Anda di halaman 1dari 14

Hakekat Iman Kepada Yang Ghaib

Pengertian Dan Pengaruhnya Dalam Aqidah Seorang Muslim

1. Iman Kepada Yang Ghaib

Ghaib adalah kata mashdar yang digunakan untuk setiap sesuatu yang tidak dapat diindra, baik
diketahui maupun tidak. Iman kepada yang ghaib berarti percaya kepada segala sesuatu yang
tidak bisa dijangkau oleh panca indra dan tidak bisa dicapai oleh akal biasa, akan tetapi ia
diketahui oleh wahyu yang diterima oleh para nabi dan rasul.
Iman kepada yang ghaib adalah salah satu sifat dari orang-orang mukmin. Allah SWT berfirman
dalam Surah Al-Baqarah : 1-3 yang artinya:

“Alif laam miim. Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang
bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan
menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka.”

Ada dua pendapat tentang makna iman tersebut:


1. Bahwasanya mereka mengimani segala yang ghaib yang tidak bisa dijangkau oleh panca indra
(dan akal), yaitu hal-hal yang telah diberitakan tentang Allah SWT dan tentang para rasul-Nya.
2. Bahwasanya mereka beriman kepada Allah di waktu ghaib sebagaimana mereka beriman
kepada-Nya di waktu hadir, dan ini berbeda dengan orang-orang munafik.
Kedua makna di atas tidak bertentangan, bahkan keduanya harus pada diri seorang mukmin.
2. Pengaruh Iman Kepada Yang Ghaib Dalam Aqidah Seorang Muslim
Iman kepada yang ghaib mempunyai pengaruh yang besar sekali sehingga terpantul dalam
tingkah laku seseorang dan juga dalam jalan hidupnya. Ia merupakan motivator yang sangat kuat
untuk melahirkan amal kebajikan dan memberantas kejahatan. Diantaranya adalah.
a. Ikhlas beramal untuk memperoleh pahala dan menghindarkan diri dari siksa di akhirat, bukan
menginginkan balasan dunia dan pujian manusia. Sebagaimana Allah memberitahukan tentang
para hamba-Nya yang memberikan makanan kepada orang lain padahal mereka sendiri
menyukainya dalam firman-Nya dalam Surah Al-Insan : 8-9 yang artinya:
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan
orang-orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberikan makanan kepadamu hanyalah untuk
mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula
(ucapan) terima kasih”.
b. Kuat, tegas dan tegar dalam pembenaran. Apa yang dijanjikan Allah untuk orang yang
beriman menjadikan seseorang teguh dalam menjalankan segala perintah-Nya, menjelaskan yang
haq, mengajak kepada yang haq, menjelaskan yang batil dan memeranginya. Jika tidak ada yang
membantu maka dia pun kuat karena Allah SWT, terasa mudah baginya kehidupan dunia dan
segala penderitaannya, dibandingkan dengan kehidupan akhirat. Allah telah menjelaskan tentang
perkataan kekasih-Nya, Ibrahim as kepada kaumnya dalam Surah Al-Anbiya’ : 57-58 yang yang
artinya:
“Demi Allah sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu sesudah
kamu pergi meninggalkannya. Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur berpotong-
potong, kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain; agar mereka kembali (untuk
bertanya) kepadanya”.
Sebagaimana Dia menceritakan para ahli sihir Fir’aun ketika beriman, bagaimana mereka
meremehkan siksaan Fir’aun atas mereka. Allah berfirman dalam Surah Al-A’raf : 125-126 yang
artinya:
“Ahli-ahli sihir itu menjawab; ‘Sesungguhnya kepada Tuhanlah kami kembali. Dan kamu tidak
menyalahkan kami, melainkan karena kami telah beriman kepada ayat-ayat Tuhan kami ketika
ayat-ayat itu datang kepada kami’. (Mereka berdo’a); ‘Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran
kepada kami dan wafatkanlah kami dalam keadaan berserah diri (kepada-Nya)'”.
c. Meremehkan bentuk-bentuk penampilan duniawi. Hal ini merupakan pengaruh dari
makmurnya hati karena keimanan bahwa dunia beserta kenikmatannya akan lenyap, sedangkan
akhirat adalah kehidupan kekal, damai abadi selamanya. Maka tidak masuk akal lebih memilih
hal yang fana daripada yang kekal. Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Ankabut : 64 yang
artinya:
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya
akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui”.
Allah juga mengisahkan istri Fir’aun yang telah meremehkan segala kemewahan dunia yang ada
