Anda di halaman 1dari 16

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi pada tenggorokan
terutama pada usia muda. Penyakit ini terjadi disebabkan peradangan pada tonsil oleh karena
kegagalan atau ketidaksesuaian pemberian antibiotik pada penderita tonsilitis akut.
Ketidaktepatan terapi antibiotik pada penderita tonsilitis akut akan merubah mikroflora pada
tonsil, merubah struktur pada kripta tonsil dan adanya infeksi virus menjadi faktor predisposisi
bahkan faktor penyebab terjadinya tonsilitis kronis. 1
Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di 7 provinsi di Indonesia pada tahun
1994-1996, prevalensi tonsilitis kronis 4,6% tertinggi setelah nasofaringitis akut (3,8%).
Sedangkan pada penelitian di RSUP dr. Hasan Sadikin pada periode April sampai dengan
Maret 1998 ditemukan 1024 pasien tonsilitis kronis atau 6,75% dari seluruh jumlah kunjungan.
Sedangkan penelitian yang dilakukan di Malaysia pada Poli THT Rumah Sakit Sarawak selama
1 tahun dijumpai 8.118 pasien dalam jumlah penderita penyakit tonsilitis kronis menempati
urutan keempat yakni sebanyak 657 (81%) penderita. 2
Tonsilitis dapat menyebar dari orang ke orang melalui kontak tangan, menghirup udara
setelah seseorang dengan tonsilitis bersin atau berbagi peralatan atau sikat gigi dari orang yang
terinfeksi. Anak-anak dan remaja berusia 5-15 tahun yang paling mungkin untuk mendapatkan
tonsilitis, tetapi dapat menyerang siapa saja. Hanya sekitar 30 % dari tonsilitis pada anak
disebabkan oleh radang tenggorokan dan hanya 10% dari tonsilitis pada orang dewasa
disebabkan oleh radang tenggorokan.2
Tonsilitis kronis menempati urutan kelima (10,5 persen pada laki-laki, 13,7 persen
pada perempuan). Mengingat angka kejadian yang tinggi dan dampak yang ditimbulkan
dapat mempengaruhi kualitas hidup anak, maka pengetahuan yang memadai mengenai
tonsilitis kronis diperlukan guna penegakan diagnosis dan terapi yang tepat dan rasional.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1.2.1 Bagaimana definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi dari tonsillitis kronis?
1.2.2 Bagaimana penegakkan diagnosis dan penatalaksanaan dari tonsillitis kronis?

1.3 TUJUAN PENULISAN


Mengetahui definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi dari tonsillitis kronis.
1.3.1
Mengetahui penegakkan diagnosis dan penatalaksanaan dari tonsillitis kronis.
1.3.2

1.4 MANFAAT PENULISAN


Meningkatkan pengetahuan dan wawasan penulis terkait tonsilitis kronik.
1.4.1
Sebagai proses pembelajaran bagi Dokter Muda yang sedang mengikuti
1.4.2
kepaniteraan klinik bagian ilmu penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorok.
2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ANATOMI FARING


Faring terletak dibelakang cavum nasi, mulut, dan laring. Bentuknya mirip corong
dengan bagian atasnya yang lebar terletak di bawah cranium dan bagian bawahnya yang
sempit dilanjutkan sebagai eosophagus setinggi vertebra cervicalis enam. Dinding faring
terdiri atas tiga lapis yaitu mukosa, fibrosa, dan muskular.3
Berdasarkan letak, faring dibagi atas tiga bagian yaitu: nasofaring, orofaring, dan
laringofaring.

GAMBAR 2.1. PEMBAGIAN FARING

2.1.1. Nasofaring
Nasofaring nama lain Rhinofaring/Epifaring terletak dibelakang rongga hidung, di
atas palatum molle. Nasopharyng mempunyai atap, dasar, dinding anterior, dinding
posterior, dan dinding lateral. Bagian atap dibentuk oleh corpus ossis sphenoidalis dan pars
basilaris ossis occipitalis. Kumpulan jaringan limfoid yang disebut tonsila pharyngeal, yang
terdapat didalam submucosa. Bagian dasar dibentuk oleh permukaan atas palatum molle
yang miring. Dinding anterior dibentuk oleh aperture nasalis posterior, dipisahkan oleh
pinggir posterior septum nasi. Dinding posterior membentuk permukaan miring yang
berhubungan dengan atap. Dinding ini ditunjang oleh arcus anterior atlantis. Dinding lateral
pada tiap-tiap sisi mempunyai muara tuba auditiva ke faring. Kumpulan jaringan limfoid di
dalam submukosa di belakang muara tuba auditiva disebut tonsil tuba (tonsil Gerlach).4
3

