Anda di halaman 1dari 44

MAKALAH PRESENTASI KASUS DIPERSIAPKAN

MORBUS HANSEN

Disusun oleh:

Afina Syarah Lidvihurin 1406570096

Khairun Nadiya 1406570064

Septian Ika Prasetya 1406578754

Zackie Alfian Rizaldy 1406599084

Narasumber

dr. Dina Sari Dewi, Sp.KK

MODUL PRAKTIK KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA

JAKARTA

MEI 2019

i
DAFTAR ISI

Halaman Judul ....................................................................................................................i


Daftar Isi .............................................................................................................................2
BAB I Ilustrasi Kasus .........................................................................................................3
1.1 Identitas Pasien .............................................................................................................3
1.2 Anamnesis .....................................................................................................................3
1.3 Pemeriksaan Fisis..........................................................................................................5
1.4 Pemeriksaan Penunjang ................................................................................................8
1.5 Resume..........................................................................................................................8
1.6 Diagnosis Kerja .............................................................................................................9
1.7 Tatalaksana ................................................................................................................. 9
1.8 Prognosis ..................................................................................................................... 10
BAB II Tinjauan Pustaka .................................................................................................. 11
2.1 Definisi ........................................................................................................................ 11
2.2 Epidemiologi ............................................................................................................... 11
2.3 Etiologi ........................................................................................................................ 11
2.4 Patogenesis dan Klasifikasi......................................................................................... 12
2.5 Manifestasi Klinis ....................................................................................................... 13
2.6 Diagnosis..................................................................................................................... 17
2.7 Tatalaksana ................................................................................................................. 26
2.7 Komplikasi .................................................................................................................. 33
2.8 Prognosis ..................................................................................................................... 37
BAB III Pembahasan ........................................................................................................ 38
Daftar Pustaka ................................................................................................................... 42

2
BAB I

ILUSTRASI KASUS

2.1. Identitas Pasien


Nama : Ny. J
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat, tanggal lahir : Jakarta, 20 Maret 1981
Usia : 38 tahun
NRM : 427-10-83
Alamat : Tanjung Priok, Jakarta Utara
Agama : Islam
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Suku bangsa : Jawa
Kewarganegaraan : Indonesia
Pembiayaan : BPJS
Tanggal pemeriksaan : 3 Mei 2019

2.2. Anamnesis

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSCM pada
hari Jumat, 3 Mei 2019 pukul 11.00 WIB.

Keluhan Utama

Pasien datang untuk kontrol rutin dengan riwayat benjolan-benjolan kemerahan pada
kedua kaki yang terasa nyeri sejak 1,5 tahun yang lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien merasakan adanya benjolan-benjolan kemerahan pada kedua kaki yang


terasa nyeri sejak 1,5 tahun sebelum pemeriksaan. Benjolan di kaki seukuran kelereng
dengan konsistensi kenyal berdasarkan perabaan pasien. Benjolan dirasakan semakin

3
membesar. Keluhan disertai dengan bercak kemerahan pada wajah dan telinga yang tidak
gatal. Pasien merasakan kulit semakin kering sehingga perlu memakai lotion. Rasa baal
tidak ada. Sendal terlepas saat berjalan tidak ada. Benda terjatuh saat digenggam oleh
pasien tidak ada. Pasien dapat mengancingkan pakaian sendiri. Pasien merasakan alis
rontok. Sebelum benjolan muncul, pasien sempat mengalami demam tinggi dengan suhu
39oC, tidak ada batuk maupun pilek. Pasien berobat ke RS Koja, kemudian dirujuk ke
Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUPN Cipto Mangunkusumo pada Februari 2018. Pasien
direncanakan untuk pemeriksaan biopsi (6 Februari 2018). Pasien mendapatkan obat
papan, metilprednisolon, dan vitamin.
Pada Maret 2018, pasien kontrol tepat waktu. Pasien mengatakan terdapat bercak-
bercak merah tanpa keluhan di kedua ketiak dan punggung kanan yang baru muncul 2
minggu setelah konsumsi obat papan bulan pertama. Pasien membawa hasil biopsi PA
dan dikatakan sesuai gambaran penyakit kusta. Pasien kembali mendapatkan obat papan
bulan kedua, metilprednisolon, dan vitamin.
Pada Mei 2018, pasien datang kontrol. Pasien mengatakan benjolan sudah tidak
ada, tidak ada bercak baru maupun bercak menebal. Pasien kembali mendapatkan obat
papan bulan keempat dan vitamin. Pemberian metilprednisolon dihentikan.
Pada Agustus 2018, pasien datang kontrol rutin dan mengatakan tidak ada bercak
baru, tidak ada bercak menebal, ataupun benjolan. Nyeri spontan pada persarafan dan
sendi disangkal. Demam disangkal. Pasien mendapatkan obat papan bulan ketujuh dan
vitamin. Pasien kemudian dilakukan pemeriksaan BTA dan direncanakan untuk
pemeriksaan resistensi namun menolak karena ada keterbatasan biaya. Pasien
direncanakan untuk ditambah 1 jenis obat lain (ofloxacin) dimulai di akhir pengobatan
bulan kesembilan apabila hasil BTA masih positif.
Pada Oktober 2018, pasien datang kontrol rutin dan mengatakan muncul 3 buah
benjolan kemerahan di kedua lengan, terasa nyeri. Tidak ada bercak baru yang menebal
atau semakin merah. Nyeri pada persarafan dan sendi disangkal. Pasien diberikan obat
papan bulan kesembilan dan vitamin. Pasien kembali direncanakan untuk tes BTA.
Pada November 2018, pasien datang kontrol rutin. Keluhan bercak baru
disangkal. Bercak lama dirasakan sudah menipis dan meredup. Keluhan benjolan saat ini
sudah tidak ada. Keluhan nyeri sendi dan saraf disangkal. Pasien saat ini dalam

4
pengobatan obat papan bulan kesepuluh dan sudah diberikan satu obat tambahan
(ofloxacin).
Pada Januari 2019, keluhan bercak baru disangkal, bercak lama dirasakan sudah
menipis. Keluhan muncul benjolan baru disangkal. Nyeri sendi dan nyeri saraf disangkal.
Pasien dalam pengobatan obat papan bulan ke-12. Pengobatan dilanjutkan karena hasil
BTA masih ditemukan bentuk solid. Pemberian ofloxacin masih dilanjutkan.
Pada April 2019, pasien datang kontrol rutin pengobatan. Keluhan benjolan baru
disangkal. Benjolan lama dikatakan sudah kempes. Bercak kusta lama menipis, keluhan
nyeri sendi dan nyeri saraf disangkal. Obat diminum rutin setiap hari. Pasien diberikan
obat papan bulan ke-15, ofloxacin bulan ke-6, dan vitamin.
Pada Mei 2019 (saat pemeriksaan), pasien datang kontrol rutin. Keluhan benjolan
dan bercak baru disangkal. Benjolan lama dikatakan sudah kempes dan bercak lama
sudah menipis. Tidak ada nyeri sendi dan nyeri saraf. Pasien rutin minum obat sesuai
anjuran. Pasien mendapatkan obat papan bulan ke-16, vitamin, dan ofloxacin bulan ke-7.
Pada 30 tahun yang lalu, pasien pernah mengalami keluhan bercak kemerahan
pada wajah. Pasien berobat ke puskesmas dan diberikan obat papan yang dikonsumsi
selama 12 bulan. Pada 25 tahun yang lalu (saat pasien usia 13 tahun), pasien kembali
merasakan timbulnya bercak kemerahan pada wajah dan kembali berobat ke puskesmas
dan diberikan obat papan yang dikonsumsi selama 6 bulan. Pasien mengatakan bekas
bercak kemerahan berubah menjadi warna kehitaman.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien memiliki riwayat alergi ikan dan telur berupa munculnya bintil-bintil merah yang
gatal di pipi dan telinga. Pasien mengkonsumsi obat insidal.

Riwayat Penyakit Keluarga

Kakak dan adik pasien mengalami keluhan serupa berupa bercak kemerahan di tubuh dan
telah diberikan obat papan selama 12 bulan. Hingga saat ini, kakak dan adik pasien tidak
pernah kambuh.

5
Riwayat Sosial dan Ekonomi

Pasien tinggal bersama suami pasien, tidak memiliki anak. Pasien merupakan seorang ibu
rumah tangga. Keluhan serupa pada tetangga atau teman pasien tidak ada. Pembiayaan
dengan BPJS.

1.3. Pemeriksaan Fisis

Kesadaran : Compos mentis


Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Tekanan darah : 105/74 mmHg
Nadi : 96x/menit
Suhu : 36,1C
Pernapasan : 20x/menit
Keadaan gizi : Baik

1.4. Perjalanan riwayat status dermatologis, status neurologis, dan status


bakterioskopis

1.4.1 Februari 2018

Status dermatologikus

Pada regio kedua telinga, kedua lengan – tangan, kedua tungkai bawah, terdapat nodul
sewarna kulit hingga hiperpigmentasi multipel, persebaran diskrit.