padanya dan meminta agar diselamatkan dari Fir’aun berikut keburukannya, demi untuk
menggapai kehidupan akhirat. Demikian itu karena hatinya memancarkan sinar keimanan kepada
Allah dan kepada hari akhir. Allah berfirman dalam Surah At-Tahrim : 11 yang artinya:
“Dan Allah membuat istri Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia
berkata; ‘Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah disisi-Mu dalam Surga dan
selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum yang
zhalim'”.
d. Lenyapnya kebencian dan kedengkian. Sesungguhnya usaha mewujudkan keinginan nafsu
tanpa melalui jalan yang benar menyebabkan kebencian dan kedengkian antarmanusia.
Sedangkan iman kepada yang ghaib, berupa janji-janji Allah dan ancaman-Nya menjadikan
seseorang mau mawas diri dan mengoreksi diri sendiri dalam setiap gerak-geriknya demi
mendapatkan pahala-Nya dan menjauhi siksa-Nya.
Iman yang benar terhadap adanya pahala menjadikan seseorang bergegas melakukan ihsan
kebajikan demi mendapatkan pahala yang kekal, suatu perkara yang menjadikan bersihnya jiwa
dan merebaknya kasih sayang di antara individu dan jama’ah. Sebagaimana Allah menceritakan
tentang orang-orang yang telah mempraktekkan hal itu dalam firman-Nya dalam Surah Al-Hasyr
: 9-10 yang artinya:
“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum
(kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan
mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada
mereka (orang-orang Muhjirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri
mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang
dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan orang-orang
yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdo’a; ‘Ya Tuhan kami,
ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan
janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman;
Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang'”.
Itulah sebagian pengaruh iman terhadap yang ghaib. Pengaruh-pengaruh tersebut akan berkurang
disebabkan oleh lemahnya iman. Bila pengaruh iman sudah tidak ada maka suatu masyarakat
berubah menjadi masyarakat hewani, yang hidup memangsa yang mati, yang kuat menindas
yang lemah, ketakutan merajalela, musibah meluas dan merata, kemuliaan hilang dan kehinaan
yang naik tahta. Semoga kita dilindungi oleh Allah dari yang demikian.Beriman Kepada
AllahYaitu keyakinan yang sesungguhnya bahwa Allah adalah wahid (satu), ahad (esa), fard
(sendiri), shamad (tempat bergantung), tidak mengambil shahibah (teman wanita atau istri) juga
tidak memiliki walad (seorang anak). Dia adalah pencipta dan pemilik segala sesuatu, tidak ada
sekutu dalam kerajaan-Nya. Dialah Al-Khaliq (yang menciptakan), Ar-Raziq (Pemberi Rizki),
Al-Mu’thi (Pemberi Anugerah), Al-Mani’ (Yang Menahan Pemberian), Al-Muhyi (Yang
Menghidupkan), Al-Mumit (Yang Mematikan) dan yang mengatur segala urusan makhluk-Nya.
Dialah yang berhak disembah, bukan yang lain, dengan segala macam ibadah, seperti khudhu’
(tunduk), khusyu’, khasyyah (takut), inabah (taubat), qasd (niat), thalab (memohon), do’a,
menyembelih, nadzar dan sebagainya. Termasuk beriman kepada Allah adalah beriman dengan
segala apa yang Dia kabarkan dalam kitab suci-Nya atau apa yang diceritakan oleh Rasul-Nya
SAW tentang Asma’ dan sifat-sifat-Nya dan bahwasanya Dia tidak sama dengan makhluk-Nya,
dan bagi-Nya kesempurnaan mutlak dalam semua hal tersebut, dengan menetapkan tanpa tamtsil
(menyerupakan) dan dengan menyucikannya tanpa ta’thil (menghilangkan maknanya)
sebagaimana Dia mengabarkan tentang diri-Nya dengan firman-Nya dalam Surah Al-An’am :
101-102 yang artinya: “Dia Pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak, padahal
Dia tidak mempunyai isteri. Dia menciptakan segala sesuatu dan Dia mengetahui segala sesuatu.
(Yang memiliki sifat-sifat khusus) demikian itu adalah Allah Rabb kamu, tidak ada sembahan
yang haq selain Dia. Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia, dan Dia adalah Pemelihara
segala sesuatu”Demikianlah, dan sungguh ayat-ayat serta hadits-hadits yang menunjukkan
makna iman dan pencarian iman sangat banyak dan panjang untuk ditulis. Wabillahit
taufiq.Beriman Kepada Malaikat

