Kajian Teori Bab 2
Kajian Teori Bab 2
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Prawirohardjo (2009), BBLR adalah bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari
2500 gram (sampai dengan 2499 gram). WHO (2004) mendefinisikan BBLR sebagai kelompok bayi
yang lahir dengan berat kurang dari 2500 gram terlepas dari usia kehamilan, baik prematur ataupun
cukup bulan. Berat lahir harus ditimbang dalam waktu satu jam pertama setelah lahir. Pengukuran ini
dilakukan di tempat fasilitas (Rumah Sakit, Puskesmas, dan Polindes). Pengukuran bayi yang dilahirkan
BBLR dapat diklasifikasikan menjadi dua golongan berdasarkan masa kehamilan (Proverawati
Bayi kurang bulan disebut juga bayi prematur. Bayi kurang bulan adalah bayi yang lahir dengan
umur kehamilan kurang dari 37 minggu dengan berat kurang dari 2500 gram. Insiden bayi kurang
Bayi kecil masa kehamilan (KMK) adalah bayi yang lahir dengan usia kehamilan lebih dari 37
minggu dan dilahirkan dengan berat kurang dari persentil ke-10 kurva pertumbuhan janin. Insiden
Pada tahun 2004, terdapat 20 juta kasus BBLR di dunia dan 95.6% dari kasus tersebut terjadi
di negara yang sedang berkembang. Persentase rata-rata kasus BBLR dunia sejak tahun 2009-2013
adalah sebesar 16% (UNICEF, 2014). Kasus BBLR terpusat di dua benua, yaitu benua Asia (72%) dan
Persentase BBLR tertinggi terdapat di provinsi Sulawesi Tengah (16,9%) dan terendah di Sumatera
Utara (7,2%). Sedangkan persentasi BBLR di Sumatera Barat ialah sebesar 7,3%.
Menurut Dinas Kesehatan Kota Padang, terdapat peningkatan kasus BBLR di Kota Padang
dalam 3 tahun terakhir. Pada tahun 2013 terdapat 171 kasus BBLR, tahun 2014 ada 297 kasus BBLR
dan pada tahun 2015 terjadi peningkatan kembali sebanyak 371 kasus.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian prematuritas dan bayi KMK sulit
dipisahkan secara tegas dalam kontribusinya sebagai penyebab BBLR. Namun, terdapat
beberapa faktor umum yang berhubungan terkait dengan kejadian BBLR ini.
kehamilan multipel.
A. Usia Ibu
Usia yang berisiko untuk melahirkan bayi BBLR ialah ibu dengan usia kurang dari 20
tahun dan lebih dari 35 tahun. Wanita hamil dengan usia kurang dari 20 tahun masih dalam
masa pertumbuhan, dan apabila pada usia ini terjadi kehamilan, maka terjadi persaingan nutrisi
antara ibu dengan janin yang dikandungnya, sehingga berat badan ibu hamil seringkali sulit
naik dan nutrisi untuk janin akan berkurang. Kondisi ini juga dapat disertai dengan anemia
akibat defisiensi nutrisi yang terjadi pada ibu. Kedua hal ini menyebabkan bayi lahir dengan
Anatomi tubuh pada wanita yang masih kurang dari 20 tahun belum mature dan alat
reproduksi masih belum siap untuk proses mengandung maupun melahirkan jika dibandingkan
dengan wanita usia lebih dari 20 tahun. Pada usia muda, rahim masih imatur dan aliran darah
ke serviks masih kurang, hal ini meningkatkan risiko terjadinya infeksi subklinik dan
peningkatan produksi prostaglandin yang akhirnya akan menyebabkan janin lahir secara
Berdasarkan penelitian Jolly et al (2010), wanita dengan usia kurang dari 18 tahun
mudah mengalami infeksi saluran kemih dibanding sampel kontrol, penyebabnya diduga
bahwa masih imatur-nya imunitas pada wanita usia tersebut. Kondisi infeksi ini semakin
Penikahan dan kehamilan pada usia muda menyebabkan timbulnya masalah psikologis
pada wanita tersebut. Ibu muda belum siap secara psikologis untuk bertanggungjawab dan
berperan sebagai istri, partner seks dan menjadi ibu bagi bayi yang dilahirkannya dan hal ini
akan menyebabkan kurang optimalnya perawatan yang dilakukan ibu selama hamil. Masalah
psikologi seperti stress emosional, depresi dan kurangnya dukungan keluarga yang dihadapi
ibu muda pada saat berlangsungnya kehamilan berisiko terhadap kejadian keguguran, berat
badan lahir rendah dan lainnya. Depresi juga berhubungan dengan peningkatan tekanan darah,
janin maupun ibu yang mengandungnya (Fadlyana & Larasaty, 2009 ; Chen XK et al., 2007).
kehamilan seperti hipertensi dan preeklamsia. Sistem vascular uterus pada ibu dengan usia
lebih dari 35 tahun lebih sering mengalami kegagalan untuk beradaptasi terhadap peningkatan
kebutuhan hemodinamik selama kehamilan. Ibu dengan lebih dari 35 tahun lebih berisiko untuk
mengalami eguguran, kelainan kromosom dan kelainan pada plasentanya (Goldman et al.,
2005).
