Anda di halaman 1dari 12

TUGAS MAKALAH BIOFAMASEUTIKA

Di Susun Oleh

BESSE AINUN NUR YASRI P


513 18 011 411
KONVERSI H 2018

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS PANCASAKTI

MAKASSAR

2019
A. Pendahuluan
Biofarmasetika adalah ilmu yang mempelajari hubungan sifat fisikokimia
formulasi obat terhadap bioavaibilitas obat. Bioavaibilitas menyatakan kecepatan
dan jumlah obat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik. Fase biofarmasetik
melibatkan seluruh unsur-unsur yang terkait mulai saat pemberian obat hingga
terjadinya penyerapan zat aktif. Peristiwa tersebut tergantung pada cara
pemberian dan bentuk sediaan. Fase biofarmasetik dapat diuraikan dalam tiga
tahap utama yaitu liberasi (pelepasan), disolusi (pelarutan) dan absorpsi
(penyerapan).
1. Liberasi (Pelepasan)
Apabila pasien menerima obat berarti ia mendapat zat aktif yang diformulasi
dalam bentuk sediaan dan dosis tertentu. Proses pelepasan zat aktif dari
bentuk sediaan tergantung pada jalur pemberiaan dan bentuk sediaan serta
dapat terjadi secara cepat. Pelepasan zat aktif dipengaruhi oleh keadaan
lingkungan biologis dan mekanisme pada tempat pemasukan obat, misalnya
gerak peristaltik usus, hal ini penting untuk bentuk sediaan yang keras atau
yang kenyal (tablet, supositoria dan lain-lain). Tahap pelepasan ini dapat dibagi
dalam dua tahap yaitu tahap pemecahan dan peluruhan, misalnya untuk
sebuah tablet.
2. Disolusi (Pelarutan)
Setelah terjadi pelepasan, maka tahap kedua adalah pelarutan zat aktif. Tahap
kedua ini merupakan keharusan agar selanjutnya terjadi penyerapan.
3. Absorpsi (Penyerapan)
Absorpsi atau penyerapan suatu zat aktif adalah masuknya molekul-molekul
kedalam tubuh atau menuju keperedaran darah tubuh setelah melewati
membran biologik. Penyerapan ini hanya dapat terjadi bila zat aktif berada
dalam bentuk terlarut. Tahap ini merupakan bagian dari fase biofarmasetik dan
tahap awal dari fase farmakokinetika. Penyerapan zat aktif bergantung pada
berbagai parameter, terutama sifat fisikokimia molekul obat. Dengan demikian
proses penyerapan zat aktif terjadi apabila sudah dibebaskan dari sediaan dan
sudah melarut dalam cairan biologis.
Menurut Shargel dan YU (2005) pada umumnya produk obat mengalami
absorpsi sistemik melalui suatu rangkaian proses. Proses itu meliputi:
a. Disintegrasi produk obat yang diikuti pelepasan obat.
Sebelum absorpsi terjadi, suatu produk obat padat harus mengalami
disintegrasi ke dalam partikel-partikel kecil melepaskan obat.
b. Pelarutan obat dalam media “aqueous”
Pelarutan merupakan proses di mana suatu bahan kimia atau obat menjadi
terlarut dalam suatu pelarut. Dalam sistem biologik pelarutan obat dalam
media “aqueous” merupakan suatu bagian penting sebelum kondisi absorpsi
sistemik.
c. Absorpsi melewati membran sel menuju sirkulasi sistemik.
Agar suatu obat dapat mencapai tempat kerja di jaringan suatu organ, obat
tersebut harus melewati berbagai membrane sel. Pada umumnya, membran
sel mempunyai struktur lipoprotein yang bertindak sebagai membran lipid
semipermeabel. Banyak obat mengandung substituen lipofilik dan hidrofilik.
Obat-obat yang lebih larut dalam lemak lebih mudah melewati membran sel
daripada obat yang kurang larut dalam lemak atau obat yang lebih larut dalam
air.
Menurut Siswandono dan Soekardjo (2000) Adapun faktor–faktor yang
mempengaruhi proses absorpsi obat di saluran cerna antara lain:
• Bentuk sediaan obat, meliputi ukuran partikel bentuk sediaan, adanya bahan-
bahan tambahan dalam sediaan.
• Sifat kimia fisika obat, misalnya: bentuk garam, basa, amorf, kristal.
• Faktor biologis, seperti: gerakan saluran cerna, luas permukaan saluran cerna,
waktu pengosongan lambung, banyaknya pembuluh darah dalam usus, aliran
(perfusi) darah dari saluran cerna.
• Faktor-faktor lain, seperti: usia, interaksi obat dengan makanan, interaksi obat
dengan obat lain, penyakit tertentu.

