Anda di halaman 1dari 26

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi BBLR

Menurut Prawirohardjo (2009), BBLR adalah bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari

2500 gram (sampai dengan 2499 gram). WHO (2004) mendefinisikan BBLR sebagai kelompok bayi

yang lahir dengan berat kurang dari 2500 gram terlepas dari usia kehamilan, baik prematur ataupun

cukup bulan. Berat lahir harus ditimbang dalam waktu satu jam pertama setelah lahir. Pengukuran ini

dilakukan di tempat fasilitas (Rumah Sakit, Puskesmas, dan Polindes). Pengukuran bayi yang dilahirkan

di rumah dapat dilakukan dalam waktu 24 jam (Damanik, 2010).

BBLR dapat diklasifikasikan menjadi dua golongan berdasarkan masa kehamilan (Proverawati

& Sulistyorini, 2010) :

1. Bayi kurang bulan

Bayi kurang bulan disebut juga bayi prematur. Bayi kurang bulan adalah bayi yang lahir dengan

umur kehamilan kurang dari 37 minggu dengan berat kurang dari 2500 gram. Insiden bayi kurang

bulan adalah 1/3 dari jumlah BBLR.

2. Bayi kecil masa kehamilan

Bayi kecil masa kehamilan (KMK) adalah bayi yang lahir dengan usia kehamilan lebih dari 37

minggu dan dilahirkan dengan berat kurang dari persentil ke-10 kurva pertumbuhan janin. Insiden

bayi KMK adalah 2/3 dari jumlah BBLR.

2.2 Epidemiologi BBLR

Pada tahun 2004, terdapat 20 juta kasus BBLR di dunia dan 95.6% dari kasus tersebut terjadi

di negara yang sedang berkembang. Persentase rata-rata kasus BBLR dunia sejak tahun 2009-2013

adalah sebesar 16% (UNICEF, 2014). Kasus BBLR terpusat di dua benua, yaitu benua Asia (72%) dan

Afrika (22%) (WHO, 2004).


Menurut Riset Kesehatan Dasar 2013, didapatkan persentasi BBLR di Indonesia sebesar 10,2%.

Persentase BBLR tertinggi terdapat di provinsi Sulawesi Tengah (16,9%) dan terendah di Sumatera

Utara (7,2%). Sedangkan persentasi BBLR di Sumatera Barat ialah sebesar 7,3%.

Menurut Dinas Kesehatan Kota Padang, terdapat peningkatan kasus BBLR di Kota Padang

dalam 3 tahun terakhir. Pada tahun 2013 terdapat 171 kasus BBLR, tahun 2014 ada 297 kasus BBLR

dan pada tahun 2015 terjadi peningkatan kembali sebanyak 371 kasus.

2.3 Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian BBLR

Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian prematuritas dan bayi KMK sulit

dipisahkan secara tegas dalam kontribusinya sebagai penyebab BBLR. Namun, terdapat

beberapa faktor umum yang berhubungan terkait dengan kejadian BBLR ini.

Faktor-faktor ini terdiri atas (Amiruddin, 2014 ; Manuaba, 2010) :

a. Faktor ibu : usia, jarak kehamilan, paritas, status gizi, penyakit

ibu dan riwayat obstetris buruk.

b. Faktor janin : infeksi, kelainan kromosom dan kongenital serta

kehamilan multipel.

c. Faktor sosial ekonomi : status pendidikan, status ekonomi.

d. Faktor lain : jumlah kunjungan ANC, zat teratogenik, aktivitas fisik

2.3.1 Faktor Ibu

A. Usia Ibu

Usia yang berisiko untuk melahirkan bayi BBLR ialah ibu dengan usia kurang dari 20

tahun dan lebih dari 35 tahun. Wanita hamil dengan usia kurang dari 20 tahun masih dalam

masa pertumbuhan, dan apabila pada usia ini terjadi kehamilan, maka terjadi persaingan nutrisi

antara ibu dengan janin yang dikandungnya, sehingga berat badan ibu hamil seringkali sulit

naik dan nutrisi untuk janin akan berkurang. Kondisi ini juga dapat disertai dengan anemia
akibat defisiensi nutrisi yang terjadi pada ibu. Kedua hal ini menyebabkan bayi lahir dengan

berat dibawah normal (Jolly et al., 2010).

Anatomi tubuh pada wanita yang masih kurang dari 20 tahun belum mature dan alat

reproduksi masih belum siap untuk proses mengandung maupun melahirkan jika dibandingkan

dengan wanita usia lebih dari 20 tahun. Pada usia muda, rahim masih imatur dan aliran darah

ke serviks masih kurang, hal ini meningkatkan risiko terjadinya infeksi subklinik dan

peningkatan produksi prostaglandin yang akhirnya akan menyebabkan janin lahir secara

prematur dengan berat badan rendah (Chen XK et al., 2007).

Berdasarkan penelitian Jolly et al (2010), wanita dengan usia kurang dari 18 tahun

mudah mengalami infeksi saluran kemih dibanding sampel kontrol, penyebabnya diduga

bahwa masih imatur-nya imunitas pada wanita usia tersebut. Kondisi infeksi ini semakin

diperberat dengan imunosupresi fisiologis akibat kehamilan.

Penikahan dan kehamilan pada usia muda menyebabkan timbulnya masalah psikologis

pada wanita tersebut. Ibu muda belum siap secara psikologis untuk bertanggungjawab dan

berperan sebagai istri, partner seks dan menjadi ibu bagi bayi yang dilahirkannya dan hal ini

akan menyebabkan kurang optimalnya perawatan yang dilakukan ibu selama hamil. Masalah

psikologi seperti stress emosional, depresi dan kurangnya dukungan keluarga yang dihadapi

ibu muda pada saat berlangsungnya kehamilan berisiko terhadap kejadian keguguran, berat

badan lahir rendah dan lainnya. Depresi juga berhubungan dengan peningkatan tekanan darah,

sehingga meningkatkan risiko terjadinya hipertensi maupun preeklamsia yang membahayakan

janin maupun ibu yang mengandungnya (Fadlyana & Larasaty, 2009 ; Chen XK et al., 2007).

Usia yang semakin meningkat akan meningkatkan dan memperberat komplikasi

kehamilan seperti hipertensi dan preeklamsia. Sistem vascular uterus pada ibu dengan usia

lebih dari 35 tahun lebih sering mengalami kegagalan untuk beradaptasi terhadap peningkatan

kebutuhan hemodinamik selama kehamilan. Ibu dengan lebih dari 35 tahun lebih berisiko untuk
mengalami eguguran, kelainan kromosom dan kelainan pada plasentanya (Goldman et al.,

2005).

Usia lebih dari 35 tahun dan lebih dari 40 tahun sangat berhubungan dengan kejadian

KMK, dengan OR 1.4 dan 3.2. Kerusakan endotel pembuluh darah akan terjadi secara progresif

seiring pertambahan usia, hal ini mengakibatkan gangguan pertukaran oksigen antara ibu dan

janin. Saat usia ibu lebih dari 35 tahun, terdapat berbagai penyakit yang dapat mempengaruhi

kesehatan ibu dan hal ini menyebabkan peningkatan penggunaan obat-obatan untuk mengobati

penyakit tersebut. Obat-obatan yang dikonsumsi ini dapat meningkatkan risiko dilahirkannya

bayi BBLR (Khalil et al., 2013).