GAMBAR 2.2. ANATOMI FARING

2.1.2. Orofaring
Orofaring disebut juga mesofaring/faring, dengan batas atasnya adalah palatum
mole, batas bawahnya adalah tepi atas epiglotis, kedepan adalah rongga mulut, sedangkan
kebelakang adalah vertebra servikal. Orofaring mempunyai atap, dasar, dinding anterior,
dinding posterior, dan dinding lateral. Bagian atap dibentuk oleh permukaan bawah palatum
molle dan isthmus pharygeus. Kumpulan kecil jaringan limfoid terdapat di dalam
submukosa permukaan bawah palatum molle. Bagian dasar dibentuk oleh sepertiga
posterior lidah dan celah antara lidah dan permukaan anterior epiglotis. Membrana mukosa
yang meliputi sepertiga posterior lidah berbentuk irregular, yang disebabkan oleh adanya
jaringan limfoid dibawahnya, yang disebut tonsil linguae. Membrana mukosa melipat dari
lidah menuju ke epiglotis. Pada garis tengah terdapat elevasi, yang disebut plica glosso
epiglotica mediana, dan dua plica glosso epiglotica lateralis. Lekukan kanan dan kiri plica
glosso epiglotica mediana disebut vallecula.4
Dinding anterior terbuka ke dalam rongga mulut melalui isthmus oropharynx
(isthmus faucium). Dibawah isthmus ini terdapat pars pharyngeus linguae. Dinding
posterior disokong oleh corpos vertebra cervicalis kedua dan bagian atas corpus vertebra
cervicalis ketiga. Pada kedua sisi dinding lateral terdapat arcus palate glossus dengan
tonsila palatina diantaranya.4
Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior pharynx, tonsil
palatina, fossa tonsila serta arcus pharynx anterior dan posterior, uvula, tonsila lingual dan
foramen sekum.
1. Fossa Tonsilaris
4

Fossa tonsilaris adalah sebuah recessus berbentuk segitiga pada dinding lateral
oropharynx diantara arcus palatoglossus di depan dan arcus palatopharyngeus dibelakang.
Fossa ini ditempati oleh tonsila palatina. Batas lateralnya adalah m. konstriktor pharynx
superior. Pada batas atas yang disebut kutub atas (upper pole) terdapat suatu ruang kecil
yang dinamakan fossa supra tonsila. Fossa ini berisi jaringan ikat jarang dan biasanya
merupakan tempat nanah memecah keluar bila terjadi abses. Fossa tonsila diliputi oleh fasia
yang merupakan bagian dari fasia bukopharynx, dan disebut kapsul yang sebenarnya bukan
merupakan kapsul yang sebenarnya.4

GAMBAR 2.3. ANATOMI OROFARING

2. Tonsil
Tonsil adalah masa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan
ikat dengan kriptus didalamnya. Terdapat tiga macam tonsil yaitu tonsila faringeal (tonsila
nasofaring/adenoid), tonsil palatine (tonsila faucial/amandel) dan tonsila lingual yang
ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer. Tonsil palatina yang
biasanya disebut tonsil saja terletak didalam fossa tonsil. Pada kutub atas tonsil sering kali
ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa kantong pharynx yang kedua. Kutub
bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah. Tonsil faringeal dalam kapsulnya terletak
pada mukosa dinding lateral rongga mulut. Di depan tonsil, arkus faring anterior disusun
oleh otot palatoglosus, dan dibelakang dari arkus faring posterior disusun oleh otot
palatofaringeus.4
5

Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah yang
disebut kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel skuamosa yang juga meliputi
kriptus. Didalam kriptus biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri
dan sisa makanan. Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia pharynx yang sering juga
disebut kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot pharynx, sehingga mudah
dilakukan diseksi pada tonsilektomi.4

GAMBAR 2.4. ANATOMI TONSIL

Tonsil mendapat darah dari arteri palatina minor, arteri palatine asendens, cabang
tonsil arteri maksila eksterna, arteri pharynx asendens dan arteri lingualis dorsal. Tonsil
lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum glosoepiglotica. Di
garis tengah, di sebelah anterior masa ini terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut
yang terbentuk oleh papilla sirkum valata. Tempat ini kadang-kadang menunjukkan
penjalaran duktus tiroglossus dan secara klinik merupakan tempat penting bila ada masa
tiroid lingual (lingual thyroid) dan kista duktus tiroglosus.4
Vena-vena menembus m.constrictor pharyngeus superior dan bergabung dengan
vena palatine eksterna, vena pharyngealis, atau vena facialis. Aliran limfe pembuluh-
pembuluh limfe bergabung dengan nodi lymphoidei profundi. Nodus yang terpenting dari
kelompok ini adalah nodus jugulodigastricus, yang terletak di bawah dan belakang angulus
mandibulae. 4

2.1.3. Laryngofaring
Laryngofaring nama lain hipofaring/ laring terletak di belakang aditus larynges dan
permukaan posterior larynx, dan terbentang dari pinggir atas epiglotis sampai dengan
pinggir bawah cartilage cricoidea. Laryngofaring mempunyai dinding anterior, posterior
dan lateral. Dinding anterior dibentuk oleh aditus laryngis dan membrane mukosa yang
meliputi permukaan posterior laring. Dinding posterior disokong oleh corpus vertebra
cervicalis ketiga, keempat, kelima, dan keenam. Dinding lateral disokong oleh cartilage
thyroidea dan membrane thyrohyoidea. Sebuah alur kecil tetapi penting pada membrana,
disebut fossa piriformis, terletak di kanan dan kiri aditus laryngis.4
2.2. FISIOLOGI TONSIL
6

