MORBUS HANSEN
Disusun oleh:
Narasumber
JAKARTA
MEI 2019
i
DAFTAR ISI
2
BAB I
ILUSTRASI KASUS
2.2. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSCM pada
hari Jumat, 3 Mei 2019 pukul 11.00 WIB.
Keluhan Utama
Pasien datang untuk kontrol rutin dengan riwayat benjolan-benjolan kemerahan pada
kedua kaki yang terasa nyeri sejak 1,5 tahun yang lalu.
3
membesar. Keluhan disertai dengan bercak kemerahan pada wajah dan telinga yang tidak
gatal. Pasien merasakan kulit semakin kering sehingga perlu memakai lotion. Rasa baal
tidak ada. Sendal terlepas saat berjalan tidak ada. Benda terjatuh saat digenggam oleh
pasien tidak ada. Pasien dapat mengancingkan pakaian sendiri. Pasien merasakan alis
rontok. Sebelum benjolan muncul, pasien sempat mengalami demam tinggi dengan suhu
39oC, tidak ada batuk maupun pilek. Pasien berobat ke RS Koja, kemudian dirujuk ke
Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUPN Cipto Mangunkusumo pada Februari 2018. Pasien
direncanakan untuk pemeriksaan biopsi (6 Februari 2018). Pasien mendapatkan obat
papan, metilprednisolon, dan vitamin.
Pada Maret 2018, pasien kontrol tepat waktu. Pasien mengatakan terdapat bercak-
bercak merah tanpa keluhan di kedua ketiak dan punggung kanan yang baru muncul 2
minggu setelah konsumsi obat papan bulan pertama. Pasien membawa hasil biopsi PA
dan dikatakan sesuai gambaran penyakit kusta. Pasien kembali mendapatkan obat papan
bulan kedua, metilprednisolon, dan vitamin.
Pada Mei 2018, pasien datang kontrol. Pasien mengatakan benjolan sudah tidak
ada, tidak ada bercak baru maupun bercak menebal. Pasien kembali mendapatkan obat
papan bulan keempat dan vitamin. Pemberian metilprednisolon dihentikan.
Pada Agustus 2018, pasien datang kontrol rutin dan mengatakan tidak ada bercak
baru, tidak ada bercak menebal, ataupun benjolan. Nyeri spontan pada persarafan dan
sendi disangkal. Demam disangkal. Pasien mendapatkan obat papan bulan ketujuh dan
vitamin. Pasien kemudian dilakukan pemeriksaan BTA dan direncanakan untuk
pemeriksaan resistensi namun menolak karena ada keterbatasan biaya. Pasien
direncanakan untuk ditambah 1 jenis obat lain (ofloxacin) dimulai di akhir pengobatan
bulan kesembilan apabila hasil BTA masih positif.
Pada Oktober 2018, pasien datang kontrol rutin dan mengatakan muncul 3 buah
benjolan kemerahan di kedua lengan, terasa nyeri. Tidak ada bercak baru yang menebal
atau semakin merah. Nyeri pada persarafan dan sendi disangkal. Pasien diberikan obat
papan bulan kesembilan dan vitamin. Pasien kembali direncanakan untuk tes BTA.
Pada November 2018, pasien datang kontrol rutin. Keluhan bercak baru
disangkal. Bercak lama dirasakan sudah menipis dan meredup. Keluhan benjolan saat ini
sudah tidak ada. Keluhan nyeri sendi dan saraf disangkal. Pasien saat ini dalam
4
pengobatan obat papan bulan kesepuluh dan sudah diberikan satu obat tambahan
(ofloxacin).
Pada Januari 2019, keluhan bercak baru disangkal, bercak lama dirasakan sudah
menipis. Keluhan muncul benjolan baru disangkal. Nyeri sendi dan nyeri saraf disangkal.
Pasien dalam pengobatan obat papan bulan ke-12. Pengobatan dilanjutkan karena hasil
BTA masih ditemukan bentuk solid. Pemberian ofloxacin masih dilanjutkan.
Pada April 2019, pasien datang kontrol rutin pengobatan. Keluhan benjolan baru
disangkal. Benjolan lama dikatakan sudah kempes. Bercak kusta lama menipis, keluhan
nyeri sendi dan nyeri saraf disangkal. Obat diminum rutin setiap hari. Pasien diberikan
obat papan bulan ke-15, ofloxacin bulan ke-6, dan vitamin.
Pada Mei 2019 (saat pemeriksaan), pasien datang kontrol rutin. Keluhan benjolan
dan bercak baru disangkal. Benjolan lama dikatakan sudah kempes dan bercak lama
sudah menipis. Tidak ada nyeri sendi dan nyeri saraf. Pasien rutin minum obat sesuai
anjuran. Pasien mendapatkan obat papan bulan ke-16, vitamin, dan ofloxacin bulan ke-7.
Pada 30 tahun yang lalu, pasien pernah mengalami keluhan bercak kemerahan
pada wajah. Pasien berobat ke puskesmas dan diberikan obat papan yang dikonsumsi
selama 12 bulan. Pada 25 tahun yang lalu (saat pasien usia 13 tahun), pasien kembali
merasakan timbulnya bercak kemerahan pada wajah dan kembali berobat ke puskesmas
dan diberikan obat papan yang dikonsumsi selama 6 bulan. Pasien mengatakan bekas
bercak kemerahan berubah menjadi warna kehitaman.
Pasien memiliki riwayat alergi ikan dan telur berupa munculnya bintil-bintil merah yang
gatal di pipi dan telinga. Pasien mengkonsumsi obat insidal.
Kakak dan adik pasien mengalami keluhan serupa berupa bercak kemerahan di tubuh dan
telah diberikan obat papan selama 12 bulan. Hingga saat ini, kakak dan adik pasien tidak
pernah kambuh.
5
Riwayat Sosial dan Ekonomi
Pasien tinggal bersama suami pasien, tidak memiliki anak. Pasien merupakan seorang ibu
rumah tangga. Keluhan serupa pada tetangga atau teman pasien tidak ada. Pembiayaan
dengan BPJS.