B. Jarak Kehamilan

Jarak kehamilan adalah jarak antara kelahiran bayi sebelumnya dengan kehamilan bayi

berikutnya. WHO merekomendasikan jarak kehamilan aman yaitu antara 2-3 tahun. Jarak

kehamilan dekat yang kurang dari dua tahun memberikan permasalahan bagi bayi dan juga

kesehatan ibu (WHO, 2005).

Penelitian oleh Smith et al (2003) memperoleh hasil terdapat 30-50 % bayi BBLR yang

dilahirkan oleh ibu dengan jarak kehamilan dekat khususnya pada jarak kehamilan kurang dari

6 bulan. Ibu ini berisiko empat kali lipat melahirkan bayi prematur dan bayi yang dilahirkan

tersebut berisiko 20 kali untuk meninggal pada masa perinatal.

Terdapat hipotesis deplesi ibu terkait hubungan jarak kehamilan yang dekat dengan

kejadian BBLR. Interval kehamilan yang dekat tidak memberi waktu kepada ibu untuk pulih

dari stres fisiologis yang telah terjadi pada kehamilan sebelumnya. Deplesi zat nutrisi dan

anemia yang telah terjadi pada kehamilan sebelumnya belum tertangani sempurna. Deplesi zat

nutrisi dan anemia ini juga berperan dalam terjadinya ruptur membran pada bayi pematur. Jarak

kehamilan yang singkat juga lebih tinggi untuk berisiko pendarahan di trimester ketiga. Hal ini

disebabkan kurangnya waktu bagi pembuluh darah endometrium untuk mengalami remodeling
dengan sempurna setelah persalinan sebelumnya. Kondisi ini dapat mengganggu aliran

uteroplasenta dan menyebabkan kurangnya nutrisi yang diterima janin (Agudelo & Balizan,

2000).

Selama hamil terjadi perubahan berat badan, protein dan keseimbangan energi serta

berkurangnya asam lemak yang baik untuk janin. Selain makronutrien, mikronutrien seperti

vitamin dan mineral juga turut terkuras selama hamil. Salah satunya nutrien yang mengalami

deplesi ialah folat. Terjadi penurunan folat sejak bulan kelima kehamilan, dan tetap akan

rendah untuk waktu yang cukup lama setelah ibu melahirkan.. Ibu yang hamil sebelum restorasi

folat selesai memiliki peningkatan risiko kekurangan folat selama kehamilan. Akibatnya, janin

yang dikandung memiliki risiko yang lebih tinggi mengalami cacat tabung saraf, gangguan

pertumbuhan di dalam rahim dan kelahiran prematur (Smits & Essed, 2001).

Penelitian oleh Megahed et al (2004) menemukan bahwa kadar eritrosit rata-rata dan

level folat serum lebih rendah pada ibu dengan jarak kehamilan yang dekat ( kuang dari 6

bulan) jika dibandingkan dengan ibu dengan jarak kehamilan 18-24 bulan (p = 0.002 untuk

level eritrosit dan p < 0.00001 untuk level folat serum).

Ibu dengan jarak kehamilan kurang dari 24 bulan lebih berisiko untuk mengalami

anemia untuk kehamilan berikutnya. Sedangkan ibu dengan jarak kehamilan 24-35 bulan

memiliki risiko paling rendah untuk mengalami anemia (p = 0.011). Hal ini disebabkan oleh

kurangnya cadangan zat besi oleh karena kehamilan sebelumnya. Anemia yang terjadi ini

berisiko pada pertumbuhan janin didalam kandungan dan menyebabkan lahirnya bayi dengan

berat badan rendah (Dairo & Lawoyin, 2004).

Dekatnya jarak kehamilan juga menyebabkan inadekuatnya waktu bagi otot reproduksi

untuk kembali ke tonus otot yang baik yang menyebabkan kelemahan otot reproduksi, hal ini

akan meningkatkan insiden insufisensi serviks yang memicu kelahiran prematur (Ludmir et al.,

2000). Sundtoft et al (2010) mengevaluasi normalisasi kolagen serviks pasca melahirkan.


Diperoleh hasil bahwa konsentrasi kolagen di jaringan serviks meningkat hingga 12 bulan

pasca melahirkan : 50.2 µg/mg saat 3 bulan, 57.9 g/mg saat 6 bulan, 61.9 µg/mg saat 9 bulan

dan 65.2 µg/mg saat 12 bulan. Perbedaan konsentrasi ini berbeda signifikan secara statistik.

Peneliti menyimpulkan bahwa serviks uterus belum pulih secara sempurna hingga 12 bulan

pasca melahirkan. Sehingga bila terjadi kehamilan dalam rentang waktu tersebut, berisiko

untuk terjadinya kelahiran prematur.

C.Paritas

Paritas menunjukan jumlah kehamilan-kehamilan terdahulu yang telah mencapai batas

viabilitas (mampu hidup) dan telah dilahirkan. Pada umumnya kasus BBLR meningkat sesuai

dengan meningkatnya paritas ibu (Oxorn & Forte, 2010).

Paritas yang berhubungan dan berisiko untuk melahirkan bayi BBLR adalah paritas nol,

yaitu bila ibu pertama kali hamil dan paritas lebih dari 3.

Risiko untuk BBLR lebih tinggi pada paritas 0 kemudian menurun pada paritas 1, 2, 3 dan

selanjutnya kembali meningkat pada paritas 4 (Manuaba et al., 2010).

Menurut Wiknjosastro, paritas 0 dan paritas tinggi (lebih dari 3) mempunyai angka

kejadian komplikasi lebih tinggi. Ibu dengan paritas rendah cenderung melahirkan bayi yang

tidak matur atau lebih sering memperoleh komplikasi karena kehamilan pertama merupakan

pengalaman pertama terhadap kemampuan alat reproduksi ibu. Pada paritas yang rendah,

ketidaksiapan ibu secara fisik dan mental dalam menghadapi persalinan yang pertama

merupakan faktor penyebab ketidakmampuan ibu hamil dalam menangani komplikasi yang

terjadi selama kehamilan, persalinan, dan nifas. Ibu dengan paritas tinggi cendrung memiliki

komplikasi dalam kehamilan yang akhirnya akan mempengaruhi pertumbuhan janin. Paritas

tinggi merupakan paritas rawan karena banyak kejadian obstetri patologi yang terjadi pada

paritas tinggi, antara lain preeklamsia, pendarahan antenatal sampai atonia uteri (Wiknjosastro,

2005).
Paritas tidak aman yaitu paritas 1 dan lebih dari 3. Kehamilan pertama lebih berisiko

untuk melahirkan bayi BBLR karena kehamilan pertama merupakan sebuah percobaan yang

berat terhadap kemampuan reproduksi dalam menjaga dan menerima kehadiran janin serta

pengalaman hamil yang belum ada. Ibu primipara masih memiliki pengetahuan yang kurang

dan belum memiliki pengalaman tentang kehamilan sehingga dapat berpengaruh dalam

kehamilannya. Kesiapan dalam menghadapi kehamilan baik secara fisik maupun mental

cenderung masih kurang sehingga dapat berpengaruh pada pola pemeliharaan kehamilan.

Sedangkan ibu yang pernah hamil dan melahirkan anak lebih dari tiga kali, maka kemungkinan

akan banyak ditemui gangguan pada kesehatan ibu seperti anemia yang dapat menyebabkan

kelahiran BBLR, disini juga akan terjadi kekendoran pada dinding rahim yang dapat

menyebabkan robekan pada dinding rahim (Lestari et al., 2015).