B. Eksresi Obat
Ekskresi merupakan perpindahan obat dari sirkulasi sistemik menuju ke
organ ekskresi. Obat mengalami ekskresi bertujuan untuk mendetoksifikasi obat,
karena telah diketahui bahwa obat dianggap racun/ zat asing oleh tubuh.
Proses ekskresi obat dalam tubuh, organ terpenting untuk ekskresi obat
yaitu ginjal (dengan urin). Obat diekskresikan melalui ginjal dalam bentuk utuh
maupun bentuk metabolitnya. Selain ginjal ekskresi obat juga terjadi melalui
empedu ke dalam usus (dengan feses) dan paru-paru (dengan udara ekspirasi).
Ekskresi obat dan metabolitnya menyebabkan konsentrasi bahan berkasiat dalam
tubuh menjadi menurun. ekskresi dapat terjadi tergantung pada sifat fisikokimia
seperti bobot molekul, nilai pka, kelarutan dan tekanan uap.
Ekskresi melalui ginjal melibatkan tiga proses yaitu:
1. Filtrasi glomerulus menghasilkan ultrafiltrat yaitu plasma minus protein (semua
obat bebas akan keluar dalam ultrafiltrasi sedangkan yang terikat protein tetap
tinggal dalam darah.
2. Sekresi aktif dari dalam darah ke lumen tubulus proksimal terjadi melalui
transporter membran P-glikoprotein (P-gp) dan MRP (multidrug-resistance
protein) yang terdapat di membran sel epitel dengan selektifitas berbeda yaitu
MRP untuk anion organik dan konyugasi (misalnya penisillin, probenesid,
glukuronat, sulfat dan konyugasi glutation), serta P-gp untuk kation organik dan
zat netral (misalnya kuinidin, digoksin). Dengan demikian terjadi kompetisi
antara asam-asam organik maupun antara basa-basa organik untuk disekresi.
3. Reabsorbsi pasif terjadi di sepanjang tubulus untuk bentuk nanion obat yang
larut lemak. Oleh karena derajat ionisasi bergantung pada ph larutan, maka hal
ini dimanfaatkan untuk mempercepat ekskresi ginjal pada keracunan suatu
obat asam atau basa. Obat asam yang relatif kuat (pka ≤ 2) dan obat basa yang
relatif kuat (pka ≥ 12) terionisasi sempurna pada ph ekstrim urin akibat
asidifikasi dan alkalinisasi paksa (4,5-7,5). Obat asam yang sangat lemah (pka >
8) dan obat basa yang sangat lemah (pka ≤ 6) tidak terionisasi sama sekali pada
semua ph urin. Hanya obat asam dengan pka antara 3,0 dan 7,5 dan obat basa
dengan pka antara 6,0 dan 12 yang dapat dipengaruhi oleh ph urin.

