Anda di halaman 1dari 30

HALAMAN DEPAN

REFERAT

MIASTENIA GRAVIS

Disusun Oleh
Serinda Okky Silawati, S. Ked (J510185057)
Muhammad Dony Hermawan, S. Ked (J510185089)
Moch. Iqbal Maulana S. Ked (J510185110)
Nur Aida Oktasari S. Ked (J510185111)
Fairuz Majid S. Ked (J510185115 )

Pembimbing:
dr. Hj. Mutia Sinta, Sp. S
dr. Dwi Kusumaningsih, Sp. S

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF


RSUD Dr. HARJONO S. PONOROGO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2018 PENGESAHA

i
REFERAT

Yang diajukan oleh :


Serinda Okky Silawati, S. Ked (J510185057)
Muhammad Dony Hermawan, S. Ked (J510185089)
Moch. Iqbal Maulana S. Ked (J510185110)
Nur Aida Oktasari S. Ked (J510185111)
Fairuz Majid S. Ked (J510185115 )

Tugas ini dibuat untuk memenuhi persyaratan Program Kepaniteraan Klinik

Pada hari ……, tanggal … Desember 2018.

Pembimbing:
dr. Hj. Mutia Sinta, Sp. S (............................)
dr. Dwi Kusumaningsih, Sp. S (............................)

Dipresentasikan dihadapan
dr. Hj. Mutia Sinta, Sp. S (............................)
dr. Dwi Kusumaningsih, Sp. S (............................)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF


RSUD Dr. HARJONO S. PONOROGO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2018

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN DEPAN .............................................................................................. i
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
1. Latar belakang ............................................................................................... 1
BAB II .................................................................................................................... 3
LANDASAN TEORI............................................................................................. 3
1. Definisi......................................................................................................... 3
2. Klasifikasi ................................................................................................... 3
3. Anatomi dan Fisiologi Neuromuscular Junction .................................... 6
4. Epidemiologi ............................................................................................... 8
5. Etiologi ........................................................................................................ 8
6. Patofisiologi............................................................................................... 10
7. Manifestasi Klinis ..................................................................................... 11
8. Penegakan Diagnosis ................................................................................ 14
9. Diagnosis Banding .................................................................................... 19
10. Terapi .................................................................................................... 19
11. Prognosis ............................................................................................... 24
BAB III ................................................................................................................. 25
KESIMPULAN .................................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 26

iii
1

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Miastenia gravis adalah kelemahan otot yang cukup berat dimana terjadi
kelelahan otot-otot secara cepat dengan lambatnya pemulihan (dapat memakan
waktu 10 hingga 20 kali lebih lama dari normal). Myasthenia gravis
mempengaruhi sekitar 400 per 1 juta orang. Kelemahan otot yang parah yang
disebabkan oleh penyakit tersebut membawa sejumlah komplikasi lain,
termasuk kesulitan bernapas, kesulitan mengunyah dan menelan, bicara cadel,
kelopak mata murung dan kabur atau penglihatan ganda.
Myasthenia gravis dapat mempengaruhi orang-orang dari segala umur.
Namun lebih sering terjadi pada para wanita, yaitu wanita berusia antara 20
dan 40 tahun. Pada laki-laki lebih dari 60 tahun dan jarang terjadi selama masa
kanak-kanak.
Siapapun bisa mewarisi kecenderungan terhadap kelainan autoimun ini.
Sekitar 65% orang yang mengalami myasthenia gravis mengalami pembesaran
kelenjar thymus, dan sekitar 10% memiliki tumor pada kelenjar thymus
(thymoma). Sekitar setengah thymoma adalah kanker (malignant). Beberapa
orang dengan gangguan tersebut tidak memiliki antibodi untuk reseptor
acetylcholine tetapi memiliki antibodi terhadap enzim yang berhubungan
dengan pembentukan persimpangan neuromuskular sebagai pengganti. Orang
ini bisa memerlukan pengobatan berbeda.
Pada 40% orang dengan myasthenia gravis, otot mata terlebih dahulu
terkena, tetapi 85% segera mengalami masalah ini. Pada 15% orang, hanya
otot-otot mata yang terkena, tetapi pada kebanyakan orang, kemudian seluruh
tubuh terkena, kesulitan berbicara dan menelan dan kelemahan pada lengan
dan kaki yang sering terjadi. Pegangan tangan bisa berubah-ubah antara lemah
dan normal. Otot leher bisa menjadi lemah. Sensasi tidak terpengaruh.
Ketika orang dengan myasthenia gravis menggunakan otot secara berulang-
ulang, otot tersebut biasanya menjadi lemah. Meskipun begitu, kelemahan otot
bervariasi dalam intensitas dari jam ke jam dan dari hari ke hari, dan rangkaian
penyakit tersebut bervariasi secara luas. Sekitar 15% orang mengalami
peristiwa berat (disebut myasthenia crisis), kadangkala dipicu oleh infeksi.
Lengan dan kaki menjadi sangat lemah, tetapi bahkan kemudian, mereka tidak
kehilangan rasa. Pada beberapa orang, otot diperlukan untuk pernafasan yang
melemah. Keadaan ini dapat mengancam nyawa.

2
BAB II
LANDASAN TEORI

1. Definisi
Miastenia Gravis berasal dari 2 kata yaitu miastenia dan gravis.
Miastenia berarti kelemahan otot motorik tertentu yang berfluktuasi,
terutama yang diinervasi oleh nukleus motorik di batang otak seperti otot
mata (ocular), otot kelopak mata, otot pengunyah (masticatory) dan otot
wajah (facial), gravis sendiri berasal dari kata “grave” yang berarti buruk
(Eric, 2008; Goldenberg, 2018). Romi dkk mengatakan bahwa Miastenia
gravis (MG) adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan kelemahan
patologis yang berfluktuasi dengan remisi dan eksaserbasi yang melibatkan
kelompok otot satu atau beberapa rangka, terutama disebabkan oleh
antibodi terhadap reseptor asetilkolin (ACHR) di lokasi pasca sinaptik dari
sambungan neuromuskuler tanpa adanya gangguan sensorik (Romi, 2005).
Miastenia gravis adalah sutu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu
kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan
secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas, dan
bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan
pulih kembali. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic
transmission atau pada neuromuscular junction (Keesey, 2004).