Status neurologikus

Saraf Pembesaran Konsistensi Nyeri tekan Nyeri spontan


n. auricularis - /- - -/- -/-
magnus
n. ulnaris +/- Kenyal / - -/- -/-
n. peroneus -/- -/- -/- -/-
communis
n. tibialis +/+ Kenyal -/- -/-
posterior

6
Status bakteriologis

Tempat pengambilan IB Solid Nonsolid IM


Telinga kanan +3 1 99
Telinga kiri +3 2 98
Punggung tangan kiri +4 5 95
Digiti II tangan kiri +2 0 100
Digiti 4 tangan kanan +3 1 99
Kaki kanan +2 0 100
Kaki kiri +1 0 100
total 15 9 691
Indeks bakteri (IB) pasien = 18/7, indeks morfologi (IM) = 1,3%

1.4.2 Maret 2018

Status dermatologikus

Pada region lengan kanan dan kiri atas tampak plak eritematosa multipel, ukuran
nummular, sirkumskrip, persebaran diskrit, disertai skuama putih kasar di atasnya.

Pemeriksaan histopatologi Maret 2018

Hasil pemeriksaan histopatologi dari nodus lengan atas kiri menunjukkan jaringan kulit
dengan epidermis atrofik, pada dermis tampak kelompokan foamy macrophages dalam
struktur granuloma memanjang dengan makrofag di dermis dan sekitar adneksa,
granuloma tidak tersusun padat. Pewarnaan dengan Wade-Fite-Faraco menujukkan
positif terdapat Mycobacerium leprae.

1.4.3 Agustus 2018

Indeks bakteri pasien 24/7, indeks morfologi pasien 1,4%. (1 Agustus 2018)

Hasil pemeriksaan tanggal 30 agustus 2018

Lagoftalmus tidak ada bilateral, nyeri tekan saraf ulnaris ada bilateral. Kekuatan otot jari
ke V, ibu jari, dan pergelangan tangan bilateral baik. Rasa raba pada telapak tangan
normal bilateral. Pada kaki, terdapat nyeri tekan n.peroneus dan n. tibialis posterior
sinistra, kekuatan otot kaki normal bilateral, rasa raba normal bilateral.

7
1.4.4 Oktober 2018

Status dermatoogikus tanggal 25 oktober 2018

 Pada regio aurikula bilateral; tampak infiltrat eritematosa multipel


 Pada lengan kiri dan kanan terdapat nodul eritematosa multipel, ukuran
nummular, persebaran diskret, konsistensi kenyal, mobile.
Status neurologikus tanggal 25 Oktober 2018

Pembesaran bilateral pada n. ulnaris, n peroneus communis, dan n. tibialis posterior.


Tidak ada pembesaran n. auricularis magnus.

Indeks bakteri pasien 18/7, indeks morfologi pasien= 0,14% (25 Oktober 2018)

1.4.5 Januari 2019

Status bakteriologis

Tempat pengambilan IB Solid Nonsolid IM


Telinga kanan +2 - 100 0
Telinga kiri +3 - 100 0
Punggung tangan kiri +3 1 99 1%
Digiti II tangan kiri +3 - 100 0
Digiti 4 tangan kanan +2 - 100 0
Kaki kanan +1 - 100 0
Kaki kiri +1 - 100 0
total 15 0 x
Indeks bakteri pasien = 15/7 = +2

Indeks morfologi pasien =

1
𝑥 100% = 𝟎, 𝟏%
1 + 699

8
1.4.6 April 2019

Status dermatologikus

 Pada regio punggung, perut, lengan bilateral, dan wajah terdapat makula
hiperpigmentasi, multipel, ukuran lentikular hingga plakat, batas difus hingga
sirkumskrip,persebaran diskret hingga konfluens
 Pada regio aurikula bilateral, tampak infiltrat hiperpigmentasi , multipel, ukuran
lentikular
Status neurologikus

Saraf Pembesaran Konsistensi Nyeri tekan Nyeri spontan


n. auricularis - /+ Kenyal -/- -/-
magnus
n. ulnaris +/+ Kenyal -/- -/-
n. peroneus -/- -/- -/- -/-
communis
n. tibialis posterior +/+ Kenyal -/- -/-

Status bakterioskopis

Tempat pengambilan IB Solid Nonsolid IM


Telinga kanan 3+ - 100 0
Telinga kiri 2+ - 100 0
Punggung tangan kiri 3+ - 100 0
Digiti II tangan kiri 3+ - 100 0
Digiti 4 tangan kanan 2+ - 100 0
Kaki kanan 1+ - 100 0
Kaki kiri 1+ - 100 0
total 15 0 x
Indeks bakteri pasien = 15/7 = 2+, indeks morfologi pasien = 0%

9
1.4.7 Mei 2019 (sekarang)

Status dermatologikus

Pada regio wajah, perut, punggung, lengan bilateral, tungkai bilateral, tampak lesi makula
hiperpigmentasi, multipel, berukuran lentikular hingga plakat, berbatas difus hingga
sirkumskripta, persebaran diskret hingga konfluens (ditandai dengan lingkaran merah).
Pada regio aurikular bilateral, terdapat infiltrat hiperpigmentasi, multipel, berukuran
lentikular, berbatas difus (ditandai dengan panah merah).

10
Gambar: Tampilan efloresensi pasien pada 5 Mei 2019
Status neurologikus
Pada lesi tidak didapatkan hipestesi maupun anestesi.

Pemeriksaan saraf:

Saraf Pembesaran Konsistensi Nyeri Tekan Nyeri Spontan

n. auricularis
-/+ -/kenyal -/- -/-
magnus

n. ulnaris +/+ kenyal/kenyal -/- -/-

n. peroneus
-/- -/- -/- -/-
communis

n. tibialis
+/+ kenyal/kenyal -/- -/-
posterior

 Tidak ada lagoftalmos pada kedua mata.


 Nyeri tekan saraf ulnaris dekstra dan sinistra tidak ada. Kekuatan otot jari kelima dekstra
dan sinistra sedang. Kekuatan otot ibu jari dekstra dan sinistra kuat. Rasa raba pada
manus dan digiti dekstra maupun sinistra baik. Tidak ada tangan lunglai.
 Nyeri tekan saraf peroneus dan saraf tibialis posterior dekstra dan sinistra tidak ada.
Kekuatan otot kaki ke atas kuat. Rasa raba pada pedis dan digiti dekstra maupun sinistra
baik.
 Tidak ada bercak atau nodul ulserasi pada kulit.

11
1.5. Pemeriksaan Penunjang

Patologi Anatomi ( Maret 2018)

Sediaan dengan keterangan lesi I dan II, menunjukkan gambaran serupa terdiri atas
jaringan kulit dengan epidermis atrofik. Pada dermis tampak kelompok foamy
macrophages dalam struktur granuloma memanjang dengan sedikit limfosit, terutama di
perivaskular dan perineural, serta periadneksal. Pulasan Fite Fraco: positif.

Kesimpulan: Histologik sesuai dengan radang granulomatosa yang dapat ditemukan pada
keadaan Morbus Hansen tipe borderline lepromatosa.

1.6. Resume

Pasien perempuan, 38 tahun, datang untuk kontrol dengan riwayat nodus eritema multipel
pada pedis bilateral yang terasa nyeri sejak 1,5 tahun sebelum pemeriksaan. Benjolan
dengan ukuran sebesar kelereng, konsistensi kenyal, dirasakan semakin membesar.
Keluhan disertai bercak eritema pada wajah dan telinga. Kulit terasa semakin kering.
Sebelumnya, pasien demam tinggi 39oC. Pasien saat ini sudah dalam pengobatan MDT-
MB bulan ke-16, ofloxacin 1x400 mg per hari bulan ke-7, dan Neurobion. Pasien
memiliki riwayat MH saat usia 8 tahun dan 13 tahun, sudah mendapatkan pengobatan
namun ketuntasan pengobatan belum diketahui.

Pada pemeriksaan fisis didapatkan, pada regio wajah, perut, punggung, lengan bilateral,
tungkai bilateral, tampak lesi makula hiperpigmentasi, multipel, berukuran lentikular
hingga plakat, berbatas difus hingga sirkumskripta, persebaran diskret hingga konfluens.
Pada regio aurikular bilateral, terdapat infiltrat hiperpigmentasi, multipel, berukuran
lentikular, berbatas difus. Terdapat pembesaran n. auricularis magnus sinistra, kenyal;
pembesaran n. ulnaris bilateral, kenyal; dan pembesaran n.tibialis posterior bilateral,
kenyal. Kekuatan otot jari kelima dekstra dan sinistra sedang.