Tonsila palatina adalah suatu jaringan limfoid yang terletak di fossa tonsilaris di
kedua sudut orofaring dan merupakan salah satu bagian dari cincin Waldeyer. Tonsila
palatina lebih padat dibandingkan jaringan limfoid lain. Permukaan lateralnya ditutupi oleh
kapsul tipis dan di permukaan medial terdapat kripta. Tonsila palatina merupakan jaringan
limfoepitel yang berperan penting sebagai sistem pertahanan tubuh terutama terhadap
protein asing yang masuk ke saluran makanan atau masuk ke saluran nafas (virus, bakteri,
dan antigen makanan). Mekanisme pertahanan dapat bersifat spesifik atau non spesifik.
Apabila patogen menembus lapisan epitel maka sel-sel fagositik mononuklear pertama-
tama akan mengenal dan mengeliminasi antigen.5
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfoid, 0,1 - 0,2% dari
kesuluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa. Proporsi limfosit B dan T pada tonsil adalah
50%:50%, sedangkan di darah 55-75%:15-30%. Pada tonsil terdapat sistem imun kompleks
yang terdiri atas sel M (sel membran), makrofag, sel dendrit dan antigen presenting cells
yang berperan dalam proses transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi APCs
(sintesis immunoglobulin spesifik). Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan
sel pembawa Ig G. Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk
diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai dua fungsi
utama yaitu menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif dan sebagai organ
produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik. Dalam keadaan
normal tonsil membantu mencegah terjadinya infeksi. Tonsil bertindak seperti filter untuk
memperangkap bakteri dan virus yang masuk ke tubuh melalui mulut dan sinus. Tonsil juga
menstimulasi sistem imun untuk memproduksi antibodi untuk membantu melawan infeksi.
Aktivitas imunologi terbesar tonsil ditemukan pada usia 3 – 10 tahun.5

2.3. DEFINISI
Tonsilitis kronis secara umum diartikan sebagai infeksi atau inflamasi pada tonsila
palatina yang menetap. Tonsilitis kronis disebabkan oleh serangan ulangan dari tonsilitis
akut yang mengakibatkan kerusakan yang permanen pada tonsil. Organisme patogen dapat
menetap untuk sementara waktu ataupun untuk waktu yang lama dan mengakibatkan
gejala-gejala akut kembali ketika daya tahan tubuh penderita mengalami penurunan.
Biasanya terjadi pembesaran tonsil sebagai akibat hipertrofi folikel-folikel getah bening.
Pada anak-anak biasanya disertai hipertrofi adenoid sehingga sering disebut adenotonsilitis
kronik. Tonsilitis kronik timbul karena rangsangan yang menahun dari rokok, beberapa
jenis makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik, dan pengobatan
tonsilitis akut yang tidak adekuat.6
7

GAMBAR 2.5. TONSILITIS

2.4. EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) masih merupakan penyebab
tersering morbiditas dan mortalitas pada anak. Tonsilitis adalah penyakit yang umum
terjadi. Hampir semua anak di Amerika Serikat mengalami setidaknya satu episode
tonsilitis. Pada penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Serawak di Malaysia diperoleh
657 data penderita tonsilitis kronis dan didapatkan pada pria 342 (52%) dan wanita 315
(48%) (Sing, 2007). Sebaliknya penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Pravara di India
dari 203 penderita tonsilitis kronis, sebanyak 98 (48%) berjenis kelamin pria dan 105
(52%) berjenis kelamin wanita.7
Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di tujuh provinsi di Indonesia pada
bulan September tahun 2012, prevalensi tonsilitis kronik tertinggi setelah nasofaringitis
akut yaitu sebesar 3,8%, prevalensi tonsillitis kronik sebesar 3,8% tertinggi kedua setelah
nasofaringitis akut (4,6%). Di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar jumlah
kunjungan baru dengan tonsillitis kronik mulai Juni 2008–Mei 2009 sebanyak 63 orang.
Apabila dibandingkan dengan jumlah kunjungan baru pada periode yang sama, maka angka
ini merupakan 4,7% dari seluruh jumlah kunjungan baru. 7
Tonsilitis paling sering terjadi pada anak-anak, namun jarang terjadi pada anak-anak
muda dengan usia lebih dari 12 tahun. Tonsilitis yang disebabkan oleh spesies
Streptococcus biasanya terjadi pada anak usia 5-15 tahun, sedangkan tonsilitis virus lebih
sering terjadi pada anak-anak muda. Data epidemiologi menunjukkan bahwa penyakit
tonsilitis kronis merupakan penyakit yang sering terjadi pada usia 5-10 tahun dan dewasa
muda usia 15-25 tahun. Dalam suatu penelitian prevalensi karier Group A Streptokokus
yang asimptomatis yaitu: 10,9% pada usia kurang dari 14 tahun, 2,3% usia 15-44 tahun,
dan 0,6 % usia 45 tahun keatas. Menurut penelitian yang dilakukan di Skotlandia, usia
tersering penderita tonsilitis kronis adalah kelompok umur 14-29 tahun, yakni sebesar 50
%. Sedangkan Kisve pada penelitiannya memperoleh data penderita tonsilitis kronis
terbanyak sebesar 294 (62 %) pada kelompok usia 5-14 tahun.7
2.5. ETIOLOGI
Tonsilitis terjadi dimulai saat kuman masuk ke tonsil melalui kriptanya secara
aerogen yaitu droplet yang mengandung kuman terhisap oleh hidung kemudian nasofaring
8