Pada wanita dengan paritas lebih dari 3 cendrung mengalami komplikasi dalam

kehamilan karena pada tiap kehamilan risiko timbulnya kelainan pada uterus semakin

meningkat. Kehamilan yang berulang dapat merusak pembuluh darah dinding uterus yang akan

mempengaruhi sirkulasi nutrisi ke janin. Terganggunya sirkulasi ini akan mengakibatkan

kurangnya asupan janin untuk tumbuh sehingga akan mengganggu pertumbuhan janin di dalam

kandungan. Ibu dengan paritas tinggi berhubungan dengan terjadinya anemia. Paritas yang

tinggi menyebabkan cadangan besi di tubuh akan terkuras dan menyebabkan timbulnya deplesi

zat besi. Kondisi anemia ini berisiko untuk terjadinya BBLR (Levy, 2005; Amalia, 2011).

D. Status Gizi

1) Anemia

Selama masa kehamilan, terjadi anemia relatif pada ibu, yaitu kejadian hemodilusi yaitu

penambahan volume plasma relatif yang lebih besar daripada volume sel darah merah.

Hemodilusi merupakan suatu adaptasi fisiologis pada sistem sirkulasi ibu hamil untuk
memenuhi kebutuhan besar uterus dan janin yang mengalami hipertrofi sistem vaskular

(Cunningham et al., 2012).

Saat hamil terjadi peningkatan penggunaan zat besi untuk meningkatkan massa eritrosit,

meningkatnya volume plasma, dan untuk pertumbuhan fetoplasenta unit. konsentrasi

hemoglobin (Hb) akan menurun pada saat hamil dengan kadar rata-rata normal ialah 11 g/dl.

Penurunan paling sering terjadi hingga usia kehamilan 20 minggu, dan akan konstan hingga

usia 30 minggu. Pada wanita dengan kadar zat besi yang kurang serta tidak diimbangi dengan

asupan zat besi tambahan, akan menyebabkan turunnya kadar Hb di bawah kadar normal dan

menyebabkan anemia defisiensi besi (Bencaiova et al., 2012).

Ibu hamil cendrung mengalami anemia, karena kebutuhan zat gizi bagi pembentukan

darah meningkat selain untuk dirinya sendiri, juga untuk kebutuhan janin. Ibu hamil yang

anemia akan berisiko pendarahan saat persalinan. Sedangkan pada janinnya akan

meningkatkan risiko gangguan pertumbuhan dan perkembangan, keguguran, prematur dan

lahir BBLR bahkan bisa mati didalam kandungan. Hal ini karena fungsi Hb dalam darah untuk

membawa oksigen yang diperlukan oleh jaringan tubuh dalam metabolisme dan membuang

karbondioksida. Jika darah kekurangan Hb, maka oksigen yang dibawa darah keseluruh tubuh

juga berkurang sehingga kebutuhan metabolisme jaringan tubuh terganggu termasuk

pertumbuhan janin dalam kandungan ibu (Levy, 2005).

Anemia yang terjadi ibu saat hamil akan berefek kepada janin. Asosiasi antara Hb ibu

dan berat badan lahir bayi berupa kurva U-shape. Ibu dengan Hb kurang dari 9 g/dL dan Hb

lebih dari 11 memiliki risiko lebih besar untuk melahirkan bayi BBLR. Hb ideal yang dapat

mencegah terjadinya prematuritas dan KMK ialah sebesar 9.5 g/dL-11.5 g/dL. Terdapat

hubungan antara durasi defisiensi besi dan anemia pada ibu hamil dengan perubahan

fetoplasenta. Risiko bayi untuk lahir prematur meningkat jika adanya defisiensi besi saat awal

kehamilan (Breymann, 2015).


Berdasarkan penelitian kohort yang dilakukan Kavitha et al (2016) di India, ditemukan

bahwa anemia yang terjadi pada trimester satu dan dua lebih berisiko untuk melahirkan bayi

BBLR dibandingkan jika anemia tersebut terjadi pada trimester tiga. Pertumbuhan liner pada

fetus akan meningkat hingga usia gestasi 16 minggu, dan akan menurun setelahnya. Pada

pemeriksaan ultrasonography yang dilakukan pada ibu selama hamil terlihat adanya

peningkatan kecepatan pertumbuhan tulang femur di awal trimester dua dan mengalami

penurunan secara gradual pada trimester tiga.

2) Kurang Energi Kronis (KEK)

Status gizi ibu hamil bisa diketahui dengan mengukur ukuran lingkar lengan atas

(LILA). Lingkar lengan atas terutama bermanfaat untuk mengetahui risiko KEK pada awal

kehamilan karena berat badan prahamil tidak diketahui. Di Indonesia, para ibu tidak biasa

menimbang berat badan sebelum hamil sehingga penggunaan LILA sebagai indikator risiko

KEK menjadi sangat penting. Jika lingkar lengan atas kurang dari 23,5 cm, maka ibu hamil

tersebut dikatakan mengalami KEK. Kondisi ini menandakan bahwa ibu sudah mengalami

keadaan kurang gizi dalam jangka waktu yang telah lama, bila ini terjadi maka kebutuhan

nutrisi untuk proses tumbuh kembang janin menjadi terhambat, akibatnya melahirkan bayi

BBLR (Mutalazimah, 2005).

Status gizi sebelum hamil dan selama kehamilan dapat mempengaruhi pertumbuhan

janin yang sedang dikandung. Kehamilan menyebabkan meningkatnya metabolisme energi,

karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya meningkat selama kehamilan. Peningkatan

energi dan zat gizi tersebut diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan janin,

pertambahan besarnya organ kandungan, perubahan komposisi dan metabolisme tubuh ibu.

Sehingga kekurangan zat gizi tertentu yang diperlukan saat hamil dapat menyebabkan janin

tumbuh tidak sempurna dan terhambat. Bagi ibu hamil, pada dasarnya semua zat gizi
memerlukan tambahan, namun yang seringkali menjadi kekurangan adalah energi protein dan

dan beberapa mineral seperti zat besi dan kalsium (Waryana, 2010).

Hubungan antara KEK dengan BBLR dapat dijelaskan karena kebutuhan energi untuk

kehamilan yang normal perlu tambahan kira-kira 80.000 kalori selama masa kurang lebih 280

hari. Hal ini berarti perlu tambahan ekstra sebanyak kurang lebih 300 kalori setiap hari selama

hamil. Kebutuhan energi pada trimester I meningkat secara minimal. Kemudian sepanjang

trimester II dan III kebutuhan energi terus meningkat sampai akhir kehamilan. Jika kebutuhan

ini tidak terpenuhi serta diperberat oleh kondisi ibu yang KEK, maka akan menyebabkan

berbagai permasalahan kesehatan untuk ibu dan janin yang dikandungnya. Permasalahan dan

komplikasi yang dapat terjadi pada ibu bisa berupa anemia, pendarahan, berat badan selama

hamil yang tidak bertambah secara normal ataupun rentannya ibu mengalami infeksi. Selain

itu, janin juga akan memperoleh dampaknya, akan terjadi gangguan pertumbuhan, kelahiran

prematur, abortus, bayi lahir mati, dan kematian neonatal (Proverawati et al., 2009 ; Sandjaja,

2009).