I. Definisi Malaikat

Menurut bahasa “malaikah” bentuk jama’ dari “malak”. Konon ia berasal dari kata “alukah”
(risalah), dan ada yang menyatakan “la aka” (mengutus), dan ada pula yang berpendapat selain
dari keduanya.
Adapun menurut istilah, ia adalah salah satu jenis makhluk Allah yang Ia ciptakan khusus untuk
taat dan beribadah kepad-Nya serta mengerjakan semua tugas-tugas-Nya. Sebagaimana
dijelaskan Allah dalam firman-Nya dalam Surah Al-Anbiya’ : 19 – 20 yang artinya :

“Dan kepunyaann-Nya lah segala yang di langit dan di bumi dan malaikat-malaikat yang di sisi-
Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya dan tiada (pula) mereka
letih. Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya”.

Dan dalam Surah Al-Anbiya’ : 26 – 27 yang artinya :

“Dan mereka berkata, ‘Tiada yang Maha Pemurah telah mengambil (mempunyai) anak’,
Mahasuci Allah. Sebenarnya (malaikat-malaikat itu) adalah hamba-hamba yang dimuliakan,
mereka itu tiada mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan perintah-
perintah-Nya”.

II. Kepercayaan Manusia Tentang Malaikat Sebelum Islam


Wujud malaikat diakui dan tidak diperselisihkan oleh umat manusia sejak dahulu kala.
Sebagaimana tidak seorang jahiliyah pun diketahui mengingkarinya, meskipun cara
penetapannya berbeda-beda antara pengikut para Nabi dengan yang lainnya.

Orang musyrik menyangka para malaikat itu anak-anak perempuan Allah -Subhanallah
(Mahasuci Allah)-. Allah telah membantah mereka dan menjelaskan tentang ketidaktahuan
mereka dalam firman-Nya Surah Az-Zukhruf : 19 yang artinya :

“Dan mereka menjadikan malaikat-malaikat yang mereka itu adalah hamba-hamba Allah Yang
Maha Pemurah sebagai orang-orang perempuan. Apakah mereka menyaksikan penciptaan
malaikat-malaikat itu? Kelak akan dituliskan persaksian mereka dan mereka akan dimintai
pertanggungjawabannya”.

Dan dalam Surah Ash-Shaffat : 150 – 152 yang artinya :

“Atau apakah Kami menciptakan malaikat-malaikat berupa perempuan dan mereka


menyaksikannya? Ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka dengan kebohongannya benar-benar
mengatakan, ‘Allah beranak’. Dan sesungguhnya mereka benar-benar orang yang berdusta”.

III. Beriman Kepada Malaikat

Iman kepada malaikat adalah rukun iman yang kedua. Maksudnya yaitu meyakini secara pasti
bahwa Allah SWT mempunyai para malaikat yang diciptakan dari nur, tidak pernah
mendurhakai apa yang Allah perintahkan kepada mereka dan mengerjakan setiap yang Allah
titahkan kepada mereka.

Dalil-dalil yang mewajibkan beriman kepada malaikat :

1. Firman Allah dalam Surah Al-Baqarah : 285 yang artinya :

“Rasul telah beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhan-nya, demikian
pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya”.

2. Firman Allah dalam Surah Al-Baqarah : 177 yang artinya :

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi
sesungguhnya kebaktian itu adalah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat,
kitab-kitab, dan nabi-nabi . . .”.

Allah mewajibkan percaya kepada hal-hal tersebut di atas dan mengkafirkan orang-orang yang
mengingkarinya. Allah berfirman dalam Surah An-Nisa’ : 136 yang artinya :

” . . . Dan barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-


rasul-Nya, dan hari Kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya”.
3. Sabda Rasulullah SAW ketika menjawab pertanyaan Jibril as tentang iman :

“Yaitu engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, dan
hari Akhir, dan engkau beriman kepada takdir, yang baik maupun yang buruk”. (HR. Muslim,
1/37 dan Al-Bukhari, 1/19-20)

Rasulullah SAW menjadikan iman itu adalah dengan mempercayai semua yang disebut tadi.
Sedangkan iman kepada malaikat adalah sebagian dari iman tersebut. Keberadaan malaikat
ditetapkan berdasarkan dalil-dalil yang qath’iy (pasti), sehingga mengingkarinya adalah kufur
berdasarkan ijma’ umat Islam, karena ingkar kepada mereka berarti menyalahi kebenaran Al-
Qur’an dan As-Sunnah.

IV. Macam-macam Malaikat Dan Tugasnya

Malaikat adalah hamba Allah yang dimuliakan dan utusan Allah yang dipercaya. Allah
menciptakan mereka khusus untuk beribadah kepada-Nya. Mereka bukanlah putra-putri Allah
dan bukan pula putra-putri selain Allah. Mereka membawa risalah Tuhannya, dan menunaikan
tugas masing-masing di alam ini. Mereka juga bermacam-macam, dan masing-masing
mempunyai tugas-tugas khusus. Di antara mereka adalah :

1. Malaikat yang ditugasi menyampaikan (membawa) wahyu Allah kepada para rasul-Nya SAW.
Ia adalah Ar-Ruh Al-Amin atau Jibril as, Allah berfirman dalam Surah Asy-Syu’ ara : 193-194
yang artinya :

“Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu
menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan”.

Allah menyifati Jibril as dalam tugasnya menyampaikan Al-Qur’an dengan sifat-sifat yang
penuh pujian dan sanjungan seperti dalam Surah At-Takwir : 19-21 yang artinya :

“Sesungguhnya Al-Qur’an itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia
(Jibril), yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah yang
mempunyai ‘Arsy, yang ditaati di sana (di alam malaikat) lagi dipercaya”.

