Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masalah pokok kita dalam hubungan antar umat beragama adalah
pengembangan rasa saling pengertian yang tulus dan berkelanjutan. Kita hanya
akan mampu menjadi bangsa yang kokoh, jika umat agama-agama yang
berbeda dapat saling mengerti satu sama lain, bukan hanya saling menghormati,
yang diperlukan adalah rasa saling memiliki (sens of belonging), bukannya
saling bertenggang rasa satu terhadap yang lain.
Agama merupakan salah satu aspek yang tercantum dalam International
Declaration of Human Rights. Dalam deklarasi internasional ini, masyarakat
dunia harus menjunjung tinggi keberagamaan individu, masyarakat, dan
bangsa. Setiap individu memiliki hak kebebasan berpikir, berperasaan, dan
beragama. Hak yang sangat asasi ini dilandasi dengan kesadaran dan keyakinan
diri serta tidak dibenarkan memperoleh tekanan dari siapapun. Sehingga hanya
dengan mengedepankan pluralisme hidup rukun dapat tercapai. Akar kata
pluralisme adalah ”plural”. Plural berasal dari bahasa Inggris plural bermakna
jamak atau lebih dari satu. Dengan demikian pluralisme berarti hal yang
mengatakan jamak atau lebih dari satu. Dalam kajian filosofis, pluralisme diberi
makna sebagai doktrin bahwa substansi hakiki itu tidak satu (monoisme), tidak
dua (dualisme), akan tetapi banyak (jamak).

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana yang dimaksud dengan definisi Agama?
2. Bagaimana yang dimaksud dengan klasifikasi Agama?
3. Bagaimana dengan keberagamaan dalam Islam?
4. Bagaimana dengan kondisi keberagamaan di Indonesia?
C. Tujuan
1. Mengetahui dan memahami apa yang dimaksud dengan
Agama.

1
2. Mengetahui dan memahami apa yang dimaksud dengan
klasifikasi Agama.
3. Mengetahui dan memahami apa yang dimaksud dengan
keberagamaan dalam Islam.
4. Mengetahui dan memahami apa yang dimaksud dengan
kondisi keberagamaan di Indonesia.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Agama
Agama bukan berasal dari bahasa Arab, sebab dalam bahasa Arab tidak
dikenal istilah “Ga”. Dalam bahasa Arab dikenal istilah “Addin” artinya
kepatuhan, kekuasaan atau kecenderungan. Jika dirangkaikan dengan Allah,
maka jadilah “Dienullah” agama boleh jadi berasal dari gabungan kata “A” dan
“Gama”, “A” artinya tidak dan “Gama” artinya kacau, jadi agama artinya tidak
kacau. Agama merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, “Religion” atau religi
yang artinya kepercayaan dan penyembahan kepada Tuhan.
Dari rumusan beberapa definisi yang dapat dikuutip dari berbagai kamus,
dapat disimpulkan bahwa yang disebut agama adalah kepercayaan dan
penyembahan kepada Tuhan.1
Dalam kamus Bahasa Indonesia (umum), manusia mengakui dalam agama
adanya yang suci: manusia itu insyaf, bahwa ada suatu kekuasaan yang
memungkinkan segala yang ada. Kekuasaan inilahyang dianggap sebagai khalik
(asal yang segala yang ada). Tentang kekuasaan ini bermacam-macam
bayangan yang terdapat pada manusia, demikian pula cara membayangkannya.
Pemikiran tuhan dianggap oleh manusia sebagai tenaga gaib diseluruh dunia
dan dalam unsur-unsurnya atas segala khalik rohani. Tenaga gaib ini dapat
menjelma antara lain dalam alam (Animisme) dalam buku suci (Taurat) atau
dalam manusia (Kristus).
Menurut H. Moenawar Chalil : “kata din itu masdar dari kata kerja dana
yadinu, yang mempunyai arti, cara atau adat kebiasaan, peraturan, undang-
undang, taat atau patuh, menunggalkan ketuhanan, pembalasan, perhitungan,
hari kiamat, nasihat, agama.”
Serta menurut “Prof. Dr. M. Driyarkara S. J: ”bahwa istilah agama kami
ganti dengan religi, karna kata religi lebih luas, jadi juga mengenai gejala-gejala

1
Aminuddin. dkk. Bogor: Ghalia Indonesia, 2014.

3
dalam lingkungan hidup, dan prinsip. Istilah religi menurut asal katanya berati
ikatan atau pengikatan diri. Oleh sebab itu, religi tidak hanya untuk kini atau
nanti melainkan untuk selama hidup. Dalam religi manusia melihat dirinya
dalam keadaan yang membutuhkan, membutuhkan keselamatan dan
membutuhkan secara menyeluruh.”
Secara tenninologis, Harun Nasution2 memberikan definisidefinisi tentang
agama sebagai berikut:
1. Pengakuan adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus
dipatuhi.
2. Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia.
3. Mengikat diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada
suatu sumber yang berada di Iuar diri manusia dan yang mempengaruhi
perbuatan manusia.
4. Suatu sistem tingkah laku (code of conduct) yang berasal dari kekuatan
gaib.
5. Kepercayaan kepada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup
tertentu.
6. Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber
dari suatu kekuatan gaib.
7. Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan
perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat pada alam sekitar
manusia.
Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang
Rasul.2
Dapat disimpulkan, bahwa Agama merupakan suatu wujud yang berdiri
sendiri dan berada diluar diri manusia. Misalnya, agama Islam bukanlah secara
otomatis sama dengan sikap dan amalan orang yang mengaku sebagai penganut
Islam.