C. Perhitungan Bersihat Kreatinin


Ekskresi melalui ginjal akan berkurang jika terdapat gangguan fungsi
ginjal. Lain halnya dengan pengurangan fungsi hati yang tidak dapat dihitung,
pengurangan fungsi ginjal dapat dihitung berdasarkan pengurangan klirens
kreatinin. Dengan demikian, pengurangan dosis obat pada gangguan fungsi ginjal
dapat dihitung.
Glomerular filtration rate ( GFR ) yaitu laju rata-rata penyaringan darah
yang terjadi di glomerulus yaitu sekitar 25% dari total curah jantung per menit,±
1,300 ml . Laju filtrasi glomerular (LFG) atau dalam bahasa Inggris: Gromerular
filtration rate (GFR) dipakai sebagai salah satu indikator menilai fungsi ginjal.
Umumnya digunakan untuk menghitung bersihan kreatinin yang selanjutnya
dimasukkan kedalam formula.
Rumus Menghitung GFR-Rumus Glomerular Filtration Rate berdasarkan
alat Kalkulasi GFR adalah sebagai berikut:
GFR for male: (140–age) x wt(kg) / (72 x Serum Creatinine)
GFR for female: GFR (females) = GFR (males) x 0.85
Panduan Bahasa Indonesia Menggunakan Kalkulator GFR:
• Istilah Age in years dengan umur anda sekarang
• Pilihlah Patient Gender, Male jika anda pria dan female jika anda wanita
• Isilah Weight dengan berat badan anda sekarang
• Isilah SerumCreatinine sesuai dengan jumlah yang anda dapatkan dari hasil
labolatorium pada kadar kreatinin anda
• Hasil GFR akan keluar pada alat kalkulasi dan anda bisa mengklasifikasikan
penderita gagal ginjal pada stadium berapa
Uji Glomerular filtration rate (GFR) bisa diperkirakan memakai kadar
kreatinin dalam darah. Formula yang dipakai akan berbeda berdasarkan umur,
jenis kelamin, kadang berat badan, dan etnis seseorang. Semakin tinggi kadar
kreatinin pada darah, akan semakin rendah laju filtrasi ginjal dan pembersihan
kreatinin.
Uji serum kreatinin yang mengukur kadar kreatinin dalam darah bisa
menjelaskan apakah ginjal bekerja dengan baik. Seberapa sering manusia
membutuhkan uji kreatinin tergantung pada kondisi yang mendasari alasan
mengambil tes darah ini dan risiko kerusakan ginjal yang mungkin terjadi.
Contohnya:
• Jika Anda mempunyai diabetes tipe 1 atau 2, dokter mungkin akan
merekomendasikan tes kreatinin setidaknya setahun sekali.
• Jika Anda mempunyai gangguan ginjal, dokter Anda akan menyarankan untuk
secara rutin melakukan tes kreatinin untuk mengawasi kondisi Anda
• Jika Anda mempunyai penyakit lain yang berhubungan dengan kinerja ginjal
seperti darah tinggi, atau diabetes atau jika Anda sedang dalam pengobatan
yang memengaruhi ginjal, dokter akan menyarankan Anda untuk menjalankan
tes kreatinin.
Langkah-langkah proses pembersihan kreatinin adalah sebagai berikut:
a. Melilitkan sabuk elastis di sekitar lengan bagian atas untuk menghentikan aliran
darah. Hal ini membuat pembuluh darah di bawah ikatan membesar sehingga
memudahkan untuk menyuntikkan jarum ke dalam pembuluh.
b. Membersihkan bagian yang akan disuntikkan dengan alcohol.
c. Menyuntikkan jarum ke dalam pembuluh darah. Mungkin diperlukan lebih dari
satu jarum.
d. Memasangkan tabung ke jarum suntik guna diisi dengan darah.
e. Melepaskan ikatan dari lengan ketika pengambilan darah dirasa cukup.
f. Menempelkan kain kasa atau kapas pada bagian yang disuntik, setelah selesai
disuntik.
g. Memberi tekanan pada bagian tersebut dan kemudian memasang perban.

