Di Susun Oleh
UNIVERSITAS PANCASAKTI
MAKASSAR
2019
A. Pendahuluan
Biofarmasetika adalah ilmu yang mempelajari hubungan sifat fisikokimia
formulasi obat terhadap bioavaibilitas obat. Bioavaibilitas menyatakan kecepatan
dan jumlah obat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik. Fase biofarmasetik
melibatkan seluruh unsur-unsur yang terkait mulai saat pemberian obat hingga
terjadinya penyerapan zat aktif. Peristiwa tersebut tergantung pada cara
pemberian dan bentuk sediaan. Fase biofarmasetik dapat diuraikan dalam tiga
tahap utama yaitu liberasi (pelepasan), disolusi (pelarutan) dan absorpsi
(penyerapan).
1. Liberasi (Pelepasan)
Apabila pasien menerima obat berarti ia mendapat zat aktif yang diformulasi
dalam bentuk sediaan dan dosis tertentu. Proses pelepasan zat aktif dari
bentuk sediaan tergantung pada jalur pemberiaan dan bentuk sediaan serta
dapat terjadi secara cepat. Pelepasan zat aktif dipengaruhi oleh keadaan
lingkungan biologis dan mekanisme pada tempat pemasukan obat, misalnya
gerak peristaltik usus, hal ini penting untuk bentuk sediaan yang keras atau
yang kenyal (tablet, supositoria dan lain-lain). Tahap pelepasan ini dapat dibagi
dalam dua tahap yaitu tahap pemecahan dan peluruhan, misalnya untuk
sebuah tablet.
2. Disolusi (Pelarutan)
Setelah terjadi pelepasan, maka tahap kedua adalah pelarutan zat aktif. Tahap
kedua ini merupakan keharusan agar selanjutnya terjadi penyerapan.
3. Absorpsi (Penyerapan)
Absorpsi atau penyerapan suatu zat aktif adalah masuknya molekul-molekul
kedalam tubuh atau menuju keperedaran darah tubuh setelah melewati
membran biologik. Penyerapan ini hanya dapat terjadi bila zat aktif berada
dalam bentuk terlarut. Tahap ini merupakan bagian dari fase biofarmasetik dan
tahap awal dari fase farmakokinetika. Penyerapan zat aktif bergantung pada
berbagai parameter, terutama sifat fisikokimia molekul obat. Dengan demikian
proses penyerapan zat aktif terjadi apabila sudah dibebaskan dari sediaan dan
sudah melarut dalam cairan biologis.
Menurut Shargel dan YU (2005) pada umumnya produk obat mengalami
absorpsi sistemik melalui suatu rangkaian proses. Proses itu meliputi:
a. Disintegrasi produk obat yang diikuti pelepasan obat.
Sebelum absorpsi terjadi, suatu produk obat padat harus mengalami
disintegrasi ke dalam partikel-partikel kecil melepaskan obat.
b. Pelarutan obat dalam media “aqueous”
Pelarutan merupakan proses di mana suatu bahan kimia atau obat menjadi
terlarut dalam suatu pelarut. Dalam sistem biologik pelarutan obat dalam
media “aqueous” merupakan suatu bagian penting sebelum kondisi absorpsi
sistemik.
c. Absorpsi melewati membran sel menuju sirkulasi sistemik.
Agar suatu obat dapat mencapai tempat kerja di jaringan suatu organ, obat
tersebut harus melewati berbagai membrane sel. Pada umumnya, membran
sel mempunyai struktur lipoprotein yang bertindak sebagai membran lipid
semipermeabel. Banyak obat mengandung substituen lipofilik dan hidrofilik.
Obat-obat yang lebih larut dalam lemak lebih mudah melewati membran sel
daripada obat yang kurang larut dalam lemak atau obat yang lebih larut dalam
air.
Menurut Siswandono dan Soekardjo (2000) Adapun faktor–faktor yang
mempengaruhi proses absorpsi obat di saluran cerna antara lain:
• Bentuk sediaan obat, meliputi ukuran partikel bentuk sediaan, adanya bahan-
bahan tambahan dalam sediaan.
• Sifat kimia fisika obat, misalnya: bentuk garam, basa, amorf, kristal.
• Faktor biologis, seperti: gerakan saluran cerna, luas permukaan saluran cerna,
waktu pengosongan lambung, banyaknya pembuluh darah dalam usus, aliran
(perfusi) darah dari saluran cerna.
• Faktor-faktor lain, seperti: usia, interaksi obat dengan makanan, interaksi obat
dengan obat lain, penyakit tertentu.
B. Eksresi Obat
Ekskresi merupakan perpindahan obat dari sirkulasi sistemik menuju ke
organ ekskresi. Obat mengalami ekskresi bertujuan untuk mendetoksifikasi obat,
karena telah diketahui bahwa obat dianggap racun/ zat asing oleh tubuh.
Proses ekskresi obat dalam tubuh, organ terpenting untuk ekskresi obat
yaitu ginjal (dengan urin). Obat diekskresikan melalui ginjal dalam bentuk utuh
maupun bentuk metabolitnya. Selain ginjal ekskresi obat juga terjadi melalui
empedu ke dalam usus (dengan feses) dan paru-paru (dengan udara ekspirasi).
Ekskresi obat dan metabolitnya menyebabkan konsentrasi bahan berkasiat dalam
tubuh menjadi menurun. ekskresi dapat terjadi tergantung pada sifat fisikokimia
seperti bobot molekul, nilai pka, kelarutan dan tekanan uap.
Ekskresi melalui ginjal melibatkan tiga proses yaitu:
1. Filtrasi glomerulus menghasilkan ultrafiltrat yaitu plasma minus protein (semua
obat bebas akan keluar dalam ultrafiltrasi sedangkan yang terikat protein tetap
tinggal dalam darah.
2. Sekresi aktif dari dalam darah ke lumen tubulus proksimal terjadi melalui
transporter membran P-glikoprotein (P-gp) dan MRP (multidrug-resistance
protein) yang terdapat di membran sel epitel dengan selektifitas berbeda yaitu
MRP untuk anion organik dan konyugasi (misalnya penisillin, probenesid,
glukuronat, sulfat dan konyugasi glutation), serta P-gp untuk kation organik dan
zat netral (misalnya kuinidin, digoksin). Dengan demikian terjadi kompetisi
antara asam-asam organik maupun antara basa-basa organik untuk disekresi.
3. Reabsorbsi pasif terjadi di sepanjang tubulus untuk bentuk nanion obat yang
larut lemak. Oleh karena derajat ionisasi bergantung pada ph larutan, maka hal
ini dimanfaatkan untuk mempercepat ekskresi ginjal pada keracunan suatu
obat asam atau basa. Obat asam yang relatif kuat (pka ≤ 2) dan obat basa yang
relatif kuat (pka ≥ 12) terionisasi sempurna pada ph ekstrim urin akibat
asidifikasi dan alkalinisasi paksa (4,5-7,5). Obat asam yang sangat lemah (pka >
8) dan obat basa yang sangat lemah (pka ≤ 6) tidak terionisasi sama sekali pada
semua ph urin. Hanya obat asam dengan pka antara 3,0 dan 7,5 dan obat basa
dengan pka antara 6,0 dan 12 yang dapat dipengaruhi oleh ph urin.