Anda di halaman 1dari 8

PEMBAGIAN HADITS

A. Pembagian Hadits sari segi Kuantitas Perawi


Para ulama hadits berbeda pendapat tentang pembagian hadits ditinjau dari aspek
kuantitas atau jumlah perawi yang menjadi sumber berita. Diantara mereka ada yang
mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadits mutawatir, masyhur, dan ahad. Ada juga
yang menbaginya menjadi dua, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad. Ulama golongan
pertama, menjadikan hadits masyhur sebagai berdiri sendiri, tidak termasuk ke dalam hadits
ahad, ini dispnsori oleh sebagian ulama ushul seperti diantaranya, Abu Bakr Al-Jashshash (305-
370 H). Sedangkan ulama golongan kedua diikuti oleh sebagian besar ulama ushul (ushuliyyun)
dan ulama kalam (mutakallimun). Menurut mereka, hadits masyhur bukan merupakan hadits
ynag berdiri sendiri, akan tetapi hanya merupakan bagian hadits ahad. Mereka membagi hadits
ke dalam dua bagian, yaitu hadits mutawatir dan ahad.1
1. Hadits Mutawatir
a. Pengertian Hadits Mutawatir
Secara etimologi, kata mutawatir berarti : Mutatabi’ (beriringan tanpa jarak). Dalam
terminologi ilmu hadits, ia merupakan haidts yang diriwayatkan oleh orang banyak, dan
berdasarkan logika atau kebiasaan, mustahil mereka akan sepakat untuk berdusta.
Periwayatan seperti itu terus menerus berlangsung, semenjak thabaqat yang pertama sampai
thabaqat yang terakhir.
Dari redaksi lain pengertian mutawatir adalah :

‫موطاَ َوكاَون َوعمن َ وممهسموسس َأومخبَوطور َبتته َوجطوطاَوعـة َوبل طوغَهمواَ َتفط َاَملْك طوثَمطورتة َوممبَطولغَطـطاَ َ هتتميطهل َاَملْوعطاَودوة َتوطوواَطهطهؤههمم‬
‫ب‬‫وعلطىَ َاَملْك طتذ ت‬
‫و و‬
Hadits yang berdasarkan pada panca indra (dilihar atau didengar) yang diberitakan
oleh segolongan orang yang mencapai jumlah banyak yang mustahil menurut tradisi mereka
sepakat berbohong.2
Ulama mutaqaddimin berbeda pendapat dengan ulama muta’akhirin tentang syarat-
syarat hadits mutawatir. Ulama mutaqaddimin berpendapat bahwa hadits mutawatir tidak
termasuk dalam pembahasan ilmu isnad al-hadits, karena ilmu ini membicarakan tentang
shahih tidaknya suatu khabar, diamalkan atau tidak, adil atau tidak perawinya. Sementara
dalam hadits mutawatir masalah tersebut tidak dibicarakan. Jika sudah jelas statusnya
sebagai hadits mutawatir, maka wajib diyakini dan diamalkan.3
b. Syarat Hadits Mutawatir
1) Hadits Mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi, dan
dapat diyakini bahwa mereka tidak mungkin sepakat untuk berdusta. Ulama berbeda
pendapat tentang jumlah minimal perawi. Al-Qadhi Al-Baqilani menetapkan bahwa
jumlah perawi hadits mutawatir sekurang-kurangnya 5 orang, alasannya karena jumlah
Nabi yang mendapat gelar Ulul Azmi sejumlah 5 orang. Al-Istikhari menetapkan
minimal 10 orang, karena 10 itu merupakan awal bilangan banyak. Demikian seterusnya
sampai ada yang menetapkan jumlah perawi hadits mutawatir sebanyak 70 orang.
2) Adanya keseimbangan antara perawi pada thabaqat pertama dan
thabaqat berikutnya. Keseimbangan jumlah perawi pada setiap thabaqat merupakan
salah satu persyaratan.
3) Berdasarkan tanggapan pancaindra
Berita yang disampaikan para perawi harus berdasarkan pancaindera. Artinya,
harus benar-benar dari hasil pendengaran atau penglihatan sendiri. Oleh karena itu,
1
M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, Jakarta, Gaung Persda Pres, 2008. hlm. 86.
2
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (cetakan ke 4) Jakarta: Amazon, 2010. hlm. 131.
3
M. Noor Sulaiman. Loc.cit., hlm 86.
apabila berita itu merupakan hasil renungan, pemikiran, atau rangkuman dari suatu
peristiwa lain, atau hasil istinbath dari dalil yang lain, maka tidak dapat dikatakan hadits
mutawatir.4
c. Macam-macam mutawatir
Hadits mutawatir ada tiga macam, yaitu :
1) Hadits mutawatir Lafzhi, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan lafaz dan
makna yang sama, serta kandungan hokum yang sama, contoh :