Status dermatologikus
Pada regio kedua telinga, kedua lengan – tangan, kedua tungkai bawah, terdapat nodul
sewarna kulit hingga hiperpigmentasi multipel, persebaran diskrit.
Status neurologikus
6
Status bakteriologis
Status dermatologikus
Pada region lengan kanan dan kiri atas tampak plak eritematosa multipel, ukuran
nummular, sirkumskrip, persebaran diskrit, disertai skuama putih kasar di atasnya.
Hasil pemeriksaan histopatologi dari nodus lengan atas kiri menunjukkan jaringan kulit
dengan epidermis atrofik, pada dermis tampak kelompokan foamy macrophages dalam
struktur granuloma memanjang dengan makrofag di dermis dan sekitar adneksa,
granuloma tidak tersusun padat. Pewarnaan dengan Wade-Fite-Faraco menujukkan
positif terdapat Mycobacerium leprae.
Indeks bakteri pasien 24/7, indeks morfologi pasien 1,4%. (1 Agustus 2018)
Lagoftalmus tidak ada bilateral, nyeri tekan saraf ulnaris ada bilateral. Kekuatan otot jari
ke V, ibu jari, dan pergelangan tangan bilateral baik. Rasa raba pada telapak tangan
normal bilateral. Pada kaki, terdapat nyeri tekan n.peroneus dan n. tibialis posterior
sinistra, kekuatan otot kaki normal bilateral, rasa raba normal bilateral.
7
1.4.4 Oktober 2018
Indeks bakteri pasien 18/7, indeks morfologi pasien= 0,14% (25 Oktober 2018)
Status bakteriologis
1
𝑥 100% = 𝟎, 𝟏%
1 + 699
8
1.4.6 April 2019
Status dermatologikus
Pada regio punggung, perut, lengan bilateral, dan wajah terdapat makula
hiperpigmentasi, multipel, ukuran lentikular hingga plakat, batas difus hingga
sirkumskrip,persebaran diskret hingga konfluens
Pada regio aurikula bilateral, tampak infiltrat hiperpigmentasi , multipel, ukuran
lentikular
Status neurologikus
Status bakterioskopis
9
1.4.7 Mei 2019 (sekarang)
Status dermatologikus
Pada regio wajah, perut, punggung, lengan bilateral, tungkai bilateral, tampak lesi makula
hiperpigmentasi, multipel, berukuran lentikular hingga plakat, berbatas difus hingga
sirkumskripta, persebaran diskret hingga konfluens (ditandai dengan lingkaran merah).
Pada regio aurikular bilateral, terdapat infiltrat hiperpigmentasi, multipel, berukuran
lentikular, berbatas difus (ditandai dengan panah merah).
10
Gambar: Tampilan efloresensi pasien pada 5 Mei 2019
Status neurologikus
Pada lesi tidak didapatkan hipestesi maupun anestesi.
Pemeriksaan saraf:
n. auricularis
-/+ -/kenyal -/- -/-
magnus
n. peroneus
-/- -/- -/- -/-
communis
n. tibialis
+/+ kenyal/kenyal -/- -/-
posterior
11
1.5. Pemeriksaan Penunjang
Sediaan dengan keterangan lesi I dan II, menunjukkan gambaran serupa terdiri atas
jaringan kulit dengan epidermis atrofik. Pada dermis tampak kelompok foamy
macrophages dalam struktur granuloma memanjang dengan sedikit limfosit, terutama di
perivaskular dan perineural, serta periadneksal. Pulasan Fite Fraco: positif.
Kesimpulan: Histologik sesuai dengan radang granulomatosa yang dapat ditemukan pada
keadaan Morbus Hansen tipe borderline lepromatosa.
1.6. Resume
Pasien perempuan, 38 tahun, datang untuk kontrol dengan riwayat nodus eritema multipel
pada pedis bilateral yang terasa nyeri sejak 1,5 tahun sebelum pemeriksaan. Benjolan
dengan ukuran sebesar kelereng, konsistensi kenyal, dirasakan semakin membesar.
Keluhan disertai bercak eritema pada wajah dan telinga. Kulit terasa semakin kering.
Sebelumnya, pasien demam tinggi 39oC. Pasien saat ini sudah dalam pengobatan MDT-
MB bulan ke-16, ofloxacin 1x400 mg per hari bulan ke-7, dan Neurobion. Pasien
memiliki riwayat MH saat usia 8 tahun dan 13 tahun, sudah mendapatkan pengobatan
namun ketuntasan pengobatan belum diketahui.
Pada pemeriksaan fisis didapatkan, pada regio wajah, perut, punggung, lengan bilateral,
tungkai bilateral, tampak lesi makula hiperpigmentasi, multipel, berukuran lentikular
hingga plakat, berbatas difus hingga sirkumskripta, persebaran diskret hingga konfluens.
Pada regio aurikular bilateral, terdapat infiltrat hiperpigmentasi, multipel, berukuran
lentikular, berbatas difus. Terdapat pembesaran n. auricularis magnus sinistra, kenyal;
pembesaran n. ulnaris bilateral, kenyal; dan pembesaran n.tibialis posterior bilateral,
kenyal. Kekuatan otot jari kelima dekstra dan sinistra sedang.
12
1.7. Diagnosis Kerja
2. ENL perbaikan
Non-medikamentosa:
1. Edukasi pasien untuk melakukan pemeriksaan kusta pada semua anggota keluarga
pasien yang tidak bergejala
2. Edukasi pasien untuk kontrol rutin dan melanjutkan pengobatan MDT MB
3. Edukasi pasien untuk kembali memeriksakan diri jika mengalami perburukan gejala
Medikamentosa:
1. MDT MB
- Rifampisin 600 mg/bulan
- Dapson 100 mg/hari.
- Klofazimin 300 mg hari pertama dengan pengawasan, dilanjutkan 50 mg/hari
pada hari ke-2 hingga hari ke-28.