2
Sodikin, R. Abuy. "Konsep Agama dan Islam" Al Qalam Vol. 20 No.97 (April-Juni 2003): 2-3.

4
Secara definitif, agama adalah ajaran, petunjuk, perintah, larangan, hokum
dan peraturan yang diyakini oleh penganutnya berasal dari dzat gaib Yang
Maha Kuasa, yang dipakai manusia sebagai pedoman, tindakan dan tingkah
laku dalam menjalani hidup sehari-hari. Dengan kata lain inti dari suatu agama
ialah ajaran yang dipakai manusia sebagai pedoman hidup.3

B. Klasifikasi Agama
Sebuah agama menyangkut beberapa hal pokok yang menjadi ruang lingkup
ajarannya, yakni sebagai berikut :
1. Keyakinan adanya suatu kekuatan supranatural yang mengatur dan
menciptakan alam dan seisinya
2. Perlibatan yang merupakan tingkah laku manusia dalam berhubungan dengan
kekuatan supranatural tersebut sebagai konsekuensi atas pengakuannya.
3. System nilai yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dan alam
semesta berkaitan dengan keyakinannya.
Ditinjau dari sumbernya agama-agama yang dikenal manusia terdiri atas tiga
jenis agama, yakni sebagai berikut :
a. Agama budaya : yaitu agama yang bersumber dari ajaran seseorang
manusia yang dipandang mempunyai pengetahuan yang mendalam
tentang kehidupan. Agama budaya disebut pula sebagai agama ardhi atau
agama bumi. Contoh agama budaya dalam agama budha yang
merupakan ajaran budha gautama.

b. Agama wahyu adalah agama yang diturunkan Allah dari langit melalui
malaikat jibril kepada para Nabi dan Rasul Allah untuk disampaikan
kepada umatnya. Oleh karena itu, agama wahyu disebut juga dengan

3
Haris, Munawir. Agama dan Keberagamaan : Sebuah Klarifikasi Untuk Empati Vol. 16 No. 2
(November 2013): 214.

5
agama langit, agama samawi, agama profetis, din as-samawi, revealed
religion.
Yang termasuk dalam kelompok agama wahyu, adalah sebagai berikut:
1) Agama islam, dengan kitab sucinya Al-Qur’an yang diturunkan Allah
kepada Nabi Muhammad SAW, melalui malaikat Jibril, untuk seluruh
manusia dan semesta alam.
2) Agama Kristen (nasrani) dengan kitab sucinya “injil” diturunkan
Allah kepada Isa as., melalui malaika Jibril untuk kaum Bani Israil.
3) Agama yahudi dengan kitab sucinya “Taurat” diturunkan kepada
Nabi Musa as., melalu malaikat Jibril untuk kaum Bani Israil.
Ciri – ciri agama wahyu, yaitu sebagai berikut :
1) Mengakui eksistensi Allah dengan kebenaran yang mutlak dari Allah.
2) Diturunkan dari langit dengan perantara malaikat jibril kepada Rasul-
rasul Allah.
3) Penyampaian wahyu Allah itu kepada para nabi dengan ditentukan
waktu kelahirannya.
4) Memiliki kitab suci yang diwariskan Rasul Allah dengan isinya yang
tetap dikodifikasikan dalam Taurat, Injil dan Alquran.
5) Konsep ketuhanannya serba Esa-Tuhan yang murni.
6) Kebenaran prinsip – prinsip ajaran agama itu dapat bertahan kepada
kritik akal manusia mengenai eksistensi dan kebenaran alam gaib akal
dapat menerimanya.
7) Ajarannya tidak berubah sepanjang (universal) meskipun zaman terus
berkembang, bahkan cocok dalam situasi apapun dan dimanapun.
c. Agama non wahyu, adalah agama yang lahir berdasarkan pemikiran atau
kebudayaan manusia. Pada awalnya menurut historis agama non wahyu
diciptakan oleh filosuf-filosuf masyarakat sebagai ahli pikir, atau oleh
pemimpin-pemimpin dari masyarakat, atau oleh penganjur dan penyiar
masyarakat itu. Agama non wahyu mengalami perubahan-perubahan
sesuai dengan perkembangan pemikiran atau budaya masyarakat itu
(animism, dinamisme, politeisme, monoteisme). Oleh karena itu, agama

6
non wahyu dinamakan juga dengan agama budaya, agama bumi, agama
filsafat, agama ra’yu, din at-thabi’i, din al-ardi, natural religion, non
revealed religion.
Ciri – ciri agama nonwahyu, yaitu sebagai berikut :
1) Tidak mengakui eksistensi wahyu Allah sebagai
kebenaran yang mutlak.
2) Tidak diturunkan dari langit, berate tidak mengenal
malaikat.
3) Tidak disampaikan oleh Rasul Allah.
4) Tidak memiliki kitab suci yang diwariskan oleh
nabi.
5) Konsep ketuhanannya bukan Serba Esa-Tuhan.
6) Kebenaran prinsip ajaran agama tidak bertahan
terhadap kritik akal manusia, mengenai alam gaib
tak termakan oleh akal manusia, dan mengenai
alam nyata terbukti kekeliruan ilmunya. Terjadi
perubahan mental dan sosial dari masyarakat
penganutnya.

Yang termasuk dalam kelompok agama non wahyu:


Hinduisme, Jainisme, Sikhisme, Zoroasterianisme,
konfusionisme, Thaoisme Shintoisme, Budhisme.