12
1.7. Diagnosis Kerja

1. Morbus Hansen tipe BL

2. ENL perbaikan

1.8. Tata Laksana

Non-medikamentosa:

1. Edukasi pasien untuk melakukan pemeriksaan kusta pada semua anggota keluarga
pasien yang tidak bergejala
2. Edukasi pasien untuk kontrol rutin dan melanjutkan pengobatan MDT MB
3. Edukasi pasien untuk kembali memeriksakan diri jika mengalami perburukan gejala

Medikamentosa:

1. MDT MB
- Rifampisin 600 mg/bulan
- Dapson 100 mg/hari.
- Klofazimin 300 mg hari pertama dengan pengawasan, dilanjutkan 50 mg/hari
pada hari ke-2 hingga hari ke-28.
2. Ofloxacin 1x400 mg/hari (bulan ke-7)
3. Neurobion 1x1 tablet

1.9 Prognosis

Ad vitam: bonam

Ad sanactionam: dubia ad malam

Ad functionam: bonam

13
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Kusta (Lepra, Morbus Hansen) merupakan infeksi kronik pada saraf perifer sebagai
afinitas pertama, kemudian kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, dan
menuju organ lain kecuali susunan saraf pusat akibat infeksi Mycobacterium leprae.1

2.2 Epidemiologi
Penyebaran penyakit kusta di seluruh dunia dapat disebabkan oleh perpindahan penduduk
yang terinfeksi penyakit kusta. Kusta terutama ditemukan di Asia, Afrika, Amerika Latin,
daerah tropis dan subtropis, serta masyarakat dengan kondisi sosial ekonomi yang
rendah. Pada awal tahun 2009, terdapat 213.036 orang yang mengalami kusta yang
berasal dari 121 negara. Jumlah kasus kusta yang tercatat di Indonesia pada awal tahun
2009 sebanyak 21.538 dengan distribusi yang tidak merata. Daerah dengan kusta
tertinggi terdapat pada Pulai Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Papua.1
Kusta dapat menyerang seluruh kelompok usia, namun anak-anak lebih rentan terhadap
infeksi Mycobacterium leprae dibandingkan orang dewasa. Di Indonesia, sebanyak
kurang lebih 13% anak-anak di bawah umur 14 tahun mengalami kusta. Frekuensi
tertinggi terjadinya kusta terdapat pada kelompok usia 25-35 tahun.1

2.3 Etiologi
Kusta disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh
G.A.Hansen tahun 1874 di Norwegia. Hingga saat ini, kuman tersebut belum dapat
dibiakkan pada media artifisial. Bakteri ini bakteri gram positif tahan asam dan alkohol
serta berukuran 3-8 μm x 0,5 μm.1 Pada manusia, bakteri M. leprae hidup intrasesular
obligat dengan afinitas besar terhadap sel Schwann yang banyak ditemukan pada susunan
saraf tepi serta sel sistem retikuloendotel. Waktu pembelahan bakteri ini mencapai 2-3
minggu dengan pertumbuhan optimal pada suhu lebih rendah dari suhu inti tubuh
manusia (±30oC). Oleh karena itu, kuman ini lebih banyak ditemukan pada bagian tubuh

14
yang relatif dingin, yaitu cuping telinga, hidung, dan kaki.1,2 Pada manusia, rute
penyebaran infeksi dari kuman ini adalah melalui droplet hidung pada pasien dengan
kusta tipe LL. Bakteri M. leprae dapat bertahan di kondisi tropis di luar tubuh manuisia
hingga 9 hari.3,4 Masa tunas penyakit kusta bervariasi, mulai dari 40 hari hingga 40 tahun.
Akan tetapi, rata-rata masa tunas penyakit kusta adalah 3-5 tahun.1

2.4 Patogenesis dan Klasifikasi


Penularan dari infeksi bakteri M. leprae dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu host,
agen, dan lingkungan. Sampai saat ini, transmisi bakteri belum diketahui pasti, namun
terdapat beberapa teori kemungkinan penyebab transmisi penyakit ini, yaitu inhalasi
(infeksi droplet), kontak kulit ke kulit, transmisi in utero, laktasi (terutama lepra tipe LL),
dan trauma.5
Bakteri M. leprae memiliki patogenitas dan daya invasi yang rendah. Jumlah kuantitas
dari bakteri belum tentu memberikan gejala yang lebih berat dan juga sebaliknya. Hal ini
terjadi karena adanya perbedaan respons imun di setiap individu saat terjadi infeksi.
Reaksi granuloma yang timbul dapat terjadi setempat atau menyeluruh dan dapat regresif
atau bersifat progresif. Oleh karena itum penyakit kusta juga dapat disebut sebagai
penyakit imuologik karena gejala klinis sebanding dengan tingkat reaksi seluler
dibandingkan intensitas infeksi. Terdapat beberapa kondisi yang dapat memengaruhi
sistem imunitas seluler (SIS), seperti nutrisi, menopause, pubertas, diabetes mellitus, dan
penyakit lain yang dapat menurunkan SIS sehingga meningkatkan risiko terjadinya
kusta.5 Berikut adalah gambaran mengenai rantai penularan penyakit kusta.

15
Gambar 1. Rantai Penularan Penyakit Kusta4

2.5 Manifestasi Klinis


Semakin baik SIS, gambaran klinis akan semakin mengarahkan ke tuberkuloid, yaitu
kuman lepra terkumpul dalam satu tuberkel sehingga perluasan semakin sedikit karena
terbatasi oleh sistem imun. Sebaliknya, SIS yang rendah memiliki gambaran penyakit ke
arah lepromatosa. Diagnosis kusta secara klinis merupakan diagnosis yang terpenting dan
paling sederhana sehingga manifestasi klinis dan klasifikasi dari kusta harus diketahui.1

16
Gambar 2. Patogenesis dan Klasifikasi Kusta1

Ridley dan Jopling mengklasifikasikan lepra menjadi berbagai tipe sebagai berikut1,6:
TT : Tuberkuloid polar, bentuk stabil
Ti : Tuberkuloid indefinite
BT : Borderline tuberculoid
BB : Mid borderline
BL : Borderline lepromatosa
Li : Lepromatosa indefinite
LL : Lepromatosa polar, bentuk stabil

Selain itu, terdapat klasifikasi lain berdasarkan WHO 1981 yang menggunakan istilah
pausibasilar/PB (sedikit kuman, yaitu tipe TT, BT, dan I) dan multibasilar/MB (banyak
kuman, yaitu tipe LL, BL, BB). Pada klasifikasi Ridley-Jopling, tipe MB adalah pasien
dengan indeks bakteri lebih dari 2+ ; sedangkan tipe PB memiliki indeks bakteri <2+.
Akan tetapi, terdapat perubahan pada 1987 untuk kepentingan pengobatan. Kusta PB
adalah kusta dengan BTA negatif pada pemeriksaan kerokan jaringan kulit. Sedangkan
kusta MB adalah kusta dengan BTA positif dan tidak melihat tipe pada klasifikasi

17
Ridley-Jopling. Pemeriksaan BTA kerokan kulit tidak selalu dapat dilakukan terutama
pada daerah terpecil, sehingga WHO mengeluarkan klasifikasi PB dan MB berdasarkan
manifestasi klinis yang dapat dilihat dalam tabel berikut.1

Tabel 1. Klasifikasi Klinis Kusta Menurut WHO (1995)1

Kelainan kulit pada kusta dapat berupa makula, infiltrat, atau keduanya. Manifestasi
klinis kusta seringkali menyerupai penuyakit lain, sehingga penyakit kusta sehingga
disebut sebagai ‘the greatest imitator”. Ada atau tidaknya hipestesi atau anestesi sangat
membantu penegakkan diagnosis ke arah kusta. Hal ini dapat diperiksa dengan
sensibilitas tajam-tumpul, nyeri, atau pun panas-dingin.1,7 Berikut adalah perbedaan
gambaran klinis kusta tipe MB dan PB berdasarkan Ridley dan Jopling.

18
Tabel 2. Gambaran Klinis Multibasilar1

Tabel 3. Gambaran Klinis Pausibasilar1

Kerusakan saraf tepi pada pasien kusta harus diperiksakan, baik dari sensorik, motorik,
dan otonom disertai palpasi pada saraf tepi. Kerusakan saraf otonom dapat diperhatikan
dengan ada tidaknya dehidrasi pada area lesi yang dapat dipertegas dengan pensil tinta
(tanda Gunawan). Perbesaran saraf perifer disertai nyeri juga dapat terjadi sehingga perlu

19
dilakukannya palpasi pada saraf superfiisal, yaitu n. fasialis, n. auricularis magnus, n.
radialis, n. ulnaris, n. medianus, n. poplitea lateralis, dan n. tibialis posterior. Gejala
adanya kerusakan saraf adalah sebagai berikut1:
a. N. Ulnaris: anestesia ujung anterior digiti IV-V disertai clawing, atrofi hipotenar
b. N. Medianus: anesteria ujung anterior digiti I-III disertai clawing, tidak mampu
aduksi ibu jari, ibu jari kontraktur, atrofi tenar
c. N. Radialis: anestesia dorsum manus, wrist drop, tidak mampu ekstensi pergelangan
tangan
d. N. Poplitea lateralis: anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis; foot
drop, kelemahan otot peroneus
e. N. Tibialis posterior: anestesia telapak kaki, claw toes, paralisis otot intrinsik kaki
dan kolaps arkus pedis
f. N. Fasialis: lagoftalmus, kehilangan ekspresi wajah, kegagalan mengatupkan bibir
g. N. Trigeminus: anestesia wajah, kornea, dan konjungtiva mata

Penyakit kusta juga dapat menyebabkan adanya deformitas yang terjadi secara primer
dan sekunder. Deformitas primer disebabkan oleh terbentuknya granuloma sebagai reaksi
imun terhadap M. leprae yang merusak kulit, tulang jari, mukosa saluran napas atas, dan
wajah. Gejala yang timbul berupa lagoftalmus, kulit kering, alopesia, dan madarosis.
Sedangkan deformitas sekunder terjadi akibat adanya kerusakan saraf (sensorik, motorik,
dan otonom), seperti adanya mutilasi tangan, kaki, serta kotnraktur sendi.1