2. Klasifikasi

Pada bulan Mei 1997, Medical Scientific Advisory Board (MSAB)


dari Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA) membentuk satuan
tugas untuk mengatasi kebutuhan untuk klasifikasi yang diterima secara
universal, sistem grading, dan metode analitik untuk manajemen pasien
yang menjalani terapi dan untuk digunakan dalam uji penelitian terapeutik.
Sebagai hasilnya, Klasifikasi MGFA Klinis diciptakan. Klasifikasi ini

3
membagi MG menjadi 5 kelas utama dan subclass sebagai berikut (Ropper
& Brown, 2005):

Tabel 1. Klasifikasi miastenia gravis menurut Myasthenia Gravis Foundation of


America (MGFA)
Adanya kelemahan otot-otot okullar, kelemahan pada saat menutup mata
Kelas I
dan kekuatan otot-otot lain normal

Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya


Kelas II
kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot okular.

Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga


Kelas Iia
terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan

Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya.


Kelas IIb Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan
dibandingkan klas IIa.

Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-otot


Kelas III
lain selain otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang

Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya


Kelas III a
secara predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan

Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya


Kelas III b secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot
aksial, atau keduanya dalam derajat ringan.

Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat


Kelas IV yang berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam
berbagai derajat

4
Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-
Kelas IV a
otot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan

Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya


secara predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot
Kelas IV b
anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan.
Penderita menggunakan feeding tube tanpa dilakukan intubasi.

Kelas V Penderita ter-intubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.

Terdapat klasifikasi menurut Osserman dimana miastenia gravis dibagi


menjadi:
1. Ocular miastenia
Terkenanya otot-otot mata saja, dengan ptosis dan diplopia sangat
ringan dan tidak ada kematian
2. Generalized myiasthenia
a) Mild generalized myiasthenia
Permulaan lambat, sering terkena otot mata, pelan-pelan meluas ke
otot-otot skelet dan bulber.System pernafasan tidak terkena.Respon
terhadap otot baik.
b) Moderate generalized myasthenia
Kelemahan hebat dari otot-otot skelet dan bulbar dan respon terhadap
obat tidak memuaskan.
3. Severe generalized myasthenia
Acute fulmating myasthenia, Permulaan cepat, kelemahan hebat dari
otot-otot pernafasan, progresi penyakit biasanya komplit dalam 6 bulan.
Respon terhadap obat kurang memuaskan, aktivitas penderita terbatas
dan mortilitas tinggi, insidens tinggi thymoma
4. Late severe myasthenia
Timbul paling sedikit 2 tahun setelah kelompok I dan II progresif dari
myasthenia gravis dapat pelan-pelan atau mendadak, prosentase

5
thymoma kedua paling tinggi. Respon terhadap obat dan prognosis
jelek (Price & Wilson, 2006)

Biasanya gejala-gejala miastenia gravis sepeti ptosis dan strabismus


tidak akan tampak pada waktu pagi hari. Di waktu sore hari atau dalam
cuaca panas, gejala-gejala itu akan tampak lebih jelas. Pada pemeriksaan,
tonus otot tampaknya agak menurun (Goldenberg, 2018).

3. Anatomi dan Fisiologi Neuromuscular Junction


Sebelum memahami tentang Miastenia gravis, pengetahuan tentang
anatomi dan fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting.
Potensial aksi di neuron motorik merambat cepat dari badan sel di dalam
SSP ke otot rangka di sepanjang akson bermielin besar (serat eferen)
neuron. Sewaktu mendekati otot, akson membentuk banyak cabang terminal
dan kehilangan selubung mielinnya. Masing-masing dari terminal akson ini
membentuk persambungan khusus, neuromuscular junction, dengan satu
dari 4 banyak sel otot yang membentuk otot secara keseluruhan. Sel otot,
disebut juga serat otot, berbentuk silindris dan panjang. Terminal akson
membesar membentuk struktur mirip tombol, terminal button yang pas
masuk ke cekungan dangkal, atau groove , di serat otot dibawahnya.
Sebagian ilmuwan menyebut neuromuscular junction sebagai “motor end
plate”(Harsono, 2005).
Pada neuromuscular junction, sel saraf dan sel otot sebenarnya tidak
berkontak satu sama lain. Celah antara kedua struktur ini terlalu besar untuk
memungkinkan transmisi listrik suatu impuls antara keduanya. Karenanya,
seperti di sinaps saraf, terdapat suatu pembawa pesan kimiawi yang
mengangkut sinyal antara ujung saraf dan serat otot. Neurotransmitter ini
disebut sebagai asetilkolin (ACh) (Harsono, 2005).
Membran Pre Synaptic mengandung asetilkolin (ACh) yang
disimpan dalam bentuk vesikel-vesikel. Jika terjadi potensial aksi, maka
Ca+ Voltage Gated Channel akan teraktivasi. Terbukanya channel ini akan