2. Ofloxacin 1x400 mg/hari (bulan ke-7)
3. Neurobion 1x1 tablet
1.9 Prognosis
Ad vitam: bonam
Ad functionam: bonam
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Kusta (Lepra, Morbus Hansen) merupakan infeksi kronik pada saraf perifer sebagai
afinitas pertama, kemudian kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, dan
menuju organ lain kecuali susunan saraf pusat akibat infeksi Mycobacterium leprae.1
2.2 Epidemiologi
Penyebaran penyakit kusta di seluruh dunia dapat disebabkan oleh perpindahan penduduk
yang terinfeksi penyakit kusta. Kusta terutama ditemukan di Asia, Afrika, Amerika Latin,
daerah tropis dan subtropis, serta masyarakat dengan kondisi sosial ekonomi yang
rendah. Pada awal tahun 2009, terdapat 213.036 orang yang mengalami kusta yang
berasal dari 121 negara. Jumlah kasus kusta yang tercatat di Indonesia pada awal tahun
2009 sebanyak 21.538 dengan distribusi yang tidak merata. Daerah dengan kusta
tertinggi terdapat pada Pulai Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Papua.1
Kusta dapat menyerang seluruh kelompok usia, namun anak-anak lebih rentan terhadap
infeksi Mycobacterium leprae dibandingkan orang dewasa. Di Indonesia, sebanyak
kurang lebih 13% anak-anak di bawah umur 14 tahun mengalami kusta. Frekuensi
tertinggi terjadinya kusta terdapat pada kelompok usia 25-35 tahun.1
2.3 Etiologi
Kusta disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh
G.A.Hansen tahun 1874 di Norwegia. Hingga saat ini, kuman tersebut belum dapat
dibiakkan pada media artifisial. Bakteri ini bakteri gram positif tahan asam dan alkohol
serta berukuran 3-8 μm x 0,5 μm.1 Pada manusia, bakteri M. leprae hidup intrasesular
obligat dengan afinitas besar terhadap sel Schwann yang banyak ditemukan pada susunan
saraf tepi serta sel sistem retikuloendotel. Waktu pembelahan bakteri ini mencapai 2-3
minggu dengan pertumbuhan optimal pada suhu lebih rendah dari suhu inti tubuh
manusia (±30oC). Oleh karena itu, kuman ini lebih banyak ditemukan pada bagian tubuh
14
yang relatif dingin, yaitu cuping telinga, hidung, dan kaki.1,2 Pada manusia, rute
penyebaran infeksi dari kuman ini adalah melalui droplet hidung pada pasien dengan
kusta tipe LL. Bakteri M. leprae dapat bertahan di kondisi tropis di luar tubuh manuisia
hingga 9 hari.3,4 Masa tunas penyakit kusta bervariasi, mulai dari 40 hari hingga 40 tahun.
Akan tetapi, rata-rata masa tunas penyakit kusta adalah 3-5 tahun.1
15
Gambar 1. Rantai Penularan Penyakit Kusta4
16
Gambar 2. Patogenesis dan Klasifikasi Kusta1
Ridley dan Jopling mengklasifikasikan lepra menjadi berbagai tipe sebagai berikut1,6:
TT : Tuberkuloid polar, bentuk stabil
Ti : Tuberkuloid indefinite
BT : Borderline tuberculoid
BB : Mid borderline
BL : Borderline lepromatosa
Li : Lepromatosa indefinite
LL : Lepromatosa polar, bentuk stabil
Selain itu, terdapat klasifikasi lain berdasarkan WHO 1981 yang menggunakan istilah
pausibasilar/PB (sedikit kuman, yaitu tipe TT, BT, dan I) dan multibasilar/MB (banyak
kuman, yaitu tipe LL, BL, BB). Pada klasifikasi Ridley-Jopling, tipe MB adalah pasien
dengan indeks bakteri lebih dari 2+ ; sedangkan tipe PB memiliki indeks bakteri <2+.
Akan tetapi, terdapat perubahan pada 1987 untuk kepentingan pengobatan. Kusta PB
adalah kusta dengan BTA negatif pada pemeriksaan kerokan jaringan kulit. Sedangkan
kusta MB adalah kusta dengan BTA positif dan tidak melihat tipe pada klasifikasi
17
Ridley-Jopling. Pemeriksaan BTA kerokan kulit tidak selalu dapat dilakukan terutama
pada daerah terpecil, sehingga WHO mengeluarkan klasifikasi PB dan MB berdasarkan
manifestasi klinis yang dapat dilihat dalam tabel berikut.1
Kelainan kulit pada kusta dapat berupa makula, infiltrat, atau keduanya. Manifestasi
klinis kusta seringkali menyerupai penuyakit lain, sehingga penyakit kusta sehingga
disebut sebagai ‘the greatest imitator”. Ada atau tidaknya hipestesi atau anestesi sangat
membantu penegakkan diagnosis ke arah kusta. Hal ini dapat diperiksa dengan
sensibilitas tajam-tumpul, nyeri, atau pun panas-dingin.1,7 Berikut adalah perbedaan
gambaran klinis kusta tipe MB dan PB berdasarkan Ridley dan Jopling.
18
Tabel 2. Gambaran Klinis Multibasilar1
Kerusakan saraf tepi pada pasien kusta harus diperiksakan, baik dari sensorik, motorik,
dan otonom disertai palpasi pada saraf tepi. Kerusakan saraf otonom dapat diperhatikan
dengan ada tidaknya dehidrasi pada area lesi yang dapat dipertegas dengan pensil tinta
(tanda Gunawan). Perbesaran saraf perifer disertai nyeri juga dapat terjadi sehingga perlu
19
dilakukannya palpasi pada saraf superfiisal, yaitu n. fasialis, n. auricularis magnus, n.
