalah penelitian yang
hasil penemuan-penemuannya diperoleh melalui pengumpulan data dalam kondisi yang asli
(natural setting) dengan memanfaatkan peneliti sebagai alat utama pengumpul data. Penelitian

14
Sugiarto, Eko. (2017). Menyusun Proposal Penelitian Kualitatif: Skripsi dan Tesis. Suaka Media: Yogyakarta.
hlm.8.
kualitatif menghasilkan data deskriptif, yaitu data yang berupa ucapan atau tulisan, gambar,
rekaman, dan perilaku partisipan. Penggunaan metode ini sesuai meneliti Tarekat Qadiriyah
Al-Irakiyah di Pesantren Al-Hikam Depok, yang meliputi sejarah tarekat, tokoh, dan pesantren
dengan menggunakan data dokumentasi dan wawancara yang mendalam terhadap partisipan.
Dalam penulisan skripsi ini, terdapat empat prosedur pengumpulan data menggunakan
metode kualitatiff. Pertama, observasi kualitatif. Observasi kualitatif dilakukan dengan
melakukan observasi langsung di Pesantren Al-Hikam Depok. Pesantren ini berlokasi di Jalan
H.Amat, Kukusan, Beji, Depok, Jawa Barat, untuk mengamati gambaran realistik perilaku atau
aktivitas keseharian partisipan dan kondisi di lokasi penelitian. Dalam hal ini, peneliti ikut
terlibat dalam aktivitas-aktivas di lokasi penelitian.
Prosedur pengumpulan data yang kedua yakni wawancara kualitatif. Dalam wawancara
kualitatif, penulis juga melakukan face to face interview (wawancara tatap muka) dengan
pemimpin pesantren , mursyid tarekat, pengikut tarekat (salik), dan pihak yang berhubungan
dengan instrumen Pesantren Al-Hikam Depok untuk melengkapi data yang dibutuhkan. Dari
observasi dan wawancara kualitatif ini dihasilkan data primer.
Adapun data sekunder, diperoleh melalui prosedur pengumpulan data ketiga dan
keempat, yaitu dokumen-dokumen kualitatif dan materi audio-visual.15 Dokumen-dokumen
kualitatif yang digunakan untuk memperoleh data-data dalam penelitian ini berupa buku-buku
teks, e-book, dan kitab-kitab, yang ditulis menggunakan bahasa Indonesia maupun bahasa Arab
mengenai Tarekat Qadiriyah Al-Irakiyah. Adapun materi audio-visual yang digunakan, berupa
foto-foto dokumentasi dan rekaman suara hasil wawancara.
Setelah mendapatkan data yang dibutuhkan, penulis mereduksi seluruh data yang telah
diperoleh. Pada tahap ini, penulis menyortir data dengan cara memilih data yang dianggap
penting dan berguna dengan menyingkirkan data yang tidak dibutuhkan. Kemudian, data yang
terpilih dikelompokkan menjadi berbagai kategori yang ditetapkan sebagai fokus penelitian.
Kemudian pada tahap seleksi, peneliti menguaraikan fokus yang telah ditetapkan menjadi lebih
rinci. Pada tahap ini, peneliti menganalisis data dan informasi yang telah disortis secara
mendalam. Peneliti mendeskripsikan tema-tema tertentu dari sudut pandang partisipan
sehingga data tersebut lebih mudah dimengerti. Setelah itu, peneliti menulis apa yang dipahami
dalam bentuk tulisan yang sistematis dengan menggunakan bahasa penulis.16