2.6. Diagnosis

Diagnosis morbus Hansen didasarkan pada gambaran klinis, bakterioskopis,


histopatologis, dan serologis. Diagnosis klinis adalah yang terpenting dan paling
sederhana untuk mengerjakannya. Sementara itu, pemeriksaan lain memerlukan waktu,
diantaranya 15-30 menit untuk pemeriksaan bakteriologis, 10 – 14 hari untuk
pemeriksaan histopatologis, dan tes lepromin atau tes Mitsuda untuk penentuan tipe
morbus Hansen yang memerlukan waktu sekitar 3 minggu.1

20
Pada tahun 1995, WHO menyederhanakan sistem klasifikasi penyakit morbus Hansen
berdasarkan hitung lesi kulit dan saraf yang terkena sebagaimana tercantum dalam tabel.
Klasifikasi ini lebih untuk menentukan regimen pengobatan. Kemudian pada tahun 2018,
WHO merekomendasikan bahwa diagnosis morbus Hansen dalam praktik didasarkan
pada adanya setidaknya satu dari tiga tanda kardinal, yaitu (i) hilangnya sensasi sentuhan
sama sekali pada plak hipopigmentasi atau eritematosa; (ii) saraf perifer yang menebal
atau membesar disertai dengan hilangnya sensasi atau kelemahan dari otot yang
dipersarafinya; (iii) adanya basil tahan asam pada pemeriksaan slit-skin smear.8

Terdapat kemungkinan adanya perbedaan antara hasil diagnosis klinis dan histopatologis
mengenai tipe dari morbus Hansen. Diagnosis klinis harus berdasarkan pemeriksaan di
seluruh tubuh pasien karena diagnosis klinis di suatu area misalnya wajah dapat berbeda
dengan bagian tubuh lainnya, seperti tungkai, lengan, badan, dan sebagainya. Demikian
pula diagnosis histopatologis harus mempertimbangkan gambaran dari seluruh lesi yang
ada pada pasien.1

Diagnosis klinis menurut WHO (1995)1

Pausibasiler (PB) Multibasiler (MB)

1. Lesi kulit  1 – 5 lesi  Lebih dari lima lesi


(macula datar, papul  Hipopigmentasi/eritema  Distribusi lebih
meninggi, nodus)  Distribusi tidak simetris simetris
 Hilangnya sensasi secara  Hilangnya sensasi
jelas kurang jelas
2. Kerusakan saraf  Hanya satu cabang saraf  Mengenai banyak
(menyebabkan hilangnya cabang saraf
sensasi/kelemahan otot
yang dipersarafi oleh
saraf yang terkena)

21
Anamnesis

Pada anamnesis, yang perlu ditanyakan meliputi adanya kelainan kulit (lesi) yang disertai
dengan keluhan baal atau penurunan sensasi sentuhan/nyeri, penelusuran sumber infeksi,
riwayat pengobatan, adanya deformitas, dan adanya riwayat reaksi. Lesi pada morbus
Hansen cukup beragam yang akan menjadi faktor penentu dalam klasifikasi Ridley –
Jopling sebagaimana pada tabel. Oleh karena itu, penelusuran keluhan objektif dapat
berupa bercak kemerahan, peninggian permukaan kulit, bruntus-bruntus, tonjolan di kulit
dan sebagainya, disertasi dengan jumlah, lokasi, distribusi, batas dan gangguan sensasi
raba pada lesi tersebut. Sementara itu, penelusuran sumber infeksi atau riwayat kontak
adalah dengan menanyakan apakah ada anggota keluarga/ orang di sekitar lingkungan
tempat tinggal/lingkungan kerja pasien yang mengalami kondisi kulit dan keluhan serupa
dan riwayat pengobatan dari orang tersebut. Riwayat pengobatan dari pasien adalah
dengan menanyakan apakah pasien pernah mengkonsumsi obat yang berbentuk seperti
papan. Papan merah adalah obat untuk morbus Hansen multibasiler sementara papan
hijau adalah untuk morbus Hansen pausibasiler. Riwayat reaksi adalah apakah pasien
mengalami perburukan pada kulitnya yang awalnya hanya kemerahan kemudian menjadi
permukaan kulit yang meninggi dan sebagainya.1

Pemeriksaan fisis

Pemeriksaan fisis dikerjakan secara sistematis mulai dari inspeksi, palpasi, kemudian
pemeriksaan dengan alat sederhana meliputi pemeriksaan sensoris dengan jarum, kapas,
dan tabung reaksi (dengan air panas, air dingin), dan pemeriksaan saraf otonom dengan
pensil Gunawan (uji hipohidrosis).1

Pemeriksaan fungsi saraf sensoris

Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai sensibilitas pasien terhadap rangsang raba,
rangsang nyeri, dan perbedaan suhu. Pemeriksaan rangsang raba dilaukan dengan kapas
yang dipilin hingga ujungnya lancip lalu disentuhkan pada lesi dan pasien dminta untuk
menunjuk bagian yang disentuhkan. Selain itu, pasien juga diminta untuk membedakan
apakah terdapat perbedaan intensitas rangsangan antara kulit yang terdapat lesi dengan
kulit yang sehat. Selanjutnya untuk pemeriksaan rangsang nyeri, dengan jarum pentul,

22
secara acak dan bergantian disentuhkan ujung tajam dan ujung tumpul dari pada lesi,
kemudian ditanyakan bagian mana yang disentuhkan. Kemudian pasien dimintakan untuk
membedakan rangsang nyeri antara kulit yang sehat dengan kulit yang sakit. Pemeriksaan
sensoris lainnya adalah rangsang suhu yaitu dengan menyentuhkan tabung reaksi bersuhu
20oC dan 40oC dan ditempelkan secara bergantian pada kulit yang sehat maupun yang
sakit dan pasien diminta untuk membedakan suhu panas dan dingin serta menanyakan
apakah terdapat perbedaan intensitas rangsang suhu antara kulit sehat dengan kulit yang
terdapat lesi.1

Pemeriksaan fungsi saraf motorik

Uji fungsi saraf motorik dilakukan dengan pemeriksaan fungsi n. radialis, medianus,
ulnaris, dan peroneus komunis. Pemeriksaan n. ulnaris adalah dengan menguji
pergerakan dan kekuatan dari jari kelingking. Pasien diminta untuk menggerakkan jari
kelingking dan memeriksa kekuatan jari tersebut dalam mengapit kertas. Untuk n.
medianus, dinilai pergerakan jari telunjuk. Untuk nervus radialis, diperika kekuatan
pergerakan pergelangan tangan pasien untuk dorsofleksi.1

Pemeriksaan fungsi saraf otonom

Pemeriksaan saraf otonom untuk pasien dengan kecurigaan morbus Hansen adalah
sengan uji hipohidrosis dengan pensil gunawan. Pada pasien kusta terjadi gangguan saraf
otonom yang ditandai dengan hipohidrosis yaitu gangguan berkeringat. Pensil digoreskan
mulai dari bagian tengah lesi kusta menuju kulit sehat di sekitar lesi tesebut. Jika terjadi
hipohidrosis pada lesi, maka tinta pada bagian kulit yang sehat akan tampak lebih tebal,
lebih merembes (blobor) dibandingkan dengan lesi.1

Pemeriksaan pembesaran saraf

Pemeriksaan pembersaran saraf dilakukan pada n. aurikularis magnus, n. ulnaris, n.


tibialis posterior. Lakukan penekanan pada permukaan kulit yang bersesuaian dengan
letak dari saraf-saraf tersebut. Sambil melakukan penekanan sambil dinilai ekspresi
wajah pasien apakah pasien menunjukkan rasa nyeri.1

23
Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan bakterioskopik (kerokan jaringan kulit/slit-skin smears)


Pemeriksaan bakterioskopik menunjang penegakkan diagnosis dan untuk
pemantauan respon pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau
usapan dan kerokan mukosa hidung dengan perwarnaan basil tahan asam (BTA),
salah satunya Ziehl-Neelsen. Hasil negatif pada pemeriksaan bakterioskopik tidak
menyingkirkan diagnosis morbus Hansen, dan tidak berarti bahwa pasien tidak
mengandung bakteri Mycobacterium leprae. Slit-skin smear hanya positif pada
lepra tipe MB. Setiap ada hasil positif maka pasien diklasifikasikan mengalami
lepra multibasiler tanpa memperhatikan jumlah keterlibatan nervus perifer
maupun jumlah lesi.8
Mycobacterium leprae termasuk basil tahan asam yang tampak kemerahan pada
sediaan. Bakteri ini dapat tampak sebagai batang utuh (solid), batang terputus
(fragmented), dan butiran (granular). Bentuk solid adalah bentuk bakteri yang
masih hidup sementara bakteri yang telah mati dapat berbentuk granular atau
fragmented. Bakteri yang hidup adalah bentuk yang dapat berkembang biak dan
dapat menularkan ke korang lain.1
Indeks bakteri adalah angka yang menggambarkan kepadatan bakteri secara
menyeluruh tanpa melihat morfologi bakteri, baik itu solid maupun nonsolid
dengan notasi 0 hingga 6+. IB 0 berarti tidak ada BTA dalam 100 lapang
pandang.1
1+ bila terdapat 1 – 10 BTA dalam 100 LP
2+ bila terdapat 1 – 10 BTA dalam 10 LP
3+ bila terdapat 1 – 10 BTA rata-rata dalam 1 LP
4+ bila terdapat 11 – 100 BTA dalam 1 LP
5+ bila terdapat 101 – 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
6+ bila terdapat >1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
Pemeriksaan dengan mikroskop cahaya dengan pembesaran lensa o
byektif 100x dengan minyak emersi. IB seorang pasien adalah IB rata-rata dari
semua lesi yang dibuat sediaan.

