KONGENITAL
OLEH :
Kelompok IV :
2015
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-
Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata
kuliah Sistem Reproduksi. Adapun judul dari makalah ini adalah Asuhan Keperawatan Pada Bayi
Neonatus Dengan Kelainan Kongenital.
Didalam makalah ini akan dibahas mengenai Penyakit Kongenital bagaimana perjalanan
dari penyakit ini serta bagaimana penatalaksanaannya menurut medis dan keperawatan. Tidak
lupa penulis juga mengucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing yang mengarahkan
dalam penyelesaian malakah ini serta kepada pengarang yang bukunya menjadi sumber referensi.
Penulis menyadari adanya kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran kepada pembaca untuk menyempurnakan malakah ini. Atas
perhatiaanya penulis ucapkan terimakasih.
Penulis
BAB 1
(PENDAHULUAN)
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui bagaimana proses asuhan keperawatan Kelainan Kongenital
pada Neonatus.
TINJAUAN TORITIS
1. Mulut
Merupakan suatu rongga terbuka tempat masuknya makanan dan air. Mulut
merupakan bagian awal dari sistem pencernaan lengkap dan jalan masuk untuk
system pencernaan yang berakhir di anus. Bagian dalam dari mulut dilapisi oleh
selaput lendir. Pengecapan dirasakan oleh organ perasa yang terdapat di permukaan
lidah. Pengecapan sederhana terdiri dari manis,asam, asin dan pahit. Penciuman
dirasakan oleh saraf olfaktorius hidung, terdiri dari berbagai macam bau. Makanan
dipotong-potong oleh gigi depan (incisivus) dan di kunyah oleh gigi belakang (molar,
geraham), menjadi bagian-bagian kecil yang lebih mudah dicerna. Ludah dari kelenjar
ludah akan membungkus bagian-bagian dari makanan tersebut dengan enzim-enzim
pencernaan dan mulai mencernanya. Ludah juga mengandung antibodi dan enzim
(misalnya lisozim), yang memecah protein dan menyerang bakteri secara langsung.
Proses menelan dimulai secara sadar dan berlanjut secara otomatis (Syaiffudin,2011).
2.1.2 Penyakit Kongenital pada Neonatus
A. Hipospedia
1. Defenisi
Hipospedia merupakan suatu cacat bawaan dimana lubang uretra tidak terletak
pada tempatnya (Maryanti, 2011). Bentuk hipospadia yang lebih berat terjadi jika
lubang uretra terdapat di tengah batang penis atau pada pangkal penis dan kadang
pada skrotum atau di bawah skrotum. Kelainan ini seringkali berhubungan dengan
kordi atau suatu jaringan fibrosa yang kencang, yang menyebabkan penis
melengkung ke bawah pada saat ereksi. Jika tidak diobati, mungkin akan terjadi
kesulitan dalam pelatihan berkemih pada anak dan gangguan berhubungan seksual
pada saat dewasa (Maryanti, 2011).
2. Etiologi
Etiologi belum dapat di jelaskan, namun teori yang berkembang karena kelainan
hormonal. Teori lain mengungkapkan kelainan ini di sebabkan oleh penghentian
prematur perkembangan sel-sel penghasil adrogen terhenti yang mengakibatkan
maskulinisasi inkomplit dari alat kelamin luar. Proses ini menyebabkan gangguan
pembentukan uretra, sehingga saluran ini berujung sepanjang garis tengah penis
tergantung saat terjadinga gangguan hormonal. Semakin dini terjadi gangguan
hormonal, maka lubang kencing abnormal akan bermuara ke pangkal (Maryanti,
2011).
3. Penatalaksanaan
a. subyektif
Informasi dari ibu riwayat kesehatan selama hamil dan faktor etiologi tidak
langsung kelainan bawaan seperti : faktor infeksi, mekanik, obat, usia ibu,
hormonal, radiasi dan gizi.
b. Obyektif
1) Lubang penis tidak terdapat di ujung penis, tetapi di bawah atau di dasar
penis.
2) Penis melengkung kebawah
3) Kadang terjadi keluhan berkemih
c. Assessment
d. Planning
1) Beri penjelasan pada keluarga tentang keadaan neonatus
2) Beri support pada keluarga untuk menerima keadaan neonatus
e. terapi lainnya
1) Pada bayi : di lakukan tindakan kordektomi
2) Pada usia 2-4 tahun : dilakukan rekonstruksi uretra.
3) Jika neonatus memiliki mikro penis, maka akan mendapatkan terapi hormonal
sampai ukuran penis sesuai.
4) Operasi sebaiknya telah tuntas sebelum penderita masuk sekolah (Maryanti,
2011).