Ibu hamil yang menderita KEK mempunyai risiko kesakitan yang lebih besar terutama

pada trimester II kehamilan dibandingkan dengan ibu hamil normal. Akibatnya mereka

mempunyai risiko yang lebih besar untuk melahirkan bayi dengan BBLR dan komplikasi

kehamilan yang lain. Ibu dengan status gizi kurang sebelum hamil mempunyai risiko 4,27 kali

untuk melahirkan bayi BBLR dibanding ibu dengan status gizi baik (Waryana, 2010).

3) Penambahan berat badan selama hamil

Berat lahir bayi sangat berhubungan dengan status gizi janin saat didalam kandungan.

Status gizi janin berkaitan erat dengan status gizi ibu ketika melahirkan dan konsepsi. Semua

zat gizi yang diperlukan bagi pertumbuhan janin terdapat dalam makanan yang dikonsumsi

oleh ibu. Makanan yang telah dikonsumsi ibu akan disimpan secara teratur dan terus menerus

sebagai glikogen, protein dan kelebihannya sebagai lemak. Semua berguna untuk memenuhi
kebutuhan energi, pertumbuhan baru, termasuk kebutuhan ibu untuk kehamilannya dan

pertumbuhan janin. Penyimpanan lemak ibu selama kehamilan akan mencapai puncaknya pada

trimester kedua dan kemudian akan semakin menurun seiring dengan meningkatnya kebutuhan

janin pada akhir kehamilan. Hal ini tentu akan berpengaruh terhadap berat badan ibu selama

hamil. Terganggunya asupan makanan ibu akan mempengaruhi penyimpanan dan kebutuhan

energi bagi ibu dan janin yang sedang dalam pertumbuhan tadi (Cunningham et al., 2012 ;

Prawirohardjo, 2010).

Berat badan sebelum hamil dan peningkatan berat badan selama hamil sangat

mempengaruhi pertumbuhan janin. Kurangnya pertambahan berat badan ibu selama hamil

berisiko untuk lahirnya bayi BBLR. BMI ibu yang rendah (kurang dari 19,8) butuh peningkatan

berat badan 12.5-18 kg. Ibu dengan BMI normal (19,8-26) perlu penambahan berat badan 11.5-

16 kg, ibu dengan BMI lebih (26-29) perlu penambahan 7-11,5 kg, sedangkan ibu yang obesitas

(BMI lebih dari 29) hanya membutuhkan peningkatan berat badan sebesar 6 kg. Rendahnya

penambahan berat badan ibu selama hamil sangat berhubungan dengan kurangnya nutrisi ibu

selama kehamilan. Nutrisi yang rendah menyebabkan kurangnya aliran darah uterin,

transportasi plasenta dan area permukaan vili (Fanaroff & Martin, 2006).

Untuk mencapai kebutuhan nutrisi yang diharapkan terpenuhi bagi ibu selama

kehamilan dan janinnya, ibu hamil harus mencapai penambahan berat badan pada angka

tertentu selama hamil. Penambahan berat badan yang diharapkan pada kehamilan trimester I

adalah 2 – 4 kg, pada trimester II 0,4 kg per minggu, dan trimester III 0,5 kg atau kurang per

minggu. Perubahan berat badan yang tidak sesuai akan menyebabkan berbagai komplikasi bagi

janin (Fabella et al., 2015).

E.Penyakit Medis Ibu

Kualitas akhir suatu kehamilan dipengaruhi oleh kondisi klinis ibu dalam memulai dan

selama proses konsepsi berlangsung. Beberapa penyakit medis ibu dapat mengakibatkan hasil
akhir kehamilan yang buruk. Penyakit yang diderita ibu, terutama penyakit yang menyebabkan

iskemia uterin dan hipoksemia dapat mengganggu pertumbuhan janin. Komplikasi kehamilan

berupa hipertensi, pre eklamsia, eklamsia serta pendarahan akan mengganggu pertumbuhan

janin. Obat anti hipertensi yang diberikan kepada ibu juga semakin memperberat gangguan

pertumbuhan janin. Penurunan tekanan darah 10 mmHg akibat obat antihipertensi, akan

disertai penurunan berat badan janin sebesar 145 gr. Insufisiensi pembuluh darah akibat dari

diabetes melitus berat yang diderita ibu, terutama pada ibu yang sudah mengalami kerusakan

organ di mata dan retina juga berisiko untuk melahirkan bayi BBLR. Wanita dengan penyakit

autoimun yang serius yang berhubungan dengan lupus antikoagulan juga berisiko untuk

mengalami preeklaamsia dan melahirkan bayi BBLR. Penyakit autoimun ini dapat menyerang

pembuluh darah dan menimbulkan lesi pada pembuluh darah uterin dan plasenta yang dapat

menyebabkan gangguan aliran darah ke janin. Kondisi hipoksemia yang terjadi pada ibu juga

sangat berhubungan dengan pertumbuhan janin. Ibu yang menderita penyakit jantung

kongenital sianotik seperti tetralogy of fallot sering melahirkan bayi dengan berat badan

rendah. Selain itu, anemia sel sabit juga dapat menyebabkan hipoksia dan iskemia lokal pada

uterin (Fanaroff & Martin, 2006 ; Hacker et al., 2004).

Menurunnya aliran darah uteroplasenta akan berdampak pada kurangnya transfer

nutrisi ke janin, dan hal inilah yang menyebabkan gangguan pertumbuhan pada janin. Penyakit

vascular pada ibu seperti hipertensi kronik, preeklamsia serta diabetes yang berasosiasi dengan

vaskulopati sangat berhubungan dengan gangguan pertumbuhan janin didalam kandungan.

Pada preeklamsia, terjadi kegagalan invasi sel trofoblas pada lapisan otot arteri spiralis dan

jaringan matriks sekitarnya. Lapisan otot arteri spiralis menjadi tetap kaku dan keras sehingga

lumen arteri spiralis tidak memungkinkan untuk mengalami distensi dan vasodilatasi.

Akibatnya, arteri spiralis relatif mengalami vasokonstriksi sehingga aliran darah uteroplasenta

akan menurun dan mengganggu hantaran nutrisi dari ibu ke janin (Steven et al., 2002).
F. Riwayat Obstetri yang Buruk

Ibu yang mempunyai riwayat hasil kehamilan yang buruk pada kehamilan sebelumnya,

lebih berisiko untuk melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah pada kehamilan

berikutnya. Adanya abortus spontan, kematian janin didalam kandungan dan kelahiran

prematur pada kehamilan sebelumnya dapat meningkatkan risiko terlahirnya bayi dengan berat

badan lahir rendah. Ibu yang pernah melahirkan bayi BBLR pada kehamilan pertama berisiko

2 kali lipat melahirkan bayi BBLR di kehamilan berikutnya. Jika ibu sudah 2 kali berturut-turut

melahirkan bayi BBLR, maka risiko ini akan meningkat 4 kali lipat. Hal ini dapat terjadi

terutama jika faktor yang mendasari tidak tertangani (Steven et al., 2002).

2.3.2 Faktor Janin

A. Infeksi

Ibu hamil sangat peka terhadap terjadinya infeksi dari berbagai mikroorganisme. Secara

fisiologik sistem imun pada ibu hamil akan menurun, kemungkinan sebagai akibat dari

toleransi sistem imun ibu terhadap bayi yang merupakan jaringan semi-alogenik, meskipun

tidak memberikan pengaruh secara klinik. Infeksi bisa disebabkan oleh bakteri, virus, dan

parasit, sedangkan penularan dapat terjadi intrauterin, pada masa persalinan atau pasca lahir.