24
Sementara itu, indeks morfologi adalah presentase bentuk solid dibandingkan
dengan jumlah total solid dan nonsolid.1
Rumus
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑏𝑎𝑘𝑡𝑒𝑟𝑖 𝑠𝑜𝑙𝑖𝑑
𝑥 100%
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑏𝑎𝑘𝑡𝑒𝑟𝑖 𝑠𝑜𝑙𝑖𝑑 + 𝑛𝑜𝑛𝑠𝑜𝑙𝑖𝑑
Syarat perhitungan IB
- Jumlah minimal bakteri per lesi 100 BTA
- IB 1+ tidak perlu dibuat IM karena untuk mendapatkan 100 BTA harus ada
1000 – 10.000 lapang pandang
- IB dihitung mulai dari 3+ yang maksimum dicari dalam 100 lapangan

Contoh penghitungan IB dan IM

Tempat pengambilan IB Solid Nonsolid IM

Telinga kiri 4+ 9 91 9%

Telinga kanan 3+ 8 92 8%

Ujung jari tangan 1+ 0 5 0


kanan

Ujung jari tangan kiri 2+ 1 33 1/23 %

Lesi I 3+ 7 93 7%

Lesi II 5+ 8 92 8%

total 18 33 395

IB pasien = 18/6 = 3+

IM pasien = 33: (33+395) = ….%

25
Langkah-langkah pemeriksaan bakterioskopik1
a. Menentukan jumlah area tubuh yang akan diambil kerokan jaringan kulitnya.
Jumlah ini bergantung pada tujuan pemeriksaan apakah untuk riset atau
pemeriksaan rutin. Pemeriksaan rutin minimal mengambil di 4 hingga 6 area,
yaitu ;
- Kedua cuping telinga bagian bawah
- 2 – 4 lesi lain yang paling aktif (yaitu yang palign eritematosa dan paling
infiltratif)
b. Menentukan/memilih lesi yang diperkirakan mengandung bakteri paling
banyak
c. Pengambilan bahan dengan scalpel steril
- Desinfeksi lesi lalu lesi dijepit dengan ibu jari dan telunjuk agar jaringan
kulit tersebut mengalami iskemia sehingga mengurangi darah yang dapat
mengganggu gambaran sediaan
- Membuat irisan hingga sedalam dermis, melewati subepidermal clear
zone, lalu dibuat kerokan, kedalaman agar mencapai jaringan yang
diharapkan banyak mengandung sel Virchow (sel Lepra) yang didalamnya
mengandung bakteri Mycobacterium leprae
- Kerokan jaringan dioleskan pada gelas alas, dipanaskan dengan api
Bunsen, lalu diwarnai dengan teknik Ziehl Neelsen
d. Pembuatan sediaan mukosa hidung
Pengambilan specimen dari mukosa hidung dapat dilakukan dengan cara nose
blows, kerokan dengan scalpel, atau olesan kapas lidi. Akan tetapi, sediaan
mukosa hidung jarang dilakukan karena ada kemungkinan mendapatkan
Mycobacterium atipikal dan mukosa kulit lebih cepat merespon pengobatan
dan menjadi negatif. Selain itu, pengambilan specimen di mukosa hidung juga
menimbulkan nyeri.

26
2. Pemeriksaan histopatologik
Histiosit adalah makrofag jaringan kulit yang berfungsi untuk memfagosit benda
asing/mikroorganisme termasuk Mycobacterium leprae. Kerja histiosit terhadap
keberadaan m. leprae bergantung pada kondisi imunitas selular seseorang. Jika
imunitas selular tinggi, histiosit dapat melakukan fagositosis setelah adanya
proses imunologis yang mengundangnya dengan zat kemotaktik. Jika jumlah
histiosit berlebih dan tidak ada benda yang perlu difagosit, histiosit akan berubah
bentuk menjadi sel epiteloid yang terjebak tidak dapat bergerak kemudian dapat
menjadi sel datia Langhans. Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi
oleh limfosit yang disebut tuberkel yang menjadi penyebab kerusakan jaringan
dan kecacatan pada penderita morbus Hansen. Sementara itu, pada individu
dengan imunitas selular yang lemah atau defisien, histiosit tidak dapat
memfagosit M. leprae yang ada di jaringan kulit, malah akan dijadikan sebagai
tempat bakteri tersebut berkembang biak dan menjadi sel Virchow (sel Lepra/sel
busa) yang dapat menjadi media perluasan lesi dan penyakit.1
Granuloma adalah akumulasi dari sel makrofag atau derivatnya. Gambaran
histopatologis dari morbus Hansen tipe tuberkuloid adalah tuberkel dengan
kerusakan saraf yang nyata, tanpa ada bakteri M. leprae atau sedikit bakteri dan
non-solid. Pada tepi ini terdapat zona/kelim kosong subepidermal (subepidermal
clear zone) yang merupakan suatu daerah di bawah epidermis dengan jaringan
yang tidak patologis, terdapat banyak sel Virchow dengan banyak bakteri M.
leprae. Sementara pada tipe borderline, terdapat campuran dari karakteristik
berikut.1

27
Karakteristik berbagai tipe morbus hansen pada klasifikasi Ridley – Jopling1

Tipe Morbus Hansen

TT BT BB BL LL

TT Ti BT BB BL Li LL

Reaksi lepromin 3+ 2+ 1+ - - - -

Stabilitas imunologis ++ + + - + + ++

Reaksi borderline - + + ++ + + -

ENL - - - - + + +

bakteri dalam hidung - - - - + + +

Bakteri dalam 1–3 4–


0 0 – 1+ 3 – 4+ 5 – 6+ 5 – 6+
granuloma + 5+

Sel epiteloid + + + + - - -

Sel datia Langhans +++ ++ + + - - -

Globi - - - - - + +

Sel busa (sel Virchow) - - - - + ++ +++

Limfosit +++ +++ ++ + + +/+ +

Infiltrasi zona
+ + + - - - --
subepidermal

Kerusakan saraf ++ +++ ++ + + + -

3. Pemeriksaan serologis
Pemeriksaan serologi mrbus Hansen didasrkan pada pembentukan antibodipafa
tubuh pasien yang terinfeksi im. Leprae. Antibodi yang terbentuk dapat berfisat

28
spesifik terhadap infeksi M leprae seperti antibody anti phenolic glycolipid (PGL-
1) dan antibody antiprotein 16 Jd SERTA 35 Kd. Sementara antibody yang tidak
spesifik diantaranya anti-lipoarabinomanan (LAM).1
Pemeriksaan serologis dapat membantu penegakan diagnosis pada kasus yang
meragukan. Selain itu juga dapat membantu menentukan kusta sublinis yang tidak
memberikan lesi di kulit maupun deformitas saraf. Beberapa tes serologi untuk
morbus Hansen diantaranya1:
 Uji MPLA (Mycobacteriun leprae particle agglutination)
 Uji ELISA (enzyme liked immunoassay)
 ML dipstick
 Ml flow test
ELISA dan lateral flow assay menunjukkan akurasi yang rendah pada lepra PB.
Pemeriksaan yang berbasis PCR yang menggunakan specimen jaringan meskipun
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi namun tidak tersedia di
seluruh fasilitas.8

2.7. Tatalaksana

Tatalaksana

Prinsip dasar penatalaksaan leprae yakni5:

 Eradikasi infeksi dengan terapi antilepromatosa


 Mencegah dan menangani infeksi
 Mengurangi risiko kerusakan saraf
 Mengedukasi pesien dalam menghadapi neuropati dan anestesia
 Menangani komplikasi kerusakan saraf
 Melakukan rehabilitasi pasien dimasyarakat

A. Tatalaksana Non-Farmakologis

Tatalaksana non-farmakologis yang penting pada pasien baru adalah konseling.