B. Epispadia
Epispadia adalah suatu anomali kongenital yaitu meatus uretra terletak pada
permukaan dorsal penis. Insidens epispadia yang lengkap sekitar 1 dalam 120.000
laki-laki. Keadaan ini biasanya tidak terjadi sendirian, tetapi juga disertai anomali
saluran kemih. Epispadia di klasifikasikan berdasarkan letak meatus kemih
disepanjang batang penis : glandular (pada glans bagian dorsal), penis (antara simfisis
pubis dan sulkus koronarius), dan penopubis ( pada pertemuan antara penis dan
pubis). Meatus uretra meluas, dan perluasan alur dorsal dari meatus terletak di bawah
glans. Prepusium menggantung dari sisi ventral penis. Penis pipih mugkin akan
melengkung ke dorsal akibat adanya chordee (Price, 2005).
Inkontinensia urine timbul pada epispadia penopubis (95%) dan penis (75%)
karena perkembangan yang salah dari spinter urinarius. Penatalaksanaan yang dapat
di lakukan adalah pembedahan untuk memperbaiki inkotinensia, untuk membuang
chordee, dan meperluas uretra ke glas. Prepusium di gunakan dalam proses
rekonstruksi, sehingga bayi baru lahir denga epispadia tidak boleh di surkumsisi
(Price, 2005)
C. Atresia Duodenum
1. Defenisi
Atresia duodenum adalah defek di mana duodenum, bagian pertama usus halus,
tidak berkembang dengan sempurna. Suatu bagian duodenum tertutup sehingga
makanan dan cairan tidak dapat masuk. Bagian duodenum yang tertutup biasanya
adalah ampula vateri. Kondisi ini sering berhubungan dengan defek kongenital
yang lain ( Saputra, 2014 ).
2. Etiologi
Penyebab utama atresia duodenum belum diketahui. Namun, secara umum atresia
duodenum diakibatkan oleh kegagalan rekanalisasi setelah tahap “ solid cord ”
dari pertumbuhan usus proksimal ( Saputra, 2014 ).
3. Manifestasi klinis
Gambaran klinis yang di jumpai pada bayi dengan atresia duodenum antara lain :
a. Mengalami muntah pada awal terjadinya atresia duodenum, biasanya pada hari
pertama atau kedua postnatal
b. Polihidramnion terlihat pada 50 % bayi dengan atresia duodenum
c. Berat badan menurun atau sukar bertambah
d. Perut kembung di daerah epigastrum pada 24 jam atau sesudahnya
e. Pada foto polos dalam posisi tegak akan tampak gambaran pelebaran lambung
dan bagian proksimal duodenum, tanpa adanya udara di bagian usus lain
(Saputra, 2014 ).
4. Penataklasanaan:
Sebuah selang digunakan untuk mendekompresi lambung. Dehidrasi dan
ketidakseimbangan elektrolit diperbaiki dengan memberikan cairan secara IV.
Evaluasi kelainan kongenital lain perlu dilakukan.
Pembedahan untuk memperbaiki sumbatan duodenal diindikasikan untuk semua
bayi yang mengalami kelainan ini karena malformasi ini dapat diperbaiki dengan
sempurna. Namun, jika ada kondisi yang mengancam jiwa, operasi ini dapat
ditunda. Dapatkan informed consent dari orangtua sebelum melakukan rujukan
atau pembedan ( Saputra, 2014 ).
D. SPINA BIFIDA
1. Defenisi
Spina bifida adalah defek kongenital yang ditandai dengan penutupan kanal
neural yang tidak komplit dan biasanya di regio lumbosakralis (Brooker,2008).
Spina bifida dapat menyebabkan gangguan fisik dan intelektual yang bervariasi
dari ringan hingga berat. Tingkat keparahan tergantung pada ukuran dan lokasi
lubang pada tulang belakang serta bagian medula spinalis dan saraf yang terkena
(Saputra,2014)
2. Klasifikasi:
a. Spina bifida okulta
Spina bilfida okulta merupakan jenis spina bifida yang paling ringan. Pada
kondisi ini, penutupan dengan meninges tidak terpajan dipermukaan kulit.
Medula spinalis dan sarafnya biasanyanormal. Defek ini secara eksternal
sering ditandai dengan perubahan warna kulit, hemangioma, tumpukan rambut
atau lipoma yang dapat meluas ke kanal spinalis. Sering kali spinal bifida
okulta tidak diketahui hingga akhir masa kanak-kanak atau awal masa dewasa.
Tipe spina bifida ini biasanya tidak menyebabkan gangguan(Saputra,2014).
b. Meningokel
Meningokel adalah tipe spinal bifida dimana kantung cairan muncul dari
lubang pada punggung bayi. Namun, medula spinalis tidak terdapat pada
kandung tersebut. Biasanya kondisi ini menyebabkan sedikit kerusakan saraf,
tetapi bisa juga tidak menyebabkan kerusakan saraf. Meningokel ini dapat
menyebabkan gangguan kecil.
c. Mielomeningokel
Mielomeningokel adalah tipe spina bifida yang paling serius. Pasa kondisi ini,
kantung cairan muncul dari lubang pada punggung bayi. Sebagian medula
spinalis dan saraf terdapat dalam kantung tersebut dan rusak.