6
mengakibatkan terjadinya influx Calcium. Influx ini akan mengaktifkan
vesikel-vesikel tersebut untuk bergerak ke tepi membran. Vesikel ini akan
mengalami docking pada tepi membran. Karena proses docking ini, maka
asetilkolin yang terkandung di dalam vesikel tersebut akan dilepaskan ke
dalam celah synaptic. ACh yang dilepaskan tadi, akan berikatan dengan
reseptor asetilkolin (AChR) yang terdapat pada membran post-synaptic.
AChR ini terdapat pada lekukan-lekukan pada membran post-synaptic.
AChR terdiri dari 5 subunit protein, yaitu 2 alpha, dan masing-masing satu
beta, gamma, dan delta. Subunit-subunit ini tersusun membentuk lingkaran
yang siap untuk mengikat ACh. Ikatan antara ACh dan AChR akan
mengakibatkan terbukanya gerbang Natrium pada sel otot, yang segera
setelahnya akan mengakibatkan influx Na+. Influx Na+ ini akan
mengakibatkan terjadinya depolarisasi pada membran post-synaptic. Jika
depolarisasi ini mencapai nilai ambang tertentu (firing level), maka akan
terjadi potensial aksi pada sel otot tersebut. Potensial aksi ini akan
dipropagasikan (dirambatkan) ke segala arah sesuai dengan karakteristik sel
eksitabel, dan akhirnya akan mengakibatkan kontraksi. ACh yang masih
tertempel pada AChR kemudian akan dihidrolisis oleh enzim
Asetilkolinesterase (AChE) yang terdapat dalam jumlah yang cukup banyak
pada celah synaptic. ACh akan dipecah menjadi Kolin dan Asam Laktat.
Kolin kemudian akan kembali masuk ke dalam membran pre-synaptic untuk
membentuk ACh lagi. Proses hidrolisis ini dilakukan untuk dapat mencegah
terjadinya potensial aksi terus menerus yang akan mengakibatkan kontraksi
terus menerus (Harsono, 2005).

7
Gambar 1. Anatomi Neuromuskular Junction (JM & E, 2013)

4. Epidemiologi
Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui, dan
dapat terjadi pada berbagai usia. Biasanya penyakit ini lebih sering tampak
pada usia 20-50 tahun. Wanita lebih sering menderita penyakit ini
dibandingkan pria. Rasio perbandingan wanita dan pria yang menderita
miastenia gravis adalah 6 : 4. Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia
yang lebih muda, yaitu sekitar 28 tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini
sering terjadi pada usia 42 tahun. Early-onset miastenia gravis biasanya
terjadi pada wanita pada usia 18-50 tahun dan late-onset miastenia gravis
lebih sering pada laki-laki dengan usia 50 tahun ke atas (JM & E, 2013).

5. Etiologi
Miastenia gravis adalah suatu penyakit autoimun yang berhubungan
dengan penyakit-penyakit lain seperti : tirotoksikosis, miksedema, artritis

8
rematoid dan lupus eritematosus sistemik. Dulu di katakan bahwa IgG
autoimun antibodi merangsang pelepasan thymin, suatu hormon dari
kelenjar timus yang mempunyai kemampuan mengurangi jumlah
asetilkolin. Sekarang dikatakan bahwa miastenia gravis disebabkan oeh
kerusakan reseptor asetilkolin neuromuscular junction akibat penyakit
autoimun. Pada penyakit miastenia gravis yaitu kelemahan otot yang
berbahaya telah ditemukan adanya antibodi yang menduduki reseptor
acetylcholine dari motor end plate sehingga ia tidak dapat menggalakkan
serabut-serabut otot skeletal. Antibodi tersebut dikenal sebagai
antiacetylcholine reseptor antibodi yang terbukti dibuat oleh kelenjar timus
yang dihasilkan oleh proses imunologik. Ketepatan konsep itu telah
dikonfirmasi oleh tindakan operatif menyingkirkan timus (timektomi) untuk
melenyapkan penyakit miastenia gravis. Membran postsinaptik dari sinaps
itu menjadi atrofik akibat reaksi imunologik, karena itu penyerapan
acetylcholine sangat menurun. Lagipula jarak antar membran ujung
terminal akson motoneuron dan membran motor end plate menjadi lebih
panjang sehingga cholinesterase mendapat kesempatan yang lebih besar
untuk menghancurkan lebih banyak acetylcholine sehingga potensial aksi
postsinaptik yang dicetuskan menjadi lebih kecil. Dalam pada itu kontraksi
otot skeletal pertama-tama berlalu secara normal, tetapi kontraksi-kontraksi
berikutnya menjadi semakin lemah dan berakhir pada kelumpuhan total.
Setelah istirahat, kontraksi otot pulih kembali untuk kemudian melemah dan
lumpuh lagi. Kelemahan yang bergelombang seperti itu dikenal sebagai
kelemahan miastenik. Otot-otot yang paling sering dilanda kelemahan
mistenik adalah otot-otot okuler dan otot-otot penelan. Otot-otot anggota
gerak dan pernafasan dapat terkena juga pada tahap lanjut miastenia gravis
(Harsono, 2005).
Pada miastena gravis ciri-ciri imunologik lebih lengkap daripada
penyakit otot lainnya. Gejala tunggal utama adalah kelemahan otot setelah
mengeluarkan tenaga yang sembuh kembali setelah istirahat. Walaupun
kelumpuhan khas itu dapat timbul pada setiap otot terutama otot-otot okuler

9
dan saraf kranial motorik yang sering terkena juga adalah otot wajah dan
otot penelan. Pembuktian etiologi auto-imunologiknya diberikan oleh
kenyataan bahwa glandula timus mempunyai hubungan yang erat. Pada
80% dari penderita mistenia gravis didapati glandula timus yang abnormal.
Kira-kira 10% dari mereka memperlihatkan struktur timoma dan pada
penderita lainnya terdapat infiltrat limfosit pada pusat germinativa di
glandula timus seperti juga ditemukan pada penderita lupus eritematosus
sistemik, tirotoksikosis, miksedema, penyakit Addison dan anemia hemolitik
eksperimental pada tikus. Gambaran histologik otot yang terkena terdiri dari
reaksi CMI. Antibodi dan faktor rheumatoid kedua-duanya ditemukan pada
maworitas penderita miastenia gravis. Kombinasi dengan arthritis
rheumatid, lupus, anemia pernisiosa, sarkoidosis, Hodgkin dan tiroidits
sering dijumpai pada beberapa penderita miastenia gravis (Harsono, 2005).