Konseling dilakukan oleh petugas kesehatan kepada pasien dan juga keluarga penderita
leprae (kusta) terutama saat memulai terapi pengobatan kusta, yakni antara lain1,5:

29
 Penyakit kusta disebabkan oleh kuman dan dapat diobati dengan pengobatan
MDT apabila diminum secara teratur sesuai dosis dan waktu yang ditentukan.
 Melakukan pengawasan konsumsi obat
 Efek samping yang dapat timbul selama masa pengobatan, tersering ialah urin
berwarna merah (efek samping rifampisin), bercak kulit yang gatal dan terjadi
perubahan warna kulit (efek samping klofazimin)
 Kecacatan dapat timbul apabila pengobatan tidak segera dilakukan
 Memeriksakan orang yang kontak dengan pasien, dan mengobati secara
komperhensif
 Melakukan perawatan diri setiap hari secara teratur meliputi :
o Menjaga kebersihan diri, terutama pada region dengan penurunan fungsi
neurologis (rasa baal) dengan merendam tangah atau kaki yang
anestesi/hipestesi setiap hari selama 10-15 menit
o Mengabrasi lesi kalus atau kulit keras di sekitar ulkus/luka, sebaiknya
dilakukan oleh tenaga kesehatan
o Menjaga asupan nutrisi dan kelembapan kulit
o Mengistirahatkan dan menghindari tekanan berlebihan pada region
bercak/lesi
 Setiap kontrol dilakukan pemeriksaan untuk mencegah disabilitas/kecacatan
 Bercak pada kulit memerlukan waktu yang lama untuk sembuh atau mungkin
akan menetap selamanya
 Keluhan baal, kelemahan otot dan saraf akan menetap
 Laporkan segera apabila terdapat tanda reaksi kusta

B. Tatalaksana Medikamentosa
1. Dapson (DDS, 4,4 diamino-difenil-sulfon)

Dapson termasuk dalam golongan sulfon, dengan mekanisme kerja menghambat


sintesis asam dihidrofilik dengan memblokade enzim dihidropteroat. Dapson
memiliki sifat bakteriostastik dan bakterisidal, namun sifat bakterisidal dapson lemah
untuk M. leprae. Resistensi terhadap dapson diakibatkan terdapat enzim sintase yang

30
tinggi pada M. leprae. Dosis diberikan pada dewasa yakni 50-100 mg/hari sedangkan
pada anak-anak 2 mg/KgBB. Efek samping penggunaan dapson antara lain erupsi
obat, anmeia hemolitik, leukopenia, insomnia, neuropati perifer, sindrom DDS,
nekrolisis, epidermal toksik, hepatitis, hipoalbuminemia, dan methemoglobinemia.1,7

2. Rifampisin

Rifampisin termasuk kedalam golongan ansamisin. Digunakan untuk pengobatan TB


pada tahun 1967, dan juga diketahui memiliki efek melawan M. leprae. Rifampisin
menghambat sintesis deoxyribonucleic acid dependent (DNA dependent) ribonucleic
acid (RNA) synthesis dengan memblokade RNA polymerase. Obat ini memiliki efek
bakterisidal kuat dan memiliki toleransi yang baik. Dosis yang dibeikan 600 mg/hari
(5-15 mg/KgBB) mampu membunuh kuman ±99,9% dalam waktu beberapa hari.
Pemberian seminggu sekali dengan dosis 900-1200 mg dapat menimbulkan gejala flu
like syndrome. Namun pemberian 600-1200 mg sebulan sekali masih memiliki
toleransi yang baik. Efek samping yang paling sering dikeluhkan yakni sekresi tubuh
seperti air mata dan urin yang berubah warna menjadi merah-jingga. Efek samping
lainnya seperti flu like syndrome, hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal,
dan erupsi kulit.1,7

3. Klofazimin

Klofazimin memiliki efek bakteriostatik yang setara dengan dapson. Pada tahun
1960an kofazimin diketahui memiliki efek melawan M. leprae sehingga pada tahun
1981 WHO memasukkanya dalam rehjimen pengobatan MDT. Mekanisme kerja
klofazimin masih belum diketahui, namun diketahui bekerja ketika terdapat
gangguan metabolisme radikal oksigen. Efektivitasnya minimal jika dibandingkan
dengan jenis obat mikobakterium lainnya. Klofazimin juga memiliki efek
antiinflamasi sehingga dapat digunakan untuk pengobatan reaksi kusta seperti ENL.
Efek samping klofazimin dapat menimbulkan pigmentasi kulit yang reversible ketika
penggunaan obnatnya dihentikan. Pada penggunaan dosis tinggi dapat menimbulkan
gejala gastrointestinal (nyeri abdomen, diare, anoreksia, dan vomitus).1,7

31
4. Ofloksasin

Obat ini merupakan turunan florokuinolon yang paling aktif terhadap M leprae
secara in vitro. Dosis tunggal yang diberikan dalam 22 dosis dapat membunuh
kuman M. leprae sebesar 99,9%. Kombinasi dengan rifampisisn dan minosiklin
diketahui sangat efektif pada kasus lepra denga lesi tunggal. Golongan florokuinolon
lainnya yang dapat digunakan dalam pengobatan leprae adalah moksifloksasin yang
memiliki efek banterisidal yang sama dengan rifampisin. Mekanisme kerja sama
dengan florokuinolon lainnya yakni inhibisi DNA-gyrase den memblokade replikase
sel. Terapi ini telah terbukti untuk pengobatan leprae yang resisten terhadap
rifampisin. Obat ini dikontraindikasikan pada anak-anak karena dapat menganggu
pertumbuhan kartilago. Efek samping lainnya berupa diare, sakit kepala, dizziness,
dan insomnia.1,7

5. Minosiklin

Minosiklin merupakan antibiotic yang disintesis pada tahun 1972 dan memiliki efek
bakterisidal kuat terhadap M. leprae, namun bersifat bakteriostatik pada jenis bakteri
lainnya. Penggunaannya sebagai pengobatan leprae kuat perlu pengawasan ketat.
Minosiklin memiliki spketrum yang luas dibandingkan tetrasiklin lainnya. Obat ini
sangat berbahaya apabila digunakan melebihi masa kadarluarsanya karena produk
degradasinya dapat mengakibatkan kerusakan ginjal. Efek samping obat ini seperti
mual, diare, dizziness, drowsiness, mulut kering dan sakit kepala.1,7

6. Klaritomisin

Klaritomisin merupakan antibiotic jenis makrolid yang memiliki spectrum luas


dibandingkan eritromisin. Klaritomisisn memiliki efek bakterisidal dengan potensi
yang lebih lemah dibandingkan minosiklin. Mekanisme kerjanya dengan
menghambat sintesis protein bakteri. Penggunaan bulanan untuk pengobatan
penyakit leprae belum teruji kinis, namun memiliki efektivitas yang sama dengan
obat bakterisidal lainnya. Efeksamping yang ditimbulkan antara lain gangguan
gastrointestinal, gangguan sistem saraf pusat, dizziness, irritability, halusinasi,
confusion, dan rasa logam di mulut. Obat ini juga berinteraksi dengan obat-obatan
terapi HIV.1,7

32
C. Rejimen Obat WHO

Pada tahun 1981 WHO mengeluarkan rekomendasi pengobatan kusta dengan multi drug
therapy (MDT) baik pada pasien PB maupun MB. Hal ini bertujuan memutus rantai
penularan, mencegah resistensi obat, memperpendek masa pengobatan, meningkatkan
keteraturan dalam berobat, dan mencegah kecacatan lebih lanjut.4 Pengobatan MDT
ditentukan berdasarkan klasifikasi pasien apakah masuk kedalam kategori PB atau TB
(tabel 4).

Tabel 4. Zona Spekturm Klasifikasi Kusta1,4

Klasifikasi BTA Negatif BTA Positif

Ridley & Jopling TT BT BB BL LL

Madrid Tuberkuloid Borderline Lepromatosa

WHO
Pausibasilar (PB) Multibasilar (MB)
Puskesmas

Regimen obat PB diberikan sebanyak 6 dosis selama 6 hingga 9 bulan. Selama masa
pengobatan, dilakukan pemeriksaan klinis secara berkala setiap bulannya, dan
pemeriksaan bakterioskopis pasca 6 bulan pengobatan. Pasca pengobatan telah selesai
pasien dapat dikatakan status release form treatment (RFT). Setelah dikatakan status
RFT, pasien dilakukan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan baterioskopis minimal setiap
tahunnya selama 2 tahun. Apabila pada pemeriksaan klinis maupun bakterioskopis tetap
menunjukkan hasil negatif, maka pasien dikatakan status release from control (RFC).5,7

33
Tabel 5. MDT tipe PB1,5

Obat < 10 tahun 10-15 tahun >15 tahun Keterangan

Dengan pengawasan
Rifampisin 300 mg/bulan 450 mg/bulan 600 mg/bulan
petugas kesehatan

Dapson 25 mg/hari 50 mg/hari 100 mg/hari Minum di rumah

Regimen obat MB diberikan sebanyak 12 dosis selama 12 hingga 18 bulan. Selama masa
pengobatan dilakukan pemeriksaan klinis setiap bulan dan pemeriksaan bakterioskopis
setiap 3 bulan. Pasca selesai pengobatan pasien dikatakan status RFT. Setelah dikatakan
RFT, pasien dilakukan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan bakterioskopis setiap
tahunnya selama 5 tahun. Apabila pada pemeriksaan klinis maupun bakterioskopis tetap
menunjukkan hasil negatif, maka pasien dikatakan RFC.1,4

Tabel 6. MDT tipe MB1,5

Obat <10 tahun 10-15 tahun >15 tahun Keterangan

Dengan pengawasan
Rifampisin 300 mg/bulan 450 mg/bulan 600 mg/bulan
petugas kesehatan

Dengan pengawasan
25 mg/bulan 50 mg/bulan 100 mg/bulan
Dapson petugas kesehatan

25 mg/hari 50 mg/hari 100 mg/hari Minum di rumah

Dengan pengawasan
100 mg/bulan 150 mg/bulan 300 mg/bulan
petugas kesehatan
Klofazimin
50 mg/2x
50 mg/2 hari 50 mg/hari Minum di rumah
seminggu

