Anda di halaman 1dari 4

Nama : Cut Eisya Vivia Tari

Nim : 10011181621040

Permasalahan Jamban di Pedesaan dan Perkotaan

Pembangunan nasional berwawasan kesehatan, mendorong kemandirian masyarakat


untuk hidup bersih dan sehat. Program lingkungan sehat terkait dengan komitmen global dalam
mewujudkan Millenium Development Goals (MDG’s). Salah satu tujuan MDGs yaitu “ensure
environmental sustainability’’atau menjamin berlanjutnya pembangunan lingkungan.
Keberhasilan pembangunan kesehatan dapat dilihat dari meningkatnya derajat kesehatan
masyarakat, diantaranya melalui indikator Angka Kematian Bayi dan Angka Kematian Balita.
Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002-2003, menyebutkan bahwa
angka kematian bayi dan balita di Indonesia masih cukup tinggi yaitu 35 dan 46 per 1.000
kelahiran hidup. Penyebab tingginya angka kematian tersebut adalah karena penyakit-penyakit
infeksi seperti diare, Infeksi Penyakit Saluran Pernafasan Akut (ISPA), tuberculosis (TBC) dan
malaria. Penyakit diare menempati urutan pertama penyebab kematian pada bayi. Hasil SDKI
1997 menyebutkan bahwa prevalensi diare pada anak usia balita di Jawa Barat sebesar 12,7%.
Angka tersebut lebih tinggi bila dibandingkan dengan rata-rata nasional yaitu 10,4%.(Ownership,
n.d.)

Penyediaan air bersih dapat mencegah penyakit diare sebesar 35% dan penggunaan
jamban sehat dapat mencegah penyakit diare sebesar 28%. Angka kesakitan dan kematian karena
diare, cenderung meningkat dengan penurunan penggunaan jamban. Ketika penggunaan kakus
mencapai puncaknya di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), angka kesakitan dan kematian diare
terlihat paling rendah yaitu 100 dan 17 kasus per 100.000 penduduk. Sebaliknya, ketika tingkat
penggunaan kakus berada pada level yang paling rendah di Kalimantan Barat, terlihat angka
kesakitan dan kematian diare yang paling tinggi yakni 940 dan 166 per 100.000 penduduk.
Sebaliknya, ketika tingkat penggunaan kakus berada pada level yang paling rendah di
Kalimantan Barat, terlihat angka kesakitan dan kematian diare yang paling tinggi yakni 940 dan
166 per 100.000 penduduk. (Ownership, n.d.)

Secara nasional persentase rumah tangga yang menggunakan jamban sehat sebesar
(39%), di perkotaan (60%) jauh lebih tinggi dibanding pedesaan (23%). Hasil pengkajian PHBS
di Kabupaten Bekasi tahun 2003, menyebutkan bahwa keluarga yang belum memiliki akses
jamban sebanyak 36,4%.Sekitar46,4% responden yang menyatakan keluarganya menggunakan
jamban dan 53,6% yang menyatakan keluarganya tidak menggunakan jamban sebagai sarana
buang air besar (BAB). Keluarga yang tidak menggunakan jamban sebagian besar menggunakan
sungai/kali (55,2%), empang (38,1%), selokan (3,8%) dan kebun/sawah (2,9%) sebagai tempat
untuk BAB. Hal ini dapat menjadi salah satu penyebab pencemaran air sungai dan tanah yang
berada di desa alasan mereka tidak menggunakan jamban sebagai sarana buang air besar adalah
karena keluarga tidak memiliki jamban sendiri. Selain itu, lokasi jamban umum yang relatif jauh
letaknya dari tempat tinggal mereka dibandingkan dengan sungai atau empang yang ada. (Pane,
2008)
Nama : Cut Eisya Vivia Tari
Nim : 10011181621040

Faktor yang terlibat dalam penggunaan jamban :faktor predisposisi (pendidikan ibu,
pengetahuaibu tentang jamban, dan sikap ibu terhadap jamban),faktor pemungkin (kepemilikan
jamban, dan ketersediaansarana air bersih), dan faktor penguat (pembinaan oleh petugas Pusat
Kesehatan Masyarakat /Puskesmas), dan dukungan aparat desa, kader Pos Pelayanan Terpadu
(Posyandu) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). (Mardotillah, Gunawan, Soemarwoto, &
Raksanagara, 2018)