6. Patofisiologi
Kelemahan pada otot-otot pada miastenia gravis dan meningkatnya
kelemahan otot pada saat melakukan kegiatan fisik adalah disebabkan oleh
penurunan jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction. Pada
orang normal waktu untuk kegiatan fisik adalah lebih lama dibandingkan
waktu yang dibutuhkan untuk pemulihan kekuatan otot atau istirahat,
sebaliknya pada miastenia gravis justru waktu yang dibutuhkan untuk
istirahat adalah lebih lama dibandingkan dengan waktu yang dibutuhkan
untuk kegiatan fisik (Shah, 2016).
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting
pada patofisiologi miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal
ini mencakup timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang
menderita miastenia gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus
eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain. Sejak tahun 1960, telah
didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada serum penderita miastenia
gravis secara langsung melawan konstituen pada otot. Hal inilah yang
memegang peranan penting pada melemahnya otot penderita dengan

10
miastenia gravis. Tidak diragukan lagi, bahwa antibodi pada reseptor
nikotinik asetilkolin merupakan penyebab utama kelemahan otot pasien
dengan miastenia gravis. Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti-
AChRs), telah dideteksi pada serum 90% pasien yang menderita acquired
myasthenia gravis generalisata. Mekanisme pasti tentang hilangnya
toleransi imunologik terhadap reseptor asetilkolin pada penderita miastenia
gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti. Miastenia gravis dapat
dikatakan sebagai “penyakit terkait sel B”, dimana antibodi yang merupakan
produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T pada
patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol. Timus merupakan
organ sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel T. Abnormalitas
pada timus seperti hiperplasia timus atau thymoma, biasanya muncul lebih
awal pada pasien dengan gejala miastenik. Pada pasien miastenia gravis,
antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai subklas yang berbeda, dimana
satu antibodi secara langsung melawan area imunogenik utama pada subunit
alfa. Subunit alfa juga merupakan binding site dari asetilkolin (Phillips,
2016). Ikatan antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan
mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui beberapa
cara, antara lain : ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi anti-
reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada
neuromuscular junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan
pada membran post sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang
dapat digunakan untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin yang baru
disintesis (Price, 2006).

7. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis miastenia gravis sangat jelas yaitu dari kelemahan
lokal yang ringan sampai pada kelemahan tubuh menyeluruh yang fatal.
Kira-kira 33% hanya terdapat gejala kelainan okular disertai dengan
kelemahan otot-otot lainnya. Kira-kira 15% ditemukan kelemahan
ektremitas tanpa disertai dengan gejala kelainan okular. Yang lainnya kira-

11
kira 20% penderita didapati kesulitan mengunyah dan menelan. Anamnesis
yang klasik dari penderita dengan miastenia okular adalah adanya gejala
diplopia yang timbul pada sore hari atau pada waktu maghrib dan
menghilang pada waktu pagiharinya. Dapat pula timbul ptosis pada otot-
otot kelopak mata. Bila otot-otot bulbar terkena, suaranya menjadi suara
basal yang cenderung berfluktuasi dan suara akan memburuk bila
percakapan berlangsung terus. Pada kasus yang berat akan terjadi afoni
temporer. Adanya kelemahan rahang yang progresif pada waktu mengunyah
dan penderita seringkali menunjang rahangnya dengan tangan sewaktu
mengunyah. Keluhan lainnya adalah disfagia dan regurgitasi makanan
sewaktu makan (Peeler, 2015).
Ptosis yang merupakan salah satu gejala kelumpuhan nervus
okulomotorius sering menjadi keluhan utama penderita miastenia gravis.
Walaupun otot levator palpebra jelas lumpuh pada miastenia gravis, otot-
otot okuler adakalanya masih bisa bergerak normal, tetapi pada tahap lanjut
kelumpuhan otot okuler kedua belah sisi akan melengkapi ptosis. Ptosis
miastenia gravis yang ringan dapat diperjelas dengan test Wartenberg,
dengan test tersebut pasien di suruh menatapkan kedua matanya pada
sesuatu yang berada sedikit lebih tinggi dari matanya. Pada ptosis miastenik,
kedua kelopak mata atas akan lebih tinggi dari matanya dan akan menurun
1-2 menit setelah menjalani test tersebut. Setelah bekerja secara bertenaga
ptosis akan timbul dengan jelas. Mula timbulnya dengan ptosis (90%)
unilateral atau bilateral. Setelah beberapa minggu sampai bulan ptosisi dapat
dilengkapi dengan diplopia (paralisis okuler) dan suara sengau (paralisis
palatum mole). Kelumpuhan-kelumpuhan bulbar itu timbul setiap hari
menjelang sore. Tetapi lama kelamaan kelumpuhan bulbar dapat bangkit
juga pada pagi hari sehingga boleh dikatakan sepanjang hari orang sakit
tidak bebas dari kesulitan penglihatan (karena diplopia dan ptosis) dan
kesulitan menelan/mengunyah. Penderita berkunjung ke dokter untuk
pengobatan karena diplopia yang sangat mengganggu. Kelemahan otot non
bulbar baru dijumpai pada tahap yang sudah lanjut sekali. Yang pertama

12
terkena adalah otot-otot leher, sehingga kepala harus ditegakkan dengan
tangan, kemudian otot-otot anggota gerak berikut otot-otot interkostal.
Atropi otot dapat ditemukan pada permulaan, tetapi selanjutnya tidak lebih
memburuk lagi (Shah, 2016).
Penyakit miastenia gravis biasanya mulai tampak pada umur 20-40
tahun. Gejala utama pada penyakit ini adalah timbulnya kelemahan otot bila
otot tersebut digunakan terus menerus. Otot mata yang sering terkena
sehingga timbul ptosis dan strabismus. Selain itu juga dapat timbul
kelemahan pada otot masseter, sehingga mulut penderita sukar untuk
menutup. Selain itu juga dapat pula timbul kelemahan faring, lidah, palatum
molle dan laring sehingga timbulnya kesukaran untuk menelan dan
kesukaran untuk bicara. Parese dari palatum molle akan menimbulkan suara
sengau, selain itu bicaranya juga menjadi kurang jelas. Biasanya gejala-
gejala miastenia gravis seperti ptosis dan strabismus akan tampak dengan
jelas pada sore hari dan pada cuaca panas, pada pemeriksaan tonus otot
tampak agak menurun (Drachmahn, 2012).