Usia lebih dari 35 tahun dan lebih dari 40 tahun sangat berhubungan dengan kejadian
KMK, dengan OR 1.4 dan 3.2. Kerusakan endotel pembuluh darah akan terjadi secara progresif
seiring pertambahan usia, hal ini mengakibatkan gangguan pertukaran oksigen antara ibu dan
janin. Saat usia ibu lebih dari 35 tahun, terdapat berbagai penyakit yang dapat mempengaruhi
kesehatan ibu dan hal ini menyebabkan peningkatan penggunaan obat-obatan untuk mengobati
penyakit tersebut. Obat-obatan yang dikonsumsi ini dapat meningkatkan risiko dilahirkannya
B. Jarak Kehamilan
Jarak kehamilan adalah jarak antara kelahiran bayi sebelumnya dengan kehamilan bayi
berikutnya. WHO merekomendasikan jarak kehamilan aman yaitu antara 2-3 tahun. Jarak
kehamilan dekat yang kurang dari dua tahun memberikan permasalahan bagi bayi dan juga
Penelitian oleh Smith et al (2003) memperoleh hasil terdapat 30-50 % bayi BBLR yang
dilahirkan oleh ibu dengan jarak kehamilan dekat khususnya pada jarak kehamilan kurang dari
6 bulan. Ibu ini berisiko empat kali lipat melahirkan bayi prematur dan bayi yang dilahirkan
Terdapat hipotesis deplesi ibu terkait hubungan jarak kehamilan yang dekat dengan
kejadian BBLR. Interval kehamilan yang dekat tidak memberi waktu kepada ibu untuk pulih
dari stres fisiologis yang telah terjadi pada kehamilan sebelumnya. Deplesi zat nutrisi dan
anemia yang telah terjadi pada kehamilan sebelumnya belum tertangani sempurna. Deplesi zat
nutrisi dan anemia ini juga berperan dalam terjadinya ruptur membran pada bayi pematur. Jarak
kehamilan yang singkat juga lebih tinggi untuk berisiko pendarahan di trimester ketiga. Hal ini
disebabkan kurangnya waktu bagi pembuluh darah endometrium untuk mengalami remodeling
dengan sempurna setelah persalinan sebelumnya. Kondisi ini dapat mengganggu aliran
uteroplasenta dan menyebabkan kurangnya nutrisi yang diterima janin (Agudelo & Balizan,
2000).
Selama hamil terjadi perubahan berat badan, protein dan keseimbangan energi serta
berkurangnya asam lemak yang baik untuk janin. Selain makronutrien, mikronutrien seperti
vitamin dan mineral juga turut terkuras selama hamil. Salah satunya nutrien yang mengalami
deplesi ialah folat. Terjadi penurunan folat sejak bulan kelima kehamilan, dan tetap akan
rendah untuk waktu yang cukup lama setelah ibu melahirkan.. Ibu yang hamil sebelum restorasi
folat selesai memiliki peningkatan risiko kekurangan folat selama kehamilan. Akibatnya, janin
yang dikandung memiliki risiko yang lebih tinggi mengalami cacat tabung saraf, gangguan
pertumbuhan di dalam rahim dan kelahiran prematur (Smits & Essed, 2001).
Penelitian oleh Megahed et al (2004) menemukan bahwa kadar eritrosit rata-rata dan
level folat serum lebih rendah pada ibu dengan jarak kehamilan yang dekat ( kuang dari 6
bulan) jika dibandingkan dengan ibu dengan jarak kehamilan 18-24 bulan (p = 0.002 untuk
Ibu dengan jarak kehamilan kurang dari 24 bulan lebih berisiko untuk mengalami
anemia untuk kehamilan berikutnya. Sedangkan ibu dengan jarak kehamilan 24-35 bulan
memiliki risiko paling rendah untuk mengalami anemia (p = 0.011). Hal ini disebabkan oleh
kurangnya cadangan zat besi oleh karena kehamilan sebelumnya. Anemia yang terjadi ini
berisiko pada pertumbuhan janin didalam kandungan dan menyebabkan lahirnya bayi dengan
Dekatnya jarak kehamilan juga menyebabkan inadekuatnya waktu bagi otot reproduksi
untuk kembali ke tonus otot yang baik yang menyebabkan kelemahan otot reproduksi, hal ini
akan meningkatkan insiden insufisensi serviks yang memicu kelahiran prematur (Ludmir et al.,
pasca melahirkan : 50.2 µg/mg saat 3 bulan, 57.9 g/mg saat 6 bulan, 61.9 µg/mg saat 9 bulan
dan 65.2 µg/mg saat 12 bulan. Perbedaan konsentrasi ini berbeda signifikan secara statistik.
Peneliti menyimpulkan bahwa serviks uterus belum pulih secara sempurna hingga 12 bulan
pasca melahirkan. Sehingga bila terjadi kehamilan dalam rentang waktu tersebut, berisiko
C.Paritas
viabilitas (mampu hidup) dan telah dilahirkan. Pada umumnya kasus BBLR meningkat sesuai
Paritas yang berhubungan dan berisiko untuk melahirkan bayi BBLR adalah paritas nol,
yaitu bila ibu pertama kali hamil dan paritas lebih dari 3.
Risiko untuk BBLR lebih tinggi pada paritas 0 kemudian menurun pada paritas 1, 2, 3 dan
Menurut Wiknjosastro, paritas 0 dan paritas tinggi (lebih dari 3) mempunyai angka
kejadian komplikasi lebih tinggi. Ibu dengan paritas rendah cenderung melahirkan bayi yang
tidak matur atau lebih sering memperoleh komplikasi karena kehamilan pertama merupakan
pengalaman pertama terhadap kemampuan alat reproduksi ibu. Pada paritas yang rendah,
ketidaksiapan ibu secara fisik dan mental dalam menghadapi persalinan yang pertama
merupakan faktor penyebab ketidakmampuan ibu hamil dalam menangani komplikasi yang
terjadi selama kehamilan, persalinan, dan nifas. Ibu dengan paritas tinggi cendrung memiliki
komplikasi dalam kehamilan yang akhirnya akan mempengaruhi pertumbuhan janin. Paritas
tinggi merupakan paritas rawan karena banyak kejadian obstetri patologi yang terjadi pada
paritas tinggi, antara lain preeklamsia, pendarahan antenatal sampai atonia uteri (Wiknjosastro,
2005).
Paritas tidak aman yaitu paritas 1 dan lebih dari 3. Kehamilan pertama lebih berisiko
untuk melahirkan bayi BBLR karena kehamilan pertama merupakan sebuah percobaan yang
berat terhadap kemampuan reproduksi dalam menjaga dan menerima kehadiran janin serta
pengalaman hamil yang belum ada. Ibu primipara masih memiliki pengetahuan yang kurang
dan belum memiliki pengalaman tentang kehamilan sehingga dapat berpengaruh dalam
kehamilannya. Kesiapan dalam menghadapi kehamilan baik secara fisik maupun mental
cenderung masih kurang sehingga dapat berpengaruh pada pola pemeliharaan kehamilan.