2. Malaikat yang diserahi urusan hujan dan pembagiannya menurut kehendak Allah. Hal ini
ditunjukkan oleh hadits Muslim dari Abu Hurairah dari Nabi SAW beliau bersabda :

“Tatkala seorang laki-laki berada di tanah lapang (gurun) dia mendengar suara di awan,
‘Siramilah kebun fulan’, maka menjauhlah awan tersebut kemudian menumpahkan air di suatu
tanah yang berbatu hitam, maka saluran air di situ -dari saluran-saluran yang ada- telah
memuat air seluruhnya . . .”. (HR. Muslim 4/2288).

Ini menunjukkan bahwa curah hujan yang dilakukan malaikat sesuai dengan kehendak Allah
SWT.
3. Malaikat yang diserahi terompet, yaitu Israil as. Ia meniupnya sesuai dengan perintah Allah
SWT dengan tiga kali tiupan; tiupan faza’ (ketakutan), tiupan sha’aq (kematian) dan tiupan ba’ts
(kebangkitan). Begitulah yang disebut Ibnu Jarir dan mufassir lainnya ketika menafsiri firman
Allah dalam Surah Al-An’am : 73 yang artinya :

“. . . di waktu sangkakala ditiup. Dia mengetahui yang ghaib dan nampak. Dan Dialah Yang
Mahabijaksana lagi Maha Mengetahui”.

Dan firman Allah dalam Surah Al-Kahfi : 99 yang artinya :

“. . . kemudian ditiup lagi sangkakala, lalu Kami kumpulkan mereka itu semuanya”.
Dan ayat-ayat lainnya yang ada sebutan, ‘an-nafkhu fishshur’ (meniup terompet).
Beriman Kepada Malaikat

4. Malaikat yang ditugasi mencabut ruh, yakni malaikat maut dan rekan-rekannya. Tentang tugas
malaikat ini Allah SWT berfirman dalam Surah As-Sajdah : 11 yang artinya :

“Katakanlah; ‘Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa) -mu akan mematikan
kamu; kemudian hanya kepada Tuhanmu lah kamu akan dikembalikan”.

Dan firman Allah dalam Surah Al-An’am : 61 yang artinya :

“. . . sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan
oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajiban”.

5. Para malaikat penjaga Surga. Allah SWT mengabarkan mereka ketika menjelaskan perjalanan
orang-orang bertakwa dalam firman-Nya dalam Surah Az-Zumar : 73 yang artinya :

“Dan orang-orang yang bertakwa kepada Tuhan dibawa ke dalam Surga berombong-rombong
(pula). Sehingga apabila mereka sampai ke Surga itu sedang pintu-pintunya telah terbuka dan
berkata lah kepada mereka penjaga-penjaganya; ‘Kesejahteraan (dilimpahkan) atasmu,
berbahagialah kamu! maka masuklah Surga ini sedang kamu kekal di dalamnya”.

6. Para malaikat penjaga Neraka Jahannam, mereka itu adalah Zabaniyah. Para pemimpinnya ada
19 dan pemukanya adalah Malik. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah SWT ketika menyifati
Neraka Saqar seperti dalam Surah Al-Mudatstsir : 27 – 30 yang artinya :

“Tahukah kamu apakah (Neraka) Saqar itu? Saqar itu tidak meninggalkan dan tidak
membiarkan. (Neraka Saqar) adalah pembakar kulit manusia. Di atasnya ada sembilah belas
(malaikat penjaga). Dan tiada Kami jadikan penjaga Neraka itu melainkan malaikat”.

Dan Allah bercerita tentang penduduk Neraka dalam Surah Az-Zukhruf : 77 yang artinya :

“Mereka berseru; ‘Hai Malik, biarlah Tuhanmu membunuh kami saja’. Dia menjawab; ‘Kamu
akan tetap tinggal (di Neraka ini)'”.
7. Para malaikat yang ditugaskan menjaga seorang hamba dalam segala ihwalnya. Mereka
adalahMu’aqqibat, sebagaimana yang diberitakan Allah dalam firman-Nya Surah Ar-Ra’d : 10 –
11 yang artinya :

“Sama saja (bagi Tuhan), siapa di antaramu yang merahasiakan ucapannya, dan siapa yang
berterus terang dengan ucapan itu, dan siapa yang bersembunyi di malam hari dan yang
berjalan (menampakkan diri) di siang hari. Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu
mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah”.

Dan firman Allah dalam Surah Al-An’am : 61 – 30 yang artinya :

“Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya, dan diutus-Nya
kepadamu malaikat-malaikat penjaga . . . “.

8. Para malaikat yang ditugaskan mengawasi amal seorang hamba, amal yang baik maupun amal
yang buruk. Mereka adalah Al-Kiram Al-Katibun (para pencatat yang mulia). Mereka masuk
dalam golongan Hafazhah (para penjaga). Sebagaimana firman Allah SWT Surah Az-Zukhruf :
88 yang artinya :

“Apakah mereka mengira bahwa Kami tidak mendengar rahasia dan bisikan-bisikan mereka?
Sebenarnya (Kami mendengar) dan utusan-utusan (malaikat-malaikat) Kami selalu mencatat di
sisi mereka”.