Mielomeningokel merupakan tipe spina bifida yang lebih sring terjadi dan
lebih serius. Biasanya terletak pada daerah lumbolasakral.
Penyebab pasti spina bifida tidak diketahui, predisposisi genetik mungkin ada.
3. Etiologi
Risiko gangguan ini menigkat pada defesiensi asam folat maternal. Dengan
demikian, semua wanita yang hamil atau sedang merencanakan untuk hamil
dianjurkan untuk mulai medapat suplemen vitamin asam folat minimal tiga bulan
sebelum konsepsi (Saputra,2014).
4. Gambaran Klinis
a. Spina bifida okulta
Spina bifida okulta dapat tanpa gejala atau berkaitan dengan:
1) Pertumbuhan rambut yang terjaddi di sepanjang spina
2) Lekukan digaris tenga, biasanya didaerah lumbosakral.
3) Abnormalitas gaya berjalan atau kaki.
4) Kontrol kandung kemih yang tidak baik.
b. Meningokel
Meningokel dapat tanpa gejala atau berkaitan dengan :
1) Tonjolan mirip kantung pada meninges dan cairan serebrospinal dari
punggung.
2) Club foot
3) Gangguan gaya berjalan akibat masalah neurologis ekstermitas bawah
( jarang terjadi )
4) Inkontenensia kandung kemih akibat defidit neurologis parsial.
5) Hidrosefalus jarang terjadi.
c. Mielomeningokel
Mielomeningokel kemih dan usus akan lumpuh dan tidak sensitif.
5. Penatalaksanaan:
Tujuan dari pengobatan awal spina bifida adalah mengurangi kerusakan saraf,
meminimalkan komplikasi (misalnya infeksi) serta membantu keluarga dalam
menghadapi kelainan ini. Spina bifida okulta umumnya tidak membutuhkan
pengobatan. Namun, meningokel dan mieolomeningokel membutuhkan
pembedahan untuk menutup lubang yang terbentuk. Sebelum melakukan
pembedahan, dilakukan penilaian potensi bayi dengan pemeriksaan secara
lengkap dan tepat segera setelah bayi lahir untuk menentukan luasnya defidit
neurologik, ada tidaknya hidrosefalus, luasnya deformitas lubang belakang, dan
adanya kelainan kongenital yang lain. Seksio Caesarea terencana sebelum
mulainya persalinan penting dilakukan untuk mengurangi kerusakan neurologik
yang terjadi pada bayi dengan defek medula spinalis (Saputra,2014).
E. ENSEFALOKEL
1. Definisi
Ensefalokel adalah defek atau cacat pada kranium yang ditandai dengan
adanya penonjolan keluar meninges (selaput otak) dan otak yang biasanya ditutupi
oleh kulit melalui suatu lubang pada tulang tengkorak. Ensefalokel disebabkan
oleh kegagagaln penutupan tabung saraf selama perkembangan janin.
Penyebab pasti ensefalokel belum diketahui, tetapi kemungkinan merupakan
kombinasi dari berbagai faktor seperti nutrisi paa ibu, genetik, dan paparan
terhadap toksin atau infeksi pada tahap awal kehidupan janin. Defek tabung saraf
tampaknya berhubungan dengan kekurangan asam folat pada ibu, dan
penambahan suplemen asam folat pada ibu hamil atau pada wanita yang
berencana hamil dapat menurunkan risiko kelainan ini.
2. Gambaran Klinis
a. Hidrosefalus
b. Kelumpuhan keempat anggota gerak (kuadriplegia pastik)
c. Gangguan perkembangan
d. Mikrosefalus
e. Gangguan penglihatan
f. Keterbelakangan mental dan pertumbuhan
g. Ataksia
h. Kejang/sawan
3. Pelaksanaan
a. Tujuan dari pengobatan awalensefalokel adalah mengurangi kerusakan saraf,
meminimalkan komplikasi (misalnya infeksi), serta membantu keluarga dalam
menghadapi kelainan ini.
b. Umumnya, pembedahan dilakukan semasa bayi untuk mengembalikan
jaringan yang menonjol ke dalam tengkorak, membuang kantung, dan
memperbaiki kelainan kraniofasial yang terjadi.
c. Sebelum pembedahan, bayi dimasukkan de dalam inkubator dengan kondisi
tanpa baju.
d. Bayi dengan hidrosefalus mungkin perlu dibuatkan suatu pintas (shunt)
4. Prognosis
Prognosis untuk ensefalokel tergantung pada tipe jaringan otak yang terkena,
lokasi kantung, dan malformasi otak yang menyertai.