‫ب َوعلوني َفطومليوتوبَوطنومأ َوممقوعودهه َتمون َاَلْنناَتر‬ ‫ذ‬


‫و‬ ‫ك‬
‫و‬ َ ‫ن‬ ‫م‬
‫وم وو و وم و‬َ ‫م‬‫ن‬‫ل‬ ‫س‬‫و‬ ‫قطاَول َرسوهل َاَل َعلوي ت‬
َ ‫ه‬ ‫و و هم‬
Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang ini sengaja berdusta atas namaku, maka
hendaklah dia siap-siap menduduki tempatnya di atas api neraka.

Menurut Al-Bazzar, hadits ini diriwayatkan oleh 40 orang sahabat. Al-Nawawi


menyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh 200 orang sahabat.
2) Hadits Mutawatir Ma’nawi, yaitu hadits mutawatir yang berasal dari
berbagai hadits yang diriwayatkan dengan lafaz yang berbeda-beda, tetapi jika
disimpulkan, mempunyai makna yang sama tetapi lafaznya tidak. Contoh hadits yang
meriwayatkan bahwa Nabu Muhammad SAW mengangkat tangannya ketika berdo’a.

‫قاَل َاَبو َمسىَ َم َرفع َرسططول َاَلط َصطلىَ َعليطه َوسطلم َيطديه َحطت َرؤي َبيططاَض َاَبطططه َفط‬
(‫شئ َمن َدعاَئه َإل َف َاَلستسقاَء َ)رواَه َاَلْبَخاَرى َومسلم‬
Abu Musa Al-Asy’ari berkata bahwa Nabi Muhammad SAW, tidak pernah mengangkat
kedua tangannya dalam berdo’a hingga nampak putih kedua ketiaknya kecuali saat
melakukan do’a dalam sholat istisqo’ (HR. Bukhori dan Muslim)

3) Hadits Mutawatir ‘Amali, yakni amalan agama (ibadah) yang dikerjakan


oleh Nabi Muhammad SAW, kemudian diikuti oleh para sahabat, kemudian diikuti lagi
oleh Tabi’in, dan seterusnya, diikuti oleh generasi sampai sekarang. Contoh, hadits-
hadits nabi tentang shalat dan jumlah rakaatnya, shalat id, shalat jenazah dan sebagainya.
Segala amal ibadah yang sudah menjadi ijma’ di kalangan ulama dikategorikan sebagai
hadits mutawatir ‘amali.
Mengingat syarat-syarat hadits mutawatir sangat ketat, terutama hadits mutawatir lafzhi,
maka Ibn Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutwatir lafzhi tidak mungkin ada.
Pendapat mereka dibantah oleh Ibn Shalah. Dia menyatakan bahwa hadits mutawatir (termasuk
yang lafzhi) memang ada, hanya jumlahnya sangat terbatas. Menurut Ibn Hajar Al-Asqolani,
Hadits mutawatir jumlahnya banyak, namun untuk mengetahuinya harus dengan cara
menyelidiki riwayat-riwayat hadits serta kelakuan dan sifat perawi, sehingga dapat diketahui
dengan jelas kemustahilan perawi untuk sepakat berdusta terhadap hadits yang diriwayatkannya.
Kitab-kitab yang secara khusus memuat hadits-hadits mutawatir adalah sebagai berikut :
1) Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Mutawatirah, yang dsusun oleh Imam Suyuthi.
Muhammad ‘Ajaj Al-Khatib, kitab ini memuat 1513 hadits.
2) Nazhm Al-Mutanatsirah min Al- Hadits al Mutawatir yang disusun oleh Muhammad bin
Ja’far Al-Kattani (w. 1345 H)5
2. Hadits Ahad
Kata ahad merupakan bentuk plural dari kata wahid. Kata wahid berarti “satu” jadi, kara
ahad berarti satuan, yakni angka bilangan dari satu sampai sembilan. Menurut istilah hadits ahad
berarti hadits yagn diriwayatkan oleh orang perorangan, atau dua orang atau lebih akan tetapi