Dijelaskan oleh para ahli, bahwa ketiga agama wahyu (Yahudi, Nasrani,
Islam) yang masih bertahan kemurnian tauhidnya hanya agama Islam. Memang
ketiga agama tersebut mempunyai asal yang satu. Akan tetapi, perkembangan
masing-masing dalam sejarah mengambil yang berlainan, sehingga timbulah
perbedaan antar ketiganya. Agama Yahudi dan Nasrani tidak lagi dipandang
sebagai agama samawi yang murni, para ahli berpendapat bahwa kitab suci kedua
agama tersebut mengalami perubahan, yaitu terdapat intervensi pemikiran
manusia kedalam kitab suci mereka. Dari sudut ketuhannyapun kedua agama
tersebut ternyata tidak lagi menganut keesaan yang murni. Seperti dalam agama
Nasrani Tuhan yang satu terdiri dari tiga oknum yaitu Tuhan Bapak, Tuhan Anak

7
dan Ruhul Kudus (Tristiani). Sedangkan Islam adalah agama tauhid murni, jadi
agama samawi murni sekarang hanyalah agama Islam, seperti yang dijelaskan
dalam Alquran.

Artinya :

“Agama (yang benar) dalam pandangan Tuhan ialah Islam (menyerahkan


diri) kepada-Nya. Dan mereka yang diberi Kitab bertikai hanya setelah
pengetahuan dating kepada mereka, (dan mereka bertikai) karena dipengaruhi
perasaan dengki.” (Aliimran/3 : 19).

Kitab suci agama Islam adalah satu-satunya kitab suci yang terpelihara
keaslian dan keautentikannya, tidak mengalami perubahan sejak diturunkannya
pada abad ke-6 Masehi sampai sekarang, bahkan sampai akhir zaman. Dalam hal
ini Allah menegaskan dalam firman-Nya.

Artinya :

“Sesunggunya Kamilah yang menurunkan Alquran dan sesungguhnya Kami


benar-benar memeliharanya” (Alhijr/15:9).4

C. Keberagamaan Dalam Islam


Pengertian keberagamaan dalam pelaksanaannya merupakan gejala yang
terbentuk dari berbagai unsur, di mana satu dengan lainnya berkaitan untuk
melahirkan suatu kesatuan pengalaman yaitu pengalaman beragama. Maka di
sini tumbuh konsep struktur keberagamaan dalam Islam. Stephen A. Romine
memang memahami kesatuan sebagai term yang menunjuk pada adanya
keseluruhan, kesatuan dan ungkapan lain yang memberikan konotasi adanya
kaitan keutuhan antara unsur yang membentuknya. Sebagai satu keSatuan
integral, struktur keberagamaan ini hanya memiliki satu tujuan, yaitu tujuan
risalah yang sudah diuraikan di atas. Unsur-unsur pembentuknya adalah Tuhan
yang menurunkan petunjuk-Nya dalam wujud al-Qur’an dan Sunnah serta

4
Aminuddin. dkk. Bogor: Ghalia Indonesia, 2014.

8
manusia yang memberikan respons dalam wujud pemikiran, perbuatan, dan
kehidupan sosial yang menjangkau seluruh segi kehidupan mereka.
Dalam tipologi struktur keberagamaan Islam ini, isi al-Qur'an dan Sunnah
didudukkan sebagai suatu nilai yang diyakini oleh pemeluknya, karena nilai
dapat dipahami sebagai ukuran konseptual untuk membedakan antara benar-
salah, baik buruk, dan indah-jelek dalam pendapat GE. Moore. Sebagai nilai
keagamaan, maka kandungan wahyu Tuhan ini diyakini sebagai kebenaran
sehingga peran manusia adalah pihak berupaya memahaminya. oleh karena itu,
langkah kedua metode Ilmu Islam Amali setelah iman adalah metode memahami
al-Quran dan sunnah yang pada dasarnya sudah banyak dibahas oleh paradigma
normatif dalam pemikiran para Ulama. Tujuannya adalah memperoleh
pengertian tentang kandungan sumber ajaran itu yang akan dilaksanakan dalam
kehidupan manusia. sebagai nilai keagamaan, isi ajaran ini akan menjadi acuan
manusia dalam berbuat, baik sebagai individu maupun kelompok. seperti yang
telah dikonsepkan oleh S. Takdir Alisyahbana, setiap kali manusia akan
melakukan sesuatu, maka ia akan mengacu pada salah satu nilai yang dipegangi
untuk menentukan pilihan dari berbagai alternatif yang ada.
Dalam warisan intelektual Islam dapat ditemukan perkembangan pemikiran
Ulama untuk memahami kandungan al-Qur’an ini. Produk pikir ini disebut Ilmu
Tafsir. Al-Zarkasyi merumuskannya sebagai ilmu untuk memahami Kitab al-
Qur’an yang diturunkan kepada Rasul Allah, menerangkan pengertian dan
maknanya, serta mengeluar kan hukum-hukumnya. jika tujuan dan rumusannya
seperti ini, maka sumber utama dan yang paling tepat adalah al-Qur’an itu
sendiri atau penjelasan yang diberikan oleh Rasul Allah Dan sumber inilah yang
dipakai pada masa hidup Rasul Allah. Sudah barang pasti, kondisi ini tidak
mungkin berlangsung selamanya karena akan berakhir dengan wafat beliau,
sehingga para sahabat harus menghadapi sendiri masalah-masalah yang
dihadapi.
Setelah memasuki masa sahabat, seperti diuraikan oleh M. Husain al-
Dzahaby, jika mereka tidak menemukan metode di atas ini, maka mereka
mengandalkan kemampuan untuk memahami bahasa Arab dan setelah itu