Gejala klinis miastenia gravis antara lain :

 Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis. Ptosis yang merupakan salah
satu gejala kelumpuhan nervus okulomotorius, seing menjadi keluhan
utama penderita miastenia gravis. Walupun pada miastenia gravis otot
levator palpebra jelas lumpuh, namun ada kalanya otot-otot okular masih
bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua
belah sisi akan melengkapi ptosis miastenia gravis. Kelemahan otot bulbar
juga sering terjadi, diikuti dengan kelemahan pada fleksi dan ekstensi
kepala.

13
Gambar 2. Penderita Miastenia Gravis yang mengalami kelemahan otot esktraokula/
ptosis (Drachmahn, 2012).

 Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin


memburuk. Kelemahan tersebut akan menyebar mulai dari otot ocular, otot
wajah, otot leher, hingga ke otot ekstremitas.

Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter


sehingga mulut penderita sukar untuk ditutup. Selain itu dapat pula timbul
kelemahan dari otot faring, lidah, pallatum molle, dan laring sehingga
timbullah kesukaran menelan dan berbicara. Paresis dari pallatum molle
akan menimbulkan suara sengau. Selain itu bila penderita minum air,
mungkin air itu dapat keluar dari hidungnya (Shah, 2016).

8. Penegakan Diagnosis
a. Anamnesis
Adanya kelemahan/ kelumpuhan otot yang berulang setelah aktivitas
dan membaik setelah istirahat. Tersering menyerang otot-otot mata
(dengan manifestasi: diplopi atau ptosis), dapat disertai kelumpuhan
anggota badan (terutama triceps dan ekstensor jari-jari),
kelemahan/kelumpuhan otot-otot yang dipersarafi oleh nervi cranialis,
dapat pula mengenai otot pernafasan yang menyebabkan penderita bisa
sesak.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan
diagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan otot bulbar sering terjadi

14
pada penderita dengan miastenia gravis yang bermanifestasi sebagai
ptosis, diplopia, atau strabismus. Selain itu, miastenia gravis biasanya
selalu disertai dengan adanya kelemahan pada otot wajah. Kelemahan otot
wajah bilateral akan menyebabkan timbulnya a mask-like face dengan
adanya ptosis dan senyum yang horizontal. Terdapat kelemahan otot-otot
palatum, yang menyebabkan suara penderita seperti berada di hidung
(nasal twang to the voice) serta regurgitasi makanan terutama yang bersifat
cair ke hidung penderita. Selain itu, penderita miastenia gravis akan
mengalami kesulitan dalam mengunyah serta menelan makanan, sehingga
dapat terjadi aspirasi cairan yang menyebabkan penderita batuk dan
tersedak saat minum. Kelemahan otot-otot rahang pada miastenia gravis
menyebakan penderita sulit untuk menutup mulutnya, sehingga dagu
penderita harus terus ditopang dengan tangan. Otot-otot leher juga
mengalami kelemahan, sehingga terjadi gangguan pada saat fleksi serta
ekstensi dari leher (Howard, 2015).
Kelemahan otot dapat muncul dalam berbagai derajat yang berbeda,
biasanya mengenai bagian proksimal dari tubuh serta simetris di kedua
anggota gerak kanan dan kiri. Refleks tendon biasanya masih ada dalam
batas normal. (Howard , 2015).
Otot-otot anggota tubuh tertentu mengalami kelemahan lebih sering
dibandingkan otot-otot anggota tubuh yang lain, dimana otot-otot anggota
tubuh atas lebih sering mengalami kelemahan dibandingkan otot-otot
anggota tubuh bawah. Deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot
pergelangan tangan serta jari-jari tangan sering kali mengalami
kelemahan. Otot trisep lebih sering terpengaruh dibandingkan otot bisep.
Pada ekstremitas bawah, sering kali terjadi kelemahan saat melakukan
fleksi panggul, serta melakukan dorsofleksi jari-jari kaki dibandingkan
dengan melakukan plantarfleksi jari-jari kaki (Howard, 2015).
Kelemahan otot-otot pernapasan dapat menyebabkan gagal napas
akut, dimana hal ini merupakan suatu keadaan gawat darurat dan tindakan
intubasi cepat sangat diperlukan. Kelemahan otot-otot interkostal serta

15
diafragma dapat menyebabkan retensi karbondioksida sehingga akan
berakibat terjadinya hipoventilasi. Kelemahan otot-otot faring dapat
menyebabkan kolapsnya saluran napas atas, pengawasan yang ketat
terhadap fungsi respirasi pada pasien miastenia gravis fase akut sangat
diperlukan (Howard, 2015).
Biasanya kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris.
Kelemahan sering kali mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular,
dan tidak hanya terbatas pada otot yang diinervasi oleh satu nervus
cranialis. Hal ini merupakan tanda yang sangat penting untuk
mendiagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan pada muskulus rektus
lateralis dan medialis akan menyebabkan terjadinya suatu
pseudointernuclear ophthalmoplegia, yang ditandai dengan terbatasnya
kemampuan adduksi salah satu mata yang disertai nistagmus pada mata
yang melakukan abduksi (Howard , 2015).
c. Tes klinik sederhana
Untuk penegakan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan
pemeriksaan sebagai berikut:
1) Tes pita suara : Penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara
yang keras. Lama kelamaan akan terdengar bahwa suaranya bertambah
lemah dan menjadi kurang terang. Penderita menjadi anartri dan afoni.
2) Tes watenberg/simpson test : memandang objek di atas bidang antara
kedua bola mata > 30 detik, lama-kelamaan akan terjadi ptosis (tes positif).
Setelah suara penderita menjadi parau atau tampak ada ptosis, maka
penderita disuruh beristirahat.. Kemudian tampak bahwa suaranya akan
kembali baik dan ptosis juga tidak tampak lagi.
d. Tes Farmakologik
Untuk memastikan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan
beberapa tes antara lain:
1) Uji Tensilon (edrophonium chloride), untuk uji tensilon, disuntikkan
2 mg tensilon secara intravena, bila tidak terdapat reaksi maka disuntikkan
lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena. Segera sesudah tensilon