Infeksi yang terjadi selama kehamilan dapat mengganggu pertumbuhan janin di dalam

kandungan (Prawirohardjo, 2010).

Infeksi intrauteri memicu persalinan kurang bulan akibat aktivasi sistem imun bawaan.

Adanya kolonisasi bakteri pada koriodesidual akan menimbulkan respon imun pada ibu dan

juga respon pada jaringan fetus. Respon pada ibu berupa peningkatan sitokin kemokin yang

dihasilkan oleh desidua, hal ini akan menyebabkan infiltrasi netrofil dan peningkatan

metaloproteinase. Metaloproteinase yang meningkat ini akan melemahkan ikatan jaringan pada

korioamnion, sehingga akan mudah terjadinya ruptur membran. Fetus juga akan berespon

dengan meningkatkan pelepasan hormon kortikotropin yang menyebabkan dilepasnya hormon


kortisol. Kortisol yang meningkat dapat meningkatkan prostaglandin. Prostaglandin memicu

kontraksi miometrium dan peningkatan metaloproteinase yang akhirnya menyebabkan

kelahiran prematur pada janin tersebut (Steven et al., 2002 ; Cunningham et al., 2012).

Adanya infeksi yang dimulai dari perkembangan mikroorganisme disekitar daerah

reproduksi ibu dapat mencapai kavitas intrauterin dengan menginfeksi desidua, korion dan

akhirnya amnion. Fetus akan terinfeksi ketika menelan atau mengaspirasi cairan amnion dan

memicu sepsis pada fetus. Sepsis ini juga dapat disebabkan oleh bakteremia yang terjadi pada

ibu. Sepsis yang terjadi pada fetus menyebabkan terganggunya metabolisme janin dan

mempengaruhi pertumbuhannya didalam kandungan. Endotoksin bakteri akan meransang

terbentuknya prostaglandin, prostaglandin inilah yang memegang peranan penting dalam

terjadinya kelahiran prematur. Kadar prostaglandin yang tinggi ditemukan pada ibu yang

melahirkan bayi prematur. Beberapa infeksi yang sering berhubungan dengan kejadian BBLR

terutama prematuritas ialah Neisseria gonorrhoeae, Group B streptococcus, Chlamydia

trachomatis, Vaginosis bakterial dan Syphilis (Fanaroff & Martin, 2006).

B.Kelainan kromosom dan kongenital

Abnormalitas kromosom, malformasi kongenital dan sindroma genetik berhubungan

dengan 10% kasus BBLR. Abnormalitas replikasi sel dan menurunnya produksi sel akibat

masalah genetik menyebabkan gangguan pertumbuhan simetris di awal kehidupan janin.

Gangguan pertumbuhan telah diketahui terjadi pada 53 % kasus trisom 13 dan 64 % pada kasus

trisom 18. Abnormalitas pertumbuhan ini dapat bermanifestasi lebih awal pada kehamilan

trimester pertama (Steven et al., 2002).

Kelainan kromosom merupakan suatu cacat genetik dimana terjadi perbedaan kariotip

dari kromosom seharusnya. Kelainan kromosom dapat mengenai jumlah atau struktur dari

kromosom. Hal ini merupakan penyebab utama dari cacat lahir, abortus spontan dan gangguan

pertumbuhan janin. Kelahiran preterm yang bersifat rekuren, berhubungan dengan keluarga
dan ras telah menimbulkan pendapat bahwa genetik memainkan peranan penting sebagai

penyebabnya. Adanya masalah pada gen imunoregulator yang memperparah korioamnionitis

dalam kasus kelahiran preterm akibat infeksi (Cunningham et al., 2012).

C.Kehamilan Multipel

Kehamilan multipel merupakan salah satu penyebab tersering untuk terjadinya

prematuritas dan kelahiran bayi BBLR. Terdapat 50% kehamilan multipel yang lahir sebelum

kehamilan 37 minggu. Berdasarkan penelitian, kehamilan multipel berisiko 40 kali lipat untuk

lahir prematur dibandingkan subjek kontrol. Rata-rata 75% kasus bayi kembar terbukti

mengalami masalah pertumbuhan. Pertumbuhan janin terhambat ditetapkan sebagai diagnosis

jika salah satu janin kembar berada dibawah persentil ke 10 atau jika antar bayi yang satu

dengan bayi yang lain terjadi ketidaksesuaian sebesar 20%. Kurangnya nutrisi pada ibu yang

mengandung bayi kembar cendrung terjadi dan berdampak pada pertumbuhan janin. Selama

hamil, wanita yang mengandung bayi kembar dinasihati untuk mengonsumsi sekitar 300 kalori

tambahan per hari dan untuk memperoleh tambahan rata-rata 5 kg lebih banyak daripada ibu

yang mengandung janin tunggal. Dianjurkan untuk kenaikan berat badan yang optimal untuk

kehamilan kembar adalah 10 kg pada minggu ke 24, kemudian 0,5 kg setiap minggunya sampai

ibu melahirkan (Sinclair, 2009).

Berdasarkan penelitian, jika neonatus tunggal dibandingkan dengan neonatus kembar,

maka berat lahir pada bayi kembar setara dengan berat janin tunggal pada usia 28-30 minggu.

Setelah itu, berat lahir janin kembar secara progresif mulai tertinggal. Pada kehamilan dizigot,

perbedaan ukuran yang sangat mencolok biasanya terjadi karena plasentasi yang tidak

seimbang, dengan satu tempat plasenta mendapat perfusi lebih banyak daripada yang lain. Pada

mudigah monokorion, alokasi blastomer mungkin tidak setara, anostomosis vaskular di dalam

plasenta dapat menyebabkan ketidakseimbangan distribusi nutrien dan oksigen yang dapat

mempengaruhi pertumbuhan (Cunningham et al, 2012). Terbatasnya ruang bagi perkembangan


plasenta membatasi pertumbuhan plasenta sehingga berat rata-rata kelahiran bayi multipel

lebih rendah daripada bayi lahir tunggal (Alpers, 2006).

2.3.3 Faktor Sosial Ekonomi

A.Tingkat Pendidikan Ibu

Menurut Kurt Lewin yang dikutip oleh Notoadmodjo (2003), pendidikan formal yang

diterima seseorang akan mempengaruhi pengetahuan seseorang untuk memahami sesuatu dan

juga mempengaruhi sikap dan tindakannya dalam melaksanakan suatu kegiatan.

Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat.

Tingkat pendidikan yang lebih tinggi memudahkan seseorang atau masyarakat untuk menyerap

informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya

dalam kesehatan dan gizi (Atmarita & Fallah, 2004).

Pendidikan banyak menentukan sikap dan tindakan dalam menghadapi berbagai

masalah termasuk pengaturan makanan bagi ibu hamil untuk mencegah lahirnya bayi dengan

berat badan rendah. Ibu dengan pendidikan rendah sangat berhubungan dengan rendahnya level

ekonomi keluarga yang akan menyebabkan kurangnya pemenuhan gizi selama hamil,

terlambatnya pemeriksaan awal kehamilan dan kurangnya konsultasi rutin selama kehamilan.