D. Interaksi Obat Pada Tahap Eksresi


Interaksi obat merupakan suatu faktor yang dapat mempengaruhi respon
tubuh terhadap pengobatan. Obat dapat berinteraksi dengan makanan atau
minuman, zat kimia atau dengan obat lain. Dikatakan terjadi interaksi apabila
makanan, minuman, zat kimia, dan obat lain tersebut mengubah efek dari suatu
obat yang diberikan bersamaan atau hampir bersamaan.
Perubahan efek itu bisa juga disebabkan oleh kehadiran obat lain, obat
herbal, makanan, minuman atau agen kimia lainnya dalam lingkungannya. Definisi
yang lebih relevan terkait dengan pasien adalah ketika satu obat bersaing satu
dengan yang lain.
Interaksi obat dianggap penting secara klinis jika meningkatkan toksisitas
dan atau mengurangi efektivitas obat yang berinteraksi terutama bila menyangkut
obat dengan batas keamanan yang sempit (indeks terapi yang sempit), misalnya
glikosida jantung, antikoagulan, dan obat-obat sitostatika
Secara umum, ada dua mekanisme interaksi obat :
1. Interaksi Farmakokinetika
Interaksi farmakokinetika adalah interaksi yang disebabkan karena perubahan
pada fase absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi bila dua atau lebih
obat digunakan bersamaan.
Interaksi Farmakokinetika dapat diuraikan seperti di bawah ini:
a. Fase absorbsi
Apabila menggunakan dua atau lebih obat pada waktu yang bersamaan,
maka laju absorbsi dari salah satu atau kedua obat akan berubah. Obat
tersebut dapat menghambat, menurunkan, atau meningkatkan laju absorbsi
obat yang lain. Interaksi pada fase absorbsi dapat terjadi dengan jalan
diantaranya memperpendek atau memperpanjang waktu pengosongan
lambung yaitu dengan merubah pH lambung atau membentuk kompleks
obat. Contoh obat yang dapat meningkatkan kecepatan pengosongan
lambung adalah laksatif yaitu bisakodil dengan meningkatkan motilitas atau
pergerakan lambung dan usus sehingga dapat menurunkan absorbsi dari
digoksin. Obat yang dapat memperpendek waktu pengosongan dan
menurunkan motilitas GI adalah obat-obat narkotik dan antikolinergik (obat-
obat mirip atropin), sehingga dapat meningkatkan laju absorbsi. Semakin
lama obat berada dalam lambung atau usus halus, maka semakin banyak
pula jumlah obat yang akan diabsorbsi (hanya untuk obat diabsorbsi di
lambung). Pada pH lambung yang asam, maka obat yang bersifat asam
seperti aspirin akan lebih mudah diabsorbsi. Lambung dapat menjadi basa
bila diberi antasida seperti Maalox (Alumunium hidroksida, Magnesium
hidroksida dan simetikon) dan Amphojel (Alumunium hidroksida) yang
dapat menurunkan absorbsi obat bersifat asam. Selain itu, antasida yang
mengandung logam alumunium, magnesium dapat membentuk kompleks
dengan tetrasiklin. Tetrasiklin ini juga dapat membentuk kompleks dengan
logam kalsium, besi, susu. Kompleks ini membuat tetrasiklin tidak dapat
diabsorbsi.
b. Fase distribusi
Interaksi pada fase distribusi dapat terjadi ketika dua obat bersaing untuk
mendapatkan tempat pada protein atau albumin di dalam plasma. Apabila
salah satu obat tergeser dari ikatan protein maka akan banyak obat dalam
bentuk bebas yang bersirkulasi dalam plasma, sehingga dapat meningkatkan
kerja obat dan menimbulkan toksik. Interaksi pada fase distribusi hanya
terjadi jika obat tersebut memiliki ikatan kuat dengan protein (> 90%), obat
dengan jendela terapi sempit, volume distribusi kecil dan memiliki onset