radialis, n. ulnaris, n. medianus, n. poplitea lateralis, dan n. tibialis posterior. Gejala
adanya kerusakan saraf adalah sebagai berikut1:
a. N. Ulnaris: anestesia ujung anterior digiti IV-V disertai clawing, atrofi hipotenar
b. N. Medianus: anesteria ujung anterior digiti I-III disertai clawing, tidak mampu
aduksi ibu jari, ibu jari kontraktur, atrofi tenar
c. N. Radialis: anestesia dorsum manus, wrist drop, tidak mampu ekstensi pergelangan
tangan
d. N. Poplitea lateralis: anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis; foot
drop, kelemahan otot peroneus
e. N. Tibialis posterior: anestesia telapak kaki, claw toes, paralisis otot intrinsik kaki
dan kolaps arkus pedis
f. N. Fasialis: lagoftalmus, kehilangan ekspresi wajah, kegagalan mengatupkan bibir
g. N. Trigeminus: anestesia wajah, kornea, dan konjungtiva mata
Penyakit kusta juga dapat menyebabkan adanya deformitas yang terjadi secara primer
dan sekunder. Deformitas primer disebabkan oleh terbentuknya granuloma sebagai reaksi
imun terhadap M. leprae yang merusak kulit, tulang jari, mukosa saluran napas atas, dan
wajah. Gejala yang timbul berupa lagoftalmus, kulit kering, alopesia, dan madarosis.
Sedangkan deformitas sekunder terjadi akibat adanya kerusakan saraf (sensorik, motorik,
dan otonom), seperti adanya mutilasi tangan, kaki, serta kotnraktur sendi.1
2.6. Diagnosis
20
Pada tahun 1995, WHO menyederhanakan sistem klasifikasi penyakit morbus Hansen
berdasarkan hitung lesi kulit dan saraf yang terkena sebagaimana tercantum dalam tabel.
Klasifikasi ini lebih untuk menentukan regimen pengobatan. Kemudian pada tahun 2018,
WHO merekomendasikan bahwa diagnosis morbus Hansen dalam praktik didasarkan
pada adanya setidaknya satu dari tiga tanda kardinal, yaitu (i) hilangnya sensasi sentuhan
sama sekali pada plak hipopigmentasi atau eritematosa; (ii) saraf perifer yang menebal
atau membesar disertai dengan hilangnya sensasi atau kelemahan dari otot yang
dipersarafinya; (iii) adanya basil tahan asam pada pemeriksaan slit-skin smear.8
Terdapat kemungkinan adanya perbedaan antara hasil diagnosis klinis dan histopatologis
mengenai tipe dari morbus Hansen. Diagnosis klinis harus berdasarkan pemeriksaan di
seluruh tubuh pasien karena diagnosis klinis di suatu area misalnya wajah dapat berbeda
dengan bagian tubuh lainnya, seperti tungkai, lengan, badan, dan sebagainya. Demikian
pula diagnosis histopatologis harus mempertimbangkan gambaran dari seluruh lesi yang
ada pada pasien.1
21
Anamnesis
Pada anamnesis, yang perlu ditanyakan meliputi adanya kelainan kulit (lesi) yang disertai
dengan keluhan baal atau penurunan sensasi sentuhan/nyeri, penelusuran sumber infeksi,
riwayat pengobatan, adanya deformitas, dan adanya riwayat reaksi. Lesi pada morbus
Hansen cukup beragam yang akan menjadi faktor penentu dalam klasifikasi Ridley –
Jopling sebagaimana pada tabel. Oleh karena itu, penelusuran keluhan objektif dapat
berupa bercak kemerahan, peninggian permukaan kulit, bruntus-bruntus, tonjolan di kulit
dan sebagainya, disertasi dengan jumlah, lokasi, distribusi, batas dan gangguan sensasi
raba pada lesi tersebut. Sementara itu, penelusuran sumber infeksi atau riwayat kontak
adalah dengan menanyakan apakah ada anggota keluarga/ orang di sekitar lingkungan
tempat tinggal/lingkungan kerja pasien yang mengalami kondisi kulit dan keluhan serupa
dan riwayat pengobatan dari orang tersebut. Riwayat pengobatan dari pasien adalah
dengan menanyakan apakah pasien pernah mengkonsumsi obat yang berbentuk seperti
papan. Papan merah adalah obat untuk morbus Hansen multibasiler sementara papan
hijau adalah untuk morbus Hansen pausibasiler. Riwayat reaksi adalah apakah pasien
mengalami perburukan pada kulitnya yang awalnya hanya kemerahan kemudian menjadi
permukaan kulit yang meninggi dan sebagainya.1
Pemeriksaan fisis
Pemeriksaan fisis dikerjakan secara sistematis mulai dari inspeksi, palpasi, kemudian
pemeriksaan dengan alat sederhana meliputi pemeriksaan sensoris dengan jarum, kapas,
dan tabung reaksi (dengan air panas, air dingin), dan pemeriksaan saraf otonom dengan
pensil Gunawan (uji hipohidrosis).1
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai sensibilitas pasien terhadap rangsang raba,
rangsang nyeri, dan perbedaan suhu. Pemeriksaan rangsang raba dilaukan dengan kapas
yang dipilin hingga ujungnya lancip lalu disentuhkan pada lesi dan pasien dminta untuk
menunjuk bagian yang disentuhkan. Selain itu, pasien juga diminta untuk membedakan
apakah terdapat perbedaan intensitas rangsangan antara kulit yang terdapat lesi dengan
kulit yang sehat. Selanjutnya untuk pemeriksaan rangsang nyeri, dengan jarum pentul,
22
secara acak dan bergantian disentuhkan ujung tajam dan ujung tumpul dari pada lesi,
kemudian ditanyakan bagian mana yang disentuhkan. Kemudian pasien dimintakan untuk
membedakan rangsang nyeri antara kulit yang sehat dengan kulit yang sakit. Pemeriksaan
sensoris lainnya adalah rangsang suhu yaitu dengan menyentuhkan tabung reaksi bersuhu
20oC dan 40oC dan ditempelkan secara bergantian pada kulit yang sehat maupun yang
sakit dan pasien diminta untuk membedakan suhu panas dan dingin serta menanyakan
apakah terdapat perbedaan intensitas rangsang suhu antara kulit sehat dengan kulit yang
terdapat lesi.1
Uji fungsi saraf motorik dilakukan dengan pemeriksaan fungsi n. radialis, medianus,
ulnaris, dan peroneus komunis. Pemeriksaan n. ulnaris adalah dengan menguji
pergerakan dan kekuatan dari jari kelingking. Pasien diminta untuk menggerakkan jari
kelingking dan memeriksa kekuatan jari tersebut dalam mengapit kertas. Untuk n.