15
Ibid. hlm. 12
16
Ibid. hlm.14-16.
1.7 Landasan Teori
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan beberapa teori tasawuf. Secara
etimologi, tasawuf berasal dari kata shuf. Artinya ialah kain yang terbuat dari bulu wol. Namun,
kain wol yang dipakai adalah kain wol kasar, bukan wol halus. Memakai kain wol pada zaman
itu adalah simbol kesederhaan. Adapun memakai kain sutra pada zaman itu adalah simbol
kemewahan, yang dipakai oleh orang-orang di kalangan pemerintahan yang hidupnya mewah.
Para penganut tasawuf (sufi hidupnya sederhana. Akan tetapi, mereka berhati mulia.17
Menurut Imam Al-Junaidi Al-Baghdadi, tasawuf adalah membersihkan hati dari segala
sesuatu yang dapat mengotori jiwa, berjuang meninggalkan dorongan hawa nasfu dengan
melakukan segala sesuatu yang dapat menyucikan jiwa, bergantung pada ilmu-ilmu kebenaran,
mengamalkan hal-hal yang penting dan lebih kekal, menebarkan nasehat kepada sesama,
menepati janji kepada Alloh SWT. dalam hal kebenaran, dan mengikuti teladan Rasulullah
SAW. dalam hal syariat.18
Tasawuf direalisasikan melalui tarekat. Kata tarekat berasal dari bahasa Arab, yaitu
thariqah, dengan akar kata tharaqa-yathruqu-thurq, bentuk jamaknya al-ṯuruq.1 Secara
etimologi, tarekat berarti jalan, cara (al-kaifiyah), metode, sistem (al-uslub), aliran (al-
madzhab), keadaan (al-halah), pohon kurma yang tinggi (al-nakhlah al-thawilah), tiang tempat
berteduh, tongkat payung (‘amud al-mizallah), yang mulia, terkemuka dari kaum (syarîf al-
qaum), dan goresan atau garis pada sesuatu (al-khaṯṯ fî al-syay’).
Secara terminologi, ada beberapa teori menenai tarekat. Menurut Annamari Schimmel,
tarekat adalah “jalan” yang ditempuh para sufi, yang digambarkan sebagai jalan yang
berpangkal dari syariat. Hal ini disebabkan jalan utama disebut syar’ sedangkan anak jalan
disebut ṯariq. Kata turunan ini menunjukkan bahwa menurut anggapan para sufi, pendidikan
mistik merupakan cabang dari jalan utama yang terdiri atas hukum ilahi, tempat berpijak bagi
setiap muslim. Tidak mungkin ada jalan tanpa adanya jalan utama tempat ia berpangkal.
Pengalaman mistik tidak mungkin diperoleh apabila mengabaikan dan tidak menaati perintah
syariat yang mengikat terlebih dahulu.19
Abu Bakar Aceh mendefinisikan tarekat sebagai jalan, petunjuk dalam melaksanakan
ibadah dari ajaran yang ditentukan Nabi Muhammad SAW. dan dikerjakan oleh sahabat dan
tabi῾în, turun temurun sampai kepada guru, sambung menyambung dan rantai berantai.20

17
Amin, Samsul Munir. (2014). Ilmu Tasawuf . Jakarta: Amzah. hlm.4.
18
Rosihon, Anwar. (2010). Akhlak Tasawuf. CV Pustaka Setia: Bandung, hlm 147.
19
Schimmel, Annemarie. (1975). Dimensi Mistik Dalam Islam. (Supardi Djoko Darmono, Achadiati Ikram, Siti
Chasanah Buchari, dan Mitia Muzhar, Penerjemah. Jakarta: Pustaka Firdaus. hlm. 123.
20
Aceh, Abu Bakar. (1966). Pengantar Ilmu Tarekat. Cet. Ke-2. Jakarta: FA. H.M Tawi & SonBag. hlm. 48.
Martin Van Bruinessen mendefiniskan tarekat sebagai tahapan paling akhir dari
perkembangan tasawuf. Secara bahasa, tarekat berarti jalan, yang mengacu baik kepada sistem
latihan meditasi maupun amalan (muraqabah, zikir, wirid, dan lainnya), dihubungkan dengan
sederet guru sufi, yang disebut sanad, dan organisasi yang tumbuh di seputar metode yang
khas. Menurut Martin, tarekat tidak hanya sekedar ritual mendekatkan diri kepada Allah SWT.
melalui serangkaian ketentuan zikir, wirid, dan sebagainya, tetapi lebih dari itu. Tarekat adalah
sebuah keluarga besar. Setiap anggota keluarganya menganggap diri mereka bersaudara satu
sama lain.21
Al-Ghazali, dalam Al-Munqiz min al-Ḏalâl menjelaskan bahwa “Tarekat itu awal.
Syarat-syaratnya adalah penyucian hati serta keseluruhan dari apa saja selain Allah Swt. kunci
pembukanya laksana takbir awal shalat yang menenggelamkan hati dalam zikir pada Allah
SWT. dan berakhir fana di dalam-Nya.”22 Imam Al-Gahzali menyebut tarekat dengan istilah
jalan “pengalaman”. Dalam bertarekat, seseorang memperoleh pengalaman spiritual.
Pengalaman spiritual tersebut dapat diperolah melalui kelezatan dalam beragama, merasakan
pertemuan, dan kedekatan dengan Alloh. Kehadirannya dapat dirasakan dan dilihat bukan
melalui panca indra, tetapi melalui perangkat batin (dzauq). Perangkat batin tersebut diasah
melalui pengolahan batin. Bukan hanya jasmani yang membutuhkan olahraga, jiwa manusia
juga membutuhkan olah batin. Pengolahan batin dilakukan dengan mengamalkan formula-
formula yang diberikan oleh mursyid, seperti dengan mengamalkan wirid, zikir, berpuasa, dan
memperbanyak amalan-amalan sunnah.
Tujuan tarekat yaitu sampai kepada Allah, ma῾rifat langsung kepada-Nya, atau bahkan
bersatu kembali dengan-Nya. Ma῾rifat disini bukan berupa pengetahuan semata, melainkan
berupa pengalaman. Pengalaman bertemu dengan Tuhan melalui tanggapan kejiwaannya,
bukan melalui pancaindra atau akal.23
Tarekat secara umum terbagi menjadi dua, yaitu mu῾tabarrah dan ghairu mu῾tabarrah.
Suatu tarekat dinilai sebagai mu῾tabarrah, jika suatu tarekat memadukan antara syariat dan
hakekat, mempunyai silsilah sampai kepada Nabi Muhammad SAW., pemberian ijazah dari
mursyid yang satu terhadap mursyid yang lainnya. Jika suatu tarekat tidak memenuhi kriteria
tarekat mu῾tabarrah, maka tarekat tersebut dinamakan tarekat ghairu mu῾tabarrah.24 Dalam
menilai suatu tarekat termasuk ke dalam tarekat mu῾tabarrah atau ghairu mu῾tabarrah,