Firman Allah SWT dalam Surah Qaf : 17 – 18 yang artinya :

“(Yaitu) ketika dua malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan
yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada
didekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir”.

Dan ayat-ayat serta hadits-hadits yang menyebut tentang mereka banyak sekali.

V. Hubungan Malaikat Dengan Manusia

Allah mewakilkan kepada malaikat urusan semua makhluk termasuk urusan manusia. Jadi
mereka mempunyai hubungan yang erat dengan manusia semenjak ia berupa sperma. Hubungan
ini disebutkan Imam Ibnul Qayyim dalam kitabnya “Ighatsatul Lahfan”.

Beriman Kepada Kitab-Kitab Allah

I. Definisi

Secara bahasa, “kutub” adalah bentuk jamak dari, “kitab”. Sedangkan kitab adalah masdar yang
digunakan untuk menyatakan sesuatu yang ditulisi di dalamnya. Ia pada awalnya adalah nama
shahifah (lembaran) bersama tulisan yang ada di dalamnya.
Sedangkan menurut syari’at, “kutub” adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada rasul-Nya
agar mereka menyampaikannya kepada manusia dan yang membacanya bernilai ibadah.

II. Beriman Kepada Kitab-Kitab

Beriman kepada kitab-kitab Allah adalah salah satu rukun iman. Maksudnya yaitu membenarkan
dengan penuh keyakinan bahwa Allah SWT mempunyai kitab-kitab yang diturunkan kepada
hamba-hamba-Nya dengan kebenaran yang nyata dan petunjuk yang jelas. Dan bahwasanya ia
adalah kalam Allah yang Ia firmankan dengan sebenarnya, seperti apa yang Ia kehendaki dan
menurut apa yang Ia ingini.

Allah berfirman dalam Surah An-Nahl : 2 yang artinya

“Dia menurunkan para malaikat dengan (membawa) wahyu dengan perintah-Nya kepada siapa
yang Ia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya”.

Iman kepada-Nya adalah wajib, secara ijmal (global) dalam hal yang di-ijmal-kan dan secara
tafshil (rinci) dalam hal yang dirincikan.

Dalil-dalil atas Kewajiban Beriman Kepada Kitab-kitab


Pertama : Dalil-dalil beriman kepadanya secara umum

1. Firman Allah dalam Surah Al-Baqarah : 136 yang artinya :

“Katakanlah (hai orang-orang mukmin), ‘Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan
kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Ya’qub dan Isa serta apa
yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di
antara mereka dan kami hanya patuh kepada-Nya'”.

Segi istidlal-nya adalah : Allah SWT memerintahkan orang-orang mukmin agar beriman kepada-
Nya dan kepada apa yang telah Ia turunkan kepada mereka melalui nabi mereka, Muhammad
SAW yaitu Al-Qur’an, dan agar beriman kepada apa yang telah diturunkan kepada para nabi dari
Tuhan mereka tanpa membeda-bedakan antara satu dengan yang lain, karena tunduk kepada
Allah serta membenarkan apa yang diberitakan-Nya.

2. Firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah : 285 yang artinya :

“Rasul telah beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian
pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya dan
rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan), ‘Kami tidak membeda-bedakan antara seorang pun
(dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya’, dan mereka mengatakan, ‘Ampunilah kami ya Tuhan
kami dan kepada Engkau-lah tempat kembali”.

Ayat ini menjelaskan sifat iman Rasul SAW dan iman para mukminin serta apa yang
diperintahkan kepada mereka berupa iman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab dan para
rasul, tanpa membeda-bedakan. Sehingga kufur kepada sebagian berarti kufur kepada mereka
semuanya.

3. Firman Allah SWT dalam Surah An-Nisa’ : 136 yang artinya :

“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan rasul-Nya dan kepada
kitab yang Allah turunkan kepada rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya.
Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya
dan hari Kemudian maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya”.

Segi istidlal-nya adalah : Allah SWT memerintahkan manusia beriman kepada-Nya, kepada
Rasul-Nya, dan kepada kitab-Nya yang diturunkan kepada Rasulullah SAW yakni Al-Qur’an,
juga kitab-kitab yang diturunkan sebelum Al-Qur’an. Kemudian Allah menyamakan kufur
kepada malaikat, kitab-kitab, para rasul dan Hari Akhir dengan kufur kepada-Nya.

4. Sabda Rasulullah SAW dalam hadits Jibril as tentang iman :

“Yaitu hendaklah engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya,
Hari Akhir dan beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk”. (HR. Al-Bukhari, I/19 –
20 dan Muslim, II/37).

Maka Rasulullah SAW menjadikan iman kepada kitab-kitab Allah sebagai salah satu rukun
iman.
Kedua : Wajib beriman kepada kitab-kitab secara rinci

Kita wajib mengimani secara rinci kitab-kitab yang sudah disebutkan namanya oleh Allah, yakni
Al-Qur’an dan kitab-kitab yang lain, yaitu :

a. Shuhuf Ibrahim dan Musa. Allah berfirman dalam Surah An-Najm : 36 – 37 yang artinya :

“Ataukah belum diberitakan kepadanya apa yang ada dalam lembaran-lembaran Musa? Dan
lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji?”.