F. HIDROSEFALUS
1. Definisi
Secara umum, hidrosefalus merupakan penimbunan cairan serebrospinal yang
berlebih di dalam otak. Hidrosefalus adalah kelainan patologis otak yang
mengakibatkan bertambahnya cairan serebrospinal (CCS) dengan atau pernah
dengan tekanan intrakranial yang meningkat, sehingga terdapat pelebaran
ventrikel (Darsono,2005).
2. Klasifikasi
a. Berdasarkan sumbatannya
a) Hidrosefalus obstrukstif
Tekanan CCS meningkat akibat obstruksi pada salah satu tampat
pembentukan CSS, Antara lain pleksus koroidalis dan keluarnya ventrikel
IV melalui faromen Luscka dan magendhi.
b) Hidrosefalus komunikans
Tekanan CSS yang meningkat tidak disebabkan oleh penyumbatan pada
salah satu tempat pembentukan CSS. Cairan dapat bebas keluar-masuk
ventrikel.
b. Bedasarkan perolehannya
1) Hidrosefalus congenital
Hidrosefalus ini sudah diderita sejak dalam kandungan. Berarti, pada saat
lahir otaknya sudah berukuran kecil atau pertumbuhan otak terganggu
karena desakan oleh banyaknya cairan dalam kepala dan tingginya
tekanan intrakranial.
2) Hidrosefalus didapat
Pertumbuhan otak pada awalnya sudah sempurna, tetapi kemudian terjadi
gangguan karena adanya tekanan intrakranial yang tinggi
3. Etiologi
a. Hidrosefalus congenital
1) Stenosis akuaduktus sylvii : penyebab terbanyak hidrosefalus bayi dan anak
(60-90%). Akuaduktus dapat merupakan saluran buntu atau lebih sempit dari
biasanya. Gejala hidrosefalus umunya erlihat sejak lahir atau progresif dengan
cepat pada bulan-bula pertama kelahiran.
2) Spina bifida dan kranium bifida : berhubungan dengan sindrom Arnold-Chiari
akibat tertariknya medula spinalis ke medula oblongata dan serebelum
terletaak lebih rendah dan menutupi foreman magnum sehingga terjadi
penyumbatan sebagian atau total.
3) Sindrom Dandy-Walker: atresia kongenital foramen Luscka dan Magendhi
yang menyebabkan hidrosefalus obstruktif dengan pelebaran ventrikel-
terutama ventrikel IV-yang dapat menjadi sangat besar hingga menjadi suatu
kista besar didaerah fosa posterior.
4) Kista araknoid: dapat terjadi secara kongenital atau trauma sekunder suatu
hematoma.
b. Hidrosefalus didapat
1) Infeksi : biasanya terjadi pada hidrosefalus pasca meningitis.
2) Neoplasma : disebabkan oleh adanya obstruksi mekanisme pada saluran
aliran CSS
3) Perdarahan intrakranial : dapat menyebabkan hematoma didalam otak
sehingga dapat timbul penyumbaan
4) Sumbatan pada penyakit penimbunan, misalnya mukopolisakarida dan
histiositosis X.
5) Intoksikasi vitamin A.
4. Gambaran Klinis
a. Bayi muda
1) Kecepatan pertumbuhan kepala tidak normal
2) Penonjolan fontanel (khususnya anterior) yang kadang tanpa disertai
pembesaran kepala : tegang dan tidak berdenyut
3) Dilatasi vena pada kulit kepala
4) Terdapat peregangan sutura
5) Tanda Mecewen (bunyi “cracked-post [vas pecah]”) pada saat perkusi
6) Terjadi penipisan tulang tengkorak
b. Bayi lanjut
1) Pembesaran frontal atau “bossing”
2) Depresi mata
3) Tanda setting sun (skelra terlihat diatas iris)
4) Respons pupil lambat dan tidak sama dalam merespon cahaya
c. Bayi, umum :
1) Peka terhadap rangsangan
2) Letargik
3) Bayi menangis jika diangkat atau diayun dan diam jika dibiarkan berbaring
4) Kerja refleks dini menetap
5) Respons normal tidak terlihat
6) Dapat menunjukkan tanda : tingkat kesadaran berubah, opistotonus
( sering kali bersifat ekstrem), spastisitas ekstermitas bawah
5. Diagnosis
a. Pemeriksaan fisik, gambaran klinik yang samar-samar
b. Pemeriksaan CT tidak scan dan MRI dapat menunjukan ukuran ventrikel dan
mengindikasikan letak obstruksi. CT scan merupakan cara aman yang dapat
diandalkan untuk membedakan hidrosefalus dari penyakit lain yang juga
menyebabkan pembesaran kepala abnormal.
c. Pemeriksaan fisik, gambaran klinik yang samar-samar
6. Penatalaksanaan
Pada sebagian besar penderita, pembesaran kepala akan berhenti dengan
sendirinya ( arrested hydrocephalus). Hal ini mungkin disebabkan oleh
rekanalisasi ruang subaraknoid atau kompensasi pembentukan CSS yang
berkurang. Tindakan bedah untuk menangani hidrosefalus sebelum kelahiran tidak
berhasil dan bersifat eksperimental. Jika penyebab hidrosefalus adalah tumor,
tindakan bedah untk mengangkat tumor tersebut dapat dipertimbangkan.