Jumlah konsultasi selama kehamilan sangat berhubungan dengan tingkat pendidikan ibu. Ibu

dengan pendidikan tinggi dua kali lebih rutin untuk melakukan pemeriksaan dan lebih dini

dalam melakukan pemeriksaan awal kehamilan. Ibu yang pendidikan formalnya kurang dari 8

tahun, memiliki risiko 1,5 kali untuk melahirkan bayi BBLR (Haidar et al., 2011).

Tingkat pendidikan ibu akan banyak berpengaruh pada pemahaman dan kesadaran ibu

hamil akan pentingnya arti kesehatan secara umum ataupun pada saat kehamilan dan

persalinan. Bila ibu dengan pendidikan rendah dan kemauan belajar juga sangat kurang, maka

proses pengubahan sikap dan perilaku sesorang atau sekelompok orang untuk berusaha mencari
informasi tentang bahaya-bahaya yang mungkin timbul pada bayi yang berada dikandungannya

dan dirinya akan sulit. Sehingga pada ibu yang berpendidikan rendah lebih cenderung untuk

mengalami permasalahan selama hamil (Mahmudah et al., 2011).

Penelitian Dhar (2003) di Bangladesh memperoleh hasil bahwa 32,7% bayi BBLR lahir

dari ibu yang tidak mendapatkan pendidikan formal, dan hanya 1,8% bayi BBLR yang

dilahirkan oleh ibu dengan pendidikan tinggi (tingkat SMA dan perguruan tinggi).

Ibu dengan pendidikan tinggi cendrung lebih mandiri dalam merawat kehamilan serta

memiliki pengetahuan yang lebih luas mengenai perawatan selama kehamilan dan cendrung

memiliki tingkat ekonomi yang tinggi sehingga selama proses kehamilan, asupan gizi dan

perwatan dapat maksimal dilakukan (Silvestrin, et al., 2013).

B.Status Ekonomi

Status ekonomi keluarga dapat dilihat dari pendapatan dan pengeluaran keluarga

tersebut dalam membiayai kebutuhan sehari-hari. Ibu dari keluarga dengan pendapatan yang

rendah dan tidak sesuai dengan pengeluaran keluarga cenderung mempunyai ketakutan akan

besarnya biaya untuk pemeriksaan, perawatan kesehatan dan persalinan. Keluarga dengan

penghasilan rendah dibawah upah minimum regional sangat sulit memenuhi kebutuhan gizi

keluarganya, ditambah kenyataan keluarga miskin umumnya tingkat pendidikan dan

pengetahuan yang rendah. Selain latar belakang pendidikan, ibu dengan status ekonomi tinggi

mempunyai kemampuan yang lebih dalam menentukan jenis dan jumlah makanan yang

dikonsumsi oleh keluarga. Seseorang dengan ekonomi yang tinggi kemudian hamil maka

kemungkinan besar gizi yang dibutuhkannya selama kehamilan akan tercukupi (Kristiyanasari,

2010).

Menurut peneliti Apriadji pada tahun 1986 di dalam buku Departemen Gizi dan Kesmas

FKM UI (2007) menyebutkan bahwa tingkat pendapatan dapat menentukan pola makan, orang

dengan tingkat ekonomi rendah biasanya akan membelanjakan sebagian besar pendapatannya
untuk makanan, sedangkan orang dengan tingkat ekonomi tinggi biasanya akan seimbang

antara kebutuhan untuk makanan dengan kebutuhan yang lainnya.

Berdasarkan penelitian Amalia (2011), keluarga dengan status ekonomi rendah berisiko

4,354 kali lipat untuk melahirkan bayi dengan berat badan rendah. Pendapatan keluarga secara

tidak langsung mempengaruhi kejadian BBLR, karena pada umumnya ibu dengan keadaan

pendapatan rendah mempunyai intake makanan yang lebih rendah baik secara kualitatif

maupun secara kuantitatif, yang berakibat kepada rendahnya status gizi pada ibu hamil.

Adanya persepsi wanita miskin bahwa sistem kesehatan tidak bersahabat dengan mereka

dapat menyebabkan mereka tidak tertarik untuk menggunakan layanan kesehatan dan hal ini

dapat mempengaruhi aktivitas promosi kesehatan yang selama ini dijalankan. Bagi kebanyakan

wanita miskin, pesan seputar hidup sehat mungkin dikesampingkan dari prioritas mereka.

Kemiskinan menimbukan banyak keterbatasan praktis untuk membuat pilihan, seperti

ketidakmampuan menyediakan makanan yang bergizi yang membuat setiap informasi dari

pendidikan kesehatan tidak realistis bagi mereka (Bowden, 2011).

Ketidakberdayaan finansial menyulitkan individu mengikuti program diet sehat sesuai

modul pendidikan kesehatan (terutama masa kehamilan). Ketika keuangan membelit, wanita

akan mengorbankan kebutuhan dasar mereka (termasuk makanan) untuk menjamin anggota

keluarga tidak mengalami kekurangan. Ketidakberdayaan finansial juga menyebabkan wanita

sulit memanfaatkan sarana-sarana penting diluar lingkungan tempat tinggalnya. Biaya

transportasi dapat memberatkan wanita tersebut untuk mendatangi fasilitas kesehatan terkait.

Tidak memiliki uang untuk ongkos atau biaya berobat dapat menghambat ibu untuk melakukan

kunjungan ke petugas kesehatan (Bowden, 2011).

2.3.4 Faktor Lain

A.Jumlah Kunjungan Antenatal Care


Dalam pelayanan antenatal dilakukan pemeriksaan kehamilan untuk memeriksa

keadaan ibu dan janin secara berkala, yang diikuti dengan upaya koreksi terhadap

penyimpangan yang ditemukan. Tujuannya adalah untuk memenuhi hak setiap ibu hamil

memperoleh pelayanan antenatal yang berkualitas sehingga mampu menjalani kehamilan

dengan sehat, bersalin dengan selamat, dan melahirkan bayi yang sehat (Depkes RI, 2010).

Pada periode antenatal masalah yang terjadi pada ibu menjadi ukuran untuk menilai

keadaan dan masalah kesehatan pada janin, karena pada periode ini keadaan janin sepenuhnya

bergantung pada keadaan ibu. Dengan dilakukannya ANC oleh ibu hamil , maka segala

kelainan/ penyakit/ gangguan yang dialami ibu tersebut dapat dideteksi lebih awal dan dapat

dilakukan intervensi sesegera mungkin. Keuntungan ANC sangat besar karena dapat

mengetahui resiko dan komplikasi sehingga ibu hamil dapat diarahkan untuk melakukan

rujukan ke rumah sakit. Pelayanan yang dilakukan secara rutin juga merupakan upaya untuk

melakukan deteksi dini kehamilan beresiko sehingga dapat dengan segera dilakukan tindakan

yang tepat untuk mengatasi dan merencanakan serta memperbaiki kehamilan tersebut.

Kelengkapan antenatal terdiri dari jumlah kunjungan ANC dan kualitas ANC (Sistiarani,

2008).

Ibu yang tidak melakukan ANC serta melahirkan dirumah tanpa tenaga terlatih

memiliki mortalitas perinatal 3 kali lipat dan mortalitas maternal 100 kali lipat lebih tinggi

dibanding wanita yang mengikuti ANC. Terdapat hubungan antara jumlah kunjungan ANC

dengan kesehatan persalinan (Dowswell et al., 2010).