yang cepat. Derivat sulfonamide, salisilat, fenilbutazon memiliki ikatan kuat
dengan protein, obat-obat ini dapat menggeser obat yang tidak terikat kuat
dengan protein. Fenilbutazon dapat menggeser posisi warfarin yang
berikatan dengan albumin, hal ini dapat meningkatkan jumlah warfarin
dalam bentuk bebas di dalam plasma dan dapat meningkatkan efek
antikoagulan dari warfarin. Jika terdapat dua obat yang berikatan tinggi
dengan protein yang harus dipakai bersamaan, dosis salah satu atau kedua
obat tersebut perlu dikurangi untuk menghindari toksisitas obat.
c. Fase metabolisme
Metabolisme atau biotransformasi adalah proses memetabolisme atau
merubah senyawa obat yang biasanya bersifat lipofil (non polar) yang sukar
dieliminasi menjadi metabolit inaktif (polar) sehingga mudah untuk
dieliminasi dari tubuh melalui urin dan feses. Proses ini dilakukan oleh enzim
pemetabolisme yang ada di hati. Interaksi obat pada fase ini dapat
meningkatkan atau menurunkan kadar obat di dalam darah.
Interaksi fase metabolisme dapat terjadi melalui beberapa cara, yaitu :
• Induksi enzim
Pada peristiwa ini dapat menurunkan kadar dari salah satu obat di dalam
plasma dan mempercepat eliminasinya. Hal ini dikarenakan enzim
pemetabolisme diinduksi sehingga produksi enzim lebih banyak dan lebih
aktif untuk memetabolisme obat. Obat penginduksi enzim ini dapat
menurunkan kerja dari obat lain. Contoh obat penginduksi enzim adalah
barbiturat (fenobarbital) yang meningkatkan metabolisme penghambat
reseptor beta (propanolol).
• Inhibisi enzim
Obat penginhibisi enzim dapat meningkatkan kadar obat lain di dalam
plasma dan memperlama eliminasinya. Interaksi ini dapat meningkatkan
kerja obat, tetapi juga dapat menimbulkan toksisitas. Contohnya adalah
obat antitukak lambung (simetidin) menurunkan metabolisme teofilin
(antiasma) dalam plasma. Dosis teofilin harus diturunkan untuk
menghindari toksisitas. Jika simetidin dihentikan, maka dosis teofilin
perlu disesuaikan.
d. Fase ekskresi
Mekanisme interaksi obat dapat terjadi pada fase ekskresi melalui empedu,
sirkulasi enterohepatik, sekresi tubuli ginjal dan perubahan pH urin. Interaksi
obat fase ekskresi melalui ekskresi empedu terjadi akibat kompetisi antara
obat dan metabolit obat untuk sistem transport yang sama, contohnya
kuinidin dapat menurunkan ekskresi empedu digoksin, probenesid
menurunkan ekskresi empedu dari rifampisin. Obat - obat tersebut memiliki
sistem transporter protein yang sama, yaitu P-glikoprotein. Interaksi obat
fase ekskresi pada sirkulasi enterohepatik dapat terjadi akibat supresi flora
normal usus yang berfungsi untuk menghidrolisis konjugat obat, akibat
supresi flora normal usus konjugat obat tidak dapat dihidrolisis dan
direabsorbsi. Contohnya adalah antibiotik rifampisin dan neomisin dapat
mensupresi flora normal usus dan dapat mengganggu sirkulasi
enterohepatik metabolit konjugat obat kontrasepsi oral atau hormonal,
sehingga kontrasepsi oral tidak dapat dihidrolisis, reabsorbsinya terhambat
dan efek kontrasepsi menurun.
Interaksi obat pada sekresi tubuli ginjal terjadi akibat kompetisi antara obat
dan metabolit obat untuk sistem transport yang sama, terutama system
transport untuk obat bersifat asam dan metabolit yang bersifat asam.
Contohnya adalah fenilbutazon dan indometasin dapat menghambat sekresi