medianus, dinilai pergerakan jari telunjuk. Untuk nervus radialis, diperika kekuatan
pergerakan pergelangan tangan pasien untuk dorsofleksi.1
Pemeriksaan saraf otonom untuk pasien dengan kecurigaan morbus Hansen adalah
sengan uji hipohidrosis dengan pensil gunawan. Pada pasien kusta terjadi gangguan saraf
otonom yang ditandai dengan hipohidrosis yaitu gangguan berkeringat. Pensil digoreskan
mulai dari bagian tengah lesi kusta menuju kulit sehat di sekitar lesi tesebut. Jika terjadi
hipohidrosis pada lesi, maka tinta pada bagian kulit yang sehat akan tampak lebih tebal,
lebih merembes (blobor) dibandingkan dengan lesi.1
23
Pemeriksaan penunjang
24
Sementara itu, indeks morfologi adalah presentase bentuk solid dibandingkan
dengan jumlah total solid dan nonsolid.1
Rumus
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑏𝑎𝑘𝑡𝑒𝑟𝑖 𝑠𝑜𝑙𝑖𝑑
𝑥 100%
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑏𝑎𝑘𝑡𝑒𝑟𝑖 𝑠𝑜𝑙𝑖𝑑 + 𝑛𝑜𝑛𝑠𝑜𝑙𝑖𝑑
Syarat perhitungan IB
- Jumlah minimal bakteri per lesi 100 BTA
- IB 1+ tidak perlu dibuat IM karena untuk mendapatkan 100 BTA harus ada
1000 – 10.000 lapang pandang
- IB dihitung mulai dari 3+ yang maksimum dicari dalam 100 lapangan
Telinga kiri 4+ 9 91 9%
Telinga kanan 3+ 8 92 8%
Lesi I 3+ 7 93 7%
Lesi II 5+ 8 92 8%
total 18 33 395
IB pasien = 18/6 = 3+
25
Langkah-langkah pemeriksaan bakterioskopik1
a. Menentukan jumlah area tubuh yang akan diambil kerokan jaringan kulitnya.
Jumlah ini bergantung pada tujuan pemeriksaan apakah untuk riset atau
pemeriksaan rutin. Pemeriksaan rutin minimal mengambil di 4 hingga 6 area,
yaitu ;
- Kedua cuping telinga bagian bawah
- 2 – 4 lesi lain yang paling aktif (yaitu yang palign eritematosa dan paling
infiltratif)
b. Menentukan/memilih lesi yang diperkirakan mengandung bakteri paling
banyak
c. Pengambilan bahan dengan scalpel steril
- Desinfeksi lesi lalu lesi dijepit dengan ibu jari dan telunjuk agar jaringan
kulit tersebut mengalami iskemia sehingga mengurangi darah yang dapat
mengganggu gambaran sediaan
- Membuat irisan hingga sedalam dermis, melewati subepidermal clear
zone, lalu dibuat kerokan, kedalaman agar mencapai jaringan yang
diharapkan banyak mengandung sel Virchow (sel Lepra) yang didalamnya
mengandung bakteri Mycobacterium leprae
- Kerokan jaringan dioleskan pada gelas alas, dipanaskan dengan api
Bunsen, lalu diwarnai dengan teknik Ziehl Neelsen
d. Pembuatan sediaan mukosa hidung
Pengambilan specimen dari mukosa hidung dapat dilakukan dengan cara nose
blows, kerokan dengan scalpel, atau olesan kapas lidi. Akan tetapi, sediaan
mukosa hidung jarang dilakukan karena ada kemungkinan mendapatkan
Mycobacterium atipikal dan mukosa kulit lebih cepat merespon pengobatan
dan menjadi negatif. Selain itu, pengambilan specimen di mukosa hidung juga
menimbulkan nyeri.
26
2. Pemeriksaan histopatologik
Histiosit adalah makrofag jaringan kulit yang berfungsi untuk memfagosit benda
asing/mikroorganisme termasuk Mycobacterium leprae. Kerja histiosit terhadap
keberadaan m. leprae bergantung pada kondisi imunitas selular seseorang. Jika
imunitas selular tinggi, histiosit dapat melakukan fagositosis setelah adanya
proses imunologis yang mengundangnya dengan zat kemotaktik. Jika jumlah
histiosit berlebih dan tidak ada benda yang perlu difagosit, histiosit akan berubah
bentuk menjadi sel epiteloid yang terjebak tidak dapat bergerak kemudian dapat
menjadi sel datia Langhans. Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi
oleh limfosit yang disebut tuberkel yang menjadi penyebab kerusakan jaringan
dan kecacatan pada penderita morbus Hansen. Sementara itu, pada individu
dengan imunitas selular yang lemah atau defisien, histiosit tidak dapat
memfagosit M. leprae yang ada di jaringan kulit, malah akan dijadikan sebagai
tempat bakteri tersebut berkembang biak dan menjadi sel Virchow (sel Lepra/sel
busa) yang dapat menjadi media perluasan lesi dan penyakit.1
Granuloma adalah akumulasi dari sel makrofag atau derivatnya. Gambaran
histopatologis dari morbus Hansen tipe tuberkuloid adalah tuberkel dengan
kerusakan saraf yang nyata, tanpa ada bakteri M. leprae atau sedikit bakteri dan
non-solid. Pada tepi ini terdapat zona/kelim kosong subepidermal (subepidermal
clear zone) yang merupakan suatu daerah di bawah epidermis dengan jaringan
yang tidak patologis, terdapat banyak sel Virchow dengan banyak bakteri M.