21
Bruinessen, Martin van. (1992). Tarekat Naqsabandiyah Di Indonesia. Bandung: Mizan. hlm. 15.
22
Amin, Samsul Munir. (2014). Ilmu Tasawuf . Jakarta: Amzah. hlm. 295.
23
Ibid. hlm. 296.
24
Syukur, Amin. (2003). Tasawuf Kontekstual: Solusi Problem Manusia Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
hlm. 45-46.
parameter utamanya adalah kesesuaian terhadap Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.
serta amalan para sahabat, baik yang dibiarkan atau yang disetujui oleh Nabi Muhammad
SAW.25
Secara umum, pokok dari ajaran semua tarekat diantaranya adalah: Pertama, mempelajari
semua ilmu pengetahuan yang bersangkut paut dengan pelaksanaan semua perintah. Kedua,
mendampingi guru-guru dan teman setarekat untuk melihat bagaimana cara melakuan suatu
ibadah. Ketiga, meninggalkan segala rukhsah dan ta’wîl untuk menjaga dan memelihara
kesempurnaan amal, keempat, menjaga dan mempergunakan waktu serta mengisinya dengan
wirid dan do’a guna membentuk pribadi yang khusu’ dan hudur, dan kelima, mengekang diri
dari hawa nafsu dan agar diri terjaga dari kesalahan.26
Peran kyai sangat besar dalam menyebarkan tarekat di Indonesia. Mereka menyebarkan
dan menanamkan ajaran-ajaran tarekat yang ia bawa di pesantren yang dimiliki atau pesantren
tempat ia mengajar. Maka dari itu, pesantren menjadi tempat muncul dan berkembangnya
tarekat-tarekat di Indonesia. pesantren berakar pada tradisi Islam sendiri, yaitu tradisi tarekat.
Karena pesantren mempunyai kaitan yang erat dengan tempat pendidikan yang khas bagi kaum
sufi. Pendapat ini didasarkan bahwa dalam awal penyiaran Agama Islam di Indonesia lebih
dikenal dengan kegiatan tarekat, yang ditandai dengan munculnya kelompok-kelompok
organisasi tarekat yang melaksanakan zikir dan wirid tertentu. Pemimpin tarekat ini disebut
kiai, yang dalam melaksanakan suluk dilakukan selama 40 hari tinggal bersama kiai di sebuah
masjid untuk dibimbing dalam melakukan ibadah-ibadah tertentu. Di samping itu, kiai juga
biasanya menyediakan kamar-kamar kecil yang letaknya di kiri kanan masjid sebagai tempat
penginapan dan memasak. Dalam kesehariannya, mereka juga diajarkan kitab-kitab agama.
Aktifitas pengajaran kitab-kitab tersebut dinamakan pengajian. Dalam perkembangannya
lembaga pengajian tarekat ini tumbuh dan berkembang menjadi lembaga pesantren.
Menurut Nurcholis Madjid, kata pesantren berakar pada kata “santri”, yang dalam bahasa
Sansekerta berarti melek huruf. Hal ini didasarkan pada fakta sosial bahwa pesantren sebagai
kelas literacy (melek huruf), yaitu orang yang berusaha mendalami kitab-kitab yang
bertuliskan bahasa Arab. Adapun menurut Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI), pesantren
adalah lembaga tafaqquh fi al-dîn, yang mengemban misi meneruskan risalah Nabi Muhammad
SAW. sekaligus melestarikan ajaran Islam yang berhaluan Ahlu al-Sunnah wa al- Jama’ah ‘Alã
Tharîqah al-Mazhahib al-‘Arba’ah. Dhofier (1994: 44) mengungkapkan bahwa lembaga