Sedangkan ibu yang pernah hamil dan melahirkan anak lebih dari tiga kali, maka kemungkinan
akan banyak ditemui gangguan pada kesehatan ibu seperti anemia yang dapat menyebabkan
kelahiran BBLR, disini juga akan terjadi kekendoran pada dinding rahim yang dapat
Pada wanita dengan paritas lebih dari 3 cendrung mengalami komplikasi dalam
kehamilan karena pada tiap kehamilan risiko timbulnya kelainan pada uterus semakin
meningkat. Kehamilan yang berulang dapat merusak pembuluh darah dinding uterus yang akan
kurangnya asupan janin untuk tumbuh sehingga akan mengganggu pertumbuhan janin di dalam
kandungan. Ibu dengan paritas tinggi berhubungan dengan terjadinya anemia. Paritas yang
tinggi menyebabkan cadangan besi di tubuh akan terkuras dan menyebabkan timbulnya deplesi
zat besi. Kondisi anemia ini berisiko untuk terjadinya BBLR (Levy, 2005; Amalia, 2011).
D. Status Gizi
1) Anemia
Selama masa kehamilan, terjadi anemia relatif pada ibu, yaitu kejadian hemodilusi yaitu
penambahan volume plasma relatif yang lebih besar daripada volume sel darah merah.
Hemodilusi merupakan suatu adaptasi fisiologis pada sistem sirkulasi ibu hamil untuk
memenuhi kebutuhan besar uterus dan janin yang mengalami hipertrofi sistem vaskular
Saat hamil terjadi peningkatan penggunaan zat besi untuk meningkatkan massa eritrosit,
hemoglobin (Hb) akan menurun pada saat hamil dengan kadar rata-rata normal ialah 11 g/dl.
Penurunan paling sering terjadi hingga usia kehamilan 20 minggu, dan akan konstan hingga
usia 30 minggu. Pada wanita dengan kadar zat besi yang kurang serta tidak diimbangi dengan
asupan zat besi tambahan, akan menyebabkan turunnya kadar Hb di bawah kadar normal dan
Ibu hamil cendrung mengalami anemia, karena kebutuhan zat gizi bagi pembentukan
darah meningkat selain untuk dirinya sendiri, juga untuk kebutuhan janin. Ibu hamil yang
anemia akan berisiko pendarahan saat persalinan. Sedangkan pada janinnya akan
lahir BBLR bahkan bisa mati didalam kandungan. Hal ini karena fungsi Hb dalam darah untuk
membawa oksigen yang diperlukan oleh jaringan tubuh dalam metabolisme dan membuang
karbondioksida. Jika darah kekurangan Hb, maka oksigen yang dibawa darah keseluruh tubuh
Anemia yang terjadi ibu saat hamil akan berefek kepada janin. Asosiasi antara Hb ibu
dan berat badan lahir bayi berupa kurva U-shape. Ibu dengan Hb kurang dari 9 g/dL dan Hb
lebih dari 11 memiliki risiko lebih besar untuk melahirkan bayi BBLR. Hb ideal yang dapat
mencegah terjadinya prematuritas dan KMK ialah sebesar 9.5 g/dL-11.5 g/dL. Terdapat
hubungan antara durasi defisiensi besi dan anemia pada ibu hamil dengan perubahan
fetoplasenta. Risiko bayi untuk lahir prematur meningkat jika adanya defisiensi besi saat awal
bahwa anemia yang terjadi pada trimester satu dan dua lebih berisiko untuk melahirkan bayi
BBLR dibandingkan jika anemia tersebut terjadi pada trimester tiga. Pertumbuhan liner pada
fetus akan meningkat hingga usia gestasi 16 minggu, dan akan menurun setelahnya. Pada
pemeriksaan ultrasonography yang dilakukan pada ibu selama hamil terlihat adanya
peningkatan kecepatan pertumbuhan tulang femur di awal trimester dua dan mengalami
Status gizi ibu hamil bisa diketahui dengan mengukur ukuran lingkar lengan atas
(LILA). Lingkar lengan atas terutama bermanfaat untuk mengetahui risiko KEK pada awal
kehamilan karena berat badan prahamil tidak diketahui. Di Indonesia, para ibu tidak biasa
menimbang berat badan sebelum hamil sehingga penggunaan LILA sebagai indikator risiko
KEK menjadi sangat penting. Jika lingkar lengan atas kurang dari 23,5 cm, maka ibu hamil
tersebut dikatakan mengalami KEK. Kondisi ini menandakan bahwa ibu sudah mengalami
keadaan kurang gizi dalam jangka waktu yang telah lama, bila ini terjadi maka kebutuhan
nutrisi untuk proses tumbuh kembang janin menjadi terhambat, akibatnya melahirkan bayi
Status gizi sebelum hamil dan selama kehamilan dapat mempengaruhi pertumbuhan
karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya meningkat selama kehamilan. Peningkatan
energi dan zat gizi tersebut diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan janin,
pertambahan besarnya organ kandungan, perubahan komposisi dan metabolisme tubuh ibu.
Sehingga kekurangan zat gizi tertentu yang diperlukan saat hamil dapat menyebabkan janin
tumbuh tidak sempurna dan terhambat. Bagi ibu hamil, pada dasarnya semua zat gizi
memerlukan tambahan, namun yang seringkali menjadi kekurangan adalah energi protein dan
dan beberapa mineral seperti zat besi dan kalsium (Waryana, 2010).
Hubungan antara KEK dengan BBLR dapat dijelaskan karena kebutuhan energi untuk
kehamilan yang normal perlu tambahan kira-kira 80.000 kalori selama masa kurang lebih 280
hari. Hal ini berarti perlu tambahan ekstra sebanyak kurang lebih 300 kalori setiap hari selama
hamil. Kebutuhan energi pada trimester I meningkat secara minimal. Kemudian sepanjang
trimester II dan III kebutuhan energi terus meningkat sampai akhir kehamilan. Jika kebutuhan
ini tidak terpenuhi serta diperberat oleh kondisi ibu yang KEK, maka akan menyebabkan
berbagai permasalahan kesehatan untuk ibu dan janin yang dikandungnya. Permasalahan dan
komplikasi yang dapat terjadi pada ibu bisa berupa anemia, pendarahan, berat badan selama
hamil yang tidak bertambah secara normal ataupun rentannya ibu mengalami infeksi. Selain
itu, janin juga akan memperoleh dampaknya, akan terjadi gangguan pertumbuhan, kelahiran
prematur, abortus, bayi lahir mati, dan kematian neonatal (Proverawati et al., 2009 ; Sandjaja,
2009).