tubuli ginjal obat-obat diuretik thiazid dan furosemid, sehingga efek
diuretiknya menurun. Interaksi obat karena perubahan pH urin dapat
mengakibatkan perubahan klirens ginjal melalui perubahan jumlah
reabsorbsi pasif di tubuli ginjal. Interaksi ini akan bermakna klinik bila fraksi
obat yang diekskresi utuh oleh ginjal cukup besar (> 30%) dan obat berupa
basa lemah dengan pKa 7,5 – 10 atau asam lemah dengan pKa 3,0 – 7,5.
Contohnya adalah efedrin yang merupakan basa lemah dengan obat yang
dapat mengasamkan urin seperti Ammonium Klorida dapat menyebabkan
klirens ginjal efedrin menurun. Fenobarbital yang bersifat asam dengan obat
yang membasakan urin seperti antasida dapat menyebabkan klirens ginjal
fenobarbital menurun dan efeknya juga menurun.
2. Interaksi Farmakodinamika
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi yang dapat mempengaruhi efek dari
salah satu obat. Interaksi ini dapat menimbulkan efek sinergi dan antagonis
karena memiliki mekanisme aksi sama. Interaksi farmakodinamik sinergi adalah
apabila dua obat atau lebih digunakan secara bersamaan dapat memberikan
efek sinergi atau memberikan efek yang lebih menguntungkan daripada
penggunaan tunggal. Sebagai contoh adalah pemberian dua obat yang bersifat
sedatif-hipnotik seperti benzodiazepin dan antihistamin. Efek sedasi dan
depresi SSP lebih meningkat daripada penggunaan tunggal. Tetapi, walaupun
menguntungkan, tetap dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan, maka
penggunaan kombinasi harus secara tepat, hati-hati, dan terus dikontrol.
Interaksi farmakodinamik antagonis terjadi ketika efek farmakologis dari salah
satu obat berkurang karena penggunaan obat secara bersamaan, tanpa
menurunkan kadar obatnya di dalam darah. Mekanisme interaksi
farmakodinamik adalah dengan menempati sisi reseptor antagonis, sehingga
tidak akan menimbulkan efek farmakodinamik, namun menghalangi agonis
endogen untuk menempati reseptor dan menimbulkan efek farmakodinamik.
Ini dapat mempengaruhi theraupetic outcome. Contoh interaksi ini adalah
kombinasi antara TCA dan guanetidin sebagai antihipertensi yang dapat
berakibat pada penurunan efikasi teraupetik. Mekanisme aksi TCA adalah
menghambat reuptake neurotransmitter pada sinapsis noradrenergik. Sisi aksi
guanetidin adalah pada presinap adrenergik neuron dimana aksinya adalah
mengganti katekolamin yang berisi gelembung dari native neurotransmitter,
sehingga dapat menimbulkan efek antihipetensi. Transporter yang dimediasi
oleh reuptake norepineprin dihambat oleh TCA. Sehingga, guanetidin tidak
dapat menjangkau sisi aksi yang membuatnya tidak aktif lagi sebagai
antihipertensi.
Berdasarkan tingkat keparahan interaksi obat atau drug-drug interaction
(DDI) dibagi menjadi tiga kategori, yaitu :
1. Major clinical significant
Interaksi ini tercantum atau terdokumentasi dengan baik karena dapat
berpotensi menimbulkan bahaya pada pasien.
2. Moderate clinical significant
Interaksi ini terdokumentasi dengan baik karena dapat berpotensi
menimbulkan bahaya, namun lebih rendah daripada major clinical significant.
3. Minor clinical significant
Interaksi ini kurang signifikan, karena hanya tercantum sedikit dalam
dokumentasi, potensi bahaya pada pasien terkadang diabaikan, dan kejadian
interaksinya rendah.

Anda mungkin juga menyukai