Anda di halaman 1dari 18

COVER

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya, saya bisa menyusun dan
menyajikan Makalah Ke NU an ini yang berisi Khittah NU. Tak lupa penulis
mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah memberikan
dorongan dan motivasi.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Makalah ini masih terdapat


banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik serta saran yang membangun guna menyempurnakan
makalah ini dan dapat menjadi acuan dalam menyusun makalah-makalah atau
tugas-tugas selanjutnya.

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................ i

KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

A. Latar Belakang ............................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 2

C. Tujuan Penulisan .......................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 3

A. Pengertian Khittah NU ................................................................................. 3

B. Latar Belakang Kembali ke Khittah NU 1926 ............................................. 3

C. Bentuk-Bentuk Rumusan Khittah NU dalam Muktamar ke-27 ................... 7

D. Gerakan Politik NU setelah Khittah ............................................................. 9

E. Gerakan Kultur NU .................................................................................... 11

BAB III PENUTUP .............................................................................................. 14

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 15

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Nahdlatul Ulama adalah Jam’iyah Diniyah (organisasi Keagamaan)


wadah bagi para Ulama dan pengikutnya yang didirikan pada 16 Rajab 1344 H
/ 31 Januari 1926 M di Surabaya. NU didirikan atas dasar kesadaran bahwa
setiap manusia hanya dapat memenuhi kebutuhannya, bila hidup
bermasyarakat.

NU didirikan dengan tujuan memelihara, melestarikan,


mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islamyang berhaluan Ahlusunnah
Wal Jama’ah dengan menganut salah satu dari empat madzhab: Maliki,
Hambali, Hanafi, Syafi’i, serta mempersatukan langkah Ulama dan
pengikutnya dan melakukan kegiatan yang bertujuan untuk menciptakan
kemaslahatan umat, kemajuan bangsa, dan ketinggian harkatdan martabat
manusia.

Dengan demikian maka NU menjadi gerakan keagamaan yang


bertujuan ikut membangun insan dan masyarakat yang bertaqwa kepada Allah
SWT, cerdas, terampil, berakhlaq mulia, tenteram, adil dan sejahtera. NU
mewujudkan cita cita dan tujuannya melalui serangkaian ikhtiar yang di dasari
oleh dasar dasar faham keagamaan yang membentuk kepribadian khas NU.
Inilah yang kemudian disebut sebagai khittah Nahdlatul Ulama.

Menurut Kyai Muchit, Khittah NU 1926 merupakan dasar agama warga


NU, akidahnya, syariatnya, tasawufnya, faham kenegaraannya, dan lain-
lain.Dalam hal ini penulis akan membahas tentang khittah NU dan gerakan-
gerakan NU.

1
2

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam


pembahasan makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Apa Pengertian Khittah NU?


2. Bagaimana Latar Belakang Kembali ke Khittah NU 1926?
3. Kapan dicetuskan kembalinya NU ke Khittah 1926 dan bagaimana
bentuknya?
4. Bagaimana Gerakan Politik NU Setelah Khittah?
5. Bagaimana Gerakan Kultur NU?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penulisan makalah


ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah ke-NU-an


2. Untuk mengetahui pengertian tentang Khittah NU
3. Untuk mengetahui latar belakang kembalinya NU kepada Khittah 1926
4. Untuk mengetahui kapan NU kembali kepada Khittah 1926 dan bentuk-
bentuk rumusannya
5. Untuk mengetahui gerakan politik NU setelah Khittah
6. Untuk mengetahui gerakan kultur NU setelah NU kembali kke Khittah
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Khittah NU

Kata khittah berasal dari akar kata khaththa, yang bermakna menulis
dan merencanakan. Katakhiththah kemudian bermakna garis dan thariqah
(jalan)”.