Ibu hamil yang menderita KEK mempunyai risiko kesakitan yang lebih besar terutama
pada trimester II kehamilan dibandingkan dengan ibu hamil normal. Akibatnya mereka
mempunyai risiko yang lebih besar untuk melahirkan bayi dengan BBLR dan komplikasi
kehamilan yang lain. Ibu dengan status gizi kurang sebelum hamil mempunyai risiko 4,27 kali
untuk melahirkan bayi BBLR dibanding ibu dengan status gizi baik (Waryana, 2010).
Berat lahir bayi sangat berhubungan dengan status gizi janin saat didalam kandungan.
Status gizi janin berkaitan erat dengan status gizi ibu ketika melahirkan dan konsepsi. Semua
zat gizi yang diperlukan bagi pertumbuhan janin terdapat dalam makanan yang dikonsumsi
oleh ibu. Makanan yang telah dikonsumsi ibu akan disimpan secara teratur dan terus menerus
sebagai glikogen, protein dan kelebihannya sebagai lemak. Semua berguna untuk memenuhi
kebutuhan energi, pertumbuhan baru, termasuk kebutuhan ibu untuk kehamilannya dan
pertumbuhan janin. Penyimpanan lemak ibu selama kehamilan akan mencapai puncaknya pada
trimester kedua dan kemudian akan semakin menurun seiring dengan meningkatnya kebutuhan
janin pada akhir kehamilan. Hal ini tentu akan berpengaruh terhadap berat badan ibu selama
hamil. Terganggunya asupan makanan ibu akan mempengaruhi penyimpanan dan kebutuhan
energi bagi ibu dan janin yang sedang dalam pertumbuhan tadi (Cunningham et al., 2012 ;
Prawirohardjo, 2010).
Berat badan sebelum hamil dan peningkatan berat badan selama hamil sangat
mempengaruhi pertumbuhan janin. Kurangnya pertambahan berat badan ibu selama hamil
berisiko untuk lahirnya bayi BBLR. BMI ibu yang rendah (kurang dari 19,8) butuh peningkatan
berat badan 12.5-18 kg. Ibu dengan BMI normal (19,8-26) perlu penambahan berat badan 11.5-
16 kg, ibu dengan BMI lebih (26-29) perlu penambahan 7-11,5 kg, sedangkan ibu yang obesitas
(BMI lebih dari 29) hanya membutuhkan peningkatan berat badan sebesar 6 kg. Rendahnya
penambahan berat badan ibu selama hamil sangat berhubungan dengan kurangnya nutrisi ibu
selama kehamilan. Nutrisi yang rendah menyebabkan kurangnya aliran darah uterin,
transportasi plasenta dan area permukaan vili (Fanaroff & Martin, 2006).
Untuk mencapai kebutuhan nutrisi yang diharapkan terpenuhi bagi ibu selama
kehamilan dan janinnya, ibu hamil harus mencapai penambahan berat badan pada angka
tertentu selama hamil. Penambahan berat badan yang diharapkan pada kehamilan trimester I
adalah 2 – 4 kg, pada trimester II 0,4 kg per minggu, dan trimester III 0,5 kg atau kurang per
minggu. Perubahan berat badan yang tidak sesuai akan menyebabkan berbagai komplikasi bagi
Kualitas akhir suatu kehamilan dipengaruhi oleh kondisi klinis ibu dalam memulai dan
selama proses konsepsi berlangsung. Beberapa penyakit medis ibu dapat mengakibatkan hasil
akhir kehamilan yang buruk. Penyakit yang diderita ibu, terutama penyakit yang menyebabkan
iskemia uterin dan hipoksemia dapat mengganggu pertumbuhan janin. Komplikasi kehamilan
berupa hipertensi, pre eklamsia, eklamsia serta pendarahan akan mengganggu pertumbuhan
janin. Obat anti hipertensi yang diberikan kepada ibu juga semakin memperberat gangguan
pertumbuhan janin. Penurunan tekanan darah 10 mmHg akibat obat antihipertensi, akan
disertai penurunan berat badan janin sebesar 145 gr. Insufisiensi pembuluh darah akibat dari
diabetes melitus berat yang diderita ibu, terutama pada ibu yang sudah mengalami kerusakan
organ di mata dan retina juga berisiko untuk melahirkan bayi BBLR. Wanita dengan penyakit
autoimun yang serius yang berhubungan dengan lupus antikoagulan juga berisiko untuk
mengalami preeklaamsia dan melahirkan bayi BBLR. Penyakit autoimun ini dapat menyerang
pembuluh darah dan menimbulkan lesi pada pembuluh darah uterin dan plasenta yang dapat
menyebabkan gangguan aliran darah ke janin. Kondisi hipoksemia yang terjadi pada ibu juga
sangat berhubungan dengan pertumbuhan janin. Ibu yang menderita penyakit jantung
kongenital sianotik seperti tetralogy of fallot sering melahirkan bayi dengan berat badan
rendah. Selain itu, anemia sel sabit juga dapat menyebabkan hipoksia dan iskemia lokal pada
nutrisi ke janin, dan hal inilah yang menyebabkan gangguan pertumbuhan pada janin. Penyakit
vascular pada ibu seperti hipertensi kronik, preeklamsia serta diabetes yang berasosiasi dengan
Pada preeklamsia, terjadi kegagalan invasi sel trofoblas pada lapisan otot arteri spiralis dan
jaringan matriks sekitarnya. Lapisan otot arteri spiralis menjadi tetap kaku dan keras sehingga
lumen arteri spiralis tidak memungkinkan untuk mengalami distensi dan vasodilatasi.