16
disuntikkan hendaknya diperhatikan otot-otot yang lemah seperti misalnya
kelopak mata yang memperlihatkan ptosis. Bila kelemahan itu benar
disebabkan oleh miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada
uji ini kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan sangat
seksama, karena efektivitas tensilon sangat singkat.
2) Uji Prostigmin (neostigmus), pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg
prostigmin methylsulfat secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula
atropin 0,5 mg). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia
gravis maka gejala-gejala seperti misalnya ptosis, strabismus atau
kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap.
3) Uji Kinin, diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam
kemudian diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Bila
kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala seperti
ptosis, strabismus, dan lain-lain akan bertambah berat. Untuk uji ini,
sebaiknya disiapkan juga injeksi prasiigmin, agar gejala-gejala miastenik
tidak bertambah berat.

e. Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis Pasti


1) Pemeriksaan Laboratorium
Anti-asetilkolin reseptor antibodi
Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu
miastenia gravis, dimana terdapat hasil yang positif pada 74% pasien. 80%
dari penderita miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan
miastenia okular murni menunjukkan hasil tes anti asetilkolin reseptor
antibodi yang positif. Pada pasien thymoma tanpa miastenia gravis sering
kali terjadi false positive anti-AChR antibody (Howard, 2015).

Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.


Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-
AChR Ab negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang
positif untuk anti-MuSK Ab.

17
2) Imaging
Chest x-ray (foto roentgen thorak), dapat dilakukan dalam posisi
anteroposterior dan lateral. Pada roentgen thorak, thymoma dapat
diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior mediastinum.
Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya
thymoma ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest Ct-
scan untuk mengidentifikasi thymoma pada semua kasus miastenia
gravis, terutama pada penderita dengan usia tua. MRI pada otak dan
orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin. MRI dapat
digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat ditegakkan
dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab
defisit pada saraf otak.
3) Pendekatan Elektrodiagnostik
Pendekatan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada
transmisi neuromuscular melalui 2 teknik :
a. Repetitive Nei~ve Stimulation (RNS), pada penderita miastenia
gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga pada
RNS tidak terdapat adanya suatu potensial aksi.
b. Single-fiber Electromyography (SFEMG), menggunakan jarum
single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat
otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu titter (variabilitas
pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal
pada motor unit yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial
aksi dari serat otot tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam).
SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular
fiber berupa peningkatan titter dan fiber density yang normal.

18
9. Diagnosis Banding
Beberapa diagnosis banding untuk menegakkan diagnosis miastenia gravis,
antara lain: Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi
nervus III pada beberapa penyakit selain miastenia gravis, antara lain:
a. Meningitis basalis (tuberkulosa atau luetika)
b. Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring
c. Aneurisma di sirkulus arteriosus Willisii
d. Paralisispascadifteri
e. Pseudoptosis pada trachoma
Apabila terdapat suatu diplopia yang transient maka kemungkinan adanya
suatu sklerosis multipleks. Sindrom Eaton-Lambert (Lambert Eaton
Myasthenic Syndrome) Penyakit ini dikarakteristikkan dengan adanya
kelemahan dan kelelahan pada otot anggota tubuh bagian proksimal dan
disertai dengan kelemahan relatif pada otot-otot ekstraokular dan bulbar.
Pada LEMS, terjadi peningkatan tenaga pada detik-detik awal suatu
kontraksi volunter, terjadi hiporefleksia, mulut kering, dan sering kali
dihubungkan dengan suatu karsinoma terutama oat cell carcinoma pada
paru. EMG pada LEMS sangat berbeda dengan EMG pada miastenia gravis.
Defek pada transmisi neuromuscular terjadi pada frekuensi renah (2Hz)
tetapi akan terjadi ahmbatan stimulasi pada frekuensi yang tinggi (40 Hz).
Kelainan pada miastenia gravis terjadi pada membran postsinaptik
sedangkan kelainan pada LEMS terjadi pada membran pre sinaptik, dimana
pelepasan asetilkolin tidak berjalan dengan normal, sehingga jumlah
asetilkolin yang akhirnya sampai ke membran postdinaptik tidak mencukupi
untuk menimbulkan depolarisasi.

10. Terapi

Meskipun tidak ada penelitian tentang obat yang telah dilaporkan dan
tidak ada konsensus yang jelas pada strategi pengobatan, myasthenia gravis
(MG) adalah salah satu gangguan neurologis yang paling dapat diobati.