4
Ibid, hlm. 88
5
Ibid. Hlm. 91
belum cukup syarat untuk dimasukkan kedalam kategori hadits mutawatir. Artinya, hadits ahad
adalah hadits yang jumlah perawinya tidak sampai pada tingkatan mutawatir.6
Ulama ahli hadits membagi hadits ahad menjadi dua, yaitu masyhur dan ghairu masyhur.
Hadits ghairu masyhur terbagi menjadi dua, yaitu aziz dan ghairu aziz.
A. Hadits Masyhur
Menurut bahasa, masyhur berarti “sesuatu yang sudah tersebar dan popular”.
Sedangkan menurut istilah ada beberapa definisi, antara lain :

‫صوحاَبوته َووتممن َبوطمعتدتهمم‬


‫صوحاَبوته َوعوددد َل َيوطمبَطلههغ َوحند َتوطوواَتتر َبوطمعود َاَلْ ن‬
‫موطاَوروواَهه َتمون َاَلْ ن‬
“Hadits yang diriwayatkan dari sahabat tetapi bilangannya tidak sampai pada tingkatan
mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan orang yang setelah mereka.”

Hadits masyhur ada yang berstatus shahih, hasan dan dhaif. Hadits masyhur yang
berstatus shahih adalah yang memenuhi syarat-syarat hadits shahih baik sanad maupun
matannya. Seperti hadits ibnu Umar.

‫اَتوذاَ َوجاَءوهكهم َاَملهمموعهه َفوطمليوطمغَتسمل‬


“Barang siapa yang hendak pergi melaksanakan shalat jumat hendaklah ia mandi.”

Sedangkan hadits masyhur yang berstatus hasan adalah hadits yang memenuhi
ketentuan-ketentuan hadits hasan, baik mengenai sanad maupun matannya. Seperti hadits
Nabi yang berbunyi:

‫ضورور َووول َضط طتوراَور‬


‫ول َ و‬
“tidak memberikan bahaya atau membalas dengan bahaya yang setimpal.”
Adapun hadits masyhur yang dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat
hadits shahih dan hasan, baik pada sanad maupun pada matannya, seperti hadits :

‫ض طده َعط طوولي َهكلل َهممسلتسم َووهممسلتوم ط طسه‬ ‫طولو ت‬


‫ب َاَملْعملتم َفوتريم و‬
‫ه‬
“menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan.”

Dilihat dari aspek yang terakhir ini, hadits masyhur dapat digolongkan kedalam :
1) Masyhur dikalangan ahli hadits, seperti hadits yang menerangkan bahwa
Rasulullah SAW membaca do’a qunut sesudah rukuk selama satu bulan penuh berdo’a
atas golongan Ri’il dan Zakwan. (H.R. Bukhari, Muslim, dll).
2) Masyhur dikalangan ulama ahli hadits, ulama-ulama dalam bidang
keilmuan lain, dan juga dikalangan orang awam, seperti :