Akibatnya, arteri spiralis relatif mengalami vasokonstriksi sehingga aliran darah uteroplasenta
akan menurun dan mengganggu hantaran nutrisi dari ibu ke janin (Steven et al., 2002).
F. Riwayat Obstetri yang Buruk
Ibu yang mempunyai riwayat hasil kehamilan yang buruk pada kehamilan sebelumnya,
lebih berisiko untuk melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah pada kehamilan
berikutnya. Adanya abortus spontan, kematian janin didalam kandungan dan kelahiran
prematur pada kehamilan sebelumnya dapat meningkatkan risiko terlahirnya bayi dengan berat
badan lahir rendah. Ibu yang pernah melahirkan bayi BBLR pada kehamilan pertama berisiko
2 kali lipat melahirkan bayi BBLR di kehamilan berikutnya. Jika ibu sudah 2 kali berturut-turut
melahirkan bayi BBLR, maka risiko ini akan meningkat 4 kali lipat. Hal ini dapat terjadi
terutama jika faktor yang mendasari tidak tertangani (Steven et al., 2002).
A. Infeksi
Ibu hamil sangat peka terhadap terjadinya infeksi dari berbagai mikroorganisme. Secara
fisiologik sistem imun pada ibu hamil akan menurun, kemungkinan sebagai akibat dari
toleransi sistem imun ibu terhadap bayi yang merupakan jaringan semi-alogenik, meskipun
tidak memberikan pengaruh secara klinik. Infeksi bisa disebabkan oleh bakteri, virus, dan
parasit, sedangkan penularan dapat terjadi intrauterin, pada masa persalinan atau pasca lahir.
Infeksi yang terjadi selama kehamilan dapat mengganggu pertumbuhan janin di dalam
Infeksi intrauteri memicu persalinan kurang bulan akibat aktivasi sistem imun bawaan.
Adanya kolonisasi bakteri pada koriodesidual akan menimbulkan respon imun pada ibu dan
juga respon pada jaringan fetus. Respon pada ibu berupa peningkatan sitokin kemokin yang
dihasilkan oleh desidua, hal ini akan menyebabkan infiltrasi netrofil dan peningkatan
metaloproteinase. Metaloproteinase yang meningkat ini akan melemahkan ikatan jaringan pada
korioamnion, sehingga akan mudah terjadinya ruptur membran. Fetus juga akan berespon
kelahiran prematur pada janin tersebut (Steven et al., 2002 ; Cunningham et al., 2012).
reproduksi ibu dapat mencapai kavitas intrauterin dengan menginfeksi desidua, korion dan
akhirnya amnion. Fetus akan terinfeksi ketika menelan atau mengaspirasi cairan amnion dan
memicu sepsis pada fetus. Sepsis ini juga dapat disebabkan oleh bakteremia yang terjadi pada
ibu. Sepsis yang terjadi pada fetus menyebabkan terganggunya metabolisme janin dan
terjadinya kelahiran prematur. Kadar prostaglandin yang tinggi ditemukan pada ibu yang
melahirkan bayi prematur. Beberapa infeksi yang sering berhubungan dengan kejadian BBLR
dengan 10% kasus BBLR. Abnormalitas replikasi sel dan menurunnya produksi sel akibat
Gangguan pertumbuhan telah diketahui terjadi pada 53 % kasus trisom 13 dan 64 % pada kasus
trisom 18. Abnormalitas pertumbuhan ini dapat bermanifestasi lebih awal pada kehamilan
Kelainan kromosom merupakan suatu cacat genetik dimana terjadi perbedaan kariotip
dari kromosom seharusnya. Kelainan kromosom dapat mengenai jumlah atau struktur dari
kromosom. Hal ini merupakan penyebab utama dari cacat lahir, abortus spontan dan gangguan
pertumbuhan janin. Kelahiran preterm yang bersifat rekuren, berhubungan dengan keluarga
dan ras telah menimbulkan pendapat bahwa genetik memainkan peranan penting sebagai
C.Kehamilan Multipel
prematuritas dan kelahiran bayi BBLR. Terdapat 50% kehamilan multipel yang lahir sebelum
kehamilan 37 minggu. Berdasarkan penelitian, kehamilan multipel berisiko 40 kali lipat untuk
lahir prematur dibandingkan subjek kontrol. Rata-rata 75% kasus bayi kembar terbukti
jika salah satu janin kembar berada dibawah persentil ke 10 atau jika antar bayi yang satu
dengan bayi yang lain terjadi ketidaksesuaian sebesar 20%. Kurangnya nutrisi pada ibu yang
mengandung bayi kembar cendrung terjadi dan berdampak pada pertumbuhan janin. Selama
hamil, wanita yang mengandung bayi kembar dinasihati untuk mengonsumsi sekitar 300 kalori
tambahan per hari dan untuk memperoleh tambahan rata-rata 5 kg lebih banyak daripada ibu
yang mengandung janin tunggal. Dianjurkan untuk kenaikan berat badan yang optimal untuk
kehamilan kembar adalah 10 kg pada minggu ke 24, kemudian 0,5 kg setiap minggunya sampai
maka berat lahir pada bayi kembar setara dengan berat janin tunggal pada usia 28-30 minggu.
Setelah itu, berat lahir janin kembar secara progresif mulai tertinggal. Pada kehamilan dizigot,
perbedaan ukuran yang sangat mencolok biasanya terjadi karena plasentasi yang tidak
seimbang, dengan satu tempat plasenta mendapat perfusi lebih banyak daripada yang lain. Pada
mudigah monokorion, alokasi blastomer mungkin tidak setara, anostomosis vaskular di dalam
plasenta dapat menyebabkan ketidakseimbangan distribusi nutrien dan oksigen yang dapat
Menurut Kurt Lewin yang dikutip oleh Notoadmodjo (2003), pendidikan formal yang
diterima seseorang akan mempengaruhi pengetahuan seseorang untuk memahami sesuatu dan
Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat.