Khittah NU adalah landasan berfikir, bersikap dan bertindak warga NU


yang harus dicerminkan dalam tingkah laku perorangan maupun organisasi
serta dalam setiap proses pengambilan keputusan.Landasan tersebut adalah
faham Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah yang diterapkan menurut kondisi
kemasyarakatan Indonesia,meliputi dasar dasar amal keagamaan maupun
kemasyarakatan.Khittah NU juga digalidari intisari perjalanan sejahtera
khidmahnya dari masa ke masa.Kata khiththah ini sangat dikenal kalangan
masyarakat Nahdliyin, terutama sejak tahun 1984.

B. Latar Belakang Kembali ke Khittah NU 1926

NU mencakup tujuan pendirian NU, gerakan-gerakan NU dan lain-lain.


Perbincangan Khittah NU sering dikaitkan dengan urusan politik. Sementara,
cakupan Khittah NU 1926 pada dasarnya tidak hanya menerangkan ihwal
hubungan organisasi NU dengan politik, tetapi juga hal-hal mendasar terkait
soal ibadah kepada Allah Swt dan kemasyarakatan. Menurut Kyai Muchit,
Khittah NU 1926 merupakan dasar agama warga NU, akidahnya, syariatnya,
tasawufnya, faham kenegaraannya, dan lain-lain.

Pada tahun 1984 itu, NU menyelenggarakan Muktamar ke-27 di


Situbondo. Muktamarin berhasil memformulasikan garis-garis perjuangan NU
yang sudah lama ada ke dalam formulasi yang disebut sebagai “Khittah NU”.

3
4

Sebagai formulasi yang kemudian menjadi rumusan “Khittah NU”,


maka tahun 1984 bukan tahun kelahirannya. Kelahiran khittah NU sebagai
garis, nilai-nilai, dan jalan perjuangan, ada bersamaan dengan tradisi dan nilai-
nilai di pesantren dan masyarakat NU. Keberadaannya jauh sebelum tahun
1984, bahkan juga sebelum NU berdiri sekalipun dalam bentuk tradisi turun
temurun dan melekat secara oral dan akhlak.

Pada Muktamar Ke-27 tahun 1984 secara resmi NU kembali ke Khittah


NU 1926. Ini ditandai keluarnya NU dari PPP. Dan kembali menjadi organisasi
sosial keagamaan sebagaimana saat didirikan, 31 Januari 1926.

Selain penggunaan kata “Khittah NU”, kadang-kadang juga digunakan


kata “Khittah 26”. Kata “khittah 26” ini merujuk pada garis, nilai-nilai, dan
model perjuangan NU yang dipondasikan pada tahun 1926 ketika NU
didirikan. Pondasi perjuangan NU tahun 1926 adalah sebagai gerakan sosial-
keagamaan. Hanya saja, garis perjuangan sosial keagamaan ini, mengalami
perubahan ketika NU bergerak di bidang politik praktis.

Pengalaman NU ke dalam politik praktis, terjadi ketika NU menjadi


partai politik sendiri sejak 1952. Setelah itu NU melebur ke dalam PPP (Partai
Persatuan Pembangunan) sejak 5 Januari 1973. Ketika NU menjadi partai
politik, banyak kritik yang muncul dari kalangan NU sendiri, yang salah
satunya menyebutkan bahwa “elit-elit politik” dianggap tidak banyak
mengurus umat. Kritik-kritik ini berujung pada perjuangan dan perlunya
kembali kepada khittah.

Perjuangan kembali pada khittah sudah diusahakan sejak akhir tahun


1950-an. Contohnya, pada Muktamar NU ke-22 di Jakarta tanggal 13-18
Desember 1959, seorang wakil cabang NU Mojokerto bernama KH Achyat
Chalimi telah menyuarakannya. KH. Achyat mengingatkan peranan partai
politik NU telah hilang, diganti perorangan, hingga partai sebagi alat sudah
kehilangan kekuatannya. Kiai Achyat mengusulkan agar NU kembali ke
5

khittah pada tahun 1926. Hanya saja, usul itu tidak diterima sebagai keputusan
muktamar.