Penatalaksanaan hidrosefalus antara lain adalah :
a. Lakukan perawatan umum, misalnya pengawasan suhu, pencegahan infeksi,
pengawasan asupan dan haluaran, serta perawatan setelah BAK dan BAB.
b. Ukur lingkar kepala secara berkala untuk mengetahui laju perta,bahan CSS.
c. Lakukan pengawasan dan pencegahan muntah.
d. Lakukan pengawasan kejang. Jika perlu, spatel lidah dapat dipasang untuk
mencegah retraksi lidah yang dapat menyebabkan perdarahan atau sumbatan
pada saluran pernapasan.
e. Dapatkan informed consent dari orangtua untuk merujuk ke pusat pelayaan
kesehataan yang lebih memadai.
Pada dasarnya terdapat tiga prinsip dalam pengobatan hidrosefalus, yaitu
mengurangi produksi CSS, memengaruhi hubungan antara tempat produksi CSS
dan tempat absorbsi, serta pengeluaran CSS ke dalam organ ekstrakranial.
G. OBSTRUKSI BILIARIS
1. Definisi
Obstruksi biliaris adalah suatu kelainan kongenital berupa adanya penyumbatan
saluran empedu sehingga empedu tidak dapat mengalir ke dalam usus untuk
dikeluarkan dalam feses sebagai sterkobilin.
2. Etiologi
Obstruksi biliaris terjadi karena saluran empedu belum terbentuk dengan
sempurna sehingga tersumbat pada saat amnion tertelan masuk.
3. Gambaran Klinis
Gejala mulai terlihat pada akhir minggu pertama, yaitu bayi tampak ikterus. Feses
berwarna putih keabu-abuan, terlihat seperti dempul, dan warna urine menjadi
lebih tua karena mengandung urobilin.
4. Penatalaksanaan
a. Beri perawatan layaknya bayi normal yang lain, misalnya pemberian nutrisi
yang adekuat, pencegahan infeksi, dan pencegahan hipotermia.
b. Berikan konseling pada orangtua agar mereka mengerti keadaan bayi mereka
dan mengetahui tindakan apa yang perlu dilakukan. Dapatkan informed
consent untuk melakukan rujukan ke pusat pelayanan yang lebih memadai
atau untuk melakukan tindakan operasi (Syaputra,2014)
H. Atresia Esofagus.
1. Defenisi.
Atresia Esofagus adalah kelainan kongenital pada kontiunitas esophagus
dengan/tanpa hubungan dengan trakea atau esophagus yang tidak terbentuk secara
sempurna.
Atresia esophagus sering disertai dengan kelainan bawaan lain, seperti kelainan
jantung, kelainan gastrointestinal (misalnya atresia duodeni), dan kelainan tulang
(Saputra, Dr. Lyndon. 2014).
2. Etiologi.
Umumnya penyebab atresia esophagus tidak diketahui secara pasti dan
kemungkinan penyebabnya adalah multifactor. Faktor kelainan genetic seperti
sindrom trisomy 21,13, dan 18 kemungkinan dapat meningkatkan kejadian atresia
esophagus. Faktor lain terjadi secara sporadic dan rekuren pada saudara kandung
(2 %) (Saputra, Dr. Lyndon. 2014).
3. Patofisiologi.
Pada pemisahan jaringan, terjadi pemisahan antara trakea dan esophagus
pada minggu ke-4 hingga minggu ke-6 kehidupan embrional (Saputra, Dr.
Lyndon. 2014).
4. Klasfikasi.
a. Tipe A (5-8 %).
Kantung buntu di setiap ujung esophagus, terpisah jauh tanpa hubungan ke
trakea.
b. Tipe B (jarang).
Kantung buntu di setiap ujung esophagus dengan fistula dari trakea ke segmen
esophagus bagian atas.
c. Tipe C (80-95 %).
Segmen esophagus proksimal berakhir pada kantung buntu dan segmen distal
di hubungkan ke trakea atau bronkus primer dengan fistula pendek pada atau
dekat bifurkasi.
d. Tipe D (jarang).
Kedua segmen esophagus atas dan bawah dihubungkan ke trakea (Saputra, Dr.
Lyndon. 2014).
J. Hernia Diafragmatika.
1. Defenisi.
Hernia diafragmatika adalah masuknya organ abdomen melalui defek (lubang)
pada diafragma ke dalam rongga toraks.Lubang ini hanya ditutup oleh lapisan
pleura dan peritoniun. Secara umum terdapat tiga tipe dasar hernia diafragmatika,
yaitu hernia Bochdalek (melalui defek posterolateral), hernia morgagni (melalui
defek anterio retosternal) dan hiatus hernia, yaitu masuknya bagian atas lambung,
yaitu kardiak gaster kedalam rongga toraks melalui pelebaran hiatus esophagus.