Dan dalam Surah Al-A’la : 18 – 19 yang artinya :

“Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam shuhuf (lembaran-lembaran) yang dahulu


(yaitu) shuhuf Ibrahim dan Musa”.

b. Taurat, yaitu kitab yang diturunkan Allah kepada Nabi Musa as. Allah berfirman dalam Surah
Al-Maidah : 44 yang artinya :

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat yang di dalamnya (ada) petunjuk dan
cahaya (yang menerangi)”.

Dan dalam Surah Al-Imran : 2 – 4 yang artinya :


“Allah, tidak ada sembahan yang haq melainkan Dia, Yang hidup kekal lagi senantiasa berdiri
sendiri. Dia menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepadamu dengan sebenarnya, membenarkan
kita yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil, sebelum (Al-Qur’an),
menjadikan petunjuk bagi manusia, dan Dia menurunkan Al-Furqan. Sesungguhnya orang-
orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah akan memperoleh siksa yang berat, dan Allah Maha
perkasa lagi mempunyai balasan (siksa)”.

c. Zabur, yaitu kitab yang Allah turunkan kepada Nabi Daud as. Allah berfirman dalam Surah
An-Nisa’ : 163 yang artinya :

“… dan Kami berikan Zabur kepada Daud”.

d. Injil, yaitu kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Isa as. Allah berfirman dalam Surah Al-
Maidah : 46 yang artinya :

“Dan Kami iringkan jejak mereka (nabi-nabi Bani Israil) dengan Isa putera Maryam,
membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu, Taurat. Dan Kami telah memberikan kepadanya
kitab Injil sedang di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi) dan membenarkan
kitab yang sebelumnya, yaitu kitab Taurat. Dan menjadi petunjuk serta pengajaran untuk orang-
orang yang bertakwa”.

Beriman kepada kitab-kitab yang telah Allah sebutkan di dalam Al-Qur’an adalah wajib. Yakni
beriman bahwa masing-masing adalah kitab Allah yang di dalamnya terdapat nur dan hidayah
yang Dia turunkan kepada para rasul yang telah Dia sebutkan. Semuanya, sebagaimana Al-
Qur’an mengajak kepada pengesaan Allah dalam ibadah. Semua kitab itu sama dalam hal ushul
sekalipun berlainan dalam syariatnya.

Allah berfirman dalam Surah An-Nahl : 36 yang artinya :

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan),
‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu … “.

Dan dalam Surah Al-Anbiya’ : 25 yang artinya :

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami mewahyukan
kepadanya, ‘Bahwasanya tidak ada sesembahan yang haq melainkan Aku, maka sembahlah
olehmu, sekalian akan Aku”.

Al-Qur’an menjelaskan bahwa semua rasul mengajak kaumnya kepada tauhid Allah SWT
menceritakan kepada kita ucapan mereka seperti dalam Surah Al-A’raf : 65, 75, dan 85 yang
artinya :

” … sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada sesembahan yang haq bagimu selain dari-Nya”.

Rasulullah SAW bersabda :


“Para nabi itu adalah saudara seayah, ibu mereka berlainan, tetapi dien mereka adalah satu”.
(HR. Muslim IV/1857).

Ketiga : Kitab-kitab yang ada pada ahli kitab

Sesungguhnya apa yang ada di tangan ahli kitab yang mereka namakan sebagai kitab Taurat dan
Injil dapat dipastikan bahwa ia termasuk hal-hal yang tidak benar penisbatannya kepada para
nabi Allah. Maka tidak bisa dikatakan bahwa Taurat yang ada sekarang adalah Taurat yang
dahulu diturunkan kepada Nabi Musa as. Juga Injil yang sekarang bukanlah Injil yang diturunkan
kepada Nabi Isa as. Jadi keduanya bukanlah kedua kitab yang kita diperintahkan untuk
mengimaninya secara rinci. Dan tidak benar mengimani sesutau yang ada dalam keduanya
sebagai kalam Allah, kecuali yang ada dalam Al-Qur’an lalu dinisbatkan kepada keduanya.

Kedua kita tersebut telah di-nasakh (dicabut masa berlakunya) dan diganti oleh Al-Qur’an. Allah
menyebutkan terjadi pengubahan dan pemalsuan terhadap keduanya di lebih dari satu tempat
dalam Al-Qur’an. Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Baqarah : 75 yang artinya :

“Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari
mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah memahaminya, sedang
mereka mengetahui”.