terus masuk ke tonsil maupun secara foodborn yaitu melalui mulut masuk bersama
makanan. Etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh serangan ulangan dari tonsilitis akut
yang mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil, atau kerusakan ini dapat terjadi bila
fase resolusi tidak sempurna. Beberapa organisme dapat menyebabkan infeksi pada tonsil,
termasuk bakteri aerobik dan anaerobik, virus, jamur, dan parasit. Pada penderita tonsilitis
kronis jenis kuman yang paling sering adalah Streptokokus beta hemolitikus grup A
(SBHGA). Streptokokus grup A adalah flora normal pada orofaring dan nasofaring. Namun
dapat menjadi patogen infeksius yang memerlukan pengobatan. Selain itu infeksi juga
dapat disebabkan Haemophilus influenzae, Staphylococcus aureus, S. Pneumoniae dan
Morexella catarrhalis.8
Dari hasil penelitian Suyitno dan Sadeli (1995) kultur apusan tenggorok didapatkan
bakteri gram positif sebagai penyebab tersering Tonsilofaringitis Kronis yaitu Streptokokus
alfa kemudian diikuti Staphylococcus aureus, Streptokokus beta hemolitikus grup A,
Staphylococcus epidermidis dan kuman gram negatif berupa Enterobakter, Pseudomonas
aeruginosa, Klebsiella dan E. coli. Infeksi virus biasanya ringan dan dapat tidak
memerlukan pengobatan yang khusus karena dapat ditangani sendiri oleh ketahanan tubuh.
Penyebab penting dari infeksi virus adalah adenovirus, influenza A, dan herpes simpleks
(pada remaja). Selain itu infeksi virus juga termasuk infeksi dengan coxackievirus A, yang
menyebabkan timbulnya vesikel dan ulserasi pada tonsil. Epstein-Barr yang menyebabkan
infeksi mononukleosis, dapat menyebabkan pembesaran tonsil secara cepat sehingga
mengakibatkan obstruksi jalan napas yang akut. Infeksi jamur seperti Candida sp tidak
jarang terjadi khususnya di kalangan bayi atau pada anak-anak dengan
immunocompromised. 8

GAMBAR 2.6 ETIOLOGI TONSILITIS KRONIS


2.6. PATOFISIOLOGI
Tonsillitis berawal dari penularan yang terjadi melalui droplet dimana kuman
menginfiltrasi lapisan epitel. Adanya infeksi berulang pada tonsil menyebabkan pada suatu
waktu tonsil tidak dapat membunuh semua kuman sehingga kuman kemudian bersarang di
9

tonsil. Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang
infeksi (fokal infeksi) dan suatu saat kuman dan toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh
misalnya pada saat keadaan umum tubuh menurun. Bila epitel terkikis maka jaringan
limfoid superkistal bereaksi dimana terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit
polimorfonuklear. Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa
juga jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga
kripta melebar. Secara klinis kripta ini tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus
sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan di
sekitar fossa tonsilaris. Pada anak disertai dengan pembesaran kelenjar limfa
submadibularis.9

2.7. FAKTOR PREDISPOSISI


Sejauh ini belum ada penelitian lengkap mengenai keterlibatan faktor genetik
maupun lingkungan yang berhasil dieksplorasi sebagai faktor risiko penyakit Tonsilitis
Kronis. Pada penelitian yang bertujuan mengestimasi konstribusi efek faktor genetik dan
lingkungan secara relatif penelitiannya mendapatkan hasil bahwa tidak terdapat bukti
adanya keterlibatan faktor genetik sebagai faktor predisposisi penyakit Tonsilitis Kronis.
Beberapa Faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronik yaitu: rangsangan menahun
(kronik) rokok dan beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca,
kelelahan fisik serta pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat. 10

2.8. MANIFESTASI KLINIS


Manifestasi klinik sangat bervariasi. Tanda-tanda bermakna adalah nyeri
tenggorokan yang berulang atau menetap dan obstruksi pada saluran cerna dan saluran
napas. Gejala-gejala konstitusi dapat ditemukan seperti demam, namun tidak mencolok.
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata, kripta
melebar dan beberapa kripta terisi oleh detritus. Terasa ada yang mengganjal di
tenggorokan, tenggorokan terasa kering dan napas yang berbau. Pada tonsillitis kronik juga
sering disertai halitosis dan pembesaran nodul servikal. 11
Pada umumnya terdapat dua gambaran tonsil yang secara menyeluruh dimasukkan
kedalam kategori tonsillitis kronik, yang pertama berupa pembesaran tonsil karena
hipertrofi disertai perlekatan kejaringan sekitarnya, kripta melebar di atasnya tertutup oleh
eksudat yang purulent. Yang kedua tonsil tetap kecil, bisanya mengeriput, kadang-kadang
seperti terpendam dalam “tonsil bed” dengan bagian tepinya hiperemis, kripta melebar dan
diatasnya tampak eksudat yang purulent. 11
Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur jarak
antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial kedua tonsil,
maka gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi:
T0 : Tonsil telah diangkat/ post tonsilektomi
T1 : < 25 % volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T2 : 25 - 50 % volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T3 : 50 - 75 % volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
10