9
memanfaatkan ijtihad dan pemikiran. Dalam hal ini mereka memerlukan alat
bantu dalam bentuk: pengetahuan bahasa Arab dan asrar-nya, penguasaan adat
dan kehidupan bangsa Arab, ihwal kehidupan orang Yahudi dan Nasrani di
Jazirah Arab, serta kuatnya pemahaman dan keluasan wawasan. Kehadiran
unsur ijtihad dan pemikiran dalam tafsir sebagai metode memahami al-Qur’an
memungkinkan perkembangan pemikiran dalam cabang ilmu ini. AlFarmawy
mengemukakan ragam tafsir yang meliputi: bi al-Ma ’tsur, bi al-Ra ’yi, Tafsir
al-Syufi, Tafsir al-Fiqhy, Muqarin dan Tafsir Maudhu'i.
Metode tafsir seperti tercermin dalam bahasan diatas ini sebenarnya sudah
mendapat bantuan dari cabang ilmu yang lain misalnya: Ilmu Asbab al-Nuzul,
Ilmu al-Lughah, Ilmu 'Ulum Al-Qur'an. Akan tetapi, secara umum, polanya
masih perlu mengembangkan telaah pada keutuhan struktur keagamaan yang
terkandung dalam ayat-ayatnya. Salah satu contoh alternatif yang cukup baik
adalah tawaran Fazlur Rahman. Menurut pendapatnya, kepastian maksud dan
pengertian ayat tidaklah terdapat pada arti ayat secara individual melainkan pada
al-Quran secara keseluruhan. Metode tang ditawarkan terdiri dari dua gerakan
dan yang pertama meliputi dua langkah. Pertama, orang harus memahami ayat
dalam konteksnya, kemudian menggenerasikannya ke dalam prinsip umum.
Selanjutnya gerakan kedua adalah berangkat dari pandangan umum ini untuk
menyikapi masalah praktis dalam kondisi sekarang. Dengan implisit, tawaran
Fazlur Rahman ini mendorong perumusan pendekatan dan pijakan metodologis
yang sesuai dengan tuntutan masa kini.
Barangkali karena kebenaran dan keaslian al-Qur’an sebagai wahyu dapat
dipertanggung jawabkan dan memang ada jaminan langsung dari Allah SWT,
maka metode studinya sudah mengarah pada cara untuk memahami. Berbeda
dari kondisi ini adalah metode yang dikembangkan oleh Ulama untuk menelaah
Sunnah Sebagai suatu sosok praktik dan aktualisasi ajaran al-Qur’an dalam
kehidupan praktis, Sunnah merupakan bahan kajian yang sangat menentukan
bagi proses alih keberagamaan dari Islam masa Rasul Allah menuju Islam masa
kini. Akan tetapi, warisan intelektual Islam yang sampai kepada generasi di
kemudian hari, lebih menekankan pada studi tentang sistem pemberitaan dan

10
penyampaiannya dan kurang memperhatikan studi tentang isi atau pesan dalam
Sunnah, dan maknanya dalam pelaksanaan ajaran Islam. Kesan umum ini dapat
ditemukan dalam karya Ibn ’Abd al-Barr, Ibn al-Atsir, Ibn Hajar al-Asqalany,
al-Bukhary, al-Sayuthy atau penulis modern seperti Muhamad Abu Zahwi dan
Mahmud al-Thahhan. Urgensi dari karya-karya ini memang menempati
peringkat yang sangat tinggi bagi generasi umat Islam dikemudian hari,
termasuk karya al-Kutub al-Sittah Akan tetapi, unsur yang juga memerlukan
perhatian khusus adalah kajian tentang laporan sunnah sebagai model struktur
keberagamaan yang dipraktekkan oleh Rasul Allah dan sahabat dalam konteks
sosial dimasa mereka.
Terbatasnya orientasi pada struktur keberagamaan dalam studi tentang tafsir
dan Sunnah ini mendorong pemerolehan isi ajaran lebih besar daripada
pelaksanaannya dalam kehidupan praktis. Sebenarnya, penulis modern seperti
Muhamad Husain al-Dhahaby sudah mulai tersadar akan masalah ini ketika
menulis judul ”apakah tafsir termasuk ilmu tashawwuri, ataukah tashdiqy".
Akan tetapi, sayang, uraiannya terlalu singkat sehingga pengembangan metode
ini menjadi terpotong. Jika misalnya orientasi ini sedikit dikembangkan, maka
pengamat akan segera menemukan ilmu tashdiqy yang akan meng-ilhami
temuan teori untuk menumbuhkan sosok keberagamaan yang lebih efektif
mencapai tujuan risalah. Contoh yang cukup jelas adalah ayat 45 surah al-
Ankabut yang menyatakan hubungan antara shalat dengan daya tangkal berbuat
kemungkaran, tetapi tidak mendapat tafsir yang menerangkan korelasi antara
dua variabel itu.
Perhatian yang lebih besar terhadap norma daripada pelaksanaannya juga
terdapat dalam studi tentang Fiqh. Berbeda dari a1-Qur’an dan Sunnah, dalam
studi tentang Fiqh ini sudah terdapat pengembangan metode yang tercermin
dalam Ilmu Ushul Fiqh. Sosok metodologinya dapat diperhatikan dari karya-
karya Imam al-Ghazali, al-Syafii, al-Syathiby, Ibn al-Furak, al-Amidy, al-
Subky, atau penulis seperti Salam Madzkur, Wahbah al-Zuhaily dan lain-
lainnya. Metode istimbat dan telah tentang struktur hukum dalam Islam sudah
dapat dipandang memadai untuk memahami norma yang diturunkan oleh Allah