34
Pada kasus PB dengan lesi tunggal dapat diberikan rejimen obat ROM, yakni rifampisin
600 mg ditambah dengan ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg dosis tunggal. Pada
pasien yang resisten terhadap rifampisin dapat disertai gejala DDS sehingga dapat
diberikan rejimen :

Tabel 7. Rejimen pada pasien yang tidak dapat mengkonsumsi Rifampisin1

Lama pengobatan Jenis obat Dosis

Klofazimin 50 mg/hari

Ditambah 2 dari 3 obat:

6 bulan pertama Ofloksasin 400 mg/hari

Minosiklin 100 mg/hari

Klaritomisin 500 mg/hari

Klofazimin 50 mg/hari

Ofloksasin 400 mg/hari


18 bulan berikutnya
Atau

Minosiklin 100 mg/hari

Pasien yang tidak dapat mengkonsumsi klofazimin dapat diganti dengan ofloksasin 400
mg/hari atau minosiklin 100 mg/hari selama 12 bulan. Alternatif lainnya adalah
rifampisin 600 mg/bulan, ofloksasin 400 mg/bulan, dan minosiklin 100 mg/bulan selama
24 bulan. Pada pasien yang tidak dapat mengkonsumsi DDS (dapson), tidak terdapat
modifikasi untuk pasien MB sehingga MDT tetap dikonsumsi selama 12 bulan tanpa
DDS, sementara untuk pasien PB, DDS dapat diganti dengan klofazimin dengan dosis
seperti MDT-MB selama 6 bulan.1

Pasien kusta dindikasikan dirawat inap apabila1:

 Terdapat efek samping obat yang berat


 Reaksi reversal atau ENL berat

35
 Kondisi umum yang buruk (ulkus, gangren) atau terdapat keterlibatan organ tubuh
lain yang bersifat sistemik
 Terdapat rencana tindakan operatif

2.8 Komplikasi

A. Reaksi Kusta

Reaksi kusta merupakan interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit kusta
kronik. Reaksi kusta diklasifikasikan menjadi reaksi tipe1 (reaksi reversal) dan reaksi tipe
2 (eritema nodosum leprosum/ENL).

Reaksi ENL timbul pada kusta tipe lepromatosa polar hingga borderline. Hal ini
memunjukkan makin tinggi multibasilernya makin besar kemungkinan timbul ENL.
Reaksi ENL merupakan respon imunologik humoral, akibat terbentuknya kompleks imun
antigen M. leprae dengan antibodi (IgG, IgM) dan komplemen. Gambaran klinis reaksi
ENL pada kulit dapat timbul nodus eritema dan nyeri dengan predileksi tempat dilengan
dan tungkai. Bila mengenai tempat lain dapat menimbulkan gejala seperti iridosiklitis,
neuritis akut, limfadenitis, artritis, orkitis, dan nefritis.4,5

Reakdi reversal terjadi terutama oleh peningkatan mendadak pada SIS (sistem imun
sistemik). Reaksi ini termasuk reaksi tipe lambat. Reaksi umumnya terjadi pada 6 bulan
pertama pengobatan. Neuritis akut dapat terjadi dan menyebabkan kerusakan saraf secara
mendadak, sehingga memerlukan pengobatan adekuat segera. Manifestasi lain dari reaksi
reversal adalah sebagian atau seluruh lesi yang sudah ada menjadi bertambah aktif atau
timbul lesi baru dalam waktu yang relative singkat. Lesi hipopigmentasi dapat berubah
menjadi eritema, lesi eritema menjadi lesi eritematosa, lesi macula menjadi lesi infiltrate,
lesi lama menjadi lebih luas. Satu gejala diatas yang muncul dapat dikatakan terjadi
reaksi reversal.4,5

36
Tabel 8. Perbedaan reaksi tipe 1 dan tipe 24,5

Gejala/tanda Reaksi tipe 1 Reaksei tipe 2

Tipe kusta Tipe PB maupun MB Hanya pada kusta tipe MB

Onset timbul Biasanya dalam 6 bulan Biasanya setelah mendapatkan


pertama pengobatan pengobatan yang lama (>6
bulan)

Keadaan umum Umumnya baik, demam ringan Ringan hingga berat disertai
(subfebris) atau tanpa demam kelemahan umum dan demam
tinggi

Peradangan dikulit Bercak kulit lama menjadi Timbul nodul kemerahan,


meradang, bengkak, mengkilat, lunak, disertai nyeri tekan.
hangat. Kadang-kadang pada Umumnya pada lengan dan
sebagian lesi. Dapat timbul tungkai. Nodus dapat pecah dan
bercak baru ulserasi

Neuritis Sering terjadi berupa nyeri Dapat terjadi


tekan saraf dan/atau gengguan
fungsi saraf. Silent neuritis (-)

Radang pada mata Pada kutsa tipe PB maupun Hanya pada kusta tipe MB
MB

Edema ekstermitas (+) (-)

Peradangan pada organ lain Hamper tidak ada Terjadi pada mata, KGB, sendi,
ginjal, testis, dll

37
Tabel 9. Faktor risiko terjadinya reaksi kusta5

Reaksi Reversal (tipe 1) Reaksi ENL (tipe 2)

 Tipe borderline terutama BL dan  LL dengan infiltrasi kulit


BB  Reaksi timbul tahun pertama MDT
 Reaksi dapat timbul sebelum,  Usia muda
selama, dan setelah pengobatan  Obat MDT kecuali klofazimin
(RFT)  Indeks bakteri (IB) >4+
 Usia tua  Dipengaruhi stress fisik dan mental
 Lesi dan keterlibatan saraf multiple  Infeksi penyerta: Streptococcus,
 Lesi pada wajah dan dekat mata, virus, parasite intestinal, filarial,
yang berisiko lagofthalmus malaria
 Infeksi penyerta : hepatitis B atau C  Kebanyakan pada trimester-3
 Saat puerpurium  Lain-lain seperti trauma, operasi,
imunisasi protektif, tes mantoux
positif kuat, konsumsi kalium
hidroksida

B. Cacat Kusta

Cacat kusta disebabkan oleh kerusakan saraf tepi. Cacat kusta dapat dibagi menjadi tiga
tahap, yakni1:

 Tahap I, kelainan saraf berupa oenebalan saraf, nyeri, tanpa gangguan fungsi
motorik, namun telah terjadi ganguan fungsi sensorik
 Tahap II, kerusakan saraf berupa paralisis tidak lengkap termasuk pada otot
kelopak mata, otot jari tangan, dan otot kaki. Pemulihan kekuatan otot masih
dapat terjadi pada stadium ini
 Tahap III, destruksi saraf. Pada stadium ini, kelumpuhan menetap dan dapat
terjadi infeksi progresif disertai destruksi tulang dan gangguan penglihatan

WHO membagi cacat kusta menjadi tiga tingkat kecacatan menurut organ vital dalam
kualitas hidup sehari-hari yakni mata, tangan, dan kaki.1

38
Cacat pada tangan dan kaki

 Tingkat 0  tidak terdapat anestesi dan kelainan anatomis


 Tingkat 1  terdapat anestesi tanpa kelainan anatomis
 Tingkat 2  terdapat kelainan anatomis

Cacat pada mata

 Tingkat 0  tidak terdapat kelainan pada mata


 Tingkat 1  terdapat kelainan pada mata (visus berkurang)
 Tingkat 2  terdapat lagofthalmus dan visus sangat terganggu

C. Tatalaksana Reaksi Kusta

Prinsip pengobatan reaksi tipe ringan4:

 Berobat jalan, istirahat dirumah (tirah baring)


 Pemberian obat-obatan simtopatik (analgesic, antipiretik, obat penenang)
 MDT tetap diberikan dengan dosis tetap
 Menghindari/menghilangkan faktor pencetus

Pada pengobatan reaksi tipe berat, sama dengan reaksi tipe ringan ditambah pemberian
obat anti reaksi (prednisone, lampren). Prednisone harus diberikan dalam pengawasan
ketat dan dicatat pada formulir pengobatan kusta reaksi berat. Pasien dengan
kontraindikasi pemberian prednisone seperti TB, DM, ulkus peptikus, dan infeksi
sekunder yang memburuk harus segera dirujuk. Prednisone memiliki efek samping
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, hiperglikemia, mudah infeksi, mudah
pendarahan, ulkus peptikus, osteoporosis, dan cushing syndrome. Penggunaan yang
diberhentikan tiba-tiba dapat menimbulkan rebound phenomenon seperti demam, nyeri
otot, nyeri sendi, dan malaise. Apabila dalam pengobatan kondisi pasien membaik maka
dosis prednisone dapat diturunkan 1 tingkat, apabila menetap maka dilanjutkan hingga 1
minggu, dan apabila memburuk dinaikkan dosis prednisone 1 tingkat. Lampren dapat
diberikan pada reaksi kusta tipe 2 yang berulang (>2 episode) dan diberikan dalam dosis
tunggal di pagi hari setelah makan.4

39
Skema pemberian prednisone4

2 minggu ke- Dosis


1 40 mg/hari (8x5 tab)
2 30 mg/hari (6x5 tab)
3 20 mg/hari (4x5 tab)
4 15 mg/hari (3x5 tab)
5 10 mg/hari (2x5 tab)
6 5 mg/hari (1x5 tab)
Skema pemberian lampren4