T4 : > 75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring 11

GAMBAR 2.7 DERAJAT PEMBESARAN TONSIL

2.9. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita Tonsilitis Kronis
adalah sebagai berikut: 12

2.9.1. Mikrobiologi
Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk mengeradikasi kuman
patogen dan mencegah kekambuhan infeksi pada tonsil. Kegagalan mengeradikasi
organisme patogen disebabkan ketidaksesuaian pemberian antibiotika atau penetrasi
antibiotika yang inadekuat. Gold standard pemeriksaan tonsil adalah kultur dari dalam
tonsil. Bakteri penyebab tonsilitis tersering adalah Grup A streptococcus B hemolitikus.
Daerah tenggorokan banyak mengandung flora normal. Permukaan tonsil mengalami
kontaminasi dengan flora normal di saluran nafas atas. Patogen yang didapatkan dari
daerah ini bisa jadi bukan merupakan bakteri yang menginfeksi tonsil. Pemeriksaan kultur
dari permukaan tonsil saja tidak selalu menunjukkan bakteri patogen yang sebenarnya,
sehingga pemeriksaan bakteriologi dapat dilakukan dengan swab jaringan inti tonsil.
Pemeriksaan kultur dari inti tonsil dapat memberikan gambaran penyebab tonsilitis yang
lebih akurat. Pemeriksaan kultur dari inti tonsil ini dilakukan sesaat setelah tonsilektomi
atau dengan aspirasi jarum halus dengan pasien diberikan narkose lokal terlebih dahulu. 12

2.9.2. Histopatologi
Penelitian yang dilakukan Ugras dan Kutluhan tahun 2008 di Turkey terhadap 480
spesimen tonsil, menunjukkan bahwa diagnosa Tonsilitis Kronis dapat ditegakkan
berdasarkan pemeriksaan histopatologi dengan tiga kriteria histopatologi yaitu ditemukan
ringan- sedang infiltrasi limfosit, adanya Ugra’s abses dan infitrasi limfosit yang difus.
Kombinasi ketiga hal tersebut ditambah temuan histopatologi lainnya dapat dengan jelas
menegakkan diagnosa Tonsilitis Kronis. 12
11

2.10. DIAGNOSIS
Diagnosis untuk tonsillitis kronik dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis
secara tepat dan cermat serta pemeriksaan fisik yang dilakukan secara menyeluruh untuk
menyingkirkan kondisi sistemik atau kondisi yang berkaitan yang dapat membingungkan
diagnosis. Pada anamnesis, penderita biasanya datang dengan keluhan tonsilitis berulang
berupa nyeri tenggorokan berulang atau menetap, ada rasa yang mengganjal ditenggorok,
ada rasa kering di tenggorok, napas berbau, iritasi pada tenggorokan, dan obstruksi pada
saluran cerna dan saluran napas, yang paling sering disebabkan oleh adenoid yang hipertofi.
Gejala-gejala konstitusi dapat ditemukan seperti demam, namun tidak mencolok. Pada anak
dapat ditemukan adanya pembesaran kelanjar limfa submandibular. 12
GAMBAR 2.8 TONSIL T3/T3

Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata,
kriptus melebar dan beberapa kripta terisi oleh detritus. Pada umumnya terdapat dua
gambaran tonsil yang secara menyeluruh dimasukkan kedalam kategori tonsillitis kronik.
Pada Biakan tonsil dengan penyakit kronis biasanya menunjukkan beberapa organisme
yang virulensinya relative rendah dan pada kenyataannya jarang menunjukkan streptokokus
beta hemolitikus. 12
2.11. DIAGNOSIS BANDING
2.11.1. Tonsillitis difteri
Disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Tidak semua orang yang
terinfeksi oleh kuman ini akan sakit. Keadaan ini tergantung pada titer antitoksin dalam
darah. Titer antitoksin sebesar 0,03 sat/cc drah dapat dianggap cukup memberikan dasar
imunitas. Tonsillitis difteri sering ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun dan
frekuensi tertinggi pada usia 5 tahun. Gejala klinik terbagi dalam 3 golongan yaitu: umum,
lokal, dan gejala akibat eksotoksin. Gejala umum sama seperti gejala infeksi lainnya yaitu
kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah,
nadi lambat serta keluhan nyeri menelan. Gejala lokal yang tampak berupa tonsil
membengkak ditutupi bercak putih kotor yang makin lama makin meluas dan bersatu
12