11
SWT. Akan tetapi, telah tentang norma sebagai ajaran yang dilaksanakan oleh
kehidupan sosial masih memerlukan pengembangan lebih lanjut. Sebenarnya,
gagasan dasar tentang istihsan atau maslahah mursalah yang diperkenalkan oleh
Imam Madzhab merupakan embrio dari potensi penyelesaian masalah di
kemudian hari. Bersama dengan itu adalah pengembangan metode kajian untuk
menelaah pelaksanaan hukum Islam sehingga diperoleh tidak hanya ilmu
tentang norma melainkan juga ilmu tentang pelaksanaannya.
Jika studi tentang fiqh lebih diwarnai oleh upaya untuk mengerti apa yang
menjadi petunjuk Allah SWT mengenai bentuk-bentuk perbuatan dan perilaku
umat, maka Ilmu kalam dikembangkan Ulama pada dimensi upaya untuk
memahami aspek aqidah. Perbedaannya, jika dalam pemahaman fiqh terdapat
rumusan metode ilmu yang sudah jelas, maka dalam studi kalam belum
dirumuskan dengan eksplisit dan berkembang menjadi cabang ilmu berdiri
sendiri. Lebih dari itu, rumusan-rumusan bentuk pemahaman masalah-masalah
aqidah diwarnai oleh nuansa filsafat yunani. Bahkan, ketika bahasan-bahasan
ini mengendap menjadi pedoman praktis umat, warna ini masih cukup kental
dalam karya ulama. Produk ilmu ini dapat ditemukan dalam karya imam al-
Asy'ary, al-Maturidy, al-Juwainy, al-Zamaksyary, al-sahrastany, dan Imam al-
sanusi. Telah dimensi aqidah perbuatan dan perilaku beragama. Akan tetapi
sayang, pada aspek ini proses pengembangan ilmu islam masih memerlukan
penanganan serius, tidak hanya pada masalah teknis tapi justru harus mulai dari
sisi yang mendasar.
Oleh karena itu, muara langkah kedua metode Ilmu Islam Amali ini tetap
sama dengan metode warisan intelektual Islam. Lebih dari itu perlu
dikemukakan dengan eksplisit bahwa kandungan Ilmu Islam dalam khasanah ini
masih dimanfaatkan. Produk ilmu yang ingin diperoleh adalah memahami
norma yang mengatur perbuatan dan perilaku umat, baik sebagai perorangan
maupun kelompok, di berbagai bidang kehidupan yang menjadi bagian dari
keberagamaan dalam Islam. Nuansa yang harus dikemukakan adalah
meletakkan metode ilmu yang mendahuluinya dalam keutuhan struktur
keagamaan, sehingga hasilnya menjadi pijakan langkah berikutnya. Dengan

12
demikian, pada dasarnya, metode ilmu yang selama ini dimanfaatkan dalam
Ilmu Tafsir, Fiqh, Hadits dan Kalam masih diterima meskipun memperoleh
sentuhan-sentuhan baru.
Langkah-langkah metode Ilmu Islam Amali di atas ini memang
menyampaikan pada aspek normatif ajaran Islam, demikian pula sudah dengan
pengembangan potensi menjawab dan menyelesaikan masalah praktis, karena
sudah diletakkan dalam kerangka struktur keberagamaan di mana umat itu
berada. Cakupannya juga sudah menjangkau seluruh aspek keberagamaan
dalam Islam, baik perorangan maupun kelompok, dalam masalah aqidah,
syariah, atau mungkin juga tasawuf. Akan tetapi, harus selalu diingat bahwa ini
barulah ajaran normatif yang hanya berbicara seharusnya dan untuk menjadi
kenyataan masih memerlukan tahap lain yaitu pelaksanaannya dalam kehidupan
praktis. jika dalam aspek normatif diperoleh kebenaran norma yang harus
diikuti, maka dalam pelaksanaan diperlukan kebenaran pelaksanaannya. Oleh
karena itu diperlukan penelitian untuk menemukan kebenaran ini. Fred N.
Kerlinger menawarkan pola penelitian ini sebagai kegiatan berpikir untuk
menyelidiki secara sistematis, terkontrol, empiris, dan kritis, tentang fenomena-
fenomena alami, dengan dipandu oleh teori dan hipotesa tentang hubungan yang
diduga terdapat dalam fenomena tersebut. Dengan tetap menyadari filsafat ilmu
yang mendasari rumusan ini, pengertian tentang kegiatan penelitian dalam
definisinya dapat diterima.
Oleh karena itu, pada dasarnya, proses untuk memahami kandungan al-
Qur’an dan Sunnah dengan metode yang diuraikan di atas ini adalah kegiatan
penelitian. Sudah barang pasti, kekhususan sifat-sifat dasarnya memerlukan
pijakan filosofis dan metodologi yang tersendiri. Dengan demikian,
persoalannya akan jadi lain jika penelitian diarahkan pada unsur lain dalam
struktur keberagamaan, khususnya pelaksanaan ajaran normatif yang sudah
tersedia. Seperti telah dirumuskan oleh Imam Abu al-Hasan al-Asy’ary dan
Joachim Wach, keberagamaan berada dalam wujud respons terhadap ajaran
normatif tersebut yang terungkap dalam pemikiran, perbuatan dan kehidupan
masyarakat. Jika cakupan ajaran Islam menjangkau seluruh kehidupan manusia,