Kelompok “pro jam`iyah” pada tahun 1960 menggunakan warta berkala


Syuriyah untuk menyuarakan perlunya NU kembali ke khittah. Gagasan agar
NU kembali ke khittah juga disuarakan kembali pada Muktamar NU ke-23
tahun 1962 di Solo. Akan tetapi gagasan tersebut banyak ditentang oleh
muktamirin yang memenangkan NU sebagai partai politik.

Pada Muktamar NU ke-25 di Surabaya tahun 1971, gagasan


mengembalikan NU ke khittah muncul kembali dalam khutbah iftitâh Rais
Am, KH. Abdul Wahab Hasbullah. Saat itu Mbah Wahab mengajak
muktamirin untuk kembali ke Khittah NU 1926 sebagai gerakan sosial-
keagamaan. Akan tetapi kehendak muktamirin, lagi-lagi, tetap
mempertahankan NU sebagai partai politik.

Gagasan kembali ke khittah semakin mendapat tempat pada Muktamar


NU ke-26 di Semarang (5-11 Juni 1979). Meski Muktamirin masih
mempertahankan posisi NU sebagai bagian dari partai politik (di dalam PPP),
tetapi muktamirin menyetujui program yang bertujuan menghayati makna dan
seruan kembali ke khittah 26. Di Semarang ini pula tulisan KH. Achmad
Shidiq tentang Khittah Nahdliyah telah dibaca aktivis-aktivis NU dan ikut
mempopulerkan kata khittah.

Gagasan kembali ke Khittah NU semakin nyata setelah Munas Alim


Ulama di Kaliurang tahun 1981 dan di Situbondo tahun 1983. Pada Munas
Alim Ulama di Situbono itu bahkan dibentuk “Komisi Pemulihan Khittah
NU”. Komisi ini dipimpin KH Chamid Widjaya, sekretaris HM Said Budairi,
dan wakil sekretaris H. Anwar Nurris. Komisi ini berhasil menyepakati
“Deklarasi Hubungan Islam dan Pancasila,” kedudukan ulama di dalamnya,
hubungan NU dan politik, dan makna Khittah NU 1926. Hasil-hasil dari
Munas Alim Ulama ini kemudian ditetapkan sebagi hasil Muktamar NU ke-27
di Situbondo tahun 1984 setelah melalui diskusi dan perdebatan yang intens.
6

Muktamar NU di Situbondo inilah yang berhasil memformulasikan rumusan


Khittah NU.

Formulasi rumusan Khittah NU di Situbondo ini sangat monumental


karena menegaskan kembalinya NU sebagai jam`iyah diniyah-ijtima`iyah.
Rumusan ini mencakup pengertian Khittah NU, dasar-dasar paham keagamaan
NU, sikap kemasyarakatan NU, perilaku yang dibentuk oleh dasar-dasar
keagamaan dan sikap kemasyarakatan NU, ihtiar-ihtiar yang dilakukan NU,
fungsi ulama di dalam jam`iyah, dan hubungan NU dengan bangsa.

Dalam formulasi itu, ditegaskan pula bahwa jam`iyah secara


organistoris tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi
kemasyarakatn manapun. Sementara dalam paham keagamaan, NU
menegaskan sebagai penganut Ahlussunnah Waljama`ah dengan mendasarkan
pahamnya pada sumber Al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas. Dalam
menafsirkan sumber-sumber itu, NU menganut pendekatan madzhab dengan
mengikuti madzhab Ahlussunnah Waljama`ah (Aswaja) di bidang akidah, fiqih
dan tasawuf.