Ibu hamil minimal harus kontak empat kali dengan petugas kesehatan untuk melakukan

pemeriksaan kesehatan. Kontak pertama dilakukan pada trimester I (kehamilan hingga 12

minggu) dan kontak kedua pada trimester ke 2 (12 - 24 minggu), sedangkan kontak ketiga dan

keempat dilakukan pada trimester ke-3 setelah minggu ke 24 sampai dengan minggu ke 36
kehamilan. Kunjungan antenatal bisa lebih dari 4 kali sesuai dengan kebutuhan, jika ada

keluhan, penyakit atau gangguan kehamilan (Depkes RI, 2010).

Kualitas ANC yang baik seyogyanya dapat mengubah perilaku ibu sehingga ibu dapat

mencapai kesehatan yang optimal pada waktu hamil dan melahirkan, karena pada setiap

kunjungan antenatal selain pemeriksaan ibu juga akan mendapat penyuluhan/konseling. Materi

konseling ialah masalah yang dirasakan ibu yang berhubungan dengan kehamilannya, dengan

demikian petugas kesehatan diajak untuk memahami ibu secara individu dan belajar untuk

mendengarkan segala sesuatu yang diutarakan oleh ibu hamil. Tidak dilakukannya antenatal

care oleh ibu hamil tersebut, atau jumlah kunjungan yang kurang dari standar meningkatkan

risiko untuk melahirkan bayi BBLR. Ibu yang tidak melakukan antenatal care sesuai standar 9

kali lebih berisiko untuk melahirkan bayi BBLR (OR = 9,18) (Raatikainen et al., 2007).

B.Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik selama hamil merupakan salah satu faktor penting yang dapat

menentukan hasil akhir dari kehamilan. Aktivitas yang dilakukan ibu diluar rumah ataupun

didalam rumah berhubungan dengan kelahiran bayi BBLR. Aktivitas fisik yang sedang dan

berat selama hamil meningkatkan insiden kelahiran prematur dan abortus. Sedangkan aktivitas

yang ringan dan istirahat yang cukup selama hamil memberikan hasil kehamilan yang lebih

baik dengan berat lahir bayi yang normal. Ibu yang melakukan semua pekerjaan pekerjaan

rumah rumah tangga lebih rentan untuk melahirkan bayi prematur dibandingkan ibu yang

melakukan kurang dari setengah pekerjaan rumah. Berdasarkan hasil penelitian, berat badan

lahir anak akan kurang 150 g – 400g pada ibu yang tetap bekerja saat trimester ketiga kehamlan

jika dibandingkan dengan ibu yang hanya berdiam dirumah. (Dwarkanath P et al., 2007).

Aktivitas fisik erat hubungannya dengan energy expenditure, hal inilah yang akan

mempengaruhi nutrisi dan ukuran lahir seorang bayi. Aktivitas fisik yang dilakukan ibu

berhubungan dengan penambahan berat badan selama hamil, terutama pada trimester 1.
Aktivitas fisik sedang dan tinggi saat hamil terutama pada trimester 1 kehamilan meningkatkan

risiko 1.58 kali lipat untuk melahirkan bayi BBLR. Berdasarkan penelitian Rao et al (2003),

proporsi bayi BBLR lebih rendah pada ibu dengan aktivitas fisik ringan (28,6 %) dibandingkan

dengan ibu dengan aktivitas fisik sedang berat (38,4%). Aktivitas fisik yang berat akan

menurunkan aliran darah uteroplasenta, hal ini akan menyebabkan kurangnya suplai oksigen

dan nutrisi ke janin dan mempengaruhi berat badan lahir bayi. Sedangkan istirahat yang cukup

terutama pada trimester dua merupakan faktor proteksi untuk terjadinya kelahiran bayi

prematur (Rao S et al., 2003).

Aktifitas fisik ringan serta istirahat yang cukup selama hamil menurunkan risiko

lahirnya bayi prematur hingga 50 %. Istirahat yang cukup menjaga kestabilan emosi,

mengurangi stress dan menjaga stamina tubuh. Selain beristirahat, ibu hamil tetap disarankan

untuk berolahraga derajat sedang selama lebih kurang 30 menit jika tidak memiliki masalah dalam

kehamilannya (Hegaard HK et al., 2008).

C.Zat teratogenik

Zat teratogen adalah zat-zat yang dapat menimbulkan perubahan bentuk dan fungsi yang

menetap pada janin. Mekanisme dasar yang menyebabkan efek buruk pada janin yang terpapar

dengan zat teratogen selama kehamilan meliputi efek biologik dan lingkungan serta interaksi

antara keduanya. Zat ini dapat menyebabkan persalinan kurang bulan dan gangguan

pertumbuhan janin melalui mekanisme efek langsung pada pertumbuhan otak dan

vasokonstriksi pada pembuluh darah uterus. Selain itu, zat-zat tertentu juga menyebabkan nafsu

makan berkurang sehingga terjadi gangguan nutrisi, berat badan sebelum hamil kurang dan

pertambahan berat badan selama hamil yang rendah.


Penentuan suatu bahan kimia mempunyai kemampuan atau potensi untuk terjadinya

gangguan pertumbuhan janin sangat bergantung pada kepekaan spesies, tingkat perkembangan

spesies dan dosis tertentu. Kerusakan yang berat selama blastogenesis menyebabkan kematian

pada janin, kerusakan ringan dapat sembuh tanpa cacat karena sel-sel saat ini masih

berdiferensiasi mampu beregenerasi dalam jumlah besar. Selama embriogenesis kerusakan

bergantung pada tingkat organogenesis, karena waktu itu organ-organ dibentuk. Pada tingkat

blastula belum terjadi diferensiasi sehingga kerusakan tidak fatal bahkan masih ada

kemungkinan untuk restitusio ad integrum. Sebaliknya jika senyawa yang merugikan

mencapai blastula yang sedang berada dalam fase diferensiasi, maka terjadi cacat. Jika

diferensiasi organ selesai, kerusakan tidak lagi menimbulkan cacat, melainkan gangguan

pertumbuhan atau persalinan kurang bulan (Prawirohardjo, 2010).

Terdapat beberapa obat dan bahan yang sangat dicurigai atau terbukti teratogenik dan

menyebabkan gangguan pertumbuhan didalam kandungan, yaitu alkohol, tembakau, obat anti

kejang, obat anti neoplasma (siklofosfamid, metroteksat, aminopterin) dan obat psikotropika.

Heroin, metadon, dan etanol menyebabkan efek toksik pada sel dan langsung

mengganggu replikasi sel. Tembakau dan ratusan zat berbahaya lainnya yang terkandung

didalam rokok menyebabkan gangguan pertumbuhan dan penurunan berat badan janin.

Besarnya penurunan berat badan janin ini sangat tergantung dengan jumlah rokok yang

dikonsumsi perharinya. Merokok 10 batang rokok perhari menurunkan berat badan 170 gram

sedangkan mengonsumsi rokok lebih dari 15 batang perhari dapat menurunkan 300 gram berat

badan janin. Selain tembakau, nikotin juga dapat menyebabkan pelepasan zat yang memicu

vasokonstriksi uterus dan hipoksia janin. Karbon monoksida dan sianida dapat mengganggu

ikatan hemoglobin dengan oksigen, hal ini menyebabkan kurangnya oksigen yang diangkut

dari ibu ke janin dan dari janin ke jaringannya. Selain itu, obat seperti propanolol, beta blocker
serta kortikosteroid juga dapat menyebabkan rendahnya berat badan lahir (Fanaroff & Martin,

2006).