‫اَملمسلتهم َوممن َوسط ط طلتوم َاَملمسلتهمموون َتممن َلْتسط طوطاَنتته َوويتدته‬


3) Masyhur dikalangan ahli fiqh, seperti : ‫ه‬ ‫ه‬
‫ل َوعلومي ط طته َوووسلنوم َوعمن َبوطميتع َاَملْغَوورتر‬ ‫ل َصنلي َاَ ت‬
‫و‬
‫نوطهي َرسوول َاَ ت‬
‫و و هم‬
“Raulullah SAW melarang jual beli yang didalamnya terdapat tipu daya.”
4) Masyhur dikalangan ahli ushul Fiqh, seperti :

6
Ibid. Hlm. 90
‫ب َوفلطوط طهه َأومج طوراَتن َوواَتوذاَ َوحوك ط ط طوم َوفاَمجتوطوه طود َهثنط‬ َ‫صا‬
‫و و‬ ‫و‬
‫أ‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬
‫و‬ ‫ف‬ َ ‫د‬
‫و‬ ‫ط‬ ‫ه‬
‫و‬ ‫ط‬‫و‬‫جت‬
‫م‬ َ‫ا‬َ ‫ط‬ ‫ث‬
‫ن‬‫ه‬ َ ‫م‬‫اَتوذاَ َحوك طم َاَملططاَكت‬
‫و و و ه‬
‫أووخ ط ططووأ َوفلطوهه َأومجدر‬
“Apabila seorang hakim memutuskan suatu perkara kemudian dia berijtihad dan kemudian
ijtihadnya benar, maka dia memperoleh dua pahala (pahala Ijtihad dan pahala kebenaran),
dan apabila ijtihadnya itu salah, maka dia memperoleh satu pahala (pahala Ijtihad).

5) Masyhur dikalangan ahli Sufi, seperti :

‫ت َاَملوملوق َفوتب َوعورفهطموتن‬ ‫ت َأومن َأهمعتر و‬ ‫ت‬


‫ف َفووخلطومق ه‬ ‫ت َوكمنطـزاَ َوممفيياَ َفوأومحبَومبَ ه‬
‫هكمن ه‬
“Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian aku ingin dikenal, maka
kuciptakan makhluk dan melalui merekapun mengenal-Ku

6) Masyhur dikalangan ulama Arab, seperti ungkapan, “Kami orang-orang


Arab yag paling fasih mengucapkan “(dha)” sebab kami dari golongan Quraisy”.7

B. Hadits Ghairu Masyhur


Ulama ahli hadits membagi hadits ghairu masyhur menjadi dua yaitu, Aziz dan Gharib.
Aziz menurut bahasa berasal dari kata azza-yaizu, artinya “sedikit atau jarang”. Menurut
istilah hadits Aziz adalah hadits yang perawinya tidak kurang dari dua orang dalam semua
tingkatan sanad.”
Menurut Al-Thahhan menjelaskan bahwa sekalipun dalam sebagian Thabaqat terdapat
perawinya tiga orang atau lebih, tidak ada masalah, asal dari sekian thabaqat terdapat satu
thabaqat yang jumlah perawinya hanya dua orang. Oleh karena itu, ada ulama yang
mengatakan bahwa hadits ‘azaz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua atau tiga orang
perawi.”
Dari pengertian diatas dapat dikatakan bahwa suatu hadits dapat dikatakan hadits Aziz
bukan hanya yang diriwayatkan dua orang pada setiap tingkatnya, tetapi selagi ada tingkatan
yang diriwayatkan oleh dua rawi, contoh hadits ‘aziz :
‫ت‬ ‫ول َيطؤتمن َأوحهدهكم َحنت َأوهكوون َأوح ن ت ت ت ت ت ت ت‬
‫ب َإتلْوميه َممن َوواَلْطده َوووولْ طتده َوواَلْنطنطاَتس َأومجوع م و‬
‫ي‬ ‫م و‬ ‫هم ه و م و‬
“tidak beriman seorang di antara kamu, sehingga aku lebih dicintainya dari pada
dirinya, orang tuanya, anaknya, dan semua manusia,” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Adapun hadits Gharib, menurut bahasa berarti “al-munfarid” (menyendiri). Dalam