Faktor-faktor perilaku penggunaan jamban sehat di pedesaan

Pendidikan ibu mempunyai hubungan yang erat dengan perilaku keluarga terhadap
penggunaan jamban, dimana ibu dengan pendidikan tinggi mempunyai mempunyai peluang
untuk menggunakan jamban 17,4 kali dibandingkan dengan ibu dengan pendidikan rendah.
Kurangnya pemahaman ibu tentang jamban sehat kemungkinan karena sebagian besar ibu
(80,1%) tidak mendapat pembinaan penggunaan jamban oleh petugas puskesmas. Sikap ibu
positif terhadap jamban mempunyai peluang untuk menggunakan jamban 8,5 kali dibanding ibu
yang bersikap negatif terhadap jamban,dimana sikap positif menggunakan jamban (57,85%)
dibandingkan yang tidak menggunakan (37,98%).

Keluarga yang tidak memiliki jamban sendiri, sebagian besar warga desa tidak mau
membuat jamban karena pembuatan jamban yang memenuhi syarat kesehatan (jamban leher
angsa dengan septik tank) dianggap mahal serta kondisi di aliran sungai serta rawan banjir,
sehingga jika sungai meluap dan banjir terjadi maka tinja pada tempat penampungan kakus
cubluk akan meluap bersama banjir. Ketersediaan sarana air bersih di rumah tangga keluarga
yang ada sarana air bersih di rumahnya mempunyai peluang untuk menggunakan jamban 7,5 kali
dibandingkan dengan keluarga yang tidak ada sarana air bersih.

Pembinaan penggunaan jamban oleh petugas puskesmas dengan perilaku keluarga


terhadap penggunaan jamban memperolah dukungan dari aparat desa, kader posyandu dan LSM
mempunyai peluang untuk menggunakan jamban 2,8 kali dibandingkan dengan keluarga yang
tidak mendapat dukungan

Faktor-faktor perilaku penyebab permasalahan dan penggunaan jamban sehat di perkotaan

a. Faktor pemungkin
1. Sumber daya
Septiktank dari developer seperti cubluk, dasarnya tidak ditembok, Permasalahan
terjadi apabila memindahkan septiktank tanpa melihat jarak dan tahu aturan yang
seharusnya.

Keterbatasan lahan perkotaan mendorong mulainya dibangun septiktank komunal


dengan titik-titik tertentu Saluran air kotor lebih ideal dengan pembangunan riool
kota, namun hal ini masih sulit dilakukan di seluruh kota.
Nama : Cut Eisya Vivia Tari
Nim : 10011181621040

2. Jamban kekurangan air bersih


Membutuhkan air yang banyak untuk membersihkan tinja, disaat musim kemarau
kualitas dan kuantitas air kurang baik.
3. Jamban Membutuhkan Lahan sebagai Pembuang Kotoran dan Penyerapan Air Kotor,
Belum adanya sistem pengelolaan limbah dan air, kurangnya perilaku sehat
meningkatkan penyakit yang ditularkan melalui air menjadi endemic.Masyarakat
perkotaan juga jarang untuk melakukan penyedotan wc di, alas an mereka karena
biaya.
4. Puskesmas memiliki teknis sanitasi,
namun warga belum memanfaatkannya dan masyarakat belum mempunyai prosedur
monitoring terkait jamban.
b. Faktor Penguat
1. Tingkat Puskesmas memiliki tenaga ahli harian dalam mengatasi permasalahan
jamban yaitu sanitarian yang setiap hari dibantu Petugas Germas. Namun
keterbatasan tenaga dan luasnya wilayah menyebabkan belum semua RW terlayani
dengan baik.
2. Selama ini puskesmas baru sebatas pendataan dan inspeksi sanitasi. Masyarakat
belum memanfaatkan Puskesmas sebagai penyedia layanan terkait sanitasi tetapi
lebih kepada program kesehatan.
Nama : Cut Eisya Vivia Tari
Nim : 10011181621040

Daftar Pustaka

Mardotillah, M., Gunawan, B., Soemarwoto, R. S., & Raksanagara, A. S. (2018). Peran faktor
pemungkin dan penguat pada akses jamban sehat perkotaan, 20(December), 165–178.
Ownership, L. (n.d.). Hubungan antara kepemilikan jamban dengan kejadian diare di desa
karangagung kecamatan palang kabupaten tuban, 54–63.
Pane, E. (2008). Pengaruh Perilaku Keluarga terhadap, 17550(1), 229–234.

Anda mungkin juga menyukai