leprae. Sementara pada tipe borderline, terdapat campuran dari karakteristik
berikut.1
27
Karakteristik berbagai tipe morbus hansen pada klasifikasi Ridley – Jopling1
TT BT BB BL LL
TT Ti BT BB BL Li LL
Reaksi lepromin 3+ 2+ 1+ - - - -
Stabilitas imunologis ++ + + - + + ++
Reaksi borderline - + + ++ + + -
ENL - - - - + + +
Sel epiteloid + + + + - - -
Globi - - - - - + +
Infiltrasi zona
+ + + - - - --
subepidermal
3. Pemeriksaan serologis
Pemeriksaan serologi mrbus Hansen didasrkan pada pembentukan antibodipafa
tubuh pasien yang terinfeksi im. Leprae. Antibodi yang terbentuk dapat berfisat
28
spesifik terhadap infeksi M leprae seperti antibody anti phenolic glycolipid (PGL-
1) dan antibody antiprotein 16 Jd SERTA 35 Kd. Sementara antibody yang tidak
spesifik diantaranya anti-lipoarabinomanan (LAM).1
Pemeriksaan serologis dapat membantu penegakan diagnosis pada kasus yang
meragukan. Selain itu juga dapat membantu menentukan kusta sublinis yang tidak
memberikan lesi di kulit maupun deformitas saraf. Beberapa tes serologi untuk
morbus Hansen diantaranya1:
Uji MPLA (Mycobacteriun leprae particle agglutination)
Uji ELISA (enzyme liked immunoassay)
ML dipstick
Ml flow test
ELISA dan lateral flow assay menunjukkan akurasi yang rendah pada lepra PB.
Pemeriksaan yang berbasis PCR yang menggunakan specimen jaringan meskipun
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi namun tidak tersedia di
seluruh fasilitas.8
2.7. Tatalaksana
Tatalaksana
A. Tatalaksana Non-Farmakologis
29
Penyakit kusta disebabkan oleh kuman dan dapat diobati dengan pengobatan
MDT apabila diminum secara teratur sesuai dosis dan waktu yang ditentukan.
Melakukan pengawasan konsumsi obat
Efek samping yang dapat timbul selama masa pengobatan, tersering ialah urin
berwarna merah (efek samping rifampisin), bercak kulit yang gatal dan terjadi
perubahan warna kulit (efek samping klofazimin)
Kecacatan dapat timbul apabila pengobatan tidak segera dilakukan
Memeriksakan orang yang kontak dengan pasien, dan mengobati secara
komperhensif
Melakukan perawatan diri setiap hari secara teratur meliputi :
o Menjaga kebersihan diri, terutama pada region dengan penurunan fungsi
neurologis (rasa baal) dengan merendam tangah atau kaki yang
anestesi/hipestesi setiap hari selama 10-15 menit
o Mengabrasi lesi kalus atau kulit keras di sekitar ulkus/luka, sebaiknya
dilakukan oleh tenaga kesehatan
o Menjaga asupan nutrisi dan kelembapan kulit
o Mengistirahatkan dan menghindari tekanan berlebihan pada region
bercak/lesi
Setiap kontrol dilakukan pemeriksaan untuk mencegah disabilitas/kecacatan
Bercak pada kulit memerlukan waktu yang lama untuk sembuh atau mungkin
akan menetap selamanya
Keluhan baal, kelemahan otot dan saraf akan menetap
Laporkan segera apabila terdapat tanda reaksi kusta
B. Tatalaksana Medikamentosa
1. Dapson (DDS, 4,4 diamino-difenil-sulfon)
30
tinggi pada M. leprae. Dosis diberikan pada dewasa yakni 50-100 mg/hari sedangkan
pada anak-anak 2 mg/KgBB. Efek samping penggunaan dapson antara lain erupsi
obat, anmeia hemolitik, leukopenia, insomnia, neuropati perifer, sindrom DDS,
nekrolisis, epidermal toksik, hepatitis, hipoalbuminemia, dan methemoglobinemia.1,7
2. Rifampisin
3. Klofazimin
Klofazimin memiliki efek bakteriostatik yang setara dengan dapson. Pada tahun
1960an kofazimin diketahui memiliki efek melawan M. leprae sehingga pada tahun
1981 WHO memasukkanya dalam rehjimen pengobatan MDT. Mekanisme kerja
klofazimin masih belum diketahui, namun diketahui bekerja ketika terdapat
gangguan metabolisme radikal oksigen. Efektivitasnya minimal jika dibandingkan
dengan jenis obat mikobakterium lainnya. Klofazimin juga memiliki efek
antiinflamasi sehingga dapat digunakan untuk pengobatan reaksi kusta seperti ENL.
Efek samping klofazimin dapat menimbulkan pigmentasi kulit yang reversible ketika
penggunaan obnatnya dihentikan. Pada penggunaan dosis tinggi dapat menimbulkan
gejala gastrointestinal (nyeri abdomen, diare, anoreksia, dan vomitus).1,7
31
4. Ofloksasin
Obat ini merupakan turunan florokuinolon yang paling aktif terhadap M leprae
secara in vitro. Dosis tunggal yang diberikan dalam 22 dosis dapat membunuh
kuman M. leprae sebesar 99,9%. Kombinasi dengan rifampisisn dan minosiklin
diketahui sangat efektif pada kasus lepra denga lesi tunggal. Golongan florokuinolon
lainnya yang dapat digunakan dalam pengobatan leprae adalah moksifloksasin yang
memiliki efek banterisidal yang sama dengan rifampisin. Mekanisme kerja sama
dengan florokuinolon lainnya yakni inhibisi DNA-gyrase den memblokade replikase
sel. Terapi ini telah terbukti untuk pengobatan leprae yang resisten terhadap
rifampisin. Obat ini dikontraindikasikan pada anak-anak karena dapat menganggu
pertumbuhan kartilago. Efek samping lainnya berupa diare, sakit kepala, dizziness,
dan insomnia.1,7
5. Minosiklin
Minosiklin merupakan antibiotic yang disintesis pada tahun 1972 dan memiliki efek
bakterisidal kuat terhadap M. leprae, namun bersifat bakteriostatik pada jenis bakteri
lainnya. Penggunaannya sebagai pengobatan leprae kuat perlu pengawasan ketat.