Konsumsi alkohol selama kehamilan dapat menimbulkan permasalahan yang berat

pada janin. Kadar asetaldehid yang tinggi dalam darah menyebabkan kelainan fetal alcohol

syndrome pada bayi. Pada tingkat selular metabolit ini menyebabkan kerusakan sintesis protein

sehingga sel-sel mengalami hambatan pertumbuhan sehingga terjadi gangguan perkembangan

otak dan pertumbuhan tubuh janin (Prawirohardjo, 2010).

2.4 Masalah BBLR

Terdapat beberapa masalah umum pada bayi BBLR :

1.Hipotermi

Kondisi ini terjadi karena masih sedikitnya lemak tubuh dan belum matangnya sistem

pengaturan tubuh pada bayi tersebut.

Besarnya rasio luas permukaan terhadap berat badan serta berkurangnya produksi panas akibat

sedikitnya lemak coklat dan ketidakmampuan untuk menggigil juga menyebabkan risiko

terjadinya hipotermi pada bayi BBLR. Selain itu kontrol refleks kapiler kulit juga masih kurang

pada bayi BBLR (Surasmi et al., 2003).

2.Hipoglikemi simtomatik

Kondisi ini terutama terdapat pada bayi laki-laki. Penyebabnya belum jelas, tetapi

diperkirakan oleh karena kurangnya persediaan glikogen pada bayi BBLR. Gejalanya tidak

khas tapi umumnya bayi tidak menunjukan gejala, kemudian dapat terjadi jitteriness, twitching,

serangan apneu, sianosis, tidak mau minum, lemas, apatis dan kejang (Fanaroff & Martin,

2006). Glukosa merupakan zat penting untuk suplai otak, jika glukosa ini kurang, maka akan

menyebabkan maturitas sel-sel saraf otak terganggu dan kelak akan mempengaruhi kecerdasan

anak (Proverawati & Sulistyorini, 2010).


3.Sindrom aspirasi mekonium

Sindrom aspirasi mekonium yang terjadi pada bayi BBLR disebabkan oleh keadaan

hipoksia intrauterin yang akan menstimulasi janin untuk gasping dalam uterus. Selain itu

mekonium akan dilepaskan kedalam cairan amnion. Akibatnya cairan yang mengandung

mekonium akan terisap oleh janin dan masuk kedalam paru janin (Fanaroff & Martin, 2006).

4.Gangguan Imunitas

Pemindahan substansi kekebalan dari ibu ke janin terjadi pada minggu terakhir masa

kehamilan. Pada bayi prematur, imunitas humoral dan seluler masih kurang sehingga bayi

mudah terinfeksi. Rendahnya kadar IgG, maupun gamma globulin serta masih rendahnya daya

fagositosis memicu terjadinya infeksi.

Bayi mudah terkena infeksi saat di jalan lahir atau tertular infeksi ibu melalui plasenta

(Damanik, 2010).

2.5.Pencegahan BBLR

Sulit untuk menentukan tindakan pencegahan pada kasus BBLR, oleh karena penyebab

umum terjadinya kasus BBLR yang bersifat multifaktorial. Namun ada beberapa usaha yang

dapat dilakukan untuk menurunkan prevalensi bayi BBLR di masyarakat, yaitu dengan

melakukan beberapa upaya berikut (Dwienda et al., 2014 ; Proverawati & Sulistyorini, 2010)

1. Mengusahakan semua ibu hamil mendapatkan perawatan antenatal yang

komprehensif.

2. Meningkatkan gizi masyarakat sehingga dapat menegah terjadinya bayi BBLR dan

memperbaiki status gizi ibu hamil, dengan menkonsumsi makanan yang lebih sering

atau lebih banyak, dan lebih diutamakan makanan yang mengandung nutrisi yang

cukup.
3. Menghentikan kebiasaan merokok, menggunakan obat-obatan terlarang dan alkohol

pada ibu hamil.

4. Meningkatkan pemeriksaan kehamilan secara berkala minimal 4 kali selama kurun

kehamilan dimulai sejak umur kehamilan muda. Apabila kenaikan berat badan kurang

dari 1 kg/bulan, sebaiknya segera berkonsultasi dengan ahli.

5. Mengkonsumsi tablet zat besi secara teratur sebanyak satu tablet per hari.Lakukan

minimal sebanyak 90 tablet. Mintalah tablet zat besi saat berkonsultasi dengan ahli.

6. Ibu hamil yang diduga berisiko, terutama faktor risiko yang mengarah melahirkan bayi

BBLR harus cepat dilaporkan, dipantau dan dirujuk pada institusi pelayanan kesehatan

yang lebih mampu.

7. Penyuluhan kesehatan tentang pertumbuhan dan perkembangan janin dalam rahim,

tanda-tanda bahaya selama kehamilan dan perawatan dini selama kehamilan agar

mereka dapat menjaga kesehatannya dan janin yang dikandung dengan baik.

8. Menganjurkan untuk lebih banyak beristirahat bila kehamilan mendekati aterm atau

istirahat baring bila terjadi keadaan yang menyimpang.

9. Hendaknya ibu dapat merencanakan persalinannya pada kurun umur reproduksi sehat

(20-34 tahun) dan konseling pada suami istri untuk mengusahakan agar menjaga jarak

antar kehamilan palin sedikit 2 tahun.

10. Kurangi kegiatan yang melelahkan secara fisik semasa kehamilan. Beristirahatlah yang

cukup dan tidurlah lebih awal.

11. Meningkatkan penerimaan gerakan Keluarga Berencana (KB), dengan mendorong

penggunaan metode kontrasepsi yang modern dan sesuai untuk menjarangkan

kehamilan.
12. Memberikan pengarahan kepada ibu hamil dan keluarganya untuk mengenali tanda-

tanda bahaya selama kehamilan dan mendapatkan pengobatan terhadap masalah

kehamilan tersebut.

13. Perlu dukungan sektor lain yang terkait untuk turut berperan dalam meningkatkan

pendidikan ibu dan status ekonomi keluarga agar mereka dapat meningkatkan akses

terhadap pemanfaatan pelayanan antenatal dan status gizi ibu selama kehamilan.

2.1.4 Patofisiologi (Pathway) Etiologi

Faktor Ibu Faktor Janin

Faktor Plasenta

BBLR

Jaringan lemak Prematuritas Fungsi organ-organ


Permukaan tubuh subkutan lebih belum baik
relatif lebih luas tipis
Penurunan
daya tahan
Penguapan Pemaparan Kehilangan Kekurangann
berlebih dgn suhu panas cadangan
luar melalui kulit energi Risiko
infeksi
Kehilangan
cairan
Kehilangan Malnutrisi
Dehidrasi panas

Hipoglikemia
Ikterus
Hipotermia

Hati Usus Paru Ginjal Otak Mata Kulit

Dinding Peristaltik Halus mudah


Konjugasi blm 1. Per Imaturitas Imaturitas lensa
lambung lecet
bilirubin blm sempurna tumbuhan Imaturitas sentrum2 vital mata sekunder
lunak ginjal
sempurna ddng dada efek CO2
blm
Risiko
sempurna
Pengosongan 2. Regulasi infeksi
Mudah Ves

Anda mungkin juga menyukai