1. Di bidang akidah, NU mengikuti dan mengakui paham Aswaja yang


dipelopori Imam Abu Hasan al-Asy`ari dan Imam Abu Manshur al-
Maturidi.
2. Di bidang fiqih NU mengakui madzhab empat sebagai paham Aswaja yang
masih bertahan sampai saat ini.
3. Di bidang tasawuf NU mengikuti imam al-Ghazali, Junaid al-Baghdadi, dan
imam-imam lain. Dalam penerapan nilai-nilai Aswaja, Khittah NU
menjelaskan bahwa paham keagamana NU bersifat menyempurnakan nilai-
nilai yang baik dan sudah ada. NU dengan tegas menyebutkan tidak
bermaksud menghapus nilai-nilai tersebut. Dari sini aspek lokalitas NU
sangat jelas dan ditekankan.
7

C. Bentuk-Bentuk Rumusan Khittah NU dalam Muktamar ke-27

1. Dasar-dasar Pemikiran NU

Nahdlatul Ulama mendasarkan paham keagamaannya kepada


sumber Islam Al Qur’an, Assunnah, Al Ijma’ dan Al Qiyas. Dalam
memahami, menafsirkan Islam, mengikuti Ahlussunnah Wal Jama’ah dan
menggunakan pendekatan madzhab

NU mengikuti pendirian, bahwa Islam adalah agama yang fitri yang


bersifat menyempurnakan kebaikan yang dimiliki oleh manusia.

2. Sikap Kemasyarakatan NU

Dasar dasar pendirian keagamaan NU menumbuhkan sikap kemasyarakatan


sebagai berikut:

a) Sikap tawasuth dan I’tidal berintikan kepada prinsip hidup yang


menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah tengah
kehidupan bersama. NU dengan sikap dasar ini akan selalu menjadi
kelompok panutan yang bersikap dan bertindak lurus dan selalu bersifat
membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat
tatharruf (ekstrim).
b) Sikap tasamuh sikap toleran terhadap perbedaan pandangan, baik dalam
masalah keagamaan, terutama yang bersifat furu’ atau yang menjadi
masalah khilafiyah serta dalam masalah kemasyarakatan dan
kebudayaan.
c) Sikap tawazun sikap seimbang dan berkhidmah, menyerasikan khidmah
kepada ALLAH SWT khidmah kepada sesama manusia serta lingkungan
hidupnya. Menyelaraskan kepentingan masa lalu dan masa kini serta
masa yang akan datang
d) Sikap amar ma’ruf nahi munkar. Selalu memiliki kepekaan untuk
mendorong perbuatan yang baik berguna dan bermanfaat bagi kehidupan
8

bersama serta menolak dan mencegah semua hal yang dapat


menjerumuskan dan merendahkan nilai nilai kehidupan.
3. Perilaku yang dibentuk oleh dasar keagamaan dan sikap kemasyarakatan
NU
a) Menjunjung tinggi nilai-nilai dan norma-norma ajaran Islam
b) Mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi
c) Menjunjung tinggi sifat keikhlasan, berkhidmah dan berjuang
d) Menunjung tinggi persaudaraan (Al-Ukhuwah, persatuan (Al-Itihad)
serta kasih mengasihi
e) Meluhurkan kemuliaan moral (Al Akhlakul karimah), dan menjunjung
tinggi kejujuran (Ash-shidqu) dalam berfikir, bersikap dan bertindak
f) Menjunjung tinggi kesetiaan (loyalotas) kepada agama, bangsa dan
negara
g) Menjunjung tinggi nilai amal, kerja dan prestasi sebagai bagian dari
ibadah kepada Allah SWT
h) Menjunjung tinggi ilmu-ilu serta ahli-ahlinya
i) Selalu siap untuk menyesuaikan diri dengan setiap perubahan yang
membawa kemaslahatan manusia
j) Menjunjung tinggi kepeloporan dalam usaha, memacu dan
mempercepat perkembangan masyarakat
k) Menjunjung tinggi kebersamaan di tengah kehidupan berbangsa dan
bernegara
4. Ikhtiar-ikhtiar yang dilakukan NU :
a) Peningkatan silaturahmi/komunikasi antar ulama
b) Peningkatan kegiatan di bidang keilmuan/pengkajian/pendidikan
c) Peningkatan kegiatan penyiaran Islam, pembangunan sarana-sarana dan
pelayanan sosial
d) Peningkatan taraf dan kualitas hidup masyarakat melalui kegiatan yang
terarah
9