tradisi ilmu hadits, ia adalah “hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang
menyendiri dalam meriwayatkannya, baik yang menyendiri itu imamnya maupun
selainnya”.
Menurut Ibnu Hajar yang dimaksud dengan hadits gharib adalah “hadits yang dalam
sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkannya, dimana saja
penyendirian dalam sanad itu terjadi”.
Penyendirian perawi dalam meriwayatkan hadits itu bias berkaitan dengan
personalitasnya, yakni tidak ada yang meriwayatkannya selain perawi tersebut, atau
mengenai sifat atau keadaan perawi itu sendiri. Maksudnya sifat dan keadaan perawi itu
berbeda dengan sifat dan kualitas perawi-perawi lain, yang juga meriwayatkan hadits itu.
Disamping itu, penyendirian seorang perawi bias terjadi pada awal, tengah atau akhir sanad.
B. Pembagian hadits dari segi Kualitas
7
Ibid. hlm. 93
Sebagiamana telah dikemukakan bahwa hadits muatawatir memberikan penertian yang
yaqin bi alqath, aritnya Nabi Muhammad benar-benar bersabda, berbuat atau menyatakan taqrir
(persetujuan) dihadapan para sahabat berdasarkan sumber-sumber yang banyak dan mustahil
mereka sepakat berdusta kepada Nabi. Karena kebenarannya sumbernya sungguh telah
meyakinkan, maka dia harus diterima dan diamalkan tanpa perlu diteliti lagi, baik terhadap
sanadnya maupun matannya. Berbeda dengan hadits ahad yang hanya memberikan faedah
zhanni (dugaan yang kuat akan kebenarannya), mengharuskan kita untuk mengadakan
penyelidikan, baik terhadap matan maupun sanadnya, sehingga status hadits tersebut menjadi
jelas, apakah diterima sebagai hujjah atau ditolak.
Sehubungan dengan itu, para ulama ahli hadits membagi hadits dilihat dari segi
kualitasnya, menjadi tiga bagian, yaitu hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dhaif.
1. Hadits shahih
Menurut bahasa berarti “sah, benar, sempurna, tiada celanya”. Secara istilah, beberapa
ahli memberikan defenisi antara lain sebagai berikut :
 Menurut Ibn Al-Shalah, Hadits shahih adalah “hadits yang sanadnya bersambung
(muttasil) melalui periwayatan orang yang adil dan dhabith dari orang yang adil dan
dhabith, sampai akhir sanad tidak ada kejanggalan dan tidak ber’illat”.
 Menurut Imam Al-Nawawi, hadits shahih adalah “hadits yang bersambung sanadnya,
diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dhabith, tidak syaz, dan tidak ber’illat.”
Dari defenisi diatas dapat dipahami bahwa syarat-syarat hadits shahih adalah : 1)
sanadnya bersambung, 2) perawinya bersifat adil, 3) perawinya bersifat dhabith, 4)
matannya tidak syaz, dan 5) matannya tidak mengandung ‘illat.
2. Hadits Hasan
a. Pengertian
dari segi bahasa hasan dari kata al-husnu (‫ ) الحسن‬bermakna al-jamal (‫ )الجمال‬yang
berarti “keindahan”. Menurut istilah para ulama memberikan defenisi hadits hasan secara
beragam. Namun, yang lebih kuat sebagaimana yang dikemukan oleh Ibnu hajar Al-
Asqolani dalam An-Nukbah, yaitu :

‫صطهل َاَلْنسطنوتد َ مو‬


‫غي طهر َهموعلنطسل َووول َوشطاَذذ َهه وو‬ ‫ضطبَتط َمتن ت‬
‫م ه‬ ‫ن‬ ْ‫ل‬َ‫ا‬َ ‫م‬ َ‫طا‬
‫و‬ ‫ت‬ ‫وخبَطر َماَلْحاَود َتبنوطمقطتل َوع مد ت‬
َ ‫ل‬ ‫و ووه و‬
‫ط َفوطملهحمسهن َلْتوذاَتتته‬
‫ضمبَ ه‬
‫ف َاَلْ و‬ ‫ِ َوفاَتءمن َوخ ن‬.‫صتحميتح َلْتوذاَتتته‬ ‫اَلْ ن‬
khabar ahad yang diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna kedhabitannya,
bersambung sanadnya, tidak ber’illat, dan tidak ada syaz dinamakan shahih lidztih. Jika
kurang sedikit kedhabitannya disebut hasan Lidztih.
Dengan kata lain hadits hasan adalah :