25
Taufik Abdullah et.al. (2008). “Tarekat”, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.
hlm. 317.
26
Aceh, Abu Bakar. (1966). Pengantar Ilmu Tarekat. Cet. Ke-2. Jakarta: FA. H.M Tawi & SonBag. hlm. 50.
pendidikan pesantren memiliki beberapa elemen dasar yang merupakan ciri khas dari pesantren
itu sendiri. Elemen-elemen itu adalah pondok atau asrama, masjid sebagai tempat pengajaran
dan ritual Islam, santri, pengajaran kitab-kitab agama dengan kitab-kitab yang berbahasa Arab
klasik atau lebih dikenal dengan nama kitab kuning, dan kiai atau ustadz.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengalaman adalah hal yang pernah
dijalani, dialami, dan dirasakan. Pengalaman adalah sesuatu atau hal yang dihasilkan dari suatu
proses pembelajaran dalam mencapai tujuan. Adapun spiritual adalah hal yang berhubungan
dengan atau bersifat kejiwaan (rohani, batin). Menurut Viktor Frankl, spiritualitas didefinisikan
sebagai “hati nurani”. Hati nurani adalah bentuk spiritualitas alam bawah sadar, yang sangat
berbeda dengan insting-insting alam bawah sadar. Hati nurani bukan hanya sekedar salah satu
faktor diantara bermacam-macam faktor. Dia adalah inti dari keberadaan manusia dan
merupakan sumber integritas personal kita.27
Tarekat dan pengalaman spiritual adalah dua hal yang saling berkaitan. Tarekat
merupakan sebuah jalan yang dilalui untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam menempuh
perjalanan tersebut, seorang salik d melalui maqâmât atau stasiun-stasiun dan metode
penyucian jiwa, zikir, tafakur, meditasi, qiyam al-lail, dan sebagainya. Perjalanan spiritual
menuju Tuhan merupakan pengalaman pribadi yang tidak dapat diperoleh melalui panca indra.
Hasil dari perjalanan itu berupa pengalaman spiritual yang diperoleh dan dirasakan setelah
seseorang mampu melalui tahapan-tahapan dari perjalanan menuju Tuhan.28
Tahapan-tahapan yang dilaui ketika menuju Tuhan untuk memperoleh sebuah
pengalaman spiritual tidak terlepas dari pembahasan mengenai “maqâmât” dan “ahwâl,” yang
berarti tahap-tahap perjalanan atau stasiun. Menurut para sufi, terdapat perbedaan di antara
pengertian maqâmât dan ahwâl. Maqâmât adalah tahap-tahap perjalanan spiritual yang
dilakukan oleh sufi dengan gigih dan disengaja untuk memperolehnya. Perjalanan ini pada
hakekatnya adalah perjalanan spiritual yang panjang dan melelahkan untuk melawan hawa
nafsu, termasuk ego manusia, yang dipandang sebagai penghalang terbesar dan dianggap
sebagai salah satu kendala menuju Tuhan. Seorang sufi memerlukan waktu puluhan tahun
untuk berpindah dari stasiun satu ke stasiun lainnya. Adapun Ahwal, diperoleh dan dirasakan
secara spontan sebagai hadiah dari Tuhan. Diantara ahwal yang sering disebut adalah rasa