300 mg/hari atau 3x100 mg/hari selama 2 bulan


200 mg/hari atau 2x100 mg/hari selama 2 bulan
100 mg/hari selama 2 bulan
Indikasi pasien dirujuk ke rumah sakit4:

 ENL melepuh, pecah (ulserasi), suhu tubuh tinggi, neuritis


 Reaksi tipe I disertai bercak ulserasi atau neuritis
 Reaksi yang disertai komplikasi penyakit lain yang berat (hepatitis, DM,
hipertensi, ulkus peptikus)

2.9. Prognosis

Prognosis ad vitam umumnya bonam, tidak mengancam nyawa. Prognosis ad functionam


dan ad sanactionam sangat tergantung pada deteksi dini, kerusakan saraf yang terjadi,
onset mulainya pengobatan, dan konseling perawatan diri. Prognosis dubia ad malam
apabila terdapat komplikasi kerusakan saraf sehingga menyebabkan luka yang
meningkatkan risiko infeksi, dapat diperparah dengan kebiasaan yang tidak mau merawat
diri.4

40
BAB III

PEMBAHASAN

Pasien perempuan usia 38 tahun dengan keluhan benjolan-benjolan yang nyeri


pada kedua kaki sejak 2 tahun yang lalu. Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien
memiliki riwayat menderita morbus Hansen ketika anak-anak (20 tahun yang lalu) dan
mendapatkan pengobatan MDT MB 12 bulan yang dilanjutkan MDT MB 6 bulan.

Status dermatologikus pada saat pasien diperiksa adalah makula


hiperpigmentasi, multipel berukuran lentikular hingga plakat, batas difus pada regio
wajah, perut, punggung, lengan bilateral, dan tungkai bilateral. Lesi tampak hitam dan
mengkilap. Sementara itu, keluhan utama pasien saat pertama kali berobat di RSCM
adalah benjolan-benjolan di kedua kaki seukuran kelereng dan makula eritematosa. Tidak
ada hipestesi maupun anestesi pada lesi maupun pada tangan dan kaki saat itu (Februari
2018). Pada pemeriksaan saraf perifer ditemukan pembesaran n. ulnaris dan n. tibialis
posterior bilateral. Kemudian dari pemeriksaan bakterioskopis ditemukan bakteri basil
tahan asam dengan indeks bakteri 18/7 dan indeks morfologi 1,3%. Berdasarkan
gambaran lesi berupa makula eritematosa multipel tanpa hipestesi/anestesi dan adanya
pembesaran saraf perifer yang mengenai banyak cabang saraf, maka dapat ditegakkan
diagnosis morbus Hansen multibasiler. Pemeriksaan bakterioskopis yang positif dengan
adanya bakteri solid (1,3%) semakin memperkuat diagnosis MH tipe multibasiler.

Pemeriksaan histopatologi pada lesi satu bulan kemudian menunjukkan


kelompok foamy macrophages dalam struktur granuloma memanjang dengan sedikit
limfosit, terutama di perivaskular dan perineural, serta periadneksal yang menujukkan
suatu granuloma lepra dengan staining Fite Faraco yang positif yang menandakan adanya
bakteri M. leprae. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa terjadi reaksi granulomatosa
pada pasien dengan adanya sel Virchow yang mengandung bakteri basil tahan asam.
Adanya granuloma atau sel epiteloid lebih umum ditemukan pada tipe tuberkuloid.
Namun adanya bakteri di dalam granuloma sebagaimana ditunjukkan oleh Fite Faraco
staining lebih mendukung ke arah MH tipe lepromatosa. Berdasarkan karakteristik lesi

41
yang berupa makula dan terdapat nodus namun tidak ada infiltrat, masih terdapat jaringan
kulit yang sehat, maka kemungkinan tipe MH pada pasien ini adalah borderline
lepromatosa yang mengalami reaksi sekunder berupa eritema nodosum leprosum dengan
kemungkinan lain adalah bahwa pasien ini memiliki tipe MH lepromatosa polar.

Pasien memiliki riwayat didiagnosis morbus Hansen sebelumnya pada usia 8


tahun dan 12 tahun dan mendapatkan rejimen pengobatan MH multibasiler, akan tetapi
tidak jelas riwayat pengobatannya apakah tuntas atau tidak. Hal itu sulit untuk dipastikan
mengingat usia pasien yang saat itu masih anak-anak dan rentang waktu yang sudah
sangat lama, sekitar 30 tahun yang lalu. Oleh karena itu, kondisi saat ini kemungkinan
dapat berupa morbus Hansen relaps pasca pengobatan yang tuntas ataupun suatu kondisi
penyakit morbus Hansen yang tidak diobati tuntas dan menjadi resisten. Kecurigaan
resistensi obat dikarenakan perjalanan penyakit pasien yang secara klinis dermatologis
menunjukkan adanya perbaikan namun secara bakterioskopis tidak memberikan respons
yang adekuat. Secara lesi, nodul-nodul mengalami penipisan (mengempes) dan pasien
tidak mengeluhkan munculnya lesi/benjolan baru. Akan tetapi, secara bakterioskopis
mulai dari Februari 2018 hingga hingga Januari 2019 masih ditemukan bakteri dengan
morfologi solid, dan sepanjang pengobatan indeks bakterial pasien tetap pada kisaran 2+.
Tidak dilakukan uji resistensi pada pasien karena keterbatasan biaya, maka diberikan
ofloksasin sebagai regimen tambahan untuk mengatasi kemungkinan terjadinya
resistensi.

Dugaan adanya reaksi eritema nodosum leprosum pada saat pasien pertama kali
datang berobat ke RSCM adalah dari keluhan pasien yaitu benjolan multipel di kedua
kaki yang teraba nyeri, pasien sebelumnya terdiagnosis mengalami morbus Hansen dan
mendapatkan pengobatan multibasiler, Pada pemeriksaan didapatkan nodul multipel
dengan konsistensi kenyal, ada nyeri tekan, nyeri spontan, riwayat demam tinggi dan
malaise ada. Dari pemeriksaan histopatologi terhadap nodul juga ditemukan granuloma
dengan terdapat gambaran basil tahan asam didalamnya. Maka sesuai dengan gejala dan
tanda serta temuan histopatologis dari reaksi kusta berupa eritema nodosum leprosum.

Dari pemeriksaan bakterioskopik ditemukan bakteri nonsolid dengan indeks


bakteri pasien terakhir 2+, tidak ditemukan bakteri solid. Dari pemeriksaan histopatologis

42
ditemukan granuloma makrofag. Sementara dari pemeriksaan status neurologikus terbaru
ditemukan pembesaran nervus ulnaris dan n tibialis posterior. Dari status dermatologikus
terdapat infiltrat multiple. Diagnosis sesuai untuk morbus Hansen relaps dengan riwayat
reaksi berupa eritema nodosum leprosum.

Pasien merupakan MH tipe BL sehingga diberikan MDT MB sesuai guideline


WHO. Pasien juga memiliki komplikasi berupa ENL sehingga diberikan prednisone.
Setelah evaluasi, pasien sudah tidak menunjukkan gejala ENL sehingga sudah melalui
penurunan dosis prednisone bertahap, saat ini pasien sudah diberhentikan dari konsumsi
prednisone. Pasien masih menunjukkan BTA positif sehingga tatalaksana pada pasien
ditambahkan ofloksasin 400 mg/hari.

Prognosis pasien untuk ad vitam bonam, dikarenakan penyakit yang dideritanya


tidak mengancam jiwa. Prognosis ad functionam bonam, dikarenakan tidak ditemukan
kecacatan pada pasien akibat penyakit MH-nya.. Prognosis ad sanactionam pasien dubia
ad malam, dikarenakan MH merupakan infeksi yang sering relaps.

43
DAFTAR PUSTAKA

1. Wisnu IM, Sjamsoe-Daili E, Menaldi SL. Kusta. Dalam: Ilmu penyakit kulit dan
kelamin. Menaldi SLS, Bramono K, Indriatmi W, editor. Edisi ke-7. Jakarta:
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2017.
2. James W, Berger T, Elston D, Neuhaus I. Andrews' Diseases of the Skin: Clinical
Dermatology. 12th ed. Philadelpia: Elsevier; 2016. p 384-8.
3. Weller R, Hunter H, Mann M. Clinical dermatology. 5th ed. West Sussex, UK:
John Wiley & Sons Ltd.; 2015.
4. Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan. Pedoman nasional program pengendalian kusta; 2012.
5. Widaty S, Soebono H, Nilasari H, Listiawati MY, Siswati AS, Triwahyudi D, et
al. Panduan praktik klinis bagi dokter spesialis kulit dan kelamin di Indonesia.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI); 2017.
6. Andrews' Diseases of the Skin: Clinical Dermatology. 12th ed. Philadelpia:
Elsevier; 2016. p 384-8.
7. Kumar B, Kar HK, editors. IAL Textbook of Leprosy. 2nd ed. New Delhi: Jaypee
Brothers Medical Publishers; 2016.
8. World Health Organization. Guidelines for the Diagnosis, Treatment, and
Prevention of Leprosy. New Delhi: World Health Organization, Regional Office
for South-East Asia; 2017.

44

Anda mungkin juga menyukai