‫ل َتمون َاَلْمشهذموتذ َوواَملْعتلنته‬ ‫ت‬


‫صول َوسنوهدهه َتبنوطمقتل َاَملْوعمدتل َاَلْلذي َقونل َ و‬
‫ضمبَطههه َوووخ ن‬ ‫ههوو َوماَ َاَتن و‬
Hadits hasana adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil,
kurang sedikit kedhabitannya, tidak ada keganjilan (syaz) dan tidak ‘illat.
Criteria hadits hasan hampir sama dengan hadits shahih. Perbedaannya hanya
terletak pada sisi kedhabitannya. Hadits shahih ke dhabitannya seluruh perawinya harus
zamm (sempurna), sedangkan dalam hadits hasan, kurang sedikit kedhabitannya jika
disbanding dengan hadits shahih.8
b. Contoh hadits Hasan
hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban dari Al-
Hasan bin Urfah Al-Maharibi dari Muhammad bin Amr dari Abu salamah dari Abi Hurairah,
bahwa Nabi SAW bersabda :

8
Loc.cit. Abdul Majid Khon, hlm. 159.
‫ت‬ ‫ت‬ ‫أوعماَر َاَهنمتت َماَ َبطي َاَلْستلطي َاَت‬
‫ي َووأوقوطلمههمم َوممن َويهموهز َذواَلْ و‬
‫ك‬ ‫ل َاَلْنسمبَع م و‬
‫و ومو ل مو و‬ ‫مو ه‬
“Usia umatku antara 60 sampai 70 tahun dan sedikit sekali yang melebihi demikian itu.
c. Macam-macam Hadits Hasan
Sebagaimana hadits shahih yang terbagi menjadi dua macam, hadits hasan pun
terbagi menjadi dua macam, yaitu hasan lidzatih dan hasan lighairih.
Hadits hasan lidzatih adalah hadits hasan dengan sendirinya, karena telah
memenuhi segala criteria dan persyaratan yang ditemukan. Hadits hasan lidzatih
ebagaimana defenisi penjelasan diatas.
Sedangkan hadits hasan lighairih ada beberapa pendapat diantaranya adalah :

‫ي َتممن َطوتريمتق َأهمخوري َتمثَمطلههه َأومو َأوقمطووي َتممنهه‬‫ت‬


‫و‬ ‫ر‬ َ َ‫ا‬ ‫ذ‬
‫و‬ ‫ضعتيف َاَت‬
‫ن‬ ْ‫ل‬َ‫ا‬ َ ‫ث‬ ‫ي‬‫د‬‫هو َاَمل ت‬
‫م ه ه و‬ ‫هو و م ه‬
“adalah hadits dhaif jika diriwayatkan melalui jalan (sanad) lain yang sama
atau lebih kuat.