Fungsi organisasi dan kepemimpinan ulama di NU yaitu sebagai


alat untuk melakukan koordinasi bagi terciptanya tujuan-tujuan yang telah
ditentukan baik tujuan yang bersifat keagamaan maupun kemasyarakatan.

5. NU dan kehidupan berbangsa

NU secara sadar mengambil posisi aktif dalam proses perjuangan


mencapai dan mempertahankan kemerdekaan, serta mewujudkan
pembangunan menuju masyarakat adil dan makmur yang berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945 yang diridhoi oleh Allah SWT.

D. Gerakan Politik NU setelah Khittah

Nahdlatul Ulama (NU) berdiri tahun 1926 adalah sebagai organisasi


kemasyarakatan atau jam’iyah, bukan partai politik, bukan institusi politik,
tapi tak bisa dipungkiri dan dihindarai bahwa sejak kelahirannya NU telah
bersinggungan dengan ruang politik.

Pada tahun 1940-1943 NU masuk MIAI yang kemudian menjadi


Masyumi. Masyumi dibentuk dimaksudkan untuk menciptakan kekuatan besar
bagi umat Islam. Tahun 1945 Raisul Akbar Hadrotussyaikh KH Hasyim
As’ary mengeluarkan fatwa resolusi jihad untuk menghadapi tentara nicca
belanda. Dan pada tahun-tahun berikutnya NU juga tidak tinggal diam
menghadapi PKI.

Ada satu hal yang perlu dicatat bahwa, kelahiran NU itu sendiri sebagai
respon atas munculnya Islam wahabisme atau Islam reformis yang menyatakan
dirinya sebagai kaum pambaharu Islam. Melihat sisi historis demikian maka
boleh dikatakan semenjak kelahirannya NU telah berpolitik, barulah pada
tahun 1952 Muktamar NU ke 19 di palembang, NU resmi menyatakan diri
sebagai partai politik setelah keluar dari Masyumi.

Dari pemilu 1955 sampai pemilu 1971 NU berhasil meraih suara cukup
menggembirakan, NU benar-benar bermain di arena politik, NU punya banyak
wakil di DPR, para ulama sepuh NU juga masih banyak. Sampai disini NU
10

masih berjaya. Barulah pada tahun 1973 NU mulai melewati masa awal
perpecahan. Semua partai Islam termasuk NU harus fusi dalam satu partai
yaitu Partai Persatuan Pembangunan(PPP). PPP tak ubahnya seperti Masyumi
dulu, perselisihan antar kelompok dalam tubuh PPP terus terjadi tak kunjung
usai. Kasus yang terjadi di PPP serupa dengan yang terjadi di Masyumi – NU
selalu dimarjinalkan.

NU dalam posisi rumit, membuat partai tidak bisa, memperbaiki PPP


juga suatu hal yang sangat sulit karena PPP dan PDI saat itu merupakan
boneka orde baru. Disinilah titik awal dimulainya perpecahan warga NU,
dimana pemerintah Orba salah satu faktor utama dalam penghancuran NU. NU
selanjutnya hanya berpolitik secara moral yang sulit dipertanggungjawabkan
hasilnya. NU kemudian hanya menitipkan para kadernya di PPP, sedang NU
sendiri hanya bisa bermain diluar arena.