19
Beberapa faktor (misalnya, tingkat keparahan, distribusi, kecepatan
perkembangan penyakit) harus dipertimbangkan sebelum terapi dimulai
atau diubah. Terapi Farmakologis termasuk obat antikolinesterase dan agen
imunosupresif, seperti kortikosteroid, azatioprin, siklosporin, plasmaferesis,
dan immune globulin intravena (IVIG) (Goldenberg, 2018).
a. Antikolinesterase
Pyridostigmine bekerja pada otot polos, sistem saraf pusat (SSP),
dan kelenjar sekretori, kerjanya memblok AChE. Agen intermediate-
acting, lebih disukai dalam penggunaan klinis daripada “short-acting”
bromida neostigmine dan “long acting” klorida ambenonium. Bekerja
dalam 30-60 menit, efek berlangsung 3-6 jam. MG tidak mempengaruhi
semua otot rangka yang sama, dan semua gejala mungkin tidak dapat
dikendalikan tanpa efek samping. Pada pasien kritis atau pasca operasi,
obat diberikan secara intravena (IV). Di Amerika Serikat, pyridostigmine
tersedia dalam 3 bentuk: 60-mg tab, 180-mg timespan tablet, dan 60 mg/5
ml sirup. Dapat diberikan piridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam
atau neostigmin bromida 15-45 mg per oral tiap 3 jam.
Efek samping pemberian antikolinesterase disebabkan oleh
stimulasi parasimpatis,termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi
berkebihan, berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan. Efek
samping gastro intestinal (efek samping muskarinik) berupa kram atau
diare dapat diatasi dengan pemberian propantelin bromida atau atropin.
Penting sekali bagi pasien-pasien untuk menyadari bahwa gejala-gejala
ini merupakan tanda terlalu banyak obat yang diminum, sehingga dosis
berikutnya harus dikurangi untuk menghindari krisis kolinergik
(Goldenberg, 2018).
b. Neostigmine
Neostigmine menghambat penghancuran AcH oleh AChE, sehingga
memfasilitasi transmisi impuls di NMJ. Ini adalah AChE inhibitor short-
acting yang tersedia dalam bentuk oral (15 mg tablet) dan bentuk yang
sesuai untuk jalur IV, intramuskular (IM), atau subkutan (SC). Waktu

20
paruhnya 45-60 menit. Obat ini sulit diserap dalam saluran
gastrointestinal (GI) dan harus digunakan hanya jika pyridostigmine
tidak ada.
Apabila diperlukan, neostigmin metilsulfat dapat diberikan secara
subkutan atau intramuskularis (15 mg per oral setara dengan 1 mg
subkutan/intramuskularis), didahului dengan pemberian atropin 0,5-1,0
mg. Neostigmin dapat menginaktifkan atau menghancurkan
kolinesterase sehingga asetilkolin tidak segera dihancurkan. Akibatnya
aktifitas otot dapat dipulihkan mendekati normal, sedikitnya 80-90% dari
kekuatan dan daya tahan semula. Karena neostigmin cenderung paling
mudah menimbulkan efek muskarinik, maka obat ini dapat diberikan
lebih dulu agar pasien mengerti bagaimana sesungguhnya efek samping
tersebut (Goldenberg, 2018).

c. Steroid
Kortikosteroid adalah agen anti-inflamasi dan imunomodulasi
digunakan untuk mengobati idiopatik dan gangguan autoimun. Obat ini
termasuk di antara para agen imunomodulasi yang pertama kali
digunakan untuk mengobati MG dan masih sering digunakan dan efektif.
Obat ini biasanya digunakan dalam kasus sedang atau berat yang tidak
merespon terhadap AChE inhibitor dan thymectomy. Pengobatan jangka
panjang dengan kortikosteroid efektif dan dapat menyebabkan remisi
atau menyebabkan perbaikan pada kebanyakan pasien. Perburukan
mungkin terjadi awalnya, perbaikan klinis ditunjukkan setelah 2-4
minggu.Agen ini biasanya diberikan lebih dari 1 atau 2 tahun. Remisi
didapatkan 30% dan perbaikan 40%.Kortikosteroid bekerja di kedua MG
baik ocular MG maupun MG generalisata. Mereka dapat dikombinasikan
dengan obat imunosupresif lainnya untuk efek yang lebih baik dengan
dosis lebih rendah dan durasi yang lebih singkat.
Di antara preparat steroid, prednisolon paling sesuai untuk miastenia
gravis, dan diberikan sekali sehari secara selang-seling (alternate days)

21
untuk menghindari efek samping. Dosis awalnya harus kecil (10 mg) dan
dinaikkan secara bertahap (5-10 mg/minggu) untuk menghindari
eksaserbasi sebagaimana halnya apabila obat dimulai dengan dosis
tinggi. Peningkatan dosis sampai gejala-gejala terkontrol atau dosis
mencapai 120 mg secara selang-seling. Pada kasus yang berat,
prednisolon dapat diberikan dengan dosis awal yang tinggi, setiap hari,
dengan memperhatikan efek samping yang mungkin ada. Hal ini untuk
dapat segera memperoleh perbaikan klinis. Disarankan agar diberi
tambahan preparat kalium. Apabila sudah ada perbaikan klinis maka
dosis diturunkan secara perlahan-lahan (5 mg/bulan) dengan tujuan
memperoleh dosis minimal yang efektif. Perubahan pemberian
prednisolon secara mendadak harus dihindari (Goldenberg, 2018).
d. Imunosupresan
1. Azatioprin
Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga memberikan
hasil yang baik, efek sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan
steroid dan terutama berupa gangguan saluran cerna, peningkatan
enzim hati, dan leukopenia. Obat ini diberikan dengan dosis 2,5
mg/kg BB selama 8 minggu pertama. Pemberian prednisolon
bersama-sama dengan azatioprin sangat dianjurkan. Karena efek
samping kortikosteroid, klinisi dan dokter seringkali menggunakan
steroid-sparing medications, Azathioprine digunakan bersama-sama
dengan kortikosteroid, bukan sebagai monoterapi.
2. Cyclosporine
Penggunaan cyclosporine (dosis: 2,5 mg/KgBB/hari PO dibagi 2 x
sehari; setelah 4 minggu, dosis dapat dinaikkan 0,5 mg/KgBB/hari
dengan interval 2 minggu, sampai dosis maksimum 4
mg/KgBB/hari) dan cyclophosphamide dapat digunakan oleh dokter
yang benar-benar paham efek samping dan dapat memonitor
(tekanan darah, CBC, asam urat, potassium, lipid, magnesium,
serum creatinine dan BUN) pasien secara ketat (setiap 2 minggu