‫ضط طمعتفته َفتمسط طوق َاَلْط طنراَتوي‬ َ ‫ب‬ َ‫ب‬‫ط‬ ‫ط‬‫س‬َ ‫ن‬ ‫ط‬ ‫ط‬‫ك‬ ‫ي‬َ ‫م‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ْ‫ل‬
‫و‬ َ ‫ه‬ ‫ط‬ ‫ط‬‫ق‬‫ر‬‫ط‬ َ ‫ت‬ ‫د‬‫د‬‫ن‬ ‫ط‬ ‫ط‬‫ع‬ ‫ط‬ ‫ت‬َ َ‫ا‬ ‫ذ‬ ‫ضط طعتيف َاَت‬
‫ه‬
‫و و م ه ه وو م و م و و ه و‬ ‫ه‬ ‫ه‬ ‫و‬ ‫و‬ ‫ههط طوو َاَلْ ن م ه‬
‫أوموكتمذبههه‬
“adalah hadits dhaif jika berbilangan jalan sanadnya dan sebab kedhaifan bukan
karena fasik atau dustanya perawi.
Dari dua defenisi diatas dapat dipahami bahwa hadits dhaif bias naik manjadi
hasan lighairih dengan dua syarat yaitu :
1) Harus ditemukan periwayatan sanad lain yang seimbang atau lebih
kuat.
2) Sebab kedhaifan hadits tidak berat seperti dusta dan fasik, tetapi ringan
seperti hafalan kurang atau terputusnya sanad atau tidak diketahui dengan jelas
(majhul) identitas perawi.
d. Kehujjahan hadits Hasan
Hadits hasan dapat dijadikan hujjah walaupun kualitasnya dibawah hadits shahih. Semua
fuqaha sebagian Muhadditsin dan Ushuliyyin mengamalkannya kecuali sedikit dari
kalangan orang sangat ketat dalam mempersyaratkan penerimaan hadits (musyaddidin).
Bahkan sebagian muhadditsin yang mempermudah dalam persyaratan shahih
(mutasahilin) memasukkan kedalam hadits shahih, seperti Al-Hakim, Ibnu Hibban, dan
Ibnu Khuzaimah.
3. Hadits Dhaif
a. Pengertian
Hadits Dhaif bagian dari hadits mardud. Dari segi bahasa dhaif (‫ )الضعيف‬berarti lemah
lawan dari Al-Qawi (‫ )القوي‬yang berarti kuat. Kelemahan hadits dhaif ini karena sanad dan
matannya tidak memenuhi criteria hadits kuat yang diterima sebagian hujjah. Dalam istilah
hadits dhaif adalah :

‫ههوو َوماَ َ ومل َ وميوممع َتصوفهه َاَملووستن َبتوفمقتد َوشمرسط َتممن َهشهرموتطته‬
Adalah hadits yang tidak menghimpun sifat hadits hasan sebab satu dari beberapa syarat yang
tidak terpenuhi.
Atau defenisi lain yang bias diungkapkan mayoritas ulama :

‫صتحميتح َوواَملووستن‬
‫ههوو َوماَ َ ومل َ وميوممع َتصوفهه َاَلْ ن‬
Hadits yang tidak menghimpun sifat hadits shahih dan hasan.
Jika hadits dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi sebagain atau semua persyaratan
hadits hasan dan shahih, misalnya sanadnya tidak bersambung (muttasshil), Para perawinya
tidak adil dan tidak dhabith, terjadi keganjilan baik dalam sanad aau matan (syadz) dan
terjadinya cacat yang tersembunyi (‘Illat) pada sanad atau matan.9
b. contoh hadits dhaif
hadits yang diriwayatkan oleh At-Tarmidzi melalui jalan hakim Al-Atsram dari Abu
Tamimah Al-Hujaimi dari Abu Hurairah dari Nabi SAW bersabda :