13
maka lingkup sasaran penelitian juga meliputi seluruh dimensi dalam cakupan
itu. Kiranya, tidak perlu dieksplisitkan bahwa semua ini harus memiliki
kualifikasi tertentu untuk dapat dikategorikan sebagai keberagamaan dalam
Islam.
Dalam lingkup gejala seperti ini kegiatan penelitian merupakan proses
berpikir untuk menemukan kebenaran dalam gejala empiris. Dalam hal ini, perlu
ada pembedaan dan pemisahan yang jelas antara kebenaran normatif dengan
kebenaran empiris, meskipun keduanya berada dalam kriteria kebenaran yang
sama yaitu kebenaran menurut ajaran Islam. Kebenaran normatif merupakan
kebenaran tentang wahyu yang memberi petunjuk bagaimana seharusnya
manusia berbuat dan berperilaku sebagai hamba agar mencapai tujuan risalah.
Di pihak lain, kebenaran empiris adalah kebenaran yang dapat ditemukan
oleh kegiatan penelitian mengenai gejala atau peristiwa yang memang terjadi,
Sesuai dengan kenyataan yang dihadapi. Jika harus dikatakan, maka kebenaran
empiris adalah tingkat pencapaian pelaksanaan ajaran normatif yang terkandung
dalam al-Qur’an dan Sunnah: Di sini terdapat perbedaan antara das Solen
dengan das Sein atau antara norma dengan fakta.
Untuk menentukan metode penelitian yang tepat bagi fenomena seperti ini,
diperlukan telaah metodologis yang cukup mendalam. Sifatnya sebagai wujud
respons terhadap petunjuk yang diturunkan oleh Allah SWT, atau sebagai
pelaksanaan ajaran normatif yang sudah diperoleh melalui proses memahami
kandungan wahyu, menumbuhkan konsekuensi metodologis bahwa al-Qur’an
dan Sunnah berada pada posisi sumber, baik bagi aspek normatif maupun
empiris dari gejala-gejala itu. Di sini terdapat proposisi yang kebenarannya,
meminjam pemikiran Karl R. Popper, adalah untestable. Artinya, kebenaran
proposisi dalam sumber ajaran Islam itu dipandang tidak perlu diuji atas dasar
iman yang sudah menjadi pijakan pertama ketika seseorang menerima ajaran
Islam. Menerima unsur ini berarti menerima kehadiran unsur metafisik dalam
metode penelitian. Akan tetapi, hal ini tidak merupakan kekurangannya, karena
bahkan dalam metode Induktif David Hume juga terdapat unsur metafisik. Pada

14
sisi lain, unsur ini hanyalah wujud penerimaan unsur doktrin dalam metode
sintesa yang dikemukakan oleh A. Mukti Ali yaitu scientific-cum-doktriner.“
Mendudukkan al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber proposisi untestable
berarti membuka peluang bagi kegiatan penelitian untuk memperoleh apa yang
dapat disebut grand concepts atau grand theory. Artinya, dari telaah kedua
sumber itu dapat diperoleh konsep besar atau teori besar mengenai seluruh
cabang kehidupan umat manusia yang dilakukan sebagai bentuk keberagamaan.
Bentuk dan macam konsep dan teori ini dapat beragam bergantung pada sifat
masalah dan tujuan penelitian yang direncanakan. Bukan tidak mungkin, temuan
kajian ini akan sampai pada paradigma, asumsi, postulat atau bahkan teori, di
samping sisi normatif perilaku itu sendiri. Oleh karena itu, jika diukur dari
temuan ini, kegiatan penelitian tidak lain adalah telaah untuk menemukan sifat
dasar gejala, atau kaitan dua atau lebih gejala, sebagai transformasi nilai yang
sifatnya normatif menjadi teori yang sifatnya empiris.
Transformasi ini tidak lain adalah proses keberagamaan, ketika manusia
memberi respons kepada wahyu yang diturunkan oleh Tuhan. Wujud perbuatan
dan perilaku ini harus merupakan realisasi dari ajaran al-Qur'an dan Sunnah
sebagai sumber nilai keagamaan. Pada sisi lain, sebagai perilaku manusia yang
merupakan makhluk sosial, tampilan empiris perilaku ini sudah barang pasti
sangat dipengaruhi oleh perbedaan kejiwaan, lingkungan sosial, perbedaan adat
istiadat dan budaya yang dimilikinya. Maka, di sini ditemukan sifat kaitan yang
berbeda antara perbuatan dan perilaku di satu pihak dengan al-Qur’an dan
Sunnah serta tampilan empiris di pihak lain. Kaitan dengan sumber ajaran harus
tetap berada dalam kesatuan asas atau koherensi agar tidak menyeleweng dari
kehendak Allah SWT yang menurunkannya. Penyimpangan yang terjadi akan
mengakibatkan penyelewengan dari kebenaran nilai keagamaannya. Dan
koherensi ini dapat diperoleh dari dimensi esensi perbuatan atau perilakunya.
Pada ujung lain, tampilan empiris atas dasar tabiatnya, yang merupakan produk
sosial memiliki peluang untuk berbeda karena sifatnya sebagai produk
kehidupan masyarakat. Maka pada dimensi ini, wujud perbuatan dan perilaku
manusia beragama memiliki perbedaan antara kelompok satu dengan lainnya,