Minosiklin memiliki spketrum yang luas dibandingkan tetrasiklin lainnya. Obat ini
sangat berbahaya apabila digunakan melebihi masa kadarluarsanya karena produk
degradasinya dapat mengakibatkan kerusakan ginjal. Efek samping obat ini seperti
mual, diare, dizziness, drowsiness, mulut kering dan sakit kepala.1,7
6. Klaritomisin
32
C. Rejimen Obat WHO
Pada tahun 1981 WHO mengeluarkan rekomendasi pengobatan kusta dengan multi drug
therapy (MDT) baik pada pasien PB maupun MB. Hal ini bertujuan memutus rantai
penularan, mencegah resistensi obat, memperpendek masa pengobatan, meningkatkan
keteraturan dalam berobat, dan mencegah kecacatan lebih lanjut.4 Pengobatan MDT
ditentukan berdasarkan klasifikasi pasien apakah masuk kedalam kategori PB atau TB
(tabel 4).
WHO
Pausibasilar (PB) Multibasilar (MB)
Puskesmas
Regimen obat PB diberikan sebanyak 6 dosis selama 6 hingga 9 bulan. Selama masa
pengobatan, dilakukan pemeriksaan klinis secara berkala setiap bulannya, dan
pemeriksaan bakterioskopis pasca 6 bulan pengobatan. Pasca pengobatan telah selesai
pasien dapat dikatakan status release form treatment (RFT). Setelah dikatakan status
RFT, pasien dilakukan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan baterioskopis minimal setiap
tahunnya selama 2 tahun. Apabila pada pemeriksaan klinis maupun bakterioskopis tetap
menunjukkan hasil negatif, maka pasien dikatakan status release from control (RFC).5,7
33
Tabel 5. MDT tipe PB1,5
Dengan pengawasan
Rifampisin 300 mg/bulan 450 mg/bulan 600 mg/bulan
petugas kesehatan
Regimen obat MB diberikan sebanyak 12 dosis selama 12 hingga 18 bulan. Selama masa
pengobatan dilakukan pemeriksaan klinis setiap bulan dan pemeriksaan bakterioskopis
setiap 3 bulan. Pasca selesai pengobatan pasien dikatakan status RFT. Setelah dikatakan
RFT, pasien dilakukan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan bakterioskopis setiap
tahunnya selama 5 tahun. Apabila pada pemeriksaan klinis maupun bakterioskopis tetap
menunjukkan hasil negatif, maka pasien dikatakan RFC.1,4
Dengan pengawasan
Rifampisin 300 mg/bulan 450 mg/bulan 600 mg/bulan
petugas kesehatan
Dengan pengawasan
25 mg/bulan 50 mg/bulan 100 mg/bulan
Dapson petugas kesehatan
Dengan pengawasan
100 mg/bulan 150 mg/bulan 300 mg/bulan
petugas kesehatan
Klofazimin
50 mg/2x
50 mg/2 hari 50 mg/hari Minum di rumah
seminggu
34
Pada kasus PB dengan lesi tunggal dapat diberikan rejimen obat ROM, yakni rifampisin
600 mg ditambah dengan ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg dosis tunggal. Pada
pasien yang resisten terhadap rifampisin dapat disertai gejala DDS sehingga dapat
diberikan rejimen :
Klofazimin 50 mg/hari
Klofazimin 50 mg/hari
Pasien yang tidak dapat mengkonsumsi klofazimin dapat diganti dengan ofloksasin 400
mg/hari atau minosiklin 100 mg/hari selama 12 bulan. Alternatif lainnya adalah
rifampisin 600 mg/bulan, ofloksasin 400 mg/bulan, dan minosiklin 100 mg/bulan selama
24 bulan. Pada pasien yang tidak dapat mengkonsumsi DDS (dapson), tidak terdapat
modifikasi untuk pasien MB sehingga MDT tetap dikonsumsi selama 12 bulan tanpa
DDS, sementara untuk pasien PB, DDS dapat diganti dengan klofazimin dengan dosis
seperti MDT-MB selama 6 bulan.1
35
Kondisi umum yang buruk (ulkus, gangren) atau terdapat keterlibatan organ tubuh
lain yang bersifat sistemik
Terdapat rencana tindakan operatif
2.8 Komplikasi
A. Reaksi Kusta
Reaksi kusta merupakan interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit kusta
kronik. Reaksi kusta diklasifikasikan menjadi reaksi tipe1 (reaksi reversal) dan reaksi tipe
2 (eritema nodosum leprosum/ENL).
Reaksi ENL timbul pada kusta tipe lepromatosa polar hingga borderline. Hal ini
memunjukkan makin tinggi multibasilernya makin besar kemungkinan timbul ENL.