Kelainan yang paling sering ditemukan adalah hernia Bochdalek (Saputra, Dr.
Lyndon. 2014).
2. Etiologi.
Penyeban pasti hernia diafragmatika masih belum diketahui.Hal ini sering
dihubungkan dengan penggunaan thalidomide, kuinin, nitrofenide, antiepileptic,
atau defisiensi vitamin A selama kehamilan.Neonatus hernia ini disebabkan oleh
gangguan pembentukan diafragma.
Diafragma terbentuk dari tiga unsur, yaitu membrane pleuroperitonei,
septum transversum, dan pertumbuhan dari tepi yang berasal dari otot dinding
dada.Gangguan pembentukan diafragma dapat berupa kegagalan pembentukan
sebagian diafragma, gangguan fusi ketiga unsur, dan gangguan pembentukan otot.
Gangguan pembentukan dan fusi tersebut akan menyebabkan terbentuknya
lubang hernia, sedangkan gangguan pembentukan otot akan menyebabkan
diafragma tipis dan menimbulkan eventarasi (Saputra, Dr. Lyndon. 2014).
3. Gambaran Klinis.
Berat ringannya gejala hernia diafragmatika tergantuk pada banyaknya
organ dibagian abdomen yang masuk kerongga toraks. Pada kasus hernia
diafragmatika berat, terdapat gambaran klinis sebagai berikut :
a. Gangguan pernapasan pada hari-hari pertama.
b. Sesak nafas, terutama pada saat tidur terlentang.
c. Retraksi sela iga dan substernal.
d. Perut kempis dan menunjukkan gambaran skafoid (cekung).
e. Bunyi jantung terdengar di daerah yang berlawanan karena terdorong oleh isi
perut.
f. Terdengar bising usus di daerah dada.
g. Muntah.
h. Sianosis (warna kulit kebiruan akibat kekurangan oksigen).
i. (Saputra, Dr. Lyndon. 2014).
4. Penatalaksanaan.
a. Berikan oksigen untuk mengatasi sianosis.
b. Posisi bayi semifowler atau fowler agar tekanan dari isi perut terhadap paru
berkurang dan agar diafragma dapat bergerak bebas.
c. Pasang sonde lambung untuk dekompresi abdomen.
d. Jika bayi muntah, tegakkan bayi agar tidak terjadi aspirasi.
e. Bayi tidak diberi minum, hanya diberikan infus.
f. Berikan antibiotic profilaksis.
g. Dapatkan informed consent dari orangtua untuk merujuk bayi ke pusat
pelayanan kesehatan yang lebih memadai.
h. Organ perut harus dikembalikan ke rongga abdomen dan lubang pada
diafragma diperbaiki. Hal ini dilakukan dengan cara operasi.
(Saputra, Dr. Lyndon. 2014).
5. Komplikasi dan Prognosis.
Komplikasi yang sering terjadi akibat hernia diafragmatika adalah
komplikasi kardiologi akibat hypoplasia paru.Prognosis tergantung pada
keberhasilan tindakan pembedahan dan atau tidak adanya komplikasi (Saputra,
Dr. Lyndon. 2014).
K. Penyakit Hirschprung.
1. Defenisi.
Penyakit hirschprung atau megakolon aganglionik kongenital adalah penyakit
yang mengakibatkan obstruksi mekanik karena ketidakadekuatan motilitas
sebagian dari usus.Pada penyakit ini obstruksi disebabkan oleh tidak adanya saraf
yang mengendalikan kontraksi usus tersebut.Bagian usus yang umumnya
mengalami kelainan adalah rektosigmoid, tetapi kelianan ini dapat terjadi
dibagian usus manapun.Apabila pada awal kehamilan, bayi tidak mengeluarkan
kotoran atau tinja, ada kemungkinan bayi tersebut terkena penyakit ini (Saputra,
Dr. Lyndon. 2014).
2. Etiologi.
Penyebab penyakit Hirschprung belum diketahui dengan pasti.Yang
diketahui adalah penyakit ini terjadi jika sel saraf yang mengelilingi usus besar
tidak terbentuk dengan sempurna.Normalnya, seiring bayi tumbuh dan
berkembang didalam janin, kumpulan sel saraf (ganglia) mulai terbentuk diantara
lapisan otot disepanjang usus besar. Proses ini dimulai pada bagian atas dan
berakhir di usus besar bagian bawah (dubur). Pada anak-anak dengan penyakit
Hirschprung, proses ini tidak selesai dan ganglion tidak terbentuk secara
sempurna disepanjang usus besar. Namun, sel yang hilang dapat saja lebih
panjang pada kasus yang lain. Penyakit ini kadang disertai dengan kelainan
bawaan lainnya, misalnya sindrom Down (Saputra, Dr. Lyndon. 2014).