15
bahkan antara kepribadian satu dengan lainnya. Transformasi yang berlangsung
antara koherensi esensi menjadi keberagaman atau keterbukaan tampilan
empiris inilah yang menjadi bidang kajian kegiatan penelitian. Meminjam
metode A. Mukti Ali, koherensi esensi diterima atas dasar doktrin, dan
perubahannya menjadi keberagaman tampilan empiris dapat diteliti dengan
metode ilmiah.
Lingkup keberagamaan dalam Islam, yang menjangkau seluruh segi
kehidupan manusia, memungkinkan pemanfaatan metode penelitian yang
sangat beragam, sesuai dengan sifat masalah, desain penelitian yang disiapkan
dan tujuan yang akan dicapai untuk menjawab masalah itu. Sebagai metode
ilmiah, maka kegiatan penelitian, sebagai tahap metode Ilmu Islam Amali,
membuka peluang bagi teknik penelitian yang telah dikembangkan oleh Barat,
jika adopsi sistemik dalam metodologi yang mendasarinya dapat dipakai.
Karena harus melewati proses adopsi sistemik, maka pemakaian teknik
penelitian yang selama ini dipakai oleh Barat, memerlukan penghalusan dan
penyesuaian terapan teknik tersebut, agar sejalan dengan metodologi Islam
Amali yang mendasarinya .
Metodologi penelitian, dengan pendekatan Realisme Metafisik yang
dikembangkan oleh Karl R. Popper, dan kemudian diperkenalkan oleh Noeng
Muhadjir adalah struktur penelitian yang paling dekat dengan metode Islam
Amali. Realisme metafisik secara reflektif berupaya untuk menemukan grand-
theory untuk selanjutnya diuji secara empirik. Pengujian ini dalam
metodologinya tidak hanya menggunakan uji verifikasi melainkan dengan uji
falsifikasi. Adopsi sistemik untuk menyesuaikan dengan metodologi Islam
Amali dilakukan dengan menata ulang kedudukan grand theory (teori besar).
Jika Popper memandangnya sebagai kebenaran obyektif dan berada pada
dataran rasional, maka dalam kedudukan baru ditempatkan sebagai kebenaran
transendental yang dapat diperoleh dalam al-Qur’an dan Sunnah. Dengan
demikian, kebenaran ini juga dapat disajikan dalam proposisi yang sifatnya tidak
perlu diuji. Hasil penelitian dalam pendekatan Realisme Metafisik ini
merupakan penajaman teori besar yang sifatnya empiris sehingga memiliki sisi

16
praktis yang berada dalam kenyataan. Dekat dengan ini adalah pendekatan
rasionalisme karena juga berangkat dari teori besar. Di sini, teori besar berfungsi
untuk menguji kebermaknaan relevansi antar sejumlah variabel, dan masih
banyak variabel relevan yang tidak diuji. Pendekatan ini memerlukan sifat
holistik, obyek diteliti tanpa dilepaskan dari konteks, atau paling jauh diteliti
dalam fokus tetapi konteksnya tidak dikesampingkan.
Sebagai suatu kenyataan empiris, keberagamaan adalah perbuatan dan
perilaku yang terikat dengan nilai atau valuebound menurut istilah Egon G.
Guba, sehingga dapat memanfaatkan pendekatan fenomenologi. Model-mode1
desain penelitian yang tergabung dalam kelompok ini berupaya untuk
menemukan teori berdasar data empiris atau sering pula disebut grounded
theory. Pedoman untuk melahirkan suatu teori antara lain adalah: penggunaan
logika yang konsisten, kejelasan masalah, efisiensi, integrasi, ruang lingkup,
teknik analisis yang bersifat komparatif konstan seperti yang ditawarkan oleh
Glaser & Strauss. Paradigma yang dijadikan pijakan untuk memahami data
bukan ilmiah melahirkan paradigma naturalistik atau alamiah. Peluang lain
untuk memanfaatkan model fenomenologi ini dimungkinkan oleh adanya grand
theory dari kajian sumber ajaran dalam a1-Qur’an dan Sunnah atas dasar sifat
kenyataan empiris yang merupakan realisasi ajaran di dalamnya.

Jika pendekatan dipahami sebagai telaah tentang sesuatu yang dilakukan


berdasar atau dengan memakai sudut tinjauan dari cabang ilmu atau konsep dasar
tertentu, maka metode penelitian dalam Islam Amali dapat memanfaatkan
penelitian sejarah, sosial, antropologi, ekonomi bahkan terutama atas dasar
cabang ilmu dalam Islam seperti Ushuluddin, Syari’ah, Tarbiyah, Adab dan Ilmu
Dakwah. Dengan mempertimbangkan sifat khusus dari tujuan penelitian, maka
pendekatan atau metode survey, positivis, penelitian naskah dan studi dapat
dipertimbangkan. Unsur dasar yang tetap harus dipenuhi adalah adopsi sistemik
atas dasar metodologi Ilmu Islam Amali yang mungkin memerlukan penyesuaian
esensial.5

5
Prof Dr. H. Kadir, Muslim A. M.A. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.

17
D. Keberagamaaan Islam di Indonesia
Agama memiliki ajaran baik dan ideal bagi manusia. Semua agama
memiliki gagasan dasar atau pesan suci sama yaitu penyelamatan kehidupan
manusia. Gagasan dasar ini merupakan inti setiap agama dan menjadi norma
abadi yang hidup dalam setiap jantung agama. Implikasinya, power agama (dan
pemeluknya) sebagai agent of social change senantiasa dinanti dalam turut
mengentaskan aneka problem yang dihadapi manusia. Tetapi agama juga sering
muncul dalam wajah menyeramkan sebagai salah satu sumber potensi konflik.
Ketika terjadi kesenjangan antara nilai ideal agama dengan sikap para
pemeluknya. Ini tentu berkaitan dengan kelihaian para pemeluk agama untuk
mensinergikan antara nilai ideal yang mereka yakini dengan sejumlah persoalan
dan problem yang dihadapi. Agama yang kita peluk saat ini memang telah
berkembang pesat, tidak lagi sebagaimana pada era Muhammad, Isa al-Masih,
Sidharta Gautama dan para pendahulu dan pendirinya. Tantangan dan problem
yang dihadapi agama saat ini belum pernah muncul di saat pendiri agama
tersebut masih hidup. Maka, rekonstruksi dan memberikan tafsir agama
terhadap realitas kekinian merupakan sebuah keniscayaan belaka dalam rangka
menghidupkan kembali kebermaknaan agama. Ada sebuah pergeseran yang
luar biasa dalam memahami dan menangkap makna agama. Agama tidak hanya
dijadikan sebagai ritualitas personal dengan Tuhan, tetapi juga diharap mampu
memberikan tindakan-tindakan solutif terhadap aneka problem yang dihadapi
masyarakat saat itu. Agama memberikan panduan moral dan spiritual untuk
melakukan perubahan sosial ke arah yang lebih baik.
Menghadapi konteks yang berubah tersebut, beberapa pemeluk memandang
agama sebagai hal sakral, angker, suci dan tidak bisa diganggu gugat. Mereka
melupakan substansi agama dan terjebak terlalu larut dalam simbol dan ritual
agama. Beberapa yang lain memandang diri dan kelompoknya sebagai yang
benar, sementara yang lain adalah salah. Bahkan, ketika bersentuhan dengan
ranah sosial dan politik dalam kondisi konflik, agama memiliki kecenderungan