Dan dalam Surah Al-Maidah : 13 – 15 yang artinya :

“(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka, dan Kami jadikan hati
mereka keras membatu. Mereka suka mengubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan
mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya,
dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit di
antara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka,
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. Dan di antara orang-orang yang
mengatakan, ‘Sesungguhnya kami ini orang-orang Nashrani’, ada yang telah Kami ambil
perjanjian mereka, tetapi (mereka) sengaja melupakan sebahagian dari apa yang mereka telah
diberikan peringatan dengannya, maka Kami timbulkan di antara mereka permusuhan dan
kebencian sampai hari Kiamat. Dan kelak Allah akan memberikan kepada mereka apa yang
selalu mereka kerjakan. Hai ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu rasul Kami,
menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al-Kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula
yang ) dibiarkannya”.

Di antara bentuk pengubahan yang dilakukan ahli kitab adalah penisbatan anak kepada Allah.
Mahasuci Allah dari yang demikian, mereka mengatakan, seperti dalam Surah At-Taubah : 39
yang artinya :

“Orang-orang Yahudi berkata; ‘Uzair itu putera Allah’. Demikian itulah ucapan mereka dengan
mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah-lah
mereka, bagaimana mereka sampai berpaling”.
Begitu pula penuhanan orang-orang Nashrani terhadap Nabi Isa as serta perkataan mereka bahwa
Allah adalah salah satu oknum dari tiga unsur (atau yang lebih dikenal dengan kepercayaan
“trinitas”).
Allah SWT dalam Surah Al-Maidah : 72 – 73 yang artinya :

“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata; ‘Sesungguhnya Allah ialah Al-Masih
putera Maryam’, padahal Al-Masih (sendiri) berkata; ‘Hai Bani Israil, sembahlah Allah
Tuhanku dan Tuhanmu’. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah,
maka pasti Allah mengharamkan kepadamu Surga dan tempatnya adalah Neraka, tidaklah ada
bagi orang-orang zhalim itu seorang penolong pun. Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang
mengatakan; ‘Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga’, padahal sekali-kali tidak ada
sesembahan selain dari Allah Yang Mahaesa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka
katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih”.

Allah menjelaskan bahwa mereka telah mengubah firman-Nya. Mereka melalaikan peringatan-
peringatan Allah serta menisbatkan kepada-Nya apa yang Allah Mahasuci dan bersih
daripadanya. Mereka menuhankan yang lain-Nya bersama-Nya, dan berbagai hal lain yang
mereka susupkan ke dalam kitab-kitab mereka. Dengan demikian tidak sah dan tidak benar
penisbatan kitab-kitab ini kepada Allah.
Di samping itu ada beberapa hal yang lebih menguatkan ketidakbenaran penisbatan ini kepada
Allah -di samping apa yang dinyatakan dalam Al-Qur’an- yaitu antara lain :

a. Sesungguhnya apa yang ada di tangan ahli kitab yang mereka yakini sebagai kitab suci adalah
bukan nuskhah (naskah) yang asli, akan tetapi terjemahannya.

b. Bahwa kitab-kitab itu telah dicampuri dengan perkataan para mufassir dan para muarrikh (ahli
sejarah), juga orang-orang yang mengambil kesimpulan hukum dan sejenisnya.

c. Tidak benar penisbatannya kepada rasul, karena tidak mempunyai sanad yang dapat dipercaya
(dipertanggungjawabkan). Taurat ditulis sesudah Nabi Musa as berselang beberapa abad.
Adapun Injil-injil yang ada, semuanya dinisbatkan kepada pengarang atau penulisnya, lagi pula
telah dipilih dari Injil-injil yang bermacam-macam.

d. Bermacam-macamnya naskah serta kontradiksi yang ada di dalamnya menunjukkan secara


yakin atas perubahan dan pemalsuannya.

e. Injil-injil itu berisi aqidah-aqidah yang rusak dalam menggambarkan Sang Pencipta dan
menyifati-Nya dengan sifat-sifat kekurangan. Begitu pula menyifati para nabi dengan sifat-sifat
kotor. Karena itu orang Islam wajib meyakini bahwa kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru
bukanlah kitab yang diturunkan Allah kepada rasul-Nya, bahkan kitab-kitab itu adalah karangan
mereka sendiri. Maka kita tidak membenarkan sesuatu darinya kecuali apa yang dibenarkan oleh
Al-Qur’an yang mulia dan As-Sunnah yang disucikan. Dan kita mendustakan apa yang
didustakan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kita tidak berkomentar tentang sesuatu yang tidak
dibenarkan atau didustakan oleh Al-Qur’an, karena ia mengandung kemungkinan benar atau
dusta.Dalil-dalil Ahlus Sunnah
Ahlus Sunnah berhujjah dengan dalil-dalil yang banyak sekali dari Al-Qur’an dan Al-Hadits,
diantaranya:
1. Firman Allah Swt dalam Surah Al-Hujurat : 9-10 yang artinya :

“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara
keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan lain maka
perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah
allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara
keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berbuat adil. Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah
antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.”

Segi Istidlal (pengambilan dalil)nya: Allah tetap mengakui keimanan pelaku dosa peperangan
dari orang-orang mukmin dan bagi para pembangkang dari sebagian golongan atas sebagian
yang lain, dan Dia menjadikan mereka menjadi bersaudara. Dan Allah memerintahkan orang-
orang mukmin untuk mendamaikan antara saudara-saudara mereka seiman.