3. Gambaran Klinis.
Pada bayi baru lahir, gambaran klinis penyakit Hirschprungantara lain adalah :
a. Tidak dapat mengeluarkan meconium dalam waktu 24-48 jam setelah lahir.
b. Muntah berwarna empedu.
c. Sulit menyusu.
d. Berat badan tidak bertambah, mungkin terjadi retardasi pertumbuhan.
e. Diare.
f. Distensi abdomen atau perut menggembung.
Pada bayi yang lebih besar, gambaran klinis penyakit Hirschprung antara lain
adalah :
a. Gagal tumbuh.
b. Konstipasi.
c. Distensi abdomen.
d. Diare dan muntah.
(Saputra, Dr. Lyndon. 2014).
4. Diagnosis.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah :
a. Pemeriksaan barium enema melalui anus akan dapat memperlihatkan sejauh
mana penyempitan usus terjadi dan sejauh mana kerusakan usus terjadi.
b. Gejala awal penyakit Hirschprung dapat diketahui dengan menggunakan cara
colok anus,yaitu memasukkan sedikit jari ke anus. Jika jari merasakan jepitan
dan pada waktu ditarik akan di ikuti keluarnya udara dan meconium atau feses
yang menyemprot.
c. Dengan foto polos abdomen untuk menemukan daerah transisi, gambaran
kontraksi usus yang menyempit, enterokolitis pada segmen yang melebar,
serta retensi barium setelah 24-48 jam.
d. Pemeriksaan biopsy isap mukosa dan submukosa dapat dilakukan untuk
mencari sel ganglion, selanjutnya dilakukan pemeriksaan aktivitas enzim
asetilkolin esterase. Pada bayi dengan penyakit Hirschprung, aktivitas enzim
asetilkolin esterase meningkat.
e. Biopsy otot rectum serta pemeriksaan aktivitas norepinefrin dari biopsy usus
dapat juga dilakukan.
(Saputra, Dr. Lyndon. 2014).
5. Penatalaksanaan.
a. Berikan obat-obatan yang bersifat simtomatis atau definitive.
b. Dapatkan informed consent dari orangtua untuk merujuk bayi ke pusat
pelayanan kesehatan yang lebih memadai.
c. Pada keadaan gawat darurat mungkin diperlukan koreksi cairan dan
keseimbangan elektrolit.
d. Untuk mencegah terjadinya komplikasi akibat penyumbatan usus, segera
dilakukan kolostomi sementara.
e. Pengangkatan bagian usus yang tidak memiliki saraf dan penyambungan
kembali dilakukan saat anak berusia 6 bulan atau lebih.
f. Jika terjadi perforasi (perlubangan usus) atau eterokilitis, bayi diberikan
antibiotic.
(Saputra, Dr. Lyndon. 2014).
L. Omfalokel.
1. Defenisi.
Omfalokel adalah cacat lahir yang ditandai dengan tampaknya tonjolan
berupa kantung yang berisi usus dan visera abdomen. Kantung tersebut terdiri
atas lapisan amnion dan peritoneum.di antara lapisan tersebut kadang-kadang
terdapat lapisan wharton’s jelly (Saputra, Dr. Lyndon. 2014).
2. Etiologi.
Penyebab pasti omfalokel belum diketahui.Omfalokel berkembang ketika
bayi masih berada dalam Rahim ibu.Otot dinding perut (cincin umbilical) tidak
menutup dengan sempurna.Akibatnya, beberapa bagian usus berada di luar tali
pusat.Pada 25-40 % bayi dengan omfalokel, kelainan ini disertai dengan kelainan
bawaan lainnya, misalnya masalah genetic (kromosom abnormal), hernia
diafragmatika kongenital, dan kelainan jantung.
Beberapa faktor risiko atau faktor yang berperan menimbulkan omfalokel di
antaranya adalah :
a. Infeksi.
b. Penggunaan obat dan rokok pada ibu hamil.
c. Defisiensi asam folat.
d. Hipoksia.
e. Penggunaan salisilat.
f. Kelainan genetic.
g. Polihidroamnion.
(Saputra, Dr. Lyndon. 2014).
3. Gambaran Klinis.
Gambaran klinis untuk omfalokel adalah usus besar dan organ abdomen
lainnya mengalami protrusi dari umbilicus, sering dilapisi oleh suatu
membran.Banyaknya usus dan organ abdomen lainnya yang menonjol bervariasi,
tergantung besarnya lubang di pusar.Jika lubangnya kecil, kemungkinan yang
menonjol hanya usus.Jika lubangnya besar, hati juga dapat menonjol melalui
lubang tersebut (Saputra, Dr. Lyndon. 2014).