Tingkat pendidikan yang lebih tinggi memudahkan seseorang atau masyarakat untuk menyerap
informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya
masalah termasuk pengaturan makanan bagi ibu hamil untuk mencegah lahirnya bayi dengan
berat badan rendah. Ibu dengan pendidikan rendah sangat berhubungan dengan rendahnya level
ekonomi keluarga yang akan menyebabkan kurangnya pemenuhan gizi selama hamil,
terlambatnya pemeriksaan awal kehamilan dan kurangnya konsultasi rutin selama kehamilan.
Jumlah konsultasi selama kehamilan sangat berhubungan dengan tingkat pendidikan ibu. Ibu
dengan pendidikan tinggi dua kali lebih rutin untuk melakukan pemeriksaan dan lebih dini
dalam melakukan pemeriksaan awal kehamilan. Ibu yang pendidikan formalnya kurang dari 8
tahun, memiliki risiko 1,5 kali untuk melahirkan bayi BBLR (Haidar et al., 2011).
Tingkat pendidikan ibu akan banyak berpengaruh pada pemahaman dan kesadaran ibu
hamil akan pentingnya arti kesehatan secara umum ataupun pada saat kehamilan dan
persalinan. Bila ibu dengan pendidikan rendah dan kemauan belajar juga sangat kurang, maka
proses pengubahan sikap dan perilaku sesorang atau sekelompok orang untuk berusaha mencari
informasi tentang bahaya-bahaya yang mungkin timbul pada bayi yang berada dikandungannya
dan dirinya akan sulit. Sehingga pada ibu yang berpendidikan rendah lebih cenderung untuk
Penelitian Dhar (2003) di Bangladesh memperoleh hasil bahwa 32,7% bayi BBLR lahir
dari ibu yang tidak mendapatkan pendidikan formal, dan hanya 1,8% bayi BBLR yang
dilahirkan oleh ibu dengan pendidikan tinggi (tingkat SMA dan perguruan tinggi).
Ibu dengan pendidikan tinggi cendrung lebih mandiri dalam merawat kehamilan serta
memiliki pengetahuan yang lebih luas mengenai perawatan selama kehamilan dan cendrung
memiliki tingkat ekonomi yang tinggi sehingga selama proses kehamilan, asupan gizi dan
B.Status Ekonomi
Status ekonomi keluarga dapat dilihat dari pendapatan dan pengeluaran keluarga
tersebut dalam membiayai kebutuhan sehari-hari. Ibu dari keluarga dengan pendapatan yang
rendah dan tidak sesuai dengan pengeluaran keluarga cenderung mempunyai ketakutan akan
besarnya biaya untuk pemeriksaan, perawatan kesehatan dan persalinan. Keluarga dengan
penghasilan rendah dibawah upah minimum regional sangat sulit memenuhi kebutuhan gizi
pengetahuan yang rendah. Selain latar belakang pendidikan, ibu dengan status ekonomi tinggi
mempunyai kemampuan yang lebih dalam menentukan jenis dan jumlah makanan yang
dikonsumsi oleh keluarga. Seseorang dengan ekonomi yang tinggi kemudian hamil maka
kemungkinan besar gizi yang dibutuhkannya selama kehamilan akan tercukupi (Kristiyanasari,
2010).
Menurut peneliti Apriadji pada tahun 1986 di dalam buku Departemen Gizi dan Kesmas
FKM UI (2007) menyebutkan bahwa tingkat pendapatan dapat menentukan pola makan, orang
dengan tingkat ekonomi rendah biasanya akan membelanjakan sebagian besar pendapatannya
untuk makanan, sedangkan orang dengan tingkat ekonomi tinggi biasanya akan seimbang
Berdasarkan penelitian Amalia (2011), keluarga dengan status ekonomi rendah berisiko
4,354 kali lipat untuk melahirkan bayi dengan berat badan rendah. Pendapatan keluarga secara
tidak langsung mempengaruhi kejadian BBLR, karena pada umumnya ibu dengan keadaan
pendapatan rendah mempunyai intake makanan yang lebih rendah baik secara kualitatif
maupun secara kuantitatif, yang berakibat kepada rendahnya status gizi pada ibu hamil.
Adanya persepsi wanita miskin bahwa sistem kesehatan tidak bersahabat dengan mereka
dapat menyebabkan mereka tidak tertarik untuk menggunakan layanan kesehatan dan hal ini
dapat mempengaruhi aktivitas promosi kesehatan yang selama ini dijalankan. Bagi kebanyakan
wanita miskin, pesan seputar hidup sehat mungkin dikesampingkan dari prioritas mereka.
ketidakmampuan menyediakan makanan yang bergizi yang membuat setiap informasi dari
modul pendidikan kesehatan (terutama masa kehamilan). Ketika keuangan membelit, wanita
akan mengorbankan kebutuhan dasar mereka (termasuk makanan) untuk menjamin anggota
transportasi dapat memberatkan wanita tersebut untuk mendatangi fasilitas kesehatan terkait.
Tidak memiliki uang untuk ongkos atau biaya berobat dapat menghambat ibu untuk melakukan
keadaan ibu dan janin secara berkala, yang diikuti dengan upaya koreksi terhadap
penyimpangan yang ditemukan. Tujuannya adalah untuk memenuhi hak setiap ibu hamil
dengan sehat, bersalin dengan selamat, dan melahirkan bayi yang sehat (Depkes RI, 2010).
Pada periode antenatal masalah yang terjadi pada ibu menjadi ukuran untuk menilai
keadaan dan masalah kesehatan pada janin, karena pada periode ini keadaan janin sepenuhnya
bergantung pada keadaan ibu. Dengan dilakukannya ANC oleh ibu hamil , maka segala
kelainan/ penyakit/ gangguan yang dialami ibu tersebut dapat dideteksi lebih awal dan dapat
dilakukan intervensi sesegera mungkin. Keuntungan ANC sangat besar karena dapat
mengetahui resiko dan komplikasi sehingga ibu hamil dapat diarahkan untuk melakukan
rujukan ke rumah sakit. Pelayanan yang dilakukan secara rutin juga merupakan upaya untuk
melakukan deteksi dini kehamilan beresiko sehingga dapat dengan segera dilakukan tindakan
yang tepat untuk mengatasi dan merencanakan serta memperbaiki kehamilan tersebut.