Pola dukung mendukung oleh NU mulai dijalankan. NU terkadang


bermetamorfosa dari hijau menjadi merah ketika Gus Dur mendekati Mega
yang waktu itu kita kenal dengan istilah Mega-Gus Dur untuk menandingi PDI
Suryadi. Atau terkadang NU berubah wujud dari hijau ke kuning ketika Gus
Dur mengajak warganya untuk mengikuti Istighotsah NU-Golkar di berbagai
daerah beberapa tahun silam sebelum reformasi.

Setelah reformasi bergulir, sepertinya ada harapan besar bagi NU


untukmengembalikan kejayaan NU dimasa silam. Walaupun demikian masih
terlalu berat jika NU menjelma menjadi partai. NU akhirnya mendirikan PKB
dimana PKB diharapkan menjadi satu-satunya partai NU yang berakses ke
PBNU. NU sendiri bukanlah partai tapi NU punya sayap politik yaitu PKB.
Betapa hebat respon masyarakat terhadap lahirnya PKB, Ini wajar saja karena
warga NU benar-benar haus dengan partai NU setelah 32 tahun NU
dipinggirkan.

Namun tampaknya harapan hanya tinggal harapan, PKB yang


diharapkan menjadi sayap politik NU justru berjalan sendiri bahkan senantiasa
11

berseberangan dengan NU struktural. Antara PKB dan NU mulai ada tanda-


tanda kurang serasi, PKB memecat ketuanya yaitu Matori Abdul jalil yang
sebenarnya NU tidak menghendaki. Ketidakserasian NU-PKB ini diperuncing
lagi ketika NU mencalonkan Hasyim Muzadi menjadi cawapres Mega. Dengan
susah payah NU menggerakkan warganya dari tingkat PW-PC-MWC bahkan
sampai ketingkat ranting untuk mengegolkan jagonya yaitu Hasyim Muzadi
menjadi Cawapres, tapi PKB saat itu justru mendukung Wiranto-Wahid dari
Golkar, diteruskan pada pilpres putaran kedua PKB mendukung SBY-JK.
Cukup sudah PKB menyodok NU saat itu. Mulai dari itu PKB dianggap bukan
lagi partai sayap politik NU karena PKB terlalu jauh meninggalkan NU.

Carut-marut perpolitikan NU saat ini sudah sangat rumit. Musuh sudah


memakai senjata api kita masih berebut senjata bambu. Sederet pertanyaan
inilah yang mungkin akan terjawab dalam muktamar NU mendatang.

E. Gerakan Kultur NU

Meskipun paska khittah 1926 NU mengkonsentrasikan kembali


perjuangannya pada wilayah sosio-kultural, namun mungkinkah NU benar-
benar seratus persen netral dari persoalan politik? Jelas tidak. Netralitas NU
dari politik itu sendiri, menurut KH Abdurrahman Wahid tidak berarti
meninggalkan segala peran politik. Jumlah anggotanya yang besar merupakan
kekuatan dan kapital politik yang sangat potensial, terutama saat mendekati
momen pemilu. Sehingga meski sudah memutuskan khittah dan kembali pada
kerja kultural, NU tak mungkin bisa seratus persen menghindar dari politik.

Namun yang perlu ditegaskan di sini adalah peran politik yang


dimainkan oleh NU bukan lagi politik praktis yang berorientasi pada
kekuasaan. Pola politik semacam ini lebih bersifat formalistik dan struktural.
Sebaliknya dalam dimensi semangat khittah, yang lebih diprioritaskan oleh NU
adalah gerakan politik kultural. Konsep inilah yang menjadi batu loncatan dan
terobosan baru bagi NU untuk memajukan dan memberdayakan masyarkat.
Sebab, orientasi kerjanya bukan lagi memperdebatkan soal kursi kekuasaan
12

maupun jabatan di berbagai lembaga pemerintahan, melainkan


lebih concern pada perumusan langkah dan strategi pemberdayaan masyarakat
bawah yang sebesar-besarnya. Inilah yang pernah diserukan oleh mantan Rais
Aam PBNU-1984, KH. Achmad Siddiq bahwa orang NU lebih baik bekerja
untuk memajukan masyarakat dan bukannya berusaha mendapatkan
kekuasaan.