27
Wahab, Abdul Jamil. (Ed.). (2015). Indeks Kesalehan Sosial Masyarakat indonesia. Perpustakaan Nasional:
Katalog Dalam Terbitan (KDT). hlm. 14.
28
Kartanegara, Mulyadhi. (2006). Menyelami Lubuk Tasawuf. Jakarta: Erlangga. hlm. 175.
takut, syukur, rendah hati, takwa, ikhlas, dan gembira. Ahwâl dialami secara spontan dan
berlangsung sebentar tanpa usaha dan perjuangan keras, seperti maqamat.29
Maka dari itu, tarekat berkaitan dengan pengalaman spiritual. Tarekat sebagai praktek,
usaha, dan perjalanan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. sedangkan
pengalaman spiritual adalah hasil dari syariat sebagai aturan beribadah dan tujuan terakhirnya
adalah mendapatkan hasil makrifat kepada Allah.

1.8 Kajian Terdahulu


Kajian mengenai tarekat telah banyak di lakukan oleh para akademisi. Terdapat
beberapa buku mengenai tarekat. Di antaranya adalah buku Martin Van Bruinessen, yang
berjudul "Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat". Akan tetapi, di dalam buku tersebut Martin
Van Bruinessen tidak membahas tentang Tarekat Qadiriyah Al-Irakiyah. Selain itu, Martin Van
Bruinessen juga tidak membahas tentang Pesantren Al-Hikam di Depok. Sepengetahuan
penulis, belum pernah ada yang mengkaji Tarekat Qadiriyah al Irakiyah sebagai karya skripsi
sehingga penulis tertarik untuk menulis skripsi ini. Skripsi ini berjudul “Pengaruh Tarekat
Qadiriyah Al-Irakiyah Terhadap Pengalaman Spiritual Pengikutnya di Pesantren Al Hikam
Depok. Kajian mengenai peran suatu tarekat terhadap pengalaman spiritual pengikutnya belum
pernah ada yang meneliti. Di dalam penelitian ini, penulis akan meneliti pengaruh Tarekat
Qadiriyah al Irakiyah terhadap pengalaman spiritual pengikutnya, yang mempunyai latar
belakang hafidz di Pesantren Al Hikam Depok.

1.9 Sistematika Penulisan


Penulisan skripsi ini terdiri atas empat bab dan setiap bab terdiri atas beberapa subbab.
Bab I adalah Pendahuluan, yang terdiri atas latar belakang, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup penulisan, metode penelitian, landasan teori,
kajian terdahulu, dan sistematika penulisan.
Bab II adalah sejarah dan profil Pesantren Al-Hikam Depok, yang terdiri atas sejarah
berdirinya pesantren, biografi pendiri pesantren, gambaran letak geografis pesantren, asrama
di lingkungan pesantren, masjid, santri, kurikulum pendidikan di pesantren, kyai beserta dewan
asatidz, dan lembaga pendidikan di pesantren, meliputi Tempat Pendidikan Quran dan Sekolah
Tinggi Kuliyyatul Quran.

29
Ibid. hlm. 180.
Bab III adalah Tarekat Qadiriyah Al-Irakiyah di Pesantren Al-Hikam Depok, yang terdiri
atas Tarekat Qadiriyah Al-Irakiyah, biografi Syekh Abdullah Al-Iraki, sejarah dan
perkembangan Tarekat Qadiriyah Al-Irakiyah, mursyid Tarekat Qadiriyah al Irakiyah,
pengikut Tarekat Qadiriyah Al-Irakiyah, ajaran, amalan, kitab-kitab, dan ritual Tarekat
Qadiriyah Al-Irakiyah di Pesantren Al-Hikam Depok.
Bab IV adalah pengaruh Tarekat Qadiriyah Al-Irakiyah terhadap pengalaman spiritual
pengikutnya di Pesantren Al-Hikam Depok, yaitu pengalaman spiritual yang didapatkan
setelah mengikuti tarekat baik berupa nikmat atau cobaan
Bab V adalah penutup, yang terdiri atas kesimpulan dan saran.

Anda mungkin juga menyukai