membentuk membrane semu (pseudomembran) yang melekat erat pada dasarnya sehingga
bila diangkat akan mudah berdarah. Jika infeksinya berjalan terus, kelenjar limfa leher akan
membengkak sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai leher sapi (bull neck).
Gejala akibat eksotoksin akan menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung
dapat terjadi miokarditis sampai decompensatio cordis, pada saraf kranial dapat
menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernapasan dan pada ginjal
menimbulkan albuminuria. Untuk memastikan difteri tonsil dapat diberikan obat kumur
(betadine kumur 3 kali 1 sendok makan kumur hanya 5 detik selama 2 hari), tiga hari control
13
ulang untuk evaluasi detritus beslagnya. Apabila beslag hilang, maka itu bukan difteri.
GAMBAR 2.9 TONSILITIS DIFTERI

2.11.2. Faringitis
Merupakan peradangan dinding laring yang dapat disebabkan oleh virus, bakteri,
alergi, trauma dan toksin. Infeksi bakteri dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang
hebat, karena bakteri ini melepaskan toksin ektraseluler yang dapat menimbulkan demam

reumatik, kerusakan katup jantung, glomerulonephritis akut karena fungsi glomerulus


terganggu akibat terbentuknya kompleks antigen antibodi. Gejala klinis secara umum pada
faringitis berupa demam, nyeri tenggorok, sulit menelan, dan nyeri kepala. Pada
pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan tonsil hiperemis dan terdapat eksudat di
permukaannya. Beberapa hari kemudian timbul bercak petechiae pada palatum dan faring.
Kelenjar limfa anterior membesar, kenyal, dan nyeri pada penekanan. 13
GAMBAR 2.10 FARINGITIS

2.11.3. Faringitis Tuberkulosis


Merupakan proses sekunder dari tuberculosis paru. Gejala klinik pada faringitis
tuberculosis berupa kedaan umum pasien yang buruk karena anoreksia dan odinofagia.
Pasien mengeluh nyeri hebat ditenggorok, nyeri ditelinga atau otalgia serta pembesaran
kelanjar limfa servikal. Penyakit-penyakit diatas, keluhan umumnya berhubungan dengan
nyeri tenggorok dan kesulitan menelan. Diagnosa pasti berdasarkan pada pemeriksaan
serologi, hapusan jaringan atau kultur, X-ray dan biopsy. 13

2.12. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan untuk tonsillitis kronik terdiri atas terapi medikamentosa dan
operatif.
2.12.1. Medikamentosa
Terapi ini ditujukan pada hygiene mulut dengan cara berkumur atau obat isap,
pemberian antibiotic, pembersihan kripta tonsil dengan alat irigasi gigi atau oral. Pemberian
13

antibiotika sesuai kultur. Pemberian antibiotika yang bermanfaat pada penderita tonsilitis
kronis yaitu antibiotik golongan penisilin merupakan antibiotik pilihan pada sebagian besar
kasus karena efektif dan harganya lebih murah. Namun, pada anak dibawah 12 tahun,
golongan sefalosporin menjadi pilihan utama karena lebih efektif terhadap streptococcus.
Golongan makrolida dapat digunakan hanya jika terdapat alergi terhadap penisilin, hal ini
disebabkan efek samping yang ditimbulkan golongan makrolida lebih banyak. 14

2.12.2. Operatif
Untuk terapi pembedahan dilakukan dengan mengangkat tonsil (tonsilektomi).
Tonsilektomi dilakukan bila terapi konservatif gagal. 14
1. Indikasi Tonsilektomi
Indikasi umum:
Jika Tonsil menjadi sumber infeksi dimana resiko terhadap tubuh lebih besar
daripada resiko operasi, dapat mulai umur 3-60 tahun.
Indikasi Khusus:
 Tonsillitis akut yang berulang ( Terjadi 4-5 episode atau lebih infeksi tonsil
per tahun ).
 Tonsilitis dengan komplikasi ( Abses peritonsilar / Quincy, parafaring,
sepsis )
 Tonsilitis dengan eksaserbasi akut.
 Tonsilitis sebagai carrier pada tonsilitis difteri.
 Tonsilitis sebagai fokal infeksi.
 Tonsilitis permagna.
 Tumor tonsil benigna.14
Adapun indikasi tonsilektomi menurut The American of Otolaryngology-head and
Neck Surgery Clinical Indicators Compendium 1995 adalah: serangan tonsillitis lebih dari
3x pertahun walaupun telah mendapat terapi yang adekuat. Tonsil hipertrofi yang
menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan gangguan pertumbuhan orofacial.
Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan napas,
sleepapneu, gangguan menelan, gangguan berbicara dan cor pulmonale. Rhinitis dan
sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak berhasil hilang dengam
pengobatan. Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan. Tonsillitis berulang yang
disebabkan oleh bakteri grup A Streptokokus beta hemolitikus. Hipertrofi tonsil yang
dicurigai adanya keganasan. Otitis media efusa/otitis media supuratif. 14