Secara substansial, gerakan politik kultural NU ini masih lemah, masih


belum mengakar kuat sehingga benar-benar mampu mengangkat warganya dari
segala macam krisis. Pada level praksis-operasional, komitmen dan spirit
politik kultral NU itu belum berhasil ditransformasikan sebagai sebuah sistem
gerakan yang simultan untuk menyelesaikan problem-problem riel di
masyarakat. Sehingga seolah nampak bahwa orientasi politik NU ini hingga
sekarang masih lebih menjadi wacana sosial-keagamaan, daripada menjadi
perangkat kerja konkrit. Terbukti warga NU masih banyak yang terjerat oleh
persoalan kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan.

Faktor utama yang menyebabkan politik kultural NU tersebut mandul


dan lemah sebagai media gerakan transformasi sosial adalah karena rendahnya
mentalitas dan moralitas para oknum yang ada di struktur NU.Oleh para
pengurusnya, NU masih sering dimanfaatkan sebagai alat untuk menjalin akses
ekonomi dan politik pribadi. Hal ini terbukti dengan masih dimanfaatkannya
lembaga NU untuk mendukung calon tertentu dalam pemilu maupun pilkada di
berbagai daerah daripada sebagai alat kontrol kekuasaan.Hal ini menjadikan
agenda-agenda sosio-kultural dan keagamaan, yang merupakan bagian dari
gerakan politik kultural NU, tidak berjalan

Sebab, NU hanya menjadi sarang manusia-manusia oportunistik.


Manusia macam ini, hanya memanfaatkan NU untuk mencari penghidupan
pribadi tetapi tidak bersedia berkorban untuk kehidupan NU. Budaya
oportunistik yang sering menghinggapi hati dan pikiran para pengurus NU
tersebut, merupakan batu sandungan utama yang menyebabkan politik kultural
13

NU belum bisa diimplementasikan secara optimal. Gerakan politik kultural NU


bukannya semakin bangkit, tetapi semakin melemah, karena kekuatan NU
digerogoti oleh budaya oportunistik yang menguasai struktur NU.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Khittah NU adalah landasan berfikir, bersikap dan bertindak warga


NU yang harus dicerminkan dalam tingkah laku perseorangan maupun
organisasi serta dalam setiap proses pengambilan keputusan. Pada Muktamar
Ke-27 tahun 1984 secara resmi NU kembali ke Khittah NU 1926. Ini ditandai
keluarnya NU dari PPP dan kembali menjadi organisasi sosial keagamaan
sebagaimana saat didirikan, 31 Januari 1926.

Setelah Khittah NU tidak lagi ikut secara aktif dalam politik praktis
tetapi lebih kepada politik taktis. Gerakan kultur NU lebih kepada upaya
memajukan dan memberdayakan masyarakat.

B. Saran

Sebagai Jam’iyah Nahdlatul Ulama kita harus selalu mempertahankan


kemurnian Islam dengan jalan mengikuti faham Ahlussunnah Wal Jama’ah
berdasar Al Qur’an, Assunnah, Ijma’ dan Qiyas serta dengan pendekatan
salah satu dari 4 madzhab.

14
DAFTAR PUSTAKA

Pustaka Ma’arif NU. 2007. Islam Ahlussunnah Wal Jamaah di Indonesia.


Jakarta.

Haryono Abu Syam. 1981. Pendidikan Nahdlatul Ulama. Surabaya. Cahaya


Ilmu

Moxeeb’s.wordpress.com

http://pcinu-mesir.tripod.com/ilmiah/pusaka/ispustaka/buku07/020.htm

emka.web.id/ke-nu-an/2012/apa-itu-khittah-nu

15

Anda mungkin juga menyukai