18
menguatkan konflik ketika ia dijadikan komoditas. Ia bisa menjadi pemicu,
penguat atau pemberi justifikasi bagi konflik.
Terkait dengan problem kebangsaan yang bersumber pada sikap
keberagamaan, bahwa problem keagamaan menjadi persoalan paling serius di
negeri ini karena seringkali atas nama agama perkelahian, pertumpahan darah
dan bunuh-bunuhan terjadi. Keagamaan seseorang merupakan ungkapan yang
tidak jarang menumbuhkan ikatan emosional, sehingga rela berkorban demi
agamanya, sebagai martir di jalan Tuhan. Inilah yang kemudian menjadi bibit-
bibit munculnya radikalisme agama. KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam
refleksi akhir tahun 2007 juga menyebut bahwa salah satu dari dua problem
penting yang muncul sepanjang tahun 2007 adalah aneka tindakan kekerasan
yang mengatasnamakan agama. Namun sebenarnya problem tersebut tidak
hanya dalam bentuk kekerasan agama. Kalau kita meperluas cakupan
pembahasan kita maka setidaknya dijumpai sejumlah persoalan berikut :

1. Tantangan nasionalisme dari ideologi agama yang bersifat sub-state atau


bahkan dari ideologi yang bersifat transnasional seperti romantisme
khilafah yang mendiskreditkan nasionalisme.
2. Belum optimalnya peran agama sebagai motor perubahan sosial dalam
mengentaskan berbagai problem sosial seperti kemiskinan, kebodohan,
ketidakadilan, korupsi dan lain sebagainya. Agama seakan-akan berhenti
pada kisaran tempat ibadah, doa, kitab suci, tetapi gagap ketika berhadapan
dengan kemiskinan, korupsi, bencana lingkungan.
3. Kekerasan dan teror yang mengerucut pada pengabaian hukum positif dan
berbagai konflik sosial dibumbui nuansa agama seperti konflik Poso,
maraknya sejumlah laskar atau organisasi berlabel agama yang diduga
menciptakan kekacauan dan teror, penyerangan terhadap rumah ibadah dan
kelompok agama lain serta sweeping tempat-tempat hiburan.
4. Ekspresi keberagamaan yang sangat beragam terutama terkait dengan
kaum-kaum minoritas yang kurang terdengar suaranya dipentas nasional.
Alih-alih mendapatkan pengakuan bahwa mereka kaum minoritas seperti

19
Islam Kejawen dan Islam Sasak, komunitas lainnya seperti Lia Eden di
Jakarta dan Jemaat Ahmadiyyah.
5. Masalah lain seputar keberagamaan di tengah keragaman adalah konflik-
konflik bernuansa etno-religius di berbagai tempat di Indonesia seperti
Poso, Parung. Masalah seperti ini tentu tidak pernah kita harapkan terjadi,
selain kerugian materiil dan jiwa, korban paling menderita dari konflik
sosial ini adalah kaum perempuan dan anak-anak. Mereka adalah golongan
yang menjadi sasaran utama pelampiasan konflik-konflik etno-religius.
6. Beragamnya pemahaman tentang pola hubungan Islam dan negara yang
pada gilirannya berimplikasi pada berbagai isu sensitif seperti perda syariat,
legalitas hukum negara, upaya mempertanyakan ulang persoalan Piagam
Jakarta sebagai dasar negara.

Beragamnya pemahaman tentang pola hubungan Islam dan demokrasi yang


pada gilirannya berpengaruh kepada apresiasi terhadap nilai-nilai demokrasi.6

6
Nuh, Muhammad. Islam, Nilai Sosial, Sikap Keberagamaan di Tengah Problem Kebangsaan
Politika Vol. 5 No. 2 (Oktober 2014).

20
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Yang dimaksud dengan Agama adalah ajaran yang dipakai manusia sebagai
pedoman hidup.
Ditinjau dari sumbernya agama-agama yang dikenal manusia terdiri atas tiga
jenis agama, yakni sebagai berikut :
1. Agama budaya adalah agama yang bersumber dari ajaran seseorang manusia
yang dipandang mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang kehidupan.
2. Agama wahyu adalah agama yang diturunkan Allah dari langit melalui malaikat
jibril kepada para Nabi dan Rasul Allah untuk disampaikan kepada umatnya.
3. Agama non wahyu, adalah agama yang lahir berdasarkan pemikiran atau
kebudayaan manusia.

Yang dimaksud keberagamaan dalam Islam adalah gejala yang terbentuk dari
berbagai unsur, di mana satu dengan lainnya berkaitan untuk melahirkan suatu
kesatuan pengalaman yaitu pengalaman beragama.
Keagamaan seseorang merupakan ungkapan yang tidak jarang menumbuhkan ikatan
emosional, sehingga rela berkorban demi agamanya, sebagai martir di jalan Tuhan.

21

Anda mungkin juga menyukai