‫ضاَ َأوتواَممورأوسه َتممن َهدبهتر َأومو َوكاَتهوناَ َفوطوقمد َوكوفور َت وباَ َاَهنمتزول َوعولي َهمونمسد‬ ‫ت‬
‫وووممن َأووت َوحاَئ و‬
barang siapa yang mendatang seorang wanita menstruasi (haid) atau pada dari
jalan belakang (dubur) atau pada seorang dukun, maka dia telah mengingkari apa yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Dalam sanad hadits diatas terdapat seorang dhaif yaitu Hakim Al-Atsram yang
dinilai dhaif oleh para ulama. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Thariq At- Tahzib memberikan
komentar : ‫فهي يهه ل لي ي ن‬
‫ن‬ padanya lemah.
c. Hukum periwayatan hadits dhaif
Hadits dhaif tidak identik dengan hadits mawdhu’ (hadits palsu). Diantara hadits
dhaif terdapat kecacatan para perawinya yang tidak terlalu parah, seperti daya hapalan yang
kurang kuat tetapi adil dan jujur. Sedangkan hadits mawdhu’ perawinya pendusta. Maka
para ulama memperbolehkan meriwayatkan hadits dhaif sekalipun tanpa menjelaskan
kedhaifannya dengan dua syarat, yaitu :
1) tidak berkaitan dengan akidah seperti sifat-sifat Allah
2) Tidak menjelaskan hokum syara’ yang berkaitan dengan halal dan haram, tetapi,
berkaitan dengan masalah maui’zhah, targhib wa tarhib (hadits-hadits tentang
ancaman dan janji), kisah-kisah, dan lain-lain.
Dalam meriwayatkan hadit dhaif, jika tanpa isnad atau sanad sebaiknya tidak
menggunakan bentuk kata aktif (mabni ma’lum) yang meyakinkan (jazam) kebenarannya
dari Rasulullah, tetapi cukup menggunakan bentuk pasif (mabni majhul) yang meragukan
(tamridh) misalnya : ‫روهيل‬ ‫ ر‬diriwayatkan, ‫ل‬ ‫ق ل‬‫ ن ر ه‬dipindahkan, ‫ما ي ريروهيل‬
‫ فهي ي ه‬pada
sesuatu yang diriwayatkan dating. Periwayatan dhaif dilakukan karena berhati-hati
(ikhtiyath).
d. Pengamalan hadits dhaif
Para ulama berpendapat dalam pengamalan hadits dhaif. Perbedaan itu dapat dibagi menjadi 3
pendapat, yaitu :
1) Hadits dhaif tidak dapat diamalkan secara mutlak baik dalam keutamaan amal
(Fadhail al a’mal) atau dalam hokum sebagaimana yang diberitahukan oleh Ibnu sayyid An-
Nas dari Yahya bin Ma’in. pendapat pertama ini adalah pendapat Abu Bakar Ibnu Al-Arabi,
Al-Bukhari, Muslim, dan Ibnu hazam.
2) Hadits dhaif dapat diamalkan secara mutlak baik dalam fadhail al-a’mal atau dalam
masalah hokum (ahkam), pendapat Abu Dawud dan Imam Ahmad. Mereka berpendapat
bahwa hadits dhaif lebih kuat dari pendapat para ulama.
3) Hadits dhaif dapat diamalkan dalam fadhail al-a’mal, mau’izhah, targhib (janji-janji
yang menggemarkan), dan tarhib (ancaman yang menakutkan) jika memenuhi beberapa
persyaratan sebagaimana yang dipaparkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqolani, yaitu berikut :
 Tidak terlalu dhaif, seperti diantara perawinya pendusta (hadits mawdhu’)
atau dituduh dusta (hadits matruk), orang yan daya iangat hapalannya sangat kurang, dan
berlaku pasiq dan bid’ah baik dalam perkataan atau perbuatan (hadits mungkar).
 Masuk kedalam kategori hadits yang diamalkan (ma’mul bih) seperti hadits
muhkam (hadits maqbul yang tidak terjadi pertentanga dengan hadits lain), nasikh
9
Ibid. hlm. 164
(hadits yang membatalkan hokum pada hadits sebelumnya), dan rajah (hadits yang lebih
unggul dibandingkan oposisinya).
 Tidak diyakinkan secara yakin kebenaran hadits dari Nabi, tetapi karena
berhati-hati semata atau ikhtiyath.
e. Tingkatan hadits dhaif
Sebagai salah satu syarat hadits dhaif yang dapat diamalkan diatas adalah tidak terlalu
dhaif atau tidak terlalu buruk kedhaifannya. Hadits yang terlalu buruk kedhaifannya tidak dapat
diamalkan sekalipun dalam fadhail al-a’mal. Menurut Ibnu Hajar urutan hadits dhaif yang
terburuk adalah mawdhu’’, matruk, mu’allal, mudraj, maqlub, kemudian mudhatahrib.10

DAFTAR PUSTAKA

Moh. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, Jakarta : Guang Persada Press, 2008
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, Jakarta: Amzah (cetakan keempat), 2010.

10
Ibid. hlm. 167.

Anda mungkin juga menyukai