GAMBAR 2.11 TONSILEKTOMI


14

2. Kontraindikasi Tonsilektomi
Terdapat beberapa keadaan yang disebut sebagai kontraindikasi, namun bila
sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap memperhitungkan
imbang manfaat dan risiko. Keadaan tersebut yakni : gangguan perdarahan, risiko anestesi
yang besar atau penyakit berat, anemia, dan infeksi akut yang berat, antara lain :
 Infeksi akut saluran nafas, resiko pada anastesi, kardiovaskular dan respirasi.
 Hemofilia dan/atau trombositopenia.
 Anemia, diobati dulu sampai Hb >10 gr%.
 DM, TBC, kelainan jantung / ginjal, epidemic poliomyelitis.
 Umur <3 Tahun.
 Hamil dan menstruasi.9,18

3. Persiapan Pasien Tonsilektomi


Ketika dicapai keputusan untuk melakukan tonsilektomi harus disadari bahwa
mungkin tindakan ini merupakan prosedur pembedahan yang pertama kali bagi pasien.
Riwayat penyakit yang komplit dan pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan dengan
perhatian khusus terhadap adanya gangguan yang bersifat diturunkan terutama
kecenderungan terjadinya pendarahan. Disamping itu riwayat saudara pasien yang mungkin
mengalami kesulitan dengan anastesi umum sebaiknya diketahui untuk menyingkirkan
kemungkinan adanya hipertermia maligna. Pemeriksaan Lab seperti waktu tromboplastin
parsial, waktu protrombin, jumlah trombosit, pemeriksaan hitung darah komplit dan
urinalisa sebaiknya dilakukan. Selain itu pemeriksaan antistreptolisin titer O (ASO)
dilakukan untuk mengetahui tingkat infeksi serta sebagai salah satu indikasi tonsilektomi.
Antisteptolisin meningkat pada minggu pertama dan mencapai puncaknya pada minggu
ketiga sampai keenam setelah infeksi. Pemeriksaan dikatakan positif bila konsentrasi ASO
dalam serum darah lebih dari 200 IU/ml. Selain itu pemeriksaan ragiologi dada dan
elektrokardiogram sebaiknya dilakukan sebelum pembedahan. 14

4. Komplikasi Tonsilektomi
Komplikasi saat pembedahan dapat berupa perdarahan dan trauma akibat alat.
Jumlah perdarahan selama pembedahan tergantung pada keadaan pasien dan faktor
operatornya sendiri. Perdarahan mungkin lebih banyak bila terdapat jaringan parut yang
berlebihan atau adanya infeksi akut seperti tonsilitis akut atau abses peritonsil. Pada
operator yang lebih berpengalaman dan terampil, kemungkinan terjadi manipulasi trauma
dan kerusakan jaringan lebih sedikit sehingga perdarahan juga akan sedikit. Perdarahan
yang terjadi karena pembuluh darah kapiler atau vena kecil yang robek umumnya berhenti
spontan atau dibantu dengan tampon tekan. Pendarahan yang tidak berhenti spontan atau
berasal dari pembuluh darah yang lebih besar, dihentikan dengan pengikatan atau dengan
kauterisasi. Bila dengan cara di atas tidak menolong, maka pada fosa tonsil diletakkan
tampon atau gelfoam kemudian pilar anterior dan pilar posterior dijahit. Bila masih juga
gagal, dapat dilakukan ligasi arteri karotis eksterna. 14
Komplikasi pasca bedah dapat digolongkan berdasarkan waktu terjadinya yaitu
immediate, intermediate dan late complication. Komplikasi segera (immediate
15

complication) pasca bedah dapat berupa perdarahan dan komplikasi yang berhubungan
dengan anestesi. Perdarahan segera atau disebut juga perdarahan primer adalah perdarahan
yang terjadi dalam 24 jam pertama pasca bedah. Keadaan ini cukup berbahaya karena
pasien masih dipengaruhi obat bius dan refleks batuk belum sempurna sehingga darah dapat
menyumbat jalan napas menyebabkan asfiksi. Penyebabnya diduga karena hemostasis yang
tidak cermat atau terlepasnya ikatan perdarahan dan iritasi mukosa dapat dicegah dengan
meletakkan ice collar dan mengkonsumsi makanan lunak dan minuman dingin. 14
Pasca bedah, komplikasi yang terjadi kemudian (interme diate complication) dapat
berupa perdarahan sekunder, hematom dan edem uvula, infeksi, komplikasi paru dan
otalgia Perdarahan sekunder adalah perdarahan yang terjadi setelah 24 jam pasca bedah.
Umumnya terjadi pada hari ke 5-10. Jarang terjadi dan penyebab tersering adalah infeksi
serta trauma akibat makanan; dapat juga oleh karena ikatan jahitan yang terlepas, jaringan
granulasi yang menutupi fosa tonsil terlalu cepat terlepas sebelum luka sembuh sehingga
pembuluh darah di bawahnya terbuka dan terjadi perdarahan. Perdarahan hebat jarang
terjadi karena umumnya berasal dari pembuluh darah permukaan. Cara penanganannya
sama dengan perdarahan primer. 14
Pada pengamatan pasca tonsilektomi, pada hari ke dua uvula mengalami edem.
Nekrosis uvula jarang terjadi, dan bila dijumpai biasanya akibat kerusakan bilateral
pembuluh darah yang mendarahi uvula. Meskipun jarang terjadi, komplikasi infeksi
melalui bakteremia dapat mengenai organ-organ lain seperti ginjal dan sendi atau mungkin
dapat terjadi endokarditis. Gejala otalgia biasanya merupakan nyeri alih dari fosa tonsil,
tetapi kadang-kadang merupakan gejala otitis media akut karena penjalaran infeksi melalui
tuba Eustachius. Abses parafaring akibat tonsilektomi mungkin terjadi, karena secara
anatomik fosa tonsil berhubungan dengan ruang parafaring. Dengan kemajuan teknik
anestesi, komplikasi paru jarang terjadi dan ini biasanya akibat aspirasi darah atau potongan
jaringan tonsil. 14
Late complication pasca tonsilektomi dapat berupa jaringan parut di palatum mole.
Bila berat, gerakan palatum terbatas dan menimbulkan rinolalia. Komplikasi lain adalah
adanya sisa jaringan tonsil. Bila sedikit umumnya tidak menimbulkan gejala, tetapi bila
cukup banyak dapat mengakibatkan tonsilitis akut atau abses peritonsil. 14