2. Abu Said Al-Khudri mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

“Allah memasukkan penduduk Surga ke Surga. Dia memasukkan orang-orang yang Ia


kehendaki dengan rahmat-Nya. Dan Ia memasukkan penduduk Neraka. Kemudian berfirman,
‘Lihatlah, orang yang engkau dalam hatinya iman seberat biji sawi maka keluarkanlah ia’.
Maka dikeluarkanlah mereka dari Neraka dalam keadaan hangus terbakar, lalu mereka
dilemparkan ke dalam sungai kehidupan atau air hujan, maka mereka tumbuh di situ seperti biji-
bijian yang tumbuh di pinggir aliran air. Tidaklah engkau melihat bagaimana ia keluar
berwarna kuning melingkar? .” (HR.Muslim, I/172 dan Bukhari, IV/158).

Segi Istidlal-nya, adalah tidak kekalnya orang-orang yang berdosa di Neraka, bahkan orang yang
dalam hatinya terdapat iman yang paling rendah pun akan dikeluarkan dari Neraka, dan iman
seperti ini tidak lain hanyalah milik orang-orang yang penuh dengan kemaksiatan dengan
melakukan berbagai larangan serta meninggalkan kewajiban-kewajiban.

Dampak Maksiat Terhadap Iman

Maksiat adalah lawan ketaatan, baik itu dalam bentuk meninggalkan perintah maupun
melakukan suatu larangan. Sedangkan iman, sebagaimana telah kita ketahui adalah 70 cabang
lebih, yang tertinggi adalah ucapan ‘laa ilaaha illallah’ dan yang terendah adalah menyingkirkan
gangguan di jalan. Jadi cabang-cabang ini tidak bernilai atau berbobot sama, baik yang berupa
mengerjakan (kebaikan) maupun meninggalkan (larangan). Karena itu maksiat juga berbeda-
beda. Dan maksiat berarti keluar dari ketaatan. Jika ia dilakukan karena ingkar atau
mendustakan, maka ia bisa membatalkan iman. Sebagaimana Allah SWT menceritakan tentang
Fir’aun dengan firman-Nya dalam Surah An-Nazi’at 21 yang artinya:

“Tetapi Fir’aun mendustakan dan mendurhakai.”


Dan terkadang maksiat itu tidak sampai pada derajat tersebut sehingga tidak membuatnya keluar
dari iman, tetapi memperburuk dan mengurangi iman. Maka siapa yang melakukan dosa besar
seperti berzina, mencuri, minum-minuman yang memabukkan atau sejenisnya, tetapi tanpa
meyakini kehalalannya, maka hilang rasa takut, khusyu’ dan cahaya dalam hatinya; sekalipun
pokok pembenaran dan iman tetap ada di hatinya. Lalu jika ia bertaubat kepada Allah dan
melakukan amal shaleh maka kembalilah khassyah dan cahaya itu ke dalam hatinya. Apabila ia
terus melakukan kemaksiatan maka bertambahlah kotoran dosa itu di dalam hatinya sampai
menutupi serta menguncinya -na’udzubillah!-. Maka ia tidak lagi mengenal yang baik dan tidak
mengingkari kemungkaran.
Imam Ahmad dan lainnya meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya orang mukmin itu jika berbuat dosa maka terbentuklah titik hitam di hatinya.
Apabila ia bertaubat, meninggalkan dan beristighfar maka mengkilaplah hatinya. Dan jika
menambah (dosa) maka bertambahlah (bintik hitamnya) sampai menutupi hatinya. Itulah ‘rain’
yang disebut oleh Allah dalam Al-Qur’an.” “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang
selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.” (QS. Al-Muthaffifin : 14, HR. Ahmad II/297).

Ada sebuah perumpamaan yang menggambarkan pengaruh maksiat atas iman, yaitu bahwasanya
iman itu seperti pohon besar yang rindang. Maka akar-akarnya adalah tashdiq (kepercayaan) dan
dengan akar itulah ia hidup, sedangkan cabang-cabangnya adalah amal perbuatan. Dengan
cabang itulah kelestarian dan hidupnya terjamin. Semakin bertambah cabangnya maka semakin
bertambah dan sempurna pohon itu, dan jika berkurang maka buruklah pohon itu. Lalu jika
berkurang terus sampai tidak tersisa cabang maupun batangnya maka hilanglah nama pohon itu.
Manakala akar-akar itu tidak mengeluarkan batang-batang dan cabang-cabang yang bisa berdaun
maka keringlah akar-akar itu dan hancurlah ia dalam tanah.

Begitu pula maksiat-maksiat dalam kaitannya dengan pohon iman, ia selalu membuat
pengurangan dan aib dalam kesempurnaan dan keindahannya, sesuai dengan besar dan kecilnya
atau banyak dan sedikitnya kemaksiatan tersebut. Wallau a’alam.

Anda mungkin juga menyukai