22
selama 3 bulan pertama terapi, lalu setiap bulan jika pasien sudah
stabil) (Goldenberg, 2018).
e. Imunoglobulin
IVIG direkomendasikan untuk MG krisis, pada pasien dengan
kelemahan berat yang kurang terkontrol dengan agen lainnya, atau
sebagai pengganti dari pertukaran plasma dengan dosis 1 g / kg.IVIG
efektif dalam MG sedang atau berat yang memburuk menjadi krisis.
Dosis tinggi IVIG berhasil pada MG, meskipun mekanisme kerja tidak
diketahui. Hal ini digunakan dalam manajemen krisis (misalnya,
myasthenic krisis dan periode perioperatif) bukan atau dalam kombinasi
dengan plasmapheresis. Seperti plasmapheresis, ia memiliki onset yang
cepat, tetapi efek berlangsung hanya dalam waktu singkat.
f. Plasmaparesis
Plasmaparesis (pertukaran plasma) dipercaya bekerja dengan
menghilangkan faktor humoral (yaitu, anti-ACHR antibodi dan
kompleks imun) dari sirkulasi. Hal ini digunakan sebagai tambahan
untuk terapi imunomodulator lain dan sebagai alat untuk manajemen
krisis. Seperti IVIG, plasmaferesis umumnya digunakan untuk
myasthenic krisis dan kasus-kasus refrakter. Perbaikan terjadi dalam
beberapa hari, tetapi tidak berlangsung lebih dari 2 bulan. Plasmaferesis
merupakan terapi efektif untuk MG, terutama dalam persiapan untuk
operasi atau jangka pendek pengelolaan eksaserbasi.
g. Thymectomy (Surgical Care)
Tindakan bedah pada miastenia gravis adalah timektomi. Ini
terutama diindikasikan pada penderita-penderita wanita muda dengan
riwayat yang kurang dari 5 tahun menderita miastenia gravis.
Thimektomi merupakan pilihan pengobatan yang penting dalam
myasthenia gravis (MG),terutama jika ditemukan adanya thymoma.
Telah diusulkan sebagai terapi lini pertama pada kebanyakan pasien
dengan myasthenia gravis (MG) umum. Thimectomi dapat menyebabkan
remisi. American Association of Neurology merekomendasikan

23
thimectomi untuk nonthymomatous pasien myasthenia gravis (MG)
autoimun. Thimectomi direkomendasikan sebagai pilihan untuk
meningkatkan kemungkinan remisi atau perbaikan (Goldenberg, 2018).
11. Prognosis
a. Tanpa pengobatan angka kematian MG 25-31%
b. MG yang mendapat pengobatan, angka kematian 4%
c. 40% hanya gejala okuler.
Dalam myasthenia gravis (MG) okuler, lebih dari 50% kasus
berkembang ke myasthenia gravis (MG) umum dalam waktu satu tahun,
remisi spontan <10%. Sekitar 15-17% pasien akan tetap mengalami
gejala okular selama masa tindak lanjut rata-rata hingga 17 tahun.
Pasien-pasien ini disebut sebagai myasthenia gravis (MG) okular.
Sisanya mengembangkan kelemahan umum dan disebut sebagai
generalized myasthenia gravis (MG). Sebuah studi dari 37 pasien
myasthenia gravis (MG) menunjukkan bahwa kehadiran thymoma
terkait dengan gejala yang lebih buruk (Goldenberg, 2018).

24
BAB III

KESIMPULAN

Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu
kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara
terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Penyakit ini timbul
karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular
junction.

Sebelum memahami tentang miastenia gravis, pengetahuan tentang anatomi


dan fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting. Membran
presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik (membran otot), dan celah
sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk neuromuscular junction.

Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada


patofisiologi miastenia gravis, dimana antibodi yang merupakan produk dari sel B
justru melawan reseptor asetilkolin.

Penatalaksanaan miastenia gravis dapat dilakukan dengan obat-obatan,


thymomectomy ataupun dengan imunosupresif terapi yang dapat memberikan
prognosis yang baik pada kesembuhan miastenia gravis.

25
DAFTAR PUSTAKA

Drachmahn DB., 2012. Myasthenia Gravis and Other Diseases of The


Neuromuscular Junction. Dalam: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL,
Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison’s Principle of Internal Medicine. Edisi ke-
18. New York: McGraw Hill.

Eric M, Eliahu S, Feen, Jose I., 2008. Myasthenia Gravis Crisis. Southern Medical
Journal.

Goldenberg, William. Myasthenia Gravis. 27 Agustus 2018. Diunduh dari


http://emedicine.medscape.com/article/1171206-overview, 12 December 2018.

Harsono. 2005. Buku Ajar Neurologi Klinik PERDOSSI. Yogyakarta: Gadjah


Mada University Press.

Howard, JF (2015). Myasthenia Gravis, a Summary. Available at:


http://www.ninds.nih.gov/disorders/myasthenia_gravis/detail_myasthenia_gravis.
htm. diakses pada 12 Desember 2018

JM, S., & E, C., 2013. Myastenia Gravis Five New Things. American Academy of
Neurology .

Peeler CE, De Lott LB, Nagia L, Lemos J, Eggenberger ER, Cornblath WT. 2015.
Clinical utility of achetylcholine receptor antibody testing in ocular myasthenia
gravis. JAMA Neurology..

Phillips WD, Vincent A., 2016. Pathogenesis of myasthenia gravis: update on


disease types, models, and mechanisms.F1000 Research.

Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M., 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit ed. 6 vol.2. EGC. Jakarta.

Romi, Gilhus, Aarli., 2005. Myasthenia gravis: clinical, immunological,and


therapeutic advances. Acta Neurol Scand.

26
Ropper A, Brown R, eds. Adam and Victor’s., 2005. Myasthenia Gravis and
Related Disorders of The Neuromuscular Junction Principles of Neurology 8thed.
McGraw Hill.
Shah AK, Goldenberg WD. Myasthenia gravis [internet]. New York: MedScape;
2016. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/1 171206-overview. 8
Agustus 2016.

27

Anda mungkin juga menyukai