2.13. KOMPLIKASI
Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya berupa
rhinitis kronik, sinusitis atau otitis media secara percontinuitatum. Komplikasi jauh terjadi
secara hematogen atau limfogen dan dapat timbul endocarditis, artritis, myositis, nefritis,
uvetis iridosiklitis, dermatitis, pruritus, urtikaria, dan furunkulosis. 14
Beberapa literature menyebutkan komplikasi tonsillitis kronis antara lain:
Abses peritonsil. Infeksi dapat meluas menuju kapsul tonsil dan mengenai jaringan
sekitarnya. Abses biasanya terdapat pada daerah antara kapsul tonsil dan otot-otot yang
mengelilingi faringeal bed. Hal ini paling sering terjadi pada penderita dengan serangan
berulang. Gejala penderita adalah malaise yang bermakna, odinofagi yang berat dan
16

trismus. Diagnosa dikonfirmasi dengan melakukan aspirasi abses. Abses parafaring.


Gejala utama adalah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar angulus mandibula,
demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral faring sehingga menonjol kearah medial.
Abses dapat dievakuasi melalui insisi servikal. Abses intratonsilar. Merupakan akumulasi
pus yang berada dalam substansi tonsil. Biasanya diikuti dengan penutupan kripta pada
Tonsilitis Folikular akut. Dijumpai nyeri lokal dan disfagia yang bermakna. Tonsil terlihat
membesar dan merah. Penatalaksanaan yaitu dengan pemberian antibiotika dan drainase
abses jika diperlukan; selanjutnya dilakukan tonsilektomi. 14
Tonsilolith (kalkulus tonsil). Tonsililith dapat ditemukan pada Tonsilitis Kronis
bila kripta diblokade oleh sisa-sisa dari debris. Garam inorganik kalsium dan magnesium
kemudian tersimpan yang memicu terbentuknya batu. Batu tersebut dapat membesar secara
bertahap dan kemudian dapat terjadi ulserasi dari tonsil. Tonsilolith lebih sering terjadi pada
dewasa dan menambah rasa tidak nyaman lokal atau foreign body sensation. Hal ini
didiagnosa dengan mudah dengan melakukan palpasi atau ditemukannya permukaan yang
tidak rata pada perabaan. Kista tonsilar. Disebabkan oleh blokade kripta tonsil dan terlihat
sebagai pembesaran kekuningan diatas tonsil. Sangat sering terjadi tanpa disertai gejala.
Dapat dengan mudah didrainasi. Fokal infeksi dari demam rematik dan
glomerulonephritis. Dalam penelitiannya Xie melaporkan bahwa anti-streptokokal
antibodi meningkat pada 43% penderita Glomerulonefritis dan 33% diantaranya
mendapatkan kuman Streptokokus beta hemolitikus pada swab tonsil yang merupakan
kuman terbanyak pada tonsil dan faring. Hasil ini megindikasikan kemungkinan infeksi
tonsil menjadi patogenesa terjadinya penyakit Glomerulonefritis. 14

2.14. PROGNOSIS
Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristrahat dan pengobatan
suportif. Menangani gejala-gejala yang timbul dapat membuat penderita Tonsilitis lebih
nyaman. Bila antibiotika diberikan untuk mengatasi infeksi, antibiotika tersebut harus
dikonsumsi sesuai arahan demi penatalaksanaan yang lengkap, bahkan bila penderita telah
mengalami perbaikan dalam waktu yang singkat. Gejala-gejala yang tetap ada dapat
menjadi indikasi bahwa penderita mengalami infeksi saluran nafas lainnya, infeksi yang
sering terjadi yaitu infeksi pada telinga dan sinus. Pada kasus-kasus yang jarang, Tonsilitis
dapat menjadi sumber dari infeksi serius seperti demam rematik atau pneumonia. 14

Anda mungkin juga menyukai