Kelengkapan antenatal terdiri dari jumlah kunjungan ANC dan kualitas ANC (Sistiarani,
2008).
Ibu yang tidak melakukan ANC serta melahirkan dirumah tanpa tenaga terlatih
memiliki mortalitas perinatal 3 kali lipat dan mortalitas maternal 100 kali lipat lebih tinggi
dibanding wanita yang mengikuti ANC. Terdapat hubungan antara jumlah kunjungan ANC
Ibu hamil minimal harus kontak empat kali dengan petugas kesehatan untuk melakukan
minggu) dan kontak kedua pada trimester ke 2 (12 - 24 minggu), sedangkan kontak ketiga dan
keempat dilakukan pada trimester ke-3 setelah minggu ke 24 sampai dengan minggu ke 36
kehamilan. Kunjungan antenatal bisa lebih dari 4 kali sesuai dengan kebutuhan, jika ada
Kualitas ANC yang baik seyogyanya dapat mengubah perilaku ibu sehingga ibu dapat
mencapai kesehatan yang optimal pada waktu hamil dan melahirkan, karena pada setiap
kunjungan antenatal selain pemeriksaan ibu juga akan mendapat penyuluhan/konseling. Materi
konseling ialah masalah yang dirasakan ibu yang berhubungan dengan kehamilannya, dengan
demikian petugas kesehatan diajak untuk memahami ibu secara individu dan belajar untuk
mendengarkan segala sesuatu yang diutarakan oleh ibu hamil. Tidak dilakukannya antenatal
care oleh ibu hamil tersebut, atau jumlah kunjungan yang kurang dari standar meningkatkan
risiko untuk melahirkan bayi BBLR. Ibu yang tidak melakukan antenatal care sesuai standar 9
kali lebih berisiko untuk melahirkan bayi BBLR (OR = 9,18) (Raatikainen et al., 2007).
B.Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik selama hamil merupakan salah satu faktor penting yang dapat
menentukan hasil akhir dari kehamilan. Aktivitas yang dilakukan ibu diluar rumah ataupun
didalam rumah berhubungan dengan kelahiran bayi BBLR. Aktivitas fisik yang sedang dan
berat selama hamil meningkatkan insiden kelahiran prematur dan abortus. Sedangkan aktivitas
yang ringan dan istirahat yang cukup selama hamil memberikan hasil kehamilan yang lebih
baik dengan berat lahir bayi yang normal. Ibu yang melakukan semua pekerjaan pekerjaan
rumah rumah tangga lebih rentan untuk melahirkan bayi prematur dibandingkan ibu yang
melakukan kurang dari setengah pekerjaan rumah. Berdasarkan hasil penelitian, berat badan
lahir anak akan kurang 150 g – 400g pada ibu yang tetap bekerja saat trimester ketiga kehamlan
jika dibandingkan dengan ibu yang hanya berdiam dirumah. (Dwarkanath P et al., 2007).
Aktivitas fisik erat hubungannya dengan energy expenditure, hal inilah yang akan
mempengaruhi nutrisi dan ukuran lahir seorang bayi. Aktivitas fisik yang dilakukan ibu
berhubungan dengan penambahan berat badan selama hamil, terutama pada trimester 1.
Aktivitas fisik sedang dan tinggi saat hamil terutama pada trimester 1 kehamilan meningkatkan
risiko 1.58 kali lipat untuk melahirkan bayi BBLR. Berdasarkan penelitian Rao et al (2003),
proporsi bayi BBLR lebih rendah pada ibu dengan aktivitas fisik ringan (28,6 %) dibandingkan
dengan ibu dengan aktivitas fisik sedang berat (38,4%). Aktivitas fisik yang berat akan
menurunkan aliran darah uteroplasenta, hal ini akan menyebabkan kurangnya suplai oksigen
dan nutrisi ke janin dan mempengaruhi berat badan lahir bayi. Sedangkan istirahat yang cukup
terutama pada trimester dua merupakan faktor proteksi untuk terjadinya kelahiran bayi
Aktifitas fisik ringan serta istirahat yang cukup selama hamil menurunkan risiko
lahirnya bayi prematur hingga 50 %. Istirahat yang cukup menjaga kestabilan emosi,
mengurangi stress dan menjaga stamina tubuh. Selain beristirahat, ibu hamil tetap disarankan
untuk berolahraga derajat sedang selama lebih kurang 30 menit jika tidak memiliki masalah dalam
C.Zat teratogenik
Zat teratogen adalah zat-zat yang dapat menimbulkan perubahan bentuk dan fungsi yang
menetap pada janin. Mekanisme dasar yang menyebabkan efek buruk pada janin yang terpapar
dengan zat teratogen selama kehamilan meliputi efek biologik dan lingkungan serta interaksi
antara keduanya. Zat ini dapat menyebabkan persalinan kurang bulan dan gangguan
pertumbuhan janin melalui mekanisme efek langsung pada pertumbuhan otak dan
vasokonstriksi pada pembuluh darah uterus. Selain itu, zat-zat tertentu juga menyebabkan nafsu
makan berkurang sehingga terjadi gangguan nutrisi, berat badan sebelum hamil kurang dan
gangguan pertumbuhan janin sangat bergantung pada kepekaan spesies, tingkat perkembangan
spesies dan dosis tertentu. Kerusakan yang berat selama blastogenesis menyebabkan kematian
pada janin, kerusakan ringan dapat sembuh tanpa cacat karena sel-sel saat ini masih
bergantung pada tingkat organogenesis, karena waktu itu organ-organ dibentuk. Pada tingkat
blastula belum terjadi diferensiasi sehingga kerusakan tidak fatal bahkan masih ada
mencapai blastula yang sedang berada dalam fase diferensiasi, maka terjadi cacat. Jika
diferensiasi organ selesai, kerusakan tidak lagi menimbulkan cacat, melainkan gangguan
Terdapat beberapa obat dan bahan yang sangat dicurigai atau terbukti teratogenik dan
menyebabkan gangguan pertumbuhan didalam kandungan, yaitu alkohol, tembakau, obat anti
kejang, obat anti neoplasma (siklofosfamid, metroteksat, aminopterin) dan obat psikotropika.