Reaksi ENL merupakan respon imunologik humoral, akibat terbentuknya kompleks imun
antigen M. leprae dengan antibodi (IgG, IgM) dan komplemen. Gambaran klinis reaksi
ENL pada kulit dapat timbul nodus eritema dan nyeri dengan predileksi tempat dilengan
dan tungkai. Bila mengenai tempat lain dapat menimbulkan gejala seperti iridosiklitis,
neuritis akut, limfadenitis, artritis, orkitis, dan nefritis.4,5
Reakdi reversal terjadi terutama oleh peningkatan mendadak pada SIS (sistem imun
sistemik). Reaksi ini termasuk reaksi tipe lambat. Reaksi umumnya terjadi pada 6 bulan
pertama pengobatan. Neuritis akut dapat terjadi dan menyebabkan kerusakan saraf secara
mendadak, sehingga memerlukan pengobatan adekuat segera. Manifestasi lain dari reaksi
reversal adalah sebagian atau seluruh lesi yang sudah ada menjadi bertambah aktif atau
timbul lesi baru dalam waktu yang relative singkat. Lesi hipopigmentasi dapat berubah
menjadi eritema, lesi eritema menjadi lesi eritematosa, lesi macula menjadi lesi infiltrate,
lesi lama menjadi lebih luas. Satu gejala diatas yang muncul dapat dikatakan terjadi
reaksi reversal.4,5
36
Tabel 8. Perbedaan reaksi tipe 1 dan tipe 24,5
Keadaan umum Umumnya baik, demam ringan Ringan hingga berat disertai
(subfebris) atau tanpa demam kelemahan umum dan demam
tinggi
Radang pada mata Pada kutsa tipe PB maupun Hanya pada kusta tipe MB
MB
Peradangan pada organ lain Hamper tidak ada Terjadi pada mata, KGB, sendi,
ginjal, testis, dll
37
Tabel 9. Faktor risiko terjadinya reaksi kusta5
B. Cacat Kusta
Cacat kusta disebabkan oleh kerusakan saraf tepi. Cacat kusta dapat dibagi menjadi tiga
tahap, yakni1:
Tahap I, kelainan saraf berupa oenebalan saraf, nyeri, tanpa gangguan fungsi
motorik, namun telah terjadi ganguan fungsi sensorik
Tahap II, kerusakan saraf berupa paralisis tidak lengkap termasuk pada otot
kelopak mata, otot jari tangan, dan otot kaki. Pemulihan kekuatan otot masih
dapat terjadi pada stadium ini
Tahap III, destruksi saraf. Pada stadium ini, kelumpuhan menetap dan dapat
terjadi infeksi progresif disertai destruksi tulang dan gangguan penglihatan
WHO membagi cacat kusta menjadi tiga tingkat kecacatan menurut organ vital dalam
kualitas hidup sehari-hari yakni mata, tangan, dan kaki.1
38
Cacat pada tangan dan kaki
Pada pengobatan reaksi tipe berat, sama dengan reaksi tipe ringan ditambah pemberian
obat anti reaksi (prednisone, lampren). Prednisone harus diberikan dalam pengawasan
ketat dan dicatat pada formulir pengobatan kusta reaksi berat. Pasien dengan
kontraindikasi pemberian prednisone seperti TB, DM, ulkus peptikus, dan infeksi
sekunder yang memburuk harus segera dirujuk. Prednisone memiliki efek samping
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, hiperglikemia, mudah infeksi, mudah
pendarahan, ulkus peptikus, osteoporosis, dan cushing syndrome. Penggunaan yang
diberhentikan tiba-tiba dapat menimbulkan rebound phenomenon seperti demam, nyeri
otot, nyeri sendi, dan malaise. Apabila dalam pengobatan kondisi pasien membaik maka
dosis prednisone dapat diturunkan 1 tingkat, apabila menetap maka dilanjutkan hingga 1
minggu, dan apabila memburuk dinaikkan dosis prednisone 1 tingkat. Lampren dapat
diberikan pada reaksi kusta tipe 2 yang berulang (>2 episode) dan diberikan dalam dosis
tunggal di pagi hari setelah makan.4
39
Skema pemberian prednisone4
2.9. Prognosis
40
BAB III
PEMBAHASAN
41
yang berupa makula dan terdapat nodus namun tidak ada infiltrat, masih terdapat jaringan
kulit yang sehat, maka kemungkinan tipe MH pada pasien ini adalah borderline
lepromatosa yang mengalami reaksi sekunder berupa eritema nodosum leprosum dengan
kemungkinan lain adalah bahwa pasien ini memiliki tipe MH lepromatosa polar.
Dugaan adanya reaksi eritema nodosum leprosum pada saat pasien pertama kali
datang berobat ke RSCM adalah dari keluhan pasien yaitu benjolan multipel di kedua
kaki yang teraba nyeri, pasien sebelumnya terdiagnosis mengalami morbus Hansen dan
mendapatkan pengobatan multibasiler, Pada pemeriksaan didapatkan nodul multipel
dengan konsistensi kenyal, ada nyeri tekan, nyeri spontan, riwayat demam tinggi dan
malaise ada. Dari pemeriksaan histopatologi terhadap nodul juga ditemukan granuloma
dengan terdapat gambaran basil tahan asam didalamnya. Maka sesuai dengan gejala dan
tanda serta temuan histopatologis dari reaksi kusta berupa eritema nodosum leprosum.
42
ditemukan granuloma makrofag. Sementara dari pemeriksaan status neurologikus terbaru
ditemukan pembesaran nervus ulnaris dan n tibialis posterior. Dari status dermatologikus
terdapat infiltrat multiple. Diagnosis sesuai untuk morbus Hansen relaps dengan riwayat
reaksi berupa eritema nodosum leprosum.
43
DAFTAR PUSTAKA
1. Wisnu IM, Sjamsoe-Daili E, Menaldi SL. Kusta. Dalam: Ilmu penyakit kulit dan
kelamin. Menaldi SLS, Bramono K, Indriatmi W, editor. Edisi ke-7. Jakarta:
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2017.
2. James W, Berger T, Elston D, Neuhaus I. Andrews' Diseases of the Skin: Clinical
Dermatology. 12th ed. Philadelpia: Elsevier; 2016. p 384-8.
3. Weller R, Hunter H, Mann M. Clinical dermatology. 5th ed. West Sussex, UK:
John Wiley & Sons Ltd.; 2015.
4. Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan. Pedoman nasional program pengendalian kusta; 2012.
5. Widaty S, Soebono H, Nilasari H, Listiawati MY, Siswati AS, Triwahyudi D, et
al. Panduan praktik klinis bagi dokter spesialis kulit dan kelamin di Indonesia.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI); 2017.
6. Andrews' Diseases of the Skin: Clinical Dermatology. 12th ed. Philadelpia:
Elsevier; 2016. p 384-8.
7. Kumar B, Kar HK, editors. IAL Textbook of Leprosy. 2nd ed. New Delhi: Jaypee
Brothers Medical Publishers; 2016.
8. World Health Organization. Guidelines for the Diagnosis, Treatment, and
Prevention of Leprosy. New Delhi: World Health Organization, Regional Office
for South-East Asia; 2017.
44