4. Penatalaksanaan.
a. Tempatkan bayi pada ruangan yang aseptic dan hangat untuk mencegah
kehilangan cairan, hipotermia, dan infeksi.
b. Posisikan bayi senyaman mungkin dan lembut untuk menghindari bayi
menangis. Posisi kepala sebaiknya lebih tinggi untuk memperlancar drainase.
c. Lakukan pengkajian adanya distress respirasi yang mungkin membutuhkan
alat bantu ventilasi, misalnya intubasi endotrakeal. Beberapa alat bantu seperti
masker tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan masuknya udara kedalam
traktus gastrointestinal.
d. Pasang pipa nasogastric atau orogastrik untuk mengeluarkan udara dan cairan
dari usus untuk mencegah muntah dan aspirasi, mengurangi distensi dan
tekanan (dekompresi) dalam usus, serta mengurangi tekanan intracranial.
Pasang juga rectal tube untuk irigasi dan dekompresi usus.
e. Pasang kateter uretra untuk mengurangi distensi kandung kemih dan
mengurangi tekanan intra-abdomen.
f. Pasang jalur IV (sebaiknya ekstremitas atas) untuk pemberian cairan dan
nutrisi parenteral serta antibiotic.
g. Tutup defek dengan saline steril atau povidone-iodine soaked gauze, kemudian
tutip kembali dengan suatu oklusif plastic dressing wrap atau plastic bowel
bag.
h. Dapat informed consent dari orangtua untuk melakukan rujukan kepusat
pelayanan kesehatan yang lebih memadai.
i. Bayi perlu menjalani pembedahan untuk menutup defek setelah ada penebalan
selaput kantung.
(Saputra, Dr. Lyndon. 2014).
7. Penatalaksaan
Penatalaksanaan celah bibir (labioskizis) salah satunya adalah pembedahan yang
bertujuan untuk memulihkan stuktur anatomi, mengoreksi cacat dan
memungkinkan anak mempunyai fungsi yang normal dalam menelan, bernapas,
dan berbicara. Pembedahan biasanya di lakukan ketika anak berumur kurang dari
3 bulan (Sodikin, 2011).
2. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b/d faktor biologis d/d
kurang makanan, ketidakmampuan memakan makanan.
3. Hambatan komunikasi verbal b/d defek anatomis (misl; celah palatum) d/d kesulitan
menggunakan ekspresi wajah dan tubuh.
4. Gangguan citra tubuh b/d penyakit d/d perubahan aktual pada fungsi, perubahan
aktual pada struktur.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Malformasi kongenital adalah kelainan dalam pertumbuhan janin yang terjadi sejak
konsepsi dan selama dalam kandungan. Diperkirakan 10 – 20 % dari kematian janin dalam
kandungan dan kematian neonatal disebabkan oleh kelainan kongenital. Khususnya pada bayi
berat badan diperkirakan kira- kira 20 % diantaranya meninggal karena kelainan kongenital
dalam minggu pertama kehidupannya ( Sofia, 2011 ).
1. Faktor Kromosom
2. Faktor Mekanis
3. Faktor Infeksi
4. Faktor Umur
5. Faktor obat
6. Faktor Hormonal
7. Faktor Pengaruh Radiasi
8. Faktor Gizi
9. Faktor Lain – lain
10. Faktor yang tidak diketahui penyebabnya ( Sofia, 2011 ).
Labio/plato skizis adalah merupakan kogenital anomali yang berupa adanya kelainan
bentuk pada struktur wajah (Wahid, 2012). Platoskizis adalah adanya celah pada garis tengah
palato yang disebabkan oleh kegagalan penyatuan susunan palato pada masa kehamilan 7-12
minggu. Labio/plato skizis adalah kogenital yang berupa adanya kelainan bentuk pada
struktur wajah Bibir sumbing adalah malformasi yang disebabkan oleh gagalnya propsuesus
nasal median dan maksilaris untuk menyatu selama perkembangan embriotik. Palatoskisis
adalah fissura garis tengah pada polatum yang terjadi karena kegagalan 2 sisi untuk menyatu
karena perkembangan embriotik.
DAFTAR PUSTAKA
Bulechek,G. 2016. Nursing Interventions Classification, 6th ed. Elsevier :USA
Maryanti, Dwi. 2011. Buku ajar Neonatus dan balita. Jakarta : CV. Trans Infomedia
Muslihatun, Wati Nur. 2010. Asuhan Neonatus Bayi Dan Balita. Yogyakarta :
Fitramaya
Saputra, Dr. Lyndon. 2014. Asuhan Neonatus, Bayi, dan Balita. Tangerang : Binarupa
Aksara
Sofian, Dr. Amru. 2011. Sinopsis Obstetri. Edisi 3. Jilid 1. Jakarta : EGC
Willian & Wilkins. 2011. Kapita Selekta Penyakit. Edisi 2. Jakarata : EGC