Heroin, metadon, dan etanol menyebabkan efek toksik pada sel dan langsung
mengganggu replikasi sel. Tembakau dan ratusan zat berbahaya lainnya yang terkandung
didalam rokok menyebabkan gangguan pertumbuhan dan penurunan berat badan janin.
Besarnya penurunan berat badan janin ini sangat tergantung dengan jumlah rokok yang
dikonsumsi perharinya. Merokok 10 batang rokok perhari menurunkan berat badan 170 gram
sedangkan mengonsumsi rokok lebih dari 15 batang perhari dapat menurunkan 300 gram berat
badan janin. Selain tembakau, nikotin juga dapat menyebabkan pelepasan zat yang memicu
vasokonstriksi uterus dan hipoksia janin. Karbon monoksida dan sianida dapat mengganggu
ikatan hemoglobin dengan oksigen, hal ini menyebabkan kurangnya oksigen yang diangkut
dari ibu ke janin dan dari janin ke jaringannya. Selain itu, obat seperti propanolol, beta blocker
serta kortikosteroid juga dapat menyebabkan rendahnya berat badan lahir (Fanaroff & Martin,
2006).
pada janin. Kadar asetaldehid yang tinggi dalam darah menyebabkan kelainan fetal alcohol
syndrome pada bayi. Pada tingkat selular metabolit ini menyebabkan kerusakan sintesis protein
1.Hipotermi
Kondisi ini terjadi karena masih sedikitnya lemak tubuh dan belum matangnya sistem
Besarnya rasio luas permukaan terhadap berat badan serta berkurangnya produksi panas akibat
sedikitnya lemak coklat dan ketidakmampuan untuk menggigil juga menyebabkan risiko
terjadinya hipotermi pada bayi BBLR. Selain itu kontrol refleks kapiler kulit juga masih kurang
2.Hipoglikemi simtomatik
Kondisi ini terutama terdapat pada bayi laki-laki. Penyebabnya belum jelas, tetapi
diperkirakan oleh karena kurangnya persediaan glikogen pada bayi BBLR. Gejalanya tidak
khas tapi umumnya bayi tidak menunjukan gejala, kemudian dapat terjadi jitteriness, twitching,
serangan apneu, sianosis, tidak mau minum, lemas, apatis dan kejang (Fanaroff & Martin,
2006). Glukosa merupakan zat penting untuk suplai otak, jika glukosa ini kurang, maka akan
menyebabkan maturitas sel-sel saraf otak terganggu dan kelak akan mempengaruhi kecerdasan
Sindrom aspirasi mekonium yang terjadi pada bayi BBLR disebabkan oleh keadaan
hipoksia intrauterin yang akan menstimulasi janin untuk gasping dalam uterus. Selain itu
mekonium akan dilepaskan kedalam cairan amnion. Akibatnya cairan yang mengandung
mekonium akan terisap oleh janin dan masuk kedalam paru janin (Fanaroff & Martin, 2006).
4.Gangguan Imunitas
Pemindahan substansi kekebalan dari ibu ke janin terjadi pada minggu terakhir masa
kehamilan. Pada bayi prematur, imunitas humoral dan seluler masih kurang sehingga bayi
mudah terinfeksi. Rendahnya kadar IgG, maupun gamma globulin serta masih rendahnya daya
Bayi mudah terkena infeksi saat di jalan lahir atau tertular infeksi ibu melalui plasenta
(Damanik, 2010).
2.5.Pencegahan BBLR
Sulit untuk menentukan tindakan pencegahan pada kasus BBLR, oleh karena penyebab
umum terjadinya kasus BBLR yang bersifat multifaktorial. Namun ada beberapa usaha yang
dapat dilakukan untuk menurunkan prevalensi bayi BBLR di masyarakat, yaitu dengan
melakukan beberapa upaya berikut (Dwienda et al., 2014 ; Proverawati & Sulistyorini, 2010)
komprehensif.
2. Meningkatkan gizi masyarakat sehingga dapat menegah terjadinya bayi BBLR dan
memperbaiki status gizi ibu hamil, dengan menkonsumsi makanan yang lebih sering
atau lebih banyak, dan lebih diutamakan makanan yang mengandung nutrisi yang
cukup.
3. Menghentikan kebiasaan merokok, menggunakan obat-obatan terlarang dan alkohol
kehamilan dimulai sejak umur kehamilan muda. Apabila kenaikan berat badan kurang
5. Mengkonsumsi tablet zat besi secara teratur sebanyak satu tablet per hari.Lakukan
minimal sebanyak 90 tablet. Mintalah tablet zat besi saat berkonsultasi dengan ahli.
6. Ibu hamil yang diduga berisiko, terutama faktor risiko yang mengarah melahirkan bayi
BBLR harus cepat dilaporkan, dipantau dan dirujuk pada institusi pelayanan kesehatan
tanda-tanda bahaya selama kehamilan dan perawatan dini selama kehamilan agar
mereka dapat menjaga kesehatannya dan janin yang dikandung dengan baik.
8. Menganjurkan untuk lebih banyak beristirahat bila kehamilan mendekati aterm atau
9. Hendaknya ibu dapat merencanakan persalinannya pada kurun umur reproduksi sehat
(20-34 tahun) dan konseling pada suami istri untuk mengusahakan agar menjaga jarak
10. Kurangi kegiatan yang melelahkan secara fisik semasa kehamilan. Beristirahatlah yang
kehamilan.
12. Memberikan pengarahan kepada ibu hamil dan keluarganya untuk mengenali tanda-
kehamilan tersebut.
13. Perlu dukungan sektor lain yang terkait untuk turut berperan dalam meningkatkan
pendidikan ibu dan status ekonomi keluarga agar mereka dapat meningkatkan akses
terhadap pemanfaatan pelayanan antenatal dan status gizi ibu selama kehamilan.
Faktor Plasenta
BBLR
Hipoglikemia
Ikterus
Hipotermia